BAB II Stunting [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Definisi Stunting Stunting adalah suatu keadaan kekurangan nutrisi kronis yang terjadi selama masa kritis pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan. Stunting dapat dinilai berdasarkan indikator antropometri menggunakan panjang badan atau tinggi badan per umur (TB/U) yang menggambarkan pertumbuhan linear dan masalah gizi yang sifatnya kronis. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006 sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2 SD/ standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3 SD (severely stunted) (UNICEF, 2018; TNP2K, 2017). Stunting tidak sama dengan perawakan pendek. Perawakan pendek atau short stature adalah tinggi badan berada di bawah persentil 3 atau -2 standar deviasi pada kurva pertumbuhan, yang dapat dibedakan menjadi variasi normal seperti familial short stature dan constitutional delay of growth and puberty, atau perawakan pendek akibat kondisi patologis. Stunting termasuk dalam perawakan pendek akibat kondisi patologis. Hal yang harus dilakukan untuk membedakan jenis perawakan pendek adalah anamnesis, pemeriksaan tinggi badan, berat badan, kecepatan tumbuh, proporsi (rentang lengan serta rasio segmen atas dan segmen bawah), dan perkiraan tinggi badan dewasa dengan midparental height. Perawakan pendek variasi normal biasanya memiliki kecepatan pertumbuhan yang normal, sedangkan perawakan pendek dengan keadaan patologis memiliki kecepatan pertumbuhan yang terhambat (Batubara et al., 2010; Pudjiadi et al., 2009). 6



7



2. Epidemiologi Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/ South-East Asia Regional (SEAR). Ratarata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Sakti, 2018).



Gambar 2.1 Persentase anak balita yang mengalami stunting di dunia (UNICEF, 2018). Prevalensi balita stunting di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita stunting kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2% dengan lima provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi secara berurutan adalah 1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, dan (5) Kalimantan



8



Selatan, dan provinsi dengan prevalensi terendah adalah kepulauan Riau. Pemantauan Status Gizi tahun 2017 menyatakan bahwa prevalensi stunting pada balita mencapai 29,6% dan baduta 20,1%, dengan provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi pada baduta adalah Kalimantan Tengah dan pada balita adalah Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2018 cukup mengalami penurunan sebesar 29,9 persen. Prevalensi Status Gizi (TB/U) pada Anak Umur 0-59 Bulan (Balita) menujukkan prevalensi tertinggi dengan kategori sangat pendek terjadi di Sulawesi Barat sebesar 16,2% dan kategori pendek terdapat di Nusa Tenggara Timur sebesar 26,7% (Direktorat Gizi Masyarakat, 2018; Riskesdas, 2018).



Gambar 2.2 Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita, 20072018 (Riskesdas, 2018). 3. Etiologi dan Faktor Risiko Stunting multifaktorial,



merupakan yang



terjadi



suatu



proses



pada



periode



yang kritis



multisektorial



dan



pertumbuhan



dan



perkembangan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 2 tahun. Penyebab utamanya antara lain faktor maternal, nutrisi yang kurang secara kualitas dan kuantitas (termasuk pemberian ASI dan MPASI yang tidak memadai), dan infeksi.



9



Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting dapat dikategorikan sebagai (1) kondisi anak, seperti tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan gangguan menyusui sebelum 2 tahun, pertumbuhan janin terlambat selama periode prakelahiran, dan dilahirkan secara prematur; (2) kondisi ibu, termasuk gizi buruk dan status kesehatan ibu selama fase pra-natal, peri-natal, dan pascamelahirkan, serta persiapan yang tidak memadai dari seorang ibu selama kehamilan; dan (3) faktor sosial ekonomi, baik tingkat makro (kurangnya sanitasi dan lingkungan yang tidak sehat untuk membesarkan anak), dan penentu tingkat mikro (kemiskinan, praktik pengasuhan anak yang tidak tepat, dan pendidikan ibu yang buruk) (Cetthakrikkul et al., 2018). Adapun faktor risiko yang berperan terhadap kejadian stunting antara lain : a. Berat Lahir Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir. Pengukuran ini dilakukan di tempat fasilitas (rumah sakit, puskesmas, polindes), sedang bayi yang di rumah waktu pengukuran berat badan dapat dilakukan dalam 24 jam (IDAI, 2008). Menurut hubungan berat lahir/ umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat dikelompokkan menjadi: Sesuai Masa Kehamilan (SMK), Kecil Masa Kehamilan (KMK), dan Besar Masa Kehamilan (BMK), dengan cara yang sama berdasarkan umur kehamilan saja bayi – bayi dapat digolongkan menjadi bayi kurang bulan, cukup bulan atau lebih bulan. Klasifikasi menurut berat lahir yaitu bayi berat lahir rendah, bayi berat lahir cukup/ normal dan bayi berat lahir lebih. Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir 4000 gram (IDAI, 2008). Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan



10



perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Jika gangguan pertumbuhan terjadi pada akhir kehamilan, pertumbuhan jantung, otak, dan tulang rangka tampak paling sedikit terpangaruh, sebaliknya jika terjadi pada awal kehamilan, tampak pertumbuhan otak dan rangka pun terganggu. Terjadinya vasokonstriksi fetomaternal yaitu pada lapisan uteroplasenta dapat membatasi penyediaan oksigen dan nutrisi bagi janin. Akibatnya adalah tingkat gangguan pertumbuhan janin (IUGR) lebih tinggi, kepala lebih kecil (unikrosefali), dan panjang badan kurang diantara bayi – bayi lainnya (IDAI, 2008) Berat badan lahir rendah adalah faktor predisposisi untuk pencapaian pertumbuhan setelah lahir. BBLR terkait dengan kelahiran prematur, IUGR atau keduanya. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, risikonya lebih sering dikaitkan dengan IUGR. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang lahir dengan berat badan rendah di Indonesia mengalami IUGR. Penelitian sebelumnya oleh Karima et al, menunjukkan hubungan yang signifikan antara status gizi ibu, bobot yang diperoleh selama kehamilan, asupan zat besi dan usia kehamilan dengan kejadian BBLR. Bukti menunjukkan bahwa retardasi pertumbuhan dini yang buruk bertepatan dengan perkembangan kognitif yang kurang optimal dan terhambatnya pertumbuhan organ internal dapat mengakibatkan kemampuan kognitif yang rendah dan meningkatkan risiko penyakit kronis di kemudian hari (Cruz et al., 2017). Berat badan lahir memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting. Berdasarkan studi literatur, bahwa faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian stunting pada anak balita. Karakteristik bayi saat lahir (BBLR atau BBL normal) merupakan hal yang menentukan pertumbuhan anak, anak dengan riwayat BBLR mengalami pertumbuhan linear yang



11



lebih lambat dibandingkan Anak dengan riwayat BBL normal. Periode kehamilan hingga dua tahun pertama usia anak merupakan periode kritis. Gangguan pertumbuhan pada periode ini sulit diperbaiki dan anak sulit mencapai tumbuh kembang optimal (Hadi et al., 2019). b. Pemberian ASI Eksklusif Air susu ibu atau ASI adalah dasar kelangsungan hidup anak, nutrisi dan perkembangan serta kesehatan ibu. World Health Organization merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, diikuti oleh lanjutan menyusui dengan makanan pendamping yang sesuai hingga 2 tahun atau lebih. ASI ekslusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Air susu ibu (ASI) eksklusif kaya akan kandungan gizi, mudah dicerna, efisien, memiliki faktor imunologis seperti antibodi, leukosit, protein, dan oligosakarida. Hal ini membuat ASI merupakan satu-satunya nutrisi yang paling ideal bagi bayi sampai usia 6 bulan tanpa membutuhkan tambahan makanan dan cairan lain (WHO, 2017). Air susu ibu yang keluar pada hari pertama kelahiran mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi dan zat penting untuk pertumbuhan usus dan ketahanan terhadap infeksi yang sangat dibutuhkan bayi demi kelangsungan hidupnya. Kolostrum memiliki protein dan immunoglobulin A (IgA) yang melindungi permukaan saluran cerna bayi, terhadap berbagai bakteri patogen dan virus. Kolostrum mengandung leukosit sebanyak 5x10 6 sel per mL, dan akan menurun seiring lamanya menyusui. Leukosit berupa makrofag dan neurofilis, yang dapat melawan mikroba patogen. Limfosit mengandung T cell dan β cell yang memproduksi antibodi, 10 persen leukosit. Selain itu, kolostrum menghasilkan sel imunitas yang mengandung enzim lisozim untuk menghambat pertumbuhan berbagai macam bakteri (Permadi et al., 2017).



12



Pemberian ASI eksklusif dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi badan pada anak. Penelitian di Bangladesh dengan menggunakan metode cross sectional menyimpulkan terdapat hubungan yang positif antara pemberian ASI dengan peningkatan pertumbuhan tinggi badan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Haschke dengan metode case control di 20 negara berkembang, terdapat perbedaan pertumbuhan antara anak yang diberikan ASI eksklusif dan tidak ASI eksklusif (p