14 0 526 KB
ARSITEKTUR BUDHA SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama
yang
dikenal
sebagai
Gautama
Buddha
oleh
pengikut-
pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal. Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya
kemudian
mencatat
dan
mengklasifikasikan
ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). PERJALANAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA 672-1995 Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhur. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang, atau Dahyang, demikian beberapa sebutan yang biasa dipakai, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orangorang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai
suatu pekerjaan yang penting. Misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengerjakan tanah, dan lain sebagainya. Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaikbaiknya,
agar
restu
mudah
diperoleh.
Pertunjukan
wayang
erat
hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini. Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal. JAMAN SRIWIJAYA Kerajaan Sriwijaya bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar
di
Perguruan
Tinggi
tersebut.
Pada
waktu
itu
Sriwijaya
merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang. JAMAN SAILENDRA DI MATARAM
Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Inilah jaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya karena keadaan saat itu aman dan makmur. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha, sangatlah maju. Kesenian - terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman Bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu. JAMAN MAJAPAHIT Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 sampai dengan tahun 1478) yang menganut Agama Hindu, Agama Buddha masih dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan antar agama tak pernah terjadi. Pada waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, menulis sebuah buku yang berjudul "Sutasoma", di mana di dalamnya terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang kini dijadikan lambang Negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsurangsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh Agama Islam. JAMAN ABAD KE-20 Agama Buddha mulai bangkit kembali di Pulau Jawa ditandai dengan datangnya Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) pada bulan Maret 1934. Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
•
Memberikan
khotbah-khotbah
dan
pelajaran-pelajaran
Buddha
Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. •
Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
•
Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
•
Menjalin kerja sama yang erat dengan Bhikshu-Bhikshu (hweshiohweshio) dari klenteng-klenteng Kim Tek Ie, Klenteng Toeng San Tong di Jakarta, Klenteng Hok Tek Bio di Bogor, Klenteng Kwan Im Tong di Bandung, Klenteng Tin Kok Sih di Solo, dan perhimpunanperhimpunan Theosofie di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
•
Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi.
KARYA ARSITEKTUR 1. Vihara Vihara (dibaca "wihara" - V diucapkan sebagai W) adalah rumah ibadah agama buddha, bisa juga dinamakan kuil. Kelenteng adalah rumah ibadah penganut toaisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yg ke vihara/kuil/keleteng, umumnya adalah etnis tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk di bedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara buddhisme, toaisme, dan konfuciusisme. Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok. 2. Klenteng
Klenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu. Fungsi klenteng dapat dibedakan dari beberapa segi, yaitu: a. Segi keagamaan, tempat suci untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan; Tempat
melaksanakan
melaksanakan
pemujaan
penghormatan
kepada
pada
dewa-dewi;
orang-orang
suci;
Tempat Tempat
melaksanakan upacara keagamaan; dan Tempat menampung segala aktivitas (konsultasi,
pendalaman,
dan komunikasi)
tentang hal-hal
keagamaan; b. Segi sosial, tempat penyaluran dan pemberian bantuan/amal bagi umat yang kurang mampu serta pada fakir miskin; Tempat kontak sosial antar umat; dan Menyediakan tempat bermalam bagi umat yang membutuhkan ketika berkunjung kesana; c. Segi kebudayaan, menampung segala aktivitas untuk mempelajari kebudayaan (kesusastraan, tarian, barongsai) terutama di kalangan generasi muda; dan menjadi tempat tujuan wisata/rekreasi;
3. Candi a. Candi Borobudur Candi Borobudur merupakan nama sebuah candi Buddha yang terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah baratdaya Semarang dan 40 km di sebelah baratlaut Yogyakarta, dan berada pada ketinggian kira- kira 265,4 m di atas permukaan laut. Candi
ini
didirikan
penganut
oleh
agama
para
Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra.
diduga
dibangun
Samaratungga,
Candi oleh
salah
satu
ini Raja raja
Kerajaan Mataram Kuno. Pembangunan candi itu diduga selesai pada 847 M. Menurut Prasasti Klurak (784 M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat
dihormati,
dan
seorang
pangeran
dari
Kashmir
bernama
Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddha Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samaratthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Nama Borobudur sendiri masih mengandung banyak penafsiran dan banyak teori yang berusaha menjelaskan nama
candi
ini.
Salah
satunya
menyatakan
bahwa
nama
kemungkinan
berasal
dari
Sambharabhudhara, “gunung”
kata
artinya
(bhudara)
lereng-lerengnya
ini
di
mana
terletak
di
teras-
teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalnya, kata borobudur berasal dari ucapan “para
Buddha”
pergeseran
yang
karena
bunyi
perbandiangan akurat pada arsitektur Borobudur dengan konsepsi kosmos mandala.
menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah
bahwa
nama
ini
berasal
dari
dua
kata
“bara”
dan
“beduhur”. Kata
bara
berasal
dari
kata
vihara
(Sansekerta) yang
artinya
kompleks candi atau biara dan budur yang berasal
dari
kata
beduhur
yang
berarti di atas. Dengan demikian, Borobudur berarti “biara di atas bukit”
yang
diidentifikasikan
dengan
mungkin sebuah
gunung
yang
berteras-teras
(budhara). Sumber lain mengatakan Borobudur
berarti
“biara
yang
terletak di tempat tinggi”. Nama Borobudur diketahui terdapat dalam naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, di mana disebutkan “biara di Budur”. Kemudian pada naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Grafik ini mengilustrasikan kondisi lintasan matahari di abad 8, dimana titik terbit matahari akan bergeser beberapa derajat setiap terbitnya (dalam 1 tahun terhitung 367 kali terbit). Mengingat titik perubahan jarak matahari yg mengakibatkan terjadinya musim panas & musim dingin(solstices) maka dalam 1 tahun lintasan dibagi menjadi 183 titik terbit matahari.
Dalam pembangunan Borobudur, titik terbit matahari tersebut diwakili dengan pembangunan patung Budha (stupa) sebanyak 184 buah yang tersebar dari utara ke selatan.
Dari titik sudut pandang ini,
garis
lintang
matahari akan terlihat sebagai
garis
membujur. Sebagai garis
batas/patokan bujur
lintasan
matahari ini digunakan Gunung Merapi sebagai titik
terjauh
solstice
winter
dan
candi
Plaosan
sebagai
titik
solstice summer
Cerita pada relief candi secara ringkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga Salah dinding
candi
Borobudur
satu (lantai
ukiran 0
Karmawibhangga sudut
di
tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi
dinding batur yang terselubung tersebut, menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri ( serial ), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan
tercela
manusia
disertai
dengan
hukuman
yang
akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan
penggambaran
kehidupan
manusia
dalam
lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Lalitawistara Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan reliefrelief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke 27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan
untuk
Bodhisattwa
menyambut
selaku calon
hadirnya
Buddha.
penjelmaan
terakhir
Sang
Relief tersebut menggambarkan
lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum" ,sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda. Jataka dan Awadana Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari mahluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa / perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju keringkat ke buddhaan.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi. Gandawyuha Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke 2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan
Tertinggi
tentang
Kebenaran
Sejati
oleh
Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan
cerita
kitab
lainnya
yaitu
Bhadracari.
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar
dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan
kesempurnaan
Bodhisattva
yang
harus
menjadi
dilalui
untuk
mencapai Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
b. Candi Mendut Candi Mendut merupakan candi yang terletak paling timur dari garis lurus tiga serangkai candi (Borobudur,
Pawon,
Mendut).
Candi ini didirikan oleh dinasti Syailendra dan berlatar berlakang agama
Budha,
ditunjukkan
dimana
dengan
hal
ini
adanya
bentuk stupa sebanyak 48 buah pada bagian atasnya.Tidak diketahui secara pasti kapan candi ini didirikan. Namun seorang arkeologi Belanda menyebutkan bahwa didalam prasasti yang ditemukan didesa karangtengah bertarikh 824M dikemukakan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama venunava yang artinya adalah hutan bambu. Jika hal ini benar maka bisa dipastikan Candi Mendut didirikan pada abad ke 8 Masehi. Pada bagian dalam candi ini terdapat ruangan yang berisikan altar tempat tiga arca Budha berdiri. Ketiga arca tersebut mulai dari yang paling kiri adalah
Bodhisattva
Vajravani,
Buddha
Sakyamuni
dan
Bodhisattva
Avalokitesvara. Ketiga arca Budha tersebut masih dalam kondisi bagus, beberapa bunga-bunga dan dupa nampak tergeletak dibagian bawahnya. Sebuah pagar besi dibangun dibagian depan arca tersebut untuk menghindari interaksi pengunjung yang berlebihan/tidak berkepentingan atas ketiga patung Budha ini. Relief-relief yang terdapat pada dinding candi ini masih jelas terlihat bentuk/ukirannya. Relief tersebut mengandung cerita berupa ajaran moral dengan menggunakan tokoh-tokoh binatang (fabel) sebagai pemerannya. Terdapat cerita "Brahmana dan Kepiting", "Angsa dan Kura-kura", "Dua Burung Betet yang Berbeda" dan "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi", yang secara ringkas isi ceritanya adalah sebagai berikut: "Brahmana dan Kepeting": Menceritakan kisah seorang brahmana yang
menyelamatkan kepiting
seekor
untuk
kemudian
kepiting ini membalas budi dengan
cara
menyelamatkan
brahmana
dari gangguan gagak dan ular. "Angsa Bercerita
dan
Kura-kura":
tentang
kura-kura
seekor yang
diterbangkan
dua
ekor
angsa kedanau yang baru. Relief bagian belakang candi merupakan
Karena
emosi
relief terbesar pada candi ini
menangapi perkataan atas
menggambarkan Budha Avalokitesvara
apa yang mereka lakukan, kura-kura
dalam
melepaskan
gigitannya sehingga jatuh ketanah
dan
akhirnya
mati.
"Dua
Burung
Betet
yang
Berbeda":
Mengisahkan kelakukan dua burung betet yang sangat berbeda karena satunya dibesarkan oleh brahmana dan satunya lagi oleh seorang penyamun. "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi": Dua orang sahabat yang berbeda kelakuannya dimana Dustabuddhi yang memiliki sifat tercela menuduh Dharmabuddhi melakukan perbuatan tercela, namun akhirnya kejahatannya terbongkar dan Dustabudhi-pun dijatuhi hukuman. Secara kronologis, Candi Mendut ditemukan pada tahun 1836. Kemudian di renovasi pada tahun 1897 dan 1904 pada bagian tubuh candi namun hasilnya kurang memuaskan. Pada tahun 1908 dipugar kembali oleh arkeolog belanda hingga bagian puncaknya dapat disusun kembali. Tahun 1925 sejumlah stupa yang telah dirapihkan, dipasang dan disusun kembali. Luas bangunan secara keseluruhan adalah 13,7x13,7 meterdengan tinggi 26,4 meter.
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari dua juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir. Candi Borobudur terdiri dari 10 tingkat: enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar, dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Tersebar pula di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Buddha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut. Candi Borobudur memiliki 504 stupa Buddha di kompleksnya. Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini. Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang
sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar. Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga “unfinished Buddha”, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha—padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama. Patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan, patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong
inilah
umat
Buddha
diperkirakan
melakukan
upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan
dan
struktur
bertingkat-tingkat
ini
diduga
merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa lem.
Candi Buddha ini memiliki 1.460 relief, di setiap tingkatan dipahat reliefrelief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya timur. Relief-relief ini bermacammacam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita Jtaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya; mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meski sisi-sisi lainnya serupa benar. c. Bangunan Hunian dan Usaha •
Rumah toko Bangunan ini mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai hunian di lantai atas dan di lantai bawah digunakan untuk berdagang. Inilah cikal bakal konsep ruko yang terlihat sekarang menjamur di kota-kota besar.
•
Rumah besar/rumah keluarga Pada bangunan ini tinggal satu keluarga dengan tiga generasi. Umumnya anak lelaki tertua yang tinggal di dalam rumah ini, meneruskan generasi orang tuanya, sampai pula beranak cucu yang juga sudah berkeluarga dan tinggal bersama dalam satu rumah. Ciri yang kuat dari rumah keluaraga ini, ada meja sembahyang atau meja abu leluhur setelah masuk dari pintu utama rumah keluarga ini. Pemujaan terhadap leluhur masih merupakan tradisi kuat dalam keluarga
Cina
(Lilananda
1995:25).
Widodo
dalam
Lilananda
(1990:51-52) menyatakan bahwa ciri-ciri rumah Cina adalah sebagai berikut: 1. pembagian zoning yang cukup jelas, yaitu publik, semi publik, privat, dan servis; 2. adanya dark alley (lorong) sebagai
sirkulasi; dan 3. adanya courtyard sebagai penghubung antara rumah depan dan belakang. Bentuk
rumah
courtyard
khususnya
di
Cina
memiliki
tiga
karakteristik yang terlihat sangat penting, yaitu bentuknya yang tertutup yakni biasanya bangunan dikelilingi oleh tembok-tembok yang memisahkan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, simetri dan struktur hirarkinya. Courtyard terbentuk oleh empat paviliun yang mengitari suatu pekarangan dalam. Empat paviliun ini sendiri juga menjadi sebuah dinding pada sebelah luarnya. Gerbang yang merupakan akses menuju courtyard hampir selalu diletakkan pada sudut tenggara dengan pertimbangan Hong-Sui. Pintu ini menuntun kita pada courtyard yang pertama, yang paling tidak penting tingkatannya,
misalnya
untuk
pembantu
laki-laki,
tamu
atau
keluarga yang tidak dekat hubungannya, atau keluarga yang paling miskin. Court yang pertama, melewati pintu kedua menuju courtyard kedua yang merupakan court utama, dan terdapat dua buah bangunan yang
berseberangan
dan
menghadap
selatan.
Bangunan
ini
merupakan tempat berkumpul keluarga inti dan bangunan di seberangnya merupakan tempat istirahat dan tidur. Pada sisi timur dan sisi barat court utama terdapat tempat tinggal keluarga generasi kedua. Berseberangan dengan bangunan ini dibangun ruang service, dapur dan lain sebagainya. Pada banyak kasus ditemukan, di belakang bangunan utama terdapat court ketiga yang merupakan tempat tinggal selir dan pembantu tinggal, kadangkadang dapur juga ditemukan di sini. •
Rumah kampung Rumah kampung merupakan rumah rakyat masyarakat Cina pada masa lalu. Sekarang, umumnya sudah berbaur dengan berbagai etnis lain, tetapi ciri bangunan rumah kampung dengan arsitektur Cina masih kuat terlihat dari tatanan rumah dalamnya.