Analisis Kasus Bank Bukopin [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas MID Analisis Kasus Bank Bukopin



OLEH Si Made Ngurah Purnaman C4C019003



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PENDDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI PURWOKERTO 2019



Kasus Pada 25 April 2018, Bank Bukopin merilis koreksi laporan keuangan untuk tahun penuh 2017 (dengan perbandingan 2016), di mana terdapat banyak perubahan yang mencolok untuk data neraca dan laporan laba rugi untuk 2016. Misalnya, ekuitas Bank Bukopin yang tadinya tercatat Rp9,5 triliun per akhir 2016 direvisi menjadi hanya Rp6,9 triliun, dan tadinya Earning Per Share Rp120 per saham direvisi menjadi Rp20 per saham. Sejumlah variabel dalam laporan juga berubah signifikan. Misalnya, laba tahun 2016 sebelumnya tercatat sebesar Rp 1,08 triliun. Namun, dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2017, laba perusahaan dicatatkan sebesar Rp 183,53 miliar. Bukan hanya variabel laba, perubahan yang cukup signifikan juga terjadi pada total pendapatan bunga dan syariah. manajemen Bukopin mengungkapkan bahwa perubahan tersebut dipicu adanya pencatatan tak wajar alias abnormal dari sisi pendapatan bisnis kartu kredit. Direktur Keuangan Bukopin Adhi Brahmantya menjelaskan, abnormalitas tersebut pertama kali ditemukan oleh perseroan pada Juli 2017. Singkatnya, data penerimaan pendapatan dari kartu kredit di Bank Bukopin berbeda dengan kenyataanya. Adhi menerangkan, tidak hanya pada kurun waktu Januari hingga Juli 2017 saja pencatatan menjadi keliru, melainkan dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya. Ada sedikitnya 100.000 kartu kredit yang pencatatannya keliru. Direktur Bukopin Rivan A. Purwanto menambahkan, selama kurun waktu tersebut perseroan tetap memperoleh pendapatan dari bisnis kartu kredit, padahal kenyataannya tidak. Melihat ketidakcocokan data tersebut, pihak Bukopin mengaku langsung melaporkan kepada kantor akuntan publik (KAP) bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setelah itu, perseroan memutuskan untuk melakukan restated alias penyampaian ulang laporan keuangan 2016 hasil temuan internal perseroan. Apabila ditelisik, pendapatan provisi dan komisi yang terbesar di Bukopin salah satunya bersumber dari pendapatan kartu kredit. Pendapatan ini turun dari Rp 1,06 triliun menjadi Rp 317,88 miliar dalam laporan keuangan tahun 2016 yang direvisi. Untuk menutupi kerugian dari abnormalitas tersebut, modal perseroan pun tergerus. Lihat saja, pada laporan keuangan 2016 sebelum revisi, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perseroan berada di batas aman 15,03 persen, namun setelah revisi CAR tersebut anjlok menjadi 11,62 persen.



Analisis Kasus Dari pemaparan tentang latar belakang masalah diatas maka penulis menganalisa bahwa terjadi kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan yang diterbitkan oleh bank Bukopin pada tahun 2016. Kesalahan yang di lakukan Bank Bukopin adalah : 1. Kesalahan penyajian angka piutang kartu kredit, yang disebabkan oleh modifikasi data kartu kredit tertentu 2. Kesalahan penyajian angka piutang pembiayaan syariah dari Bank Syariah Bukopin (anak usaha BBKP), terkait penambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk debitur tertentu. Bank Bukopin selain menyalurkan kredit dalam bentuk pinjaman berbunga, juga menyalurkan kredit melalui kartu kredit, dan melalui pembiayaan syariah. Kemudian kredit ini digolongkan menjadi lima status: 1. Lancar, 2. Dalam perhatian khusus, 3. Kurang lancar, 4. Diragukan, dan 5. Macet. Untuk status lancar, berarti kredit tersebut tidak bermasalah dan bisa ditagih dengan lancar secara tepat waktu. Untuk status dalam perhatian khusus, maka kredit tersebut mulai bermasalah, misalnya tetap dibayar lunas tapi lewat jatuh temponya. Dan untuk golongan yang terparah yaitu status macet, maka kredit tersebut sudah tidak bisa ditagih sama sekali, atau tidak dapat dipastikan kapan akan dikembalikan oleh peminjamnya. Ketika bank menyalurkan kredit ke masyarakat, maka bank mencatat aset berupa ‘kredit yang diberikan’, atau piutang kredit. Dalam hal kredit yang disalurkan melalui kartu kredit, maka piutangnya disebut piutang kartu kredit. Sementara dalam hal kredit yang disalurkan melalui pembiayaan syariah, maka piutangnya disebut piutang syariah. Kemudian di sinilah catatan pentingnya: Jika ada sebagian dari piutang tersebut yang berstatus No.5, yakni macet/tidak bisa dipastikan kapan akan dikembalikan oleh peminjamnya, maka bank tidak boleh lagi mencatatnya sebagai aset piutang, melainkan harus dicatat sebagai penyisihan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), yang nilainya negatif (sehingga mengurangi nilai aset/ekuitas perusahaan).



Namun ketika kredit yang disalurkan masih berstatus No.4, yakni Diragukan, maka masih boleh dicatat sebagai aset piutang kredit. Di sinilah kemudian sering terjadi perbedaan pendapat di antara personel manajemen bank itu sendiri, dalam menentukan apakah sejumlah kredit yang bermasalah statusnya masih diragukan, ataukah sudah macet sama sekali. Pada kasus BBKP, kemungkinan pihak manajemen tadinya menilai bahwa sejumlah kredit bermasalah di kelompok piutang kartu kredit dan piutang syariahnya, itu belum sampai berstatus macet, sehingga masih bisa dicatat sebagai aset milik bank. Tapi kemudian dilakukan review, dan sebagian dari kredit bermasalah tersebut akhirnya dianggap berstatus macet, dan menghasilkan revisi sebagai berikut : 1. Nilai piutang kartu kredit Bank Bukopin turun, dan itu menyebabkan penurunan pendapatan provisi dan komisi dari tadinya Rp1.06 trilyun, menjadi hanya Rp318 milyar, dan 2. Nilai beban CKPN pada Bank Syariah Bukopin naik, sehingga menaikkan CKPN BBKP secara keseluruhan dari tadinya Rp649 milyar menjadi Rp798 milyar. Penurunan pendapatan serta bertambahnya beban ini pada akhirnya menyebabkan laba Bank Bukopin, yang tadinya Rp1.09 trilyun, direvisi menjadi hanya Rp176 milyar saja. Dan praktis nilai aset, saldo laba, hingga ekuitas Bank Bukopin juga ikut turun signifikan. Pangkal masalah kasus Bank Bukopin yakni Adanya perbedaan pendapat di antara personel manajemen Bank Bukopin, termasuk mungkin juga melibatkan pihak auditor, dalam menilai apakah sejumlah kredit yang bermasalah statusnya masih diragukan, ataukah sudah macet. Jadi ini bukan berarti manajemen Bank Bukopin sengaja memanipulasi laporan keuangannya atau apa, karena kasus ini juga sering terjadi pada bank-bank lain, termasuk bank yang lebih besar.Akhir cerita dari manipulasi laporan keuangan bank Bukopin mengakibatkan saham Bank Bukopin menjadi murah. Hingga saat ini saham Bank Bukopin bernilai Rp.276,00



Pandangan Sesuai Teori Etika Teori Utilitarianisme Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang memberi manfaat untuk banyak orang. Pada kasus Bank Bukopin, yakni manipulasi laporan keuangan, pihak yang diuntungkan adalah perusahaan. Sedangkan pihak yang dirugikan adalah para stakeholder yang menggunakan laporan keuangan Bank Bukopin. Jika dinilai dari kriteria utilitarianisme yakni kebahagiaan yang dirasakan jumlah terbesar, maka manipulasi yang dilakukan bank Bukopin tidak sesuai atau belum berdasar prinsip utilitarianisme. Perbandingan antara pihak yang diuntungkan dengan pihak yang dirugikan lebih banyak pihak yang dirugikan. Jadi, kasus Bank Bukopin



bertentangan dengan teori etika utilitarianisme. Selain itu, Bank



Bukopin tidak sesuai dengan prinsip etika ke empat yaitu saling menguntungkan karena dalam hal ini ada pihak yang dirugikan. Karena adanya prinsip yang dilanggar, dapat dikatakan bahwa kasus Bank Bukopin juga melanggar etika bisnis. Teori Deontologi Menurut teori ini, perbuatan yang baik bukan dinilai dari akibat atau tujuannya, namun karena perbuatan itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban Bank Bukopin sebagai perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek Indonesia adalah untuk membuat laporan keuangan perusahaan dengan benar sesuai dengan PSAK yang berlaku, namun pihak Bank Bukopin masih saja melakukan praktik manipulasi laporan keuangan yang dapat merugikan para pengguna laporan keuangan Bank Bukopin. Dengan kata lain, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan karena kewajiban dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan. Bank Bukopin sudah melanggar kewajiban tersebut. Bank Bukopin melakukan manipulasi Laporan keuangannya untuk keuntungan perusahaan. Jadi, kasus Bank Bukopin yang menjadi masalah ini juga bertentangan dengan teori deontologi. Hal ini juga tidak sesuai dengan prinsip etika yang ke empat yaitu prinsip Integritas Moral karena Bank Bukopin secara sadar mempublish laporan keuangan yang tidak sesuai dengan PSAK yang mengandung unsur yang dapat menyesatkan pembacanya. dengan kata lain Bank Bukopin mengkhianati kepercayaan publik. Karena ada prinsip etika yang dilanggar yang dilanggar, kasus Bank Bukopin tersebut dapat dikatakan melanggar etika bisnis.



Teori hak Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak menyalahi atau melanggar hak-hak orang lain. Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, sehingga perbuatan yang etis harus memperlakukan orang lain dengan baik, tidak boleh ada hak-hak yang dilanggar. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank, mengharuskan Bank Untuk memublikasikan Laporan keuangan, informasi kinerja keuangan dan/atau informasi lain, yang disampaikan oleh Bank kepada masyarakat dan/atau Otoritas Jasa Keuangan dengan tata cara penyampaian dan pengumuman sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam peraturan tersebut juka dijelaskan sanksi-sanksi yang untuk Bank yang memanipulasi laporannya. Dalam hal Bank Bukopin melalaikan tanggung jawabnya kepada stakeholder. Jadi, perilaku bisnis bank Bukopin tersebut juga bertentangan dengan teori hak. Selain itu, Bank Bukopin melanggar prinsip etika yang ketiga yaitu prinsip keadilan, karena apa yang dilakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga hal ini termasuk pelanggaran etika bisnis. Teori Keutamaan Menurut teori ini, etis atau tidaknya suatu perilaku adalah jawaban dari hati nuraninya sendiri. Atas dasar teori keutamaan, Kasus Bank Bukopin dikatakan bertentangan dengan teori keutamaan. keuangan.



Karena Bank Bukopin secara sadar melakukan manipulasi laporan



Bank Bukopin juga melanggar prinsip etika ke lima yaitu prinsip saling



menguntungkan karena manipulasi Laporan Keuangan yang dilakukan Bank Bukopin hanya menguntungkan pihak Bank Bukopin saja namun para stakeholder yang telah memanfaatkan informasi dari laporan keuangan Bank Bukopin merasa ditipu oleh pihak Bank Bukopin. Sehingga kasus bank Bukopin dapat dikatakan melanggar etika bisnis. Daftar Pustaka https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/03/070000026/laporan-keuangan-bukopintersandung-kasus-kartu-kredit-ini-penjelasan-dirut? Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2015 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank https://www.teguhhidayat.com/2018/05/bank-bukopin-revisi-laporan-keuangan.html https://stockbit.com/symbol/BBKP