Artikel Pernikahan Dini [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Artikel Pernikahan Dini



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah



Seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi problem pernikahan dini dimasyarakat merupakan sangat banyak terjadi dikalangan masyarakat Baik dari kelas atas, menengah, bahkan dikelas bawah. Pernikahan dini atau biasa disebut dengan perkawinan bawah umur ini ada yang memang dari keinginannya masing-masing dan ada pula yang terpaksa. Pada saat sekarang ini masih banyak paradigma masyarakat yang berbeda. Ada yang mengatakan pernikahan dini atau dibawah umur terbut terjadi karena KB (Kecelakaan Berencana) yang tujuan pernikahannya hanya untuk menutupi aib tersebut. Banyak didaerah perdesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Padahal pernikahan dini berarti memotong tugas perkembangan remaja baik dalam mencari jati diri, mencoba mandiri dan memotivasi diri berprestasi. Pernikahan dini seakan memaksa remaja menjadi dewasa dengan tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial pengantin. Dalam Islam memang tidak melarang pernikahan dini atau dibawah umur ini, karena remaja tersebut tidak terjerumus kedalam hal perzinaan. Dalam makalah ini akan lebih dibahas masalah pernikahan dini yang telah disajikan oleh penulis pada Bab Pembahasan.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diambil rumusan masalah: 1. Bagaimana pernikahan dini penurut pandangan islam 2. Bagaimana cara meluruskan persepsi masyarakat terhadap pernikahan dini 3. Apakah penyebab dan manfaat dari pernikahan dini



C. Tujuan



Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu : agar penulis dan pembaca dapat mengetahui perbedaan pernikahan dini menurut Islam dan pernikahan dini yang banyak terjadi pada saat sekarang ini.



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Pernikahan Dini atau Perkawinan di Bawah Umur



Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan yang salah satu atau kedua mempelai masih dibawah umur 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Dalam kajian fiqih tidak ada istilah pernikahan dini, karena persyaratan sah pernikahan adalah tamyiz. Ini ditandai dengan saat mendapat haid bagi wanita dan mimpi basah pertama bagi pria. Namun, dengan pertimbangan keuntungan dan kerugiannya, pernikahan dini masih banyak kerugiannya. Dengan pertimbangan banyak kerugian tersebut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sebelumnya, pada pasal 6 ayat 2 dinyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.[1]Pernikahan ini bisa dilakukan dibawah tangan atau dicatatkan ke KUA namun dengan “memalsukan” usia atau meminta izin dispensasi ke Kantor Pengadilan Agama setempat.[2] Dalam kitab-kitab Fiqih tidak dibicarakan tentang batas usia perkawinan, bahkan dalam kitab-kitab Fiqih diperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan : “boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil” sebagaimana yang terdapat dalam kitab Syarh Fath al-Qadir (Ibnu al-Human, 274dan 186). Begitu pula kebolehan itu disebutkan secara tidak langsung sebagaimana setiap kitab Fiqih menyebutkan kewenangan wali mujbir mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan. Bahkan dalam literatur fiqh kontemporer ditemukan ungkapan : “bila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si istri disusukan oleh ibu sisuami, maka istrinya itu menjadi haram baginya. Dari ungkapan diatas dapat dipahami bahwa si istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu ialah bila berlangsung



selagi yang menyusu masih berumur dua tahun atau kurang. Hal ini berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan yang masih bayi.



Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya baru 6 tahun dan menggaulinya setelah berumur 9 tahun. Dasar pemikiran tentang batas umur pasangan yang akan kawin itu kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang hakikat perkawinan. Menurut pandangan mereka perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubngan kelamin, tetapi dari segi pengaruhnya dalam menciptakan hubungan mushaharah. Nabi mengawini Aisyah anak dari Abu Bakar dalam usia 6 tahun diantaranya ditujukan kebebasan Abu Bakar memasuki rumah tangga Nabi, karena disitu terdapat anaknya sendiri. Namun pada waktu ini perkawinan itu lebih ditekankan kepada tujuan hubungan kelamin. Dengan demikian, tidak adanya batas umur sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fiqih yang tidak relavan lagi. Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Qur’an atau hadits Nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Qur’an dan begitu pula ada hadits Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.



‫َوا ْبتَلُوا اْليَتَا َمى َحتَّى ِإذَا بَلَغُوا النَّكَا َح‬ “Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu adalah baligh.[3]



Pada masyarakat maju yang dibanggakan akhir-akhir ini tidak mengakuinya adanya pernikahan dini, sehingga pemudanya mulai meninggalkan pernikahan, dan terjerumus pada pergaulan bebas diantara mereka. Masyarakat Barat justru mendukung pernikahan dini, ketiak mereka konsisiten untuk membangun dari pada merusak dan menghancurkan. Di Amerika, pada sepuluh tahun terakhir atau kurang, Universitas Amerika memberikan kemudahan bagi mahasiswanya yang menikah, baik dalam kesempatan bekerja maupun dalam mendapatkan kredit perumahan. Pemerintah Amerika juga memperhatikan rendahnya minat masyarakat yang ingin menikah.



Dalam Koran “Al-Wihdah Dimasqiyyah” terbitan 5/11/1061 M, disebutkan keterangan Profesor Hardin, guru besar psikologi di Universita Harvard yang mengatakan, “Pernikahan dini tidak membahayakan, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang, khususnya mahasiswa dan mahasiswi. Fenomena yang disaksikan didalam kampus merupakan pemandangan yang bersifat alami dan bermanfaat. Mahasiswa yang menikah dapat memikirkan nilai masa depannya.



Islam mengajak kepada terwujudnya pernikahan dini, bahkan pemerintahan Islam di masa lampau berusaha menyediakan berbagai kebutuhan untuk merealisasikannya. Pada masa Umar bin Khatthab, ketika dia mengutus orang untuk membacakan pengumuman, “Barang siapa yang ingin menjaga dirinya, maka kami akan membantu mewujudkannya.” Demikian juga sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa yang dijadikan pemimpin dan belum memiliki istri, maka kami akan menikahkannya.” Karena pernikahan merupakan kebutuhan dasar yang tidak boleh ditunda, kecuali karena sebab tertentu. Umar bin Khatthab ketika melihat laki-laki kuat yang belum menikah mengatakan,” Orang ini tidak menikah bisa karena kemiskinannya atau karena kemaksiatannya.”[4]



B. Faktor Penyebab Pernihan Dini Perkawinan di bawah umur mempunyai banyak factor penyebab baik pemahaman agama, hokum, maupun sosial ekonomi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Selain keyakinan tentang bolehnya kawin gantung, pemahaman agama berikut ini juga berpengaruh pada perkawinan di bawah umur yaitu: 1. Kekhawatiran anak berbuat zina. Orang tua memilih segera mengawinkan anaknya walau masih di bawah umur daripada mereka melakukan zina. 2. Pandangan bahwa aborsi haram dalam segala situasi sehingga anak perempuan yang telah teranjur hamil karea ziana, maka lebih baik di nikahkan segera dengan paangan zinanya daripada aborsi. 3. Laki-laki dan perempuan dipandang sudah boleh menikah asalkan sudah baligh yang ditandai dengan mimpi basah bagi anak laki-laki dan menstruasi bagi anak perempuan. Sementara banyak anak yang mengalami baligh di bawah umur 16 tahun. 4. Keyakinan bahwa perkawinan Rasullullah SAW dengan Aisyah yang ketika itu berusia 9 tahun adalah teladan bagi umat nya yang pasti mengandung banyak manfaat daripada mafsadatnya. 5. Keyakinan bahwa kerelaan atau ijin calon mempelai perempuan tidak menjadi syarat sahnya perkawinan sehingga perkawinan dianggap sah walaupun anak perempuan tidak menyadari perkawinan tersebut atau bahkan menolaknya. 6. Pemahaman tenang hak ijbar ayah yang dipahami sebagai hak untuk memaksa anak perempuannya kawin. 7. Keharusan mentaati orang tua termasuk ketika orang tua mengawinkannya. 8. Keyakinan bahwa ajaran agama lebih di utamakan jika bertentangan dengan aturan Negara dan pembatasan usia minimal calon mempelai yang menjadi aturan Negara dianggap tidak ada dalam agama. Aspek hokum yang turut melestarikan praktek perkawinan dibawah umur adalah sebagai berikut:



1. Perkawinan dibawah umur antara Undang-Undang perkawinan dan undangundang perlinndungan anak tidak sama. 2. Tidak adanya sanksi definitif dalam undang-undang perkawinan pada pelaku perkawinan di bawah umur. 3. Undang-undang perlindungan anak memberikan sanksi pidana bagi pelaku perkawinan di bawah umur namun tidak ditegakkan. 4. Undang-undang perkawinan memberikan peluang adanya dispensasi kawin namun tidak ada kriteria tertentu mengenai siapakah yang berhak atas dispensasi tersebut sehingga di samping di berikan pada anak yang terlanjur melakukan zina hingga hamil, dispensasi juga diberikan pada anak yang dikhawatirkan berzina. 5. Dalam prakteknya perkawinan di bawah umur kerap di perlakukan sebagai delik aduan sehingga tidak akan diproses secara hokum apabila tidak ada pengaduan. 6. Aparat penegak hokum hanya memproses secara hokum petugas pernikahan muali amil hingga kepala KUA dalam perkawinan di bawah umur tetapi tidak memproses kasus yang dilakukan oleh tokoh agama. Adapun aspek social ekonomi dan budaya yang menjadi factor penyebab perkawinan di bawah umur adalah sebagai berikut: 1. Pandangan bahwa menjadi perawan tua (perawan jomblo) adalah tabu. Di sunda bahkan pepatah yang megatakan kawin ayeuna isuk pepegatan (hari ini kawin besok cerai) masih lebih baik daripada jomblo. Orang tua menjadi bangga jika anak perempuannya yang masih SD sudah ada yang melamar, dan sebaliknya khawatir jika belum kawin. Perempuan pun kemudian merasa malu jika belum menikah sementara teman-teman sebayanya telah menikah. 2. Pandangan bahwa menolak lamaran sebagai tabu dan dapat mempersulit jodoh. 3. Perkawinan di bawah umur di anggap wajar karena ibu dan nenek mereka dulu juga dikawinkan di bawah umur. 4. Pihak laki-laki memberikan uang pada keluarga perempuan kemudian kelurga perempuan merasa tidak enak untuk menolak lamarannya. 5. Anggapan bahwa pendidikan bagi perempuan tidaklah penting sehingga walaupun ada sekolah di dekat rumah mereka tetap tidak di sekolahkan, apalagi ketika jarak sekolah cukup jauh dan biaya sekolah mahal. Karena tidak sekolah, kemudian anak perempuan tidak mempunyai kegiatan dan akhirnya dipandang lebih baik kawin secepat mungkin. 6. Ketidaktahuan tentang adanya aturan batas usia minimal calon mempelai. 7. Anggapan bahwa anak perempuan yang segera di kawinkan dapat mengurangi beban keluarga karena dia di jaga oleh suaminya.[5]



Selain dari penyebab diatas juga ada penyebab lainnya, yaitu : 1. Faktor budaya Kebiasaan masyarakat, apabila pihak perempuan setelah mendapat lamaran dari pihak laki-laki akan cenderung menerima dan tidak berani menolak, karena sikap menolak bagi pihak perempuan sangat tabu. Kebiasaan tersenut seperti sudah menjadi budaya di masyarakat, dan apabila terjadi penolakan ada kekhawatiran anak perempuannya susah mendapatkan jodoh. Sikap keluarga perempuan biasanya tidak berani menolak jam, hari dan bulan yang sudah ditentukan pihak laki-laki. 2. Faktor pendidikan Rendahnya pendidikan orang tua sangat mempengaruhi perilaku mereka untuk segera menikahkan anak-anaknya. Mereka beranggapan untuk anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti kerjanya hanya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu putus sekolah juga menjadi penyebab perkawinan dibawah umur. Apabila anak sudah tidak sekolah lagi, maka orang tua segera menikahkannya. 3. Faktor ekonomi Keadaan keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka anak perempuannya dikawinkan dengan orang/keluarga yang dianggap mampu. 4. Faktor jauh dari orang tua Banyak anak-anak yang dirawat dan diasuh oleh kakek dan neneknya, sementara orang tua mereka merantau ke luar daerah. Perlakuan kakek dan nenek yang terlalu sayang terhadap cucunya, yang terkadang terlalu memberi kebebasan terhadap pergaulan cucu-cucunya dengan lawan jenis. Untuk menghindari aib karena kekhawatiran perzinahan, maka segera mengusulkan kepada ayah/ibunya untuk segera menikahkan cucunya.[6]



C. Respon Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. 1. Respon masyarakat dan ulama Menurut beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat, perkawinan di bawah umur secara agama bisa dinyatakan sah asalkan keduanya sudah baligh, namun tetap perkawinan tersebut tidak dianjurkan karena dengan usia yang masih muda maka berpotensi terjadinya keributan dalam rumah tangga, karena secara emosi usia tersebut masih labil dan belum matang. Rumah tangga akan menghadapi banyak problem, jika salah satu usia pasangan belum matang maka akan mudah emosional dalam manghadapi problem-problem perkawinan, hal ini akan mamicu konflik dan perceraian yang tidak diingikan.



Dalam perspektif adat, kerap kali perkawinan di bawah umur terjadi karena dorongan cultural dalam satu komunitas yang mempunyai keyakinan bahwa orang tua tidak boleh menolak laki-laki yang melamar anak perempuanya, sebab apabila hal itu dilakukan, maka gadisnya akan sulit memperoleh jodoh. Sementara ada kelompok masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai kelas dua. Masyarakat menghindari stigma sebutan perawan tua sehingga mereka berupaya mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan. Selain itu perkawinan di bawah umur pun kental dengan motif ekonomi. Kelurga yang ekonominya lemah akan segera menikahkan anaknya agar terbebas dari beban pembiayaan kehidupan sehari-hari. Banyak orang tua dan keluarga mungkin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya yang masih dibawah umur akan megurangabeban ekonomi keluarga tanpa berfikir akan dampak positif dan negative terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawa umur. Kondisi ini akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah properti keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan ang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri, serta yang pelng menyakitkan adalah menggunakan alasan terminologo agama, factor-fakeo tersebu yang biasa di gunakan masyarakat Indramayu untuk menikahkan anak perempuannya, sehingga di daerah tersebut dikenal banyak terjadi kasus perkawinan di bawah umur.



Perkawinan dalam pandangan islam adalah fitrah kemanusiaan yang sangat dianjurkan bagi umat islam, karena menikah merupakan ghorizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan kesesatan yang menjerumuskan ke lembah hitam. Perintah perkawinan dalam islam tertuang dalam al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Isu nikah muda sering jadi polemik dan kontoversi dalam masyrakat di karenakan masih ada asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi SAW, khususnya perkawinan beliau dengan Siti Aisyah. Istilah dan batasan nikah di bawah umur dalam kalangan pakar hokum islam sebenarnya masih terjadi perbedaan. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mancapai menstruasi bagi wanita. Syariat islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah, namun secara implicit syariat menghendaki orang yang akan menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikisnya, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah. 2. Respon Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama Keberedaan KUA dengan peran dan fungsinya penting bagi umat islam. Sebab lembaga ini adalah satu-satunya lembaga pemerintahan yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan yang terjadi di kalangan umat islam. Artinya lembaga bukan hanya semata-mata pemenuha tuntutan birokrasi tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh terhadap keabsahan perkawinan. Dalam konteks itu seorang penghulu di tuntut untuk betul-betul menguasai tugasnya. Ini hana bisa dilakukan apabila penghulu mempunyai kualitas yang dibutuhkan antara lain kemampuan birokrasi yag baik dan penguasaan ilmu –ilmu keislaman yang memadai. Tugas dan fungsi penghulu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk adalah mencatat perkawinan.



Dang-Undang tersebut mengatakan bahwa bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinan dilakuka oleh P3NTR. Ketentuan ini berlaku seluruh Indonesia, sesuai UU No 32 tahun 1954. Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 22 Tahun 1946, nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang ditunjuk olehnya. Berdasarkan ketentuan tersebut posisi penghulu P3NTR tetap dipertahankan sebagai pegawai pemerintahan tapi tigasnya hanya mengawasi pernikahan. Setelah berlakunya UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan tugad dan fungsi penghulu sebagai PPN semakin kuat. PP No 9 tahun 1975 yang merupakan ketentuan pelaksana dari Undang-Undang tersebut di jumpai beberapa pasal yag mengatur masalah pencatatan. Pasal 2 peraturan pemerintahan tersebut antara lan menyatakan: pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini. Adapun pejabat yang berwenang melakukan pencatatan nikah adalah PPN(pegawai pencatat nikah) ialah pgawai Negeri Sipil yang diangkat Menteri Agama pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan, yang merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya. Apabila PPN berhalangan, pekerjaannya dilakukan oleh wakil PPN.[7] D. Modus Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur umumnya dilakukan secara tidak formal atau tidak terdaftar di KUA, melainkan dilakukan dihadapan kyai dan tokoh agama. Namun ada juga beberapa kasus perkawinan di bawah umur yang dilakukan secara formal (resmi) dicatatkan di KUA dan tanpa izin atau dispensi dari Pengadilan Agama, yaitu dengan modus, sebelumnya pihak keluarga mengubah data identitas calon pengantin yang bersangkutan.



E. Makna Perkawinan Bagi Pasangan Perkawinan di Bawah Umur Masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur, umumnya memaknai perkawinan adalah bagian dari syariat ajaran Islam, untuk itu perkawinan di anggap sah jika usia pasangan telah baligh, yaitu bagi perempuan adalah sudah haid (menstruasi) dan bagi laki-laki adalah sudah mimpi basah (ihtilam) yang ditandai dengan keluarnya sperma. Untuk itu perkawinan meski usia perempuan belum berumur 16 tahun dan laki-laki belum 19 tahun, mereka tetap menganggap perkawinan tersebut sah karena telah dilakukan sesuai syariat Islam.[8]



F. Meluruskan Persepsi Pernikahan Dini



Kisah realitas yang berbeda, masing-masing memiliki alasan yang kuat. Kita bisa menyalahkan masyarakat yang memiliki persepsi negatif mengenai pernikahan dini. Kisah pernikahan dini dapat dianalisa baik secara psikologi, sosiologi maupun hukum Islam untuk menilai mana yang asli dan mana yang palsu.



1. Pernikahan Dini Palsu Pada pernikahan dini yang seperti ini mengilustrasikan bahwa nama pernikahan dini bukan sekedar pernikahan muda tapi juga pernikahan terpaksa. Motivasinya juga bukan atas dasar pentingnya pernikahan yaitu untuk menjalankan sunnah Rasulullah SAW dan menghindari perbuatan zina, melainkan lebih ke arah pembenaran dari kebatilan yang nyata menutupi aib demi nama baik keluarga. Dimasyarakat luas saat ini susah muncul pemikiran yang hampir merata bahwa pernikahan dini adalah pernikahan terpaksa, pernikahan darurat atau menikahan penutup iab. Maka dari pada nama baik keluarga hancur, lebih baik mereka dikorbankan dengan cara dipaksa agar segera menikah. Hal ini didukung oleh promosi media elektronik yang semakin mengkristalkan makna pernikahan dini sebagai pernikahan darurat atau terpaksa karena kecelakaan (yang disengaja). Akibatnya masyarakat pun menilai bahwa pernikahan diri adalah pernikahan karena hamil duluan.



Pernikahan dini seperti ini bukanlah pernikahan dini sesungguhnya, tapi tak lebih dari pemaksaan kehendak akibat kecelakaan yang disengaja atau KB (Kecelakaan Berencana). Secara kasat mata dapat dinilai bahwa pernikahan model ini bukan berangkat dari kerelaan masing-masing keluarga, tapi karena tekanan demi menyelamatkan muka dimata masyarakat. Tipe orang seperti ini hakekatnya menipu diri sendiri, dia mungkin bisa sembunyi dari masyarakat, tapi tidak dari Allah SWT. Pernikahan demikian sama dengan mentoledir kebobrokan moral anaknya. Terlebih lagi jika ditinjau secara hukum, ulama umumnya sepakat bahwa pernikahan dini karena hamil duluan adalah pernikahan terlarang. Menikahkan wanita hamil apalagi hasil zina jelas sebuah pelanggaran yang nyata. Dalam Islam, zina adalah perbuatan terkutuk dan sebuah aib yang harus diketahui masyarakat. Sementara itu mereka yang sengaja mendukung perzinaan ini dalam arti tidak memberi sanksi apapun, maka asyarakat telebih lagi orang tua, telah melakukan dosa secara massal.



Memang Indonesia bukanlah negara Islam sehingga hukum rajam atau jilid tidak bisa dilakukan. Namun menurut kaidah Ushul Fiqih “Maa lam yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu” (sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Artinya, demi kemaslahatan umat dan menyelamatkan generasi muda, maka harus ada hukuman alternatif yang disifatkan mendidikan agar perzinaan itu tidak merajalela. Umpamanya diasingkan, diumumkan ke khalayak



ramai agar dia malu, diarak ramai-ramai atau hukum lainnya yang membuat dia jera dan menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Sebaliknya, jika justru yang sudah ketahuan zina dan hamil, lantas dinikahkan, akan menyuburkan perzinaan. Mereka zina jadi keenakan karena tidak ada sanksi hukum bagi mereka. Karena itu menikahkan pasangan zina adalah pelanggaran yang nyata dan pernikahannya tidak sah.



2.



Pernikahan Dini Asli



Pernikahan dini asli ini merupakan sebuah tekad yang bersumber dari kesadaran menegakkan hukum Islam. Mereka menikah dengan landasan fisabilillah dan menghindari dari jalan syetan. Pernikahan dini model ini jelas sangat agung. Terlepas dari kendala yang dihadapi, namun perjuangan mereka merealisasikan pernikahan ini patut diacungkan jempol. Kesadaran menuju pernikahan dini model ini memang belum merata, baik dikalangan anak-anak muda Islam maupun dikalangan orang tua. Akibatnya muncul benturan sebagai akibat kepentingan yang bertolak belakang. Orang tua menginginkan lulus sekolah dulu atau dewasa dulu, namun anak berkepentingan menyelamatkan dirinya dari perzinaan. Keinginan orang tua biasanya didorong oleh unsur materi dan tidak mengindahkan unsur moral atau hikum Islam, sementara anaknya lebih kearah penegakkan hukum Islam. Andai saja keduanya mengambil landasan Islam sebagai rujukan untukk memutuskan sesuatu, tentu pernikahan dini tidak akan menemui kendala.



Terlebih lagi diera yang penuh birahi ini, dimana rangsangan seks begitu mudah didapat, maka pernikahan dini seharusnya dibudayakan. Pertumbuhan mental anakanak masa kini termasuk pengetahuan mereka tentang seks jauh lebih cepat dari orang tua dulu. Konsekwensinya, pernikahan harus segera dilaksanakan. Jika tidak, maka akan menimbulkan ledakan perzinaan dimana-mana Untuk nikah dini memang tidaklah mudah. Terlebi lagi ekonomi Indonesia yang tengah terpuruk, dianggap akan menyulitkan kehidupan rumah tangga. Namun tanpa mereka sadari bahwa keterpurukan ini muncul sebagai akibat mentalitas rakyat Indonesia yang senang topang dagu, tak mau bekerja keras. Masyarakat Indonesia cenderung malas berfikir keras untuk mencipatakan lapangan kerja sendiri. Mereka lebih suka mengabdi pada lembaga atau perusahaan tertentu yang jumlahnya kini sangat terbatas. Padahal alam Indonesia yang nyaman dan kekayaan alam yang melimpah seharusnya melahirkan anak-anak inovatif yang mampu membangkitkan ekonomi keluarga khususnya dan ekonomi negara umumnya.[9]



G. Pendapat Ulama tentang Wali pada Pernikahan Dini atau di Bawah Umur



1. Menurut mazhab Hanafi, Perkawinan seorang anak lelaki atau perempuan yang masih kecil, hukumnya sah, baik apakah anak perempuan itu masih gadis ataukah thayyibah,asalkan walinya adalah salah seorang dari “Ashabah” (keluarga dari pihak ayah).[10] Imam Hanafi berpendapat apabila anak dinikahkan oleh seorang wali yang bukan ayah atau kakeknya sendiri, setelah dewasa perempuan itu berhak untuk menolak perkawinan tersebut. Namun sebagaimana disebutkan dalam hadis yang dikutip, sekalipun si ayah memaksa menikahkan anaknya yang tidak seusia dengan keinginan si anak, maka setelah dewasa anak perempuan itu dapat membatalkan perkawinan tersebut kalau memang si gadis sangat menghendaki perceraian, seorang anak perempuan kecil juga demikian, apabila setelah dewasa dia mendapatkan bahwa pasangannya itu tidak cocok, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.[11] 2. Menurut Imam Malik, Hanya mengakui perkawinan semacam itu bila walinya adalah ayahnya sendiri atau kakeknya. 3. Menurut Imam Syafi’i, Hanya menerima pernikahan semacam itu jika walinya adalah ayahnya atau kakek.[12]



Wanita yang masih dibawah umur yang tidak mempunyai orang tua. Maka tidak seorangpun yang boleh menikahkannya, baik karena lasan memaksa maupun tidak. Sehingga ia (sang anak) mencapai usia baligh. Juga tidak seorang pun boleh menikahkan orang yang hilang ingatan sehingga ia tersadar dan memberikan izin. Kecuali bagi orang tua yang mempunyai anak gadis sejak dibawah umur dalam keadaan gila. Menurut pendapat Ibnu Syibrimah, Tidak diperbolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih dibawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Menurut Hasan dan Ibrahim An-Nakha’i berpendapat “diperbolehkan bagi orang tua menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga yang sudah besar, baik gadis maupun janda. Meskipun keduanya tidak menyukainya. Menurut Abu Hanifah mengatakan: ”Orang tua diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang belum baligh. Baik ia masih gadis maupun sudah janda. Karena, jika putrinya sudah mencapai usia baligh. Maka ia boleh menikahi siapa saja yang dikehendaki, tanpa harus meminta izin orang tuanya.[13]



H. Bahaya Pernikahan Dini Perkawinan di bawah umur banyak berdampak bagi pelaku, orang tua, maupun bagi anak yang dilahirkanya. Bagi para pelaku, perkawinan di bawah umur berdampak tidak tercapainya tujuan perkawinan, yaitu membentuk eluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Hal tersebut, disebabkan sering terjadi pertengkaran karena



emosi masing-masing pasangan belum matang, kurang adanya tanggung jawab terhadap peran masing-masing, perselingkuhan, terputusnya akses pendidikan khususnya bagi anak perempuan bedampak pada kesehatan reproduksi, resiko meninggal pada waktu melahirkan bagi ibu dan anak.dampak bagi anak diantaranya adalah kurangnya perhatian dan pendidikan dari orang tua langsung. Sedangkan orang tua pelaku perkawinan di bawah umur, menambah beban tangguangan keluarga Karena ikut serta menaggung biaya hidup anak menantu cucu disamping ikut merawat cucu. Angka kelahiran meninggal lebih banyak dialami oleh kelahiran dari ibu remaja. Hampir 16% wanita usia muda memiliki anak sebelum usia mereka mencapai 20 tahun. Padahal pernikahan remaja meningkatkan risiko kematian ibu sebesar 2-4 kali, dibandingkan dengan wanita berusia diatas 20 tahun atau lebih. Pernikahan dini juga cenderung berakhir dengan perceraian. Hal ini dikarenakan kesiapan mental mereka dalam membangin sebuah keluarga belum matang. Penyerapan mereka terhadap pengamalan hidup untuk membangun struktur kepribadian mereka belum usai. Sehingga saat terjadi masalah mereka cenderung kebingungan.



Dampak perkawinan di bawah umur lainya adalah sebagai berikut: 1. Tidak menyadari perubahan statusnya sebagai istri. Istri masih bertingkah laku sebagaimaba anak-anak seperti tidur dengan boneka dan uang belanja dibelikan boneka. Sebaliknya istri pun diperlakuan seperti anak-anak, di gendong, dipangku, dan dibujuk kalau menangis. 2. Tidak mengetahui haknya dengan baik sehingga hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. 3. Mengalami hubungan seksual di usia anak-anak, bahkan sebelum menstruasi yang pertama. 4. Mengalami hamil di usia anak-anak. 5. Putus sekolah. Pada umumnya perempuan yang mengalami perkawinan di bawah umur pendidikanya terputus baik pendidikan formal, maupun pendidikan agama. Setelah kawin, perempuan pada umumnya langsung masuk masa reproduksi yang panjang yaitu hubungan seksual dengan suami, hamil, melahirkan, menyusui secara berulang-ulang. 6. Kesulitan melakukan adaptasi suam-istri sehingga perkawinan di bawah umur rentan perceraian. 7. Rentan terhadap pembeban sepihak terutama pasca perceraian seperti mengurus anak dalam jumlah banyak tanpa bantuan mantan suami sama sekali. 8. Perempuan mudah berada dalam kondisi harus menjadi kepada keluarga atau pencari nafkah tunggal kelurga akibat penelantaran ekonomi yang dilakukan oleh suami.



9. Mempunyai daya saing yang lemah dalam bursa kerja karena pada umumnya pekerjaan mensyaratkan pendidikan di level tertentu. 10. Mudah terjebak pada pekerjaan yang berbahaya, kotor, dan sulit menjadi TKW, bahkan mudah terjebak sebagai korban perdangan manusia.



Untuk menghindari pernikahhan dini adalah dengan belajar dan berkarya serta berprestasi, dengan tetap menjaga diri dari pergaulan yang mengarah pada pergaulan bebas. Gali keunggulan diri dan mengembangkannya dengan sekuat tenaga dengan disertai puasa untuk meredam gejolak darah remaja, dan tentunya terus berdoa mengharap ridha dan rahmat Alllah SWT.[14]



I.



Manfaat Pernikahan Dini



Banyak manfaat pernikahan dini. Manfaat ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sungguh-sungguh ikhlas, menikah untuk ibadah : 1. Menyelamatkan dari penyimpangan Seks itu ibarat air, jika dibendung dan dibiarkan menggenang tidak baik bagi kesehatan lingkungan sekitar. Jika dibiarkan mengalir tanpa arah, akan berbahaya juga, dia kan membanjiri dan merusak sekitarnya. Sebaliknya jika diatur, dengan dibuatkan saluran khusus, akan mampu menghidupi ribuan hektar lahan sawah dan bermanfaat bagi hewan ternak.



Begitu juga seks, jika tidak disalurkan, akan menimbulkan banyak goncangan jiwa (stres) yang tidak baik bagi perkembangan mental. Jika tanpa saluran yang jelas, berakibat penyimpangan seks (perzinaan). Sebaliknya jika diatur dalam saluran nikah, akan banyak manfaatnya, akan lahir keturunan yang sehat (lahir-bathin), memberikan kegembiraan bagi keluarganya, kesenangan dan kenikmatan yang tak terhingga bagi suami istri itu sendiri. Mereka yang menyegerakan menikah karena takut terjerumus pada lembah zina sangat agung dalam pandangan Islam. Rasulullah SAW bersabda : “tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan yaitu orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan, orang yang ingin menunaikanjanjinya, serta orang yang berpeang dijalan Allah” (HR. Ahmad, An-nasai, dan Al-Hakim) 2. Sehat jasmani dan rohani Berbagai survei menunjukan, mereka yang berumah tangga lebih kebal dari penyakit dibanding yang belum nikah, bahkan mereka yang telah berumah tangga jika sakit akan cepat sembuh dibandingkan yang masih bujangan. Sementara secara mental



atau rohani, mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya. Hal itu sesuai dengan janji Rasulullah dalam hadits bahwa nikah itu akan memelihara pandangan dan faraj. 3. Lebih cepat memiliki keturunan Nikah dini memungkiknkan mempercepat keturunan. Bagi istri, memiliki anak dalam rentang waktu usia 20-35 tahun adalah saat-saat yang paling baik. Sebaliknya mereka yang baru nikah diatas 30 tahunan akan memilki waktu subur yang sempit . bukankah mereka yang paling banyak keturunannya yang paling dicintai Rasulullah ? Hingga Rasulullah SAW, bersabda : “ maukah aku kabarkan wanita penghuni surga yang terbaik ?” Kami menjawab : “tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “setiap wanita yang penyayang dan subur keturunannya. Jika suaminya marah, ia berkata, “aku dalam genggamanmu, aku tak akan terpejam sampai kau senang (HR Ath-Thabrani) Rasulullah SAW, bersabda : “Nikahilah pasangan yang subur keturunannya dan penuh kasih sayang, karena sesungguhnya aku(berharap) paling banyak pengikutnya dari pada para nabi pada hari Kiamat.” (HR Ahmad)



4. Lebih banyak nilai ibadah Banyak lahan amal dalam rumah tangga. Bagi suami, menghidupi anak-istri, memberikan nafkah bathin, dan lain-lain adalah perbuatan yang sangat mulia bahkan dikategorikan jihad. Begitu juga bagi istri dalam menyediakan makanan bagi suami, menyambut saat datang kerja, mendidik anak-anak akan mendapatkan pahala yang berlimpah. Rasulullah SAW bersabda : “siapa di antara kalian (para istri dan ibu) ikhlas tinggal dirumah untuk mengasuh anakanak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan memperoleh pahala yang kadarnya sama dengan pahala para mujahidin di jalan Allah” (HR Bukhari-Muslim) 5. Lebih cepat dewasa Banyak halangan dan rintangan dalam kehidupan rumah tangga. Halangan dan rintangan itu jika direnungi memberikan pendidikan mental yang baik. Mereka yang sering diterpa berbagai kesulitan akan mudah memahami hidup. Karena itu rumah tangga lebih cepat mendewasakan seseorang dan ini penting artinya bagi kelangsungan hidup berikutnya.[15]



J. Upaya Meminimalisir Perkawinan di Bawah Umur



Upaya upaya meminimalisir terjadinya perkawinan di bawah umur yaitu diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi pentingnya usia minimal dalam melaksanakan perkawinan terutama melalui ceramah-ceramag agama di mesjid-mesjid serta lembaga pendidikan. 2. Menekankan kepada PPN atau penghulu, untuk memperketat pelaksanaan perkawinan dibawah umur, dan menolak mereka yang menikah ketika batas usia belum sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 1974. 3. Sosialisasi undang-undang perkawinan dan KHI oleh Kankemenag dan KUA bekerja sama dengan Pemkab dalam bentuk kegiatan ibu-ibu dengan BKKBN dalam acara orientasi kesehatan reproduksi remaja (KKR) dalam acara pembinaan terhadap calon penggantin dalam acara akad nikah khutbah walimah dan berbagai kegiatan lainya. 4. Himbauan dan memberi motivasi kepada santriwan/santriwati agar terus melanjutkan sekolah. 5. Pihak pesantren mangadakan perjanjian kepada orang tua agar tidak mengambil anaknya sebelum menyelesaikan studi di pondoknya. 6. Setiap ada pengajian dalam resepsi perkawinan disampaikan materi mengenai batas umur perkawinan dan tata cara melayani suami. Ada pondok pesantren mengkaji khusus kitab perkawinan kepada santrinya yang sudah tunangan atau masuki masa perkawinan.



K. Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza 1. Lorong Gelap Dunia Remaja Tidak ada yang tahu secara menyeluruh misteri dunia remaja yang begitu unik dan penuh teka-teki. Unik karena pertumbuhannya dipengaruhi lingkunagan sekitarnya sehingga karakter mereka berbagai daerah memiliki perbedaan. Para psikolog berbeda pendapat jika mengomentari kenakalan remaja. Karena itu, menghadapi remaja perlu kerjasama semua elemen termasuk psikolog dan ulama.



Dr. Sarlito Wirawan Sarwono mendefinisikan remaja sebagai individu yang tengah mengalami perkembangan fisik dan mental. Beliau membatasi usia remaja ini antara 11-24 tahun dengan pertimbangan sebagai berikut :



a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampk (kriteria fisik) b. Dibanyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh baik menurut adat maupun agama. c.



Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa.



d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimum untuk memberi kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih tergantung pada orang tua. Zakiyah Daradjat mendefinisikan remaja sebagai anak yang ada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia dewasa. Zakiyah daradjat membatasi masa remaja ini antara 13 tahun hingga 24 tahun. WHO mendefisinikan remaja sebagai fase ketika seorang anak mengalami halhal sebagai berikut : a. Individu berkembang dari daat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identitas dari kanak-kanak menuju dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.



Dari berbagai defini diatas menjelaskan kondisi remaja yang penuh dilema dan rentan. Para psikolog sepakat bahwa pada masa ini pertumbuhan seks mengalami peningkatan cukup hebat yang tak jarang mengakibatkan goncangan mental. Mereka seolah berada didunia baru yang belum dikenalnya. Namun uniknya, mereka tidak sadar apa yang terjadi. Karenanya, remaja umumnya bertingkah laku tanggung kadang sok jagoan, caper (cari perhatian), dandanan seronok (norak), bergerombol dengan rekan satu ide, dan tak jarang memberontak baik terhadap orang tua maupun gurunya yang dianggap kampungan dan mencampuri urusannya. Diera yang sangat rentan seperti sekarang ini banyak remaja ingusan ang sudah melakukan perilaku “dewasa” ; memperkosa, mencuri, merampok, kumpul kebo, bahkan sodomi. Disanalah sudah banyak terbentuk geng-geng yang terpisah dari realitas moral yang dianut lingkunganya.



2. Menuju dunia penuh birahi Munculnya dorongan seksual pada remaja dipicu oleh perubahan dan pertumbungan hormon kelamin sebagai akibat dari kematan mental dan fisiknya. Secara garis besar perubahan menurut Akhmad Azhar Abu Miqdad, terdapat kelamin primer, kelamin sekunder dan kelamin tertier.



a.



Tanda perubahan kelamin primer



Dimulai dengan berfungsinya organ-organ genetal yang ada, baik didalam maupun diluar badan atau berfungsinya organ tertentu yang erat kaitannya dengan persetubuhan dan proses reproduksi b. Tanda perubahan organ sekunder Kelamin sekunder adalah organ tubuh tertentu yang tidak ada hubungannya dengan proses pembuahan atau proses reproduksi. Pada laki-laki terjadi perubahanperubahan dan begitu juga dengan perempuan. c.



Tanda perubahan pada organ tertier



Ada hubungannya dengan psikis yaitu laki-laki nampak kelelakiannya dan wanita nampak kewanitaannya dalam segala gerak tubuhnya.



3. Pergeseran pandangan generasi ekstravaganza terhadap seks Munculnya pernikahan dini yang palsu tak terlepas dari peran dunia modern dengan teknlogi informasinya yang merubah pandangan remaja terhadap seks. Rasulullah saw bersabda : “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata : Rasulullah saw pernah bersabda : “sesengguhnya akan datang pada umatku seperti pernah datang pada Bani Israil selangkah demi selangkah, hingga mereka (berani) menyetubuhi ibunya dengan terang-terangan. Dikalangan umat ku akan ada berbuat demikian” (HR Tirmidzi)



4. Karena kesucian telah ternoda Sekarang ini kehidupan remaja telah sedemikian hancur. Seks kehidupan remaja telah sedemikian hancur. Seks bukan lagi suatu yang agung malah menjadi barang agunan. Bahkan lembaga pernikahan sendiri, terkadang hanya sekedar formalitas dan bukan lagi lembaga yang diagungkan atau bukan lagi dianggap lembaga yang suci.



5. Pernikahan Dini Karena “Kecelakaan” dan Lahirnya “Bayi Ajaib” Perilaku seks bebas yang dilakukan remaja modern baik dengan pasangan maupun dengan kekasih gelanya, telah menambah deretan panjang remaja hamil diluar nikah. Sebagian memilih menggugurkan kandungannya, tak sedikit pula membesarkan kandungannya lalu membuang bayi itu sesaat setelah melahirkan, dan yang “beradab” segera menikahkan anak itu sebelum kandungannya membersar yang oleh mereka



sering disebut “pernikahan dini” atau pernikahan karena “kecelakaan” (yang disengaja). Menikahkan anak karena “kecelakaan” (married by accident) ini seolah menjadi budaya baru dikalangan keluarga Islam. Mereka sudah tidak lagi mempertimbangkan hukum Islam, bagaimana cara memperlakukan anaknya yang hamil. Ironisnya mereka bukannya menghukum anak itu, tapi justru dipestakan, dihargai layaknya seseorang yang telah berjasa.



Akibat “pernikahan dini”, maka lahirlah “anak-anak ajaib” yang dikandung “lebih pendek waktunya.” Walaupun demikian, perlaku negatif remaja hubunganya dengan penyimpangan seksualitas, pada dasarnya bukan murni tindakan diri mereka saja, melainkan ada faktor pendukung atau yang mempengaruhi dari luar. Faktor-faktor yang menjadi sumber penyimpangan tersebut : a. Kualitas diri remaja itu sendiri seperti, perkembangan emosional yang tidak sehat, mengalami hambatan dalam pergaulan sehat, kurang mendalami norma agama, tidak mampu mengatasi masalah sendiri, dan memiliki kebiasaan negatif terutama di rumah atau kurang disiplin dalam menjalani kehidupan di rumah. b. Kualitas lingkungan keluarga yang tidak mendukung anak untuk berlaku baik, seperti anak kurang bahkan tidak mendapatkan kasih sayang berarti akibat kesibukan orang tua diluar rumah, dan pergeseran norma keluarga dalam mengembangkan norma positif. Disamping itu keluarga tidak memberikan arahan tentang seks yang sehat. c. Kualitas lingkungan yang kurang sehat, seperti lingkungan yang tidak ada pengajian agama. d. Minimnya kualitas informasi yang masuk pada remaja sebagai akibat globalisasi .



Namun bagi individu dan keluarga yang sehat (secara agama), akan menghindari bentuk-bentuk penyimpangan seks, mereka justru memilih jalan aman, yaitu tidak pacaran atau nikah segera dan inilah pernikahan dini dalam arti yang sebenarnya. Rasulullah sendiri mengisyaratkan agar remaja yang sudah matang segeralah menikah. Bahkan beliau melarang keas membujang terlalu lama. Artinya, nikah dini sangat dianjurkan terutama diera yang sarat rangsangan seperti sekarang ini.



6. Hukum menikahi wanita hamil Dalam Islam, wanita hamil hanya boleh menikah setelah melahirkan. H Subhan Nurdin menjelaskan dalil yang sharih menjelaskan iddah bagi wanita hamil ialah melahirkan, sebagaimana firman Allah dalam surat At-Thalaq : 4,



‘Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö‘$# £`åkèE£ ‰ÏèsùèpsW»n=rO 9•ßgô©r&



“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”



Maka berdasarkan ayat ini wanita tadi harus ditunggu samapi melahirkan, baru kemudian dinikahkan. Sabda Rasulullah saw : “ Tidak boleh dicampuri wanita hamil kecuali setelah melahirkan” (HR Imam Ibnu Qudamah Al-maqdisi)[16]



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan yang salah satu atau kedua mempelai masih dibawah umur 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Faktor yang banyak menyebabkan pernikahan dini adalah perzinaan, karena malu terhadap aib yang terjadi dalam keluarga dan dapat mencoreng nama baik keluarga maka terjadilah pernikahan. Dalam pandangan Islam memang tidak dilarang pernikahan dini tetapi kalau tujuannya hanya untuk menyembunyikan aib yang ada maka diharamkan sebab dalam Islam menikahi wanita yang dalam keadaan hamil tidak diperbolehkan, kalau ingin menikahi juga tunggu sampai wanita itu melahirkan baru bisa dilangsungkan pernikahan. Pernikahan dini banyak terjadi dikalangan remaja disebabkan oleh perkembangan zaman dengan adanya teknologi-teknologi yang modern yang disalah gunakan oleh para generasi muda sehingga jatuhnya ke hal-hal yang tidak diinginkan.



Selain ada dampaknya, pernikahan dini yang dilakukan sesuai ajaran agama Islam akan memberi kemaslatan yang banyak pula.



B. Saran Dari pembahasan makalah diatas penulis menyaran kan kepada pembaca maupun kepada penulis sendiri, agar tidak terjadinya perzinaan lebih baik menikah saja dari pada menghancurkan masa depan. Tetapi janganlah sekali-kali menjadikan pernikahan dini untuk menutupi keburukan yang telah dilakukan.