Askep Krisnoveliana Ruang Igd. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP PADA Tn. H DENGAN DIAGNOSA MEDIS CONGESTIVE HEART FAILURE di RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA



Oleh: KRISNOVELIANA (2019.NS.A.07.049)



YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI NERS TAHUN 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.H Dengan Diagnosa Medis CHF di Ruang Dahlia RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya” Asuhan Keperawatan ini merupakan salah satu persyaratan pada Pendidikan Program Profesi Ners Stase Keperawatan Kritis di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada: 1. Ibu Maria Adelheid, S.Pd, M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap palangkaraya. 2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, selaku ketua Prodi Sarjana Keperawatan. 3. Ibu Margaretha S.Kep., Ners. selaku pembimbing klinik yang telah membimbing, memberikan saran dan semangat kepada saya dalam menyelesaikan Laporan Asuhan Keperawatan dan kegiatan selama di Ruang IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. 4. Ibu Suryagustina, Ners., M.Kep. selaku



pembimbing



akademik



yang



telah



membimbing, memberikan saran dan semangat kepada saya dalam menyelesaikan tugas laporan studi kasus. 5. Kepada Klien Tn.H dan keluarga yang telah bersedia untuk menjadi klien dalam pemberian asuhan keperawatan. Akhir kata, semoga Laporan Asuhan Keperawatan ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu keperawatan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua.



Palangka Raya, 24 September 2020



Penyusun



LEMBAR PENGESAHAN



Laporan Asuhan keperawatan ini disusun oleh: Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama



: Krisnoveliana



NIM



: 2019.NS.A.07.049



Program



: Ners



Judul



:Laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Tn. H dengan Diagnosa Medis CHF ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Telah melaksanakan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan



Stase Keperawatan Kritis pada Program Studi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.



PEMBIMBING PRAKTIK



Pembimbing Akademik



Suryagustina, Ners., M.Kep.



Pembimbing Lahan



Margaretha S.Kep., Ners.



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satunya penyakit gagal jantung kongestif yang sering terjadi dan menyerang siapa saja tanpa mengenal usia. Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia (Goodman & Gilman, 2011). risiko terjadinya gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukanmetabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal pada jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Harrison, 2013). Pada kondisi gagal jantung kongestif adanya peningkatan tekanan vaskular pulmonal akibat gagal jantung kiri menyebabkan overload tekanan serta gagal jantung kanan (Aaronson & Ward, 2010). Menurut data WHO (2013), sekitar 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan gangguan kadiovaskular (WHO, 2013). Lebih dari 80% kematian akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Yancy, 2013). Pada penelitian di Amerika, risiko berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia ≥40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal jantung selama beberapa dekade terakhir. Kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia. Tingkat kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu 5 tahun (Yancy, 2013). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar 0,3%. Penyebab gagal jantung dapat dibagi menjadi dua, meliputi penyakit pada miokard (antara lain: penyakit jantung koroner, kardiomiopati, miokarditis), dan gangguan mekanis pada miokard (antara lain: hipertensi, stenosis aorta, koartasio aorta) (Kabo, 2012). Penyebab pemicu kardiovaskular ini dapat digunakan untuk menilai kemungkinan morbiditas kardiovaskuar (Aaronson & Ward, 2010). Akibat bendungan di berbagai organ dan low output, pada kasus gagal jantung akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru



yang meliputi: dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti: takikardia, hipotensi dan oliguri, beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pektoris pada infark miokard akut. Pada keadaan sangat berat akan terjadi syok kardiogenik (Kabo, 2012). Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia (Depkes RI, 2009), maka perlu dilakukan pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkesinambungan. gagal jantung merupakan kondisi akhir dari penyakit jantung dan pembuluh darah kronis seperti hipertensi, diabetes mellitus, aritmia, infark miokard dan lain-lain. Pentingnya kombinasi obat dalam penatalaksanaan terapi gagal jantung dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek, sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/ LV disfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide. Diuretikoral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diueretik dan ACE-Inhibitor tersebut diberikan (Setiani, 2014). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan “bagaimana pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien Tn.H dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure) di IGD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum ` Dari penulisan studi kasus adalah untuk mendapatkan atau memperoleh kemampuan dalam menyusun dan menyajikan laporan studi kasus dengan menggunakan proses



keperawatan juga untuk mendapatkan pengalaman secara nyata atau langsung dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure).



1.3.2 Tujuan Khusus 13.2.1. Mengetahui tentang konsep dasar CHF (Congestive Heart Failure). 13.2.2. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). Menegakkan diagnosa keperawatan dan menentukan prioritas masalah berdasarkan ancaman jiwa pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). 13.2.3. Membuat intervensi keperawatan pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). 13.2.4. Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). 13.2.5. Melakukan evaluasi pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). 13.2.6. Mampu membuat dokumtasi tindakan pada klien dengan diagnosa medis CHF (Congestive Heart Failure). 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Bagi Mahasiswa (i) Dapat meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan serta pengetahuan sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal khususnya pada yang menderita penyakit gagal jantung kongestif dan perawat mampu menjadi educator yang baik bagi pasien dan keluarganya. 1.4.2 Lahan Praktik Dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan khususnya petugas yang ada di lahan untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya pada klien gagal jantung konngestif. 1.4.3 STIKES Eka Harap



Sebagai bahan bacaan ilmiah, kerangka perbandingan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, serta menjadi bahan atau data bagi mereka yang ingin mengadakan ujian atau penelitian yang lebih lanjut. 1.4.4 Keluarga/Pasien Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam menangani penyakit gagal jantung. Dan memberikan pertolongan pertama atau langkah awal penanganan secara sederhana yang dapat diberikan saat klien terkena serangan jantung dan apa saja yang dapat dilakukan oleh keluarga.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Konsep Dasar CHF (Congestive Heart Failure) 2.1.1 Definisi CHF Menurut Ardiansyah (2012: 11), Congestive heart failure (CHF) merupakan suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan pada jantung sehingga jantung tidak mampu lagi memompa



darah



untuk



memenuhi



kebutuhan



metabolisme



jaringan



dan



atau



kemampuannya hanya ada kalau disertai penggian volume diastolik secara normal (Pudiasti, 2013:158). Menurut Udjianti (2010: 163), Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya memompa darah untuk waktu yang singkat dan diniding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive). Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) Udjianti (2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Congestive heart failure (CHF) atau biasa disebut dengan gagal jantung adalah suatu kondisi dimana jantung sebagai pompa mengalami kegagalan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan organ – organ dan seluruh jaringan tubuh.



2.1.2 Etiologi Menurut Ardiansyah (2012: 25), penyebab dari Congestive heart failure (CHF) atau gagal jantung sebagai berikut: 2.1.2.1 Kelainan Otot Jantung Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. 2.1.2.2 Aterosklerosis Koroner Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terajadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukkan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. 2.1.2.3 Hipertensi Sistemik Atau Hipertensi Pulmonal Gangguan ini menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya juga turut mengakibatkan hipeertrofi serabut otot jantung. 2.1.2.4 Peradangan Atau Penyakit Miokardium Degeneratif Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan gaggal jantung karena kondisi ini secara langsung dapat merusak serabut jantung dan menyebabkan kontraktilitas jantung menurun. 1.1.2.5 Penyakit Jantung Yang Lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara lansung mempengaruhi organ jantung misalnya stenosis katup semiluner.



2.1.3 Klasifikasi Menurut Pudiasti (2013: 160), gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau baratnya gejala seperti klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA). Klasifikasi tersebut digunakan secara luas di dunia internasional untuk mengelompokkan gagal jantung. Gagal jantung ringan, sedang dan berat ditentukan berdasarkan beratnya gejala, khususnya sesak napas (dispnea). Adapun klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) yang dikutip oleh Pudiasti (2013: 160) adalah sebagai berikut: 1) Kelas 1 : bila pasien tidak melakukan aktifitas berat tanpa keluhan.



2) Kelas 2 : bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktifitas seharihari tanpa keluhan. 3) Kelas 3: bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan. 4) Kelas 4: bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus tirah baring. Sedangkan menurut Muttaqin (2009: 196) gagal jantung beberapa golongan, yaitu dapat dilihat di tabel berikut ini: Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Jantung Menurut New York Heart Association (NYHA) Dikutip Oleh Pudiasti (2013: 160) Kelas Definisi Istilah I



II



Klien dengan kelainan jantung tetapi tanpa



Disfungsi artikel kiri



pembatasan aktifitas fisik



yang asimtomatik



Klien dengan kelainan jantung yang



Gagal jantung ringan



menyebabkan sedikit pembatasan aktifitas fisik III



Klien dengan kelainan jantung yang



Gagal jantung sedang



menyebabkan banyak pembatasan aktifitas fisik IV



Klien dengan kelainan jantung yang segala



Gagal jantung berat



bentuk aktifitas fisiknya akan menyebabkan keluhan



2.1.4 Patofisiologi Menurut Ardiansyah (2012: 27), bila kekuatan jantung otot untuk merespon stres tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, jantung akan gagal untuk melakukan tugasnya sebagai organ pemompa, sehingga terjadilah gagal jantung. Pada tingkat awal, disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagagalan jika cadangan jantung normal mengalami payah dan kegagagalan respon fisiologis tertenu pada penurunan curah jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukkan semua upaya tubuh untuk mempertahankan perfusi semua oragan vital normal.



Tiga mekanisme kompensasi berusaha untuk mempertahankan fungsi pompa jantung normal yaitu peningkatan respons sistem saraf simpatis, respons frank starling, dan hifertofi otot jantung. 2.1.4.1 Stimulasi simpatis Pada Congestive heart failure (CHF), stimulasi sistem saraf simpatis adalah paling berperan sebagai mekanisme kompensasi segera. Stimulasi dari reseptor adrenergik menyebabkan



peningkatan



denyut



jantung,



kemampuan



kontraksi



jantung



dan



vasokonstiksi pada vena dan arteri. Sebagai akibat vasokontriksi vena, maka akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung sehingga meningkatkan aliran balik vena ke jantung sehingga aakan meningkatkan preload. Aliran darah balik dari jaringan perifer ke organ-organ besar dan afterload menunjukan peningkatan vasokontstriksi arteriole. Keadaan vasokontriksi pada arteri renal akan membuat aliran darah diginjal memberi reaksi berupa retensi garam dan air. 2.1.4.2 Respons Frank Starling Respons frank starling meningkatkan preload, dimana membantu mempertahankan curah jantung. Pada reaksi ini serabut-serabut otot jantungberkontraksi secara lebih kuat dan lebih banyak diregangkan sebelum berkontraksi. Dengan terjadinya peningkatan aliran balik vena ke jantung, maka serabut-serabut otot diregangkan sehingga memberikan kontraksi yang lebih kuat kemudian akan meningkatkan volume sekuncup, yang berakibat pada peningkatan curah jantung. 2.1.4.3 Hipertropi Miokard Hipertropi miokard dengan atau tanpa dilatasi ruang, tampak sebagai suatu penebalan dari dinding jantung menambah masa otot. Mengakibatkan kontraktilitas lebih efektif dan lbih lanjut meningkatkan curah jantung. Semua mekanisme kompensasi bertindak terutama untuk mengembalikan curah jantung mendekati normal. Bagaimanapun, selama kegagalan jantung berlangsung, penyesuaian sirkulasi jantung dan perifer ini dapat mnyebabkan kerusakan pada fungsi pompa jantung karena semua mekanisme tersebut memperbesar peningkatan konsumsi oksigen untuk otot jantung. Pada saat itulah gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung berkembang.



Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang tergantung pada 3 faktor, yaitu: 1) Preload Preload yaitu sinonim dengan hukum starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung. 2)



Kontraktilitas Mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan



berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. 3)



Afterload Mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa



darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole. Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. 2.1.6 Manifestasi Klinis Menurut Pudiasti (2013: 158), bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikiut: 2.1.6.1 Gagal Jantung Kiri Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi : dispnea, ortopnea, batuk, mudah lelah, takikardia, insomnia. 1) Dispnea



Dispnea dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi pada saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan minimal atau sedang. 2) Ortopnea Kesulitan bernafas saat berbaring, beberapa pasien hanya mengalami ortopnea pada malam hari, hal ini terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan di bawah, pergi berbaring ke tempat tidur. Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun diekstremitas yang sebelumnya berada di bawah mulai diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak mampu mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya tekanan dalam sirkulasi paru meningkat dan lebih lanjut, cairan berpindah ke alveoli. 3) Batuk Batuk yang berhubungan dengan ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif, tetapi yang tersering adalah batuk basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah yang banyak, yang kadang disertai bercak darah. 4) Mudah lelah Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas. 5) Insomnia Insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk. 2.1.6.2 Gagal Jantung Kanan Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher, asites, anoreksia, mual dan nokturia.



1) Edema



Edema dimulai pada kaki dan tumit juga secara bertahap bertambah ke tungkai, paha dan akhirnya ke genetalia eksterna serta tubuh bagian bawah. 2) Hepatomegali Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan ascites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernafasan. 3) Anoreksia Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen. 4) Nokturia Nokturia terjadi karena perfusi renal yang didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah jantung membaik saat istirahat. 5) Kelemahan Kelemahan yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan. 2.1.6.3 Gagal Jantung Kongestif Manifestasi gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kategori yaitu sebagai berikut: 1) Kelas 1 => bila pasien tidak melakukan aktifitas berat tanpa keluahan. 2) Kelas 2 => bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktifitas seharihari tanpa keluhan. 3) Kelas 3 => bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan. 4) Kelas 4 => bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus tirah baring.



2.1.7 Komplikasi Menurut Ardiansyah (2012: 30) mengemukakan ada 4 komplikasi pada gagal jantung yaitu : 2.1.7.1 Edema paru-Paru Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema yang muncul di bagian tubuh mana saja, termasuk faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru-paru meningkat dari batas negatif ke batas positif. Penyebab kelainan paru yang paling umum adalah: 1) Gagal jantung sisi kiri (penyakit katup mitral) yang mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler paru-paru, sehingga membajiri ruang nterstitial dan alveoli. 2) Kerusakan pada membran kapiler paru-paru yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan yang berbahaya (misalnya gas klorin atau gas sulfur dioksida). 2.1.7.2 Syok Kardiogenik Syok kardiogenik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri. Dampaknya adalah terjadi gangguan berat pada perfusi jaringan dan pengahantaran oksigen ke jaringan. Stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung dan otak). 2.1.7.3 Episode trombolik Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan



sirkulasi dengan



aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah. 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Menurut Ardiansyah (2012: 32), Pemeriksaan penunjang pada klien dengan gagal jantung terbagi menjadi 3 yaitu : 2.1.8.1 Pemerikaan Radiologi Pada pemeriksaan radiologi khususnya Thorax, kadang-kadang ditemukan dimana ukuran bayangan jantung terlihat lebih besar dari biasanya. Untuk menentukan apakah jantung tersebut mengalami pembesaran, maka diperlukan sebuah perhitungan yang disebut dengan Cardiothoracic Ratio. 1)



Foto rontgen dada



Menurut Muttaqin (2009 ; 218), foto sinar –X dada posterior- anterior dapat menimbulkan adanya hipertensi vena,edema paru, atau kardiomegali. Bukti pertama adanya peningkatan tekanan vena paru adalah adanya diversi aliran darah didaerah atas dan adnya peningkatan ukuran pembuluh darah. Dengan meningkatnya tekanan, maka terjadi edema interstisial yang tampak sebagai garis septal atau karley B horizontal. Pada semua nis penyakit jantung dapat terjadi pembesaran jantung. Ini dapat terlihat sebagai penigkatan diameter transversal bayang jantung menjadi lebih dari 15,5cm pada pria dan lebih dari 14,5cm pada wanita, atau sebagai peningktan rasio kardiotoraks (rasio diameter jantung dan dada) lebih dari 50%. Pengukuran jantung dengan sinar-X kurang akurat sehingga ukuran ukuran jantung mungkin dapat saja normal pada klien ang sudah diagnosis gagal jantung. Sinar X dada juga dapat menunjukan kelainan katub mitral dengan adany pembesaran atrium kiri. Klasifikasi katub atau perikardial menunjukan aneurisma ventrikle kiri atau efusi perkardial yang nampak sebagai jantung globural besar. 2)



Elektrokardiografi Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan non-inasuf yang sangat berguna bagi



gagal jantung. Elektrokardiografi dapat menunjukkan gamabaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung, dikuti dari penelitian Maryono (2013). Sedangkan



menurut



Muttaqin (2009: 220), meskipun memberikan informasi yang berkaitan dengan penyebab, EKG tidak dapat menunjukan gambaran yang spesifik. EKG normal menimbulkan kecurigaan akan adanya diagnosis yang salah. Pada pemeriksaan EKG untuk klien dengan gagal jantung dapat ditemukan kelainan EKG seperti dibawah ini: (1) Left bundle branch block, kelainan ST/T menunjukan disfungsi ventrikel kiri kronis. (2) Gelombang Q menujukan ifark sebelumnya dan kelainan segmen ST, menunjukan penyakit jantuns eskemik. (3) Hipertrof ventrikel kiri dan gelombang T terbalik menunjukan stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi. (4) Aritmia: deviasi aksis kekanan, right bundle branch block, dan hipertrofi ventrikel kanan menunjukan adanya disfungsi ventrikel kanan. Selain melihat adanya hipertrofi, pemeriksaan EKG juga digunakan untuk memantau adanya perubahan kalium setelah pemakaian diuretik. Perawat perlu mengetahui gambaran



normal EKG perubahan gelombang akibat hipokalemia yang sering merupakan dampak dari pemberian diuretik yang tidak menahan kalium. 3)



CTR (Cardio Thoraks Ratio) Penyakit jantung merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia. Di Indonesia



angka kematian yang disebabkan serangan jantung mencapai 26 hingga 30 persen. Faktor risiko penyakit jantung koroner adalah kebiasaan merokok, stres, kurang olah raga, kencing manis atau diabetes, obesitas, hipertensi serta hiperlipidemia atau kelebihan lemak dalam darah, keturunan, usia, dan jenis kelamin. Penyakit jantung merupakan pembunuh yang paling berbahaya saat ini. Penderitanya tidak mengenal kalangan, dapat berasal dari kalangan ekonomi tinggi sampai orang dari kalangan ekonomi lemah. Salah satu tanda penyakit ini adalah adanya pembesaran ukuran jantung atau yang disebut dengan cardiomegally. Jadi bisa dikatakan bahwa kalau terjadi pembengkakan ukuran jantung, maka hampir bisa dipastikan ada indikasi mempunyai penyakit



jantung.



Pemantauan



pembesaran jantung selama ini masih menggunakan



modaliti X-Ray karena modaliti ini hampir tersedia di hampir seluruh rumah sakit. Bahkan untuk kasus di Indonesia, banyak puskesmas yang sudah mempunyai peralatan ini. Sehingga tidak mengherankan, hampir empat puluh persen dari pemeriksaan radiologi yang menggunakan X-Ray (radiografi) merupakan pemeriksaan .



CTR = MD / ID



Guna mengetahui atau melihat kelainan organ-organ pada rongga dada diperlukan analisis dan interpretasi yang akurat, untuk menginterpretasikan hasil radiografi (X-ray). Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menghitung rasio antara nilai maksimum dari transverse diameter dari jantung (MD) dengan nilai maksimum dari transverse diameter dari rongga dada (ID). Nilai rasio ini dikenal dengan cardio-thoracic ratio (CTR) dengan rumus. Perhitungan CTR sudah diterima tidak hanya sebagai metode yang mudah akan tetapi nilainya dapat digunakan sebagai parameter klinis. Pada orang dewasa, nilai CTR yang lebih besar dari 0.5



(50%) mengindikasikan pembesaran jantung, meskipun masih ada



variable lain seperti bentuk dari rongga dada yang harus diperhitungkan. Sedangkan pada bayi yang baru lahir, nilai CTR 66% adalah nilai batas normal. Perhitungan CTR ini sangat berguna untuk mendeteksi penyakit jantung terutama yang ditandai dengan adanya pembesaran ukuran jantung (cardiomegally). Kemungkinan penyebab CTR lebih dari 50% diantaranya: (1) Kegagalan jantung (cardiac failure) (2) Pericardial effusion (3) Left or right ventricular hypertrophy Kelemahan dari perhitungan CTR manual: 1)



Penentuan diameter



sangat



subjektif yang



bisa



menghasilkan perbedaan hasil



diagnose antar dokter. Pengamatan manual paling tidak mempunyai dua error yang umum diantaranya interobserver error dan intra observer error. Interobserver error mengarah pada error yang terdapat pada pengukuran objek yang sama oleh orang yang berbeda. Hal ini bisa dimaklumi karena selain faktor citra X-ray itu sendiri, tingkat konfidensi seseorang dalam melakukan pengukuran berbeda. Sedangkan error yang kedua adalah error yang terdapat pada pengukuran objek yang sama oleh orang yang sama pada saat yang berbeda. Hal ini juga mungkin terjadi terutama jika dihadapkan pada rentang waktu yang lama dan frekuensi pengukuran yang tinggi.



2)



Sekarang ini masyarakat sudah semakin sadar tentang pentingnya melakukan pemeriksaan dini. Disamping untuk produktivitas dan mengurangi beban perusahaan jika karyawan perusahaannya banyak yang sakit, maka banyak perusahaan yang mengkoordinir program cek kesehatan termasuk pengambilan foto thorax. Bisa dibayangkan akan dihasilkan ratusan bahkan ribuan citra X-ray. Sangat tidak praktis menggunakan cara manual. Membatasi jumlah citra X-ray yang dibaca seorang ahli akan



menyebabkan



tertundanya



penerimaan



hasil, sesuatu yang sulit diterima



perusahaan. 3)



Setiap citra medik memiliki sejumlah noise berupa ciri citra medik yang tidak diinginkan tampil dan menurunkan visibilitas obyek dan struktur tertentu. Sumber noise yang paling utama pada radiografi dengan X-ray adalah foto energi yang bergerak atau keluar secara acak. Noise menurunkan citra medik melalui konsentrasi foto yang besar yang biasanya dibarengi dengan dosis radiasi yang tinggi terhadap pasien. Tingkat noise juga dipengaruhi oleh pemilihan nilai tertentu dari protokol pencitraan. Kelemahan dari perhitungan CTR Manual adalah : (1) Kesulitan



dalam



membaca



gambar



dikarenakan



banyaknya



noise



serta



perbedaan yang sangat tipis dari gambar dan latar belakang, yang mengakibatkan kesulitan dalam menentukan batas tepi dari gambar yang akan diukur dan akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran. (2) Waktu yang dibutuhkan dalam pengukuran lama, serta biaya yang mahal. (3) Pada kasus Atrial Septal Defect (ASD) pembesaran pada Atrium kanan pada foto thorax sulit dibedakan dengan pembesaran pada ventrikel kanan. 2.1.8.2 Pemerikaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada gagal jantung, hemonglobin dan eritrosit menurun sedikit karena hemodiliusi. Kadar hemonglobin dibawah 5 g % sewaktu-waktu dapat menimbulkan gagal jantung setidak-tidaknya keadaan anemia akan menyebabkan bertambahnya beban jantung. Jumlah leukosit dapat meninggi, bila sangat meninggi mungkin terdapat superinfeksi, endokarditis atau sepsis yang akan memberatkan jantung. Laju endap darah biasanya menurun, bila gagal jantung dapat diatasi tetapi infeksi atau karditis masih aktif ada, maka laju endap darah akan meningkat. Terdapat hipoglikemia dan berkurangnya



cadangan glikogen dalam hati. Kadar natrium dalam darah sediki menurun walaupun natrium total bertambah. Keadaan asam dan basa tergantung pada keadaan metabolisme, masukan kalori, keadaan paru, besarnya pirau dan fungsi ginjal. Pemeriksaan urine, jumlah pengeluaran urine berkurang, berat jenis meninggi, terdapat pada albuminuria sementara dan hematuria mikroskopis. 2.1.9 Penatalaksanaan Medis Menurut Ardiansyah (2012: 33), penatalaksanaan medis pada gagal jantung yaitu sebagai berikut: 2.1.9.1 Oksigen Pemberian oksigen sangat dibutuhka, terutama pada pasien gagal jantung yang disertai dengan edema paru. Pemenuhan oksigen akan mengurangi kebutuhan miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. 2.1.9.2 Terapi Nitrat Dan Vasodilator Penggunaan nitrat, baik secara akut maupun kronis, dalam penatalaksaan gagal jantung telah banyak mendapatkan dukungan dari kesehatan dengan menyebabkan vasodilatasi perifer, jantung di unloaded (penurunan afterload), pada peningakatan curah jantung lanjut, penurunan pulmonary artery wedge pressure (pengukuran derajat kongestif dan beratnya gagal ventrikel kiri), serta penurunan pada konsumsi oksigen mokard. 2.1.9.3 Diuretik Selain tirah baring (bed rest) pembatasan garam dan air serta diuretik baik oral maupun teral akan menurunkan preload dan kerja jantung. Digitalisasi: 1) Dosis Digitalis Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan di lanjutkan 2x0,5 selama 2-4 hari. (1) Digoksin IV 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam. (2) Cedilanid (IV 1,2-1,6 mg/24 jam). 2) Dosis Penunjang Untuk gagal jantung Digoksin 0,25 mg/hari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis di sesuaikan. 3) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg. 4) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut berat:



(1) Digoksin: 1-1,5 mg IV perlahan-lahan. (2) Cedilanid: 0,4-0,8 mg IV perlahan-lahan.



BAB 3 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS



3.1 . Manajemen Asuhan Keperawatan CHF 3.1.1 Pengkajian Keperawatan Pengkajian merupakan tahap awal pada proses asuhan keperawatan dimana pengkajian mencakup data-data pasien sehingga dapat mengidentifikasi, menganalisa masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan fisik, mental, sosial dan lingkungan (Doenges, 2007:165). 3.1.1.1 Pengkajian Primer 1) A (Airway) : apakah ada sumbatan pada jalan nafas klien, baik itu berupa sekret, ataupun benda asing. Apakah klien bernafas, mengalami kesulitan nafas, atau tidak bernafas sama sekali. 2) B (Breathing) : observasi pernafasan klien pakah dangkal/dalam, sesak, teratur, periodik/apneu 3) C (Circulation) : kaji nadi klien, berapa frekuensinya, bagaimana iraman dan kekuatannya. 4) D (Disability) : kaji tingkat kesadaran klien, kaji kemampuan klien dalam menggerakkan ekstremitas. Kaji apakah klien mengeluhkan nyeri. 5) E (Exposure) : Enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia. Kita dapat mengkaji Pada bagian tubuh klien tidak ada luka, dan tidak ada mengalami perdarahan. 3.1.1.2. Pemeriksaan fisik B1-B6 Menurut Ardiansyah (2012: 38), pemeriksaan fisik pada pasien dengan gagal jantung adalah sebagai berikut : 1) B1 (Breathing) Pengkajian yang didapat dengan adanya tanda kongesti vaskular pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut. Hal ini dikenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri. Sebelum crackles dianggap sebagai kegagalan



pompa, klien harus diinstruksikan untuk batuk dalam guna membuka alveoli basilaris yang mungkin di kompresi dari bawah diafragma. 2) B2 (Bleeding) (1)



Inspeksi Inspeksi (pemeriksaan) adanya parut pasca pembedahan jantung. Lihat adanya



dampak penurunan curah jantung. (2)



Palpasi Karena peningkatan frekuensi jantung merupakan respons awal jantung terhadap



stres, ainus takikardi mungkin di curigai dan sering ditemukan pada pemeriksaan klien dengan kegagalan pompa jantung. Irama lain berhubungan dengan kegagalan pompa meliputi kontraksi atrium preamture, takikardia atrium paroksimal, dan denyut ventrikel prematur. Perubahan nadi selama gagal janung menunjukkan denyut yang cepat dan lemah. Denyut nadi takikdardia mencerminkan respon terhadap rangsangan saraf simpatis. (3) Auskultasi Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali dengan mudah yaitu dua cara. Pertama, bunyi jantung ketiga dan keempat (S3, S4) serta bunyi crakles pada paru-paru. S4 atau gellop atrium mengikuti kontraksi atrium dan terdengar paling baik dengan menggunakan bel stetoskop yang ditempelkan tepat pada apeks jantung. Kedua, S1 tidak selalu tanda pasti kegegalan kongestif, tetapi dapat menurunkan komplain (peningkatan kekauan) miokard. 3) B3 (Brain) Kesadaran penderita biasanya agak terganggu apabila terjadi gangguan perfusi jaringan dalam skala berat. Pengakjian objektif terhadap pasien ditandai dengan wajah pasien yang terlihat meringis, menangis atau merintih. Kesadaram compos mentis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. 4) B4 (Bladder) Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan cairan, karena itu perawat perlu memantau adanya oliguria karena merupakan tanda awal dari syok kardiogenik.



5) B5 (Bowel) Klien biasanya merasakan mual dan muntah, penurunan nafsu makan akibat pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan. 6) B6 (Bone) Hal-hal yang biasanya terjadi dan ditemukan pada pengkajian B6 adalah sebagai berikut: (1) Kulit dingin Gagal depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke organ-organ. (2) Mudah lelah Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. 3.1.1.3 Aktivitas/istirahat Pada pengkajian aktivitas, biasanya didapatkan gejala keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat atau aktifitas. Pengkajian pada istirahat klien didapatkan gejala gelisah, perubahan status mental misalnya letargi, tanda-tanda vital berubah pada aktivitas. 3.3.2 Diagnosa Keperawatan Menurut menurut Ardiansyah (2012: 42), Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Krisis Hipertensi yaitu : 3.3.3.1 Penurunan



curah jantung berhubungan



dengan perubahan kontraktilitas



miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, perubahan struktural. 3.3.3.2 Pola napas tidakefektif berhubungan dengan menurunnya kontrantilitas jantung 3.3.3.3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi. 3.3.3.4 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.



3.3.3.5 Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus 3.3.3.6 Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan. 3.3.3.7 Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal jantung. 3.3.3 Intervensi Keperawatan Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuanyang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut.



1) intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut.Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, perubahan struktural. Tujuan



: Tidak terjadi penurunan curah jantung.



Kriteria hasil : Tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan episode dispnea, angina, ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung. Tabel 3.1 Intervensi Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, perubahan struktural. Intervensi Rasional 2) Auskultasi



nadi



apikal,



frekuensi dan irama jantung.



kaji



biasanya terjadi takikardi (meskipun pada



saat



istirahat)



mengkompensasi



untuk penurunan



kontraktilitas ventrikel. 3) Catat bunyi jantung.



S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya



kerja



pompa.



Irama



Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan



sebagai aliran darah ke serambi yang distensi. Murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis katup. 4) Palpasi nadi perifer.



Penurunan



curah



jantung



dapat



menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulsus alternan. 5) Pantau tekanan darah.



Pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah dapat meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi dan hipotensi tidak dapat normal lagi.



6) Kaji kulit terhadap pucat dan Pucat sianosis.



menunjukkan



menurunnya



perfusi perifer sekunder terhadap tidak adekuatnya



curah



jantung,



vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapat terjadi sebagai refraktori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atau



belang



karena



peningkatan



kongesti vena. 7) Berikan oksigen tambahan dengan Meningkatkan sediaan oksigen untuk kanula nasal/masker dan obat kebutuhan miokard untuk melawan sesuai indikasi (kolaborasi).



efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume



sekuncup,



kontraktilitas kongesti.



dan



memperbaiki menurunkan



8) Berikan



obat



sesuai



diuretik,



indikasi: Tipe dan dosis diuretik tergantung pada



vasodilator, derajat gagal jantung dan status fungsi



antikoagulan.



ginjal.



Penurunan



preload



paling



banyak digunakan dalam mengobati pasien dengan curah jantung relative normal



ditambah



kongesti.



dengan



Diuretik



gejala



mempengaruhi



reabsorpsi natrium dan air. Vasodilator digunakan untuk meningkatkan curah jantung, menurunkan volume sirkulasi dan tahanan vaskuler sistemik, juga kerja



ventrikel.



digunakan



Antikoagulan



untuk



mencegah



pembentukan thrombus/emboli pada adanya faktor risiko seperti statis vena, tirah baring, disritmia jantung. 9) Pemberian cairan Intra vena.



Karena adanya peningkatan tekanan ventrikel



kiri,



mentoleransi



pasien



tidak



peningkatan



dapat volume



cairan (preload). Pasien GJK juga mengeluarkan sedikit natrium yang menyebabkan



retensi



cairan



dan



meningkatkan kerja miokard. 10)



Pantau



seri



perubahan foto dada.



EKG



dan Depresi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi karena peningkatan



kebutuhan



oksigen



miokard, meskipun tak ada penyakit arteri



koroner.



Foto



dada



menunjukan pembesaran jantung.



dapat



11)



Pantau



pemeriksaan peningkatan



laboratorium,



contoh



BUN



/



Kreatinin



BUN, menunjukan hipoperfusi / gagal ginjal.



kreatinin.



2) Pola napas tidakefektif berhubungan dengan menurunnya kontrantilitas jantung Tujuan



: Pasien tidak mengeluhkan sesak napa



Kriteria hasil



: Klien tampak tenang, Tidak ada keluhan sesak napasTidak



ada



suara napas tambahan,Tidak menggunakan alat bantu napas,Tandatanda vital dalam batas normal: Tekanan darah 130/70 mmHg, Nadi 60-100 x/menit, pernapasan 16-20 x/menit, suhu 36-36.50C Tabel 3.2 Pola napas tidakefektif berhubungan dengan menurunnya kontrantilitas jantung Intervensi Rasional 1) Jelaskan tentang ketidakefektifan pola nafas



klien dikarenakan



kurangnya suplai oksigen kerena ketidakmampuan memompa



darah



1). Melakukan edukasi penting untuk persetujuan klien untuk penentuan intervensi selanjutnya



jantung ke



seleruh



tubuh.



2) Jelaskan posisi untuk mengurangi 2).Untuk sesak nafas klien.



memudahkan



klien



melakukan secara mandiri jika sesak muncul.



3).Anjurkan klien untuk mengurangi 3). Posisi semifowler aktivitas



4).Atur mungkin



meningkatkan



ekspansi paru



posisi



klien



senyaman 4). Akitivitas yang berlebihan dapat meningkatkan kerja jantung



5).Atur posisi dengan meninggikan 5). pada daerah kepala



Posisi



ekspansi



tinggi



paru



memungkinkan



dan



memudahkan



pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi



meningkatkan



pengisisan



udara ke segmen paru.



3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi. Tujuan



: Klien dapat melakukan aktifitas yang di inginkan



Kriteria hasil : Berpartisipasi pada aktivitas yang di inginkan, memenuhi perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan.



Tabel 3.3 Intervensi Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi. Intervensi Rasional 1) Catat frekuensi jantung, irama



Respon klien terhadap aktivitas dapat



dan perubahan Tekanan Darah



mengindikasikan



selama dan sesudah aktivitas.



oksigen miokard.



2) Tingkatkan



istirahat,



batasi



aktivitas, dan berikan aktivitas



adanya



penurunan



menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen



senggang yang tidak berat 3) Anjurkan



klien



menghindari tekanan



untuk



Dengan mengejan dapat meningkatkan



peningkatan



bradikardi, menurunkan curah jantung



abdomen,



mengejan saat defekasi.



misal:



dan



takikardia,



serta



peningkatan



Tekanan Darah



4) Pertahankan klien dalam posisi Untuk mengurangi beban jantung



tirah baring sementara sakit akut 5) Tingkatkan klien duduk di kursi



Untuk meningkatkan venus return



dan tinggikan kaki klien. 6) Pertahankan rentang gerak pasif Meningkatkan kontraksi otot sehingga selama sakit kritis 7) Evaluasi



membantu venous return.



tanda



vital



saat Untuk mengetahui fungsi jantung bla



kemajuan aktivitas terjadi 8) Pertahankan



dikaitkan dengan aktivitas



penambahan



O2 Untuk



sesuai kebutuhan 9) Selama dispnea,



meningkatkan



oksigenasi



jaringan



aktivitas



kaji



sianosis,



kerja



EKG, Melihat dampak dari aktivitas terhadap dan fungsi jantung.



frekuensi napas, serta keluhan subjektif 10) Berikan diet sesuai kebutuhan Untuk mencegah retensi cairan dan (pembatasan air dan Na)



edema akibat penurunan kontraktilitas jantung



11) Rujuk ke program rehabilitasi Meningkatkan jumlah oksigen yang ada jantung



untuk pemakaian miokardium sekaligus mengurangi ketidaknyamanan sampai dengan iskemia.



4) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. Tujuan



: Tidak terjadi kelebihan volume cairan



Kriteria hasil



: Klien akan mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema, menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.



Tabel 3.4



Intervensi Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. Intervensi Rasional



1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah



dan



warna



saat



hari



dimana diuresis terjadi.



Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga



pengeluaran



urine



dapat



ditingkatkan selama tirah baring. 2) Pantau / hitung keseimbangan Terapi diuretik dapat disebabkan oleh pemasukan



dan



pengeluaran kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan



selama 24 jam.



(hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.



3) Pertahakan



duduk



atau



tirah Posisi tersebut meningkatkan filtrasi



baring dengan posisi semifowler ginjal dan menurunkan produksi ADH selama fase akut. 4) Pantau TD dan CVP (bila ada).



sehingga meningkatkan diuresis. Hipertensi



dan



peningkatan



CVP



menunjukkan kelebihan cairan dan dapat



menunjukkan



peningkatan



kongesti



terjadinya paru,



gagal



jantung. 5) Kaji bising usus, catat keluhan Kongesti viseral (terjadi pada GJK anoreksia, mual, distensi abdomen lanjut) dan konstipasi.



dapat



mengganggu



fungsi



gaster/intestinal.



6) Pemberian obat sesuai indikasi Diuretik meningkatkan laju aliran urine (kolaborasi) : diuretik, tiazid.



dan



dapat



menghambat



reabsorpsi



natrium/klorida pada tubulus ginjal. Tiazid meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan. 7) Konsultasi dengan ahli diet.



Perlu memberikan diet yang dapat



diterima



klien



yang



memenuhi



kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.



5) Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus. Tujuan



: Tidak terjadi gangguan pertukaran gas



Kriteria hasil : Klien akan mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan, berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi. Tabel 3.5 Intervensi Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus. Intervensi Rasional 1) Pantau bunyi nafas, catat krekles.



Menyatakan



adanya



kongesti



paru/pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut. 2) Ajarkan/anjurkan



klien



batuk



efektif, nafas dalam.



Membersihkan



jalan



nafas



dan



memudahkan aliran oksigen.



3) Dorong perubahan posisi.



membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.



4) Kolaborasi gambarkan



dalam seri



Pantau GDA,



/



nadi



Hipoksemia dapat terjadi berat selama oedem paru.



oksimetri. 5) Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi



Meningkatkan



konsentrasi



oksigen



alveolar, yang dapat memperbaiki/ menurunkan hipoksemia jaringan.



6) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.



Tujuan



: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.



Kriteria hasi



: Klien akan mempertahankan integritas kulit, mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.



Tabel 3.5



Intervensi Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan. Intervensi Rasional



1) Pantau kulit, catat penonjolan tulang,



adanya



edema,



area



sirkulasinya terganggu/pigmentasi



Kulit



beresiko



karena



gangguan



sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi.



atau kegemukan/kurus. 2) Pijat area kemerahan atau yang memutih. 3) Ubah



meningkatkan



aliran



darah,



meminimalkan hipoksia jaringan.



posisi



sering



ditempat



tidur/kursi, bantu latihan rentang



memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.



gerak pasif/aktif. 4) Berikan



perawatan



minimalkan



kulit, dengan



terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat kerusakan.



kelembaban/ekskresi. 5) Hindari obat intramuskuler.



edema



interstisial



dan



gangguan



sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan



predisposisi



untuk



kerusakan



kulit/terjadinya infeksi.



7) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan



dengan



kurang



pemahaman



tentang



hubungan



fungsi



jantung/penyakit/gagal jantung. Tujuan



: Pengetahuan klien bertambah



Kriteria hasil



: Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi, mengidentifikasi faktor resiko



dan beberapa teknik untuk menangani, melakukan perubahan pola hidup/perilaku. Tabel 3.6



Intervensi Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal jantung. Intervensi Rasional



1) Diskusikan fungsi jantung normal.



Pengetahuan



proses



penyakit



dan



harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan. 2) Kuatkan rasional pengobatan.



Klien



percaya



bahwa



perubahan



program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa



lebih



sehat



meningkatkan



resiko



yang



dapat



eksaserbasi



gejala. 3) Rujuk



pada



sumber



di



Dapat menambahkan bantuan dengan



masyarakat/kelompok pendukung



pemantauan



suatu indikasi.



dirumah.



sendiri/penatalaksanaan



3.3.4 Implementasi Keperawatan Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012). Tahap awal tindakan keperawatan menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan. Persiapan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan: Review tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap perencanaan,menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang mungkin



timbul,menentukan



dan



mempersiapkan



peralatan



yang



diperlukan,



mempersiapkan lingkungan yang konduktif sesuai dengan yang akan dilaksanankan mengidentifikasi aspekhukum dan etik terhadap resiko dari potensial tindakan.



3.3.5 Evaluasi Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Tujuannya adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan dalam mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan), memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan pertama), meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan). Proses evaluasi terdiri dari 2 tahap yaitu tahap mengukur pencapaian tujuan klien yang terdiri dari komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi tubuh dan gejala. Sedangkan tahap kedua adalah tahap penentuan keputusan pada tahap evaluasi. Dalam tahap yang kedua ini terdapat 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan yaitu proses (formatif) dan hasil (sumatif). 2.2.5.1 Proses (formatif) Fokus evaluasi tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses baru dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifitasan terhadap tindakan dan harus dilakukan terus menerus sampai tujuan yang telah dilakukan tercapai. 2.2.5.2 Hasil (Sumatif) Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atas status kesehatan pada akhir tindakan keperawatan.Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan : (1) Mengumpulkan data perkembangan pasien. (2) Menafsirkan (menginteprestasikan) perkembangan pasien. (3) Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. (4) Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar norma yang berlaku. Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperawatan klien yaitu sebagai berikut : (1) Tujuan tercapai



Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. (2) Tujuan tercapai sebagian Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. (3) Tujuan tidak tercapai Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah baru.



BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN I. IDENTITAS PASIEN



II.



Nama



: Tn.H



Umur



: 19/02/1942



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Tanggal Pengkajian/Jam



: 15 September 2020/07.30 WIB



No. Rm



: 34.96.xx



1. Prioritas Triase



: P2 (Kuning)



2. Keluhan Utama



: Klien mengatakan “sesak napas”



3. Diagnose Medis : CHF



III.



DATA PRIMER 1. Airway: Jalan nafas klien bebas (tidak ada sumbatan) 2. Breathing : Klien



sesak saat beraktivitas dan tidak beraktivitas, batuk



berdahak, Nyeri dada sperti ditekan tembus ke belakang, Irama napas tidak teratur, Suara napas vesikuler , pasien tampak berbaring terlentang, RR:30x/menit, Spo2 : 94 % Diagnosa keperawatan : gangguan pertukaran gas 3. Circulation



: irama nadi regular, nadi teraba kuat, CRT < 2 detik, akral



teraba dingin, turgor kulit baik, warna kulit normal, bunyi jantung S1-S2 tunggal, hasil pemeriksaan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 74x/m, respirasi 30x/m, suhu 36,4oC. 4. Tingkat kesadaran compos menthis, nilai GCS = 15 (Normal) dengan E: 4 (membuka mata spontan), V: 5 (orentasi baik), M: 6 (mengikuti perintah). Pupil isokor dengan reflek cahaya positif. 5. Exposure



: tidak ada jejas pada dada, perut, punggung, tidak ada



oedema di daerah lutut



6. Eleminasi dan cairan : BAK normal 2-4x/hari, tidak ada keluhan nyeri, BAB normal tidak ada keluhan, turgor kulit baik, suhu 360C..



7.



Integument (kulit) : Turgor kulit baik, tidak ada lecet.



8. Status neurologi : nilai GCS = 15 (Normal) dengan E: 4 (membuka mata spontan), V: 5 (orentasi baik), M: 6 (mengikuti perintah). Pupil isokor dengan reflek cahaya positif. Tidak ada kejang, bicara normal, kekuatan otot 1/1/3/3,



IV.



DATA SEKUNDER (Head To Toe) 1. Kepala



:bentuk kepala simetris, tidak ada benjolan, rambut merata.



2. Thorak/Jantung : Hasil pemeriksaan EKG AF(Atrial Fibrasi) dengan heart rate 110, bunyi jantung saat diauskultasi S1 S2 tunggal, irama teratur, CTR < 2 detik 3. Punggung



: tidak ada luka pada punggung, punggung simetris, tidak



ada fraktur, dll. 4. Abdomen



: tidak terdapat nyeri tekan abdomen, bising usus normal,



tidak ada peradangan , hemato ataupun trauma. 5. Genitourinary :tidak ada masalah 6. Ekstermitas Atas dan Bawah : ektermitas atas simetris ektermitas b, Adanya bengkak pada kedua kaki, skala kekuatan melemah, Pasien dibantu keluarga dan perawat berjalan. Masalah keperawatan : Intoleransi Aktivitas V.



VI.



PENGKAJIAN NYERI 1. P



: nyeri pada dada



2. Q



: nyeri seperti ditekan/ditusuk



3. R



: nyeri terasa di dada



4. S



: skala nyeri 4(nyeri sedang)



5. T



: saat beraktivitas maupun tidak beraktivitas.



PENGKAJIAN CEMAS : -



VII.



RIWAYAT PENKAJIAN



1. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada tanggal 15 september 2020 pukul 07.30 WIB Tn H dibawa keluarga datang ke ruang IGD dengan keluhan sesak napas kurang lebih 1 bulan dan sesak semakin memberat pada hari selasa ini disertai batuk berdahak, kedua kaki bengkak sekitar 3 hari yang lalu dan nyeri dada seperti ditekan tembus kebelakang, pada saat beraktivitas maupun tidak beraktivitas Kemudian di IGD pasien diberikan terapi Oksigen 4 lpm, injeksi forusemide 10 mg per IV, dipasang stopper. 2. Riwayat Penyakit Dahulu



:



Klien memiliki penyakit DM tetapi tidak pernah minum obat 3.



Riwayat Penyakit Keluarga : Pada keluarga tidak memiliki penyakit Jantung Hipertensi DM dan lainnya di sangkal..



VIII. DATA PENUNJANG tanggal 15 September 2020 No



Nama Pemeriksaan



1.



Pemeriksaan EKG



IX. X.



Hasil AF (110x/menit)



TERAPI MEDIS No



Nama Obat



Dosis



Jalur



Fungsi Obat



pemberian 1



Inj.forusemide



10 Mg



IV



Obat diuretic digunakan untuk mengurangi cairan didalam tubuh



2



3



Po. Proxime



Po. spronolacton



1x/hari 1 oral



Anti iflamasi, mencegah



tablet



serangan jantung



25 mg



oral



Untuk mengatasi serangan jantung



Palangka Raya, 15 September 2020 Mahasiswa,



Krisnoveliana



XI.



No



ANALISA DATA



Data Subjektif dan Data



Etiologi



Masalah



Objektif 1.



DS : Klien mengatakan “sesak napas



saat



berbaring



atau



beraktivitas”



Gagal jantung Pembesaran Ventrikel kiri



Data Objektif: - Klien tampak sesak - Klien tampak batuk berdahak - Klien tampak gelisah - Tipe pernapasan dada - Irama napas tidak teratur - Suara napas vesikuler - Pasien tampak berbaring terlentang - TTV TD : 110/80 mmHg, Nadi : 74 x/menit, RR :30x/menit Suhu : 36,40C. Spo2 : 94 %



Peningkatan Beban Kerja Jantung Menurunnya kontraktilitas jantung Penurunan O2 ke perifer Perubahan membran alveolus kapiler



Pola napas tidak efektif



2.



Suplai darah ke arteri



Data Subjektif: Klien mengatakan “nyeri pada



Nyeri Akut



koroner berkurang



dada” dengan: P: Klien mengeluh adanya nyeri Iskemi berlangsung lama dada (+) yang timbul saat bernapas



Infark miokard



Q: Klien mengatakan



nyeri



seperti tertusuk-tusuk,



Disfungsi curah jantung



R: nyeri dirasakan pada daerah dada



dan



menyebar



ke



iskemi jaringan



punggung belakang, S: skala nyeri didapatkan pada skala 4 (nyeri sedang ) T:



nyeri dapat timbul secara



mendadak



dengan



lama



waktu + 5 menit. Data objektif: - Klien tampak meringis - Klien tampak gelisah - Skala nyeri 0-10 yaitu skala 4 (nyeri sedang) Data Subjektif : klien mengatakan mudah lelah



3.



-



Data Objektif : Klien tampak hanya berbaring di tempat tidur



-



Gagal Jantung Suplai darah ke arteri koroner berkurang Penurunan Perfusi Jaringan



Aktivitas dibantu oleh keluarga



-



Klien tampak lemah



-



Kedua kaki klien tampak



Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen



Intoleransi aktivitas



bengkak



XII.



DIAGNOSA KEPERAWATAN



1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan perubahan membran 2. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen



4. RENCANA KEPERAWATA/INTERVENSI Hari/Tanggal : 15 September 2020 Nama No 1.



: Tn. H



DiagnosaKeperawatan Pola



napas



tidak



berhubungan perubahan alveolus kapiler



TujuandanKriteriaHasil



efektif Setelah dengan



membrane



dilakukan



RencanaKeperawatan/Intervensi



tindakan 3) Ukur TTV pasien



keperawatan selama 1x7 jam 4) Atur posisi semifowler pada pasien diharapkan klien tidak 5) Anjurkan klien untuk mengurangi aktivitas mengeluh sesak napas, dengan kriteria hasil:



6) Ajarkan batuk efektif



1) TTV dalam batas normal 7) Kolaborasi dalam pemberian terapi O2 dengan : Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 60100 x/menit, pernapasan 16-20 x/menit, suhu 36,537.50C



Rasional 1) Agar



memudahkan



menentukan



2) Posisi



semifowler



meningkatkan ekspansi paru. 3) Aktivitas dapat



yang



4) Agar



pasien



memaksimalkan



kerja napas.



5) Tidak menggunakan alat bantu napas (O2)



mampu



melakukan batuk efektif



3) Irama napas teratur



secara efektif



kerja



jantung.



bernapas



batuk



berlebihan



meningkatkan



5) Untuk



melakukan



intervensi



selanjutnya.



2) Klien tampak rileks



4) Dapat



untuk



dan



menurunkan



Hari/Tanggal : 15 September 2020 Nama



No 2.



: Tn. H



DiagnosaKeperawatan



TujuandanKriteriaHasil



berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam dengan iskemi jaringan diharapakan nyeri berkurang /hilang dengan kriteria hasil: 1. Nyeri berkurang dengan skala Nyeri 0-1 (0-10) 2. Pasien tampak rileks 3. Pasien secara verbal mengatakan nyeri berkurang Nyeri



akut



RencanaKeperawatan/Intervensi



Rasional



1) Identifikasi lokasi, karakteristik, 1) Untuk



mengetahui



lokasi,



durasi, frekuensi, kualitas dan



karakteristik, durasi, frekuensi,



intesitas nyeri.



kualitas dan intesitas nyeri



2) Kaji skala nyeri



2) Untuk



3) Ajar kan teknik distraksi dan relaksasi. 4) Kolaborasi



menentukan



keparahan memudahkan



dalam



terapi analgetik.



pemberian



klien perawat



derajat dan untuk



menentukan rencana tindakan selanjutnya. 3) Untuk mengurangi nyeri dengan teknik nonfarmakologi yanitun dengan pengalihan nyeri 4) Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri.



Hari/Tanggal : 15 September 2020 Nama No 3.



: Tn. H



DiagnosaKeperawatan



TujuandanKriteriaHasil



aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam berhubungan dengan diharapakan intoleransi ketidakseimbangan antara aktivitas teratasi dengan kriteria hasil: suplai dan kebutuhan 1) TTV dalam batas normal dengan : Tekanan darah oksigen 120/80 mmHg, Nadi 60100 x/menit, pernapasan 16-20 x/menit, suhu 36,537.50C 2) Dapat membatasi aktivitas 3) mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan. 4) Dapat membatasi asupan cairan Intoleransi



RencanaKeperawatan/Intervensi 1) Ukur TTV pasien



1) Untuk mengetahui keadaan



2) Anjurkan klien membatasi aktivitas 3) Anjurkan



klien



untuk



membatasi



obat



menurunkan



kerja



miokard/konsumsi oksigen 3) Untuk



4) Kolaborasi dalam : Pemberian



umum pasien 2) Untuk



cairan



-



Rasional



mencegah



retensi



cairan dan edema akibat diuretic



Injeksi Forusemide 10 mg



penurunan



kontraktilitas



jantung 4) Untuk mengurangi cairan berlebihan (edema)



dalam



tubuh



5.



IMPLEMENTASI KEPERAWATAN



Nama : Tn.H Ruang : IGD Hari, tanggal/jam Selasa, 15 September 2020 1) 07.35 WIB 2) 07. 40 WIB 3) 07. 43 WIB 4) 07. 45 WIB 5) 07. 48 WIB



Implementasi



Evaluasi



1) Mengukur TTV pasien Pukul 12.00 WIB 2) Mengatur posisi semifowler pada S: pasien 3) Menganjurkan klien untuk Klien mengatakan “masih sesak napas”. mengurangi aktivitas O: 4) Mengajarkan batuk efektif 5) Berkolaborasi dalam pemberian terapi - TTV O2 TD : 110/80mmHg, Nadi : 90 x/menit, RR :27x/menit Suhu : 36,40C. Spo2 : 99% - Klien masih tampak sesak - Pasien tampak berbaring semifowler - Klien dapat mengerti tentang cara batuk efektif - Klien dapat mengurangi aktivitasnya, BAK dan BAB di tempat tidur, dan banyak istirahat. - Terapi telah dilakukan terhadap klien: oksigen 4 Lpm A : masalah teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi :  Observasi keadaam umum dan tanda-tanda vital klien.  Observasi tanda-tanda sesak nafas



 Kolaborasi dengan tim dalam pemberian terapi.



Nama : Tn.H Ruang : IGD Hari, Implementasi



tanggal/jam Selasa, 15 September 2020 1) 09.00 WIB 2) 09.05 WIB 3) 09.09 WIB 4) 09. 14. WIB 5) 09. 19 WIB



Evaluasi



1) Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, PUKUL 13.00 WIB durasi, frekuensi, kualitas dan intesitas S : Klien mengatakan “ masih terasa nyeri”



nyeri 2) Mengkaji skala nyeri klien. 3) Mengajar kan teknik distraksi dan relaksasi. 4) Berkolaborasi dalam pemberian obat



O:  Klien tampak meringis  Skala nyeri 0-10 yaitu skala 4 (nyeri sedang)  Klien mampu melakukan teknik distraksi dan



analgetik.



relaksasi  Pasien tampak berbaring semifowler  Terpasang O2 4 Lpm A:



Masalah teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi:  Kaji skala nyeri  Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian analgetik. Nama : Tn.H Ruang : IGD Hari, Implementasi



tanggal/jam Selasa, 15 September 2020 1) 07.35 WIB



1) Mengukur TTV klien



4) 07. 55 WIB



Pukul 12.10 WIB



2) meganjurkan klien untuk membatasi S : Klien mengatakan “masih terasa lemah”.



aktivitas



2) 07. 40 WIB 3) 07.43 WIB



Evaluasi



3) menganjurkan klien membatasi cairan 4) berkolaborasi dalam : -



Pemberian



obat



Forusemide 10 mg



diuretic



O:



57



- TTV TD : 110/80mmHg, Injeksi Nadi : 90 x/menit, RR :27x/menit Suhu : 36,40C. Spo2 : 99% - Klien dapat mengurangi aktivitasnya, BAK dan BAB di tempat tidur, dan banyak istirahat. - Injeksi telah dilakukan A : masalah teratasi sebagian



P: Lanjutkan intervensi :  Observasi keadaam umum dan tanda-tanda vital klien.  Kolaborasi dengan tim dalam pemberian terapi. Palangkaraya ,15 September 2020,



Krisnoveliana



DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, Muhammad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jakarta : DIVA. Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Pudiasti, R. D. 2013 Penyakit-Penyakit Mematikan. Yogyakarta : Nuha Medika. Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika. Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical Pathways. Jakarta : EGC. Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu



LEMBAR KONSULTASI



1.



Nama



: Krisnoveliana, S.Kep



NIM



: 2019.NS.A.07.049



Selasa, 15 September 2020



Kamis, 2. 17 September 2020



1. Masukan semua diagnosis di WOC tambah kan referensinya



1. Lengkapi data pengkajian untuk menunjang diagnosa keperawatan 2. Tambahkan jam di impelmentasi 3. Tambahkan nama bat dikolabrasi pemberian obat 4. Masukkan jurnal terkait



Krisnoveliana, S.Kep



Suryagustina, Ners., M.Kep



Krisnoveliana, S.Kep



Suryagustina, Ners., M.Kep



Krisnoveliana, S.Kep



Suryagustina, Ners., M.Kep



Jumat, 3.



18 September 2020



ACC LP dan Askep



LAMPIRAN DOKUMENTASI KONSULTASI BERSAMA CI LAHAN Tanggal 16 september 2020



Tanggal 17 september 2020



Tanggal 19 september 2020



LAMPIRAN DOKUMENTASI KONSULTASI BERSAMA CI AKADEMIK Tanggal 16 september 2020



Tanggal 17 september 2020



Tanggal 18 september 2020



Dokumentasi simulasi AGD



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



KUALITAS HIDUP PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF (GJK) BERDASARKAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI Arif Nur Akhmad1, Yanuar Primanda2, Yuni Permatasari Istanti3 1Master



Students, Graduated Institute of Nursing, Central Taiwan University of Science and Technology. 2 3Dosen Keperawatan Medikal Bedah, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. email: [email protected] ABSTRACT Patients of Congestive Heart Failure (CHF) basically have some symptoms, such as fatigue, dyspnea, and high mortality contributing to affects on their quality of life. Various factors may be related to quality of life, such as age, gender, education, occupation, and NYHA (New York Heart Association) level. This research aims at identifying and explaining demography factors related to quality of life on Congestive Heart Failure (CHF) patients. This research uses descriptive correlation and cross sectional design with 62 patients of Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta as the sample. Data obtained by using demographic data questionnaire and the SF-36 version of Indonesian. Data were analyzed with Spearman's test. The results showed respondents with a median age 51.14 years (SD = 12.40). Most patients are male (71%), unemployed (69%). and less educated (53%). Quality of life has correlation with NYHA class (p value= 0,001), educational (p value= 0,001), and age (p value= 0,014). There is no correlation between quality of life and gender and occupation. It can be concluded that NYHA class, educational, and age are independent factors related to quality of life. Keyword: Congestive Heart Failure (CHF), Quality of Life, demographic ABSTRAK Pasien gagal jantung kongestif (GJK) mengalami kelelahan dan dyspnea yang berkontribusi memperburuk kualitas hidupnya. Berbagai faktor demografi yang berkaitan dengan kualitas hidup diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York Heart Assosiation). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis kualitas hidup berdasarkan data demografi pasien gagal jantung kongestif (GJK). Desain penelitian adalah deskriptif korelasi secara cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 62 responden yang diperoleh dengan cara purposive sampling. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner data demografi dan SF-36 versi bahasa Indonesia. Data dianalisis dengan uji Spearman. Hasil penelitian menunjukkan responden rata-rata berusia 51,14 tahun (SD= 12,40). Sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki (71%), memiliki pekerjaan (69%). dan berpendidikan rendah (53%). Kualitas hidup memiliki hubungan dengan pendidikan (p = 0,001), umur (p = 0,014), sedangkan kualitas hidup memiliki perbedaan dengan derajat menurut NYHA (p = 0,001). Tidak ditemukan hubungan antara kualitas hidup dengan jenis kelamin, dan pekerjaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa derajat menurut NYHA, pendidikan, dan umur merupakan faktor independen yang berkaitan dengan kualitas hidup. Kata Kunci: demografi, Gagal Jantung Kongestif (GJK), Kualitas Hidup



27



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



PENDAHULUAN Gagal jantung menjadi penyakit yang umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat menderita gagal jantung kongestif (GJK), dimana jumlah tersebut didominasi oleh orang tua, dengan hampir 80% kasus terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun. Namun demikian, beberapa studi telah menemukan bahwa GJK dikaitkan dengan angka kematian sekitar 45-50% selama kurun waktu dua tahun terakhir, jumlah ini mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit keganasan (O’Connor et al, 2009). Prevalensi kasus gagal jantung kongestif di Indonesia terutama di Yogyakarta sebanyak 3.459 orang pada tahun 2012 dengan pasien rawat inap yang mengalami GJK sebanyak 401 orang. Berbagai terapi seperti terapi farmakologi dan non farmakologi hanya mampu mengurangi gejala pada gagal jantung kongestif, sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Raghu et al, 2010; Dimos et al, 2009). Kualitas hidup pasien dengan GJK dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan derajat NYHA (New York Heart Assosiation). Umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat penting pada pasien GJK. Semakin bertambah tua umur seseorang, maka penurunan fungsi tubuh akan terjadi baik secara psikologis maupun fisik (Nurchayati, 2011). Begitu juga dengan jenis kelamin, pria lebih cenderung memiliki kemampuan fungsi tubuh yang lebih baik daripada wanita terutama fisik (Juenger et al, 2002). Dampak dari kemampuan fungsi fisik yang menurun akan mempengaruhi derajat GJK seseorang.



Menurut NYHA, GJK dibagi berdasarkan 4 derajat kemampuan fisik. Derajat I menunjukkan seseorang bisa beraktifitas secara normal, pada derajat II pasien menunjukan gejala ringan saat melakukan aktivitas sehingga pasien merasa lebih nyaman bila beristirahat, pada derajat III pasien sudah mulai menunjukan adanya keterbatasan fisik, dan pada derajat IV pasien sudah tidak bisa melakukan aktivitas apapun tanpa keluhan (O’Connor et al, 2009). Kondisi tersebut akan mempengaruhi sejauh mana pasien mampu memaksimalkan fisiknya, sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Faktor tersebut juga dipengaruhi tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mengenal masalahnya (Ose et al., 2014). Tingkat pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor yang berkaitan dengan kualitas hidup pasien GJK (Rognerud & Zahl5 f cd, 2006). Pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mudah untuk mendapatkan informasi terkait kondisi yang sedang dialami, maupun menganalisis masalah yang akan timbul, serta bagaimana mengatasi masalah tersebut (Nurchayati, 2011). Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka akan semakin baik dalam memilih tindakan terapi yang tepat dalam pemulihan kondisinya sehigga kualitas hidup pasien juga akan meningkat (Van Der et al, 2006). Tujuan dari studi ini yaitu untuk mengidentifikasi dan menganalisis kualitas hidup berdasarkan data demografi pasien gagal jantung kongestif (GJK) di RSUP Dr. Sardjito yogyakarta. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi



28



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



dengan menggunakan pendekatan cross sectional study yang dilaksanakan di poliklinik jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan waktu yang digunakan selama 2 bulan yaitu Mei-Juli 2013. Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 62 responden dengan kriteria umur ≥ 35 tahun, dan terdiagnosis GJK berdasarkan catatan medis pasien. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah melakukan ethical clearence di fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan. Instrument penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner data demografi, dan kuisioner kualitas hidup (SF-36) versi indonesia yang diterjemahkan oleh Saryono (2010). Statistik yang digunakan meliputi distribusi frekuensi untuk analisis data demografi dan uji Spearman, uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen. HASIL Karakteristik Demografi Karakteristik demografi responden adalah sebagai berikut: umur responden ratarata (mean) sebesar 51,14 (SD= 12,40) yang terdistribusi normal (p-value= 0,200). Umur termuda adalah 30 tahun dan umur tertua adalah 74 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 44 orang (71 %), sedangkan sisanya yaitu 18 orang (29 %) berjenis kelamin perempuan. Responden yang bekerja lebih banyak yaitu 43 orang (69 %) dibandingkan dengan yang tidak bekerja yaitu 19 orang (31%). Tingkat pendidikan sebagian besar responden berpendidikan rendah 33 orang (53%).



Tabel 1: Derajat GJK dan Kualitas Hidup (N= 62) Variabel



n (%)



Derajat GJK Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4



28 (45,2) 25 (40,3) 8 (12,9) 1 (1,6)



Kualitas Hidup



Mean (SD): 56,91 (14,43); Range: 28 - 88



Derajat GJK menurut NYHA (New York Heart Assosiation). Sebagian besar responden gagal jantung kongestif (GJK) adalah derajat 1 menurut NYHA sebesar 28 responden (45,2%), derajat 2 sebesar 25 responden (40,3%), derajat 3 sebesar 8 responden (12,9), dan derajat 4 sebesar 1 responen (1,6%) dengan distribusi data tidak normal (pvalue= 0,000). Kualitas Hidup Kualitas hidup responden rata-rata (mean) sebesar 56,91 (SD= 14,43) yang terdistribusi normal (p-value= 0,200). Kualitas hidup terendah bernilai 28 dan kualitas hidup tertinggi bernilai 88. Hubungan antara Umur dan Kualitas Hidup Terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan kualitas hidup (r= 0,311, p-value = 0,014). Besaran koefisien determinan umur sebesar 0,096 (9,6%), berarti umur menentukan 9,6% kualitas hidup, sedangkan sisanya 90,4% ditentukan oleh faktor lain. Arah hubungan bersifat negatif, artinya bahwa semakin bertambah umur maka kualitas



29



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



Tabel 2. Hubungan Karakteristik Demografik Pasien dan Kualitas Hidup Karakteristik Pasien Umur Jenis Kelamin



KH



p



-0,311* -0,194



0,014 0,131



Pendidikan Pekerjaan



0,397* 0,075



0,001 0,561



hidup semakin menurun. Hubungan antara Jenis Kelamin dan Kualitas Hidup. Hasil uji statistik antara Jenis kelamin dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue = 0,131 (r = -0,194) yang menunjukan bahwa hubungan antara jenis kelamin dengan kualtas hidup adalah tidak bermakna dengan arah hubungan bersifat negatif.



Tabel 3. Perbedaan Kualitas Hidup Berdasar Derajat GJK (N= 62) Derajat GJK 1 2 3 4



Mean SD



SE



2.265 1.979 1.488 1.015



93 6,561 0,001 109 120 -



495 549 341 -



F



p



Perbedaan antara derajat GJK dan Kualitas Hidup Hasil analisis menggambarkan bahwa rata-rata kualitas hidup yang paling rendah adalah yang mempunyai derajat 4 menurut NYHA (1,01%) dan yang paling tinggi adalah derajat 1 menurut NYHA (2,26%). Analisis statistik menggambarkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara derajat NYHA dengan kualitas hidup (p-value= 0,001, α= 0,005).



Hubungan antara pendidikan dengan kualitas hidup.



PEMBAHASAN



Hasil uji statistik antara pendidikan dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue =0,001 (r = 0,379) yang menunjukan bahwa hubungan antara pendidikan dengan kualtas hidup adalah bermakna. Arah hubungan bersifat positif yang berarti semakin tinggi pendidikan maka semakin baik kualitas hidup pasien.



World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan nilai dimana mereka hidup dalam hubunganya dengan tujuan hidup, harapan, standar, dan perhatian (Dunderdale et al, 2005). Konsep yang sangat luas ini mempengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologi, tingkat ketergantungan, hubungan sosial, keyakinan personal, dan keinginan di masa yang akan datang terhadap lingkungan sekitarnya (Isa & Baiyewu, 2006).



Hubungan antara Pekerjaan dan Kualitas Hidup Hasil uji statistik antara pendidikan dengan kualitas hidup diperoleh nilai pvalue =0,561 (r = 0,075) yang menunjukan bahwa hubungan antara pekerjaan dengan kualtas hidup adalah tidak bermakna dengan arah hubungan bersifat positif.



Kualitas hidup



Penelitian ini didapatkan hasil bahwa rata-rata kualitas hidup pasien sebesar 56,91. Pada responden dalam penelitian ini sebagian besar mendapatkan biaya untuk berobat dari



30



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



Askes atau Jamkesmas, ditinjau dari pola komunikasi dan presepsi diri sebagian besar baik dan tanpa keluhan yang mengganggu. Dengan adanya dukungan yang baik dari segi finansial, presepsi diri yang baik serta tanpa keluhan yang mengganggu dapat membantu mengurangi gangguan psikologis akibat penyakit gagal jantung kongestif (GJK) ini, sehingga kualitas hidup responden meningkat. Berbeda halnya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lee et al (2005) di rumah sakit umum di Hong Kong, China dengan jumlah sample (N) sebesar 227 responden. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata (mean= 16,78 ± 3,44) pasien gagal jantung kongestif memiliki kualitas hidup rendah, dengan gangguan psikologis merupakan faktor yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien (p value= 0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang meningkat dapat memperburuk kualitas hidup pasien GJK di china. Perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti yaitu terdapat pada kondisi derajat GJK menurut NYHA. Menurut penelitian Lee et al (2005) mengatakan bahwa dominan pasien GJK yang memiliki derajat II menurut NYHA sebesar 49, 8 % lebih tinggi jumlahnya dan tingkat derajatnya dibandingkan yang dilakukan peneliti yaitu 45,2 % dengan dominan pasien memiliki derajat I menurut NYHA. Dari perbandingan ini membuktikan bahwa derajat NYHA sangat berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kualitas Hidup Umur. Pada penelitian ini didapatkan



hasil bahwa umur memiliki hubungan dengan kualitas hidup (p value= 0,014). Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa fungsi jantung akan berubah bersamaan dengan pertambahan usia. Pada lansia berumur 40 tahun keatas yang tidak aktif, jantung kirinya mengalami pengecilan sebagai respon terhadap rendahnya beban kerja yang dibutuhkan (Smeltzer et al, 2008). Terbukti bahwa pasien yang berumur rata-rata (mean) umur pasien lebih dari 51,14 tahun. Heo et al (2009) juga mengatakan bahwa penuaan dapat mengakibatkan penurunan elastisitas dan pelebaran aorta, penebalan dan kekakuan katup jantung, serta peningkatan jaringan ikat yang mengakibatkan terjadinya gagal jantung pada manula. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Banerjee et al (2013) pada 423 pasien yang mengalami gagal jantung membuktikan bahwa faktor umur berpengaruh secara signifikan (p value = 0,001) sebesar 54% terhadap kualitas hidup. Hal ini membuktikan bahwa faktor umur mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pendidikan. Berdasarkan pendidikan pasien, pasien yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 33 orang (53%) dan berpendidikan tinggi sebanyak 29 orang (47%). Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmodjo, 2007). Azwar (2005) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan



31



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



seseorang maka dia akan cenderung untuk berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh dapat menjadi dasar pemahaman seseorang terhadap kebutuhan akan informasi terkait self management pasien dan perilaku mencari pelayanan kesehatan yang tepat. Penelitian yang dilakukan secara randomized controlled trial (RCT) pada 540 responden dengan gagal jantung membuktikan bahwa program edukasi mengenai monitor gejala, aktifitas fisik, dan penggunaan obat terbukti efektif dalam self management pasien yang sedang menjalankan rehabilitasi (Meng et al., 2013). Derajat GJK menurut NYHA. Pasien yang mengalami gagal jantung kongestif memiliki gejala seperti rasa cepat lelah, sesak napas, takipnea dan takikardi. Kondisi fisik ini sangat mempengaruhi kemampuan dan fungsi pasien sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. (Arroll et al, 2010) Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian ini yang menyatakan secara signifikan (p-value= 0,001) bahwa derajat gagal jantung kongestif menurut New York Heart Assotiation (NYHA) mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hasil ini di dukung penelitian yang dilakukan oleh Juenger et al (2002) yang membuktikan secara signifikan (0,0001) bahwa kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh derajat gagal jantung kongestif menurut NYHA pada 205 pasien di Jerman. Pada pasien GJK, fungsi fisik sangat berperan sebanyak 51 % terhadap derajat menurut NYHA, dikarenakan apabila fungsi fisik tidak bisa digunakan secara optimal ,maka secara otomatis aktivitas fisik akan berkurang yang menyebabkan menurunya kualitas hidup pasien.



Dari hasil data distribusi responden yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa derajat 1 lebih banyak diderita oleh pasien di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yaitu sebesar 45,2 %. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasien berobat dan treadmill secara rutin sehingga kondisi fisik pasien tetap terjaga dan berfungsi secara makaimal yang membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik. KESIMPULAN Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah umur, pendidikan dan derajat GJK. Umur memiliki hubungan negatif terhadap kualitas hidup yang menyatakan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang maka kualitas hidupnya akan menurun. Pendidikan memiliki hubungan positif terhadap kualitas hidup yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan pasien maka semakin baik kualitas hidup pasien. Derajat menurut NYHA memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien gagal jantung kongestif (GJK). Faktor yang tidak berhubungan dengan kualitas hidup adalah jenis kelamin, dan pekerjaan. UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penelitian ini penulis mengucapkan terima kasih kepada RSUP Dr. Sardjito yang telah memfasilitasi terselenggaranya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arroll, B., Doughty, R., and Andersen, V. (2010). Investigation and management of congestive heart failure, BMJ, 341, pp.190-195.



32



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



Azwar, S. (2005). Sikap Manusia dan Pengukurannya, Pustaka Setia, Jakarta. Banerjee, T, Lee, K.S., Browning, S.R., Hopenhayn, C., Westneat, S., et al. (2013). Limited Association Between Perceived Control and Heald Related Quality of Life in Patient With Heart Failure, Journal of Cardiovascular Nursing, pp.1-5. Dimos, A.K., Stougiannos, P.N., Kakkavas, A.T., and Trikas, A.G. (2009). Depression And Heart Failure. Hellenic J Cardiol, 50, pp.410-417. Dunderdale, K., Thompson, D.R., Miles, J.N.V., Beer, S.F., and Furze G. (2005). Quality-of-life measurement in chronic heart failure: do we take account of the patient perspective?. The European Journal of Heart Failure, pp.572– 582. Heo, S., Lennie, T. A., Okoli, C., & Moser, D. K. (2009). Quality of Life in Patients With Heart Failure: Ask the Patients, Heart Lung, 38(2), pp.100– 108. Isa, B.A., and Baiyewu, O. (2006). Quality Of Life Patient With Diabetes Mellitus In A Nigerian Teacihng Hospital, Hongkong Journal Psychiatry, 16, pp.27-33. Juenger, J., Schellberg, D., Kraemer, S., Haunstetter, A., Zugck, C., Herzog, W., and Haass, M. (2002). Health Related Quality Of Life In Patients With Congestive Heart Failure: Comparison With Other Chronic Diseases And Relation To Functional Variable, Heart Journal, 87, pp.235241. Lee, D.T.F., Yu, D.S.F., Woo, J., and Thompson, D.R. (2005). Healthrelated quality of life in patients with congestive heart failure. The



European Journal of Heart Failure, pp.419– 422. Meng, K., Musekamp, G., Seekatz, B., Glatz, J., Karger, G., Kiwus, U., . . . Faller, H. (2013). Evaluation of a selfmanagement patient education program for patients with chronic heart failure undergoing inpatient cardiac rehabilitation: study protocol of a cluster randomized controlled trial. BMC Cardiovasc Disord, 13, 60. doi: 10.1186/1471-2261-13-60 Notoadmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Nurchayati, S. (2011). Analysis of Factors Related to Quality of Life of Patients With Chronic Kidney Disease Undergroing Hemodialysis at the Islamic Hospital Fatimah Cilacap and Banyumas District General Hospital, Thesis Magister Keperawatan, Universitas Indonesia. O’Connor, C.M., Whellan, D.J., Lee, K.L., Keteyian, S.J., Cooper, L.S., et al. (2013). Efficacy and Safety of Exercise Training in Patients With Chronic Heart Failure: HF-ACTION Randomized Controlled Trial, JAMA, 301 (14), pp.1439-1450. Ose, D., Rochon, J., Campbell, S. M., Wensing, M., Freund, T., van Lieshout, J., . . . Ludt, S. (2014). Health-related quality of life and risk factor control: the importance of educational level in prevention of cardiovascular diseases. Eur J Public Health, 24(4), 679-684. doi: 10.1093/eurpub/ckt139 Raghu, K.V., Srinivas. V, Kishore, B.A.V., Mohanta, G.P., and Uma, R.R. (2010). A Study on Quality of Life of Patients with Congestive Cardiac Failure. Indian Journal of Pharmacy Practice, 3, pp.33-39.



33



Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.1, Maret 2016



Rognerud, M.A., and Zahl, P.H. (2006). Social inequalities in mortality: changes in the relative importance of income, education and household size over a 27-year period. Eur J Public Health,16:62–8. Saryono. (2010), Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan, Nulia Medika, Yogyakarta. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H., (2008). Textbook



of medical- surgical nursing. 12th Ed, Wolter Kluwer, Lippincott William & Wilkins. Van der wal, M.H.L., Jaarsma, T., Moser, D.K., and Veeger, N.J.G.M., (2006). Compliance in heart failure patients: the importance of knowlege and beliefs, European Heart Journal, 27, 434-440. .



34