Askep Jiwa Kelompok Buk Jenny Purba [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2



ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN SKIZOFRENIA DENGAN MASALAH GANGGUAN PERSEPSI SENSORI “HALUSINASI PENDENGARAN DI YAYASAN PEMENANGAN JIWA SUMATERA



Disusun Oleh: HAFIZUDDIN (200202022) ILHAM WAHYU (200202074) AYU SASTYA (200202009) YOHANA OKTAVIA PURBA (200202066) SEPTYANA NDAHA (200202053)



PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA MEDAN 2021/2022



3



KATA PENGANTAR Puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan asuhan keperawatan jiwa



pasien dengan Halusinasi Pendengaran di Yayasan



Pemenang Jiwa Sumatera Utara untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan jiwa dalam menyelesaikan Profesi Ners.. Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini banyak pihak yang membantu penulis, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ibu Rinco Siregar, S.Kep, MNS selaku Ketua Prodi Keperawatan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia. 2. Bapak Ns. Jek Amidos Pardede, M.Kep, Sp. Kep Jiwa selaku Koordinator Profesi Ners dan dosen pembimbing Praktek Belajar Lapangan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. 3. Staf dan Pegawai Yayasan Pemenenang Jiwa Sumatera 4. Orang tua kami yang selalu memberikan dukungan, materi dan doa untuk menyelesaikan tugas makalah ini . 5. Serta terima kasih kepada teman-teman Mahasiswa/i Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah bersama-sama menyelesaikan tugas makalah ini.



Penulis menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kami dari penulis sangat mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki di masa yang akan datang dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.



4



DAFTAR ISI Kata Pengantar ..............................................................................................i Daftar Isi .........................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan ............................................................................................... 2 1.2.1 Tujuan Umum ...................................................................... 2 1.2.1 Tujuan Khusus ..................................................................... 2 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Halusinasi Pendengaran 2.1.1 Definisi .......................................................................................... 3 2.1.2 Klasifikasi Halusinasi .................................................................... 3 2.1.3 Etiologi ......................................................................................... 4 2.1.4 Rentang Respon ............................................................................. 9 2.1.5 Fase Halusinasi .............................................................................. 10 2.1.6 Tanda dan Gejala ........................................................................... 12 2.1.7 Komplikasi .................................................................................... 13 2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................... 13 2.2.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................. 16 2.2.3 Tindakan Keperawatan .................................................................. 16 2.2.4 Penatalaksanaan Medis ................................................................. 17 2.2.5 Prinsip Keperawatan ..................................................................... 19 2.2.6 Penatalaksanaan Keperawatan ...................................................... 19 2.2.7 Evaluasi Keperawatan ................................................................... 20 BAB III TINJAUAN KASUS 3.1 Identitas Klien .................................................................................. 22 3.2 Alasan Masuk ................................................................................... 22 3.3 Faktor Predisposisi............................................................................ 22 3.4 Fisik .................................................................................................. 23 3.5 Psikososial......................................................................................... 23 3.6 Mekanisme Koping .......................................................................... 26 3.7 Masalah Psikososial dan Lingkungan .............................................. 26 3.8 Pengetahuan Kurang tentang Gangguan Jiwa................................... 26



5 3.9 Aspek Medik .................................................................................... 26 3.10 Analisa Data .................................................................................. 27 3.11 Pohon Masalah ............................................................................... 29 3.12 Diagnosa Keperawatan .................................................................. 29 3.13 Prioritas Diagnosa Keperawatan .................................................... 29 3.14 Intervensi Keperawatan .................................................................. 30 3.15 Catatan Perkembangan ................................................................... 32 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengkajian ........................................................................................ 42 4.2 Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 43 4.3 Implementasi .................................................................................... 44 4.4 Evaluasi ............................................................................................ 45 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 46 5.2 Saran ................................................................................................. 46



6



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan respon yang tidak adaptif dari lingkungan dalam dan luar diri, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan prilaku yang tidak sesuai dengan budaya setempat dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan dan fisik. Salah satu gangguan jiwa yang paling berat dan bersifat kronis adalah skizofrenia (Townsend & Morgan, 2017; Pardede J, 2020).Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat,2014). Seorang yang mengalami skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima realita, gangguan emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta gangguan dalam  melakukan aktivitas atau perubahan perilaku. Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart, 2013). Skizofrenia merupakangangguan mental berat dan kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019). Di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas (2018) didapatkan estimasi prevalensi orang yang pernah menderita skizofrenia di Indonesia sebesar 1,8 per 1000 penduduk. Hasil survey awal yang dilakukan di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Medan di temukan sebanyak 13.899 pasien yang rawat jalan dibawa oleh keluarganya untuk berobat. Prevalensi pasien berdasarkan jenis kelamin yaitu wanita berjumlah 4.499 orang dan laki – laki berjumlah 9.400 orang. Dari semua diagnosa pasien yang rawat jalan yang paling tinggi yaitu gangguan Skizofrenia yaitu sebesar 11.336 orang dari pasien yang berkunjung dibawa oleh keluarganya ke poli rawat jalan berjumlah 1158 pasien perbulan(Pardede J, 2020).). Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi sensori pada klien skizofrenia. Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang dapat ditandai dengan gangguan utama pikiran, persepsi, emosi dan perilaku (APA, 2015; Davidson, Neale & Kring, 2016). Bentuk halusinasi bisa berupa suara-suara bising atau mendengung. Tapi paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat. Bisa juga klien bersikap mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang yang tidak berbicara atau pada



7 benda mati. Persepsi masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa merupakan tanggung jawab pihak rumah sakit jiwa saja, padahal faktor yang memegang peranan penting dalam hal perawatan penderita yaitu keluarga serta masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa tersebut (Dermawan & Rusdi, 2015) Menurut WHO pada tahun 2015 memperkirakan 450 juta orang seluruh dunia mengalami gangguan jiwa saat ini dan dua puluh lima persen penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Diperkirakan terdapat 200.000 kasus baru yang di diagnosa skizofrenia setiap tahun di United States, dan 2 juta diseluruh dunia. Kira-kira sekitar 1% dari populasi di United States menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2016, angka rata-rata nasional gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas yaitu 6%, angka ini setara dengan 14 juta penduduk. Sedangkan gangguan jiwa berat, rata-rata sebesar 0,17% atau setara dengan 400.000 penduduk, berdasarkan dari data tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Angka kejadian skizofrenia biasanya terjadi pada remaja tua dan dewasa muda, dan angka itu kadang-kadang terjadi setelah usia 50 tahun, walaupun lebih jarang 50% klien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri. sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi. Didapatkan data dari bulan Januari sampai Februari 2017 tercatat jumlah pasien rawat inap 403 orang. Sedangkan jumlah kasus yang ada pada semua pasien baik rawat inap maupun rawat jalan kasus halusinasi mencapai 5077 kasus, perilaku kekerasan 4074 kasus, isolasi sosial: menarik diri 1617 kasus, harga diri rendah 1087 kasus dan defisit perawatan diri 1634 kasus. Rata-rata terdapat 150 klien skizofrenia perbulan, klien



mengalami halusinasi mencapai 90 orang (60%), kerusakan interaksi dan gangguan konsep diri mencapai 38 orang (25%), perilaku kekerasan mencapai 15 orang (10%), dan klien dengan waham sekitar 8 orang (5%). Dari 90 klien yang mengalami halusinasi dapat digolongkan dalam jenis halusinasi: klien yang mengalami halusinasi dengar sekitar 50% (45 klien), halusinasi penglihatan 45% (40 klien) dan gangguan halusinasi lain sekitar 5% (5 klien). Pada tahun 2015 dari 160 klien gangguan jiwa 89 klien mengalami skizofrenia, dan 44 klien mengalami halusinasi pendengaran. Ini merupakan angka yang cukup besar dan perlu mendapat perhatian perawat dalam merawat klien dengan gangguan persepsi halusinasi khususnya pada halusinasi pendengaran. Penatalaksanaan halusinasi yaitu membantu mengenali halusinasi dengan cara melakukan berdiskusi dengan klien tentang halusinasinya (apa yang didengar/ dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respons klien saat halusinasi muncul, untuk dapat mengontrol halusinasi klien dapat mengendalikan halusinasinya ketika halusinasi kambuh, penerapan ini dapat menjadi jadwal kegiatan sehari-hari yang dapat diterapkan klien yang bertujuan untuk mengurangi masalah halusinasi yang dialami klien dengan gangguan persepsi sensori (halusinasi dengar) (Keliat dkk, 2012). Upaya optimalisasi penatalaksanaan klien dengan skizofrenia dalam menangani gangguan persepsi sensori (halusinasi dengar) dirumah sakit antara lain melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi dan terapi non farmakologis salah satunya dengan cara terapi musik. Standar Asuhan Keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan halusinasi. Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal halusinasi,



mengajarkan pasien menolak halusinasinya, minum obat dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, serta melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi (Wahyu P, 2010). Penerapan SPTK (Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan) terjadwal yang diterapkan pada klien yaitu bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani pada gangguan persepsi sensori (halusinasi dengar). Jika pasien sudah pulang maka anjurkan pasien untuk membuat jadwal kegiatan harian dirumah sesuai dengan kegiatan pasien sehari – hari untuk mengurangi terjadinya halusinasi, anjurkan pasien untuk minum obat tepat waktu, dan anjurkan pasien untuk konsultasi kepada dokter sesuai jadwal yang telah ditentukan. Dari latar belakang diatas penulis tertarik mengambil masalah tentang “Asuhan keperawatan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” 1.2 Rumusan Masalah “Bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera”. 1.3 Tujuan. 1.3.1 Tujuan Umum Memberikan asuhan keperawatan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera. 1.3.2 Tujuan Khusus a.



Melakukan Pengkajian pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.



b.



Merumuskan Diagnosa keperawatan pada klien Skizofrenia dengan



masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera. c.



Menyusun Rencana Keperawatan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.



d.



Melakukan Implementasikan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.



Melakukan Evaluasi tindakan keperawatan pada klien Skizofrenia dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi Pendengaran” di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.



1.4 Manfaat Praktis. a.



Bagi Klien



Mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan apa yang telah dipelajari dalam penanganan kasus jiwa yang dialami dengan kasus nyata dalam pelaksanaan keperawatan, seperti cara untuk mengendalikan halusinasinya b.



Bagi Perawat



Asuhan keperawatan ini dapat dijadikan dasar informasi dan pertimbangan untuk menambah pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam meningkatkan pelayanan perawatan pada Klien Gangguan Persepsi Sensori (Halusinasi Pendengaran) .



c. Bagi Peneliti selanjutnya. Asuhan keperawatan ini dapat dijadikan dasar informasi dan pertimbangan peneliti selanjutnya untuk menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran



BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Skizofrenia. 2.1.1 Definisi. Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya (Melinda Hermann, 2008). Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses fikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek/emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi; asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi. Skizofrenia merupakan bentuk psikosa yang banyak dijumpai dimanamana namun faktor penyebabnya belum dapat diidentifikasi secara jelas. 2.1.2 Jenis Skizofrenia. a.



Skizofrenia simplex: dengan gejala utama kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.



b.



Skizofrenia hebefrenik, gejala utama gangguan proses fikir gangguan kemauan dan depersonalisasi. Banyak terdapat waham dan halusinasi.



c.



Skizofrenia katatonik, dengan gejala utama pada psikomotor seperti stupor maupun gaduh gelisah katatonik.



d.



Skizofrenia paranoid, dengan gejala utama kecurigaan yang ekstrim disertai waham kejar atau kebesaran.



e.



Episode skizofrenia akut (lir skizofrenia), adalah kondisi akut mendadak disertai dengan perubahan kesadaran, kesadaran mungkin berkabut.



f.



Skizofrenia psiko-afektif, yaitu adanya gejala utama skizofrenia yang menonjol dengan disertai gejala depresi atau mania.



g.



Skizofrenia



residual



adalah



skizofrenia



dengan



gejala-gejala



primernya dan muncul setelah beberapa kali serangan skizofrenia. 2.1.3 1.



Gejala Skizofrenia.



Gejala primer. a. Gangguan proses pikir (bentuk, langkah dan isi pikiran). Yang paling menonjol adalah gangguan asosiasi dan terjadi inkoherensi. b. Gangguan afek emosi. c. Terjadi kedangkalan afek emosi. d. Paramimi dan paratimi (incongruity of affect/ inadekuat). e. Emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai satu kesatuan. f. Emosi berlebihan. g. Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik. h. Gangguan kemauan. Gangguan ini meliputi : a) Terjadi kelemahan kemauan. b) Perilaku negativisme atas permintaan. c) Otomatisme: merasa pikiran/perbuatannya dipengaruhi oleh orang lain.



2.



Gejala psikomotor.



a. Stupor atau hiperkinesia, longorea dan neologisme b. Stereotipi c. Katelepsi: mempertahankan posisi tubuh dalam waktu yang lama d. Echolalia dan echopraxia e. Autisme 3.



Gejala sekunder. a. Waham b. Halusinasi.



2.2 Konsep Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran. 2.2.1



Definisi Halusinasi adalah suatu keadaan hilangnya kemampuan individu



dalam membedakan antara rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan suara – suara tetapi pada kenyataannya tidak ada orang yang berbicara (Abdul muhith, 2015). Halusinasi adalah suatu gangguan persepsi panca indera tanpa disertai dengan adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sstem penginderaan dimana pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik (Abdul muhith, 2015). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori: merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan (Abdul muhith, 2015).



Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat melputi semua sistem penginderaan (Abdul muhith, 2015). 2.2.2 Jenis – jenis Halusinasi. Menurut Stuart dan Laraia (2005) membagi halusinas menjadi 7 jenis halusinasi yang meliputi : halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi pengecapan (gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi kinestetik, halusinasi cenesthetics, halusinasi penghidu (olfactory). Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi pendengaran yang mencapai kurang lebih 70%, sedangkan halusinasi penglihatan mencapai urutan kedua dengan rata – rata 20%, sementara jenis halusinasi yang lain yaitu halusinasi pengecapan, penghidu, perabaan, kinestetik dan cenethetics hanya meliputi 10%. Tabel di bawah ini menjelaskan karakteristik tiap – tiap halusinasi. Jenis Halusinasi.



Karakteristik



Pendengaran



Mendengar suara – suara atau kebisingan, paling sering suara orang, suara berbentuk kebisingan yang kurang keras sampai kata – kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai percakapan lengkap antara dua orang atau lebih. Pikiran yang didengar klien dimana klien disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang – kadang membahayakan.



Penglihatan



Stimulus visual dalam bentuk kelihatan cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.



Penghidu



Menghirup bau – bauan tertentu seperti bau darah, bau urin, atau bau feses, umumnya bau – bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi



penghidu sering akibat dari stroke, tumor, kejang atau dimensia. Pengecapan



Merasa mengecap rasa sesuatu seperti darah, urin atau feses.



Perabaan



Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.



Cenesthetics



Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urin.



Kinesthetics



Merasakan pergerakan saat berdiri tanpa bergerak.



2.2.3 Fase – Fase Halusinasi. Halusinasi yang dialami klien bisa berbeda intensitas dan tingkat keparahannya. Menurut Stuart dan Laraia, (2005) membagi fase – fase halusnasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas atau kecemasan yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat mengalami ansietas atau kecemasan dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Fase Halusinasi Fase I : Comforting. Ansietas sedang. Halusinasi menyenangkan.



Fase II : Condemning Ansietas berat. Halusinasi menjadi menjijikan.



Karakteristik Klien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut sehingga mencoba untuk berfokus pada fikiran menyenangkan untuk meredakan ansietasnya. Individu dapat mengenali bahwa fikiran – fikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat dikendalikan. NONPSIKOTIK



1.



1.



1.



2.



3.



4. 5.



Fase III : Controliing Ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi berkuasa.



Perilaku Klien



Pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang di persepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. Mulai merasa kehilangan kontrol. Tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati.



PSIKOTIK RINGAN 1. Klien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. 2. Isi halusinasi menjadi menarik. 3. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.



2. 3. 4. 5.



2. 3. 4. 5. 6.



1. 2. 3. 4.



Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai. Menggerakkan bibir tanpa suara. Pergerakan mata yang cepat. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. Diam dan asyik sendiri.



Meningkatnya tanda – tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah. Rentang perhatian menyempit. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan antara halusinasi dengan realita. Menyalahkan. Menarik diri dari orang lain. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja.



Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti. Kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit. Adanya tanda – tanda fisik ansietas berat : berkeringat, termor atau gemetar, dan tidak mampu mematuhi



5. 6. 7.



PSIKOTIK Fase IV : Conquering. 1. Panik. Umumnya menjadi melebur dalam 2. halusinasinya.



Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasinya. Halusinasinya berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi therapeutic.



1. 2. 3. 4. 5.



PSIKOTIK BERAT



6.



perintah. Isi halusinasi menjadi atraktif. Perintah halusinasi ditaati. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat. Perilaku eror akibat panik. Potensi kuat suicide atau homicide. Aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan , agitasi, menarik diri, atau katatonik. Tidak mampu nerespon perintah yang kompleks. Tidak mampu merespon lebih dari satu orang. Agitasi atau katatonik.



2.2.4 Dimensi Halusinasi. Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa kecurigaan, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,



tidak



mampu



mengambil



keputusan



serta



tidak



dapat



membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata. Masalah halusinasi berlandaskan pada hakikat keberadaan seseorang indiviu sebagai makhluk yang di bangun atas dasar unsur – unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi (Stuart dan Laraia, 2005) yaitu : a. Dimensi Fisik. Manusia



dibangun



oleh



sistem



indera



untuk



menanggapi



rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat – obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.



b. Dimensi Emosional. Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak



sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. c. Dimensi Intelektual. Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. d. Dimensi Sosial. Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah – olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka individu tersebut bisa membahayakan orang lain. Oleh karena itu, aspek



penting



dalam



melakukan



atau



melaksanakan



intervensi



keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan



pengalaman



interpersonal



yang



memuaskan,



serta



mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.



e. Dimensi Spiritual. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses



diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya (Stuart dan Laraia, 2005).



2.2.5 Rentang respon. Rentang Respon neurobiologis. Respons adatif



a. b. c. d.



Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten dengan pengalaman Hubungan sosial harmonis



respons maladatif



a. b. c. d. e.



Kadang proses pikir terganggu Ilusi Emosi berlebihan/ kurang Perilaku tidak biasa Menarik diri



a. b. c. d. e.



Gangguan proses pikir (waham) Halusinasi Kerusakan proses emosi Perilaku tidak terorganisir Isolasi sosial



Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologis (Stuart dan Laraia, 2005). Ini merupakan respon persepsi paling mal adaptif. Jika klien sehat maka persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterorestasikan stimulus



berdasarkan



informasi



yang



diterima



melalui



pancaindra



(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Respon individu (yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi) yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut dengan ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukan terhadap stimulus pancaindera tidak akurat sesuai dengan stimulus yang diterima. Respon tersebut digambarkan seperti



gambar diatas.



2.2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Halusinasi. Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan diagnosis klien yang mengalami psikotik. Khususnya skizofrenia. Halusinasi dipengaruhi oleh faktor (Stuart dan Laraia, 2005), dibawah ini antara lain : a.



Faktor Predisposisi. Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat di bangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis, dan genetik. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology seperti pada halusinasi antara lain : 1.



Faktor Genetik. Telah diketahui bahwa secara genetik skizofrenia diturunkan melalui kromosom – kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50 % jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara dizygote peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satunya orang tuanya



mengalami



skizofrenia



berpeluang



15% mengalami



skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.



2.



Faktor Perkembangan. Jika



tugas



perkembangan



mengalami



hambatan



dan



hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan. 3.



Faktor neurobiology. Ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex limbic pada klien dengan skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klen skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga tidak ditemukan tidak normal, khususnya dopamine, serotonin dan glutamat.



4.



Faktor biokimia. Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).



5.



Faktor Sosiokultural. Berbagi faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibesarkan.



6.



Psikologis. Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia, anatara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. Sementara



itu hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas. 7.



Teori Virus. Paparan virus influenzae pada trimester ke -3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi skizofrenia.



8.



Study neurotransmitter. Skizofrenia



diduga



juga



disebabkan



oleh



adanya



ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamine berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin. b. Faktor presipitasi, Yaitu suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi dan suasana sepi/isolasi sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Disamping itu juga oleh karena proses penghambatan dalam proses transduksi dari impuls yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam proses interpretasi dan interkoneksi sehingga dengan demikian faktor – faktor pencetus respon neurobiologis dapat dijabarkan sebagai berikut : a.



Berlebihnya proses informasi pada sistem syaraf yang menerima dan memproses informasi dithalamus dan frontal otak.



b.



Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu (mekanisme gatting abnormal).



Gejala – gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku seperti yang tercantum ditabel dibawah ini :



KESEHATAN



LINGKUNGAN



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Nutrisi kurang. Kurang tidur. Ketidakseimbangan irama sirkadian. Kelelahan. Infeksi. Obat – obatan sistem syaraf pusat. Kurangnya latihan. Hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Lingkungan yang memusuhi, krisis. Masalah di rumah tangga. Kehilangan kebebasan hidup. Perubahan kebiasaan hidup, pola aktifitas sehari – hari. Kesukaran dalam hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial. Kurangnya dukungan sosial. Tekanan kerja (keterampilan dalam bekerja). Kurangnya alat transportasi. Ketidakmampuan dalam mendapatkan pekerjaan.



1. 2. 3.



SIKAP PERILAKU



Merasa tidak mampu (harga diri rendah). Putus asa (tidak percaya diri). Merasa gagal (kehilangan motivasi dalam menggunakan keterampilan diri). 4. Kehilangan kendali diri (demoralisasi). 5. Merasa mempunyai kekuatan yang berlebihan dengan gejala tersebut. 6. Merasa malang (tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual). 7. Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan. 8. Rendahnya kemampuan sosialisasi. 9. Ketidakadekuatan pengobatan. 10. Perilaku agresif. 11. Perilaku kekerasan. 12. Ketidakadekuatan penanganan gejala.



2.2.7 Mekanisme Koping. Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi (Stuart dan Laraia, 2005) : Regresi adalah perilaku menjadi malas beraktifitas sehari – hari 1



Proyeksi adalah mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.



2



Menarik diri adalah sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.



3 1.



Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien. Isi Halusinasi, yang dialami oleh klien. Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siap yang didengar dan apa yang dikatakan berkata jika halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Bentuk bayangan bagaimana yang dilihat klien bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang dicium jika halusinasinya adalah halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila mengalami halusinasi perabaan.



2.



Waktu dan Frekuensi Halusinasi, ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.



3.



Situasi pencetus Halusinasi, perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.



4.



Respon klien, untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi (Stuart dan Laraia, 2005).



2.2.8 Patofisiologi. Menurut trimelia (2012), pohon masalah pada klien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi dengar dan perabaan sebagai berikut: Melukai diri sendiri, orang lain



gangguan kebersihan diri



Dan lingkungan



effek



Halusinasi dengar



Menarik diri



core problem



cause



Skizofrenia Skema 2.2 Patofisiologi Halusinasi 2.2.9



Penatalaksanaan Medis. Penatalaksanaan pada klien halusinasi dengan cara: a.



Menciptakan lingkungan yang terapiutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan klien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata,



kalau bisa klien disentuh atau dipegang. Klien jangan di isolasi baik secara fisik maupun emosional. Setiap perawat masuk kekamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Diruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong klien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan. b.



Melaksanakan program terapi dokter Sering kali klien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuasif tapi intruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelan, serta reaksi obat yang diberikan.



c.



Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi yang ada Setelah klien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat dengan klien.



d.



Memberi aktivitas pada klien Klien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolahraga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien



kekehidupan nyata dan 2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 2.1.1



Pengkajian Keperawatan Menurut Keliat (2014). Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi meliputi:



1. Faktor predisposisi Faktor predisposisi atau faktor yang mendukung terjadinya halusinasi menurut Keliat (2014) adalah : a. Faktor biologis Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi menunjukkan peran genetik pada schizophrenia.Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian schizophrenia lebih tinggi dari pada saudara sekandung yang dibesarkan secara terpisah. b. Faktor psikologis Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi realita. c. Faktor sosial budaya Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan. 2. Faktor presipitasi Faktor presipitasi atau faktor pencetus halusinasi menurut Keliat (2014) adalah: a. Biologis Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak dan abnormalitas pada



mekanisme



pintu



masuk



dalam



otak,



yang



mengakibatkan



ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus. b. Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.



c. Stres sosial / budaya Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau disingkirkan dari kelompok. d. Faktor psikologik Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi. e. Mekanisme koping Menurut Keliat (2014) perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi : regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri. f. Sumber koping Menurut Keliat (2014) sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. g. Perilaku halusinasi Menurut Keliat (2014), batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri, bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk mendengar sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta lingkungan.



2.1.2



Diagnosa Keperawatan Menurut NANDA (2009-2011) diagnosa keperawatan utama pada klien dengan



prilaku



halusinasi



adalah



Gangguan



sensori



persepsi:



Halusinasi



(pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman). Sedangkan diagnosa keperawatan terkait lainnya adalah Isolasi social dan Resiko menciderai diri sendiri, lingkungan dan orang lain.



2.1.3



Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada masalah halusinasi sebagai diagnose penyerta lain. Hal ini dikarenakan tindakan yang dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan dicapai. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan diagnose gangguan persepsi sensori halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa terapi generalis individu yaitu (Kanine, E., 2012) : 1. Melatih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, 2. Patuh minum obat secara teratur. 3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain, 4. Menyusun jadwal kegiatan dan dengan aktifitas 5. Terapi kelompok terkait terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Rencana tindakan pada keluarga (Keliat, dkk. 2014) adalah 1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien 2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya halusinasi, jenis halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi. 3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi : menghardik, minum obat, bercakap-cakap, melakukan aktivitas. 4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah terjadinya halusinasi. 5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan 6. Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk follow up anggota keluarga dengan halusinasi.



2.1.4



Penatalaksanaan Medis Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan: 1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat membantu pasienskizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan (Pardede, Keliat, Wardani, 2013): a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi. b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol c. Trihexilpenidyl (THP) Obat yang digunakan untuk mengobati semua jenis parkinson dan pengendalian gejala ekstrapiramidal akibat terapi obat. 1) Dosis -



Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.



-



Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi.



2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet: -



Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.



-



Klorpromazin 2x100 mg per hari



-



Triheksifenidil 2x2 mg per hari



3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet: -



Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari



-



Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)



-



Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari



-



Psikosomatik



Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak mendapatkan pertolongan. 1. Psikoterapi Membutuhkan waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan terapeutik, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur terhadap klien. 1.2.5



Prinsip Keperawatan Menetapkan  hubungan terapeutik, kontak sering dan singkat secara bertahap, peduli, empati, jujur, menepati janji dan memenuhi kebutuhan dasar klien. Pada umumnya melindungi dari perilaku yang membahayakan, tidak membenarkan ataupun menyalahkan halusinasi klien, melibatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan asuhan keperawatan dan mempertahankan perilaku keselarasan verbal dan nonverbal.



1.2.6



Pelaksanaan Keperawatan Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan, dinilai kembali apakah



aman bagi klien. Setelah semuanya tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah utama. Pada masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis SP, yaitu SP Klien dan SP Keluarga. SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi, perasaan dan respon halusinasi”, mengajarkan cara menghardik, memasukan cara menghardik ke dalam jadwal; SP 2 (mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara minum obat secara teratur, memasukan ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi SP 1 dan SP 2, menganjurkan klien untuk mencari teman bicara); SP 4 (mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3, melakukan kegiatan terjadwal). SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya, mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien, menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat pasien halusinasi); SP 2 (melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan halusinasi, melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien halusinasi); SP 3 (membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planing), menjelaskan follow up pasien setelah pulang).  Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta klien yang diharapkan, dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan serta respon klien. 1.2.7



Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien (Dalami, 2009). Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua jenis yaitu: evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai melaksanakan



tindakan. Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan. Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada pasien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran adalah: tidak terjadi perilaku kekerasan, klien dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya, klien dapat mengontrol halusinasinya, klien mendapatkan dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya, klien dapat menggunakan obat dengan baik dan benar.



BAB III TINJAUAN KASUS A. IDENTITAS KLIEN Inisial



: Ny.S



Tanggal Pengkajian



: 17 Februari 2021



Umur



: 49 Tahun



MR No



:



Informan



: Klien dan penjaga pasien di yayasan



B.ALASAN MASUK RUMAH SAKIT : Klien sering mendengar suara menyuruhnya minum,marah-marah sendiri dan menumpah kan air dan tiadak suka bersosialisasi dengan orang lain. A. FAKTOR PREDISPOSISI Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya sejak 6 tahun yang lalu dan pernah masuk RSJ. Di rumah klien tidak rutin minum obat dan pergi merantau ke kota Pematang siantar selama 2 tahun. Semenjak di Siantar Klien tidak pernah Kontrol ke RSJ ataupun klinik Jiwa, sehingga timbul gejala di atas kemudian klien di bawa ke Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu untuk di lakukan perawatan. dirawat di RSJ yaitu Risperidon 2 mg (2x1) dan Clozapin 25 mg (1x1).Klien merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Masalah Keperawatan : -



Halusinasi Pendengaran



-



Resiko Perilaku kekerasan



-



Regiment teraupetik inefektif



FISIK Tanda vital TD : 110/90 mmHg, N : 96 x/I, S : 37 0 C, P : 20 x/i TB : 150 cm, BB : 55 Kg Klien tidak memiliki keluhan fisik. 22



B. PSIKOSOSIAL 1. Genogram



: Satu Rumah : Laki – Laki : Wanita : Laki – Laki Yang Meninggal : Perempuan Yang Meninggal : Klien : Keluarga Yang Sakit Berdasarkan genogram di atas, dapat dilihat bahwa klien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara, tidak ada riwayat keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Klien sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki.



2.



Konsep diri a.



Gambaran diri : Klien menyukai keseluruhan bagian tubuhnya



b.



Identitas Diri: Klien memiliki latar belakang pendidikan SMP, sebelum dirawat di RSJ klien pernah bekerja sebagai penjaga toko dan klien merasa senang dengan pekerjaannya.



c. Peran Diri : Klien sebagai ayah, klien merasa tidak berguna karena tidak dapat membantu keluarga. d. Ideal diri : Klien mengatakan malu bahwa dia memiliki gangguan jiwa dan tidak bekerja lagi, klien berharap segera sembuh dan bekerja kembali, klien sedih dan putus asa karena penyakitnya tak kunjung sembuh dan klien merasa tidak di pedulikan keluarga karena jarang di jenguk. e. Harga diri : klien merasa tidak berguna karena dirawat di RSJ



Masalah keperawatan : Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah 3. Hubungan Sosial a.



Orang yang berarti



:Orang tua,Istri dan Anaknya



b.



Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : Tidak berperan dalam kegiatan sosial



c.



Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain : Penyakit Os Masalah keperawatan : Gangguan Interaksi sosial



4. Spiritual a. Nilai dan keyakinan : Klien menganut agam islam dan pasien mempercayai adanya TUHAN. b. Kegiatan ibadah



: Klien selama dirawat sering beribadah walau pakaian



yang digunakan tidak sesuai untuk beribadah. Masalah keperawatan: tidak ada Masalah keperawatan C. STATUS MENTAL 1.



Klien berpenampilan kurang rapi dan kurang bersih dalam berpakaian



2.



Klien menjawab setiap pertanyaan dengan lambat sesuai dengan yang ditanyakan oleh perawat.



3.



Klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti merapikan kamar, mencuci piring, dan mandi sendiri.



4.



Klien merasa sedih dan putus asa karena tidak kunjung sembuh, merasa tidak berguna karena tidak dapat membantu keluarga, klien merasa malu karena di rawat di RSJ. Masalah Keperawatan: Harga diri rendah



5.



Klien tidak Labil



6. Selama proses interaksi, klien cukup kooperatif serta kontak mata baik antara perawat-klien 7. Klien ketakutan saat mengalamihalusinasi pendengaran yaitumendengar suarasuara menyuruhnya untuk bercakap-cakap keluar dari rumah sampai membakar kendaraan orang lain dan mengganggu orang lain. Timbul pada saat sendiri dan terjadi pada sore hari. Masalah Keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi pendengaran



8.



Klien mengutarakan pendapat dengan baik



9.



Klien menyampaikan isi pikir sesuai dengan pertanyaan



10. Klien dalam keadaan sadar (Composmentis) serta memiliki orientasi yang baik terkait orang, tempat, waktu. 11. Klien mampu mengingat hal-hal yang terjadi di masa lalu 12. Klien mampu fokus pada topik pembicaraan. 13. Klien mampu membedakan yang baik dan buruk dalam kegiatan sehari-hari 14. Daya tilik diri yakni klien menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa halusinasi dan ingin segera sembuh. D. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG 1.



Klien mampu melakukan kegiatan makan dengan bantuan minimal, klien makan 3x dalam sehari.



2.



Klien melakukan eliminasi BAB/BAK secara mandiri



3.



Klien mandi 2x sehari secara mandiri



4.



Klien berpakaian secara mandiri dan rapi



5.



Klien memiliki pola tidur siang dimulai dari jam 14.00- 16.00 WIB dan pada malam hari klien memiliki pola tidur jam 21.00-06.00 WIB. Kualitas tidur klien terganggu karena klien sering terbangun pada malam hari karena mimpi buruk. Klien kadang-kadang berdoa sebelum dan sesudah tidur.



6.



Klien mengkonsumsi obat dibantu oleh perawat



7.



Klien masih memerlukan perawatan lanjutan dan perawatan pendukung untuk proses pemulihan klien



8.



Klien menjaga kebersihan tempat tidur dan lingkungan sekitar, mencuci piring setelah makan secara mandiri dan menyapu lantai.



9.



Klien tidak memiliki kegiatan di luar rumah karena klien dalam proses perawatan.



E. MEKANISME KOPING Klien masih ingin berbicara dengan orang lain F. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN Klien memiliki masalah dalam berhubungan dengan lingkungan karena stigma masyarakat terhadap dirinya yang dirawat di RSJ. Masalah Keperawatan:Isolasi Sosial



G. ASPEK MEDIK Diagnosa Medik : Skizofrenia Paranoid episode Berulang Terapi Medik



: Risperidon 2 mg (2 x 1 ) Clozapine 25 mg (1x1)



H. ANALISA DATA -



Data Mendengar suara-suara yang menyuruhnya keluyuran dan tidak bisa tidur. Timbul pada saat



Masalah Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi pendengaran



sendiri atau melamun dan marah tidak menentu, timbul pada sore hari. -



Gelisah bila mendenegar suara-suara tersebut



-



Bicara sendiri, Mondar-mandir, Tampak tegang,



-



Tidak mampu mempertahankoan kontak mata Mudah marah dan emosi, gelisah, ketakutan



Resiko Perilaku Kekerasan



dengan bayangan halusinasi I. Daftar Masalah Keperawatan 1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi pendengaran 2. Resiko prilaku kekerasan (RPK) 3. Regimen teruupetik in efektif J. PohonMasalah Risiko Perilaku Kekerasan Halusinasi Pendengaran Regimen terupetik inefektif



Koping keluarga ineefektif



K. DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi pendengaran



Implementasi Keperawatan Hari/Tgl 07 Oktober 2019, jam 11.20 WIB



Implementasi Data :



-



Klien melamun dan marah tidak menentu, timbul sore hari. Gelisah bila mendengar halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, muka tegang,tidak mampu mempertahankan kontak mata, mondar-mandir



Evaluasi S : Senang O:



-



A : Halusinasi pendengaran (+) P:



-



Dx. Keperawatan :



Klien mampu mengidentifikasi halusinasi bantuan Klien mampu melakukanlatihan menghardik dengan bantuan Latihan Mengidentifikasi halusinasi pendengaran 2 x 1 hari Latihan menghardik 3 x 1 hari



Halusinasi pendeng aran



Tindakan Keperawatan : ( Pukul 11.20 ) Sp 1 Halusinasi



1. Mengidentifikasi isi, waktu, frekuensi, faktor pencetus dan respon klien terhadap halusinasi 2. Melatih cara menghardik halusinasi : “tutup mata, pergipergi kamu palsu, kamu tidak nyata”



08 Oktober 2019, jam 10.00 WIB



RTL : Sp 2Halusinasi:Mengontrol halusinasi dengan cara minum obat teratur . Data :



-



Mendengar suara-suara timbul pada saat sendiri atau melamun dan tidak menentu, timbul 3kali/hari. Gelisah bila mendengar halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, muka tegang, mondar-mandiri.



Dx. Keperawatan :



Halusinasi pendengaran



S: Senang O:



-



Klien mengerti cara minum obat teratur dengan bantuan



A: Halusinasi pendengaran (+) P:



-



Latihan Mengidentifikasi halusinasi pendengaran 1 x 1 hari Latihan menghardik 2 x 1 hari Latihan minum obat 2x 1 hari



Tindakan Keperawatan : (Pukul 10.00) SP 2 Halusinasi



1. Mengevaluasi kemampuan klien tentang cara mengidentifikasi dan menghardik halusinasi, jika pasien mengerti maka lanjutkan Sp selanjutnya 2. Memberikan informasi tentang penggunaan obat yang teratur meliputibenar orang, benar cara, benar dosis, benar obat dan benar waktu. a. Risperidon 2 mg (2 x 1 ) b. Clozapine 25 mg (1x1)



09 oktober 2019, Jam 15.00 WIB



RTL : SP 3 Halusinasi : mengendalikan halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Data :



-



Mendengar suara-suara timbul pada saat sendiri atau melamun dan marah tidak menentu, timbul 3kali/hari. Gelisah bila melihat bayangan halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, mondarmandiri.



Dx. Keperawatan :



Halusinasi pendengaran Tindakan Keperawatan : (Pukul 15.00) SP 3 :



1. Mengevaluasi kemampuan klien tentang cara mengidentifikasi halusinasi, menghardik halusinasi dan cara minum obat teratur, jika pasien mengerti maka lanjutkan Sp selanjutnya 2. melatih klien untuk bercakapcakap dengan orang lain. RTL : Sp 4 Halusinasi: melatih klien



S: Senang O:



-



Klien mampu melakuan latihan bercakapcakap dengan orang lain dengan bantuan



A: Halusinasi pendengaran (+) P:



-



Latihan Mengidentifikasi halusinasi pendengaran 1 x 1 hari Latihan menghardik 2 x 1 hari Latihan minum obat 2x 1 hari Latihan bercakap-cakap dengan orang lain 2x1



10 oktober 2019, Jam 16.00 WIB



melaksanakan semua jadwal kegiatan harian. Data :



-



Mendengar suara-suara timbul pada saat sendiri atau melamun,timbul 2 kali/hari. Gelisah bila mendengar halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, mondarmandir



Dx. Keperawatan :



Halusinasi pendengaran Tindakan keperawatan : (Pukul 10.00 WIB) SP 4 Halusinasi



1. Mengevaluasi kemampuan klien untuk mengidentifikasi,mengharddik halusinasi , minum obat secara teratur dan bercakap-cakap dengan orang lain jika pasien mengerti maka lanjutkan SP selanjutnya. 2. Melatih klien untuk melaksanakan kegiatan sesuai jadwal yang sudah diatur



S : Senang O:



-



Klien berpatisipasi dan sangat koperatif dalam kegiatan menyusun jadwal hariannya



A : Halusinasi pendengaran (+) P:



-



Latihan Mengidentifikasi halusinasi pendengaran 1 x 1 hari Latihan menghardik 2 x 1 hari Latihan minum obat 2x 1 hari Latihan bercakap-cakap dengan orang lain 2x1 Latihan mengikuti jadwal kegiatan yang telah dibuat 2x1



BAB IV PEMBAHASAN Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawat kepada Ny.S dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran di ruang Bukit Barisan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, maka penulis pada BAB ini akan membahasan kesenjangan antara teoritis dengan tinjauan kasus. Pembahasan dimulai melalui tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keparawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.



A. Pengkajian Pada pembahasan ini diuraikan tentang hasil pelaksanaan tindakan keperawatan dengan pemberian terapi generalis pada klien halusinasi pendengaran. Pembahasan menyangkut analisis hasil penerapan terapi generalis terhadap masalah keperawatan halusinasi pendengaran. Tindakan keperawatan didasarkan pada pengkajian dan diagnosis keperawatan yang terdiri dari tindakan generalis yang dijabarkan sebagai berikut. Tahap pengkajian pada klien halusinasi dilakukan interaksi perawat-klien melalui komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan informasi tentang status kesehatan klien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi manusia, komunikasi, transaksi dengan peran yang ada pada perawat sebagaimana konsep Peplau tentang manusia yang bisa dipengaruhi dengan adanya proses interpersonal. Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu dari pasien dan tenaga kesehatan di ruangan. Penulis mendapat sedikit kesulitan dalam menyimpulkan data karena keluarga pasien jarang mengunjungi pasien di rumah sakit jiwa. Maka penulis melakukan pendekatan kepada pasien melalui komunikasi terapeutik yang lebih terbuka membantu pasien untuk memecahkan perasaannya dan juga melakukan observasi kepada pasien. Adapun upaya tersebut yaitu: 1. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada klien agar klien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan perasaan. 2. Mengadakan pengkajian klien dengan wawancara



3. Mengadakan pengkajian dengan cara membaca status, melihat buku rawatan dan bertanya kepada pegawai ruangan Sipiso-piso. Dalam pengkajian ini, penulis tidak menemukan kesenjangan karena ditemukan hal sama seperti pada tinjauan teoritis. Pada kasus Ny.S , mendengar suara-suara yang tidak jelas yang menggunya sehingga meresahkan orang lain, timbul pada saat sendiri atau melamun dan tidak menentu, timbul 3 kali/hari, gelisah bila melihat halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, muka tegang,tidak mampu mempertahankan kontak mata, mondar-mandir. Gejala gejala tersebut merupakan manifestasi klinis dari halusnasi (Keliat, dkk.2014). Selain itu terdapat faktor predisposisi maupun presipitasi yang menyebabkan kekambuhan penyakit yang dialami oleh Ny,S. Tindakan keperawatan terapi generalis yang dilakukan pada Ny.S, Sadalah strategi pertemuan pertama sampai pertemuan empat. Strategi pertemuan pertama meliputi mengidentifikasi isi, frekuensi, jenis, dan respon klien terhadap halusinasi serta melatih cara menghardik halusinasi. Strategi pertemuan kedua yang dilakukan pada Ny.S, Smeliputi melatih cara mengendalikan dengan bercakap-cakap kepada orang lain. Strategi pertemuan yang ketiga adalah menyusun jadwal kegiatan bersama-sama dengan klien. Strategi pertemuan keempat adalah mengajarkan dan melatih Ny.S, Scara minum obat yang teratur.



B. Diagnosa Keperawatan Pada Teori Halusinasi (NANDA, 2009-2011), diagnosa keperawatan yang muncul sebanyak 4 diagnosa keperawatan yang meliputi: 1. HalusinasiPendengaran 2. Risiko perilaku kekerasan Sedangkan pada kasus ditemukan empat diagnosa keperawatan yang muncul yang meliputi: harga diri rendah, isolasi sosial, halusinasi, resiko perilaku kekerasan. Dari hal tersebut di atas dapat dilihat terjadi kesenjangan antara teori dan kasus. Dimana semua diagnosa pada teori muncul pada kasus Ny.S.



C. Implementasi Pada tahap implementasi, penulis hanya mengatasi 1 masalah keperawatan yakni: diagnosa keperawatan halusinasi pendengaran. Pada diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dilakukan strategi pertemuan yaitu mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadi, perasaan, respon halusinasi. Kemudian strategi pertemuan yang dilakukan yaitu latihan mengontrol



halusinasi dengan cara menghardik. Strategi pertemuan yang kedua yaitu anjurkan minum obat secara teratur, strategi pertemuan yang ke tiga yaitu latihan dengan cara bercakapcakap pada saat aktivitas dan latihan strategi pertemuan ke empat yaitu melatih klien melakukan semua jadwal kegiatan. Untuk melakukan implementsi pada keluarga, pada tahap-tahap diagnosa tidak dapat dilaksanakan karena penulis tidak pernah berjumpa dengan keluarga klien (keluarga tidak pernah berkunjung). D. Evaluasi Pada tinajauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah: Pasien mempercayai perawat sebagai terapis, pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya, dapat mengidentifikaasi halusinasi, dapat mengendalikan halusinasi melalui mengahrdik, latihan bercakap-cakap, melakukan aktivitas serta menggunakan obat secara teratur. Pada tinjauan kasus evaluasi yang didapatkan adalah: Klien mampu mengontrol dan mengidentifikasi halusinasi, Klien mampu melakukan latihan bercakap-cakap dengan orang lain, Klien mampu melaksanakan jadwal yang telah dibuat bersama, Klien mampu memahami penggunaan obat yang benar: 5 benar. Selain itu, dapat dilihat dari setiap evalusi yang dilakukan pada asuhan keperawatan, dimana terjadi penurunan gejala yang dialami oleh Ny,S dari hari kehari selama proses interaksi.



BAB V PENUTUP



A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengkajian dilakukan secara langsung pada klien dan juga dengan menjadikan status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung data-data pengkajian. Selama proses pengkajian, perawat mengunakan komunikasi terapeutik serta membina hubungan saling percaya antara perawat-klien. Pada kasus Ny.S, diperoleh bahwa klien mengalami gejala-gejala halusinasi seperti Mendengar suara-suara, timbul pada saat sendiri atau melamun dan tidak menentu, timbul 3kali/hari. Gelisah bila melihat bayangan halusinasi tersebut, Bicara sendiri, sulit tidur, muka tegang,tidak mampu mempertahankan kontak mata, mondar-mandiri.Faktor predisposisi pada Ny.S yaitu pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya. 2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Ny,S sebanyak: Halusinasi pendengaran, isolasi sosial, koping individu inefektif, regimen terapi inefektif, harga diri rendah dan perilaku kekerasan serta keputusasaan. Tetapi pada pelaksanaannya, penulis fokus pada masalah utama yaitu halusinasi pendengaran. 3. Perencanaan dan implementasi keperawatan disesuaikan dengan strategi pertemuan pada pasien halusinasi pendengaran. 4. Evaluasi dperoleh bahwa terjadi peningkatan kemampuan klien dalam mengendalikan halusinasi yang dialami serta dampak pada penurunan gejala halusinasi pendengaran yang dialami.



B. Saran 1. Bagi Perawat Diharapkan dapat34meenrapkan komunikasi terapeutik dalam pelaksanaan strategi pertemuan 1-4 pada klien dengan halusinasi sehingga dapat mempercepat proses pemulihan klien. 2. Bagi Institusi Pendidikan Dapat meningkatkan bimbingan klinik kepada mahasiswa profesi



ners sehingga mahasiswa semakin ampu dalam elakukan asuhan keperawatan pada pasien-pasien yang mengalami halusinasi pendengaran 3. Bagi Rumah Sakit Laporan ini diharapkan dapat menjadai acuan dan referensi dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran.



DAFTAR PUSTAKA Pardede, J. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking Medication



Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 2(4), 399-408. https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183



Stuart, G. W. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC. Nyumirah S (2013). Peningkatan kemampuan interaksi sosial kognitif, efektif, dan perilaku, melalui penerapan terapi perilaku kognitif Di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, Jurnal keperawatan jiwa. Volume 1, No. 2, November 2013 Damaiyanti dan Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama. Keliat B, dkk. 2014. Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta : EGC. Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta Keliat, B.A dan Akemat. 2012. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC. Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes Ri Mubarta, AF, dkk. 2011. Gambaran Distibusi Penderita Gangguan Jiwa di Wilayah Banjarmasin dan Banjarbaru. Tesis. Nyumirah S (2013). Peningkatan kemampuan interaksi sosial kognitif, efektif, dan perilaku, melalui penerapan terapi perilaku kognitif Di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, Jurnal keperawatan jiwa. Volume 1, No. 2, November 2013. Stuart, G. W. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC. Townsend, M. C, 2014 ,Psychiatric Mental Healt Nursing : Concepts of Care in EvidenceBasedPractice(6th ed.), Philadelphia : F.A. Davis. Yosep Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.



DOKUMENTASI