Bahan Ajar Hukum Bisnis Ii - Akuntansi 2020a [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI/MANAJEMEN Jalan Raya Sumenep-Pamekasan Km. 5, Desa Patean, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, Kode Pos 69451, Telepon (0328) 664272/673088, Website: wiraraja.ac.id



HARI / TANGGAL WAKTU MATA KULIAH KELAS SEMESTER / SKS DOSEN PENGAMPU



: Selasa, 23 Maret 2021 : 15.00 – 17.25 WIB : Hukum Bisnis : 2020A : 2 (Dua) / 3 (Tiga) : RB. Moh. Farid Zahid, S.H., M.M., M.Kn. P



BAHAN AJAR HUKUM BISNIS II



A. Definisi Hukum Bisnis Syariah a) Definisi Hukum Secara etimologi, kata hukum (al-hukm) sepadan dengan kata al-man’u (cegahan) dan al-fasl (pemisahan dan keputusan). Hukum sepadan dengan cegahan, karena perintah untuk melakukan sesuatu berarti cegahan untuk melakukan hal-hal yang bersifat sebaliknya (perintah berbuat baik berarti cegahan berbuat jahat). Dan hukum juga dianggap sepadan dengan pemisah, karena hukum mempunyai fungsi sebagai alat ukur yang dapat membedakan benar dan salah. Juga, hukum diartikan sebagai alat untuk menyelesaikan (memutuskan) persoalanpersoalan yang diperselisihkan1. Secara praktis, hukum berfungsi sebagai pemutus atau pemisah antara pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Di samping itu, hukum secara bahasa juga sering dipandang sepadan dengan al-qadha’ (ketetapan atau keputusan hakim di pengadilan), karena hukum adalah instrument utama dalam lingkungan peradilan2. Dengan demikian, hukum secara bahasa berarti ketetapan atau keputusan (al-qada’), pemisah (al-fashl) dan cegahan (alman’u)3. b) Definisi Bisnis Terdapat beberapa istilah di dalam Al-Qur’an yang terkait dengan usaha atau bisnis. Namun dalam pendekatan fiqih keuangan, pengertian bisnis secara umum lazim disebut dengan istilah tijarah, yaitu pengelolaan harta benda untuk mencari 1 Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 9. 2



Ibid., h. 10.



3



Mahmud Muhammad al-Tantawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Maktabah Wahbah, 20001), h. 15-



16.



1



keuntungan. Dalam bisnis syariah, pengertian keuntungan atau profit tentu bukan hanya semata-mata berhenti pada tatanan materiil, melainkan sampai pada usaha bagaimana mendapatkan keridaan Allah Swt ketika menjalankan bisnis. Pemikiran ini mengacu pada makna bisnis dalam Al-Qur’an yang tidak hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat materiil, tetapi justru kebanyakan mengarah pada nilai-nilai yang bersifat imateriil4. c) Definisi Syariah Kata syariah sendiri sebelumnya telah disebutkan sebelum Islam muncul, yaitu dalam kitab Taurat, Talmud dan Injil, meskipun pada Taurat, syariah disebutkan dengan bahasa Ibrani. Kata tersebut disebut dalam bahasa Arab dengan taurah, yang berarti membimbing, memberi petunjuk, mengetahui, mengatur dari terkadang sering diartikan sebagai undang-undang. Kata ini disebutkan sebanyak 200 (dua ratus) kali dalam Taurat. Sementara dalam kitab Injil, kata namus digunakan dalam al-Masih untuk menyebutkan syariat secara umum, yang berarti orang-orang yang dekat, ruh agama dan syariat Musa (yang ada sebelumnya)5. Bentuk-bentuk kata syariah dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam 5 (lima) ayat, yaitu Q.S. al-Maidah ayat 48 (syir’ah), Q.S. al-Jatsiyah ayat 18 (syari’ah), Q.S. al-Araf ayat 163 (syurra’a) dan Q.S. al-Syura’a ayat 13 dan 21 (syara’a dan syara’u). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan syariah adalah peraturan yang telah ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammmad Saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu bidang keyakinan, perbuatan dan akhlak. Dengan kata lain, menurut Wilfred Cantwell Smith, syariah adalah esensi hukum dalam Islam sebagai elaborasi perintah-perintah Tuhan6. Pendapat yang dikemukakan oleh Manna’ al-Qaththan adalah definisi yang sangat baik, beliau mengartikan syariah sebagai apa yang ditegaskan oleh Allah Swt untuk hamba-hambanya, baik dalam bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak dan aturan hidup, pada suatu bangsa yang berbeda-beda untuk menjaga hubungan antara manusia dan Tuhannya serta hubungan antara sesama mereka sendiri, juga 4



Burhanuddin Susanto, Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 2.



5



Muhammad Said al-Asymawi, Ushul al-Syariah, (Yogyakarta: Elkis, 2004), h. 18.



6



Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam: Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 18.



2



untuk mencapai suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Manna’ al-Qaththan menegaskan bahwa syariah hanya dibuat oleh Allah Swt semata (tasyri ilahi), sehingga aturan apapun yang dibuat oleh manusia tidak dapat disebut syariah, tetapi tasyri al-wadh’i7. d) Hukum Bisnis Syariah Setelah diuraikan berbagai definisi operasional terkait dengan hukum, bisnis dan syariah, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan hukum bisnis syariah adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan praktik bisnis secara syar’i, atau sesuai dengan syariah, guna meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia8. B. Prinsip-Prinsip Hukum Bisnis Syariah Sistem ekonomi Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang membedakan dirinya dengan sistem ekonomi lainnya. Ia merupakan sistem ekonomi yang diilhami oleh pandangan Islam mengenai alam, kehidupan dan manusia yang berdasarkan akidah (tauhid). Prinsip-prinsip ini merupakan tiang penyangga yang kokoh dan permanen. Oleh sebab itu, ia bersifat tetap dan tidak dapat berubah akibat perubahan ruang dan waktu. Prinsip-prinsip ini tidak dapat diposisikan sebagai sebuah teori yang tunduk pada kajian dan penelitian, sebab ia berasal dari syariat Islam yang menjadi landasan teori dan praktik dalam sistem ekonomi Islam. Para ahli hukum bisnis Islam telah merumuskan prinsip-prinsip hukum bisnis Islam, meskipun ada perbedaan dalam tata urutan, tapi substansinya sama satu sama lain. Di sini akan disebutkan beberapa prinsip dasar terhadap rancangan bangunan ekonomi Islam. Menurut Muhammad, bangunan bisnis Islam diletakkan pada 5 (lima) pondasi, yaitu9: 1. Ketuhanan atau tauhid (ilahian); 2. Keadilan (al-adl); 3. Kenabian (al-nubuwah); 4. Pemerintahan (al-khilafah); dan 7



Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), h. 14.



8



Kadir, Hukum Bisnis Syariah Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 23.



9



Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2004), h. 95.



3



5. Hasil (al-ma’ad). C. Tujuan, Filosofi dan Metodologi Hukum Bisnis Islam a) Tujuan Hukum Bisnis Islam Tujuan hukum bisnis Islam adalah mashlahah (kemaslahatan) bagi umat manusia, yaitu dengan mengusahakan segala aktivitas demi tercapainya hal-hal yang



berakibat



pada



adanya



kemaslahatan



bagi



manusia



atau



dengan



mengusahakan aktivitas yang secara langsung dapat merealisasikan kemaslahatan itu sendiri, aktivitas lainnya demi menggapai kemaslahatan adalah dengan menghindari diri dari segala hal yang membawa mafsadat (kerusakan) bagi manusia10. Menjaga kemaslahatan bisa dengan cara min haytsu al-wujud dan min haytsu al-adam. Menjaga kemaslahatan dengan cara min haytsu al-wujud dengan cara mengusahakan segala bentuk aktivitas dalam ekonomi yang bisa membawa kepada kemaslahatan. Misalnya, ketika seseorang memasuki sektor industri, ia harus selalu mempersiapkan beberapa strategi agar bisnisnya bisa berhasil mendapatkan profit dan benefit yang baik, sehingga akan membawa kebaikan bagi banyak pihak. Menjaga kemaslahatan dengan cara min haytsu al-adam adalah dengan cara memerangi segala hal yang bisa menghambat jalannya kemaslahatan itu sendiri. Misalnya, ketika seseorang memasuki sektor industri, ia harus mempertimbangkan beberapa hal yang bisa menyebabkan bisnis tersebut bangkrut. Misalnya, dengan tegas mengeluarkan para pekerja yang melakukan berbagai macam kecurangan ataupun menghindari beberapa perilaku korupsi11. b) Filosofi Hukum Bisnis Islam Ilmu pengetahuan didasarkan pada aspek tujuan (ontologis), metode penurunan kebenaran ilmiah (epistemologis) dan nilai-nilai atau kegunaan (aksiologis). Wacana ontologi dalam hukum bisnis hukum Islam meliputi pembahasan tentang kondisi dan persoalan yang berbeda dalam suatu masyarakat, sehingga bisa dirumuskan kebijakan-kebijakan yang merupakan problem solving bagi permasalahan yang ada. Beberapa tujuan dari zakat, riba dan lain-lainnya,



10



Ika Yuani Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid alSyari’ah, (Jakarta: Kencana Prenada, 2014), h. 12-13. 11



Loc.Cit.



4



semuanya bertujuan untuk memecahkan permasalahan dalam distribusi kekayaan dalam masyarakat12. Adapun wacana tentang epistemologi dalam hukum Islam tergabung dalam double movement. Pertama, ada yang bergerak secara deduktif dengan mengkaji epistemologi iqtishad dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, ada juga yang bergerak secara induktif dengan dengan melihat realistis yang ada, kemudian merujuk kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga terkadang memunculkan pendapat-pendapat yang agak berbeda pula. Namun, terlepas dari beberapa perbedaan tersebut, tujuan masing-masing kelompok adalah untuk menyebarkan kemaslahatan kepada umat manusia13. Wacana tentang aksiologi biasanya terangkup dalam output dan kegunaan ekonomi Islam, yang bersifat ingin selalu menyejahterahkan umat manusia, menyelamatkan umat manusia di dunia dan di akhirat, serta memerangi segala bentuk eksploitasi (mafsadat) yang merugikan umat manusia, juga



merupakan



antitesis dari kemaslahatan itu sendiri. c) Metode Hukum Bisnis Islam Pendekatan hukum bisnis Islam dapat dilakukan dengan metode deduktif dan induktif. Ketika mendekati hukum bisnis Islam melalui metode deduktif, maka akan dimulai dengan penarikan beberapa dalil yang ada (Al-Qur’an dan Hadis) untuk kemudian memasuki wilayah empiris berupa kasus-kasus yang terdapat di lapangan. Adapun pendekatan induktif dimulai dengan menampilkan beberapa fakta empiris yang ada di lapangan untuk kemudian ditarik ke dalam dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Monzer Kahf menuliskan bahwa hukum bisnis Islam menggunakan 2 (dua) macam metode. Pertama, metode deduksi, yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam dan fukaha. Mereka mengaplikasikan hukum bisnis Islam modern dengan menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya, yaitu berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yang tidak lain, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, metode pemikiran retrospektif. Metode ini banyak digunakan oleh



12



Ibid., h. 13.



13



Loc.Cit.



5



para



pemikir



kontemporer



yang



merasakan



tekanan



kemiskinan



dan



keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Islam dengan kembali kepada AlQur’an dan Hadis, yaitu untuk mencari dukungan atas pemecahan permasalahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan14. D. Sumber Hukum Bisnis Syariah Pada hakikatnya, syariat Islam itu hanya mempunyai satu sumber hukum, yakni wahyu illahi. Wahyu illahi dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam. Pertama, wahyu yang berupa Al-Qur’an. Kedua, berupa Sunah. Menempatkan keduanya sebagai sumber hukum syara’ tanpa melibatkan yang lain, merupakan konsekuensi dari usaha kita menyucikan akidah hukum. Adapun yang lain tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum, kecuali sebatas dalil-dalil syara’, itu pun dengan ketentuan selama dalalah-nya merujuk kepada nash-nash yang terdapat pada kedua sumber hukum tersebut15. Kata sumber hanya berlaku pada Al-Qur’an dan Hadis. Karena hanya dari keduanyalah digali norma-norma hukum, sedangkan ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishab, istidlal dan mashalih al-mursalah tidak termasuk dalam kategori sumber hukum. Kesemuanya itu termasuk kepada dalil hukum. Dengan menggunakan istilah tersebut dapat menemukan hukum-hukum Islam. Istilah-istilah itu merupakan alat dalam menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Sunah16. Dengan demikian, hukum mencakup Al-Qur’an dan Sunah serta dalil-dalil dari selain keduanya. Oleh karena itu, jika disebut sumber hukum, maka yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Sunah saja, sedangkan yang lainnya tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum17. Para ulama telah sepakat bahwa Al-Qur’an dan Sunah merupakan merupakan sumber hukum utama dan sekaligus sebagai sumber tertib hukum Islam. Dengan demikian, landasan normatif hukum Islam secara hakiki adalah seutuhnya bersumber



14



Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 12. 15 Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih: Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, (Bogor: Al-Azhar Press, 2003), h. 65. 16



Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Fathurrahman Djamil I, h. 82. 17



Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996) h. 16.



6



dari Al-Qur’an dan Sunah. Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum antara lain terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah Swt dan kedudukan Sunah sebagai sumber dan dalil hukum kedua sesudah Al-Qur’an mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat manusia18. E. Posisi dan Ruang Lingkup Hukum Ekonomi Islam Secara garis besar, sistematika hukum Islam dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu19: 1. Hukum I’tiqadiyah (Akidah) Yaitu, hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Yang Maha Esa dalam masalah keimanan dan ketakwaan. 2. Hukum Khuluqiyah (Akhlak) Yaitu, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lain dalam hubungan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Tercakup dalam hukum khuluqiyah ini adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak dalam rangka menuju akhlak dengan sesama makhluk. 3. Hukum ‘amaliyah (Syariah) Yaitu, hukum yang mengatur hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluk lain, dengan Tuhannya selain bersifat rohani dan dengan alam sekitarnya. Di samping pengelompokan tersebut, dilihat dari substansinya, para ulama juga mengelompokkan hukum Islam pada 2 (dua) kategori besar, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti khusus atau sempit, artinya hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, puasa, zakat dan ibadahibadah pokok lainnya. Sementara itu, ibadah dalam arti luas mencakup segala hubungan antara manusia yang dilakukan dalam rangka mencari rida Allah Swt, sebagaimana diungkap dalam Q.S. al-Dzariat ayat 56. Hal ini diungkapkan oleh Ibn Taimiyah, bahwa ibadah ialah semua kegiatan manusia baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan manusia yang dicintai Allah Swt dan diridai oleh-Nya, baik yang batin (tidak tampak) maupun yang lahir (tampak)20.



18



Ibid., h. 19.



19



Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) selanjutnya disebut Fathurrahman Djamil II, h. 19-20.



7



Muamalah didefinisikan sebagai hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan (horizontal), seperti hukum yang mengatur masalah ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Hukum muamalah ini dalam literatur keislaman terinci kepada21: 1. Hukum Perdata (Muamalat) Yaitu, ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia mengenai harta benda dan segala hak milik yang berupa materi termasuk bentukbentuk hak dan kewajiban masing-masing hubungan tersebut. Oleh karena itu, dalam hubungan keperdataan (muamalah) menyangkut harta benda atau materi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah, Islam tidak membedakan latar belakang, suku, agama dan ras (SARA). 2. Hukum Perkawinan (Munakahat) Yaitu, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang berhubungan dengan kebutuhan biologis, hak dan kewajiban suami istri, keharmonisan keluarga, perceraian dan sebagainya. 3. Hukum Waris (Al-Mirats) Yaitu, hukum yang berkaitan dengan harta benda yang disebabkan oleh kematian. 4. Hukum Pidana (Jiniyat) Yaitu, hukum yang berhubungan dengan jiwa, akal dan kehormatan manusia. 5. Hukum Politik (Al-Siyasat) Yaitu, hukum yang berhubungan dengan kenegaraan dan pengaturannya.



Hukum Islam



Aqidah



Syariah



Akhlak



Muamalah



Ibadah



20



Ibn Taimiyah, al-Ubudiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Islamy, 1392 Hijriah), h. 38.



21



Fathurrahman Djamil II, Op.Cit., h. 20-21.



8



Perdata



Perkawinan



Pidana



Waris



Publik



Dan Lain-Lain



Gambar 1. Ruang Lingkup Hukum Islam Dengan demikian, kegiatan ekonomi, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan keuangan syariah, dalam sistem ajaran Islam masuk dalam kategori mu’amalat yang merupakan bagian dari ibadah dalam arti luas. Berdasarkan sistematika hukum Islam tersebut, relasi kegiatan ekonomi dengan hukum Islam dapat dilihat berikut ini: Hukum



Ekonomi



Relasi



Ibadah Mahdhah



Zakat, Infak dan Sedekah



Pemerataan Pendapatan



Munahakat



Nafkah dan Harta Bersama



Memenuhi Kebutuhan Pokok



Mawaris



Wasiat dan Tirkah



Takhalluf



Muamalah Maliyah Jual Beli, Sewa dan lain-lain Larangan



Mencuri,



Akad atau Perikatan



Menipu Hifdz al-mal atau Memelihara Harta



Jinayah dan lain-lain Sumber Pendapatan Negara,



Pemerataan Siyasah



Pendapatan



dan



seperti Ghanimah, Fa’I, Jizyah Pengembangan Masyarakat dan ZIS



Gambar 2. Ruang Lingkup Hukum Islam Kegiatan ekonomi sebagai bagian dari muamalah menjadi objek bahasan dalam hukum muamalah. Dalam fiqih muamalah Maliyah, pembahasan utamanya meliputi, pertama, tentang hukum benda, yang membahas konsep harta, hak dan kepemilikan. Kedua, tentang transaksi atau hukum akad, yang membahas masalah akad, jenis-jenis akad dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaannya. F. Konsep Bisnis Dalam Al-Qur’an Bisnis dalam Al-Qur’an dijelaskan melalui kata tijarah yang mencakup 2 (dua) makna, yaitu pertama, perniagaan secara umum yang mencakup perniagaan antara manusia dan Allah Swt. Ketika seseorang memilih petunjuk dari Allah Swt, mencintai



9



Allah Swt dan Rasul-Nya, berjuang atau berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa, membaca kitab Allah Swt, mendirikan salat, menafkahkan sebagian rezekinya, maka itu adalah sebaik-baiknya perniagaan antara manusia dengan Allah Swt. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan, bahwa ketika seseorang membeli petunjuk Allah Swt dengan kesesatan, maka ia termasuk seseorang yang tidak beruntung 22. Adapun makna tijarah yang kedua adalah perniagaan secara khusus, yang berarti perdagangan ataupun jual beli antara manusia. Beberapa ayat yang menerangkan tentang bagaimana bertransaksi yang adil di antara manusia terangkum dalam Q.S. al-Baqarah ayat 282, Q.S. an-Nisa ayat 29 dan Q.S. an-Nur ayat 37. Pada Q.S. al-Baqarah disebutkan bahwa tentang etika dan tata cara jual beli, utang piutang, sewa-menyewa dan transaksi lainnya. Ayat ini pula yang dijadikan pedoman kegiatan akuntansi (kewajiban untuk mencatat transaksi) dan notariat (kewajiban adanya persaksian dalam transaksi) dalam pembahasan tentang ekonomi dan bisnis Islam, sehingga diharapkan adanya suatu perniagaan yang adil dan saling menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lain, seperti yang tertera dalam Q.S. an-Nisa. Dan motif dari suatu perniagaan, hendaknya seseorang ketika sedang bertransaksi, hendaklah selain mengingat Allah Swt, menegakkan salat dan membayar zakat. Jadi, perniagaan dalam arti yang lebih khusus pun tidak akan pernah luput dari aktivitas untuk mengingat Allah Swt, sehingga diharapkan hal ini bisa menjadi suatu kontrol bagi seorang peniaga atau pengusaha, agar selalu berbuat kebaikan dan menjauhi perilaku yang merugikan dalam suatu aktivitas bisnis23. G. Tujuan Bisnis Dalam Al-Qur’an Terlepas dari makna klasifikasi kata tijarah secara umum dan khusus yang perlu dicermati bahwa bisnis, di dalam Al-Qur’an selalu bertujuan untuk 2 (dua) kepentingan, yaitu keuntungan duniawi dan ukhrawi. Bisnis ataupun perniagaan yang bersifat duniawi tertuang dalam beberapa ayat khusus yang membahas tentang perniagaan. Hal ini mencakup penjelasan tentang jual beli, yaitu apabila dilakukan secara tunai, maka harus atas dasar kerelaan masing-masing pelaku (an taradin minkum) dan apabila tidak dilakukan secara tunai, maka ada suatu tuntutan untuk menuliskan transaksi tersebut dengan disertai 2 (dua) saksi dan tidak mengurangi jumlah nominal



22



Ika Yuani Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Op.Cit., h. 7.



23



Ibid., h. 8.



10



kewajiban yang harus dibayarkan. Kemudian, berbisnis ataupun perniagaan ukhrawi banyak tercantum dalam ayat-ayat umum yang membahas tentang bisnis. Kenyataan ini menjadi satu poin penting, bahwa bisnis atau etika transendental adalah suatu hal yang tidak bisa terpisah dalam bisnis Islam, karena hal tersebut merupakan manifestasi dari mengingat Allah Swt24. Bisnis dalam Al-Qur’an, dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu bisnis yang menguntungkan, bisnis yang merugi dan pemeliharaan prestasi, hadiah dan hukuman. Pertama, bisnis yang menguntungkan mengandung tiga elemen dasar, yaitu: 1. Mengetahui investasi yang paling baik; 2. Membuat keputusan yang logis, sehat dan masuk akal; dan 3. Mengikuti perilaku yang baik. Kedua, bisnis yang merugi. Bisnis ini merupakan kebalikan dari bisnis yang pertama, karena ketidakadaan atau kekurangan beberapa elemen dari bisnis yang menguntungkan. Ketiga, pemeliharaan prestasi, hadiah dan hukuman. Dalam hal ini, Al-Qur’an menyoroti bahwa segala perbuatan manusia tidak akan bisa lepas dari sorotan dan rekaman Allah Swt. Maka dari itu, siapapun yang melakukan prestasi yang positif akan mendapatkan pahala (reward), begitu pula sebaliknya25. TUGAS! -



Analisislah perkembangan hukum bisnis syariah saat ini. Jelaskan!



-



Tugas dikerjakan dan dikumpulkan dengan format portable document format (.pdf) melalui media aplikasi WhatsApp Group kelas, terakhir pada Kamis, 25 Maret 2021 dengan format penamaan: Nama_NIM.



24



Ibid., h. 12.



25



Ibid., h. 12-13.



11