Analisis Potensi Dampak Lingkungan Dari Pengembangan CBM Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS POTENSI DAMPAK LINGKUNGAN DARI PENGEMBANGAN CBM DI INDONESIA Oleh : Mahendrayana I Made (12112014), Ahnaf Muhammad (12112097), Baldus Ch. F. Ambrauw (12113603), Hartman M. Z. Wanggai (12114096) Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung, Bandung



ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan Coalbed Methane (CBM) terbesar di dunia dengan potensi sekitar 453 Triliun Cubic Feet (TCF), dua kali lipat lebih banyak daripada cadangan gas alamnya. Pada tahun 2025, Pemerintah Indonesia berencana memanfaatkan potensi cadangan yang sangat besar ini dan menargetkan produksi CBM satu miliar standard cubic feet per hari atau setara dengan ±0,18 juta barrel minyak. Berdasarkan lampiran Permen LH tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilaian AMDAL, pengembangan lapangan CBM pada tahap eksploitasi dan pengembangan produksi antara lain mencakup; pemboran sumur produksi; pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung; kegiatan operasi produksi; dan kegiatan pasca operasi. Tulisan ini memperlihatkan hasil analisis potensi dampak lingkungan yang akan dihadapi dari pengembangan CBM di Indonesia. Tanpa didahului perencanaan yang matang, akan timbul dampak negatif yang sangat serius pada lingkungan serta pengembangan lingkungan sudah seharusnya menjadi prioritas utama sebelum dilakukan pengembangan CBM di Indonesia. Kata Kunci: Coalbed Methane (CBM), salinitas, kontaminasi akuifer, sumberdaya hayati, dewatering, air tanah, basin.



ABSTRACT Indonesia has one of the largest Coalbed Methane (CBM) reserves in the world with a potential 453 Trillion Cubic Feet (TCF), more than double the country’s natural gas reserves. The government, therefore, is planning to exploite its huge potential reserves and targetting to produce one billion standard cubic feet per day, or about ±0,18 million barrel of oil equivalent, by 2025. According to an attachment of ministerial regulation from ministry of environment about The Commission's Code of Assessment EIA, the development of CBM at exploitation fase and production development such as production well drilling, production and support facility development, production activity, and post operation activity. This paper presents assessment results on the environmental and impacts which likely will be faced by Indonesia from improper development of CBM in Indonesia. Certainly, there will be very serious and unaviodable negative impacts to the environment without careful plan and proper environmental development put in place prior to the development of CBM. Keywords: Coalbed Methane (CBM), salinity, aquifer contamination, biological resources, dewatering, ground water, bacin.



1



belum banyak diketahui, khususnya di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga belum memiliki regulasi yang khusus menangani eksploitasi CBM, khususnya yang menyangkut penanganan dan pencegahan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. Mengingat cepatnya perkembangan upaya pendayagunaan CBM, kajian komprehensif terhadap aspek ini sangat perlu dilakukan guna mengantisipasi berbagai hal yang mungkin muncul di masa depan.



PENDAHULUAN Krisis energi mengakibatkan pemadaman listrik, antrian gas dan minyak tanah, serta banyak lagi efek negatif lainnya. Penyebabnya karena harga bahan bakar minyak melonjak tajam dan keterdapatan energi minyak bumi yang mulai langka. Maka dari itu, diperlukan energi alternatif lainnya yang dapat memenuhi kebutuhan energi dimasa depan. Salah satu energi alternatif yang dapat dikembangkan potensinya guna pemenuhan energi dimasa depan adalah sumberdaya energi nonkonvensinal Coalbed Methane.



Tulisan ini menyajikan hasil kajian literature mengenai potensi dampak lingkungan dari pengembangan CBM yang diperkirakan relevan dengan kondisi Indonesia.



Indonesia memiliki cadangan Coalbed Methane, atau yang lebih dikenal dengan istilah CBM, terbesar di dunia yang potensinya mencapai 453,3 Triliun Kaki Kubik (TCF), dua kali lipat lebih besar dari jumlah cadangan gas alamnya. Cadangan CBM terbesar ada di Sumatra Selatan dengan jumlah sumberdaya mecapai sekitar 183 TCF. Tambang batubara di Kutai memiliki jumlah sumberdaya CBM terbesar ketiga di Indonesia, dengan jumlah mencapai lebih dari 80 TCF[1].



METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif analitif. Metode deskriptif analitif adalah sebuah metode dengan cara mendeskripsikan data baik dari literature maupun dari lapangan, kemudian data tersebut diolah dan dilakukan analisis. Penyusunan tulisan ini dilakukan dengan melakukan data dari berbagai sumber yaitu, buku, jurnal, internet, dan bulletin geologi yang telah dipublikasikan dan merupakan data sekunder dari beberapa peneliti yang berhubungan dengan Coalbed Methane.



Untuk mendorong realisasi pemanfaatan CBM di Indonesia pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM Nomor 36/2008 yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 33/2006 guna mengantisipasi tumpang tindih konflik kepentingan dalam mengakses sumberdaya alam. Penerbitan Permen ESDM tersebut nampaknya belum mencukupi untuk merealisasikan CBM di Indonesia, masih diperlukan perangkat aturan lain yang lebih konkret terutama yang menyangkut dampak lingkungan yang ditimbulkan.



PERMASALAHAN Energi Coalbed Methane merupakan salah satu dari sumber energi menarik karena potensinya yang mampu untuk dikembangkan lebih lanjut di Indonesia. Sebagai cadangan gas non-konvensional, CBM merupakan gas dengan kadungan metana yang tinggi, mencapai 88% sampai 98% dan terjebak di pori-pori batuabara, dimana batubara ini tergenangi oleh air. BP



Berbeda dengan dampak lingkungan pendayagunaan gas alam konvensional, dampak potensial pendayagunaan CBM 2



Migas menargetkan produksi gas CBM sebesar satu juta SCF per hari agar masalah ketenagalistrikan dapat terealisasi. Produksi gas CBM yang setara dengan daya listrik dua Mega Watt berasal dari Wilayah Kerja Sangatta I, Kalimantan Timur[3].



Permeabilitas merupakan ciri kunci dalam produksi CBM karena endapan batubara hanya dapat melepaskan gas ketika tekanan air dikurangi. Produksi gas dari batubara mutu tinggi dapat terjadi ketika panas dan tekanan mengubah materi organik menjadi batubara; sementara gas dari batubara mutu rendah berasal dari dekomposisi materi organik oleh bakteri.



Pengembangan lapangan CBM pada tahap eksploitasi dan pengembangan produksi ini, diperlukan relative lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpeng tindih memiliki resiko yang cukup tinggi[4]. Oleh karena itu, sangat diperlukan analisis lebih lanjut pada potensi dampak lingkungan dari pengembangan CBM yang diperkirakan relevan dengan kondisi Indonesia guna terciptanya pembangunan berkelanjutan.



Endapan batubara merupakan sumber serta tempat penyimpanan bagi gas-gas yang diproduksi melalui proses yang sudah disebutkan sebelumnya. Hampir semua gas metana batubara tersimpan dalam struktur molekul batubara; beberapa tersimpan pada rekahan atau terlarut dalam air yang terperangkap pada rekahan. Basin yang memiliki kandungan metana sebanyak 500 sampai 600 standard cubic feet (SCF) per ton dan disertai dengan permeabilitas dan laju desorpsi yang memadai, dianggap sebagai tempat yang “sangat sesuai bagi produksi CBM secara komersial”[5].



HASIL DAN PEMBAHASAN Coalbed Methane Coalbed Methane (CBM) adalah nama generik untuk semua jenis gas metana yang berasal dari endapan batubara. Sesuai dengan namanya, CBM terdiri dari gas metana (mencapai 95%) yang disertai oleh fraksi-fraksi lainnya dalam jumlah beragam dan pada beberapa kasus, jejakan CO2. Besarnya luas permukaan endapan batubara akibat adanya permukaan permukaan internal, memungkinkan batubara untuk memerangkap secara hidrolik gas metana dalam jumlah yang tidak kalah besarnya. Permukaan ini mampu menyimpan gas hingga enam sampai tujuh kali lebih banyak dibandingkan pada batuan dengan jumlah volume yang sama pada suatu reservoar gas konvensional. Ditinjau dari segi komposisi kimia, permeabilitas dan karakteristik lainnya, batubara sendiri sangat beragam.



Beberapa jenis batubara dapat membangkitkan lebih dari 8.000 SCF gas metana per ton batubara. Endapan batubara yang paling produktif adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut – permeabilitas tinggi, terjenuhkan oleh gas, dan terpecah. Gas metana batubara sendiri dapat diproduksi baik melalui reaksi kimia atau pun sebagai hasil kerja bakteri. Reaksi kimia terjadi melalui proses pemanasan dan tekanan terhadap endapan batubara di suatu basin yang berjalan dalam waktu lama; sementara bakteri memproduksi metana sebagai produk samping dari proses biogenesis batubara. Hampir semua batubara mengandung metana, tetapi tidak semuanya dapat diekstraksi secara ekonomis kecuali terdapat rekahan terbuka yang memberi jalan bagi gas untuk mengalir ke lubang pemboran. 3



Gas metana akan tetap terikat pada endapan batubara selama tebal air lebih tinggi daripada batubara. Pada umumnya rekahan pada batubara terjenuhkan oleh air, sehingga batubara harus mengalami penyaliran (dewatering), biasanya melalui pemompaan, untuk mengalirkan gas yang diikat olehnya. Beberapa jenis batubara tidak pernah menghasilkan gas metana karena memang tidak dapat dewatering secara ekonomis. Beberapa endapan batubara tidak dapat memproduksi gas metana karena posisinya yang terlalu dalam melebihi kelayakan pengeboran. Sumur pemboran sebaiknya memiliki kedalaman tidak lebih dari 1.500 meter. Semakin dalam suatu endapan batubara, semakin sedikit volume air yang terdapat pada rekahannya dan semakin asin sifatnya karena air memiliki kadar garam (salinity) tinggi. Volume kandungan gas umumnya semakin besar dengan meningkatnya mutu batubara, kedalaman endapan, dan tekanan reservoir[6].



Analisis Dampak Lingkungan Berdasarkan lampiran Permen LH tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilaian AMDAL, pengembangan lapangan CBM pada tahap eksploitasi dan pengembangan produksi mencakup; pemboran sumur produksi; pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung; kegiatan operasi produksi; dan pasca operasi. Dampak terhadap setiap komponen tersebut disajikan dibawah ini. 1. Pemboran sumur produksi  Ruang dan Lahan Dampak pendayagunaan CBM terhadap aspek ruang bergantung kepada status dari kawasan dimana kegiatan tersebut berlangsung. Jika kawasan tersebut merupakan kawasan budidaya, kegiatan pendayagunaan CBM tidak akan menimbulkan dampak yang besar, karena kegiatan tersebut digolongkan sebagai kegiatan budidaya. Sebaliknya, jika berada di lokasi nonbudidaya, kegiatan pendayagunaan CBM akan berhadapan dengan kondisi tata ruang di kawasan tersebut, dimana diperlukan perubahan terhadap rencana tata ruang yang ada.



Begitu sistem rekahan menghasilkan air, kapasitas penyerapan batubara akan terlampaui, tekanan berkurang dan gas yang terperangkap dalam matriks batubara akan mengalami desorpsi dan bergerak ke ruang kosong dalam sistem rekahan. Gas akan tetap tersimpan pada reservoir bukan batubara di dekatnya sampai gas tersebut diesktraksi. Pengeboran akan menyalirkan (dewatering) batubara dan mempercepat proses desorpsi. Beberapa sumur diketahui tidak menghasilkan air sama sekali dan segera memproduksi gas, tergantung kepada sifat dari rekahan. Begitu terlepaskan, biasanya gas tidak mengandung sulfur dan memiliki mutu yang memadai untuk secara langsung dipompa dan dialirkan ke pipa untuk penyimpanan dan produksi[7].



Dampak terhadap lahan terutama pada aspek perubahan penguasaan lahan. Bila lahan yang akan digunakan merupakan lahan pertanian atau permukiman, maka perlu dilakukan pemindahalihan penguasaan lahan sebelum kegiatan dapat dilakukan. Disamping ketegangan dalam masyarakat karena perbedaan pendapat berkenaan dengan nilai ganti rugi lahan, pembebasan lahan sering memicu munculnya spekulan tanah yang juga mengakibatkan harga lahan dan biaya 4



ganti rugi menjadi tidak wajar. Kesulitan lainnya, lahan negara sering diakui sebagai hak milik oleh (sekelompok) masyarakat setempat.



dilaksanakan sampai dengan lokasi tambang ditinggalkan. Pada tahapan ini, tingkat kebisingan masih dikategorikan rendah hingga menengah. Sumber kebisingan utama berasal dari aktivitas lalu lintas kendaraan proyek. Kebisingan yang terus menerus dalam waktu yang lama akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.



Hal ini juga akan berakibat dengan pemindahan (relokasi) penduduk dari kawasan yang akan dikembangkan bagi produksi CBM. Relokasi manusia dalam jumlah besar bukan pilihan yang disarankan kecuali sangat terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Selain tidak populer, biaya yang harus dikeluarkan dapat dipastikan akan berjumlah besar dan bisa memicu kontroversi yang akan menghambat pelaksanaan proyek.



3. Kegiatan operasi produksi  Air terproduksi Tantangan utama dari pendayagunaan CBM adalah mengelola dan memanfaatkan limbah air yang dihasilkannya, mengingat jumlahnya yang sangat besar. Sebagai contoh, pada produksi CBM di Powder River Basin yang mencakup dua negara bagian Amerika Serikat (kawasan Southeast Montana dan North Wyoming), air yang diperkirakan ‘dihasilkan’ di North Wyoming saja pada periode 15 tahun depan akan mencapai 1,4 triliun gallon (atau setara dengan 5,299 triliun liter) air, yang dikeluarkan melalui 51.000 sumur produksi. Limbah air ini merupakan konsekuensi logis dari upaya untuk ‘melepaskan’ gas metana dari batubara melalui proses dewatering. Jumlah volume limbah air yang dihasilkan tergantung pada formasi geologi dan batubara di mana kegiatan dilakukan. Pada lokasi yang memiliki kandungan air besar, volume air yang akan dihasilkan (dibuang) juga akan besar.



2. Pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung  Kualitas udara Pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang ekstraksi CBM meliputi pembangunan jalan, bantalan pengeboran, pengadaan tempat buangan air, pemasangan pompa, kompresor, dan pipa. Dampak pendayagunaan CBM terhadap kualitas udara berasal dari produksi partikel halus akibat aktivitas lalu lintas kendaraan proyek selama tahapan konstruksi. Karena kegiatan dilakukan di suatu kawasan yang luas, selama tahapan konstruksi dampak yang dirimbulkan dapat bersifat besar dan penting. Perubahan atau penurunan kualitas udara ini dapat mempengaruhi baik tanaman budidaya maupun non-budidaya, dan kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya[7].



Meski ada sementara pihak yang mengklaim bahwa air yang dihasilkan dari proses ekstraksi CBM umumnya bermutu tinggi, pada kasus-kasus lainnya air terproduksi



 Kebisingan Perubahan tingkat kebisingan terjadi selama kegiatan berlangsung, mulai dari saat pembangunan akan 5



memiliki kandungan garam (salinity) yang tinggi. Ini dikarenakan umumnya endapan batubara dengan kandungan CBM yang layak diekstraksi secara ekonomis berada jauh di bawah permukaan tanah. Pada umumnya, air yang dihasilkan dari proses ekstraksi CBM mengandung nitrat, nitrit, klorida, senyawa organik seperti benzene, toluene, ethylbenzene, berbagai mineral, dan memiliki kandungan padatan terlarut total (Total Dissolved Solids, TDS) yang tinggi, hingga mencapai 170.000 mg/L; dan jumlah tersebut bervariasi tergantung kedalaman batubaranya. Untuk pembanding, rata-rata TDS air laut adalah sekitar 35.000 mg/L. Sedangkan untuk batas limit TDS air keran adalah 500 mg/L, dan untuk irigasi limitnya antara 1.000-2.000 mg/L[8].



dalam bak tersebut. Selesai dari bak kontrol, air terproduksi dialirkan ke waterpond 1, kemudian bercampur dengan muka air tanah dan sisa air hujan. Proses selanjutnya pengaliran ke bioscreen, didalam bioscreen sudah dapat ditemukan organisme seperti pakis, kangkung, kecebong, dan ikan. Dimulai dari sinilah sebagai awal indikasi bahwa air tersebut sudah dapat digunakan kembali atau belum, tetapi tidak hanya sampai disitu untuk mendapatkan hasil apakah air tersebut layak untuk digunakan kembali. Langkah terakhir setelah diendapkan di bioscreen, air terproduksi mengalami filterisasi yang nantinya akan dilakukan pengecekan terhadap kadar kelayakannya. Apabila air tersebut memang sudah layak digunakan kembali, dapat dimanfaatkan untuk perikanan air payau.



Proses penanganan air terproduksi CBM dimulai dari sumur produksi yang menghasilkan gas dan air kemudian di pisahkan (separate), air terproduksi ini yang harus diolah kembali agar tidak mencemari lingkungan. Air terproduksi ini dialirkan ke waterpond 2. Waterpoond merupakan campuran air terproduksi dari sumur dan/atau tercampur dengan air hujan. Di dalam waterpond 2, sudah diberi aerosol untuk mengurangi kadar dari Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solid (TSS) yang tinggi.



Penanganan air terproduksi CBM yang buruk akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas air permukaan yang terdapat di kawasan sekitarnya. Pembuangan secara langsung ke badan air permukaan tidak direkomendasikan karena secara langsung mengubah kesetimbangan fisik dan bioekosistem perairan (sungai, danau, lahan basah), sementara pembuangan langsung ke tanah akan mengurangi bahkan menghilangkan kesuburan tanah.



Kemudian dari waterpond 2, air terprodukssi dialirkan kedalam bak kontrol, dimana dalam bak kontrol terdapat arang, ijuk, dan batubata yang berguna untuk menyaring padatan agar dapat terendapkan



 Air tanah Bagi kawasan-kawasan yang cadangan air tanahnya kecil, pendayagunaan CBM dilaporkan 6



memberikan dampak negatif seperti[5],[7],[9]: (1) Pengurangan kuantitas air tanah; (2) Kontaminasi akuifer oleh air bermutu rendah dari pemboran atau perekahan; (3) Penurunan kuantitas dan pasokan air tanah karena proses dewatering; (4) Kontaminasi air tanah oleh air limbah yang tercemar. Pendayagunaan CBM akan memberikan dampak yang besar dan penting terhadap air tanah. Ini dikarenakan, pada banyak kasus, air yang digunakan untuk dewatering diperoleh dengan memompa air tanah yang kemudian akan dibuang bersamaan dengan diekstraksinya gas CBM. Kajian yang dilakukan oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat menyebutkan bahwa pengaruh pemompaan air dari sumur-sumur CBM mencapai luasan sampai dengan 16 km. Selain itu, pemompaan air tanah juga akan berpengaruh langsung terhadap hewan, tumbuhan, masyarakat, serta sumber air bersih untuk perkotaan dan/atau kegiatan lainnya.



pembuangan dilakukan secara terus menerus, tanah menjadi tidak dapat ditanami dalam kurun waktu yang panjang. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa kerusakan tanah akibat pencemaran oleh air berkadar garam tinggi memerlukan waktu 20 sampai 30 tahun pulih sebelum dapat dimanfaatkan kembali sebagai lahan pertanian[9]. Penanganan yang buruk terhadap air terproduksi CBM juga dapat menimbulkan penggenangan lahan dalam skala besar yang pada gilirannya menimbulkan tuntutan ganti rugi dalam jumlah besar terhadap operator kegiatan.  Kualitas Udara Dampak terhadap kualitas udara ditimbulkan dari air terproduksi. Operasi udara CO2 yang dihasilkan dari pengolahan air terproduki yang membutuhkan banyak energi seperti pompa dan mesin[10]. Hal ini juga dapat digolongakan sebagai salah satu cara air terproduksi berdampak bagi lingkungan melalui emisi udara.  Kebisingan Perubahan tingkat kebisingan terjadi selama kegiatan berlangsung, mulai dari saat pembangunan akan dilaksanakan sampai dengan lokasi tambang ditinggalkan. Tingkat kebisingan tertinggi akan terjadi pada tahapan operasi produksi CBM. Hal ini disebabkan oleh suara yang dihasilkan oleh motor penggerak pompa dan kompresor gas. Kebisingan yang terus menerus dalam waktu yang lama akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pada lokasi eksploitasi yang tidak berpenduduk, kebisingan



Pemompaan air tanah juga akan berpengaruh kepada permukaan tanah, karena pengurasan air tanah dapat mengakibatkan penurunan permukaan air tanah yang memicu penurunan permukaan tanah, meski penurunan tersebut tidak segera terjadi.  Tanah Dampak terhadap tanah bersifat besar dan penting karena air limbah berkadar garam tinggi yang dihasilkan dapat menurunkan, bahkan merusak, kesuburan tanah[9]. Bila 7



hanya akan berpengaruh kepada para pekerja dan satwa liar.



air tanah setempat, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya sumberdaya hayati alami yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kehidupan satwa liar[9]. Selain itu, kerusakan komunitas tumbuhan juga akan menimbulkan peningkatan erosi. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya beban sedimen pada badan-badan air yang pada banyak kasus di Indonesia memang sudah buruk kualitasnya. Padahal badan-badan air tersebut digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai sumber untuk keperluan rumah tangga.



4. Pasca operasi  Sumberdaya Hayati (Biologi) Pendayagunaan CBM akan menimbulkan dampak terhadap sumberdaya hayati, baik yang bersifat budidaya (tanaman pertanian) maupun alami. Dampak yang ditimbulkan bisa terjadi mulai dari tingkat spesies sampai dengan ekosistem, dimana dampak terbesar yang mungkin terjadi ialah rusaknya keberadaan flora sehingga menyebabkan bergesernya habitat fauna.



KESIMPULAN



Dampak langsung terhadap sumberdaya hayati dapat terjadi bila limbah air berkadar garam tinggi dibuang langsung ke lingkungan dan tidak ada upaya untuk mengolahnya terlebih dahulu. Peningkatan kadar garam secara drastis pada badanbadan air permukaan akibat dari kegiatan produksi CBM dapat mengganggu kesetimbangan fisik dan biologi yang pada gilirannya akan mengganggu pasokan sumberdaya hayati bernilai ekonomis seperti, ikan yang pada gilirannya akan mematikan kegiatan usaha penangkapan ikan. Pembuangan air secara langsung ke lingkungan darat (terrestrial) akan menurunkan atau menghilangkan kesuburan tanah yang pada gilirannya akan mengganggu produksi pertanian[9]. Selain itu, dampak tidak langsung juga dapat terjadi ketika pasokan atau mutu air tanah berubah atau menurun karena kegiatan.



Dari tinjauan ringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan timbulnya dampak negatif terhadap komponen lingkungan fisik pada pendayagunaan CBM adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Tantangannya adalah bagaimana agar dampak-dampak tersebut dapat diminimalkan pengaruhnya.  Dari aktivitas pemboran sumur produksi, dampak lingkungan yang mungkin timbul adalah dampak terhadap aspek ruang dan lahan. Dampak terhadap aspek ruang bergantung kepada status dari kawasan dimana kegiatan tersebut berlangsung. Sementara, dampak terhadap lahan ditinjau pada aspek penguasaan lahan, berkaitan dengan relokasi penduduk dari kawasan yang akan dikembangkan.  Dari aktivitas pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung, dampak lingkungan yang mungkin timbul adalah dampak terhadap aspek kualitas udara dan kebisingan. Dampak terhadap aspek kualitas udara dan kebisingan berasal dari produksi partikel halus akibat aktivitas lalu lintas



Bagi komunitas tumbuhan yang berasosiasi atau ditunjang oleh sistem 8



kendaraan proyek selama tahapan konstruksi.  Dari aktivitas operasi produksi, air yang terproduksi merupakan dampak paling penting untuk diperhatikan dan dikelola dengan baik. Penanganan air terproduksi yang buruk akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas air permukaan yang terdapat di kawasan sekitarnya. Disarankan untuk membangun sarana desalinasi untuk menurunkan kadar garam sehingga memenuhi ketentuan buangan air limbah yang aman untuk kemudian dialirkan secara langsung.  Dampak lain yang mungkin timbul dari aktivitas operasi produksi adalah dampak terhadap air tanah, tanah, kualitas udara, dan juga kebisingan. Dampak terhadap air tanah berpengaruh kepada penurunan muka air tanah yang dapat memicu penurunan permukaan tanah. Dampak terhadap tanah berpengaruh kepada tingkat kesuburan tanah. Dampak terhadap kualitas udara ditimbulkan dari air terproduksi. Dampak terhadap kebisingan disebabkan oleh suara yang dihasilkan oleh motor penggerak pompa dan kompresor gas.  Pasca operasi, pendayagunaan CBM akan menimbulkan dampak terhadap sumberdaya hayati, baik yang bersifat budidaya maupun alami. Dampak terbesar yang mungkin ditimbulkan ialah rusaknya keberadaan flora sehingga menyebabkan bergesernya habitat fauna.



Indonesia terutama pada kualitas air, tanah, dan udara sehingga pengembangan ini tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.  Perlu dipikirkan penanggulangan untuk mengurangi tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh setiap pompa dan pengoperasian sarana terkait lainnya, yang mampu memenuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. Salah satunya, melalui pembangunan peredam di sekeliling sumur dan pompa.



DAFTAR PUSTAKA 1. Puslitbang Teknologi Mineral & Batubara. 2005. Batubara Indonesia, 10 hal. Diakses melalui situs jaringan http://www/tekmira.esdm.go.id/ pada tanggal 24 November 2016 pukul 21.40 WIB. 2. Ringkasan Eksekutif Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional. 2008. 3. Diakses melalui situs jaringan http://beritaiklim.wordpress.com/ pada tanggal 24 November 2016 pukul 15:48 WIB. 4. Diakses melalui situs jaringan http://cbm-indonesia.blogspot.co.id/ pada tanggal 24 November 2016 pukul 15:56 WIB. 5. Anderson Zur Muchlen & Co., P.C. 2001. Coalbed Methane Development – Powder River Basin of Montana: Economic and Social Impacts of Proposed Development. 6. Robinson, K. & Bauder, J. 2001. A Novice’s Introduction to Coalbed Methane. Bozeman: Montana State University, Department of Land Resources and Environmental Sciences. Diakses melalui situs jaringan http://waterquality.montana.edu/ pada



SARAN  Pengembangan CBM merupakan salah satu solusi alternatif dalam menghadapi krisis energi yang dihadapi oleh Indonesia. Namun, pengembangan ini harus memerhatikan dampak lingkungan yang akan dihadapi 9



tanggal 24 November 2016 pukul 16.04 WIB. 7. Bryner, G. 2002. Coalbed Methane Development in the Intermountain West: Primer. Denver: Natural Resources Law Center, University of Colorado School of Law, 50p. 8. Rice, C.A., Ellis, M.S., and Bullock, J.H., Jr. 2000. Water co-produced with Coalbed Methane in the Powder River Basin. Wyoming: Preliminary compositional data: U.S. Geological Survey Open-File Report 00-372, 20p. 9. Griffiths, M. & Severson-Baker, C. 2003. Unconventional Gas: The Environmental Challenges of Coalbed Methane Development on Alberta. Drayton Valley, Alberta, Canada: The Pembina Institute, hal 71. 10. M. Reed, S. Johnsen. 1996. Produced Water 2 Environmental Issues and Mitigation Technologies. New York: Springer Science & Business Media.



10