Anatomi Dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERSEPSI SENSORI



DOSEN PENGAMPU :Ns.Mersi Eka Putri,S.Kep,M.Kep



DISUSUN OLEH : 1.Khoirahman (180101146) 2. Nadia Aufa (180101147)



STIKes AL-INSYIRAH PEKANBARU PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TA.2019/2020



KATA PENGANTAR



Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran tuhan yang maha pemurah, karena berkat kemurahan-nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas“ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERSEPSI SENSORI ”. Makalah ini dibuat dalam rangka memaparkan tentang tipe-tipe karater dan kepribadian yang sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapat pengetahuan khususmya bagi mahasiswa yang berada di program study “character building of nursing” umumnya untuk semua pembaca. Dalam proses pendalaman materi, tentunya kami ingin mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan. Tembilahan 24 November 2020 Penyusun kelompok 2



i



DAFTAR PUSTAKA



KATA PENGANTAR........................................................................................................i DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1 A. Latar belakang.............................................................................................................1 B. Rumusan masalah........................................................................................................1 C. Tujuan ........................................................................................................................2 D. Manfaat........................................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3 A. Definisi Sistem Persepsi Sensori.................................................................................3 B. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori.........................................................3 C. Pengkajian Sistem Persepsi Sensori............................................................................9 BAB III PENUTUP............................................................................................................19 A. Kesimpulan..................................................................................................................19 B. Saran............................................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................20



ii



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga. Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor penentu dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus (sensori) yang diterima. Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal, juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh stimulus yang diterima (Syaifuddin, 2014). Persepsi juga melibatkan kognitif dan emosional terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra).



Adanya gangguan persepsi



mengindikasikan adanya gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu adanya pengkajian sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem sensori tersebut. Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui pengkjaian pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pengkajan sistem persepsi sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang berkualitas. Berdasarkan permasalahan di atas kami tertarik untuk menulis makalah tentang “Pengkajian Sistem Persepsi Sensori”. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut. 1. Apakah definisi sistem persepsi sensori? 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori? 3. Bagaiaman pengkajian pada sistem persepsi sensori?



1



C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui definisi sistem persepsi sensori. b. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori. c. Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori. D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis Untuk menambah wawasan pengetahuan pengkajian pada sistem persepsi sensori. 2. Bagi Pembaca Memberikan wawasan tentang pengkajian pada sistem persepsi sensori, serta sebagai bahan refrensi dalam pemenuhan tugas tugas yang terkait dengan sistem persepsi sensori.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Sistem Persepsi Sensori Sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system berarti yang berhubungan dengan panca indra. Sistem ini membahas tentang organ akhir yang khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut dihantarkan oleh sensorys neuron (saraf sensoris) dari berbagai organ indra menuju otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensori, merupakan sel yang dapat menerima informasi kondisi dalam dan luar tubuh untuk dapat direspon oleh saraf pusat. Implus listrik yang dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan menjadi sensasi yang nantinya akan diolah menjadi persepsi di saraf pusat. Sistem persepsi sensori manusia terdiri organ mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit (Syaifuddin, 2014). B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori 1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penglihatan (Mata) Indra penglihatan yang terletak pada mata (organ visus) yang terdiri dari organ okuli assesoria (alat bantu mata) dan okulus (bola mata). Saraf indra penglihatan, saraf optikus, muncul dari sel-sel ganglion dalam retina, bergabung untuk membentuk saraf optikus. a. Organ Okuli Assesoria Organ okuli assesoria (alat bantu mata), terdapat di sekitar bola mata yang sangat erat hubungannya dengan mata, terdiri dari: 1) Kavum orbita, merupakan rongga mata yang bentuknya seperti kerucut dengan puncaknya mengarah ke depan dan ke dalam. 2) Supersilium (alis mata) merupakan batas orbita dan potongan kulit tebal yang melengkung, ditumbuhi oleh bulu pendek yang berfungsi sebagai kosmetik atau alat kecantikan dan sebagai pelindung mata dari sinar matahari yang sangat terik. 3) Palpebra (kelopak mata) merupakan 2 buah lipatan atas dan bawah kulit yang terletak didepan bulbus okuli. Kelopak mata atas lebih besar daripada kelopak mata



3



bawah. Fungsinya adalah pelindung mata sewaktu-waktu kalau ada gangguan pada mata. 4) Aparatus lakrimalis (air mata). Air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis superior dan inferior. Melalui duktus ekskretorius lakrimalis masuk ke dalam sakus konjungtiva. Melalui bagian depan bola mata terus ke sudut tengah bola mata ke dalam kanalis lakrimalis mengalir ke duktus nasolakrimatis terus ke meatus nasalis inferior. 5) Muskulus okuli (otot mata) merupakan otot ekstrinsik mata terdiri dari: a) Muskulus levator palpebralis superior inferior, fungsinya mengangkat kelopak mata. b) Muskulus orbikularis okuli otot lingkar mata, fungsinya untuk menutup mata. c) Muskulus rektus okuli inferior, fungsinya untuk menutup mata. d) Muskulus rektus okuli medial, fungsinya menggerakan bola mata. e) Muskulus obliques okuli inferior, fungsinya menggerakan bola mata ke dalam dan ke bawah. f) Muskulus obliques okuli superior, fungsinya memutar mata ke atas, ke bawah dan ke luar. 6) Konjungtiva. Permukaan dalam kelopak mata disebut konjungtiva palpebra, merupakan lapisan mukosa. Bagian yang membelok dan kemudian melekat pada bola mata disebut konjungtiva bulbi. Pada konjungtiva ini sering terdapat kelenjar limfe dan pembuluh darah. b. Okulus Okulus (mata) meliputi bola mata (bulbus okuli). Nervus optikus saraf otak II, merupakan saraf otak yang menghubungkan bulbu okuli dengan otak dan merupakan bagian penting organ visus. c. Tunika okuli Tonika okuli terdiri dari : 1) Kornea, merupakan selaput yang tembus cahaya, melalui kornea kita dapat melihat membran pupil dan iris. Penampang kornea lebih tebal dari sklera, terdiri dari 5 lapisan epitel kornea, 2 lamina elastika anterior (bowmen), 3 subtansi propia, 4



4



lamina elastika posterior, dan 5 endotelium. Kornea tidak mengandung pembuluh darah peralihan, antara kornea ke sklera.



Gambar 2.1 Anatomi Mata 2) Sklera, merupakan lapisan fibrosa yang elastis yang merupakan bagian dinding luar bola mata dan membentuk bagian putih mata. Bagian depan sklera tertutup oleh kantong konjungtiva. d. Tunika vaskula okuli Tunika vaskula okuli merupakan lapisan tengah dan sangat peka oleh rangsangan pembuluh darah. Lapisan ini menurut letaknya terbagi menjadi 3 bagian yaitu : 1) Koroid, merupakan selaput yang tipis dan lembab merupakan bagian belakanang tunika vaskulosa. Fungsinya memberikan nutrisi pada tunika. 2) Korpus siliaris, merupakan lapisan yang tebal, terbentang mulai dari ora serata sampai ke iris. Bentuk keseluruhan seperti cincin, dan muskulus siliaris. Fungsinya untuk terjadinya akomodasi 3) Iris, merupakan bagian terdepan tunika vaskulosa okuli, berwarna karena mengandung pigmen, berbentuk bulat seperti piring dengan penampang 12 mm, tebal 12 mm, di tengah terletak bagian berlubang yang disebut pupil. Pupil berguna untuk mengatur cahaya yang masuk ke mata, sedangkan ujung tepinya melanjut sampai korpus siliaris. Pada iris terdapat 2 buah otot: muskulus sfingter pupila pada pinggir iris, muskulus dilatator pupila terdapat agak pangkal iris dan banyak



5



mengandung pembuluh darah dan sangat mudah terkena radang, bisa menjalar ke korpus siliaris. e. Tunika nervosa Tunika nervosa merupakan lapisan terdalam bola mata, disebut retina. Retina dibagi atas 3 bagian : 1) Pars optika retina, dimulai dari kutub belakang bola mata sampai di depan khatulistiwa bola mata. 2) Pars siliaris, merupakan lapisan yang dilapisi bagian dalam korpus siliar. 3) Pars iridika melapisi bagian permukaan belakang iris (Syaifuddin, 2014).



2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran (Telinga) Indra pendengaran merupakan salah satu alat pancaindra untuk mendengar. Anatomi telinga terdiri dari telinga bagian luar, tengah, dan dalam. a. Telinga bagian luar Aurikula (daun telinga), menampung gelombang suara yang datang dari luar masuk ke dalam telinga. Meastus akustikus eksterna (liang telinga). Saluran penghubung aurikula dengan membran timpan, panjangnya 2,5 cm, terdiri dari tulang rawan dan tulang keras. Saluran ini mengandung rambut, kelenjar subasea. Dan kelenjar keringat khususnya menghasilkan sekret-sekret berbentuk serum. Membran timpani antara telinga luar dan telinga tengah terdapat selaput gendang telinga yang disebut membran typani.



6



Gambar 2.2 Anatomi Telinga Bagian Luar b. Telinga bagian tengah Kavum timpani, rongga didalam tulang temporalis yang didalamnya terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu maleus, incus, stapes yang melekat pada bagian dalam membra timpani. Antrum timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas, terletak dibagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani dilapisi oleh mukosa, merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum timpani. Rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang disebutn sellula mastoid yang terdapat dibelakang bawah antrum, di dalam tulang temporalis. Tuba auditiva eustaki. Saluran tulang rawan yang panjangnya 3,7 cm berjalan miring ke bawah agak ke depan, dilapisi oleh lapisan mukosa.



7



Gambar 2.3 Anatomi Telinga Bagian Tengah c. Telinga bagian dalam Telinga bagian dalam terletak pada bagian tulang keras pilorus temporalis, terdapat reseptor pendengaran, dan alat pendengaran ini disebut labirin. 1) Labiritus osseous, serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan yang dinamakan perilimfe. Labiritus osseous terdiri dari vestibulum, koklea, dan kanalis semisirkularis. 2) Labirintus membranous, terdiri dari: a) Utrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gepeng terpaut pada tempatnyaoleh jaringan ikat. Pada dinding belakang utrikulus terdapat muara dari duktus semisirkularis dan pada dinding depannya ada tabung halus disebut utrikulosa sirkularis, saluran yang menghubungkan antara utrikulus dan sakulus. b) Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak pada bagian depan dan bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh jaringan ikat. c) Duktus semisirkularis. Ada tiga tabung selaput semisirkularis yang berjalan pada kanalis semesirkularis (superior, posterior, dan lateralis). Bagian duktus yang melebar disebut dengan ampula selaput. Setiap ampula mengandung celah sulkus ampularis merupakan tempat masuknya cabang ampula nervus akustikus. d) Duktus koklearis merupakan saluran yang bentuknya agak segitiga seolah-olah membuat batas pada koklea timpani. Duktus koklearis mulai dari kantong buntu (seikum vestibular)ndan berakhir tepat diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum ampulare) (Heharia et al, 2011).



8



Gambar 2.4 Anatomi Telinga Bagian Dalam



PENGKAJIAN SISTEM PERSEPSI SENSORI



I.



Pengkajian Sistem Penglihatan (Mata) A. Anamnesa Gangguan Penglihatan  Data Umum: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan  Keluhan Utama: Mata merah, Mata berair, Mata gatal, Mata Nyeri, Belekan, Gangguan penglihatan (Kabur, penglihatan ganda/diplopia, buta), Timbilan, Kelilipan.  Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus, Hipertensi, Trauma 2. B. Mengkaji keluhan utama



9



 Apakah gangguan terjadi pada saat melihat jauh atau dekat?  Onset mendadak atau gradual?  Di seluruh lapang pandang atau sebagian?  Jika sebagian letaknya di sebelah mana?  Diplopia satu mata atau kedua mata? Apakah persisten jika mata ditutup sebelah?  Adakah gejala sistemik lain: demam, malaise. C. Pemeriksaan mata 1. Inspeksi mata a) Bentuk dan penyebaran alis dan bulu mata. Apakah bulu mata lentik, kebawah atau tidak ada. Fungsi alis dan bulu mata untuk mencegah mauknya benda asing (debu) untuk mencegah iritasi atau mata kemerahan. b) Lihat sclera dan konjungtiva. 



Konjungtiva, dengan menarik palpebral inferior dan meminta klien melihat keatas. Amati warna, anemis atau tidak, apakah ada benda asing atau tidak







Sclera, dengan menarik palpebral superior dan meminta klien melihat ke bawah.



c) Amati kemerahan pada sclera, icterus, atau produksi air mata berlebih. Amati kedudukan bola mata kanan kiri simetris atau tidak, bola mata keluar (eksoptalmus) atau ke dalam (endoftalmus). d) Palpebral turun menandakan kelemahan atau atropi otot, atau hiperaktivitas palpebral yang menyebabkan kelopak mata terus berkedip tak terkontrol. e) Observasi celah palpebral. Minta klien memandang lurus ke depan lalu perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris. Normal jika simetris. Adanya kelainan jika celah mata menyempit (ptosis, endoftalmus, blefarospasmus) atau melebar (eksoftalmus, proptosis) f) Kaji sistem lakrimasi mata dengan menggunakan kertas lakmus untuk mendapatkan data apakah mata kering atau basah yang artinya lakrimasi berfungsi baik ( Schime test). g) Kaji sistem pembuangan air mata dengan uji anel test. Yaitu dengna menggunakan spuit berisi cairan, dan berikan pada kanal lakrimal. 10



2. Reflek pupil a) Gunakan penlight dan sinari mata kanan kiri dari lateral ke medial. Amati respon pupil langsung. Normalnya jika terang, pupil mengecil dan jika gelap pupil membesar. b) Amati ukuran lebar pupil dengan melihat symbol lingkaran yang ada pada badan penlight dan bagaimana reflek pupil tersebut, isokor atau anisokor. c) Interpretasi: -Normal : Bentuk pupil (bulat reguler), Ukuran pupil : 2 mm – 5 mm, Posisi pupil ditengah-tengah, pupil kanan dan kiri Isokor, Reflek cahaya langsung (+) dan Reflek cahaya konsensuil atau pada cahaya redup (+). Kelainan : Pintpoin pupil, Bentuk ireguler, Anisokor dengan kelainan reflek cahaya dan ukuran pupil kecil atau besar dari normal (3-4 mm) 3.3. 3. Lapang pandang / tes konfrontasi a) Dasarnya lapang pandang klien normal jika sama dengan pemeriksa. Maka sebelumnya, pemeriksa harus memiliki lapang pandang normal. LP klien = LP pemeriksa. b) Normalnya benda dapat dilihat pada: 60 derajat nasal, 90 derajat temporal, 50 derajat , dan atas 70 derajat bawah.



c) Cara pemeriksaan :  Klien menutup mata salah satu, misalnya kiri tanpa menekan bola mata.  Pemeriksa duduk di depan klien dg jarak 60cm sama tinggi dengan klien. Pemeriksa menutup mata berlawanan dengan klien, yaitu kanan. Lapang pandang pemeriksa dianggap sebagai referensi (LP pemeriksa harus normal)  Objek digerakkan dari perifer ke central (sejauh rentangan tangan pemeriksa) dari delapan arah pada bidang ditengah pemeriksa dan klien  Lapang pandang klien dibandingkan dengan pemeriksa. Lalu lanjutkan pada mata berikutnya 4. Pemeriksaan otot ekstraokuler a) Minta klien melihat jari, dan anda menggerakkan jari anda. Minta klien 11



mengikuti gerak jari, dengan 8 arah dari central ke perifer. b) Amati gerakan kedua mata, simetris atau ada yang tertinggal



Gambar 2.10 Pemeriksaan otot ekstraokuler 5. Sensibilitas kornea a) Bertujuan mengetahui bagaimana reflek sensasi kornea dengan menggunakan kapas steril. b) Cara pemeriksaan : 



Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus







Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat kornea disentuh







Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada mata yang tidak sakit.



c) Intrepetasi : dengan sentuhan, maka mata akan reflek berkedip. Nilai dengan membandingkan sensibilitas kedua mata klien. 6.



Pemeriksaan visus / ketajaman penglihatan



1) Snellen card  Menggunakan kartu snellen dengan mengganttungkan kartu pada jarak 6 atau 5 12



meter dari klien.  Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan, maka minta klien untuk tutup dengan penutup mata atau telapak tangan tanpa menekan bolamata  Pasien disuruh membaca huruf SNELLEN dari baris paling atas ke bawah. Hasil pemeriksaan dicatat, kemudian diulangi untuk mata sebelahnya.  HASIL : 1. VOD 6/6 &VOS 6/6 2. 6/6 pasien dapat membaca seluruh huruf dideretan 6/6 pada snellen chart 3. 6/12 pasien bisa membaca sampai baris 6/12 pada snellen chart 4. 6/30 pasien bisa membaca sampai baris 6/30 pada snellen chart



Gambar 2.11 Snellen card 2) Hitung jari  Apabila tidak bisa membaca huruf Snellen pasien diminta menghitung jari pemeriksa pada jarak 3 meter  3/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 3 meter.  1/60 bila klien dapat membaca pada jarak 1 meter 3) Pergerakan jari  Tidak bisa hitung jari, maka dilakukan pemeriksaan gerakan tangan didepan



13



pasien dengan latar belakang terang. Jika pasien dapat menentukan arah gerakan tangan pada jarak 1 m  VISUS 1/300 (Hand Movement/HM) kadang kala sdh perlu menentukan arah proyeksinya 4) Penyinaran  Jika tidak bisa melihat gerakan tangan dilakukan penyinaran dengan penlight ke arah mata pasien.  Apabila pasien dapat mengenali saat disinari dan tidak disinari dari segala posisi (nasal,temporal,atas,bawah) maka tajam penglihatan V = 1/ ~ proyeksi baik (Light Perception/LP).  Jika tidak bisa menentukan arah sinar maka penilaian V = 1/ ~ (LP, proyeksi salah).  Jika sinar tidak bisa dikenali maka tajam penglihatan dinilai V= 0 (NLP). Bila tidak dapat melihat sinar senter disebut BUTA TOTAL (tulis 00/000) 5) Pemeriksaan dengan pinhole 



Bila responden tidak dapat melanjutkan lagi bacaan huruf di kartu Snellen atau kartu E maka pada mata tersebut dipasang PINHOLE







Dengan pinhole responden dapat melanjutkan bacaannya sampai baris normal (20/20) berarti responden tersebut gangguan refraksi







Bila dengan pinhole responden tidak dapat melanjutkan bacaannya maka disebut katarak







Bila responden dapat membaca sampai baris normal 20/20 tanpa pinhole maka responden tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pinhole



Gambar 2.12 Pemeriksaan dengan pinhole



14



6) Pemeriksaan buta warna  Pasien diminta menyebutkan berapa angka yang tampak di kartu  Orang normal mampu meyebutkan angka 74 buta waran merah hijau menyebutkan angka 21



Gambar 2.13 Pemeriksaan Buta Warna 7) Memeriksa tekanan intra okuler  Rerata Tekanan Intra Okular normal ± 15 mmHg, dengan batas antara 12- 20 mmHg  Alat yang digunakan: Tonometer Schiotz, Lidocaine 2%/ Panthocaine tetes mata, Chloramphenicol zalf mata 2% ,Kapas alkohol 70%. II.



Pengkajian sistem pendengaran (telinga) A. Anamnesa gangguan pendengaran  Faktor yg memperberat (riwayat sering mengorek kuping, sering menyiram telinga dgn air)  Faktor-faktor lingkungan. Misal tempat pekerjaan dilingkungan yang bising ia akan mengalami penurunan pendengaran. B. Tanda dan gejala 



Sulit mengerti pembicaraan







Sulit mendengar dlm lingkungan yg bising







Salah menjawab







Meminta lawan bicara utk mengulang pembicaraannya







Mengalami masalah mendengar pembicaraan di telpon



C. Inspeksi 



Aurikel : bentuk, letak, masa, lesi







MAE : Patensi, Otore (jenis,warna,bau), cerumen, hiperemi, furunkel



15







Membrana timphany : intak, perforasi, hiperemia, bulging, retraksi, colesteatoma







Antrum mastoid : abces, hiperemia, nyeri perabaan







Hearing aid : tipe, jenis



D. Pemeriksaan fisik Pada telinga dapat menggunakan berbagai macam alat dan rangkaian tes. Seperti otoskop, garpu tala, ear speculum, dan head lamp untuk membantu pemeriksa mendapat sinar yang cukup



Gambar 2.14 Alat untuk Pemeriksaan Fisik Telinga 1. Otoskop  Untuk meluruskan kanal pada orang dewasa/anak besar tarik aurikula ke atas dan belakang, pada bayi tarik aurikula ke belakang dan bawah  Masukkan otoskop ke dalm telinga ± 1,-1,5 cm  Normal: terlihat sedikit serumen, dasar berwarna pink, rambut halus  Abnormal: merah (inflamasi), rabas, lesi, benda asing, serumen padat  Membran timpani dapat terlihat, normalnya tembus cahaya, mengkilat, abuabu dan tampak seperti mutiara, utuh. 2. Tes berbisik  Kata-kata yg diucapkan: Satu atau dua kata untuk menghindari menebak, dapat dikenal klien, bukansingkatan, kata benda atau kata kerja.  Cara: 1) Pasien ditempat, pemeriksa berpindah-pindah dari jarak 1,2,3,4,5,6 meter.



16



2) Mulai jarak 1 m pemeriksa membisikan 5/10 kata. 3) Bila semua kata benar mundur 2 m, bisikan kata yang sama. Bila jawaban benar mundur 4-5 m (Hanya dpt mendengar 80%  jarak tajam pendengaran sesungguhnya) 4) Untuk memastikan tes ulang pd jarak 3 M bila benar semua maju 2 – 1 M.  Interfensi Secara Kuantitas ( Leucher ) 1) 6 meter : normal - 4-6 meter : praktis normal/ tuli ringan 2) 1-4 meter : tuli sedang 3) < 1 meter : tuli berat - Berteriak didepan telinga tidak mendengar : Tuli Total  Interfensi secara Kualitatif 1) Tidak dapat mendengar huruf lunak (frekuensi rendah) = TULI KONDUKSI. Misal Susu : terdengar S S. 2) Tidak dapat mendengar huruf desis (frekuensi tinggi) = TULI SENSORI. Misal : Susu terdengar U U. 3. Tes suara bisik modifikasi Pelaksanaan: 



Dilakukan diruang kedap suara.







Pemeriksa duduk dibelakang klien sambil melakukan masking.







Bisikan 10 kata dengan intensitas suara yg lebih rendah.







Untuk memperpanjang jarak jauhkan mulut pemeriksa dari klien.







Bila mendengar 80 % pendengaran normal.



4. Tes rinne



17



Gambar 2.15 Tes Rinne 



Membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulan







Garpu tala deng frek 128, 256, dan 512 Hz







Tekan garpu tala di tulang mastoid smpai tdk terdengar lalu pindahkan ke dpn telinga Rinne + (dpn telinga masih terdengar)







Interpretasi : 1)



Normal = HU : HT = 2:1



2)



Masih terdengar → Rinne (+) : intensitas HU > HT →Telinga normal



atau tuli saraf 3)



Tidak terdengar → Rinne (-) : intensitas HU < HT → Tuli Konduktif



5. Tes weber 



Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan







Cara pemeriksaan: Penala digetarkan, asar penala diletakkan pada garis tengah kepala : ubun-ubun, glabella, dagu, pertengahan gigi seri → paling sensitif)







Normal mendengar bunyi sama di kedua telinga







Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sehat (tuli saraf)







Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sakit (tuli konduksi)



18



Gambar 2.16 Tes weber 6. Tes schwaback 



Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di depan telinga (kond udara)







Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di tlg mastoid (kond tulang)



Gambar 2.17 Tes Schwaback BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan serta uraian tentang pengkajian sistem persepsi sensori tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system  berarti yang berhubungan dengan panca indra, terdiri dari organ mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. B. Saran Sebagai seorang perawat harus mengetahui pengkajan sistem persepsi sensori 19



diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang berkualitas



DAFTAR PUSTAKA Ballenger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Dialih bahasakan oleh Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI.. Tangerang : Binarupa Aksara. Guyton, A. C., dan Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC, 1022 Hetharia, Rospa, Sri, Mulyani. (2011). Asuhan Keperawatan Telinga Hidung Tenggorokan. Jakarta: CV.Trans Info Media Muttaqin, Arif. (2011). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta: Salemba Medika.



20



Syaifuddin. (2014). Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan dan Kebidanan, Edisi 4. Jakarta : EGC



21