Bangunan Kolonial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH TEKNIK ARSITEKTUR 2



ARSITEKTUR RENAISSENCE DAN ARSITEKTUR GOTHIC



OLEH : NAMA : DESY AGUSTINA FARANITA NIM : 03101406041



DOSEN PENGASUH : IR. HJ. MEIVIRINA HANUM, MT



FAKULTAS TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN AJARAN 2011-2012



Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Sekilas bangunan tampak seperti rumah dua tingkat ini tampak mewah. Bangunan ini memiliki peninggalan sejarah mengenai Palembang . Bangunan Palembang yang memiliki corak bangunan tempo dulu yang diberi nama Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, yang berada di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No.2, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan. Terletak persis seberang Sungai Musi, bangunan ini tidak berubah dari awal didirikan hingga sekarang. Arsitektur bangunannya sendiri termasuk unik karena merupakan kombinasi dari masa kolonial Belanda dan gaya asli istana Palembang.



Gambar : Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang



BANGUNAN KOLONIAL



Page 2



Sultan Mahmud Badaruddin II adalah penguasa Palembang sejak 1803 sampai 1821. Museum ini pernah menjadi istana Kesultanan Palembang Darussalam. Awalnya disebut sebagai Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, bangunan ini bersama dengan Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I. Pada abad ke – 17 Belanda datang ke Palembang sehingga istana diduduki oleh tentara kolonial. Menjelang perang Palembang I tahun 1819, pemerintah Hindia Belanda mendaratkan



pasukannya



sebanyak



200



orang



di



Palembang dan



menempatkannya di Keraton Kuto Lamo. Saat perang hari pertama meletus, 11 Juni 1819, tentara Belanda ditembaki dan dihalau hingga lari ke kapal-kapal yang berada di sungai Musi depan BKB. Pada perang ini, dari sekitar 500 tentara Belanda yang tersisa dan selamat sekitar 350 orang. Begitu Sultan Mahmud Baddarudin II menyerah dan ditangkap pada perang Palembang III tahun 1821 sehingga bersama keluarganya Sultan dibuang ke Ternate, pasukan Belanda



melakukan



perampasan,



perusakan,



pembongkaran



dan



penghancuran terhadap aset kesultanan, termasuk bangunan yang ada di Benteng Kuto Lamo.Bahkan pembongkaran yang dilakukan terhadap rumah limas para Pangeran serta bangunan lain hingga ke halaman Masjid Sulton itu, dilakukan pula terhadap fondasi Keraton hingga sedalam 3 meter. Pada tahun 1823, Belanda mulai merekonstruksi reruntuhan bangunan melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo secara bertahap. Rumah yang dibangun ini diperuntukkan bagi komisaris kerajaan Belanda (regeering commisaris) di Palembang, yaitu Yohan Isaac van Sevenhoven, seorang advokat fiskal yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah dikenal sebagai Gedung Siput itu selesai dibangun. Setelah itu bagian bangunan terus dilakukan penambahan. BANGUNAN KOLONIAL



Page 3



Bahan bangunan seperti lantainya diambil dari lantai bekas Keraton Kuto Lamo. Ketika Jepang tiba di tahun 1940-an dengan Perang Dunia ke-2 yang berkecamuk di Pasifik, bangunan bersejarah ini dimanfaatkan Jepang sebagai basis militer mereka. Setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan tahun 1945, bangunan ini menjadi pangkalan militer resimen IV Indonesia, Sriwijaya. Kemudian setelah Belanda kalah dan Indonesia merdeka bangunan bekas rumah Komisaris Belanda tersebut berahli fungsi menjadi Bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (bagian atas bagunan) dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang (bagian bawah bangunan). Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata. Sekarang ini selain difungsikan sebagai museum, bangunan tersebut juga digunakan sebagai Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang. Terdapat sejumlah koleksi sejarah yang bisa dinikmati oleh pengunjung museum. Mulai dari peninggalan kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang. Bisa dikatakan museum ini menjadi potret masa lalu kota Palembang tempo dulu. Di dalam museum tidak begitu luas namun cukup memuat informasi tentang kota Palembang. Disetiap koleksi diberi keterangan sehingga memudahkan pengunjung untuk tahu koleksi apa yang sedang dilihat. Selain itu ada juga diperlihatkan peralatan menenun kain songket. Songket merupakan kain khas asli Palembang dan harganya bisa sampai jutaan tergantung tingkat kerumitan dari motif songket. Meskipun telah mengalami renovasi, bentuk asli bangunan tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung. BANGUNAN KOLONIAL



Page 4



GEDUNG BALAI PRAJURIT PALEMBANG DAN GEDUNG POLISI PAMONG PRAJA (POL-PP) Societeit atau yang sering di kenal dengan "kamar bola" atau "rumah bola" yang terletak di Seberang Ilir atau tepat di belakang Kantor Ledeng, yang di lengkapi dengan balai pertunjukan (schrowburg) dimana tempat ini juga dipergunakan untuk para orang-orang Belanda berdansa sehingga pada perkembangnnya pada tahun 1928 menjadi bioskop Luxor. Kamar Bola selain di Seberang Ilir juga terdapat di seberang ulu yaitu di komplek pertamina yang sekarang di kenal dengan Gedung Patra Ogan. Setelah zaman kemerdekaan awal tahun 70-80an, bangunan ini pun beralih fungsi sebagai tempat hiburan orang Palembang di mana pada saat itu di kenal dengan nama Mustika Theater atau Bioskop Mustika. Pada masa penjajahan Belanda, gedung yang letaknya dikawasan Seberang Ilir dan dekat dengan Benteng Kuto Besak (BKB) ini merupakan Societeit ( balai pertemuan / kamar bola). Gedung ini merupakan salah satu dari beberapa gedung serupa yang dibangun oleh Pemerintah Kota (haminte) Palembang. Tetapi seiring waktu bioskop tersebut ditutup dan sekarang gedung ini telah diubah fungsi menjadi menjadi Kantor Dinas Polisi Pamong Praja (POLPP) Palembang (gambar 1) dan oleh KODAM II/SWJ sebagai Balai Prajurit (gambar 2) yang merupakan markas tentara. Sementara di kawasan Seberang Ulu, Societeit (Gedung Balai Pertemuan Umum) dibangun di Plaju dan di Sungai Gerong yang saat ini dsering dikenal dengan sebutan Gedung Sasana Ria.



BANGUNAN KOLONIAL



Page 5



Kala itu, kedua kawasan ini sudah menjadi kompleks perumahan para pegawai Kilang Minyak Plaju dan Kilang Minyak Sungai Gerong. Fungsi gedung ini adalah sebagai tempat pesta para pembesar Belanda dan dilengkapi beragam permainan serta pertunjukan. Pada hari-hari tertentu, seperti halnya Societeit di Batavia kala itu, digelar pesta dansa. Gambar 1 : Gedung Polisi Pamong Praja (POL-PP)



Gambar 1.1 : Tampak depan



BANGUNAN KOLONIAL



Gambar 1.2 : Tampak belakang



Page 6



Gambar 2 :Gedung Balai Prajurit Palembang



Gambar a : Tampak depan



BANGUNAN KOLONIAL



Gambar b: Tampak belakang



Page 7



MUSEUM TEKSTIL PALEMBANG



Gambar : Museum Tekstil



Kawasan Talang Semut, termasuk di dalamnya Jl. Dipenogoro terkenal sebagai komplek perumahan pejabat Belanda. Salah satu bangunan khas zaman kolonial Belanda tersebut kini dijadikan Museum Tekstil Sumsel. Usia bangunan bekas kediaman residen dan bekas gedung BP7 yang berada di Jl. Diponegoro ini mencapai satu abad. Dengan usia tersebut, gedung museum tekstil sudah bisa dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya. Bangunan ini diyakini masih memiliki arsitektur asli. Bangunan kokoh, atap yang tinggi, dengan halaman luas. Membuat kesan kenyamanan penghuni begitu terjaga. Khas gedung kolonial Belanda. Bangunan ini dikelilingi oleh taman yang lumayan luas. Terdapat dua banguna yang terpisah, bangunan pertama untuk museum sedangkan bangunan yg kedua untuk tempat membatik dan kegiatan seni yang lain. Gedung museum berbentuk huruf “L” dan memanjang. Di bagian depan bangunan terdapat pelontar meriam dan patung sepasang pengantin yang memakai pakaian adat Palembang yang terbuat dari tembaga. Bangunan ini memiliki plafon yang tinggi, sehingga tanpa alat pendingin ruangan ini sudah cukup nyaman. Itulah salah satu ciri bangunan kolonial Belanda. Banguna yang mengadaptasi iklim tropis. Pintu-pintu di museum dibuat tinggi dengan sekat-sekat tempat sirkulasi udara. Terdapat tiga pintu yang menghadap ke taman. Satu pintu utama dan dua lagi pintu samping. BANGUNAN KOLONIAL



Page 8



Menurut catatan sejarah, pada masa penjajahan dulu gedung museum itu digunakan sebagai tempat tinggal pejabat tinggi kolonial Belanda. Tahun 2007/2008, gedung itu menjadi kantor BP7, dan pernah pula menjadi kantor kejaksaan tinggi, kantor pembantu gubernur dan kantor Litbang Sumsel dan juga menjadi kantor BKN, hingga rumah dinas Ketua DPRD Sumsel. Hingga akhirnya, 5 November 2008 ketika Prof.dr.Mahyuddin,S.POG menjadi Gubernur, gedung dijadikan museum tekstil Sumsel. Pembangunan Museum Tekstil Sumsel mulai diprakarsai mulai tahun 2007. Awalnya dicetuskan pasangan mantan Gubernur Ir.Syahrial Oesman serta istrinya Maphilinda. Sebelum diresmikan, beberapa kali pasangan tersebut memantau gedung yang dulunya merupakan bekas kantor BP7 tersebut. Pencetusan museum ini berawal dari keinginan untuk melestarikan hasil budaya. Berupa tekstil tradisional Sum-Sel yang sangat terkenal, dari songket, gebeng, jumputan hingga batik, yang dulunya berfungsi sebagai lambang kekuasan, kejayaan, kemakmuran dan pemenuh estetika. Sempat dikelola Dinas Pendidikan, museum kemudian dikelola di bawah dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel. Koleksi yang dipamerkan selama ini, dari tekstil zaman prasejarah, tekstil zaman Hindu-Budha, tekstil zaman kesultanan dan kolonial, tekstil masa pendudukan Jepang, industrialisasi tekstil masa kemerdekaan, teknologi pembuatan tekstil di Sum-Sel, ragam hias tenun tradisional, tenun songket, tajung/gebeng hingga jumputan. Namun sekarang masyarakat tidak dapat lagi melihat koleksi di museum tekstil. Sekeliling museum telah dipagari dengan pagar seng karena rencana pembangunan Heritage Hotel Palembang.



Gambar : Museum Tekstil dengan pagar pembatas BANGUNAN KOLONIAL



Page 9



KANTOR WALIKOTA PALEMBANG



Gambar a : Kantor Walikota dari depan



Gambar b : Kantor Walikota dari samping



Bangunan ini tak lepas dari sejarah kota Palembang. Pada saat kemerdekaan RI diproklamasikan, 17 Agustus 1945, kantor Walikota menjadi saksi perjuangan pemuda di Palembang. Dimana pemuda saat itu mengibarkan bendera merah putih di empat penjuru sisi Kantor Ledeng. Kantor Walikota yang memiliki lampu sorot di puncak gedungnya yang digunakan untuk mempercantik wajah kota Palembang di malam hari ini terletak di pusat kota, yaitu di Jl. Merdeka No.1 Palembang. Kantor Walikota ini dahulunya dikenal dengan sebutan Menara Air (Water Tower) atau Kantor Ledeng. Tinggi bangunan yaitu 35 m dengan kapasitas air yang bisa ditampung mencapai 1.200 m3 dan dengan luas menara ini adalah 250 m2.



BANGUNAN KOLONIAL



Page 10



Menara Air ( water tower) atau Kantor Ledeng merupakan bangunan buatan Belanda dan arsitek yang menangani pembangunan gedung ini adalah Ir. S. Snuijf. Dipilihlah lokasi gedung di tepi Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak. Sehingga pada masa itu, posisi Kantor Ledeng tepat di tepian air. Namun kemudian, seiring dengan pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Sekanak, Sungai Kapuran pun ditimbun. Akibatnya, jalan yang melintas di depan Kantor Ledeng itu pun mengalami banjir saat musim hujan disertai pasang naik Sungai Musi. Pada tahun 1929, setelah pembuatan master plan kota oleh Ir. Th. Karsten, dibangunlah sarana air bersih. Bangunan ini didirikan dengan gaya de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar dengan menghabiskan biasa ± 1 ton emas .Pendistribusiannya dikenal sebagai sistem gravitasi setinggi 35 meter dan luas bangunan 250 meter persegi. Bak tampungnya berkapasitas 1.200 meter kubik merupakan cara yang efektif pada saat itu untuk pendistribusian air sampai ke daerah klonial dan daerah pasar 16 ilir, segaran dan sekitranya Secara resmi Kantor Ledeng digunakan pertama kali pada tahun 1930-an. Bangunan Kantor Ledeng sendiri memiliki beberapa tingkatan dimana tingkat pertama sejak jaman Belanda telah digunakan sebagai pusat pemerintahan Belanda di Palembang dan tingkat paling atas digunakan sebagai tempat penampungan air bersih atau ledeng untuk semua warga yang tinggal di Palembang saat itu, terutama warga Belanda yang tinggal di sekitar Jalan Tasik saat ini dan Dempo yang lokasinya memang tak jauh dari menara Kantor Ledeng. Menara air Kantor Ledeng ini dibuat sebagai upaya pemerintah Belanda Palembang saat itu untuk menyediakan air bersih. Pada masa itu Sungai Musi yang dijadikan satu-satunya pemenuhan kebutuhan air bagi warga Palembang yang dianggap kurang baik karena saat itu air Sungai Musi memang dijadikan BANGUNAN KOLONIAL



Page 11



tempat untuk melakukan segala aktivitas sehari-hari (one stop washing) mulai dari mencuci beras (makanan), mencuci pakaian, hingga mencuci badan. Sehingga membuat pemerintah kolonial merasa perlu memberikan air bersih bagi warganya. Adapun biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu untuk membangun Kantor Ledeng atau Menara Air adalah seharga 1 ton emas, harga ini sendiri 1/3 dari nilai yang pernah ditetapkan oleh Ir. Th. Karsten pembuat master plan kota Palembang yaitu sebesar 3 ton emas. Kantor Ledeng atau Menara Air ini sendiri telah beberapa kali berahli fungsi dimana pada saat pertama kali berdiri digunakan sebagai tempat penampungan air bersih dan pusat pemerintahan Belanda, kemudian saat jaman Jepang (1942-1945) dijadikan sebagai Kantor Residen Palembang jaman Jepang (Syuco-kan), lalu di jadikan balai kota hingga tahun 1956, hingga akhirnya sejak 21 Agustus 1963 Kantor Ledeng atau Menara Air digunakan sebagai Kantor Pusat Pemerintahan Kota Praja Palembang (Kantor Walikota Palembang) atau tempat berkantor orang nomor satu di Palembang sampai saat ini.



BANGUNAN KOLONIAL



Page 12



Gereja Siloam Palembang Indonesia dijajah oleh Kompeni Belanda selama 3,5 abad sejak jaman VOC hingga Hindia Belanda. Salah satu jejak peninggalan Kompeni Belanda di Kota Palembang adalah Gereja Siloam, yang merupakan gereja Protestan tertua di kota Palembang. Tidak jauh dari Taman Wisata Kambang Iwak terdapat sebuah bangunan putih yang tertutupi oleh pepohonan. Bangunan tersebut adalah sebuah gereja tua yang merupakan gereja protestan dengan nama resminya Gereja Siloam. Tahukah Anda bahwa gereja ini merupakan gereja protestan tertua di Kota Palembang. Gereja Siloam ini dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 13 Agustus 1933. Pada awalnya gereja tersebut beranggotakan orang-orang Belanda dan Cina sejumlah 144 orang.



Adapun alasan



pemerintahan Hindia Belanda membangun gereja tersebut saat itu adalah guna memberikan tempat pribadatan baru bagi mereka pendatang dari Jawa. Pendatang dari Jawa sendiri hadir akibat dampak dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menyelenggarakan kolonisasi keluar daerah Jawa yang bermula pada tahun 1905 yang di awali ke daerah Gedong Tataan (1905), Bengkulu/Kepahiang (1909), Metro Lampung (1935), Belitang (1937) dan Lubuk Linggau (1937). Kegiatan kolonisasi ke daerah baru ini secara tidak langsung turut membawa tenaga kerja dan orang-orang dari Jawa datang ke daerah baru tersebut. Kegiatan perpindahan penduduk ini pula yang kelak diterapkan oleh pemerintahan Republik Indonesia guna mengurangi kepadatan penduduk di wilayah Jawa yang memang sudah terkenal sebagai pulau terpadat di dunia, adapun kegiatan tersebut sekarang terkenal dengan nama transmigrasi. BANGUNAN KOLONIAL



Page 13



Kegiatan kolonisasi di daerah baru tersebut terutama di daerah Sumatera diantarnya adalah pembukaan lahan, pembangunan pemukiman (bedeng), pembangunan bendungan/saluran irigasi (Way Sekampung dan Komering), akses jalan, lintas kereta api Tanjungkarang - Palembang - Lubuk Linggau dan sekolah-sekolah. Mengingat besarnya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proyek kolonisasi di daerah baru itulah membuat pemerintah Hindia Belanda banyak mengangkut orang-orang dari Jawa untuk berkerja secara paksa ke sana, tidak terkecuali orang-orang Kompeni yang bermukim di Jawa ikut datang ke daerah koloni baru tersebut. Banyak dari para transmigran dan orang-orang Kompeni dari Jawa yang datang ke daerah koloni baru tersebut merupakan penganut Nasrani dan mereka memerlukan tempat pribadatan baru di tempat koloni baru tersebut untuk beribadah. Oleh sebab itu, pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun banyak tempat pribadatan baru yang salah satunya adalah Gereja Protestan yang kelak namanya adalah Gereja Siloam ini.



BANGUNAN KOLONIAL



Page 14