Analisis Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Bidang Pertambangan Dengan Menggunakan Model Altman Z [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Farha
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1 JUDUl : PERBANDINGAN TINGKAT KEAKURATAN MODEL PREDIKSI KEBANGKRUTAN (MODEL ALTMAN, SPRINGATE, ZMIJEWSKI, GROVER, DAN OHSLON) PADA PERUSAHAAN DELISTING DARI BURSA EFEK INDONESIA



1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan merupakan suatu organisasi yang orientasi utamanya ialah mendapatkan profit yang maksimal, namun untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan mengalami berbagai kendala baik itu kendala yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan. Manajemen perusahaan perlu menentukan strategi untuk mengatasi kendala dan hambatan tersebut agar profit perusahaan



mengalami



kenaikan



dan



tidak



mengalami



penurunan



(Dzulkiron dan Endang ; 2015). Perusahaan yang ingin tetap berkembang dituntut adanya manajemen yang berkualitas untuk mengelola perusahaan dan melihat peluang yang ada sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Dengan penggunaan laporan keuangan dalam menganalisis kondisi keuangan perusahaan secara menyeluruh dapat menjadi media informasi yang



digunakan



para



investor



untuk menanamkan



dananya



pada



perusahaan (Aprilaningsih ; 2015) Dalam kurun waktu 8 (Delapan) tahun sejak bergabungnya Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada tahun 2009, sampai dengan 2016 Bursa Efek Indonesia telah mendelisting 28 perusahaan. Masalah delisting di bursa efek menjadi masalah yang ambigu, disisi lain pemerintah melalui badan otoritas pasar modal mendorong terbentuknya modal yang besar



2 lewat bursa namun di lain sisi munculnya fenomena delisting akan membuat kepercayaan pasar terhadap perusahaan yang terdaftar di bursa akan merosot (Husain ; 2016). Hal ini akan membuat investor semakin cenderung untuk bertransaksi pada hanya sebagian kecil saham yang di anggap aman saja untuk menghindari resiko rugi, rerata 95% dari total nilai transaksi pertahun dan 90% kapitalisasi di pasar regular di dominasi oleh LQ45 (Pakiding ; 2014). Kebangkrutan adalah kondisi dimana sebuah perusahaan tidak lagii mampu untuk mengoprasikan perusahaan dengan baik, karena adanya financial distress yang dialami oleh entitas tersebut sudah sangat parah. Financial distress biasanya menjadi tahap awal terjadinya kebangkrutan suatu perusahaan yang ditandai dengan adanya ketidakpastian profitabilitas pada masa yang akan datang. Penyebab umum terjadinya kebangkrutan pada perusahaan adalah turunnya tingkat penjualan, penurunan penjualan itu sendiri bisa menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan perusahaan dan berdampak pada turunnya laba. Apabila perusahaan tidak mampu mendeteksi hal tersebut tidak menutup kemungkinan perusahaan akan mengalami kerugian dan akhirnya bangkrut (Prihadi 2011:331 dalam Kasanah ; 2015). Menurut penelitian Gamayuni (2011) dalam Prihantini (2013), penyebab kebangkrutan dapat berasal dari faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor internal antara lain kurangnya pengalaman manajemen, kurangnya pengetahuan dalam mempergunakan asset dan liabilities secara efektif. Sedangkan faktor eksternal yaitu inflasi, sistem pajak dan hukum, depresiasi mata uang asing, dan alasan lainnya, sehingga dengan melihat faktor internal dan eksternal tersebut dapat



3 simpulkan



apakah



perusahaan



berpotensi



atau



tidak



mengalami



kebangkrutan. Menurut Setyorini dan Ardiati (2006), potensi kebangkrutan termasuk dalam kondisi kesulitan keuangan yang tingkat kesulitannya lebih besar daripada kesulitan likuiditas (technical insolvency), yang dimaksud di sini adalah perusahaan hanya tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan sementara waktu. Potensi kebangkrutan dapat diketahui dari nilai atau index yang dihitung melalui model prediksi kebangkrutan. Model – model prediksi kebangkrutan dikembangkan dengan teknik Multiple Discriminant Analysis (MDA) dengan cara mengkombinasikan beberapa macam rasio keuangan dalam suatu persamaan. Beberapa model prediksi kebangkrutan telah teruji akurasinya dalam memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan (Jayanti ; 2013). Berbagai analisis dikembangkan untuk memprediksi awal kebangkrutan perusahaan. Beberapa alat deteksi kebangkrutan yang dapat digunakan yaitu model Altman Z-score (1968), model Springate (1978), model Zmijewski (1983), model Ohslon (1980) serta model Grover yang diciptakan melalui penilaian dan pendesainan ulang terhadap model Altman, dimana analisis ini mengacu pada rasio-rasio keuangan perusahaan. Rasio menggambarkan



suatu



hubungan



atau



pertimbangan



(mathematical



relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisa berupa rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu perusahaan terutama apabila angka ratio pembanding yang digunakan sebagai standar (Munawir, 2007:64).



4 Berdasarkan



model prediksi diatas terdapat perbedaan pada hasil



prediksi, penelitian Prihartini (2013) menyatakan Model Grover merupakan model prediksi yang paling sesuai diterapkan pada perusahaan Food and Beverage yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) karena model ini memiliki tingkat keakuratan yang paling tinggi dibandingkan dengan model prediksi lainnya yaitu sebesar 100%. Sedangkan model Altman Z-Score memiliki tingkat akurasi sebesar 80%, model Springate 90% dan model Zmijewski sebesar 90%. Selain itu Fatmawati (2012) menyatakan model Zmijewski



lebih



akurat



dalam



memprediksi



perusahaan



delisting,



dibandingkan dengan Model Altman dan model Springate. Sedangkan penelitan Purnajaya (2014) menyatakan terdapat perbedaan potensi kebangkrutan industri kosmetik yang terdaftar di BEI dengan model Altman, Zmijeski dan Springate. Dzulkiron, Endang (2015), menggunakan data laporan



keuangan



untuk



menganalisis



kebangkrutan



Perusahaan



Manufaktur yang Delisting dari BEI Periode 2012-2014). Metode analisis yang digunakan yaitu metode Altman Z-score. Metode tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kesehatan perusahaan dengan menyuguhkan informasi tingkat risiko yang dihadapi perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengangkat masalah ini dengan mengambil judul “Perbandingan Tingkat Keakuratan Model Prediksi Kebangkrutan (Model Altman, Springate, Zmijewski, Grover, dan Ohslon) Pada Perusahaan Delisting dari Bursa Efek Indonesia”



1.2 Identifikasi Masalah Efektivitas suatu model prediksi kebangkrutan akan dapat teruji ketika suatu perusahaan yang diramal telah mengalami kebangkrutan. Jika



5 beberapa tahun sebelum kebangkrutan terjadi, formula tersebut telah memberikan sinyal yang menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan, maka pada saat kebangkrutan benar-benar terjadi, formula tersebut benar-benar efektif. Tetapi jika sinyal kebangkrutan tersebut tidak muncul sama sekali, maka formula tersebut kurang efektif untuk diterapkan di industri tertentu di wilayah suatu Negara. 1.3 Rumusan masalah Berdasarkan penelitian terdahulu dan fakta-fakta empiris yang ada, penelitian ini mencoba meneliti kembali perbandingan tingkat keakuratan model prediksi kebangkrutan (model Altman, Springate, Zmijewski, Grover, dan Ohslon) penelitian terdahulu yang dilakukan oleh



Prihartini (2013)



menyatakan Model Grover merupakan model prediksi yang paling sesuai diterapkan pada perusahaan Food and Beverage yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) karena model ini memiliki tingkat keakuratan yang paling tinggi dibandingkan dengan model prediksi lainnya yaitu sebesar 100%. Sedangkan model Altman Z-Score memiliki tingkat akurasi sebesar 80%, model Springate 90% dan model Zmijewski sebesar 90%. Selain itu Fatmawati (2012) menyatakan model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan delisting, dibandingkan dengan Model Altman dan model Springate. Sedangkan penelitan Purnajaya (2014) menyatakan terdapat perbedaan potensi kebangkrutan industri kosmetik yang terdaftar di BEI dengan model Altman, Zmijeski dan Springate. Berdasarkan fakta Sebelumnya, maka rumusan masalah dinyatakan dalam pertanyaan sebagai berikut:



6 1. Manakah model prediksi kebangkrutan yang paling akurat (Model Altman, Springate, Zmijewski, Grover, dan Ohslon) ?



1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut; 1. Menganilisis



tingkat



keakuratan



pada



model



Altman,



Springate,



Zmijewski, Grover, dan Ohslon dalam memprediksi kebangkrutan. 2. Menganalisis model prediksi kebangkrutan yang paling akurat.



1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka penelitian mengenai perbandingan tingkat keakuratan model prediksi kebangkrutan (model altman, springate, zmijewski, grover, dan ohslon) pada perusahaan delisting dari bursa efek indonesia memberikan manfaat antara lain ; 1. Secara akademis, sebagai salah satu syarat untuk mencapai studi program strata 1 (S1) pada fakultas ekonomi dan bisnis Universitas Mataram. 2. Secara ilmiah, dapat dijadikan sarana bagi peneliti sebagai kajian untuk memperdalam pengetahuan peneliti serta



hasil penelitian dapat



memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan penelitian dengan masalh yang sama. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak khusunnya investor dalam menggunakan model prediksi kebangkrutan



yang



paling



akurat



untuk



pengambilan keputusan investasi yang optim



pertimbangan



dalam



7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 HJT (Human Judgement Theory) Human judgment theory menjelaskan bagaimana cara orang-orang menggunakan dan memproses informasi akuntansi terhadap suatu fakta dalam konteks pengambilan keputusan. Tujuan dari penelitian dalam model ini lebih sering menjelaskan dan memprediksi perilaku pada individu atau grup. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Penelitian HJT memiliki dasarnya dalam literatur psikologi dari Ward Edwards pada tahun 1954 (Godfrey, Jayne et al. 2010 dalam Ngatijah 2016).



2.1.2



Teori Signalling (Signalling theory)



Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Menurut Jogiyanto (2000:392), informasi yang dipublikasian sebagai suatu pengumuman akan



memberikan signal bagi investor dalam



pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai



positif,



maka



diharapkan



pasar



pengumuman tersebut diterima oleh pasar.



akan



bereaksi



pada



waktu



8 Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima



informasi



tersebut,



pelaku



pasar



terlebih



dahulu



menginterpretasikan dan menganilis informasi tersebut sebagai signal yang baik (good news) atau signal buruk (bad news) jika pengumuman tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi perubahan volume perdagangan saham.



2.2 Laporan Keuangan Menurut Sutrisno (2005:227) hasil akhir dari proses pencatatan keuangan adalah laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan cermin dari prestasi manajemen pada satu periode tertentu. Dengan melihat laporan keuangan suatu perusahaan kita bisa melihat bagaimana prestasi manajemen dalam periode tersebut. Namun, bila hanya melihat laporan keuangan, belum bisa mencerminkan prestasi yang sebenarnya. Munawir (2008:19) mengemukakan bahwa hasil akhir dari proses akuntansi adalah seperangkat laporan yang dinamakan laporan keuangan (financial statements). Dari proses tersebut dilahirkan tiga laporan utama, yaitu (1) balance sheet atau statement of financial position atau neraca, (2) income statement atau laporan laba rugi, dan (3) statement of cash flows atau laporan arus kas, dan sebagai tambahan dapat pula disusun laporan perubahan modal. Laporan keuangan bersifat historis, menyeluruh dan merupakan suatu progress report, yang merupakan hasil kombinasi antara fakta yang tercatat, prinsip-prinsip dan anggaran serta konvensi atau kebiasaan-kebiasaan dalam akuntansi, dan pendapat pribadi.



9 2.3 Tujuan Laporan Keuangan Tujuan utama dari laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi yang relevan pada pihak-pihak di luar perusahaan. Pada 1978 Financial Accounting Standards Board (FASB) mengeluarkan pernyataan resmi tentang tujuan laporan keuangan. Secara garis besar, tujuan utama dari pernyataan tersebut menyatakan bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi: a. Yang bermanfaat bagi investor maupun calon investor dan kreditor dalam mengambil keputusan investasi dan keputusan kredit yang rasional. b. Yang menyeluruh kepada mereka yang mempunyai pemahaman yang memadai c. Tentang bisnis maupun aktivitas ekonomi suatu entitas bagi yang menginginkan untuk mempelajari informasi tersebut. d. Tentang sumber daya ekonomi milik perusahaan, asal sumber daya tersebut, serta pengaruh transaksi atau kejadian yang merubah sumber daya dan hak atas sumber daya tersebut. e. Tentang kinerja keuangan perusahaan dalam suatu periode. f. Untuk membantu pemakai laporan keuangan dalam mengakses jumlah, waktu dan ketidak-pastian penerimaan kas dari deviden atau bunga dan penerimaan dari penjualan atau penarikan kembali surat berharga atau pinjaman. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994), tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut



10 posisi



keuangan,



kinerja



serta



perubahan



posisi



keuangan



suatu



perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.



2.4 Pihak-Pihak Pengguna Laporan Keuangan Menurut PSAK No. 1 (Harahap, 2009: 134) dalam Restmen Rompon (2012) Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah untuk memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas, perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan – keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas 15 penggunaan sumber – sumber daya yang dipercayakan kepada mereka dalam



rangka



mencapai tujuan



tersebut,



suatu



laporan



keuangan



menyajikan informasi mengenai perusahaan yang meliput: 1) aktiva, 2) kewajiban, 3) ekuitas, 4) pendapatan, beban termasuk keuntungan dan kerugian, 5) arus kas. Pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemakai laporan keuangan adalah: manajemen, investor atau kreditor, supplier, pelanggan, karyawan, pemerintah dan masyarakat umum. Masing-masing dari pihak yang berkepentingan mempunyai kepentingan yang berbedabeda sebagaimana diuraikan sebagai berikut: a. Manajemen. Membutuhkan informasi akuntansi keuangan selain sebagai dasar



perencanaan,



pengendalian,



dan



pengambilan



keputusan



keuangan, operasi dan investasi, juga diperlukan dalam rangka untuk penentuan insentif, penilaian kinerja karyawan, pendapatan per lembar saham, earning ratio, dan distribusi laba.



11 b. Investor, Kreditor dan Pemegang Saham. Pihak yang menginvestasikan modalnya membutuhkan informasi tentang sejauh mana kelancaran aktivitas dan profitabilitas perusahaan, potensi dividen, karena dengan informasi



tersebut



pemegang



saham



dapat



memutuskan



untuk



mempertahankan, menjual, atau bahkan menambah sahamnya. c. Supplier



dan



Lender.



Pemasok



atau



pemberi



pinjaman



dalam



pengambilan keputusan memberi kredit atau tidak, mereka akan mempertimbangkan likuiditas, provitabilitas, leverange, jumlah utang dibanding dengan modal atau debt equity ratio. d. Pemerintah. Pemerintah memerlukan informasi akuntansi keuangan dalam



rangka



untuk



peningkatan



pelaksanaan



kontrak-kontrak



menentukan



kepatuhan



pendapatan,



pemerintah,



organisasi



atau



untuk memonitor



penentuan perusahaan



tarif,



dan



terhadap



perundang-undangan yang berlaku. e. Karyawan. Karyawan berkepentingan tentang kelangsungan usaha dan profitabilitas operasi, memonitoring kelangsungan program pensiun, serta menjadikan laporan keuangan sebagai dasar kontrak antara karyawan dan perusahaan dalam penentuan bonus atau pembagian keuntungan. f. Pelanggan atau Konsumen. Laporan keuangan merupakan sumber informasi



bagi



pelanggan



atau



konsumen



dan



supplier



dalam



menyimpulkan kelangsungan perusahaan. g. Pihak-Pihak Lain. Adalah badan-badan atau pihak-pihak yang peduli lingkungan, akademisi atau perguruan tinggi, atau masyarakat umum,



12 dan kelompok-kelompok khusus yang mencoba untuk mempengaruhi perusahaan berkaitan dengan keuangannya atau urusan-urusan lain. 2.5 Analisis Laporan Keuangan Analisis Laporan keuangan menurut Harahap (2009:333) adalah menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data non-kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat. Analisis laporan keuangan perlu dilakukan karena sangat bermanfaat bagi



para analis untuk dapat mengetahui keadaan dan perkembangan



keuangan dari perusahaan. Manajemen perusahaan sangat membutuhkan analisis laporan keuangan untuk mengetahui keadaan dan perkembangan keuangan perusahaan yang dipimpinnya. Manajemen dapat dengan mudah mengetahui pencapaian yang telah diraih pada masa lalu dan masa yang sedang berjalan sehingga dapat menentukan tindakan yang akan diambil untuk masa yang akan datang. Analisis laporan keuangan dilakukan dengan menganalisa masing-masing pos yang terdapat di dalam laporan keuangan dalam



bentuk



rasio



posisi



keuangan



dengan



tujuan



agar



dapat



memaksimalkan kinerja perusahaan untuk masa yang akan datang. Dalam menganalisis dan menilai posisi keuangan, kemajuan-kemajuan serta potensi



dimasa



mendatang,



faktor



utama



yang



pada



umumnya



mendapatkan perhatian oleh para analisis adalah (1) likuiditas, yang menunjukkan



kemampuan



perusahaan



untuk



memenuhi



kewajiban



13 keuangannya yang harus segera dipenuhi dalam jangka pendek atau saat jatuh tempo, (2) solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, apabila perusahaan



tersebut



dilikuidasi,



(3)



rentabilitas



(profitability),



yang



menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam periode tertentu, serta yang ke (4) yang tidak kalah pentingnya adalah stabilitas dan perkembangan usaha, dan fokus-fokus analisis lainnya (Munawir, 2002: 56- 57).



2.6 Kesulitan Keuangan Kegagalan mempunyai makna yang bermacam-macam, ada yang dikaitkan dengan kepailitan dan pembubaran perusahaan, ada pula yang tidak perlu dikaitkan dengan kepailitan usaha. Kegagalan suatu perusahaan diartikan



dengan



ketidakseimbangan



antara



pendapatan



dengan



pengeluaran. Selain itu juga bias diartikan; biaya modal perusahaan lebih besar dari tingkat laba atas biaya historis investasi. Sering juga terjadi realisasi laba yang diterima perusahaan tidak dapat menutup biaya karena jumlahnya ternyata tidak sebesar yang diharapkan atau direncanakan. Secara umum, kegagalan ekonomi perusahaan dapat ditafsirkan secara luas. Belum ada konsensus dalam mendefinisikan kegagalan ekonomi secara tepat (Weston dan Copeland, 1992:420-421) dalam Fadhilah Maulidya Ikhsan (2016). Kegagalan keuangan dapat diartikan (Blum 1974) dalam Fadhilah Maulidya Ikhsan (2016) sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar



kewajiban



keuangannya



pada



saat



jatuh



tempo



yang



menyebabkan perusahaan mengalami kebangkrutan, atau menyebabkan



14 terjadinya perjanjian khusus dengan para kreditor untuk mengurangi atau menghapus utangnya. Kesulitan keuangan (financial distress) untuk menunjukkan adanya masalah likuiditas yang parah yang tidak dapat dipecahkan tanpa melalui penjadwalan kembali secara besar-besaran terhadap operasi dan struktur perusahaan (Foster 1986). Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1998 mengartikan kebangkrutan sebagai suatu situasi yang dinyatakan pailit oleh keputusan pengadilan. Secara garis besar penyebab kebangkrutan biasa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal manajemen perusahaan. Menurut Darsono dan Ashari (2005;102), faktor internal yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi: a. Manajemen



yang



tidak



efisien



akan



mengakibatkan



kerugian



terusmenerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar



kewajibannya.



Ketidakefisienan



ini



diakibatkan



oleh



pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan, dan keahlian manajemen. b. Ketidakseimbangan utangpiutang



yang



dalam



modal



dimiliki.



yang



Utang



dimiliki



yang



dengan



terlalu



besar



jumlah akan



mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa mengakibatkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan



merugikan karena asset yang menganggur terlalu banyak



sehingga tidak menghasilkan pendapatan. c. Moral Hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen



perusahaan



bisa



mengakibatkan



kenbangkrutan.



15 Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Menurut Darsono dan Ashari (2005;103-104), faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan yaitu: a. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. b. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. c. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada debitur dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak asset yang menganggur



yang



tidak



memberikan



penghasilan



sehingga



mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. d. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. e. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. f. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat tanda-tanda kesulitan keuangan dapat diamati dari pihak eksternal, misalnya: a. Penurunan jumlah deviden yang dibagikan kepada pemegang saham selama beberapa periode berturut-turut.



16 b. Penurunan laba secara terus-menerus bahkan perusahaan mengalami kerugian. c. Ditutup atau dijualnya satu atau lebih unit usaha d. Pemecatan pegawai secara besar-besaran. e. Harga di pasar mulai menurun secara terus-menerus. Sebaliknya, beberapa indikator yang dapat diketahui dan harus diperhatikan oleh pihak internal perusahaan adalah: a. Turunnya volume penjualan karena ketidakmampuan manajemen dalam menerapkan kebijakan dan strategi. b. Turunnya kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan. c. Ketergantungan terhadap utang. Utang perusahaan sangat besar, sehingga biaya modalnya juga membengkak.



2.7 Rasio Keuangan Macam-macam rasio digunakan untuk mengukur kinerja operasi dan untuk mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam mengatur sales, costs, collections, dan inventory. Rasio kinerja dapat dibedakan dari rasio yang mengukur



sebuah



kinerja



keuangan



perusahaan



yang



melibatkan



penggunaan ekuitas. Kinerja operasi dapat dibedakan dari pengukuran resiko keuangan yang digunakan oleh bank-bank dan kreditor-kreditor lain untuk menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki likuiditas yang cukup dalam membayar tagihannya (Vance, 2003). Rasio keuangan atau financial ratio sangat penting gunanya untuk melakukan analisa terhadap kondisi keuangan perusahaan. Bagi investor jangka pendek dan menengah pada umumnya lebih banyak tertarik kepada kondisi keuangan jangka



17 pendek dan kemampuan perusahaan untuk membayar deviden yang memadai. Menurut Margaretha (2004:22), penganalisaan rasio keuangan ada beberapa cara, di antaranya : a. Analisis horisontal/trend analysis, yaitu membandingkan rasio-rasio keuangan perusahaan dari tahun-tahun yang lalu dengan tujuan agar dapat dilihat trend dari rasio-rasio perusahaan selama kurun waktu tertentu. b. Analisis vertikal, yaitu membandingkan data rasio keuangan perusahaan dengan rasio semacam dari perusahaan lain yang sejenis atau standar industri untuk waktu yang sama. Sedangkan menurut Riyanto (2010:329), dalam mengadakan analisis rasio keuangan pada dasarnya dapat melakukannya dengan 2 macam cara pembandingan, yaitu : a. Membandingkan rasio sekarang (present ratio) dengan rasio-rasio dari waktu-waktu yang lalu (rasio historis) atau dengan rasio-rasio yang diperkirakan untuk waktu-waktu yang akan datang dari perusahaan yang sama.



Dengan



cara



pembanding



ini



akan



dapat



diketahui



perubahanperubahan dari rasio tersebut dari tahun ke tahun. Kalau diketahui perubahan dari angka rasio tersebut maka dapatlah diambil kesimpulan mengenai tendensi atau kecenderungan keadaan keuangan serta hasil operasi perusahaan yang bersangkutan. b. Membandingkan rasio-rasio dari suatu perusahaan dengan rasio-rasio semacam dari perusahaan lain yang sejenis atau industri (rasio industri/rasio standar) untuk waktu yang sama. Dengan cara ini akan



18 dapat diketahui apakah perusahaan yang bersangkutan dalam aspek keuangan tertentu berada di atas rata-rata industri, berada pada ratarata atau terletak dibawah rata-rata industri. Menurut Fahmi (2011:133), untuk dapat menginterpretasikan hasil perhitungan rasio, maka diperlukan adanya pembanding. Pada pokoknya ada dua cara yang dapat dilakukan dalam membandingkan rasio keuangan perusahaan, yaitu: a. Cross sectional approach, merupakan suatu cara mengevaluasi dengan jalan membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya yang sejenis pada saat bersamaan. b. Time series analysis, merupakan suatu cara dengan membandingkan rasio- rasio keuangan perusahaan dari satu periode ke periode lainnya. Pembanding antara rasio yang dicapai saat ini dengan rasio-rasio pada masa lalu akan memperhatikan apakah perusahaan mengalami kemajuan atau kemunduran. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tambahan dua pendekatan rasio yaitu Debt to Total Assets Ratio dan Efficiency Ratio. Debt to Total Assets Ratio (DAR) adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat solvabilitas perusahaan. Tingkat solvabilitas perusahaan adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka panjang perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dikatakan solvabel berarti perusahaan tersebut memiliki aktiva dan kekayaan yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Rasio ini menunjukkan besarnya total hutang terhadap keseluruhan total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Rasio ini merupakan persentase dana yang diberikan oleh kreditor bagi perusahaan.



19 Rasio hutang bisa berarti buruk pada situasi ekonomi sulit dan suku bunga tinggi, dimana perusahaan yang memiliki rasio hutang yang tinggi dapat mengalami masalah keuangan, namun selama ekonomi baik dan suku bunga rendah maka dapat meningkatkan keuntungan. Nilai rasio yang tinggi



menunjukkan



peningkatan



dari



resiko



pada



kreditor



berupa



ketidakmampuan perusahaan membayar semu kewajibannya. Menurut Darsono (2005), dari pihak pemegang saham, rasio yang tinggi akan mengakibatkan pembayaran bunga yang tinggi yang pada akhirnya akan mengurangi pembayaran dividen. Sedangkan rasio efisiensi digunakan untuk melihat sampai seberapa jauh efisiensi dan efektivitas penggunaan dana dan biaya. Biasanya biaya tersebut diperbandingkan dengan hasil penjualan. Rasio ini tidak lain adalah besarnya laba atau rugi yang diperoleh perusahaan yang dinyatakan dalam presentase.



2.8 Model Prediksi Kebangkrutan 2.8.1



Model Altman Z-Score Seorang professor di New York University, Edwart Altman, melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan perusahaan yang mengalami kebangkrutan dengan kinerja keuangan yang sehat. Hasil penelitian ini dirumuskan dalam suatu rumus matematis yang disebut denga rumus Altman Z-Score. Rumus ini menggunakan komponen laporan keuangan sebagai alat prediksi terhadapkemungkinan bangkrut tidaknya perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005:105). Model Altam Z-Score merupakan suatu metode yang digunakan dalam memprediksi tingkat kebangkrutan suatu perusahaan. Metode



20 ini menggunakan rasio keuangan seperti working capital to total aaset, retained earning to total asset, earning before interest and taxes, book value of debt to maeket value of equity, sales to total asset. Altman menggunakan multivariable discriminant analysis untuk mengemukan



rasio-rasio



keuangan



yang



berguna



dalam



memprediksi kebangkrutan pada suatu perusahan. Menurut Wardhani (2007: 33-34) rasio-rasio keuangan model Altman Z-Score adalah: a. Modal kerja terhadap total asset (working capital to total aaset)



(X1) digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relative terhadap total kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban pendeknya. Indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikatorindkator internal seperti ketidakcukupan kas, utng dagang membengkak, utilisasi modal menurun, penambahan utang yang tak terkendali, dan beberapa indicator lainnya. b. Laba ditahan terhadap total asset (retained earning to total asset)



(X2) digunakan untuk mengukur profitailitas kumulatif. Rasio ini mengukur



akumulasi



laba



perusahaan



beroperasi.



Umur



perusahaan berpengaruh terdapat rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relative muda pada umumnya akan menunjukkan



21 hasil yang rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada masa awal berdirinya. c. Pendapatan sebelum pajak dan bunga (earning before interest



and taxes) (X3) digunakan untuk mengukur produksivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan contributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indicator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan prifitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi terusmenerus, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang sert kesedian memberi kredit pada konsumen yang tidak dapat membayar pada waktu yan ditetapkan. d. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari hutang (book value of



debt to maeket value of equity) (X4) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar dari pada aktivanya dan perusahaan menjadi pailit. Modal yan gdimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang. e. Pejualan terhadap total asset (sales to total asset) ( X5)



digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan



22 manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilka penjualan. Fungsi diskriminan Z (Zeta) yang ditemukan Altman adalah: Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,999 X5 Keterangan: X1 = Modal Kerja Bersih/Total Asset (Net Working Capital/Total Assets) X2 = Laba Ditahan/Total Asset (Retained Earning/Total Assets) X3 = EBIT/Total Asset (Earning Before Interest and Taxes/Total Assets) X4 = Nilai Pasar Modal Sendiri/Nilai Pembukuan Total Utang (Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities) X5 = Penjualan/Total Asset (Sales/Total Assets) Kriteria Penilaiaan sebagai berikut: 1. Jika perusahaan mempunyai hasil Z-score > 2,99 maka



diprediksi perusahaan sehat atau tidak mengalami kesulitan keuangan. 2.



Jika perusahaan memperoleh hasil Z-score < 1,81 maka diprediksi perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan mengalami kebangkrutan.



3. Jika perusahaan memperoleh hasil 2,99



> Z-score > 1,81



maka diprediksi perusahaan kurang sehat atau mengalami kesulitan keuangan dan bila manajemen tidak memperbaiki kinerjanya akan berakibat fatal bagi perusahaan.



23 2.8.2



Model Springate S-Score Springate merumuskan model prediksi kebangkrutan pada tahun 1978. Dalam perumusannya, Springate menggunakan metode Multiple Discriminant Analysis (MDA) (Springate, 1978 dalam Hadi dan Anggraeni, 2008). Pada awalnya Sscore terdiri dari 19 rasio keuangan yang popular. Setelah melalui uji Springate memilih 4 rasio yang



dipercaya



bisa



membedakan



antara



perusahaan



yang



mengalami kebangkrutan dan yang tidak mengalami kebangkrutan (Springate, 1978 dalam Hadi dan Anggraeni, 2008). Model ini dapat digunakan



untuk



memprediksi



kebangkrutan



dengan



tingkat



keakuratan 92,5% (Springate, 1978 dalam Hadi dan Anggraeni, 2008). Model yang dihasilkan adalah sebagai berikut: S-Score = 1,03 X1 + 3,07 X2 + 0,66 X3 + 0,4 X4 Keterangan: X1 = Rasio modal kerja terhadap total aset X2 = Rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset X3 = Rasio laba sebelum pajak terhadap hutang lancar X4 = Rasio penjualan terhadap total aset Springate mengklasifikasikan perusahaan bangkrut jika memiliki skor kurang dari 0,862 (S < 0,862). Sebaliknya, jika hasil perhitungan S-Score melebihi atau sama dengan 0,862 (S ≥ 0,862) maka perusahaan keuangan.



diklasifikasikan



perusahaan



yang



sehat



secara



24 2.8.3



Model Zmijewski (1984) Sampel yang digunakan Zmijewski (1984) berjumlah 840 perusahaan, terdiri dari 40 perusahaan yang mengalami financial distress dan 800 yang tidak mengalami financial distress. Data dikumpulkan dari tahun 1972-1978. Metode statistik yang digunakan Zmijewski (1984) sama dengan yang digunakan Ohlson, yaitu regresi logit. Dengan menggunakan metode tersebut, maka Zmijewski (1984) menghasilkan model sebagai berikut: X = -4.803 - 3.599X1 + 5.406X2 - 1.000X3 Dimana: X1 = ROA (Net income/total assets) X2 = Leverage (Total debt/total assets) X3 = Liquidity (Current assets/current liabilities) Zmijewski (1984) menyatakan bahwa perusahaan dianggap distress jika probabilitasnya lebih besar dari 0,5, dengan kata lain, nilai X-nya adalah 0. Maka dari itu, nilai cutoff yang berlaku dalam model ini adalah 0. Hal ini berarti perusahaan yang nilai X-nya lebih besar dari atau sama dengan 0 diprediksi akan mengalami kebangkrutan di masa depan. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki nilai X lebih kecil dari 0 diprediksi tidak akan mengalami kebangkrutan.



2.8.4



Model Grover (2001) Model Grover merupakan model yang diciptakan dengan melakukan pendesainan dan penilaian ulang terhadap model Altman Z-Score. Jeffrey S. Grover menggunakan sampel sesuai dengan model Altman



25 Z-score pada tahun 1968, dengan menambahkan tiga belas rasio keuangan baru. Sampel yang digunakan sebanyak 70 perusahaan dengan 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak bangkrut pada tahun 1982 sampai 1996. Jeffrey S. Grover (2001) menghasilkan fungsi sebagai berikut: Score = 1,650X1 + 3,404X2 – 0,016ROA + 0,057 Dimana: X1 = Working capital/Total assets X2 = Earnings before interest and taxes/Total assets ROA = net income/total assets Model Grover mengkategorikan perusahaan dalam keadaan bangkrut dengan skor kurang atau sama dengan -0,02 (Z ≤ -0,02). Sedangkan nilai untuk perusahaan yang dikategorikan dalam keadaan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (Z ≥ 0,01) (Prihantini, 2013). 2.8.5



Model Ohlson (1980) Ohlson (1980), terinspirasi oleh penelitian-penelitian sebelumnya, juga melakukan studi mengenai Financial Distress. Namun ada beberapa modifikasi yang dia lakukan dalam studinya dibanding penelitian-penelitian sebelumnya. Model yang dibangun Ohlson memiliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan. Model tersebut adalah: O = -1,32 - 0,407X1 + 6,03X2 – 1,43X3 + 0,0757X4 – 2,37X5 – 1,83X6 + 0,285X7 – 1,72X8 – 0,521X9 Dimana:



26 X1 = Log (total assets/GNP price-level index) X2 = Total liabilities/total assets X3 = Working capital/total assets X4 = Current liabilities/current assets X5 = 1 jika total liabilities > total assets ; 0 jika sebaliknya X6 = Net income/total assets X7= Cash flow from operations/total liabilitie X8 = 1 jika Net income negatif ; 0 jika sebaliknya X9 = (NIt – NIt-1) / (NIt + NIt-1) Ohlson (1980) menyatakan bahwa model ini memiliki cutoff point optimal pada nilai 0,38. Ohlson memilih cutoff ini karena dengan nilai ini, jumlah error dapat diminimalisasi. Maksud dari cutoff ini adalah bahwa perusahaan yang memiliki nilai O di atas 0,38 berarti perusahaan tersebut diprediksi distress. Sebaliknya, jika nilai O perusahaan di bawah 0,38, maka perusahaan diprediksi tidak mengalami distress.



2.9 Pengembangan Hipotesis 2.9.1



Model Altman Z-Score Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gilrita, Moch. Dzulkirom , dan M.G Wi Endang N.P (2015) menyatakan hasil perhitungan menggunakan analisis Altman (Z-Score) tersebut dapat diketahui bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kondisi keuangan yang buruk sehingga BEI harus melakukan delisting pada perusahaan tersebut.



27 H1:



Model Altman akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



2.9.2



Model Springate S-Score Berdasarkan penelitian Elvinna Wiwit Firma Meita (2015) menyatakan model Altman Z-Score dan model Springate merupakan model prediksi kebangkrutan yang memberikan nilai yang sama tingginya dalam memprediksi kebangkrutan pada perusahaan



pertambangan



batubara



dengan



nilai



prediksi



kebangkrutan sebesar 88,888%. H2:



Model Springate akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



2.9.3



Model Zmijewski (1984) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh



Nafir Rizky



Herlambang Yami (2014) menyatakan Model Zmijeski adalah model yang paling sesuai diterapkan untuk perusahaan sektor property dan real estate, karena tingkat keakuratannya tinggi dibandingkan model prediksi lainnya. H3:



Model Zmijewski akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



2.9.4



Model Grover (2001) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Queenaria Jayanti Rustiana (2012) menyatakan perhitungan peringkat ketepatan prediksi menunjukkan bahwa model Grover G-Score merupakan model prediksi kebangkrutan dengan peringkat ketepatan tertinggi (81,71%) dibandingkan dengan model – model lainnya, peringkat



28 ke-dua



ditempati



oleh



model



Altman



Z”-Score



modifikasi



(70,37%), diikuti oleh model Springate S-Score (68,06%) pada peringkat ke-3, dan model Zmijewski X-Score (50,46%) pada peringkat ke-empat, sementara Ohlson Y-Score merupakan model



prediksi



kebangkrutan



dengan



peringkat



ketepatan



terendah (25,23%). H4:



Model Grover akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



2.9.5



Model Ohlson (1980) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Veronita Wulandari, Emrinaldi Nur DP, dan Julita (2013) menyatakan Tingkat kesesuaian prediksi yang dihasilkan model Ohlson berdasarkan pada hasil uji hipotesis dimana nilai koefisien determinasi dan nilai signifikansi



F



model



Ohlson



merupakan



nilai



tertinggi



dibandingkan model lain yang digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. H5:



Model Ohslon akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



2.9.6



Perbandingan semua model prediksi kebangkrutan Pengujian kandungan informasi untuk mengetahui apakah ada perbedaaan secara statistik antar model dan menemukan model prediksi terbaik dalam memprediksi tingkat kesulitan keuangan perusahaan.



H6:



Terdapat satu model dengan tingkat akurasi tertinggi dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan.



29 2.10



Penelitian Terdahulu



Beberapa penelitian untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 PENELITIAN TERDAHULU Peneliti Ni Made Evi Dwi Prihanthini dan Maria M. Ratna Sari (2013)



Judul penelitian Prediksi Kebangkrutan Dengan Model Grover, Altman ZScore, Springate dan Zmijewski pada Perusahaan Food And Beverage di Bursa Efek Indonesia



Hasil Penelitian



Kesimpulan hasil pengujian penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan antara model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, serta model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi yang diraih model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan terakhir model Altman Zscore. Nafir Rizky Herlambang Yami Prediksi Model Zmijeski adalah (2014) kebangkrutan model yang paling sesuai dengan diterapkan untuk menggunakan perusahaan sektor property dan real estate, metode Altman zscore, springate dan karena tingkat zmijewski pada keakuratannya tinggi perusahaan Property dibandingkan model dan real estate yang prediksi lainnya. terdaftar di bei tahun 2011-2013 Model Grover G-Score Queenaria Jayanti dan Rustiana Analisis tingkat (2012) akurasi Modelmerupakan model model prediksi prediksi kebangkrutan kebangkrutan dengan peringkat Untuk memprediksi ketepatan tertinggi voluntary auditor (81,71%) dibandingkan switching dengan model – model



30 (studi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI )



Gilrita, Moch. Dzulkirom dan M.G Analisis altman (zscore) sebagai salah Wi Endang N.P (2015) satu cara untuk mengukur potensi kebangkrutan perusahaan (studi pada perusahaan manufaktur yang listing di bei dan perusahaan manufaktur yang delisting dari bei periode 2012-2014) Siti ngatijah (2016) Perbandingan model prediksi kebangkrutan (altman, springate, zmijewski, grover)



lainnya, peringkat ke-dua ditempati oleh model Altman Z”-Score modifikasi (70,37%), diikuti oleh model Springate S-Score (68,06%) pada peringkat ke-3, dan model Zmijewski X-Score (50,46%) pada peringkat ke-empat, sementara Ohlson Y-Score merupakan model prediksi kebangkrutan dengan peringkat ketepatan terendah (25,23%). Hasil perhitungan menggunakan analisis Altman (Z-Score) tersebut dapat diketahui bahwa perusahaanperusahaan tersebut memiliki kondisi keuangan yang buruk sehingga BEI harus melakukan delisting pada perusahaan tersebut.



Model prediksi Grover merupakan model prediksi terbaik di antara ke empat model yang dianalisa yaitu Altman, Springate, Zmijewski dan Grover. Karena model Grover mempunyai nilai R2 dan tingkat akurasi yang paling tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,145 dan tingkat akurasi 68%.



31 2.11



Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan model Altman, Springate, Zmijewski Grover dan Ohslon untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan kemudian menganalisis model mana yang lebih akurat untuk digunakan dalam memprediksi suatu kebangkrutan perusahaan. Laporan Keuangan (Rasio Keuangan)



Skor Kebangkrutan: o Model Altman o Model Springate o Model Zmijewski o Model Grover o Ohslon



Tingkat keakuratan Model



2.12



Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara atas rumusan masalah yang dijabarkan, oleh sebab itu perlu diadakannya pembuktian atas kebenaran melalui data empiris yang terkumpul. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu :



H1 : Model Altman akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan. H2 : Model Springate akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan



32 perusahaan H3 : Model Springate akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan H4 : Model Grover akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan H5 : Model Ohslon akurat dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan H6 : Terdapat satu model dengan tingkat akurasi tertinggi dalam memprediksi kondisi kebangkrutan perusahaan



33 3. METODE PENELITIAN



3.1 Lokasi Penelitian Berdasarkan judul yang dipilih, penulis mengadaan penelitian pada perusahaan-perusahaan delisting dari Bursa Efek Indonesia. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah perusahaa – perusahaan delisting dari Bursa Efek Indonesia selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2016. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 3.3.1



Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari dokumentasi objek penelitian berupa laporan keuangan perusahaan dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD).



3.3.2



Sumber Data Data yang digunakan merupakan data dokumentasi yang dipublikasikan oleh perusahaan yang dapat diperoleh dan juga diakses pada situs www.idx.com, dalam situs tersebut telah menyediakan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.



3.4 Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Altman (1968) yaitu menggunakan teknik match-pair. Sampel yang digunakan adalah seluruh perusahaan yang dinyatakan delisting dengan alasan going concern yang tercantum di annual report PT.Bursa Efek Indonesia. Kriteria penarikan sampel yaitu kelompok



34 perusahaan yang sudah delisting di BEI selanjutnya disebut kelompok bangkrut. Kriteria untuk kelompok bangkrut yaitu: a. Perusahaan yang delisting pada tahun 2009 sampai dengan 2016. b. Perusahaan yang delisting dengan alasan going concern. c. Perusahaan delisting yang telah menerbitkan laporan keuangan audit 3.5 Metode Pengumplan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian Kepustakaan adalah pengumpualan data dan informasi yang



relevan melalui membaca dan menelaah buku, majalah, artikel, jurnal, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. 2. Mengakses website dan situs yang menyediakan informasi yang



berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. Pemilihanan sampel perusahan berdasarkan reverensi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Restmen Rompan. 3.6 Metode Analisis Data Teknik analisis data mencangkup : 3.6.1



Teknik Kuantitatif 1. Melakukan uji beda rata-rata untuk memastikan bahwa kriteria match-pair terpenuhi. 2. Perhitungan rasio, informasi mengenai rasio keuangan ini dapat diperoleh dari laporan keuangan. Kemudian rasio-rasio keuangan tersebut dihitung menggunakan model-model untuk memprediksi



kebangkrutan.



Perhitungan



rasio



dilakukan



35 terhadap informasi keuangan setiap perusahaan selama tiga tahun sebelum tahun bangkrut. 3. Model Altaman Setelah diketahui nilai-nilai rasio yang digunakan oleh model Altman, selanjutnya dihitung ke dalam persamaan modelnya: Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,999 X5 Keterangan: X1



=



Modal



Kerja



Bersih/Total



Asset



(Net



Working



Capital/Total Assets) X2 = Laba Ditahan/Total Asset (Retained Earning/Total Assets) X3



=



EBIT/Total



Asset



(Earning



Before



Interest



and



Taxes/Total Assets) X4 = Nilai Pasar Modal Sendiri/Nilai Pembukuan Total Utang (Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities) X5 = Penjualan/Total Asset (Sales/Total Assets) Kriteria Penilaiaan sebagai berikut: -



Jika perusahaan mempunyai hasil Z-score > 2,99 maka diprediksi



perusahaan



sehat



atau



tidak



mengalami



kesulitan keuangan. -



Jika perusahaan memperoleh hasil Z-score < 1,81 maka diprediksi perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan mengalami kebangkrutan.



-



Jika perusahaan memperoleh hasil 2,99 > Z-score > 1,81 maka diprediksi perusahaan kurang sehat atau mengalami



36 kesulitan keuangan dan bila manajemen tidak memperbaiki kinerjanya akan berakibat fatal bagi perusahaan. 4. Model Springate S-Score Model yang dihasilkan adalah sebagai berikut: S-Score = 1,03 X1 + 3,07 X2 + 0,66 X3 + 0,4 X4 Keterangan: X1 = Rasio modal kerja terhadap total aset X2 = Rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset X3 = Rasio laba sebelum pajak terhadap hutang lancar X4 = Rasio penjualan terhadap total aset Springate mengklasifikasikan perusahaan bangkrut jika memiliki skor kurang dari 0,862 (S < 0,862). Sebaliknya, jika hasil perhitungan S-Score melebihi atau sama dengan 0,862 (S ≥ 0,862) maka perusahaan diklasifikasikan perusahaan yang sehat secara keuangan. 5. Model Zmijewski (1984) Zmijewski (1984) menghasilkan model sebagai berikut: X = -4.803 - 3.599X1 + 5.406X2 - 1.000X3 Dimana: X1 = ROA (Net income/total assets) X2 = Leverage (Total debt/total assets) X3 = Liquidity (Current assets/current liabilities) Zmijewski



(1984)



menyatakan



bahwa



perusahaan



dianggap distress jika probabilitasnya lebih besar dari 0,5,



37 dengan kata lain, nilai X-nya adalah 0. Maka dari itu, nilai cutoff yang berlaku dalam model ini adalah 0. Hal ini berarti perusahaan yang nilai X-nya lebih besar dari atau sama dengan 0 diprediksi akan mengalami kebangkrutan di masa depan. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki nilai X lebih kecil dari 0 diprediksi tidak akan mengalami kebangkrutan. 6. Model Grover (2001) Jeffrey S. Grover (2001) menghasilkan fungsi sebagai berikut: Score = 1,650X1 + 3,404X2 – 0,016ROA + 0,057 Dimana: X1 = Working capital/Total assets X2 = Earnings before interest and taxes/Total assets ROA = net income/total assets Model



Grover



mengkategorikan



perusahaan



dalam



keadaan bangkrut dengan skor kurang atau sama dengan 0,02 (Z ≤ -0,02). Sedangkan nilai untuk perusahaan yang dikategorikan dalam keadaan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (Z ≥ 0,01) (Prihantini, 2013). 7. Model Ohlson (1980) Model yang dibangun Ohlson memiliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan. Model tersebut adalah: O = -1,32 - 0,407X1 + 6,03X2 – 1,43X3 + 0,0757X4 – 2,37X5 – 1,83X6 + 0,285X7 – 1,72X8 – 0,521X9 Dimana: X1 = Log (total assets/GNP price-level index)



38 X2 = Total liabilities/total assets X3 = Working capital/total assets X4 = Current liabilities/current assets X5 = 1 jika total liabilities > total assets ; 0 jika sebaliknya X6 = Net income/total assets X7= Cash flow from operations/total liabilitie X8 = 1 jika Net income negatif ; 0 jika sebaliknya X9 = (NIt – NIt-1) / (NIt + NIt-1) Ohlson (1980) menyatakan bahwa model ini memiliki cutoff point optimal pada nilai 0,38. Ohlson memilih cutoff ini karena dengan nilai ini, jumlah error dapat diminimalisasi. Maksud dari cutoff ini adalah bahwa perusahaan yang memiliki nilai O di atas 0,38 berarti perusahaan tersebut diprediksi distress. Sebaliknya, jika nilai O perusahaan di bawah 0,38, maka perusahaan diprediksi tidak mengalami distress. 8. Menghitung tingkat akurasi Setelah dilakukan perhitungan terhadap model, selanjutnya adalah menghitung tingkat akurasi untuk mengetahui seberapa besar



tingkat



ketepatan



masing-masing



model.



Selain



membuat model, Altman juga menguji modelnya dengan menghitung tingkat akurasi. Menurut Altman (1968), tingkat akurasi dihitung dengan cara sebagai berikut: Tingkat Akurasi = Jumlah prediksi benar / Jumlah Sampel x 100%



39 Selain menghitung akurasi pada model, yang juga menjadi pertimbangan adalah tingkat error. Error dapat dibagi dua jenis, yaitu Type I dan Type II. Type I error adalah kesalahan yang terjadi jika model memprediksi sampel tidak akan mengalami



bangkrut



padahal



kenyataannya



mengalami



bangkrut. Type II error adalah kesalahan yang terjadi jika model memprediksi sampel mengalami bangkrut padahal kenyataannya



tidak



mengalami



bangkrut.



Tingkat



error



dihitung dengan cara sebagai berikut: Type I Error = Jumlah kesalahan Type I / Jumlah Sampel x 100% Jumlah sampel 3.6.2



Analisis Kualitatif Analisis ini digunakan untuk menguraikan dan membahas secara deskriptif berbagai temuan hasil perhitungan dari penelitian ini.



40 DAFTAR PUSTAKA Aprilaningsih Winda, 2014, Analisis Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Dengan Menggunakan Metode Altman Z-Score Pada Perusahaan Telekomunikasi Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dzulkirom Moch, M.G Wi Endang N.P, 2015, Analisis Altman (Z-Score) Sebagai Salah Satu Cara Untuk Mengukur Potensi Kebangkrutan, Perusahaan, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Fatmawati Mila, 2012, penggunaan the Zmijewski model, dan Altman Model dan the springate model sebagai prediktor delisting, Fakultas ekonomi universitas muhammadiyah Metro. Harahap, Sofyan Syafri. 2002. Analisa Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Husain Batti, 2016, Harga Saham Dan Kinerja Keuangan Perusahaan Menjelang Keputusan Delisting BEI Tahun 2009-2016. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Salemba Empat. Ikhsan Fadhilah Maulidya, 2016, Analisis Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Dengan Menggunakan Model Altman Z-Score (Studi Kasus pada PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Mayora Indah Tbk, PT Nippon Indosari Corpindo Tbk , dan PT Sekar Bumi Tbk), Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar. Jayanti Queenaria, Rustiana, 2012, Analisis Tingkat Akurasi Model-Model Prediksi Kebangkrutan Untuk Memprediksi Voluntary Auditor Switching, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jalan Babarsari 4344, Yogyakarta. Jogiyanto H, M. 1998. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: BPFE. Kasanah Siti Nur, 2015, Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Berdasarkan Analisis Model Z-Score Altman Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Periode 2012-2014), Artikel Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Meita Elvinna Wiwit Firma, 2015, Analisis Penggunaan Metode Altman, Springate, dan Zmijewski Dalam Memprediksi Kebangkrutan Perusahaan Pertambangan Batubara Periode 2012-2014, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya. Munawir, S. 2002. Yogyakarta.



Analisis



Informasi



Keuangan.



Yogyakarta:



Liberty



41 Ngatijah Siti, 2016, Perbandingan Model Prediksi Kebangkrutan (Altman, Springate, Zmijewski, Grover), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Bandarlampung. Sutrisno. 2005. Manajemen Keuangan: Teori, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: EKONISIA. Pakiding, Ronald Randa 2014 , Pengaruh Physical Capital, Human Capital, dan Strukur Capital terhadap Nilai Perusahaan, Tesis S2, Pada Program Pascasarjana STIM Nitro Makassar Prihanthini Ni Made Evi Dwi Maria M. Ratna Sari, 2013, Prediksi Kebangkrutan Dengan Model Grover, Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski Pada Perusahaan Food And Beverage di Bursa Efek Indonesia, E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 5.2 (2013): 417-435. Purnajaya Komang Devi Methili, Ni K. Lely. Merkusiwati, 2014, Analisis Komparasi potensi kebangkrutan dengan metode Z-score Altman, springate, dan Zmijewski pada industri kosmetik yang terdaftar di BEI, Ejurnal universitas udayana7.1(2014);48-63. Rahayu Fitriani dkk, 2016, Analisis Financial Distress Dengan Menggunakan Metode Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski Pada Perusahaan Telekomunikasi, e-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Manajemen (Volume 4 Tahun 2016). Rompon Restmen, 2012, Analisis Kebangkrutan Mengunakan Model Z-Score Pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar. Wulandari Veronita dkk, 2014 Analisis Perbandingan Model Altman, Springate, Ohlson, Fulmer, CA-Score dan Zmijewski Dalam Memprediksi Financial Distress, JOM FEKON Vol. 1 No. 2 Oktober 2014. Yami Nafir Rizky Herlambang, 2014, Prediksi Kebangkrutan Dengan Menggunakan Metode Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski Pada Perusahaan Property Dan Real Estate Yang Terdaftar Di BEI Tahun 20112013, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Dian Nuswantoro Jl. Nakula 1 No. 5-13 Semarang.