Arsitektur Kalumpang New IMIN Asli [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ARSITEKTUR KALUMPANG JANTUNG TRADISI AUSTRONESIA



Muhaimin Faisal



Arsitektur Banoa Batang Kalumpang



iii



ARSITEKTUR KALUMPANG Penulis : Muhaimin Faisal Penyunting : Penata Letak : Diterbitkan pada tahun 2022 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.



iv



Aceh



Arsitektur Rumah Tradisional iii



SAMBUTAN Lompatan teknologi perlahan membentuk karakter generasi millenial untuk pragmatis dan cenderung tidak mau ribet dan fokus pada hasil serta abai pada proses. Realitas ini merupakan ancaman sekaligus tantangan terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, bijaksana, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal ramah, santun, toleran, serta berbudi pekerti luhur dan mulia. Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan karakter bangsa yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Penguatan pendidikan karakter bangsa dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang memumpunkan ketersediaan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Bahan bacaan berkualitas itu dapat digali dari lanskap dan perubahan sosial masyarakat perdesaan dan perkotaan, kekayaan bahasa daerah, pelajaran penting dari tokoh-tokoh Indonesia, kuliner iv



Indonesia, dan arsitektur tradisional Indonesia. Bahan bacaan yang digali dari sumber-sumber tersebut mengandung nilai-nilai karakter



v



bangsa, seperti nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilainilai karakter bangsa itu berkaitan erat dengan hajat hidup dan kehidupan manusia Indonesia yang tidak hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan alam semesta, kesejahteraan sosial masyarakat, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila jalinan ketiga hal itu terwujud secara harmonis, terlahirlah bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat mulia. Salah satu rangkaian dalam pembuatan buku ini adalah proses penilaian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuaan. Buku nonteks pelajaran ini telah melalui tahapan tersebut dan ditetapkan berdasarkan surat keterangan dengan nomor 13986/H3.3/PB/2018 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 2018 mengenai Hasil Pemeriksaan Buku Terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang Pembelajaran, Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar beserta staf, penulis buku, juri sayembara penulisan bahan bacaan Gerakan Literasi Nasional 2018, ilustrator, penyunting, dan penyelaras akhir atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi khalayak untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan keberagaman hidup manusia. Mamuju, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Salam kami, Ttd vi



Prof. Gofron



vii



viii



ABSTRAK Abstrak Arsitektur dari suatu bangsa, pada suatu masa sering berbeda-beda, baik dalam hal bentuk maupun konsep-konsep yang melandasinya. Hal ini tentu disebabkan adanya perbedaan kebudayaan dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Setiap suku bangsa biasanya akan menunjukkan identitas budayanya melalui bendabenda budaya yang mereka buat. Demikian halnya masyarakat Dayak Kanayatn memiliki ciri tersendiri dalam bentuk arsitektur bangunan khususnya bangunan rumah tinggal. Bentuk arsitektur masyarakat Dayak Kanayat’n yang tinggal di Desa Sahapm tercermin dalam bentuk Rumah Betang atau Rumah Panjang dan hingga kini masih dijaga dan dihuni oleh masyarakat. Bentuk rumah Betang juga menunjukkan hidup kebersamaan bagi penghuninya. Dalam Rumah panjang atau Rumah Betang mereka berinteraksi antara bilik yang satu dengan bilik yang lainnya Indonesia sangat kaya akan seni, adat, dan budaya. Terkadang, ketiganya—seni, adat, budaya—bisa menyatu dalam satu



bentuk.



Rumah



tradisional,



misalnya,



bisa



memuat ketiga hal tersebut. Secara arsitektur, rumah tradisional mengandung nilai seni yang sangat tinggi. ix



Secara filosofis, rumah tradisional memuat nilai-nilai adat dan kearifan suatu daerah. Secara umum, rumah tradisional menggambarkan kehidupan dan budaya masyarakat pemilik rumah tersebut. Dalam



buku



ini dipaparkan



tentang rumah



tradisional komunitas Kalumpang Sulawesi Barat yang dikenal dengan nama Banoa Batang. Bagi komunitas Kalumpang, rumah tradisional rumah khas, yang dihuni sejak lampau. Buku



sederhana



ini



berusaha



memaparkan



arsitektur Banoa Batang secara umum, mulai dari truktur bangunan, hingga nilai-nilai filosofi yang terkandung di baliknya. Dengan membaca buku ini, siswa



diharapkan



dapat



mengenal



lebih



dekat



tentang konstruksi dan nilai-nilai di balik rumah tradisional Banoa Batang. Rumah tradisional Banoa Batang



merupakan



salah



satu sumber kekayaan



seni, adat, dan budaya S u l a w e s i B a r a t s e c a r a khusus dan



Indonesia secara umum. Oleh karena



itu, dengan membaca buku ini, siswa akan semakin mengenal kekayaan seni budaya dan keunggulan komparatif nenek moyangnya. daerah di Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi siswa



setingkat



mengenal



sekolah



arsitektur



menengah tradisional.



atas



dalam Kendati x



diperuntukkan bagi siswa sekolah menengah atas, buku ini juga dapat digunakan para pelajar dan mahasiswa lain serta para arsitek. Beberapa bagian tentang struktur Banoa Batang menggunakan bahasa Kalumpang. Hal ini bertujuan agar terbangun jarak psikologis yang lebih dekat juga sebagai bentuk penghargaan terhadap bahasa daerah yang merupakan identitas setiap daerah. Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi anak-anak Indonesia yang mau belajar lebih dalam tentang arsitektur tradisional di Indonesia. Semoga buku ini dapat pula menjadi referensi atau acuan bagi setiap orang untuk menulis kekayaan arsitektur tradisional di daerahnya masingmasing. Akhirulkalam, penulis mengucapkan selamat membaca. Dengan membaca, kita banyak tahu. Dengan menulis, kita memberi tahu. Mamuju, Februari 2021 Muhaimin Faisal



xi



Rumah Betang, Jantung Tradisi dan Pusat Kebudayaan Dayak Kanayat’n Melihat bentuk rumah betang dari sisi tata ruang, bentuk bangunan, aksesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya memiliki arsitektur tersendiri. Ini tergambar dari bagaimana pola hidup, pola pikir, filosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat suku Dayak Kanayat’n. Bentuk rumah betang milik suku Dayak Kanayat’n terdiri dari bangunan panjang dan hanya terdapat satu unit dalam satu kampung. Kepala Dusun Dayak Kanayat’n, Desa Saham, Kecamatan Tengah Kemila Kabupaten Landak, Jonianto, menjelaskan, “Rumah ini memiliki 35 pintu, dengan masing-masing pintu yang dapat menampung 2-3 kepala keluarga. Uniknya, rumah ini sangat tidak biasa, karena berbeda dengan rumah betang dari suku Dayak lain. Biasanya rumah betang Dayak lain tidak lebih dari 5 unit”. Ungkap Jonianto kepada tim Indonesiakaya.com yang menemuinya langsung di Dusun Dayak Kanayat’n. Bentuk rumah betang memiliki ciri khas yakni berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Ruang kosong di bawah rumah berfungsi sebagai tempat menyimpan padi hasil panen. Badan rumah (dinding) di beberapa rumah memiliki arsitektur jengki dengan atap pelana memanjang. Struktur ruang rumah Betang memiliki serambi, dimana setiap pintu memiliki serambi yang tidak bersekat satu sama lain. Kemudian, rumah ini juga memiliki ruang keluarga, ruang dapur, dan ruang tidur. Dapur mempunyai pemandangan langsung menuju ruang keluarga. Seperti umumnya dapur, ruang ini hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Arsitektur dapur di rumah betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja. Jonianto menceritakan, suku Dayak Kanayant’n memiliki beberapa keahlian misalnya, bermain musik, gong dan kecapi. Kesenian ini menurutnya, untuk mempertahankan budaya masyarakat di sini. Suku Dayak Kanayat’n juga xii



memiliki sanggar seni, sanggar ini dimaksudkan sebagai sarana  mempertahankan budaya dan untuk keperluan regenerasi.   Selain itu, warga suku Dayak Kanayat’n mahir membuat anyaman. Anyaman dari daun tersebut kemudian dirangkai menjadi topi capling (topi tani) dan tas punggung untuk membawa hasil pertanian. ”Warga Dayak Kanayat’n memiliki mata pencaharian dari berladang dengan nyorek atau mengambil karet dan menanam padi. Setiap kali akan berladang, suku Dayak Kanayat’n  memiliki beberapa ritual salah satunya bersembahyang di sebuah tempat khusus untuk memberikan penghormatan,” ungkap Jonianto. Selain di ladang dan hutan, aktivitas suku Dayak lebih banyak dilakukan di dalam rumah baik itu aktivitas sosial, kebudayaan, bahkan pusat kekuasaan mengatur tata kehidupan masyarakat. ”Dengan kata lain, rumah betang bagi suku Dayak merupakan pusat kebudayaan dan jantung tradisi mereka. Karenanya, keberadaan rumah betang harus tetap dijaga kelestariannya. Walaupun sudah tidak ditempati lagi, setidaknya tetap dijadikan sebagai bangunan konservasi karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi orang Dayak,”



xiii



DAFTAR ISI Sambutan.............................................................................. Abstrak................................................................................ Daftar Isi............................................................................ Kalumpang Pusat Kebudayaan Austronesia Rumah Tradisional Banoa Batang...................................... 1. Tipologi permukiman 2. Tipologi dan Morfologi Banoa Batang 3. Banoa Batang “Jantung” Tradisi Austronesia 4. Orientasi bangunan 5. Konstruksi Bangunan....................................................... a.



Elemen Banoa Batang...............................................



b.



Perkakas Membangun Banoa Batang.......................



c.



Pembagian Ruang......................................................



d.



Rumah Tahan Gempa................................................



6. Makna dan Filosofi Banoa Batang................................. 7. Budaya Berhuni dan Kesan Termis pada Banoa Batang 8. Tektonika Arsitektur Banoa Batang Kehandalan Sistem Struktur dan Konstruksi Banoa Batang dalam Merespon Gempa 9. Pengaruh Pondasi Umpak pada Perilaku Seismik 10.Ritual Pendirian dan Memasuki Banoa Batang 11. Eksistensi Banoa Batang



12. Arsitektur Kalumpang sebagai sumber pengetahuan .......... 13. Asosiasi dengan bangunan lain 14. Arsitektur Lumbung ......................... ...................................... 15. Arsitektur Jembatan ............................................................. Pola Ruang dan Siklus Udara



******



Kalumpang Pusat Kebudayaan Austronesia Secara harfiah, Austronesia berarti “Kepulauan Selatan” berasal dari bahasa Latin: Australis yang berarti Selatan dan bahasa Yunani: nenos (jamak: nesia) yang berarti pulau. Suku Austronesia menjadi leluhur cikal bakal kebudayaan dan Bahasa Indonesia. Suku Austronesia memiliki teknologi irigasi maju seperti terasiring, dengan begitu suku Austronesia telah memberi kontribusi penting dalam memajukan pertanian Nusantara kala itu. Dalam historisitas Indonesia, awal kolonialisasi Austronesia di Kepulauan Nusantara adalah sekitar 3.800 SM, dengan Situs Minanga Sipakko di Kalumpang Sulawesi Barat sebagai penanda. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa Kalumpang merupakan lokasi koloni tertua, secara gradual lebih mengarah ke Barat menuju Sumatera dan



Jawa, ke Selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke Timur menuju Maluku dan Pasifik, menurut para ahli antropologi. Dengan segala bentuk penyebaran yang tidak terduga, Austronesia masih belum bisa menghasilkan peradaban akibat pola penyebarannya yang divergen. Disaat bersamaan



peradaban menghasilkan system tulisan yang penyebarannya berpola konvergen. Mereka tersebar kedalam komunitas-komunitas kecil atau sering juga disebut dengan head hunting. Untuk menumbuhkan kapasitas identitas Austronesia di wilayah yang cross-regional dipercaya harusnya ada regional grouping yang baru dan lebih kuat secara sosial politik. Perkembangan teori asal-usul Austronesia yang telah diajukan oleh para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda-beda melalui pendalaman studi antropologi, arkeologi, bahasa, dan genetika. Tetapi intinya ada tiga kubu model rekonstruksi asal-usul masyarakat penutur Bahasa Austronesia, yaitu; Pertama, Austronesia berasal dari pulau Taiwan. Kedua, Austronesia berasal dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan Ketiga Austronesia berasal dari kawasan Melanesia. Migrasi ini didasarkan pada bukti material bertipe sama yang juga tercatat ada di pulau-pulau Asia Tenggara. Semua muncul di lokasi penggalian yang tersebar luas antara 6.000 dan 3.500 tahun yang lalu. Umur temuan yang setipe ditemukan semakin ke Selatan semakin muda, yaitu menuju Indonesia dan Oseania Barat. Diantaranya adalah tembikar berslip merah diperkirakan berusia 4.500 – 3.500 tahun, muncul di daerah pesisir dan pedalaman Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara dan Halmahera. Warisan bersama juga terlihat lewat kebiasaan seni tato, penggunaan cadik pada



perahu dan karakteristik social seperti perhatian terhadap urutan kelahiran saudara kandung dan penghormatan untuk pendiri suku dan leluhur. Kalumpang, bukan sekadar kecamatan terluas di dataran tinggi Mamuju, ibukota Sulawesi Barat. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan dan meninggalkan jejak peradaban manusia di Sulawesi yang hingga kini masih menyisakan tradisi Austronesia dengan lengkap. Bangsa Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini. Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawaii itu terlacak melalui penemuan sejumlah situs di wilayah Kalumpang. Kalumpang sebagai hunian dari masa neolitik, pertama kali diperkenalkan oleh Dr. P.V Stein Callenfels, seorang prehistorian berkebangsaan Belanda bekerja di Lembaga Purbakala



(Oudheidkundige



Dienst)



pada



masa



kolonial.



Stein



Callenfels



mempresentasekan hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di Manila tahun 1951 dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952.  Singkatnya, riset itu dimulai tahun 1933, A.A. Cense juga mengajak Van Stein Callenfels, dua arkeolog Belanda, memulai penelitiannya. Berbagai temuan yang didapat menarik arkeolog Belanda H.R. van Heekeren. Pada 1949, Van Heekeren juga melakukan pekerjaan yang sama dan menemukan banyak benda-benda prasejarah. Seperti pendahulunya, Heekeren menyusuri Sungai purba Karama selama hampir sepekan untuk mencapai Kalumpang.



Tetapi kedatangan Cense ke Kalumpang atas perintah dan ketertarikan Gubernur Jenderal di Wilayah Sulawesi ketika itu J. Caron atas temuan arca Budha tipe amarawati yang ditemukan penduduk lokal. Patung amarawati inilah yang menjadi awal dari rangkaian panjang penelitian dan penelusuran artefak yang kemudian mempertemukannya dengan benda-benda prasejarah yang lebih tua. Data sekunder hasil riset Cense dan Callenfels memberi kemudahan Van Heekeren untuk menjadikan bukit Kamassi Desa menjadi sasaran utama. Walaupun sebelumnya, arkeolog Belanda ini telah melakukan ekskavasi di Desa Sikendeng, di daerah muara Sungai Karama yakni di Desa Sampaga. Di Kamassi Van Heekeren banyak menemukan mata beliung dari batu dan gerabah, tentu dengan melibatkan warga lokal. Callenfels sendiri pernah kembali ke Kalumpang tahun 1937. Van Heekerenlah yang menemukan situs Minanga Sippako, sekitar 2 km dari Desa Kalumpang dan situs Kamasi, sekitar 500 meter dari pusat Desa Kalumpang. Ada mata kapak berbagai bentuk dan ukuran, pecahan gerabah, dan gerabah utuh., dari sinilah bermula keyakinannya bahwa benda-benda itu berasal dari zaman prasejarah. Lebih tepatnya dari masa bercocok tanam tatkala Kalumpang memulai berladang. Masa yang menandai beralihnya pola pencarian sumber makanan dari berburu menjadi berladang. Saat itu manusia memang menggunakan beliung batu sebagai salah satu alat membuka dan mengolah lahan. Dari rangkaian penelitian-penelitian itu, Kalumpang menjadi magnet kuat bagi para peneliti kelas dunia sejak penelitian pertama tersebut. Diantaranya Soejono dan Mulvaney tahun 1969 serta Uka Tjandrasasmita dan Abu Ridho tahun 1970. Hasil eksplorasi Soejono memperkaya pengetahuan tentang jejak dan fase kebudayaan



Kalumpang akan adanya periode Paleometalik yang buktinya diperkuat atas hasil penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Selatan pada tahun 20013 dan 2014 . Selain pecahan tembikar, baik bermotif maupun polos, di kedua situs juga ditemukan berbagai peralatan batu, seperti beliung persegi, pisau, mata panah, mata tombak, dan pemukul kulit kayu. Artefak-artefak itu menandai corak kebudayaan neolitikum masyarakat Kalumpang. Alat batu yang dipoles dan mata tombak. Tembikar, alat pertanian batu, kayu dan tulang, bukti pertukangan, pembuatan kapal, kumparan pemintal benang untuk menenun, anyaman tali bercocok tanam, padi lading serta hewan ternak seperti babi dan kerbau. Adanya pergeseran dari gaya hidup berburu yang diduga berasal dari masa Paleolitik Asia Timur ke kehidupan menetap dengan bertani dan beternak. Profesor Truman Simanjuntak peneliti senior Pusat Arkeologi Nasional juga menjadi salah seorang yang membuktikan ketertarikannya. Selain pecahan tembikar, baik bermotif maupun polos, di kedua situs juga menemukan berbagai peralatan batu, seperti beliung persegi, mata panah, pisau, mata tombak, dan pemukul kulit kayu. Artefak-artefak itu menandai corak kebudayaan neolitikum masyarakat pembuatnya. Karena itu, Truman menilai, Kalumpang menjadi titik penting menelusuri leluhur langsung bangsa Indonesia dan kehidupan awal mereka di Nusantara. Dalam konteks temuan tembikar, penanda utama kebudayaan Austronesia, Truman mengatakan, Kalumpang adalah situs terkaya di Asia Tenggara. ”Ada puluhan motif, hiasan, dan teknik pembuatan keramik yang ditemukan di Kalumpang. Ia juga mengatakan, situs Kalumpang adalah peninggalan Austronesia tertua di Nusantara dari jalur migrasi utara (Taiwan). ”Hasil penanggalan di situs itu mencapai usia 3.800 tahun,” ujarnya.



Berdasarkan penanggalan pada artefak dan ekofak yang ditemukan, diketahui bahwa situs itu berasal dari 3.600 SM. Terbilang tua lantaran penutur Austronesia kuno memasuki wilayah nusantara sekitar 4.000 SM. Di sana, selain artefak, juga ditemukan ekofak berupa sisa tulang-tulang hewan hasil konsumsi, seperti babi, rusa, dan kerbau. Sejauh ini, situs-situs neolitik yang ditemukan di kawasan pesisir dan pantai di Sulawesi berusia lebih muda, antara 1.000 sampai 3.000 SM. Di Minanga Sipakko dan Kalumpang para arkeolog itu berhasil menemukan puluhan alat batu seperti beliung dan kapak batu. Model semacam itu juga amat umum ditemukan di situs-situs neolitik lainnya di Sulawesi. Beliung dan kapak batu itu rupanya ditemukan pula di Filipina, Jepang, dan Taiwan. Alat ini juga tersebar sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, dan Malaysia. Para arkeolog itu juga menemukan peralatan dari gerabah atau tanah liat yang dibakar. Bentuk-bentuknya variatif, mulai dari mangkuk sampai tempayan, dan kaya dengan ragam hias. Bahkan ada ragam hias yang bersifat lokal, yang tak ditemukan pada situs-situs neolitik lain di Nusantara. Kalumpang dan Minanga Sipakko terbilang sebagai situs neolitik terlengkap di Indonesia. Termasuk Peter Bellwood seorang dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University (ANU) di Canberra, Australia. Bidang kepakarannya mencakup prasejarah Asia Tenggara dan Pasifik dari segi arkeologi, linguistik dan biologi, asal usul pertanian dan akibatnya dalam perkembangan kebudayaan, bahasa dan biologi, kaitan interdisipliner antara arkeologi, linguistik dan biologi manusia. Professor Bellwood adalah sekretaris jenderal Indo-Pacific Prehistory Association dan editor Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association dan anggota dewan redaksi Asian Perspective, Journal of Archaeological Method and Theory, Journal of



Austronesian Studies, Journal of World Prehistory, Review of Archaeology dan Sarawak Museum Journal. Peter Bellwood, dalam buku Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago terbitan tahun 2007, meyakini bahwa peralatan batu dan motif tembikar dari situs Kalumpang merupakan yang paling mirip dengan artefak neolitik. Artefak jenis ini ditemukan di Taiwan. Salah satu teori yang populer menyebutkan, orang Austronesia bermigrasi dari Taiwan sekitar 5.000 tahun silam melintasi lautan menuju Filipina. Dari sana mereka menyebar ke Sulawesi dan Kalimantan, lalu ke seluruh kepulauan Nusantara dan pulau-pulau di Samudra Pasifik. Ujung terjauh migrasi itu mencapai Pulau Paskah di timur dan Madagaskar di barat. Bahasa Austronesia pun menjadi ”moyang” dari sebagian besar bahasa yang digunakan di wilayah itu, termasuk Indonesia. Selain bahasa, peralatan batu, dan tembikar, orang Austronesia juga membawa budaya pertanian ke wilayah-wilayah tersebut. Informasi lain dari Iwan Sumantri seorang arkeolog Universitas Hasanuddin, Makassar. Menurutnya, “sebelum dilakukan banyak penelitian di Kalumpang, masyarakat setempat masih beranggapan bahwa mereka bagian dari suku Toraja atau Mamasa, daerah tetangga Kalumpang. ”Namun, setelah masyarakat mengetahui riwayat daerah yang dihuni selama ribuan tahun, mereka berkeyakinan memiliki identitas tersendiri sebagai orang Kalumpang”. Menurut arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan, situs Kalumpang memiliki karakter neolitik murni yang sangat sulit ditemui di daerah lain di Indonesia. Namun, penelitian arkeologis yang dilakukan selama ini belum bisa



menjangkau semua potensi sebaran situs. Selain Minanga Sipakko dan Kamassi, BPCB Makassar juga mencatat setidaknya terdapat delapan situs lain yang belum dieksplorasi maksimal di wilayah Kalumpang. Tradisi memahat yang beralur di sebuah batu gigantik tidak jauh dari Patondokan, sebuah perkampungan tua masyarakat komunal Kalumpang, ditemukan Zulkifli Pagessa, seorang arsitek, sejarawan, pemerhati sosial dan pekerja seni budaya dari Donggala Sulawesi Tengah. Orang Kalumpang menyebutnya Batu Kondongan, tempat melantik Petoiutta (Pasukan Perang) dengan melompati batu di tebing Tanete Paken atau orang dahulu mengenalnya Tanete Tau-Tau. Juga tentang peti mayat lapuk diletakkan diantara dua batu tersimpan rapih dalam goa dengan bebatuan hijau di wilayah Kalimbuang. Menurut cerita Tobaraq Kalumpang Silas Paindang biasa disapa Nenek Udang, mayat dalam peti tersebut adalah Ni Pandang, seorang putera tersayang, rasa sayang itulah yang menyebabkan tak rela dan sudi untuk ditanam. Diletakkan dalam sebuah peti disimpan dalam goa dengan maksud ketika itu agar setiap saat dapat dikunjungi dan dipandangi. Orang Kalumpang hidup bersahaja di perkampungan unik khas dataran tinggi, dataran lembah subur yang dikelilingi pegunungan. Warga menyandarkan penghidupan dari menggarap pertanian dan hasil hutan, seperti padi, kopi, tanaman kayu, rotan, kemiri, enau, damar nilam dan tanaman jangka pendek lainnya. Juga masih ada yang menyambung hidup dengan menenun walaupun yang tersisa hanya segelintir.. ”Orang Seko (daerah perbatasan Kalumpang- Luwu Sulawesi Selatan) dulu menyebut daerah kami Tanalotong. Artinya, ’tanah subur’. Kini, kami memakai nama itu untuk menyebut masyarakat adat kami,” kata Robert Eli Sipayo sang penjaga tradisi



Kalumpang seorang Tobaraq yang menjadi langganan para peneliti. Masyarakat adat Tana Lotong perlahan mulai popular terlepas dari pro kontra yang menyertainya. Secara administratif masyarakat adat “Tana Lotong” tersebar di tiga kecamata yakni : Kecamatan Kalumpang, Kecamatan Bonehau, dan Kecamatan Tommo Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya sangat terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan menerobos kanopi hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang masih dalam tahap perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap menyebabkan akses menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit dijangkau. Kecamatan Bonehau merupakan pemekaran dari Kecamatan Kalumpang sejak 10 tahun yang lalu. Jumlah penduduk di kecamatan Bonehau pada tahun 2013 kurang lebih 6.000 jiwa (versi BKKBN) dengan jumlah penduduk wajib  pilih 1.823 jiwa, dan 729 Kepala Keluarga. Masing-masing jumlah penduduknya, Kalumpang 13.536 jiwa, dan 9.257 jiwa untuk Bonehau. Ini menurut Data Statistik Kabupaten Mamuju 2009. Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat adat Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di antara penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah Masyarakat adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih memegang teguh adat-istiadat, dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya.



Rumah adat Banoa Batang yang mengandung nilai filosofis yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya hingga saat ini.



Tipologi permukiman Sebagai negara kepulauan terbesar dan tersebar dengan jumlah pulau sekitar 17.508 membentang sepanjang 5.210 km dari Timur ke Barat, dihuni oleh sekitar 300 suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Disertai keanekaragaman dan karakteristik masing-masing secara fisik, lingkungan, sosial-budaya terwujud dalam model permukiman, baik terletak dipedalaman, pegunungan maupun tepian sungai. Ini adalah salah satu keunikan negeri kita Indonesia diantara sekian banyak keunikannya. Permukiman sebagai wadah atau wujud fisik budaya saling mempengaruhi dengan isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami sebagai tempatnya. Ada dua aspek



penting mengenai isi dan lingkungan alami dari sebuah permukiman. Pertama, isi



meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua, lingkungan alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial (geografi fisik) mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya perubahan fisik, sosioekonomi masyarakat. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) karena akses transportasi, demikian pula dengan Kalumpang. Akses DAS merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya Kalumpang. Sungai purba Karama yang berhulu di



Seko Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan mengalir membelah Kalumpang sepanjang hingga bermuara di Sampaga.



Abstrak, Penelitian situs di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Karama, Sulawesi Barat, telah dilakukan selama bertahun-tahun dan menghasilkan indikasi aktivitas hunian yang intensif pada masa Prasejarah. Dengan demikian, perlu diupayakan mencari alasan di balik penghunian manusia di DAS Karama berdasarkan korelasi antara morfologi, karakteristik situs, dan distribusi situs. Metode saintifik diterapkan untuk mendapatkan data dari lapangan dan melakukan analisis spasial. Perubahan morfologi lokasi situs dan erosi di kawasan DAS Karama menyebabkan transformasi data arkeologi serta memengaruhi lingkungan fisik lokasisitus. Meskipun demikian, pengaruh tersebut tidak lantas mengurangi pentingnya komponenfisik lokasi situs sebagai data analisis spasial. Analisis korelasi data dari situs, baik di sepanjang aliran utama Sungai Karama di kawasan muara maupun di kawasan pedalaman, mengindikasikan karakteristik lanskap hunian. Karakteristik tersebut menunjukkan lokasi hunian berada padamorfologi aluvial sungai (puncak bukit, teras bukit, dan teras sungai), berada pada topografi lahan yang relatif datar dan berlokasi di tepi aliran utama sungai atau di tepi pertemuan sungai(confluence). Ada dua faktor utama yang mendukung



kawasan DAS Karama sebagai lokasihunian, yakni aksesibilitas dan keamanan. Faktor aksesibilitas meliputi kemudahan aksesterhadap sumber daya



alam



dan



akses



yang



memungkinkan



terjadinya



interaksi



antarkomunitas. Faktor keamanan menunjukkan bahwa lokasi situs relatif terlindungi dari ancaman bencanaalam dan manusia. Kedua faktor tersebut kemungkinan besar menjadi alasan utama manusia memilih kawasan DAS Karama sebagai lokasi hunian. Sebaran situs di sepanjang DAS Karama digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni kelompok situs di muara dan kelompoksitus di pedalaman. Kelompok situs di muara DAS Karama, antara lain Sikendeng, Lattibung, Lemo Lemo, Along Along, dan Pantaraan, sedangkan kelompok situs di pedalaman DAS Karama, antara lain Sakkarra, Salu Makulak, Minanga Sipakko, Kamassi, dan Palemba.



selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Aksesibilitas penduduk di daerah pedalaman, pegunungan maupun tepian sungai, terhubung melalui hutan dan sungai-sungai untuk menghubungkan penduduk dari daerah hulu ke daerah hilir sungai, seperti aksesibilitas masyarakat Kalumpang tautan lingkungan alami tercermin



melalui karakteristik fisik merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya. Selain itu, Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, yakni: a.      Pola permukiman menyebar Rumah-rumah para petani tersebar berjauhan satu sama lain. Pola ini terjadi karena belum adanya jalan-jalan besar, sedangkan orang-orang harus mengerjakan tanahnya secara terus menerus. Dengan demikian, orang-orang tersebut terpaksa harus bertempat tinggal di dalam lahan mereka. b.      Pola permukiman memanjang Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya masing-masing. c.       Pola permukiman berkumpul Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk berkumpul dalam sebuah kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar kampung. d.     Pola permukiman melingkar Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakangnya. 4    Berdasarkan mata pencaharian Tipe masyarakat desa berdasarkan mata pencaharian pokok dapat diklasifikasikan dalam desa pertanian dan desa industri. a.      Desa pertanian terdiri atas: 1) desa pertanian dalam artian sempit yang meliputi: desa pertanian lahan basah dan lahan kering. 2) desa dalam artian luas yang meliputi:



desa perkebunan milik rakyat, desa perkebunan milik swasta, desa nelayan tambak, desa nelayan laut, dan desa peternakan. b.      Desa industri yang memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern. 5    Berdasarkan perkembangannya Berdasarkan perkembangannya, tipe desa di Indonesia terbagi atas empat tipe, yakni: a.      Pra desa (desa tradisional) Tipe desa semacam ini pada umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat adat terpencil, dimana seluruh kehidupan masyarakatnya termasuk teknologi bercocok tanam, cara memelihara kesehatan, cara makan dan sebagainya masih sangat tergantung pada alam sekeliling mereka. Tipe desa seperti ini cenderung bersifat sporadis dan sementara. b.      Desa swadaya Desa ini memiliki kondisi yang relatif statis tradisional, dalam artian masyarakatnya



sangat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pimpinannya. Kehidupan masyarakat sangat tergan-tung pada alam yang belum diolah dan dimanfaatkan secara baik. Susunan kelas dalam masyarakat masih bersifat vertikal dan statis, serta kedudukan seseorang dinilai menurut keturunan dan luasnya pemilikan tanah. c.       Desa swakarya Keadaan desa ini sudah mulai disentuh oleh anasir-anasir (unsur) dari luar berupa adanya pembaharuan yang sudah mulai dirasa-kan oleh anggota masyarakat. Benihbenih demokrasi dalam pem-bangunan sudah mulai tumbuh, karya dan jasa serta keterampilan mulai menjadi ukuran dalam penilaian, bukan lagi semata-mata pada keturunan dan luas pemilikan tanah, mobilitas sosial baik vertikal maupun horizontal mulai ada. d.     Desa swasembada



Masyarakat telah maju, sudah mengenal mekanisasi pertanian, mulai menggunakan ilmiah, unsur partisipasi masyarakat sudah efektif, norma-norma penilaian sosial selalu dihubungkan dengan kemampuan dan keterampilan seseorang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sudah terdapat golongan pengusaha yang berani mengambil resiko dalam menanam modal (interpreneur).



“....Semua bagian rumah punya filosofi, tiap-tiap panjang kalo diuraikan tiap balok punya makna ruangan di bagian atas, meliputi Paladan, semacam menerima tamu. Paladan tidak berdinding, masyarakatnya....”



balok-baloknya dan itulah semua....pertama, ada tiga ruangan seperti teras untuk menandakan keterbukaan



Sayangnya, para peneliti itu hanya asyik dengan dirinya sendiri tanpa empati yang sedikit mendalam pada manusianya sebagai



Buku Arsitektur Banoa Batang ini akan mengantarkan pembaca untuk mengetahui kekhasan arsitektur Kalumpang, mulai struktur bangun, filosofi,



Latar Belakang



Arsitektur venakular atau arsitektur tradisional/rumah tradisional merupakan salah satu wujud budaya masyarakat penutur bahasa Austronesia yang menyebar di Asia Tenggara hingga ke Madagaskar. Dalam bukunya Ensiklopedi Venankular Architecture Paul Oliver mengatakan:  “Vernacular Architecture is now a term most widely used to denote indigenous, tribal, folk, peasant, and traditional architecture” Koentjaraningrat



(1997)



mendefinisikan



arsitektur



tradisional



sebagai



suatu



pencerminan wujud/zaman tertentu yang mempunyai ciri khas dan asli daerah tersebut, dan sudah menyatu secara seimbang, serasi dan selaras dengan masyarakat, adat istiadat, dan lingkungan. Berbeda dengan Djauhari Sumintardja (1978), yang mengatakan “rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak beberapa generasi. Adanya beberapa perbedaan rumah tradisional di Indonesia, tetapi juga memiliki beberapa memiliki kesamaan secara general (Arya Abieta, dkk; Tanpa Tahun;60-61) yakni: 1. Ritual kepercayaan sebagai acuan pembentukan ruang; 2. Beradaptasi dengan alam dan iklim setempat; 3. Memiliki bentuk atap yang dominan; 4. Memiliki konstruksi kayu; 5. Sebagian besar merupakan rumah panggung; 6. Memiliki pondasi di atas tanah. Bentuk  yang sama juga terlihat pada rumah tradisional Suku Dayak di Kalimantan



yang disebut rumah panjang (long house). Penamaan lokal untuk rumah panjang  di Kalimantan berbeda-beda, yaitu  Lamin di Kalimantan Timur, Balai di Kalimantan



Selatan, Radakng di Kalimantan Barat dan Betang di Kalimantan Tengah. Bagi Suku Dayak, rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi mencerminkan satu kesatuan budaya Suku Dayak yang saling terkait antara religi, sistem sosial/masyarakat, sistem pengetahuan, bahasa, sistem mata pencaharian hidup, kesenian, dan sistem peralatan hidup dan teknologi serta kearifan lokal/adaptasi terhadap alam atau lingkungan sekitar.



Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih memiliki banyak  rumah betang. Sebagian daerah ini didiami Suku Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Suku Dayak Besar yang mendiami Pulau Kalimantan, dan terbagi dalam 4 suku kecil, dan ke 4 suku terbagi dalam 90 suku-suku paling kecil (Tjilk Riwut,2007;266). Pola pemukiman suku Dayak Ngaju berada di pinggir sungai-sungai besar maupun sungai-sungai kecil dan membentuk pola pemukiman linear (memanjang) mengikuti aliran sungai dari hulu hingga ke hilir. Pola ini disebabkan oleh peranan sungai sebagai   sarana komunikasi dan transportasi utama bagi penduduk sekitar. Dengan demikian, maka penempatan betang selalu berada/berorientasi di tepi sungai. Selain betang, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal beberapa bentuk rumah yang dikelompokkan dalam empat yakni: 1. Rumah tinggal; betang, huma gantung, pasha dukuh, tingkap. 2. Rumah ibadah: Pasha Patahu. 3. Rumah musyawarah: Dan 4. Rumah penyimpanan: lepau, pasah lisung, dan pasah raung.  Pada umumnya rumah panjang berbentuk rumah panggung tapi pada beberapa daerah memiliki pembagian ruang yang berbeda-beda, seperti Radakng di Kalimantan Barat



(Dayak Kanayatn) dan Lamin di Kalimantan Timur (Dayak Benuaq). Perbedaan pembagian ruang terletak  pada bagian depan rumah panjang berupa aula, sedangkan bilik-bilik berjejer di belakang aula. Pada Balai di Kalimantan Selatan (Dayak Meratus), aula ditempatkan pada bagian tengah dan bilik-bilik ditempatkan disekeliling aula (Hartatik, 2009;244). Sedangkan betang di Kalimantan (khususnya suku Dayak Ngaju di tepi Sungai Kalang) memiliki pola pembagian ruang yang berbeda, balai kandang (biasa digunakan dalam upacara adat ataupun sebagai tempat musyawarah adat) ditempatkan di pintu masuk utama atau di tengah-tengah rumah dan di samping kiri dan kanan ditempatkan bilik-bilik serta aula (tempat bersantai para penguin betang) yang memanjang berada di depan bilik-bilik. Pada bagian belakang dan samping, terdapat teras menghubungkan antara bangunan utama dan bagian dapur. Perbedaan pembagian ruang di Betang Tumbang Gagu  berdampak pada bentuk dan fungsi arsitektur bangunan tersebut serta keterkaitan dengan benda-benda/bangunan lainnya, seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung, dan tiang pantar. Penelitian terhadap rumah panjang sudah beberapa dilakukan oleh para peneliti lainnya, seperti



Hartatik dan Imam Hindarto dalam beberapa jurnal Naditira Widya[1] yang mengangkat nilai-nilai dalam rumag betang. Penulis mencoba untuk mengangkat tema yang sama terkait dengan kajian bentuk dan fungsi serta nilai penting berdasarkan



undang-undang cagar budaya pada rumah tradisional Suku Dayak (Betang Tumbang Gagu) sebagai salah satu upaya dalam bidang pelestarian arsitektur venankular atau arsitektur tradisional.



keaneka-ragaman sifat lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan



mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui sungai purba Karama yang menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai. Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang berbedabeda. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses transportasi. Akses Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Banoa batang mempunyai nilai historis dan sakral merupakan bentuk permukiman awal dan mata rantai kebudayaan Austronesia Kalumpang masa lampau dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap lingkungan, keterbatasan material, budaya, dan teknologi, serta konteks relasi sosial. Keberadaan lingkungan dan arsitektur bangunan selalu terlingkupi faktor lingkungan fisik dan sosial-budaya karena lahir di dalam jejaring kehidupan manusia.



Asosiasi dengan benda lainnya 



Lumbung/Lepau



Lumbung atau lepau merupakn tempat penyimpanan padi, pada masa lalu jumlah lepau pada Betang Tumbang gagu sebanyak 2 (lihat foto 1), tetapi kini hanya tersisa bekas tiangnya saja dan tidak lagi dimanfaatkan seperti sebelumnya. Lepau mempunyai ukuran panjang 359 cm, lebar 178 cm dan tinggi 150 cm. 



Sapundu



Sapundu yang ada di Betang Tumbang Gagu berjumlah 12 buah dengan ukuran yang beragam. Pendirian sapundu mempunyai aturan sendiri berdasarkan kepercayaan



kaharingan, sapundu ada dua macam yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit yakni sapundu yang diletakkan didekat sandung biasanya tidak lebih dari tujuh buah, sapundu gapit biasanya melambangkan pekerjaan, kesenangan atau keahlian si mati dan berkaian erat dengan kerbau yang dikurbankan. Dan yang kedua



sapundu lepas, yang diletakkan tidak berdekatan dengan sandung (Bambang,



Sugiayanto,2000;59), sapundu ini diletakkan di tepi Sungai Kalang. Pada sapundu



gapit maupun sapundu lepas terlihat adanya motif hias berupa tetat atau motif tangga



terbalik. Kondisi sapundu yang masih utuh hanya beberapa saja, sedangkan sapundu lainnya dalam keadaan rusak. Bentuk pahatan manusia pada sapundu bermacammacam, seperti pahat seorang wanita yang sedang membawah bejana air, seorang pria yang digambarkan sedang duduk dan seorang pria yang berdiri tegap sambil memenang pisau, serta adapula digambarkan dengan sikap tangan yang disilangkan ke



dadanya. Ukuran tinggi sapundu bervariasi antara 3,40 -3,18 m dan berdiameter 49- 28 cm. 



Sandung



Sandung berada di halaman depan betang, ditempatkan diatas satu tiang dengan tinggi 4,10 m dan berdiameter 45 cm, sedangkan pada bagian atasnya berbentuk rumah kecil



yang sudah dicat warna hijau. Hanya ditemukan 1 buah sandung, pada sandung terdapat motif hias tangga terbalik atau tetat dan motif tumpal atau gigi belalang pada bagian dinding sandung. Kondisi sandung masih dalam kondisi baik.  Tiang Pantar Tiang pantar diletakkan tidak jauh dari sandung, jumlah tiang pantar sebanyak 7 yang



berukuran tinggi antara 7,8 – 6,60 m dan berdiameter 45 – 31 cm. Tiang pantar yang dibuat dari kayu ulin utuh dan terdapat motif hias berupa tetat, dan bagian atas dibentuk menyerupai lingkaran atau bentuk kepala burung enggang. Kondisi tiang pantar beberapa dalam keadaan baik, namun ada juga tiang yang sudah rubuh dan patah. Kajian Fungsi Kajian fungsi terhadap betang tumbang gagu memuat tentang makna penempatan



betang dan pembagian fungsi ruang, serta makna ukiran baik pada betang, maupun pada sapundu, sandung, tiang pantar serta upacara-upacara yang dilakukan dibalik pendirian betang yang dikaitkan dengan kepercayaan kaharingan.



Pendirian betang tidak lepas dari kepecayaan yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju, terdapat beberapa upacara yang dilakukan sebelum betang didirikan, yang dibagi dalam tiga tahap yakni pada saat sebelum betang didirikan, pada saat betang didirikan dan upacara saat betang selesai didirikan, berikut penjabarannya: Upacara sebelum betang didirikan Upacara ini diawali dengan mengambilan bahan baku di hutan atau biasa disebut baramu, ada dua jenis upacara yang dilakukan yakni 



Manawursahut, atau bernazar agar mereka terhindar dari malapetaka atau kecelakaan seperti terluka oleh senjata tajam, tertimpa kayu atau digigit binatang buas, tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada pitik (binatang kecil seperti bajing) agar menjaga mereka selama di hutan. Upacara ini dilakukan sebelum masuk ke hutan.







Marasih petak, pengertian marasih petak ialah memeriksan atau membersihkan tanah atau perwatasan, mengukurnya serta membuat patok-patokan diatas tanah dimana bangunan akan didirikan, pada saat itu biasanya dilakukan upacara kecil yang disebut marasih petak tujuan dilaksanakannya upacaraini adalah semacam permohonan kepada mahluk halus atau penjaga daerah tempat bangunan akan didirikan agar pindah ketempat lain, sehingga baik pada saat permulaan pendirian sampai selesai mendirikan bangunan bahkan sampai mereka menghuni rumah tersebut (Willem,1981/1982;121).



Upacara pada saat mendirikan betang



Pada saat mendirikan bangunan, dilakukan upacara mampendeng. Mampendeng



artinya mulai mendirikan bangunan yang dimulai dengan pendirian jihi bakas hingga jihi busu. Menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju, bahwa ketentraman penghuni betang, lebih banyak ditentukan oleh cara/pekerjaan pada waktu memulai



membangun/mendirikan betang yang disebut mampendeng, yang tujuannya agar menghuni betang selalu hidup tentram, aman, berkecukupan, murah rejeki dan lainlainnya. Waktu pelaksanaannya sesaat sebelum mendirikan jihi, setelah jihi terakhir berdiri, maka disiapkan beberapa bahan seperti pahera paneweng, lakar rinjing ijr badare hapan uei anak, daren dawen enyuh ije inyewut/kambar sanggar, bindang



bapetuk, edan sawang nyahu, tewu nyaru dan temu bulau. Bahan-bahan tersebut diikat pada jihit, dengan tujuan agar segala roh jahat tidak mendahului menghuni memasuki betang. Upacara setelah betang selesai didirikan Lumpat Huma merupakan upacara yang dilakukan setelah betang selesai dibangun dan siap untuk dihuni. Upacara ini disebut lumpat huma karena upacara ini dilakukan pada waktu pertama kali memasuki betang, dengan tujuan agar selalu mendapat perlindungan dari Tuhan mendapat rejeki melimpah, aman tentram, dijauhkan dari segala macam bahaya. Penempatan betang, bentuk bangunan dan pembagian ruang didalamnya tentu tidak



dilakukan secara sembarangan termasuk makan ukiran yang terdapat di betang, namun juga mempertimbangkan fungsi dan makna yang terkait erat dengan kepercayaan



mereka, begitu pula dengan penempatan lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar, penempatan betang ditepi sungai merupakan hal yang banyak dilakukan oleh



masyarakat dayak, bahkan bisa dikatakan betang berorietasi dengan sungai, begitu pula dengan Betang Tumbang Gagu yang berada ditepi Sungai Kalang, selain hal tersebut juga dikarenakan sungai dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi dan transportasi yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar disamping itu kondisi geografis Kalimantan yang didominasi sungai-sungai besar mengharuskan masyarkat beradaptasi dengan lingkungannya. Betang yang merupakan rumah panggung, dengan tiang-tiang yang tinggi hingga mencapai 5,79 m dari permukaan tanah, dimaksudkan agar terhindar dari serang binatang buas dan serangan dari suku lain, karena pada waktu itu tradisi ngayau[6] masih dilakukan oleh suku dayak (sebelum adanya perjanjian Tumbang Anoi). Pembagian ruang di  dalam betang juga sangat terkait dengan kepercayaan serta sistem sosial/masyarakat, seperti Balai Kandang, penempatan balai yang berada ditengahtengah bangunan berfungsi sebagai ruang tempat pelaksanaan upacara seperti tiwah, tempat pertemuan/musyawarah adat, perkawinan, pengobatan, kelahiran dan upacara lainnya, serta adanya jihi yang dianggap sakral juga terletak pada ruang ini. Penempatan bilik-bilik di samping kiri dan kanan balai kandang difungsikan sebagai ruang pribadi oleh masing-masing pendiri. Sedangkan penempatan bilik yang dibentuk berjejer (dari hulu ke hilir) juga menandakan status sosial seseorang. Sebagai contoh, penempatan bilik yang berada di tengah biasanya diperuntukkan bagi kepala adat atau



pihak memiliki status sosial tinggi. Teras yang berada di depan balai kandang dan yang berada di belakang, biasa digunakan sebagai tempat menerima tamu dan juga difungsikan menjemur padi atau hasil ladang, serta sebagai penghubung antar ruang utama dengan dapur (Hartatik, 2013;50). Aula yang berada di depan bilik biasanya



difungsikan sebagai tempat berkumpul bagi para penghuni betang. Ukiran pada betang hanya ditemukan pada bagian atap atau bubungan, berupa ukiran burung enggang atau



tingang, menurut kepercayaan Suku Dayak Ngaju. Burung enggang atau tingang menggambarkan dunia atas, dan juga dianggap sebagai penangkal petir. Ukiran juga terlihat pada pinggiran sisi atap yakni dawen pangintar, yang dimaksudkan agar segala sifat-sifat iri, dengki, guna-guna dan lain-lain dari orang lain dapat dihindari atau dihalau. Beberapa rumah panjang yang ada di Kalimantan seperti Lamin Mancong, Lamin Tolan di Kalimantan Timur, Randakng di Kalimantan Barat  memperlihatkan asosiasi dengan benda-benda/bangunan lainnya seperti lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar. Hal ini juga terlihat pada Betang Tumbang Gagu, dengan menempatkan



Lumbung/lepau, sapundu, sandung dan tiang pantar  di halaman depan betang. Pendirian sapundu, sandung dan tiang pantar saling terkait antara satu dengan lainnya dan biasanya terkait dengan pelaksanaan tiwah[7] (upacara kematian). Dalam tradisi



penganut kaharingan, kubur ditempatkan di halaman rumah dengan maksud agar keluarga yang ditinggalkan setiap hari bisa melihat dan menjaga kubur leluhurnya sehingga hubungan batin di antara mereka tidak terputus (Hartatik,2009:247).



Lumbung/lepau difungsikan sebagai tempat menyimpan padi, walaupun kini lepau sudah



tidak



digunakan



seperti



sebelumnya.



Dengan



adanya



lumbung



ini



mengindikasikan bahwa penghuni betang ini dulunya bercocok tanam/berladang



dengan sistem tadah hujan. Sementara pendirian sapundu mempunyai aturan-aturan sendiri, biasanya dalam pendirian sapundu mensyaratkan pengurbanan 1 (satu) ekor ayam. Sapundu difungsikan sebagai tiang pengikat binatang kurban pada saat upacara tiwah,  yang terdiri dari dua jenis sapundu, yakni sapundu gapit dan sapundu lepas. Sapundu gapit  ditempatkan di dekat sandung yang berfungsi sebagai tanda



penguburan (lambang orang yang mendirikan sanding) sekaligus orang yang pertama 



di-tiwah-kan. Jumah sapundu menunjukkan berapa banyak jumlah orang yang ditiwah-kan, serta penggambaran tokoh manusia  dianggap sebagai personifikasi si mati yang terkait dengan pekerjaan, kesenangan atau keahlian orang yang dikuburkan. Sedangkan sapundu lepas difungsikan sebagai tanda kebesaran atau penolak bala, yang



juga erat kaitannya dengan jenis kerbau yang dikurbankan. Apabila Sapundu laki-laki, maka jenis kerbau yang dikurbankan adalah kerbau betina, begitupun sebaliknya (Hartatik,2000;58-60). Pada Sapundu juga ditemukan adanya motif tetah/tangga terbalik  dalam jumlah tertentu, yang menunjukkan banyaknya kepala yang dipenggal oleh keluarga si mati. Kegiatan mengayau dilakukan untuk memberi kekuatan semangat jiwa kepada roh.



Motif ini juga ditemukan pada sandung dan tiang pantar. Sanduang difungsikan



sebagai tempat menyimpan tulang belulang manusia yang telah di-tiwah-kan. Selain motif tetah, juga ditemukan adanya motif tumpal di dinding sandung dan motif naga pada bagian atasnya. Simbol naga merupakan simbol dunia bawah dan sebagai petunjuk jalan bagi roh menuju ke lewu tatau. Tiang pantar merupakan tiang yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau.



Yang masih kurang terekspose di Kalumpang yaitu rumah komunal itu Banoa Batang. Rumah-rumah itu dihuni oleh kelompok keluarga. Antara lima kepala keluarga hingga mencapai 20 kepala keluarga. Di Banoa Batang, setiap keluarga akan memiliki kamar masing-masing. Dalam satu rumah terdapat satu dapur umum yang digunakan bersama. 



Rumah-rumah yang dihuni keluarga dalam skala kecil, biasanya hanya menggunakan sembilan tiang vertikal.  Namun, bangunan akan terus mengalami perubahaan jika anggota keluarga bertambah. Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik yang melingkupinya selain unsur-unsur ekonomi sosial-budaya-religi dan berpengaruh terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat ialah kebutuhan manusia pada lingkungan budaya. Struktur sosial empengaruhi karakter khusus pada hunian, permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di suatu desa. emikian juga tradisi perkawinan dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosial masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular seperti bangunan, permukiman, desa yang spesifik pula (Oliver, P, 1987). Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial/keruangan dipisahkan dan disatukan oleh ruang. leh karena itu, karakteristik sosial dan budaya suatu lingkungan tercermin didalam tatanan osialnya. Ruang ialah ruang tiga dimensi yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya membentuk tatanan tertentu yang disebut organisasi spasial (Rapoport, 1977: Haryadi dan Setiawan, 2010). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan ruang, dimana space sebagai aspek permukaan, dan spatial sebagai struktur didalamnya, yang mencerminkan karakteristik space (Bacon, E., 1967: Hiller, 1989). Ruang selalu terkait realistis manusia dan kehidupannya dimana manusia terhadap artefak-artefak, membentuk „spasial budaya‟. Spasial budaya ialah tatanan ruang tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip tatanan sosial.



Relasi bolak-balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial, mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan sosial, begitu pula sebaliknya. Manusia sangat mencerminkan keunikan suatu bangunan, permukiman dan desa, khususpada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan tercermin dari cara manusia berperilaku erhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan manusia (Madanipour, 1996). Perilaku me-ruang manusia mempunyai sistem tertentu, dan berpengaruh terhadap tatanan spasial yang erbentuk sebagai wadah kehidupannya (Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok, dan masyarakat, menghasilkan konsep dan wujud yang berbeda (Rapoport, 1969: Haryadi dan Setiawan, 2010). Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku manusia. Setiap kelompok etnis memiliki image yang khas tentang lingkungannya, karena perilaku masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan kondisi iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri. Permukiman Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal, yang sifatnya sementara maupun menetap. Tempat tinggal atau tempat kediaman secara umum disebut permukiman dan secara khusus disebut sebagai bangunan rumah (Hudson dan Hammond, 1979). Permukiman menurut Barlow dan Newton (1971) mengacu ke arti kolonisasi di suatu daerah baru dengan proses pemindahan penduduk, dan permukiman yang mengacu pada arti kelompok-kelompok bangunan rumah tempat tinggal manusia yang dibedakan ke dalam dukuh (dusun), desa, kota kecil, dan kota besar. Selanjutnya Barlow dan Newton (1971) mengemukakan istilah permukiman (settlement) adalah semua tipe tempat tinggal manusia baik berupa gubuk



atau pondok tunggal beratap dedaunan atau rumah-rumah di perladangan hingga kota yang sangat besar dengan ribuan bangunan atau ribuan rumah tempat tinggal. Permukiman ialah sebagai wadah kehidupan manusia, bukan hanya menyangkut aspek teknis dan fisik saja, tetapi juga juga menyangkut aspek sosial, ekonomi dan budaya dari penghuninya. Sedangkan Rapoport (1977) mendefinisikan permukiman (settlement) pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah dimana penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan usaha, berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan.Hubungan ini oleh Rapoport (1977) digambarkan sebagai interaksi antara manusia dan lingkungan dan memahami karakteristik manusia yang akan menggunakan atau merancang ataupun membentuk lingkungannya, sehingga manusia akan berperilaku berbeda dalam setting tertentu. Perilaku manusia beragam dan berubah tergantung pada setting dimana tempat manusia itu berada. Menurut Rapoport (1969) perwujudan dari sebuah bentuk rumah dipengaruhi oleh dua hal, aspek fisik dan aspek sosio-culture dimana aspek kedua memerlukan penekanan yang lebih mendalam. Aspek kedua ini merupakan aspek yang dominan yang menentukan bentuk



dari sebuah rumah. Bentuk rumah bukan merupakan sebuah hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal lainya, tetapi merupakan konsekwensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian yang lebih luas. Dalam hal memilih bentuk bangunan. Bentuk-bentuk tertentu dipilih sesuai kesepakatan bersama dengan melihat pada tradisi yang telah turun temurun. Bentuk-bentuk tertentu diterima apa adanya, dan perubahan di tolak dengan keras karena mereka cendrung berorientasi pada tradisi. Itulah sebabnya bentuk-bentuk tertentu tersebut bertahan sangat lama.Bentuk rumah primitif dan vernakuler tidak hanya sebagai hasil keinginan individu akan tetapi lebih sebagai tujuan dan keinginan dari kesatuan masyarakat untuk kenyamanan lingkungan bersama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek sosial budaya sangat menentukan perwujudan bentuk dari sebuah rumah tradisional bahkan lebih jauh aspek ini merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan bentuk rumah. Sebuah karya besar dalam dunia arsitektur tidak bisa diartikan secara sederhana dengan bentuk dan wujud yang memiliki ukuran besar. Apalagi pada masa sekarang dengan perkembangan teknologi konstruksi yang memungkinkan pembangunan dengan skala besar



dan raksasa, ukuran besar menjadi relatif. Besar untuk masa lalu menjadi kecil dan hampir tak nampak untuk saat sekarang.Namun demikian dalam dunia arsitektur, kebesaran sebuah karya tidak dilihat sebatas ukuran akan tetapi ada yang hal spesifik yang tidak mungkin luntur karena perkembangan jaman. Hal spesifik tersebut adalah keunikan, kelangkaan, kejamakan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan makna kultural dari masyarakat termasuk didalamnya religi. Kenyataan yang ada kesadaran dan motivasi kita sering terlambat untuk menilai sebuah karya arsitektur yang mempunyai nilai ini. Bangunan sudah terlanjur hancur ataupun telah berubah sama sekali sehingga sangat sulit untuk ditelusuri bentuk awal yang sebenarnya. Pola Ruang Filosofi Betang Toyoi ini mengacu pada teori Experiencing Architecture dijabarkan oleh Rasmussen (1964), yaitu teori yang mengemukakan bahwa arsitektur bukan hanya yang dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun merupakan bagian dari arsitektur. Melalui pendengaran ini ungkapan space dalam pola tata ruang rumah Betang dapat menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan struktur, bentuk dan material bangunan.



Fungsi irama (Rhytme) ialah memunculkan interpretasi yang mungkin akan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Interpretasi itu secara tidak langsung akan mengarah ke suatu kualitas ruang. Meskipun hasil interpretasi tersebut bersifat maya, namun jika sudah dapat menginterpretasikan sebuah kualitas ruang, berarti sebenarnya secara tidak sadar kita sudah membentuk sebuah ruang di alam bawah sadar kita. Irama (Rhytme) pada arsitektur bangunan tradisional Betang di Kalimantan Tengah berorientasi pada irama upacara tiwah



Komposisi arsitektur BetangToyoi, Tumbang Anoi dikaji melalui geometri dan eksistensi, serta Proporsi dan dimensi. Berikut penjabaran komposisi arsitektur Betang Toyoi. Geometri dan Eksistensi Bentukan geometri tidak harus simetris, tetapi harus mempunyai titik , sudut , garis dan permukaan yang solid namun Eksistensi betang seolah berusaha mengajak kita Kembali untuk memahami dan mengacu pada pemaknaan ruang yang salah satunya mendefinisikan ruang sebagai sesuatu, merupakan wujud yang paling immaterial (without physical substance). Proporsi dan Dimensi Jihi betangmemiliki bentukan geometris seperti pada Gambar 3.4. bentuk berupa



lingkaran; penerapan ini tidak sengaja digunakan.Bentukan dasar dari bahan sendiri digunakan sehingga tercipta sebuah keragaman bentuk dan kesatuan (unity) namun ditinjau dari dimensinya sendiri akan memiliki ukuran yang berbeda karena alam menghasilkan pohon-pohon dengan dimensi berbeda yang digunakan sebagai bahan bangunannya.



B. TINJAUAN KHUSUS Berdasarkan sejarah, bahwa arsitektur rumah adat suku kalumpang memiliki kaitan dengan nenek moyang Austronesia. Keberadaan rumah adat dari suku kalumpang yang dikenal dengan nama Banoa Batang kaya akan keunggulan komparatif nenek moyang. Terdapat ciri khas yang paling menonjol yaitu terdapat pada atap bangunan dan bagian bawah atap yang ada. Bentuk tiang rumah berupa panggung yang memiliki desain berbentuk rakit. Secara konstruksi maka penjelasan dari rumah adat suku kalumpang. Pembuatan atap rumah bisa digunakan menggunakan parang labo, alat khusus dari suku kalumpang. Hal inilah yang menjadi ciri khas rumah tradisional yang mewarisi banyak budaya leluhur.



Penggunaan kayu menjadi bahan utama dinding rumah adat, bagi suku kalumpang pun memanfaatkannya atau bisa juga menggunakan papan pada dinding rumah dan memiliki kualitas terbaik sebagai bahan alam. Bahkan zaman dahulu cara memasangnya dengan menggunakan teknik simpul serta ikat agar elastis tapi tetap kokoh. Arsitektur rumah adat Kalumpang tentu menarik diteliti untuk mencari tahu jejak nenek moyang Austronesia. Sebuah upaya menyusunnya dalam bentuk buku tentu menjadi catatan sekalkigus tantangan tersendiri. Arsitektur atau ilmu bangunan adalah seni yang dilakukan oleh setiap individu untuk mengimajinasikan diri dan ilmu mereka dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain interior dan desain produk.



Secara berdasarkan kata, film (cinema) asalnya dari kata cinematographie yang memiliki arti cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya) dan graphie atau grhap (tulisan, gambar, citra). Sehingga bisa diartikan Film merupakan mewujudkan gerak dengan cahaya. Mewujudkan atau Melukis gerak dengan cahaya tersebut menggunakan alat khusus, seringkali alat yang digunakan adalah kamera.



Definisi lain dari film yakni, Film merupakan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk melengkapi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Unsur seni yang ada dan menujang sebuah film antara lain seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik, seni pantonim dan juga novel.



Pengertian Film menurut Effendi adalah hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta seni musik.



Seringkali film ditontoh untuk menjadi hiburan. Tetapi fungsi sebenarnya dalam film antara lain fungsi informatif, edukatif, dan juga persuasif. Film nasional fungsinya sebagai media edukatif untuk sebagai pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building



rumah adat dari suku kalumpang yang ada di Sulawesi Barat dinamakan rumah adat banoa sibatang. Terdapat ciri khas yang paling menonjol yaitu terdapat pada atap bangunan dan bagian bawah atap yang ada. Berdasarkan sejarah, bahwa rumah adat suku kalumpang atau galumpang ini memiliki kaitan dengan nenek moyang Austronesia.



Kenapa Austronesia? Bentuk tiang rumah berupa panggung yang memiliki desain berbentuk rakit. Yang merupakan salah satu jejak adanya para nenek moyang Austronesia melakukan migrasi dari Taiwan ke selatan. Caranya dengan menggunakan rakit tersebut dan terdapat jejak sejarah yang diteliti oleh para arkeolog di suku kalumpang ini. Secara konstruksi maka penjelasan dari rumah adat suku kalumpang memang mirip dengan rumah toraja. Hal ini dikarenakan suku kalumpang juga berasal dari Tana Toraja sehingga bangunan pun mempengaruhi gaya Toraja. Rangka Utama Rumah Adat Banoa Sibatang Pada pembangunan rumah tradisonal rangka utama yang dipilih adalah kayu. Pemilihan kayu tersebut juga harus yang kuat, kokoh serta tidak mudah lapuk digunakan pada penyangga pada banoa sibatang. Karena nilai keunikan dan tradisi yang sudah ada sejak lama inilah menjadikan rumah adat memiliki ciri khas. Biasanya bahan rumah menggunakan bahan alam, bahan ini juga digunakan oleh rumah adat lainnya. Atap berbahan alam tentu memiliki nilai filosofi tersendiri selain memiliki manfaat yang besar. Konstruksi Pada Rumah Adat



Tiang pada Banoa Sibatang mirip dengan rumah adat suku mandar. Fungsinya sebagai penyangga rumah panggung. Disambungkan dengan lantai rumah yang memiliki desain seperti rakit dan pengaruh dari gaya rumah Toraja. Mirip dengan rumah tongkonan yang atapnya juga berbentuk rakit, sehingga banoa sibatang memiliki pengaruh dari suku Toraja. Konstruksi Atap Untuk bagian atap yang digunakan biasanya memanfaatkan bahan alam yang ada bagi rumah adat. Seperti, daun nipah, rumbia, sirap, kayu besi, bambu, ijuk hingga ilalang sebagai atap rumah. Pembuatan atap rumah bisa digunakan menggunakan parang labo, alat khusus dari suku kalumpang. Hal inilah yang menjadi ciri khas rumah tradisional yang mewarisi banyak budaya leluhur. Bagian Dinding Rumah Adat Penggunaan kayu menjadi bahan utama dinding rumah adat, bagi suku kalumpang pun memanfaatkannya atau bisa juga menggunakan papan pada dinding rumah dan memiliki kualitas terbaik sebagai bahan alam. Bahkan zaman dahulu car memasangnya dengan menggunakan teknik simpul serta ikat agar tetap kokoh. Tangga dari Banoa Sibatang



Anak tangga pada rumah adat Sulawesi Barat menggunakan kayu atau bambu. Tentunya dipilih kayu yang kokoh dan bambu berkualitas agar terjaga keawetannya. Untuk jumlah anak tangga pada rumah adat biasanya berjumlah ganjil dan semakin tinggi maka semakin tinggi pula strata sosialnya. Ciri khas lain yaitu dengan melihat kolong rumah yang terlihat tinggi yang artinya pemilik rumah mempunyai strata yang tinggi pula. Status sosial pada suku kalumpang masih ada hingga kini, yang tetap menjunjung tinggi budaya leluhur. Zaman dahulu pembuatan tiang tinggi juga menghindari banjir serta adanya binatang buas. Kini rumah adat, khususnya banoa sibatang justru menjadi tempat yang diteliti untuk mencari tahu jejak nenek moyang Austronesia. Berdasarkan peninggalan yang ada dan harus diteliti lagi secara sempurna. Dengan adanya penjelasan tentang rumah adat Sulawesi Barat yang ada tentu menjadi catatan tersendiri. Ternyata secara menyeluruh hanya memiliki dua rumah adat Sulawesi Barat, yaitu Boyang dan Banoa Sibatang.



. Adapun wujud altruisme yang terkandung dalam rumah adat Banoa Batang Masyarakat Adat Tana Lotong menurut penuturan Subyek B yakni:



a) Ada tiga ruangan di bagian atas, meliputi : 1) Paladan, semacam ruangan seperti teras untuk menerima tamu. Paladan tidak berdinding, menandakan keterbukaan masyarakat. 2) Di bagian atasnya ada tangga semacam perahu untuk naik ke Sali to Ballaq, merupakan tempat menginap bagi tamu yang berasal dari luar daerah. Sali (lantai), To Ballaq (orang luar). 3) Di sebelah kiri, dan kanan Sali To Ballaq terdapat Sali Woloq. Sali (lantai), Woloq (warisan) jadi ruangan ini adalah ruang khusus untuk keluarga. b) Pondasinya adalah Batu Lettong, berupa batu yang berbentuk bulat yang harus berasal dari sungai Karama, atau sungai di sekitar, tidak boleh batu gunung sebab batu ini sudah tahan uji gempa dan masih alami proses terbentuknya. c) Di atas batu sungai dipasang 8 kayu yang masing-masing dihubungkan dengan satu lok kayu bundar yang disebut Batang, oleh karena itu rumah ini disebut Rumah Batang. Sebab didirikan dari 8 kayu bundar jenis kayu besi berdiameter 50-60 cm. Pada tiap-tiap pertemuan dua buah ujung kayu, didirikan tiang utama yang disebut Busun, dengan diameter yang sama dengan batang kayu bundar. “....Kayu ini dilubangi hingga menembus batu lettong, dia menggigit kayu di bawahnya. Tiang Busun berjumlah 8, tidak lebih tidak kurang. Jika kurang dapat mengakibatkan kepincangan. Di antara tiang-tiang ini ada tiang induk yang disebut Soko Guru oleh orang jawa, atau Possiq.....”



d) Adapula tiang yang disebut To Kamban (orang kebanyakan). Orang-orang inilah yang akan mendukung kehidupan di kampung. Tiap tiang utama ini memiliki nama, sesuai dengan nama para To Baraq yang memimpin kampung. Ada To Baraq Timbaq, To baraq Pondan, To baraq Lolo, Topakkaloq, To Maq Dewata, To tumado, dan Tomakaka, serta To Kamban. 8 Tiang ini melambangkan kepemimpimpinan kedelapan To Baraq, dibantu oleh To Kamban (masyarakat lainnya). e) Di bagian atas dipasang Pelelen (tali yang dipakai saat menyimpan ikan hasil tangkapan, sejenis benang, atau tasi). Di bagian bawah, ada balok yang melintang menyangga lantai, disebut Pekaloq. Pekaloq adalah besi yang berbentu bundar di hidung kerbau. Di atas Pekaloq, ada lettenan, lettenan ini seperti roda (kayu bundar), di atas Lettenan ada Tu Marang (perantara, diameter 7-10 cm), di atas Tu Marang ada Karatan, yang merupakan pengganjal, di atas karatan ada tamben yang tingginya 50 cm, tebalnya 10 cm, panjangnya sesuai dengan panjang rumah. Tamben artinya pagar. f) Ada tiga jenis kayu bundar, yang memberi makna adanya kesatuan yang timbal balik antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat artinya adanya kesatuan dan korelasi antara kehidupan jasmaniah-duniawi, dengan kehidupan spiritual-akhirat. Ketiganya satu dalam Lada’ (kasih sayang), meliputi: 1)



Lettenan, untuk memuluskan jalan



2)



Tu Marang, untuk semangat dan cita-cita



3)



Karatan, Pemersatu, yang menghubungkan.



g) Dari pertemuan tamben, berdiri tiang-tiang dinding. Di tiap sudutnya dipasangi Dua Boriq. Dua Boriq artinya tiap manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Boriq (bagian). Pada bagian untuk membuat kamar, namanya Tallu Boriq yang memiliki tiga arah artinya manusia memiliki tiga talenta (pertanian, perburuan, penenunan). h) Dinding rumah ini bersistem panel, antara Dua Boriq dan Tallu Boriq ada Manangnga (penengah) yang jaraknya kurang lebih antara 1 meter. Di dalamya diisi papan yang diletakkan harus melintang (horizontal), ditutup dari atas dengan Rakkapan. Tiap satu meter ditutup satu Rakkapan (anaianai/ padi). Tingkat yang kedua dikurangi Sepalaq ( tidak cukup semeter) makin naik makin dikurangi, tingkat ketiga dikurangi dua palaq. Semakin



ke atas semakin berkurang ukuran Rakkapannya. Maknanya, semakin di atas, semakin merendah. Bila berada pada kedudukan yang tinggi, maka tidak boleh sombong.



Penggunaan anai-anai padi pun, mengandung



falsafah padi “Semakin Berisi, Semakin Merunduk”. Selain itu Padi merupakan lambang pertanian, dan makanan pokok masyarakat setempat. i) Balok terakhir (Blandar) disebut Passamboq (penutup), ukurannya 20 cmx10 cm. Di atas Passamboq dibuat atap. Ada tiangnya disebut Petuoq (memberi hidup) Maknanya, di atas manusia ada Yang Maha Kuasa, yang memberikan kehidupan. Atapnya biasanya dari daun rumbia, daun ijuk, alang-alang, namun jika dalam kondisi darurat disebut bisa memakai rotan. Yang unik dari bangunan ini adalah ukurannya sangat besar, bisa sampai 60 meter panjang dengan lebar lima meter. Bagian tiang dan kayu di struktur di bawah lantai, terbuat dari batang-batang kayu yang masih bulat, tidak ada penggunaan pasak atau paku, dan desain bagian bawah rumah



seperti bangunan tahan gempa. Di zaman dahulu, ada indikasi di daerah ini rawan gempa, sehingga struktur bangunan dibuat sedemikian rupa. Pembangunan banoa batang cukup rumit dan memakan waktu lama, bisa sampai tahunan. “....Matematikanya orang dulu nda pake rumus. Mereka kan buta huruf. Perhitungannya orang di sini itu hanya sepuluh, tapi bangunannya bisa kokoh dan anu anti gempa lagi...tidak pake paku mulai dari bawah sampai ke atas tidak ada paku tidak ada... pasak... tidak ada... ikat....” Saat ini di Kalumpang dan Bonehau, sepertinya jumlah banua batang bisa dihitung dengan jari alias jarang ditemukan apalagi yang bagian-bagiannya



lengkap.



Beberapa



rumah



bahkan



hanya



bisa



memperlihatkan keaslian struktur bagian bawah atau tiangnya. Sedang bagian tengah, sudah menggunakan struktur modern. Selain itu, karena bahan yang digunakan harus didatangkan dari hutan, dan semakin berkurangnya sumber daya untuk pembangunan rumah ini, sehingga restruksturisasi tak mungkin dilakukan kembali. A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Salah satu wujud altruisme masyarakat adat Tana Lotong tersirat dalam rumah adat mereka, yaitu Banoa Batang yang menggambarkan keterbukaan dan sifat suka menolong penduduknya. 2) Banoa Batang, sebagai wujud kearifan lokal di bidang arsitektur mengandung filosofi kepemimpinan delapan orang Tobaraq yang menjaga keharmonisan, dan keselarasan kehidupan masyarakat adat Tana Lotong.



3) Kekerabatan, dan kekeluargaan yang sangat erat terjalin, serta kerukunan umat beragama yang menyelaraskan kehidupan masyarakat adat Tana Lotong. Ketika di tempat lain nampak ramai dengan isu konflik antar agama, maka hal ini tidak ditemukan di daerah tersebut.



Dalam pandangan semiotika, ide dari pemikiran manusia ini adalah sebuah tanda yang dihadirkan oleh karya arsitektur yang dapat dilihat sebagai teks, sedangkan makna yang dibawa tanda tersebut berperan sebagai konsep yang dibawa oleh desain arsitektur. Sistem tanda yang merupakan naungan relasi triadik ini adalah konteks tempat desain arsitektur sebagai media komunikasi ide dan kebudayaan. Memahami relasi antara konsep mental suatu karya arsitektur, bentukan desainnya, dan ide budaya yang dibawanya adalah inti dari semiotika arsitektur. Kritikus arsitektur Charles Jencks kemudian memunculkan suatu relasi triadik dari semiotika yang tetap berkaitan dengan relasi triadik Peirce di atas. Dalam sistem tanda ini, Jencks mengembangkan terminologi (1) simbol (symbol) sebagai bentuk lain dari penanda dalam sistem tanda pada arsitektur, (2) pikiran (thought) sebagai bentuk lain dari konsep mental, dan (3) rujukan (referent) sebagai bentuk lain atau acuan dari eksistensi bentuk/desain, yang langsung berkaitan dengan fungsi utama dari arsitektur tersebut (Jencks, 1980, pp. 80– 82). Umberto Eco mengkaitkan fungsi tanda-tanda dalam arsitektur dan elemenelemennya sebagai media komunikasi suatu ide. Tanda dalam arsitektur adalah suatu media yang membawa makna denotatif, yaitu tingkat pertama dari tatanan pertandaan yang fungsi utama tanda sebagai bentuk eksistensial dalam karya rupa arsitektur. Karena makna denotatif ini dapat berkembang lepas dari fungsi utama/aslinya, dalam relasinya, bentuk/penanda denotatif ini menjadi faktor yang memengaruhi desain. Dengan demikian, suatu makna denotatif dari suatu tanda dapat terbagi menjadi dua fungsi, yaitu fungsi utama dan fungsi pengembangan, yang



keduanya bekerja sama beriringan untuk dapat dipahami isi konsep yang akan diwakilinya.



Seni Konstruksi. Didalam seni konstruksi terutama konstruksi rumah adat yang disebut banua batang serta konstruksi jembatan kuno to Tanalotong yang disebut tendan yang semuanya menampak dalam bentuk karya seni dengan tetap mempertahankan bentuk alaminya - bundar – sebagai pengeja wantahan ungkapan arsitektur kelokalan dengan kandungan makna keadiluhungan sebuah konsep perancangan seni. Secara arsitektual, pesan itu tampak lebih menonjol dalam penampilannya secara simbolik menjadikannya sebagai karya seni disamping memiliki otoritas fungsional, tapi juga memancarkan nilai estetika yang tinggi. Konsep dasar perancangan banoa batang dan jembatan ini sangat jelas mengacu pada memori kolektif mereka untuk memperingati atau untuk mengenang dan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap jasah sebuah kendaraan yang telah mengantarkan mereka beberapa lamanya di tengah samudra yang tak dikenal dari negeri asalnya dan yang telah pulah mendamparkan mereka ke muara sungai Karama. Secara arsitektual, pesan itu nampak lebih menonjol dalam perancangan yang menghasilkan bangunan unik monumental, menarik serta serasi dan selaras dengan lingkuangan alam yang mengitarinya. Kesan arsitektual tsb, tercermin dalam perancangan tata ruang dalam 52 yang merupakan inti yang terintegral secara keseluruhan dengan perancangan tata ruang luar dengan orientasi gunung dengan kiblat arah ke timur. Penerapan makna simbolik pada bentuk maupun pola dan unsur2 banua batang dan jembatan dalam bentuk; a Pola keperkasaan yang dilambangkan lewat bentuk atap yang berpola punggung gunung,- buana agung - yang bernama sambo tanete atau selubung alam semesta. b Pola bundar yang mengandung makna harapan yang tak perna pupus oleh ruang dan waktu didalam satu lingkaran hukum alam yang tetap yang mencerminkan keabadian,keseimbangan, keselarasan, serta keserasian fungsi yang kemudian disebut salepongan bulan atau seantero hidup dan kehidupan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG



Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri (Campbell R.L., 2006) .Sehingga altruisme menjelaskan sebuah perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri untuk kebutuhan org lain. Jadi, ada tiga komponen dlm altruisme, yaitu . Perilaku ini merupakan kebaikkan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban (de Waal F.B.M., 2008) .Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu, seperti Tuhan, raja, organisasi khusus, seperti pemerintah, atau konsep abstrak, seperti patriotisme, dan sebagainya. Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Pada literatur terdahulu, altruism memiliki hubungan yang erat dengan  perasaan empati (Sesardic N., 1999). Seseorang yang altruis memiliki motivasi   altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan  positive  feeling   sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain(Gintisa H. B., 2002; Linley, 2006). Menurut Comte (Campbell R.L., 2006) altruisme adalah tindakan mutlak dari manusia, untuk mencapai suatu sikap pengabdian tanpa pamrih terhadap orang lain atau masyarakat. Sedangkan menurut Rushton (F. D. W. Rushton J.P., Neale M.C., Blizard R.A., Eysenck H.J., 1984; F. D. W. Rushton J.P., Neale M.C., Nias D.K.B, Eysenck H.J., 1986), perilaku altruistik adalah berbagai macam perilaku kebaikkan dalam sehari-hari, dengan berbagi sumber daya yang langka, dan mendahulukan kepentingan atau keselamatan orang lain dibandingkan diri sendiri. berbagai macam perilaku kebaikkan dalam sehari-hari, dengan  berbagi sumber daya yang langka, dan mendahulukan kepentingan atau keselamatan orang lain dibandingkan diri sendiri. Masyarakat adat Tana Lotong adalah sebutan bagi masyarakat adat yang tersebar di Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya sangat terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan menerobos kanopi hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang masih dalam tahap perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap



menyebabkan akses menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit dijangkau (Kompas.com, 5/9/2012)   Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat adat Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di antara penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah Masyarakat adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih memegang teguh adat istiadat, dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Rumah adat  Banua Batang   yang mengandung nilai filosofis yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya hingga saat ini. Sebagaimana penuturan Subyek A: “....Semua bagian rumah punya filosofi, tiap-tiap balok-baloknya dan itulah  panjang kalo diuraikan tiap balok punya makna semua....pertama, ada tiga ruangan di bagian atas, meliputi Paladan, semacam ruangan seperti teras untuk menerima tamu. Paladan tidak berdinding, menandakan keterbukaan masyarakatnya....”   Dari pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelit   Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran eksistensi pada wujud altruisme yang terkandung pada masyarakat adat Tana Lotong. 2. Manfaat a.   Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memperluas khazanah pengetahuan di bidang psikologi khususnya psikologi sosial, dan psikologi kepribadian.  b.   Manfaat Praktis 1)   Bagi Masyarakat Agar masyarakat dapat mengambil pelajaran dari budaya lokal Indonesia yang masih dalam ranah budaya timur, sehingga dapat memperkuat karakter bangsa. Bagi guru Agar penelitian ini dapat menjadi bahan ajar dalam proses pendidikan moral siswa. 2)   Bagi Orangtua Agar penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan pola asuh yang sehat terhadap anak. 3)   Bagi Masyarakat Adat Tana Lotong Agar dapat mempertahankan tradisi dan budaya yang dapat memfilter segala pengaruh negatif yang masuk dari luar. 4)



  Bagi Peneliti Agar dapat memahami psikologi timur, yang sebenarnya lebih tepat diterapkan dalam kehidupan Bangsa Indonesia yang berbeda dengan budaya barat.



 



BAB II LANDASAN TEORI A.   Altruisme 1.   Pengertian Menurut Walstern, dan Piliavin (Deaux, 1976). Perilaku altruistik adalah  perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma  –  norma tertentu, tindakan tersebut juga merugikan penolong, karena meminta pengorbanan waktu, usaha,uang dan tidak ada imbalan atau pun reward   dari semua pengorbanan . Definisi lain menyebutkan bahwa altruisme adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun kelompok orang untuk menolong orang lain tampa mengharapkan imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan perbuatan baik. Sears dkk,(1994) dengan defenisi ini, apakah suatu tindakan altuistik atau tidak, tergantung pada tujuan penolong, orang yang tidak dikenal mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menolong korban dari mobil yang terbakar, dan menghilang begitu saja, merupakan tindakan altruistik, lebih lanjut dijelaskan perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia dengan rela untuk berbuat sesuatu untuk orang lain, tanpa berharap mendapatkan imbalan apa pun, sebaliknya egoisme mengunakan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain untuk mengejar kesenagan.   Ajaran islam altruisme merupakan tindakan untuk menolong orang lain secara iklas karena islam menilai kebaikan dan perbuatan seseorang berdasarkan keiklasan untuk mengharapkan ridho Allah swt, sehingga setiap amal yang dilakukan hanya sematamata karena Allah swt, menafkahkan harta ditetapkan sebagai perbuatan baik, dan berpahala besar sebap sanggat bermanfaat untuk orang banyak, tindakan yang dilakukan seperti ini merupakan manifestasi dari  bentuk kesolehan sosial.(Tasmara, 2001). Setiap muslim harus berusaha memberikan kontribusi dan peran nyata yang



bermanfaat sehingga menjadikan kehidupan di dalam masyarakat sebagai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, Rasulullah saw bersabda bahwa. “  Sebaik  –   baiknya manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia yang lain “ (H-R Thabrani ). Sebagai mahluk sosial, seorang muslim diperintahkan untuk memberikan  pertolongan dan bantuan kepada sesama. Terdapat kesamaan kesimpulan Menurut Leeds (Staub, 1978) bahwa suatu tindakan yang dapat dikatakan altruisme apa bila memenuhi tiga kriteria yaitu: 1.   Hasilnya baik bagi penolong maupun yang ditolong 2.   Tindakan tersebut dilakukan secara sukarela tindakan tersebut dilakukan atas dasar empati bukan karena paksaan     Tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri, karena tindakan tersebut mengandung resiko tinggi pelaku, pelaku tidak mengharapkan imbalan materi, tidak untuk memperoleh persahabatan dan keintiman Kesimpulannya bahwa prilaku altruisme adalah tindakan diberikankan atau ditujukan pada orang lain dan memberi manfaat secara positif bagi orang lain atau orang yang dikenai tindakan tersebut dan dilakukan suka rela tampa mengharapkan imbalan apa pun, atau hanya sekedar untuk persahabatan, sikap ini tidak berdasarkan tekanan atau norma bahkan sikap ini dapat merugikan bagi sipenolong.  



Secara umum fungsi jantung yang utama adalah memompa darah ke seluruh tubuh dan menampungnya kembali setelah dibersihkan organ paru-paru. Hal ini berarti bahwa fungsi jantung manusia adalah sebagai alat atau organ pemompa darah pada manusia



Selain itu dapat menjadi sumber energi sosial-budaya yang dapat memacu semangat dan soliditas yang dapat diarahkan untuk proses pembangunan serta sarana pembelajaran dari kearifan-kearifan lokal yang telah dikembangkan oleh orang-orang Austronesia pada masa lampau.



A. Tipologi Studi tentang tipologi menyangkut studi tentang tipe, yaitu mengkaji adanya kesamaan ciri khas secara formal dari sekelompok obyek. Tipologi juga dapat berarti sebagai studi tentang pengelompokan obyek (sebagai model) melalui kesamaan struktur. Struktur formal ini mengandung makna yang tidak hanya berkaitan dengan geometri fisik saja, tetapi juga yang berkaitan dengan kondisi nyata, mulai dari aktifitas sosial hingga konstruksi bangunan. Studi tipologi juga mencakup upaya mengkategorisasi dan taksonomi. Taksonomi yaitu formulasi aturan-aturan dari informasi-informasi pada obyek melalui penyusunan keteraturan kategori secara hierarkis, dan dalam mengklasifikasikan dilakukan juga katagorisasi dengan melihat perbedaan sehingga dalam studi tipologi dilihat keseragaman dan keragaman sekaligus. B. Morfologi Morfologi adalah studi tentang bentuk. Studi ini dimulai pada masa Renaissance, yaitu pada masa ditemukannya daerah-daerah baru dengan flora dan fauna yang sangat beragam. Dalam perkembangan selanjutnya, studi morfologi tidak hanya menemukan klasifikasi dari bentuk dan struktur suatu obyek, tetapi lebih ke arah pemahaman tentang evolusi dan transformasi (metamorfosa). Dalam bidang arsitektur, konsep morfologi merupakan studi mendasar dalam melihat dan memilah komponen dan mengklasifikasikannya ke dalam tipe-tipe; morfologi juga merupakan studi evolusi tipe dan model; morfologi memperlihatkan transformasi dan metamorfosa; dan morfologi merupakan studi tipologi dari transformasi.



Definisi Tipologidan Morfologi Bangunan dalam Arsitektur



 Definisi Tipologi bangunan :Tipologi berasal dari dua suku kata yaitu Tipo yang berarti pengelompokan dan Logos yang mempunyai arti ilmu atau bidang keilmuan. Jadi Tipologi adalah ilmu yang mempelajari pengelompokan suatu benda dan makhluk secara umum. Berikut ini adalah beberapa pengertian Tipologi : Tipologi (dalam Arsitektur dan Perancangan Kota) Adalah klasifikasi taksonomi ( fisik ) karakteristik umum yang ditemukan pada bangunan dan tempat-tempat diperkotaan. Tipologi adalahklasifikasi (biasanya berupa klasikasi fisik suatu bangunan) karakteristik umum ditemukan pada bangunan dan tempat-tempat perkotaan, menurut hubungan mereka dengan kategori yang berbeda, seperti intensitas pembangunan (dari alam atau pedesaan ke perkotaan) derajat, formalitas, dan sekolah pemikiran (misalnya, modernis atau tradisional) . Karakteristik individu tersebut membentuk suatu pola.Kemudian pola tersebut berhubungan dengan elemen-elemen secara hirarkis di skala fisik (dari detail kecil untuk sistem yang besar). Tipologi secara Harfiah Tipologi adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tipe. Tipologi arsitektur atau dalam hal ini tipologi bangunan erat kaitannya dengan suatu penelusuran elemen-elemen pembentuk suatu sistem objek bangunan atau arsitektural. Elemen-elemen tersebut merupakan organisme arsitektural terkecil yang berkaitan untuk mengidentifikasi tipologi dan untuk membentuk suatu sistem, elemenelemen tersebut mengalami suatu proyek komposisi, baik penggabungan, pengurangan, stilirisasi bentuk dan sebagainya.



Dalam bidang arsitektur, konsep morfologi merupakan studi mendasar dalam melihat dan memilah komponen dan mengklasifikasikannya ke dalam tipe-tipe; morfologi juga merupakan studi evolusi tipe dan model; morfologi memperlihatkan transformasi dan metamorfosa; dan morfologi merupakan studi tipologi dari transformas



74