Bab 7 Studi Kasus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 7 ANALISIS SIFAT KETEKNIKAN TERHADAP KERUSAKAN INFRASTRUKTUR JALAN DAERAH DESA PAGENTAN KECAMATAN PAGENTAN KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH



7.1. Latar Belakang Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan hubungan perekonomian, baik antara satu kota dengan kota lainnya, antara kota dengan desa, antara satu desa dengan desa lainnya. Kerusakan jalan adalah segala bentuk kerusakan jalan yang menggangu sehingga membuat jalan tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Kondisi jalan yang baik akan memudahkan mobilitas penduduk dalam mengadakan hubungan perekonomian dan kegiatan sosial lainnya. Terjadinya kerusakan jalan akan berakibat bukan hanya terhalangnya kegiatan ekonomi dan sosial namun dapat terjadi kecelakaan bagi pengguna jalan. Pada daerah penelitian banyak terdapat kerusakan jalan Desa Pagentan, dimana jalan ini mempunyai fungsi sebagai jalan yang menghubungkan antar desa yang satu dengan desa lainnya di Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara. Walaupun beberapa ruas jalan desa di Kecamatan Pagentan sedang dalam tahap perbaikan, namun masih terdapat jalan desa yang belum diperbaiki, seperti jalan di Desa Pagentan. Berikut merupakan gambaran kondisi kerusakan jalan di Desa Pagentan (Gambar 7.1).



110



111



Gambar 7.1 Kondisi kerusakan jalan di Desa Pagentan (Penyusun, 2017)



Kerusakan-kerusakan yang terjadi tersebut tentu akan berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan pemakai jalan. Apabila penyebab kerusakan pada ruasruas jalan yang menghubungkan antar desa di Kecamatan Pagentan tersebut telah diketahui maka diharapkan adanya penanganan konstruksi perkerasan baik yang bersifat pemeliharaan, peningkatan atau rehabilitasi akan dapat dilakukan secara optimal.



7.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari studi khusus ini adalah untuk mengetahui sifat keteknikan batuan dan tanah berdasarkan analisis keteknika berupa uji kuat tekan dan batas-batas Atterberg serta pengaruhnya terhadap kerusakan jalan di daerah Desa Pagentan.



112



Analisis sifat keteknikan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Pengaruh dari sifat keteknikan batuan dan tanah terhadap kerusakan jalan di daerah Desa Pagentan dengan membandingkan antara nilai parameter data hasil pengamatan dengan nilai parameter dalam klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai berdasarkan nilai uniaxial compressive strength (UCS) dan mengenai sifat-sifat keteknikan tanah lempung di daerah penelitian.



7.3. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, penyusun hanya akan menguraikan tentang hasil analisis keteknikan berupa uji kuat tekan dan batas-batas Atterberg serta keterkaitannya terhadap kerusakan jalan di daerah Desa Pagentan, Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.



7.4. Dasar Teori Geologi teknik menurut American Geological Institut dalam Verhoef (1994) merupakan penerapan ilmu geologi pada praktek rekayasa dengan tujuan agar faktorfaktor geologi yang mempengaruhi lokasi, desain, kontruksi, pengoperasian dan pemeliharaan pekerjaan-pekerjaan rekayasa telah benar-benar dikenali dan dianalisa. Semua bangunan sipil didirikan di atas atau di bawah tanah akan selalu dipengaruhi oleh tanah atau batuan yang berada di bawahnya. Setiap tindakan yang dilakukan selalu akan menimbulkan reaksi dari bawah tanah. Analisa keteknikan bertujuan untuk menentukan reaksi ini dan memahami bagaimana perilaku sebuah konstruksi,



113



dalam hal ini yang menjadi masalah khusus yaitu pada kerusakan jalan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor dari sifat keteknikan tanah atau batuan dan pengaruhnya terhadap kerusakan jalan di daerah penelitian. Dalam suatu pekerjaan konstruksi, tanah mendapat posisi yang sangat penting. Kebanyakan problem tanah dalam bidang keteknikan adalah tanah lempung yang merupakan tanah kohesif. Tanah kohesif ini didefinisikan sebagai kumpulan dari partikel mineral yang mempunyai tingkat sensitfitas tinggi terhadap perubahan kadar air sehingga perilaku tanah sangat tergantung pada komposisi mineral, unsur kimia, tekstur dan partikel serta pengaruh lingkungan sekitarnya. Menurut Braja (1998), sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur adalah relaif sederhana karena hanya didasarkan pada distribusi ukuran butir tanah saja. Pada saat ini ada 2 sistem klasifikasi tanah yang selalu dipakai. Kedua sistem tersebut memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas-batas Atterberg. Salah satunya yaitu sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Official). Klasifikasi tersebut bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (subgrade). Berikut disajikan tabel klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya bagian I (Tabel 7.1) dan klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya bagian II (Tabel 7.2).



114



Klasifikasi umum Klasifikasi kelompok Analisa ayakan (% lolos) No. 10 No. 40 No. 200 Sifat fraksi yang lolos ayakan No. 40 Batas cair Batas plastis Tipe material yang paling dominan Penilaian sebagai tanah dasar



Tabel 7.1 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya bagian I berdasarkan klasifikasi AASHTO (Braja, 1998) Tanah berbutir (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200) A-1 A-3 A-2 A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6



Maks 50 Maks 30 Maks 15



Maks 50 Maks 25



A-2-7



Min 51 Min 25



Maks 35



Maks 35



Maks 35



Maks 35



Maks 6



NP



Maks 40 Maks 10



Min 41 Maks 10



Maks 40 Min 11



Min 41 Min 11



Batu pecah, kerikil dan pasir



Pasir halus



Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung



Baik sekali sampai baik



Tabel 7.2 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya bagian II berdasarkan klasifikasi AASHTO (Braja, 1998) Tanah lanau - lempung (35% atau lebih dari seluruh contoh tanah Klasifikasi umum lolos ayakan No.200) A-7 A-7-5 * Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6 A-7-6 * Analisa ayakan (% lolos) No. 10 No. 40 No. 200 Min 36 Min 36 Min 36 Min 36 Sifat fraksi yang lolos ayakan No. 40 Batas cair Maks 40 Maks 41 Maks 40 Min 41 Batas plastis Maks 10 Maks 10 Min 11 Min 11 Tipe material yang paling dominan Tanah berlanau Tanah berlempung Penilaian sebagai tanah dasar Biasa sampai jelek * Untuk A-7-5, PL > 30 * Untuk A-7-6, PL < 3



115



7.4.1. Sifat geologi teknik batuan dan tanah Menurut Rei, 1993 dalam Fajar 2012, batuan mempunyai sifat-sifat yang perlu diketahui dalam mekanika batuan dan tanah yang dikelompokkan menjadi 2 yaitu sifat fisik batuan dan sifat mekanik batuan. Sifat fisik batuan dan tanah adalah sifat yang menyatakan hubungan antara berat dan volume massa dari tanah dan batuan tersebut, seperti kadar air, berat jenis, batas-batas Atterberg, porositas dan permeabilitas. Sifat mekanik batuan dan tanah adalah sifat yang menyatakan hubungan antara gaya yang bekerja pada batuan dan tanah serta deformasi yang terjadi akibat gaya yang bekerja tersebut, meliputi kuat tekan batuan dan kuat geser tanah. Menurut Verhoef (1994), dalam mengetahui sifat keteknikan pada batuan perlu diketahui sifat geologi teknik dari material dan sifat geologi teknik dari massa batuan, sedangkan sifat geologi teknik yang dimiliki oleh tanah yaitu meliputi: kekuatan deformasi, kadar air, densitas tanah, porositas dan konsistensi. Menurut Craig (1987), kadar air sangat dipengaruhi oleh kadar pori (porositas). Makin banyak air yang mengisi pori tanah, makin tinggi kadar airnya. Begitu pula sebaliknya, pada kondisi tanah terendam air, volume pori akan terisi penuh air. Kadar air ditentukan dari perbandingan antara berat air dalam tanah dengan berat kering tanah, dinyatakan dalam persen (%). Sifat indeks ini disajikan dalam formula: W (%) = (Ww/Ws) x 100 % dimana:



116



w



= kadar air (%)



Ww



= berat air dalam tanah



Ws



= berat kering tanah



1. Densitas tanah Densitas tanah merupakan berat spesifik atau berat jenis tanah yang diperoleh dari perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperatur tertentu. Umumnya pada temperatur 27,50 C. Gs setiap jenis tanah berkisar antara 2,58 – 2,75 dan tidak berdimensi. Craig (1987) menyatakan berat jenis tanah tergantung dari macam dan banyaknya butir pembentuk tanah. Semakin padat bentuk tanah, semakin baik jenisnya. 2. Porositas Seperti halnya pada batuan, porositas merupakan sifat yang menunjukkan perbandingan volume pori tanah (Vp) dengan volume tanah itu sendiri (Vs). Porositas ini ditulis dengan persamaan: n = Vp/Vs 3. Permeabilitas Menurut Craig (1987), permeabilitas adalah kemampuan untuk meluluskan air dalam rongga-rongga batuan tanpa mengubah sifat-sifat airnya. Koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar, makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori dan makin rendah koefisien permeabilitasnya. Hubungan antara harga koefisien permeabilitas dan sifat kelulusan air dapat dilihat pada tabel di bawah berikut (Tabel 7.3):



117



Tabel 7.3 Hubungan antara sifat kelulusan air dan koefisien permeabilitas (Craig, 1987) Sifat kelulusan air Koefisien permeabilitas (cm/s) Tak lulus air (impervious) < 0,01 x 10-4 Mendekati tak lulus air (semi 0,01 x 10-4– 1 x 10-4 impervious) Mendekati lulus air (semi pervious) 1 x 10-4– 50 x 10-4 Lulus air (pervious) 50 x 10-4 – 500 x 10-4 Sangat lulus air (very pervious) > 500 x 10-4



4. Kuat tekan batuan Kuat tekan batuan adalah tegangan maksimum yang dapat diterima oleh massa batuan tersebut sebelum terjadi keruntuhan. Pengujian kuat tekan dapat dilakukan di laboratorium maupun di lapangan. Pengujian di laboratorium menggunakan contoh yang diambil dari lapangan. Pengujian ini menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk menekan contoh batuan yang berbentuk silinder atau prisma dari satu arah (uniaxial). Harga tegangan pada saat contoh batuan hancur didefinisikan sebagai kuat tekan uniaksial batuan dan diberikan oleh hubungan:



σc =



F A



Keterangan: σc = Kuat tekan uniaksial batuan (MPa) F = Gaya yang bekerja pada saat contoh batuan hancur (kN) A = Luas penampang awal contoh batuan yang tegak lurus arah gaya (mm) Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strength (UCS) menurut Wyllie & Mah pada tahun 2004 (Tabel 7.4) dan berdasarkan klasifikasi Deere, dalam Chen 1975 (Tabel7.5). Tabel 7.4 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strength (UCS) (Wyllie & Mah, 2004 dalam Fajar 2012)



118



Grade R6 R5 R4 R3 R2 R1 R0



Deskripsi



Identifikasi Lapangan



Batuan kuat sekali Batuan sangat kuat Batuan kuat



Percontoh hanya berupa chip menggunakan palu geologi



Batuan kuat menengah Batuan lemah Batuan sangat lemah Bataun lemah sekali



Percontoh membutuhkan banyak pukulan palu geologi untuk memecahkannya Percontoh membutuhkan lebih sekali pukulan palu geologi untuk memecahkannya Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali pukulan palu geologi Dapat dikelupas menggunakan pisau secara hati-hati, titik lekukan dangkal menggunakan palu geologi Hancur dipukul menggunakan palu geologi dan dapat dikelupas menggunakan pisau Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan



UCS (MPa) > 250 100-250 50-100 25-50 5,0-25 1,0-5,0 0,25-1,0



Tabel 7.5 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strength (UCS) menurut Deere (Chen, 1975) Kelas U.C.S (MPa) Skala kekuatan A



> 200



Luar biasa kuat



B



100-200



Sangat kuat



C



50-100



Kuat



D



25-50



Cukup kuat



E



< 25



Lemah



5. Kuat geser tanah Menurut Craig (1987), kuat geser tanah adalah kemampuan tanah untuk melakukan pergeseran yang terjadi di dalam tanah. Pada suatu saat gaya reaksi R akan mencapai suatu sudut tertentu, dimana blok tersebut mencapai batas limit untuk bergeser, hal ini disebut sebagai sudut gesek (φ). Hambatan geser sama dengan gaya geser. H : Wtgφ tgφ disebut sebagai koefisien gesek



119



Kuat geser mempunyai hubungan dengan hambatan geser (Wtgφ) pada tanah. Tanah yang butirannya terikat satu sama lain secara kohesi juga mempunyai hambatan geser jika tegangan normalnya nol. 6. Konsistensi Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu disebut sebagai konsistensi (Craig, 1987). Konsistensi bergantung pada gaya tarik antara partikel mineral lempung. Adanya pengurangan air menghasilkan berkurangnya tebal lapisan kation yang menyebabkan bertambahnya gaya tarik pertikel. Atterberg memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airtanah. Batas-batas tersebut meliputi batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit) dan batas susut (shrinkage limit). Adanya kandungan air pada tanah dapat menyebabkan tanah mengalami 4 keadaan dasar, yaitu: padat, semi padat, plastis dan cair seperti ditunjukkan pada gambar berikut di bawah (Gambar 7.2).



Gambar 7.2 Batas-batas Atterberg (Hardiyatmo, 2002 dengan modifikasi Penyusun, 2017)



120



Batas cair (LL) adalah kadar air pada keadaan batas peralihan antara cair dan plastis. Batas cair (LL) didefinisikan sebagai kadar tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari keadaan plastis. Batas cair ditentukan dengan uji Casagrande. Batas Plastis (PL) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah plasts dan semi padat, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai retak-retak ketika digulung. Batas susut (SL) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air dimana pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan volume tanah. Percobaan batas susut dilaksanakan dalam laboratorium dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Bagian dalam cawan dilapisi dengan pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna kemudian dikeringkan dalam oven. Indeks plastisitas (IP) adalah bilangan (%) yang merupakan selisih antara batas cair (LL) dan batas plastisnya (PL). Plastisitas merupakan kemampuan tanah untuk berdeformasi pada volume tetap tanpa terjadi retakan atau remahan. Jika tanah mempunyai indeks plastisitas tinggi, maka tanah mengandung banyak butiran lempung. Jika plastisitas indeks rendah adanya pengurangan kadar air akan mengakibatkan tanah menjadi kering. Hubungan indeks plastis dan batas cair ditunjukkan pada gambar berikut (Gambar 7.3).



121



Gambar 7.3 Kurva hubungan indeks plastis dan batas cair (Casagrande, 1958 dalam Braja 1998)



7.4.2. Sifat geologi teknik mineral lempung Mineral lempung merupakan kelompok mineral yang terdiri atas koloid dengan ukuran sangat kecil yaitu kurang dari 1 mikron sehingga hanya dapat dilihat dan dibedakan denga mikroskop dengan perbesaran yang besar, misalnya dengan mikroskop elektron. Masing-masing koloid terlihat seperti lempengan-lempengan kecil yang terdiri dari lembaran-lembaran kristal yang memiliki struktur atom yang berulang. Mineral lempung secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan susunan kristalnya, yaitu kaolinit, montmorilonit dan illit. Menurut Supriyono (1995) beberapa sifat fisik tanah yang mengandung mineral lempung yang berpengaruh terhadap kondisi geologi teknik yaitu: kadar air, aktivitas dan swelling potential. 1. Kadar air Pada umumnya mineral lempung yang memiliki swelling potential tinggi mempunyai perbedaan tingkat kekerasan dan kelunakan serta gejala sensitivitas



122



sangat tinggi akibat sangat mudah menyerap air. Apabila terjadi perubahan kadar air akan memberikan perubahan sifat dari keadaan padat, semi padat, plastis dan cair. Semakin tinggi derajat ekspansif suatu mineral maka akan semakin tinggi pula sensitivitas mineral tersebut terhadap perubahan kadar air. Atterberg telah meneliti sifat konsistensi mineral lempung pada kadar air yang bervariasi yang dinyatakan dalam batas cair, batas plastis dan batas susut. Ada tiga jenis mineral lempung yang diteliti, yaitu: montmorillonit, illit, dan kaolinit. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 7.6). Tabel 7.6 Batas – batas Atterberg untuk mineral lempung (Mitchell, 1976) Mineral Montmorilonit Illit Kaolinit



Batas cair 100 – 90 60 – 120 30 – 110



Batas plastis 50 – 100 35 – 60 25 – 40



Batas susut 8,5 – 15 15 – 17 25 – 29



2. Aktivitas Tingkat plastisitas tanah yang mengandung banyak mineral lempung tergantung dari sifat mineral lempung yang ada pada tanah dan jumlah mineralnya. Bila ukuran butir semakin kecil, maka luas permukaan butiran semakin besar. Pada konsep Atterberg, jumlah air yang tertarik oleh permukaan partikel tanah akan bergantung pada jumlah partikel lempung yang berada di dalam tanah. Berdasarkan alasan ini Skempton (1953) dalam Hardiyatmo (2002), mendefinisikan aktivitas (A) sebagai perbandingan antara indeks plastisitas (PI)



123



dengan persentase fraksi ukuran lempung berukuran 1,25



Aktif



3. Swelling potential Swelling merupakan suatu proses dimana tanah lempung menyerap air yang menyebabkan



terjadinya



pengembangan



pada



mineral



tersebut.



Adanya



pengembangan dan penyusutan ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan jenis mineral lempung pada lokasi tersebut. Potensi terjadinya swelling pada tanah dapat dilihat dari kandungan material berukuran lempung dan indeks plastisitas (Gillot, 1968 dalam Fajar 2012). Semakin tinggi kandungan material berukuran lempung dan indeks plastisitas maka akan semakin besar pula swelling potential pada tanah tersebut. Dalam mengukur swelling



124



potential dapat menggunakan kurva Casagrande (modifikasi Daksanamurty dan Raman, 1973 dalam Fajar 2012) (Gambar 7.4).



Gambar 7.4 Kurva Casagrande (modifikasi Daksanamurty & Raman, 1973 dalam Fajar 2012)



Chen (1975) mengemukakan bahwa potensi mengembang tanah ekspansif sangat erat hubungannya dengan indeks plastisitas, sehingga Chen membuat klasifiksi potensi pengembangan pada tanah lempung berdasarkan indeks plastisitas seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah (Tabel 7.8).



Tabel 7.8 Hubungan potensial mengembang dengan indeks plastis (Chen, 1975) Potensi mengembang



Indeks plastis



Rendah



0 – 15



Sedang



10 – 35



Tinggi



20 -55



Sangat tinggi



> 35



125



7.4.3. Klasifikasi jalan Berdasarkan



Tata



Perencanaan



Geometrik



Jalan



Antar



Kota



No.



038/TBM/1997, klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus diisentifikasikan sebelum melakukan perencanaan jalan (Ditjen Bina Marga, 1997). 1. Klasifikasi menurut fungsi jalan Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas : a) Jalan Arteri Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. b) Jalan Kolektor Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c) Jalan Lokal Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 2. Klasifikasi menurut kelas jalan MST Pada SNI tentang Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997, klasifikasi jalan menurut kelas jalan dalam muatan sumbu terberat (MST) dapat dilihat pada tabel di bawah berikut (Tabel 7.9):



126



Tabel 7.9 Klasifikasi menurut kelas jalan dalam MST (Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997) No



Fungsi



Kelas



1



Arteri



I



Muatan Sumbu Terberat/MST (Ton) >10



II



10



III A



8



Kolektor



III A



8



Lokal



III B III C



8