Belahan Timur Manggarai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BELAHAN TIMUR MANGGARAI



NAMA: MARIA ATNASARI LANGGUR NIM : 1801060048



DAFTAR ISI COVER................................................................................................................i DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii KATA PENGANTAR..............................................................................................................iv BAB 1



SELAYANG PANDANG..........................................................................................1



BAB II



ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN SAINS KIMIA.................................................................................................2



BAB III ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PANGAN........5 BAB IV ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANGPENGOLAHAN BAHAN MAKANAN TRADISIONAL...................................................................9 A. Olahan dari ubi-ubian............................................................................................9 B. Olahan dari jagung...............................................................................................11 C. Olahan untuk sayur-sayuran...............................................................................13 D. Olahan dari beras...............................................................................................15 E. Kuwang...............................................................................................................16 BAB V ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN POKOK DALAM MENGHADAPI PACEKLIK..............................................................................................................17 A. Penyimpanan jagung..........................................................................................17 B. Penyimpanan ubi-ubian.....................................................................................18 BAB VI ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PAMALI DALAM MAKANAN..........................................................................................................19 BAB VII ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG MINUMAN TRADISIONAL...................................................................................................20 A. Proses pembuatan tuak....................................................................................20 B. Proses pembuatan sopi.....................................................................................21 BAB VIII ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BAHAN ALAM UNTUK SANDANG...........................................................................................................22 BAB IX ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG BAHAN ALAM UNTUK AKSESORIS DAN PERHIASAN.........................................................24 A. Daun pandan duri..............................................................................................24



B. Bambu dan rotan................................................................................................26 BAB X



ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG OBAT TRADISIONAL.....................................................................................................28



BAB XI



ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG BAHAN LOKAL UNTUK PAPAN......................................................................................33 A. Mbaru ngaung....................................................................................................33 B. Mbaru gendang..................................................................................................34



DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................38



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan bimbingannya buku dengan judul Belahan Timur Manggarai ini dapat diselesaikan. Melalui buku ini penulis ingin lebih memperkenalkan budaya manggarai yang memiliki begitu banyak kekhasan dan keindahan, masyarakat manggarai telah lahir dan berkembang dari budaya yang diwariskan secara turun-temurun, melalui budaya pula penulis ingin mengenalkan konsep-konsep sains kimia yang diterapkan dalam budaya masyarakat manggarai. budaya merupakan kekayaan daerah yang harus terus diwariskan dan dilestarikan, oleh karena itu dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan bukan menjadi ancaman memudarnya nilai budaya melainkan sebagai wadah melesarikan dan memperkenalkan budaya itu sendiri. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya buku ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas agar lebih mengenal lebih dekat dengan budaya masyarakat manggarai.



Kupang, juni 2019



Penulis



BAB I SELAYANG PANDANG KAMPUNG LEPENG-MANGGARAI TIMUR Di belahan timur manggarai terdapat sebuah kampung kecil yaitu kampung Lepeng. Kampung lepeng terletak di desa satar lahing-Manggarai timur-NTT. Penamaan “Lepeng” bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan setiap menantu yang pertama kali tinggal di kampung lepeng akan mengalami sakit dan kerontokan rambut. namun, jika telah lama tinggal di kampung ini sakit dan kerontokan rambut akan menghilang dengan sedirinya. Suku yang mendiami daerah ini adalah suku Todo. Manggarai memang terkenal cukup subur di NTT, begitu pula di kampung lepeng, meskipun memiliki keadaan tanah yang agak kering karena merupakan daerah panas. Masyarakat maggarai umumnya memiliki rumah adat yang disebut “Mbaru gendang” atau “Mbaru Tembong” yang berbentuk niang atau kerucut. Di dalam satu kampung hanya memiliki satu mbaru gendang yang dikepalai oleh tua adat yang di sebut “Tua Golo”. Hampir semua acara adat biasa dilakukan di mbaru gendang. ada beberapa tarian yang biasanya digunakan pada acara tertentu seperti tarian sae, nundu ndake dan tarian caci yang cukup terkenal. Pada zaman Dahulu masyarakat Lepeng telah mempercayai adanya Tuhan atau “Mori Kraeng” dalam bahasa manggarai, Namun mereka belum mengenal Agama. dahulu masyarakat ini memuja roh nenek moyang (empo atau andung) dan amat hati-hati terhadap gangguan makhluk halus yang disebut golo, ata pelesina, naga, dan lain-lain. Adat merupakan suatu hal yang mereka anggap sakral dan mereka sangat mempercayai. Kini Pada masa sekarang, masyarakat telah mengenal agama. Agama yang dianut masyarakat Lepeng adalah Katolik, meskipun masih ada beberapa tetua disana yang belum beragama karena masih memegang erat kepercayaan pada Roh Nenek moyang. Masyarakat Lepeng banyak bercocok tanam seperti kopi, cengkeh, jagung, sayursayuran, ubi-ubiaan, padi dan kemiri. julukan “kuat minum kopi” sering disematkan pada masyarakat manggarai secara umum, sebab pada umumnya mereka adalah penikmat kopi dan penghasil kopi terbesar di NTT. Masyarakat setempat juga banyak memelihara hewan ternak seperti sapi, kambing, kerbau, ayam dan babi yang biasa di biarkan berkeliaran bebas, mereka juga banyak membuat tuak dan sopi sebagai mata pencaharian mereka. Berbicara soal tempat wisata, Di kampung Lepeng terdapat tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi, yaitu Wae Musur dan Wae Larak. wae musur dan wae larak merupakan dua sungai yang memiliki air yang sangat jernih dan segar serta tidak pernah berhenti mengalir meski di musim kering sekalipun. ke-dua sungai ini di kelilingi oleh pepohonan dan bukit-bukit kecil, sehingga tampak begitu asri dan mempesona. Ada juga wae tompok (sungai tompok), namun sungai ini tidak mengalir pada saat musim kering dan airnya berwarna agak putih seperti susu. Wae larak dan wae tompok merupakan sungai yang jaraknya paling dekat dengan perumahan masyarakat karena itulah, masyarakat menjadikan ke-2 sungai ini sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.



BAB II ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN SAINS KIMIA



Pendidikan, baik formal maupun nonformal dan informal, merupakan media yang tepat untuk mewariskan nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Melalui Kurikulum 2013, lembaga pendidikan berkesempatan mengembangkan muatan lokal untuk kemudian diintegrasikan pula di dalam sains kimia. Konsep sains kimia memang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari, begitu pula dalam budaya masyarakat lepeng. melalui budaya masyarakat lepeng ini dapat pula lebih mengenal konsep-konsep kimia yang diterapkan. 1. Ca kilo (Atom) Ca kilo atau satu keluarga (ayah,ibu dan anak-anak) di dalam kekerabatan masyarakat manggarai merupakan keluarga inti atau keluarga paling kecil dari kekerabatan tersebut, hal ini tentunya sangat relevan dengan atom yakni satuan terkecil yang dapat diuraikan dari satu unsur dan masih mempertahankan sifatnya, terbentuk dari inti yang rapat dan bermuatan positif dikelilingi oleh suatu sistem elektron. di dalam ca kilo cinta dan kasih sayang merupakan sistem elektron yang mengelilingi dan menjaga persatuan di dalam satu keluarga kecil tersebut. dengan banyaknya ca kilo maka akan membangun kekerabatan yang lebih besar lagi (molekul). molekul itu sendiri jika di dalam konsep kimia dibentuk dari dua atau lebih jenis atom. 2. Ata One dan Ata Peang (Oksidasi dan Reduksi) Di dalam adat manggarai pada saat seorang bayi baru di lahirkan maka kerabat akan menanyakan apakah anak tersebut “ata one” (orang di dalam) atau “ata peang” (orang di luar). Istilah “ata one” mengartikan bahwa anak tersebut adalah laki-laki dan “ata peang” berarti anak tersebut adalah anak perempuan, pemberian penyebutan tersebut bukan tanpa alasan, karena adat manggarai menggunakan garis keturunan patrilinear (mengikuti keturunan laki-laki atau ayah), jadi anak laki-lakilah yang menjadi penerus keturunan keluarganya sedangkan anak perempuan ketika telah menikah akan dilepas mengikuti keturunan suaminya maka ia akan menjadi ata peang. Hal ini tentu relevan dengan konsep oksidasi dan reduksi, dimana oksidasi adalah menerima oksigen sedangkan reduksi itu sendiri adalah melepaskan oksigen. Ata one sebagai oksidasi dimana ia diterima sebagai pewaris keturunan dari keluarganya dan ia akan tetap tinggal di dalam kampung dan menjadi anggota/pemimpin sukunya (wa’u) sedangkan ata



peang adalah reduksi dimana ia akan dilepas oleh keluarganya dan mengikuti keturunan atau suku dari suaminya.



3. Cear Cumpe (Tata nama ilmiah) Cear cumpe adalah sebuah acara adat untuk memberi nama pada anak yang baru lahir, cear cumpe relevan dengan tata cara pemberian nama pada senyawa organik dan anorganik. Perbedaan pemberian nama antara kebiasaan orang manggarai dengan aturan ilmiah yakni pemberian nama orang manggarai biasanya nama di bagian belakangnya mengikuti nama dari ayah, namun ada juga yang menggunakan nama dari ibu atau mengikuti nama dari kakek atau neneknya sedangkan secara ilmiah setiap zat (unsur dan senyawa) harus memiliki satu nama tertentu. Tidak mungkin zat yang berbeda-beda memiliki nama sama. 4. Pernikahan adat manggarai ( Ikatan kimia ) Pernikahan dalam adat manggarai memiliki tujuan yakni untuk mendapatkan keturunan dan membangun ikatan atau hubungan yang baru atau mempererat hubungan kedua keluarga dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. pernikahan yang terjadi haruslah di dasarkan pada cinta (gaya tarik menarik) dari suami dan istri. Dalam adat istiadat manggarai, untuk membangun ikatan pernikahan laki-laki harus berani atasi resiko dan tantangan alam sekalipun, seperti disinyalir dalam bahasa adat; banjir tak dihiraukan (wae wa’a toe lelo), kegelapan malam tidak dikira (wie nendep toe kira), atau bahkan hujan pembawa penyakit tak dihiraukan (usang mela toe kira). Tahapan dalam perkawinan manggarai seperti



acara “Pongo” memiliki tujuan yakni meresmikan



pertunangan dan agar hubungan ke-dua calon mempelai akan lebih dikukuhkan dan diikat sebelum ke jenjang yang lebih serius. selanjutnya barulah dilanjutkan dengan acara peresmian pernikahan (peresmian ada tiga tahap yaitu “pumpuk ulu-rami wai” atau “tu’us wa-cangkem ita”, “umber” dan “wagal” atau “Nempung” ) dan tahap terakhir adalah acara “Podo” yakni mengantar si istri ke kampung suaminya. Upacara pernikahan adat istiadat manggarai ini relavan dengan konsep ikatan kimia. Reaksi kimia terjadi melalui pemutusan ikatan lama dan pembentukan ikatan baru sehingga terbentuk zat yang lebih stabil. Ikatan kimia terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara partikel (atom,ion maupun molekul) lain.



5. Barong wae Wae atau air (H2O) merupakan sumber kehidupan, mulai dengan memasak, mandi, mencuci, bercocok tanam, untuk ternak dan dalam acara adat wae memiliki peran yang sangat penting. Dalam acara adat manggarai dikenal upacara “barong wae” yaitu upacara mengundang roh-roh yang menjaga dan melindungi mata air untuk bersama-sama mengikuti perayaan congko lokap (peresmian rumah adat yang telah selesai di buat) dan sebagai ucapan syukur atas kesediaan mereka menjaga dan melindungi mata air, sumber kehidupan masyarakat di kampung tersebut.



BAB III ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PANGAN Pangan adalah makanan yang diperlukan untuk tubuh agar energinya tetap terjaga dan bisa beraktivitas dengan normal. Dengan keadaan tanah di lepeng-manggarai timur yang tergolong subur sangat memungkinkan banyaknya hasil pertanian yang dihasilkan, seperti ubi-ubian, sayur-sayuran, biji-bijian, dan buah-buahan yang sangat khas di lepeng-manggarai. Hasil pertanian tersebut kemudian diolah secara tradisional menjadi makanan khas manggarai yang tak boleh dilewatkan. 1. Saung Ndusuk



Saung Ndusuk merupakan dedaunan yang tumbuh liar di manggarai. Daun ini dijadikan sayur oleh masyarakat lepeng, biasanya saung ndusuk dicampurkan dengan nuru wusak atau lemak daging. Dalam setiap acara adat dan acara besar seperti pesta, Saung ndusuk tidak pernah terlewatkan. 2. Saung tete manggarai (daun ubi jalar)



Bukan hanya ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, daun dari ubi jalar atau saung tete dalam bahasa manggarai juga dapat dimanfaatkan. Daun ubi jalar di manfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai salah satu bahan dalam pembuatan ute kut (sayur kut). 3. Londek Saung Kopi ( daun kopi yang masih muda)



Oleh masyarakat lepeng tanaman kopi bukan hanya buahnya saja yang dapat di manfaatkan, namun daun kopi terutama yang masih muda (londek saung kopi) juga dapat dimanfaatkan. daun ini biasa diolah dengan unik oleh masyarakat setempat, yakni diolah menjadi ute kut (sayur kut) sama seperti saung tete manggarai (daun ubi jalar). 4. Saung kenti



Saung kenti merupakan jenis dedaunan yang tumbuh liar di hutan, sejak dahulu masyarakat setempat memanfaatkan saung kenti sebagai bahan dalam membuat sayur lomak. Yakni biasa dibuat dengan kemiri di goreng tanpa menggunakan minyak.



5. Tete Raut (Ubi Ondo)



Tete raut atau ubi ondo biasa tumbuh liar di hutan, ubi ini sangatlah beracun oleh karena itu dalam pengolahannya harus hati-hati jika tidak maka racunnya akan tetap ada dan berbahaya bagi kesehatan. dahulu tete raut biasa di konsumsi oleh masyarakat manggarai ketika mereka kehabisan makanan. 6. Saung Kesambi Saung kesambi atau daun kesambi merupakan jenis dedaunan yang di jadikan ute (sayur) oleh masyarakat setempat. sayur daun kesambi memiliki rasa yang khas ketika di masak dan lebih nikmat jika dicampurkan dengan daging dan lemak babi.



7. Saung Bendes dan Saung Kowok



(saung Bendes)



(saung Kowok)



Saung bendes dan saung kowok adalah jenis dedaunan yang sering dianggap sebagai rumput pengganggu oleh masyarakat di luar manggarai, namun di kampung lepeng sayur ini dimanfaatkan sebagai sayur dengan rasa yang cukup enak dan baik untuk kesehatan, sama seperti saung kenti, saung bendes dan saung kowok juga dibuat lomak. Sayur ini di anggap baik untuk kesehatan.



BAB IV ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PENGOLAHAN BAHAN MAKANAN TRADISIONAL Di zaman sekarang



dengan adanya perkembangan



IPTEK



pengolahan bahan



makanan jauh lebih mudah, cepat dan banyak variasinya, berbeda dengan zaman dahulu lebih sederhana dan tradisional, Pengolahan makanan tradisional inilah yang kini menjadi warisan budaya yang patut untuk dijaga dan dilestarikan. Begitu pula di manggarai Masyarakat manggarai cukup banyak mengolah berbagai macam bahan makanan baik dari ubi-ubian, jagung, dan sebagainya. A. Olahan dari ubi-ubian 1. Tete Koil atau Tete Kilu Tete Koil merupakan olahan dari ubi singkong. Biasanya di nikmati pada saat musim hujan dan ditemani kopi. Berikut ini cara membuat Tete Koil; 1. Langkah pertama Ubi singkong dikupas dari kulitnya kemudian diiris dengan bentuk bulat 2. Langkah selanjutnya, ubi singkong dijemur di bawah panas matahari hingga kering, lama penjemuran sangat bergantung pada matahari 3. Selanjutnya ubi singkong yang telah di jemur dibersihkan dan di kukus menggunakan dandang hingga matang 4. Setelah matang Tete koil yang telah jadi di sajikan pada piring atau wadah lainnya dan siap untuk di hidangkan dengan di temani kopi pahit sesuai selera.



2. Tete raut ( Ubi Ondo) Pada Zaman dahulu ketika kehabisan makanan pokok , biasanya masyarakat manggarai membuat tete raut atau ubi ondo, Dalam membuat tete raut ini sendiri haruslah berhati-hati karena ubi ini beracun jika salah di olah. Berikut ini cara membuat olahan tete raut; 1. Langkah pertama mengupas kulit tete raut lalu diiris tipis-tipis



2. Langkah selanjutnya merendam tete raut yang telah diiris di dalam air mengalir selama 3 hari, tujuannya adalah untuk menghilangkan racun yang terdapat pada tete raut. 3. Setelah di rendam selama 3 hari, langkah selanjutnya tete raut di jemur di bawah sinar matahari hingga kering. 4. selanjutnya, tete raut yang telah mengering di rebus hingga matang. Kemudian di sajikan di piring atau wadah lainnya dan siap untuk dinikmati. 3. Tete Daeng (Singkong kukus manis)



Ubi singkong atau Tete Daeng dalam bahasa Manggarai merupakan salah satu pangan lokal yang dihasilkan dan dikonsumsi oleh masyarakat setempat baik diolah maupun tidak. Tete daeng sering dibuat dengan di panggang di atas api atau dikukus. Alat yang digunakan yaitu tempat mencampur adonan, loyang plastik dan dandang untuk mengukus. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu Tete Daeng (Singkong) yang diparut acar, gula merah, parutan 1 butir kelapa dan mentega. berikut ini proses pembuatan Tete daeng kukus; 1. Langkah pertama mencampur secara merata semua bahan dalam tempat yang telah disiapkan 2. Langkah selanjutnya memasukan bahan yang telah tercampur rata dalam loyang plastik 3. Kukus dalam dandang dengan air mendidih selama 30 menit 4. Angkat dan sajikan saat hangat sembari minum kopi pahit atau minuman lain sesuai selera



B. Olahan dari Jagung 1. Sombu Sombu merupakan kue khas manggarai yang dikukus menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Sombu sering dibuat oleh orangtua zaman dahulu karena sombu memiliki rasa yang sangat enak dan khas dengan tekstur yang agak lembut. Namun sayangnya Sombu tak banyak diketahui oleh generasi zaman sekarang, Bahkan telah jarang masyarakat membuat sombu ini, karena kurang adanya kepedulian akan warisan budaya yang seharusnya terus dilestarikan. Bahan utama yang digunakan adalah tepung jagung sedangkan alat yang digunakan adalah lewing tanah (periuk tanah) dan betong (bambu) dengan panjang sekitar 15 cm. Proses pembuatannyapun sangat sederhana, berikut ini cara membuat sombu; 1. Langkah pertama membuat adonan dengan cara mencampurkan tepung jagung dengan air secukupnya lalu diramas-ramas 2. Langkah Selanjutnya adalah mengukus adonan, untuk mengukus adonan menyiapkan bambu dengan panjang 15 cm, dibagian bawah bambu sedikit diberi lubang kemudian meletakkan adonan ke dalam bambu hingga penuh, adapun tujuan diberi lubang kecil pada bambu yakni agar asap dan panas bisa masuk melalui lubang tersebut pada saat adonan di masak 3. Setalah itu bambu yang telah diisi adonan dimasukkan kedalam periuk tanah lalu diletakkan di atas tungku api 4. Setelah matang, langkah selanjutnya bambu diangkat dari tungku kemudian dibelah secara hati-hati agar sombu yang telah jadi tidak hancur 5. Sombu yang telah jadi kemudian dipotong kecil-kecil menggunakan benang atau serat ijuk, sehingga sombu yang terbentuk adalah bulat seperti roti. sajikan sombu saat hangat sembari minum kopi pahit atau kopi mecik (kopi manis) sesuai selera. 2. Bombo Bombo berbahan dasar Latung (Jagung) yang diolah menyerupai sup atau kuah. Berikut ini cara membuat bombo; 1. Langkah pertama dalam pembuatan Bombo adalah memisahkan jagung dari tongkol jagung 2. Langkah selanjutnya, jagung dimasukkan ke dalam periuk kemudian di tambahkan air secukupnya hingga seluruh jagung tertutup air



3. berikutnya jagung dimasak hingga matang, dan bisa menambahkan garam atau tidak sama sekali sesuai selera. bombo yang telah jadi dapat dihidangkan selagi panas agar lebih nikmat.



3. Rebok



Istilah “Imus rebok”



atau “Senyum Rebok” merupakan istilah yang di



sebutkan pada saat memakan rebok, dimana ketika mulut penuh dengan rebok maka kita hanya bisa imus (tersenyum) sebab jika kita berbicara apalagi tertawa, maka rebok akan muncrat dari mulut sebab rebok berasal dari tepung jagung yang sudah sangat halus. Berikut ini cara membuat rebok; 1. Langkah pertama, jagung di tumbuk hingga menjadi tepung jagung yang halus 2. Langkah selanjutnya, tepung jagung di cero (goreng) tanpa minyak hingga matang 3.



Setelah matang rebok dapat di sajikan dengan ditambahkan gula merah yang telah di haluskan agar lebih manis.



C. Olahan untuk sayur-sayuran 1. Darang



Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dorang yaitu jantung pisang atau posok dalam bahasa manggarai, kelapa yang telah di parut, kemiri, cabai, garam dan penyedap rasa, serta darah dan daging dari hewan yang telah disembelih. Berikut ini cara membuat darang; 1. Langkah pertama Darah dan daging hewan yang disembelih dimasak hingga matang 2. Langkah selanjutnya, daging dicincang hingga menjadi halus lalu dicampurkan dengan jantung pisang yang juga sudah dimatangkan dan kelapa parut (bumbu khas yang sering digunakan) ditambah dengan bumbu dapur lainnya seperti bawang merah (dulunya tidak menggunakan bawang, karena bumbu ini tidak tumbuh semabarangan di hutan. Setelah mengenal bawang barulah bumbu ini ditambahkan), kemiri, cabai, garam, dan penyedap rasa 3. Setelah itu, semua bahan diaduk hingga merata kemudian ditumis hingga Darang matang dengan sempurna. Selanjutnya Darang siap untuk disajikan. Dulunya darang hanya disajikan sebagai makanan sukacita (rasa syukur) atas hasil buruan dan hanya dinikmati oleh keluarga si pemburu. Seiring berjalannya waktu, cara penyajian darang berubah, dari yang biasanya dalam lingkup kecil (keluarga) menjadi menu untuk acara-acara umum yang mengharuskan penyembelihan hewan-hewan yang tersebut diatas seperti penyambutan tahun baru, peresmian rumah adat, ucapan syukur



atas hasil panen, pembukaan lahan kebun baru, perkawinan, dan upacara kematian ( menggunakan daging babi atau anjing). 2. Ute Saung Ndusuk (Sayur Daun Ndusuk) Saung Ndusuk merupakan jenis daun yang biasa tumbuh liar di manggarai. Saung ndusuk di jadikan sayur yang selalu dinikmati pada saat acara adat atau harihari besar orang manggarai. Saung ndusuk biasa dicampurkan dengan nuru wusak atau daging dan lemak dari binantang yang telah disembelih (biasanya adalah daging babi). berikut cara membuat ute saung ndusuk; 1. Langkah Pertama saung ndusuk di pisahkan dari batangnya lalu di cuci bersih 2. selanjutnya Lemak dan daging babi dimasak setengah matang 3. setelah daging telah di masak setengah masak, langkah selanjutnya masukkan saung ndusuk dan dimasak hingga matang. sayur saung ndusuk siap untuk di hidangkan 3. Ute kut (sayur kut) Ute kut atau sayur kut merupakan sayur khas manggarai, ute kut dapat dibuat dari saung tete manggarai (daun ubi jalar) atau dari londek saung kopi (daun kopi yang masih muda) biasa di campur dengan tete daeng. Makanan ini sangat enak dan mempunyai struktur yang sangat lembut. Berikut ini cara membuat ute kut; 1. Pertama-tama menyiapkan ubi kladi dan ubi singkong yang telah dibersihkan kemudian diiris bulat-bulat dengan ukuran yang tidak terlalu besar 2. selanjutnya, ubi yang telah diiris di masukkan pada periuk yang telah berisi air lalu dimasak hingga setengah matang 3.



setelah ubi di masak setengah matang, masukkan daun ubi jalar bisa juga menggunakan daun kopi yang masih muda dan menambahkan penyedap rasa seperti garam dan dimasak hingga matang selanjutnya Ute kut siap untuk dihidangkan.



4. Ute Saung Kesambi (sayur daun Kesambi) Ute saung Kesambi atau sayur daun Kesambi merupakan jenis sayuran yang jika di masak akan terasa seperti makan pisang mentah atau “pesar” dalam bahasa manggarai,



sayur ini lebih nikmat apabila di campurkan dengan nuru wusak (lemak daging). Proses pembuatannya juga sama dengan sayur saung ndusuk. 5. Ute Lomak (Saung Bendes, Saung Kowok dan Saung Kenti) Untuk pembuatan ute lomak bisa menggunakan ketiga jenis dedaunan seperti saung bendes, saung kowok atau saung kenti . bisa juga hanya menggunakan beberapa dari ketiga jenis daun ini, bahan lainnya yang dibutuhkan adalah kemiri yang telah di kupas kulitnya dan di haluskan. Berikut ini cara membuat ute lomak dari jenis dedaunan ini; 1. Langkah pertama adalah memisahkan daun dari batangnya lalu di bersihkan 2. Langkah berikutnya daun-daun tersebut di rebus hingga setengah matang lalu diangkat dan ditiriskan 3. Setelah itu, kemiri yang telah di haluskan di goreng tanpa minyak, kemudian masukkan daun-daun tadi dan digoreng bersama kemiri tersebut hingga matang, bisa menambahkan penyedap rasa seperti garam sesuai selera. Ute lomak siap untuk disajikan. D. Olahan dari beras Olahan berbahan dasar beras yaitu Kolo, masyarakat manggarai biasanya membuat Kolo pada saat setelah panen sebagai syukuran atas hasil panen. Proses pembuatan Kolo sangat unik karena tidak di masak menggunakan periuk atau tacu melainkan menggunakan batang bambu yang beruas. Berikut ini cara membuat Kolo; 1.



Langkah pertama, menyediakan bambu dengan ukuran



sekitar 30-50 cm,



sebagai alas bambu di bagian dalam digunakan pucuk daun enau 2. Langkah selanjutnya beras yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam bambu lalu ditambahkan air secukupnya 3. Bambu kemudian di panggang diatas api hingga nasi di dalam bambu matang dengan sempurna 4. Kolo yang telah jadi selanjutnya siap untuk di hidangkan, dengan cara membelah bambu tersebut dan disajikan pada piring atau wadah lainnya.



E. Kuwang Di dalam pohon enau atau tuak terdapat bagian yang berwarna putih dan sedikit mengeras, bagian inilah yang dimanfaatkan sebagi bahan utama dalam pembuatan Kuwang oleh masyarakat manggarai. Rasa dari Kuwang ini sendiri sangat enak karena rasanya yang manis. Berikut ini cara membuat Kuwang; 1. Pertama-tama bahan yang telah disediakan diiris kemudian di tumbuk hingga menjadi tepung 2. Setelah itu, tepung yang telah jadi dicampur dengan air lalu di saring sehingga yang tersisa adalah adonan yang benar-benar halus. 3.



Adonan



yang telah jadi kemudian dimasak di bara api



dengan dialas



menggunakan Rewek (kuali dari tanah) tanpa menggunakan minyak 4. Tunggu beberapa menit hingga kuwang matang dengan sempurna. Selanjutnya Kuwang dapat dihidangkan, kuwang paling enak hangat.



jika dinikmati saat masih



BAB V ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN POKOK DALAM MENGHADAPI PACEKLIK Paceklik adalah masa dimana terjadinya kekurangan bahan makanan baik itu akibat kekeringan maupun gagal panen. Masa paceklik ini merupakan masa sulit yang tidak bisa dipungkiri akan terjadi terlebih pada saat musim kering, oleh karena itu Penyimpanan bahan makanan pokok sangat penting dalam menghadapi masa sulit tersebut. Untuk menghadapi masa paceklik, masyarakat lepeng memiliki cara sendiri dalam menyimpan bahan makanannya. sehingga mereka masih dapat memenuhi kebutuhannya selama masa paceklik tersebut. Berikut ini penyimpanan jenis-jenis makanan pokok masyarakat lepeng. A. Penyimpanan Jagung



Dalam mempersiapkan diri menghadapi masa paceklik, biasanya masyarakat lepeng membiarkan jagung (latung) beserta kulitnya diikat dan digantungkan di atas “leba” yakni semacam tenda yang tidak terlalu tinggi tempat meletakkan kayu bakar sedangkan di bagian bawahnya adalah tungku api, sehingga asap api dapat mengenai jagung yang digantung disana, jadi jagung bisa awet dan dapat memenuhi kebutuhan makanan pada masa paceklik nantinya. sebagian jagung tersebut juga disisahkan untuk menanam jagung kembali.



B. Ubi-ubian



Untuk penyimpanan berbagai jenis ubi-ubian seperti tete daeng (ubi singkong) tete manggarai (ubi jalar) dan berbagai jenis ubi lainnya, biasanya masyarakat setempat membuat ubi tersebut menjadi tete koil (ubi koil) yakni dengan cara ubi-ubi tersebut dipisahkan dari kulitnya kemudian di iris berbentuk bulat lalu di keringkan dengan cara di jemur di bawah cahaya matahari, sehingga kadar air dalam ubi bisa berkurang dan memperlambat proses pembusukan, jadi ubi dapat lebih tahan lama bila di simpan meski dalam jangka waktu yang lama. ketika menghadapi masa paceklik, ubi tersebut bisa di masak dengan cara dikukus.



BAB VI ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG PAMALI DALAM MAKANAN “Pamali” yang dalam bahasa manggarainya disebut ”Ceki" atau ”Ireng” pada dasarnya adalah larangan adat mengenai sesuatu yang tak boleh dikerjakan atau di perbuat. Istilah Pamali ini tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat manggarai, kepercayaan ini dianggap perlu untuk di taati karena dipercaya akan menyembabkan dampak buruk jika dilanggar. Pamali telah menjadi suatu kebiasaan yang turun temurun dari generai ke generasi. Oleh karena itu hingga kini pamali menjadi suatu hal yang terus dipercaya oleh masyarakat setempat. berikut ini pamali-pamali yang dipercaya oleh masyarakat lepeng;



1. Pamali makan daging tikus untuk anak sulung laki-laki Masyarakat lepeng mempercayai bahwa dahulu Tuhan atau mori kraeng mengirim bibit padi dan jagung lewat perantara tikus atau “lawo” dalam bahasa manggarai. Oleh karena bantuan para tikuslah hingga kini mereka dapat menikmati nasi dan jagung, semenjak itu nenek moyang berjanji bahwa anak sulung laki-laki dari keturunan mereka tidak akan makan daging tikus, karena anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan. Oleh sebab itu, setiap anak sulung laki-laki dalam suatu keluarga dilarang memakan daging tikus, dipercaya bahwa jika melanggar maka dapat meyebabkan orang tersebut menjadi gila Sedangkan untuk anak sulung perempuan tidak dilarang untuk memakan daging tikus. 2. Pamali makan daging landak dan luwak Menurut sejarah, Dahulu ketika terjadi perang di minangkabau, nenek moyang orang maggarai lari dan bersembunyi di sebuah gua, disanalah ia bertemu dengan rutung (landak) dan beku (Luwak). Dahulu nenek moyang bisa mengerti bahasa binatang sehingga ia bisa berbicara dengan ke-dua hewan tersebut. Landak dan Luwak memberi tahunya tempat yang lebih aman dan damai, maka mereka pergi melalui sebuah lubang bawah tanah menuju tempat tersebut, sang Landak menuntun jalan sedangkan Luwak dibelakangnya. Ia akhirnya dapat tiba di Lale lombong-manggarai barat dengan selamat. disanalah nenek moyang mulai membangun kehidupan baru di tanah manggarai. Sejak saat itu pula ia berjanji bahwa ia dan segenap keturunannya tidak akan mengganggu dan memakan keturunan landak dan luwak. Dipercaya jika melanggar akan menyebabkan penyakit kulit dan gangguan mental. Namun jika anak perempuan dari keturunan tersebut telah menikah dengan suku lain maka pamali tersebut tidak berlaku lagi baginya, karena dia telah menjadi bagian dari keturunan keluarga suaminya bukan orangtuanya lagi.



BAB VII ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG MINUMAN TRADISIONAL



Minuman keras sudah menjadi budaya bagi masyarakat Manggarai. minuman ini disebut “Tuak” dan “Sopi”. tuak dan sopi digunakan untuk menyambut kedatangan tamu, selain itu juga untuk upacara adat, pesta, dan kegiatan resmi lainnya. Rasanya acara tidak lengkap jika tidak disuguhi tuak maupun sopi. sopi adalah minuman beralkohol yang dihasilkan dari perebusan tuak. tuak itu sendiri dihasilkan dari nira pohon aren yang difermentasikan. nira aren adalah cairan manis yang diperolah dari batang bunga aren. proses untuk mendapatkan nira aren adalah dengan memotong bunga mayang pohon aren, namun ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar bunga mayang dari pohon aren tersebut bisa mengeluarkan nira. nira dari aren mengandung gula cairan ini kemudian di olah menjadi tuak dan sopi. A. Proses Pembuatan Tuak (Pante Tuak) 1). Hal pertama yang dilakukan yaitu Penyadapan nira aren, proses pengambilan nira aren adalah dengan memukul-mukul batang dari mayang nira, hal ini dilakukan agar nantinya mayang yang dipotong bisa mengeluarkan nira dan batangnya tidak terlalu keras bila diiris. Hal ini dilakukan sedikitnya 5 kali dalam kurun waktu 3 minggu. 2). Memotong tandan mayang yang sudah dipukul-pukul beberapa kali, lalu dipotong pada ujung bunganya dan menyisakan pangkal yang nantinya akan disadap untuk menghasilkan nira. setelah dipotong biasanya aren dibiarkan selama semalam dan barulah keesokan harinya jika potongan terlihat basah dan mengeluarkan cairan, berarti bisa dilakukan penyadapan secara langsung, namun bila ditunggu sampai 2 hari pokok dari bunga mayang yang dipotong belum juga mengeluarkan cairan berarti gagal dan tidak perlu dilanjudkan penyadapan. 3). Seperti dijelaskan pada point 2, bila tandan mayang yang dipotong mengeluarkan cairan berarti proses penyadapan bis dilanjudkan. Proses penyadapan nira aren dilakukan setiap pagi dan sore hari. Hal itu dilakukan dengan cara mengiris tangkai bunga mayang sedikit demi sedikit, setelah diiris cairan yang keluar dari tangkai mayang akan ditampung menggunakan bamboo yang panjangnya sekitar 3 ruas bamboo. 4). Setiap pohon aren mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, ada yang bisa disadap sampai 5 bulan namun ada juuga yang hanya bisa disadap sampai 2 bulan saja.Dan hasil tiap-tiap pohon pun berbeda-beda, ada yang bisa mengeluarkan nira yang sangat banyak namu begita juga sebaliknya.Setelah nira dikumpulkan pada pagi dan sore hari barulah dilakukan pengelolahan nira dengan cara direbus sampai mendidih agar bisa dikonsumsi.



B. Proses Pembuatan Sopi Setelah proses pembuatan tuak selesai, barulah dapat melakukan proses pembuatan sopi. proses pembuatan sopi bisa dibilang sederhana karena tidak memerlukan bahan-bahan yang memiliki kualitas teknologi yang tinggi. Bahan yang dibutuhkan adalah tuak (nira), wadah untuk merebus nira (biasanya digunakan derom bekas), bambu pendek yang sudah dikeluarkan batas antar rongganya (maksimal panjangnya 1 meter), 2 bambu panjang yang sudah dikeluarkan batas antar rongganya dan sudah dihubungkan, dan 1 wadah kecil untuk menampung sopi. Berikut ini proses pembuatan sopi: 1. Air hasil sadapan pohon aren (tuak) ditampung dalam sebuah wadah (derom bekas), usahakan wadah tersebut tidak berlubang pada bagian bawah dan sampingnya agar tuak tidak bocor saat direbus. 2. Setelah wadah tersebut penuh, sebelum direbus tutup rapat bagian atas wadah dan hanya membiarkan satu lubang untuk bisa disambung dengan bambu pendek. Posisikan bambu pendek tersebut vertikal, lalu sambungkan ujung atas bambu pendek tersebut dengan dua buah bambu panjang yang sudah dihubungkan, posisikan bambu panjang tersebut secara horisontal tetapi usahakan ujung bambu yang terhubung dengan bambu lebih tinggi dari ujung yang lainnya dan simpan wadah kecil pada ujung bambu yang lain untuk menada tetesan sopi atau moke. 3. Setelah selesai baru dilakukan proses perebusan. Uap yang dihasilkan dari perebusan tuak (nira) akan keluar melalui lubang bambu pendek yang dihubungkan pada wadah perebusan kemudian terus keluar melewati bambu panjang yang dihubungkan pada bambu pendek tadi.Karena bambu yang terlalu panjang, maka uap tersebut tdak akan keluar dalam wujud uap tetapi telah berubah menjadi tetesan-tetesan air saat melewati bambu panjang. Dan tetesan-tetesan air tersebut akan terus mengalir dalam bambu panjang dan akhirnya jatuh pada tempat penada pada ujung bambu panjang dan itu lah sopi. Proses perebusannya bisa memakan waktu hingga satu hari. Sopi atau moke yang berkualitas sedang biasanya hanya diuapkan satu kali saja, sedangkan sopi yang berkualitas bagus biasanya diuapkan dua kali yaitu sopi hasil uapan pertama direbus lagi kemudian menghasilkan sopi lagi. Sopi atau moke hasil uapan pertama kadar alkoholnya lebih rendah dibandingkan dengan sopi atau moke yang diuapkan dua kali.



BAB VIII ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG BAHAN ALAM UNTUK SANDANG



Sandang adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari. Mulai dari baju, celana, jaket dan lainnya. Pakaian sangatlah penting untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin, Serta menghindarkan kulit dari kontak langsung dengan debu dan kotoran. Di zaman sekarang yang serba mudah dapat ditemukan berbagai macam jenis pakaian baik yang dibuat secara manual maupun menggunakan mesin yang canggih. Hal ini sangat berbeda dengan zaman dahulu, di manggarai sendiri pakaian yang dihasilkan berasal dari bahan-bahan alam yang dibuat dengan peralatan yang sangat sederhana. 1. Loke haju lale (kulit kayu lale) Pada zaman dahulu ketika belum ditemukannya pakaian seperti sekarang, orang manggarai menggunakan Loke haju lale yang dibuat menyerupai sarung yang digunakan untuk menutupi badan. dahulu sebelum di sebut “manggarai”, tanah manggarai disebut “Nuca Lale” karena masyarakat di dalamnya memakai loke haju lale sebagai pakaian mereka. 2. Re’a (Daun Pandan Duri) Re’a tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam membuat berbagai kerajinan tangan seperti loce (tikar) dan roka, pada zaman dahulu masyarakat manggarai memanfaatkan re’a sebagai pakaian yang menyerupai celana atau rok dengan cara dianyam. 3. Kain songke manggarai



Kain songke manggarai dibuat dengan cara ditenun menggunakan alat tenun yang sederhana. Adapun benang yang di gunakan berasal dari pohon kapas yang diolah menjadi benang. Dalam setiap acara adat semua masyarakat wajib menggunakan kain songke. Kain songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan



bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri.  Motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.  Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya.  Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, atau doa porong langkas haeng ntala, yang artinya supaya senantiasa tinggi sampai bintang.Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.  Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.Sarung dari Manggarai yang lazim disebut Songket mengandung banyak makna dari motif-motif yang ada seperti: Motif Bunga, dalam bahasa Manggarai  Motif Laba-laba/ Ranggang, Bersimbol kejujuran dan kerja keras, Dan menegaskan ketertautan antara rumah dan kebun/ Gendang one agu lingko pe'ang. struktur atap rumah menyerupai jaring laba-laba, demikianpun pembagian tanah untuk perkebunan juga menyerupai sarang laba-laba. simbol ini memberi makna bahwa orang manggarai selalu menjaga kesatuan antara rumah tempat berteduh dengan kebun/ladang/sawah tempat mendapatkan nafkah.Hal ini juga mengedepankan peran perhitungan (matematis) nenek moyang orang Manggarai yang sudah berkembang sejak zaman dahulu kala.



BAB IX ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG BAHAN ALAM UNTUK AKSESORIS DAN PERHIASAN Aksesoris dan perhiasan merupakan suatu hal yang penting sebagai pelengkap dan hiasan dalam kehidupan masyarakat baik untuk acara adat maupun untuk kebutuhan lainnya. Aksesori dan perhiasan yang dibuat oleh masyarakat manggarai dibuat dari bahan alam yang kemudian diolah dan dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan. A. Daun pandan duri



Masyarakat lepeng banyak membuat kerajinan dari daun pandan duri yang sering di jadikan sebagi asesoris dan perlengkapan dalam kehidupan mereka sehari-hari, seperti berikut ini; 1. Tange



Tange yakni kerajinan tangan yang meyerupai bantal. Tange di buat dari anyaman daun pandan duri dan diisi dengan kapuk agar empuk. Masyarakat setempat tidak menggunakan tange sebagai alas tidur, melainkan sebagai aksesoris dalam acara adat yakni sebagai meja saat mereka duduk bersila membentuk sebuah lingkaran, biasanya pada tange tersebut diletakkan daun sirih, uang, dan makanan untuk persembahan. Terkadang dalam acara adat tange juga dijadikan sebagai alas duduk. 2. Kepe Kepe menyerupai dompet yang sangat unik dibuat dari anyaman daun pandan duri. Kepe digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga yang berukuran kecil dan uang. Di zaman sekarang tak banyak yang tahu kerajinan ini dan bahkan kerajinan kepe ini telah punah, karena kurangnya kesadaran generasi sekarang untuk menjaga dan melestarikan warisan budayanya.



3. Loce



Loce atau tikar adalah hasil anyaman dari daun pandan duri. Loce dijadikan sebagai alas duduk maupun alas tidur masyarakat setempat. Proses pembuatan loce sangatlah sederhana yakni dengan mengeluarkan duri pada daun pandan duri atau “rea” dalam bahasa manggarai, kemudian di buat lembek dengan cara di tarik menggunakan sebatang kayu pipih lalu di masak hingga berwarna agak cokelat, bisa juga menambahkan pewarna alami atau buatan. Barulah kemudian di jemur hingga kering, selanjutnya dianyam dengan pola dan variasi yang diinginkan



4. Mbere



Mbere atau tas adalah kerajinan tangan yang dihasilkan dari anyaman daun pandan duri. Ukuran dari mbere ini sendiri tidak terlalu besar dan tidak memiliki tali seperti tas zaman sekarang. Biasanya mbere digunakan untuk menyimpan cepa atau sirih dan rebok.



B. Bambu dan rotan Bambu dan Rotan memiliki kualitas yang sangat baik sebab tidak membusuk dan kuat, karena itulah masyarakat setempat banyak pula yang membuat kerajinan dari bahan ini. 1. Roka atau Roto



Roka atau Roto menyerupai bakul yang juga dibuat dari anyaman kulit bambu muda atau biasanya menggunakan haju woli (kayu woli). Masyarakat setempat selalu mebawa roka saat ke ladang atau “ngo duat” dalam bahasa manggarai. roka digunakan untuk membawa hasil bertani seperti ubi, jagung, kopi, sayur dan sebagainya. Dengan bentuk roka yang menyerupai tabung, di kedua sisi bagian atasnya diberi tali dan dibawa dengan cara talinya diletakkan di atas kepala. Roka di bentuk dengan berbagai ukuran mulai dari yang kecil hingga berukuran besar (jumbo). 2. Piring ingke Piring ingke di buat dari pohon kelapa. Untuk membuat piring ingke dari pohon kelapa yang di ambil adalah lidinya, lidinyalah yang kemudian dibentuk seperti piring.



3. Larik Larik adalah perlengkapan dalam permainan caci, larik digunakan sebagi senjata untuk memukul lawan. Gagang larik terbuat dari rotan sedangkan bagian ujung nya terbuat dari kulit kerbau yang telah mengering yang di bentuk seperti cemeti. 4. Nggiling Dalam perminan caci terdapat Nggiling atau penangkis ketika mendapat serangan dari lawan. Nggiling dibuat dari kayu rotan untuk bagian pinggirnya sedangkan di bagian tengahnya merupakan kulit kerbau. Bentuk dari nggiling adalah bulat menyerupai nyiru. Dalam permainan caci nggiling digunakan sebagi penangkis serangan yang diberikan lawan main. Biasanya nggiling dipegang oleh tangan kanan sedang tangan kiri memegang kalus.



4. kalus Kalus juga sebagi alat tangkis dalam permainan caci. Kalus Berbentuk lengkung dan panjangnya sekitar 1-2 meter. Kalus terbuat dari ranting bambu dan di tambah hiasan di ujungnya. dalam permainan caci Kalus di pegang menggunakan tangan kiri, Berkat bentuknya yang agak melengkung dan panjang maka serangan yang di berikan lawan dapat ditangkis sehingga jika cekatan menggunakannya maka tubuh terhindar dari pukulan lawan pada saat bermain caci. 5. Kaar Kaar adalah perlengkapan untuk menangkap hewan-heawan air tawar seperti udang, ipung, ikan mujair, belut dan hewan air tawar lainnya. Bentuknya seperti toa yang dianyam menggunakan rotan. di bagian depannya bulat dan besar sedang di ujungnya kecil sebagai pegangan. Dahulu kaar menjadi andalan masyarakta lepeng, Namun seiring dengan perkembangan zaman kaar tidak lagi digunakan, masyarakat setempat kini menggunakan alat penyetrum untuk menangkap berbagai jenis hewan air tersebut. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup berbagai jenis hewan air tersebut.



BAB X



ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG OBAT TRADISIONAL Alam banyak memberikan manfaat bukan hanya untuk kebutuhan pangan, sandang maupun papan namun juga menjadi bahan untuk obat-obatan. Tentunnya masyarakat manggarai memiliki ramuan khusus dalam mengobati sakit dan penyakit yang di racik dari bahan alam baik yang berasal dari akar, batang, kulit, daun maupun buah dari tanaman tersebut. Berikut ini obat tradisional manggarai yang berkhasiat menyembuhkan berbagai sakit dan penyakit; 1. Saung Lintep Saung lintep merupakan jenis daun yang memiliki khasiat mengatasi Muntah darah. Untuk membuat ramuan dari saung lintep, caranya dengan di rebus kemudian di minum airnya secara rutin sehingga sakitnya perlahan akan sembuh.



2. Nio (Kelapa)



Nio atau Kelapa merupakan buah yang dijadikan sebagai minyak kelapa untuk urut dan Rono. Rono merupakan cara yang dilakukan para wanita manggarai untuk lebih mempercantik penampilannya terutama bagian rambut. Rono itu sendiri adalah keramas pake kelapa, caranya sangat sederhana yaitu dengan menggunakan air perasan buah kelapa atau minyak kelapa. Kelapa itu sendiri mengandung rantai asam lemak yang terdiri atas asam laurat, asam kaprat, asam oleat dan asam linoleat serta mengandung protein sehingga mampu membuat rambut lebih kuat dan tidak mudah rontok, mengatasi ketombe, melindungi rambut dari kerusakan , menyuburkan rambut serta membuat rambut semakin berkilau. Oleh karena itulah masyarakat manggarai zaman dahulu selalu melakukan budaya rono ini.



3. Welu (Kemiri)



Bisul dapat diobati dengan welu atau kemiri. Caranya adalah membakar kemiri yang masih bercangkang, kemudian



mengeluarkan isi dari cangkangnya lalu di oleskan di



sekeliling bisul, secara perlahan bisul akan mulai mengempes karena terdapat kandungan kimia pada kemiri seperti gliserida, asam linoleat, palmitat, stearat, miristat, asam minyak, protein, vitamin B1, dan zat lemak. Kemiri tidak hanya dimanfaatkan sebagai obat-obatan, masyarakat lepeng juga memanfaatkan kemiri sebagai penyedap makanan, diketahui kemiri juga kaya serat, vitamin E, dan mineral seperti magnesium dan tembaga oleh karena itu pemakaian welu ini sangat baik untuk kesehatan. 4. Biji Mahoni dan daun pepaya



(Gambar biji mahoni)



(Gambar daun pepaya)



Biji mahoni dan daun pepaya digunakan sebagai Obat Malaria. Biji mahoni terasa pahit, biasanya untuk mengatasi malaria, masyarakat mengonsumsi beberapa biji mahoni secara langsung tanpa pengolahan lagi sedangkan untuk daun pepaya terlebih dahulu direbus dan air rebusannya diminum secara rutin. 5. Saung racang Saung Racang merupakan dedaunan yang memiliki bentuk seperti tali, saung racang di percaya ampuh dalam mengatasi penyakit



Hepatitis. Caranya adalah memotong saung



racang dan dicincang kemudian di rebus, hasil rebusan inilah yang dijadikan obat dengan cara di minum secara teratur. 6. Daun sirih



Untuk mengatasi Mimisan dan luka kecil masyarakat cukup menggunakan daun sirih yang digosokkan di tangan agar lembek, kemudian di letakkan pada bagian yang luka atau pada daerah yang mimisan. Masyarakat setempat juga memnafaatkan daun sirih untuk cepa yaitu di makan bersama dengan tahang (kapur). Daun sirih memiliki rasa dan aroma khas, yaitu rasa pedas dan bau yang tajam. Rasa dan aroma ini disebabkan dari kavikol dan bethelphenol dalam minyak asitri yang terkandung didalam daun sirih. Selain itu juga, rasa dan aroma ini juga dipengaruhi oleh jenis sirih itu sendiri, umur tanaman, jumlah intensitas sinar matahari yang sampai kebagian daun, serta kondisi dari daun. Secara umum, daun sirih mengandung minyak asitri yang berisikan senyawa kimia seperti fenol serta senyawa turunannya antara lain kavikol, kavibetol, eugenol, karvacol, dan allipyrocatechol. Yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti jamur. Sirih berkhasiat menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran pencernaan. Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, meluruhkan ludah, hemostatik, dan menghentikan perdarahan. Selain itu, kandungan bahan aktif fenol dan kavikol daun sirih hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama penghisap. Kandungan daun sirih lainnya yaitu karoren, asam nikotinat, riboflavin, tiamin, vitamin C, gula, tannin, patin dan asam amino. 7. Pandu Kejoli ( Pohon Damar) Masyarakat manggarai memanfaatkan pandu kejoli atau pohon damar sebagai bahan obat-obatan. Bagian dari pohon damar yang dimanfaatkan sebagai obat-obatan adalah getah yang dihasilkannya. Biasanya getah dari pohon damar berkhasiat untuk menyembuhkan



sakit demam dan sariawan. caranya sangat unik yaitu dengan mengambil getah dari pohon ini lalu getahya dioleskan pada tubuh atau pada bagian yang luka akibat sari awan. Damar mengandung berbagai senyawa unsur kimiawi seperti; asam resinat, alkohol kompleks, balsam dan resen. Damar memiliki bentuk yang keras, bentuk seperti plastik, mudah meleleh dna lengket. Ternyata setelah di teliti getah damar juga bermanfaat memperbaiki memori dan meningkatkan rasa nyaman untuk pederita gangguan memori serta obat untuk mengendalikan infeksi virus karena getahnya juga mengandung amentoflavon. dapat menyuburkan rambut, membuat rambut lebih kuat, melembabkan dan menjaga agar rambut tetap berkilau dan sehat karena mengandung asam lemak dan protein. kelapa digunakan dengan cara melakukan rono atau keramas pake perasan dari buah kelapa atau minyak kelapa secara rutin. 8. Saung Mena ngis Saung mena ngis merupakan jenis daun yang sering digunakan oleh masyarakat setempat sebagai obat pada saat sakit Gigi dan menghentikan pendarahan. 9. Saung Jembu (Daun Jambu)



Saung Jembu memiliki khasiat dalam mengatasi sakit perut dan menceret, Hal ini mengingat bahwa di dalam daun jambu biji terdapat zat flavonoid juga quercetin glycoside dimana zat ini mampu menghambat dan mengobati diare. Selain itu, kandungan tanin pada daun jambu biji juga akan memperkecil pori-pori pada usus yang kemudian membuat aliran air yang masuk ke dalam usus berkurang serta menjadikan tinja tak lagi encer. caranya sangat sederhana yakni dengan mengunyah saung jembu yang masih mudah beberapa lembar setiap hari.



10. wunis (Kunyit)



Saat tubuh mengalami luka dan mengeluarkan banyak darah masyarakat setempat menggunakan wunis (kunyit) untuk mengobatinya, caranya sangat mudah yakni dengan menumbuk kunyit hingga agak halus lalu di tambahkan sedikit kapur sirih kemudian dioleskan pada luka. Selain sebagai bahan untuk obat wunis juag di manfaatkan sebagai bumbu untuk masakan. Kandungan zat-zat kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah sebagai berikut : a. zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4% yang terdiri



dari



Curcumin,



dihidrokurkumin,



desmetoksikurkumin



dan



bisdesmetoksikurkumin. b. Minyak atsiri 2-5% yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan fenilpropana turmeron (aril-turmeron, alpha turmeron dan beta turmeron), kurlon kurkumol, atlanton, bisabolen, seskuifellandren, zingiberin, aril kurkumen, humulen. c. Arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin dan dammar d. Mineral yaitu magnesium besi, mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal, seng, kobalt, aluminium dan bismuth 11. Biji Lemantoro Untuk mengatasi Penyakit Gula digunakan Biji Lemantoro, biji lemantoro digoreng tanpa menggunakan minyak, kemudian di tumbuk hingga halus selanjutnya di seduh dengan air dan diminum.



BAB XI ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM DALAM BIDANG BAHAN LOKAL UNTUK PAPAN



Papan bisa diartikan sebagai rumah. Pada Zaman dulu, dimana belum ditemukan batu bata atau batako, masyarakat lepeng membuat rumah dengan mengandalkan bantuan kayu. Lembaran-lembaran kayu inilah yang disebut dengan papan. Dahulu model rumah masyarakat manggarai umumnya adalah rumah panggung atau “Mbaru Ngaung” dalam bahasa manggarai. rumah tersebut bermotif “niang” (mbaru niang: rumah bermotif kerucut). Diantara semua mbaru niang itu ada sebuah mbaru niang yang lebih besar dan sebagai rumah induk atau rumah adat orang manggarai yaitu “Mbaru Gendang” atau “Mbaru Tembong”. mbaru gendang agak berbeda dari motif niang biasa karena khusus untuk niang yang dijadikan mbaru gendang harus dilengkapi dengan simbol wajah manusia dan tanduk kerbau serta ada puncak yang berbentuk mangka (gasing) seperti kayu teno di pusat lingko. A. Mbaru Ngaung Berikut ini akan dibahas bahan-bahan alam yang digunakan untuk membuat mbaru ngaung pada zaman dahulu mulai dari pembuatan dinding rumah, jendela, pintu, atap dan sebagainya. a. Rinding atau Dinding rumah Untuk membuat Rinding atau dinding biasanya masyarakat manggarai menggunakan Haju wuhar atau Haju Ara. Kayu ini dipotong menjadi lembaranlembaran papan yang kemudian diikat sehingga membentuk Dinding. Pada Zaman dahulu belum ada paku, karena itulah untuk menjaga agar dinding tetap kuat, papan yang telah dibentuk diikat menggunakan tali rotan atau tali ijuk. b. Para (Pintu) Untuk membuat Para atau pintu masyarakat zaman dahulu memanfaatkan Haju Nara. Haju nara dipotong sehingga membentuk pintu yang minimalis. Pintu zaman dahulu masih sangat sederhana. Hal ini tentu sangat berbeda dengan zaman sekarang yang lebih modern dan lebih memiliki keamanan yang baik. c. Para Tongang (Jendela) Para tongang atau jendela di buat dari kayu nara. Bentuk dari para tongang ini pada zaman dulu sangatlah sederhana tidak seperti zaman sekarang yang lebih modern dan menggunakan kaca sebagai bahan utamanya.



d. Sirih (tiang penopang rumah) Sirih atau tiang penopang rumah dibuat dari hayu angke (kayu angke) karena kayu ini sangatlah kuat sehingga mampu menopang rumah dengan baik dan tahan terhadap kerusakan akibat air hujan yang dapat menyebabkan pelapukan.



e. lantai Rumah orang manggarai dulunya tidak berlantai tanah karena bentuknya seperti rumah panggung. Biasanya untuk bagian lantai mereka memanfaatkan Haju wuhar (kayu wuhar) atau haju ara (Kayu Ara) dan juga bisa bisa menggunakan “lencar” (plupu). f. Atap Bagian atap dari Mbaru Ngaung dibuat dari wunut (Ijuk ) atau bisa juga menggunakan Ri’i (alang alang). Khusus untuk Rumah adat manggarai yaitu Mbaru Gendang atapnya hanya dibuat dari wunut. g. Tangga Tangga dibuat dari kayu lembur. Bagian kayu lembur yang digunakan adalah bagian dalamnya. Karena bagian dalamnya lebih bagus, kayu lembur ini sangat kuat dan tahan air tidak mudah lapuk atau rusak, oleh karena itu masyarakat setempat selalu memanfaatkan kayu ini untuk membuat tangga.



B. Mbaru Gendang



Mbaru Gendang atau Mbaru Tembong adalah rumah adat manggarai yang berbentuk kerucut (mbaru niang). Secara etimologis nama Mbaru Gendang tersusun dari 2 kata yaitu “mbaru” yang berarti rumah dan “gendang” atau “tembong” yang berarti nama alat musik tradisional manggarai yang dibuat dari kayu dan kulit kambing, pada Mbaru gendang inilah digantungkan alat-alat musik tradisional gendang /tembong oleh karena itulah maka rumah adat ini disebut Mbaru Gendang atau Mbaru Tembong.



Di dalam Mbaru Gendang inilah tinggalnya Tu’a Golo atau Tu’a Gendang yakni tua adat atau pemimpin umun dari kampung. Mbaru gendang syarat akan simbo-simbol yang tampak pada struktur bangunannya berikut ini pembahasannya; 1. Ngaung (kolong rumah) Bagian ngaung merupakan simbol dari dunia bawah. Dunia yang penuh kegelapan, dunia orang mati. Menurut kepercayaan orang manggarai, setan atau rohroh halus yang hendak mengganggu kehidupan manusia, datang dan tinggal di bawah kolong rumah, sebelum menjaga kesejahteraan manusia. 2. Tempat manusia tinggal (bagian tengah dari rumah) Bagian tengah dari rumah melambangkan dunia yang terang dan tempat manusia manggarai beraksi setiap hari guna memberikan arti bagi hidupnya di dunia ini. di bagian dalam rumah ini dapat ditemukan; a. Lutur lutur adalah tempat dilaksanakan segala aktifitas manusia seperti melaksanakan semua upacara adat, tempat bermusyawarah segala kepentingan dalam kampung, tempat membaringkan jenazah bila ada yang meninggal dan tempat menerima tamu-tamu penting. b. Siri Bongkok Siri Bongkok yaitu tiang agung rumah adat. pada siri bongkok inilah digantungkan gendang/tembong, tambur dan gong. Ada ungkapan atau “goet” yang isinya “Gendang one-lingkon peang” memilki arti bahwa gendang yang ada di dalam rumah adat memiliki hubungan yang erat dengan hadirnya lingko-lingko (kebun yang berbentuk jaring laba-laba) yang menjadi milik/hal masyarakat di kampung itu. Pada siri bongkok itulah pemimpin adat bersandar memimpin upacara adat atau peristiwa-peristiwa penting yang berhubungan dengan masyarakat. c. Lo’ang (Kamar tidur) Lo’ang atau kamar tidur dalam rumah adat ini disesuaikan dengan jumlah keluarga yang berhak mendiami rumah adat ini. biasanya disesuaikan dengan sejarah para leluhur yang diwariskan kepada keturunannya yaitu disesuiakan dengan “Panga” (cabang) suku di dalam suku kampung tersebut. d. Sapo (Tungku api) Dahulu ketika belum biasa membuat dapur, maka sebagian kecil dari rumah adat digunakan sebagai sapo. Sekarang semua mbaru gendang ada dapurnya. e. para tongang (jendela) Para tongang sebagi tempat masuknya udara segar dan cahaya matahari ke dalam ruangan-ruangan di dalam mbaru gendang. f. Para (Pintu)



Tempat keluar-masuknya manusia dan dipakai juga sebagai tempat dibunuhnya hewan kurban dalam acara adat seperti babi dan ayam. 3. Atap Mbaru gendang memiliki atap berbentuk kerucut atau niang dalam bahasa manggarai. bentuk kerucut (niang) mempunyai arti simbolis seperti terlihat pada puncak rumah adat itu. Adapun simbol pada puncak kerucut itu adalah sebagai berikut; a. lukisan wajah manusia yang terbuat dari kayu. Lukisan wajah manusia menggambarkan yang selalu tertuju keatas kepada Tuhan yang disebutnya “mori kraeng”. b. lukisan tanduk kerbau yang di buat dari kayu atau langsung menempelkan tanduk kerbau pada lukisan wajah manusia itu, ini menggambarkan orang manggarai mempunyai kekuatan seperti kerbau dan memiliki daya juang dan kerja keras yang tinggi seperti kerbau. c. Tepat diatas lukisan wajah manusia itu ada pula lukisan yang berbentuk kepala gasing (mangka) mengandung arti hubungan manusia dengan Tuhannya yang berada diatas. Selanjutnya lukisan gasing itu terdapat hubungan yang erat dengan hak ulayat atas tanah-tanah suku yang dikuasai oleh penduduk yang mendiami kampung tersebut. Pada bagian dalam dari niang, tepatnya diatas lutur dan lo’ang terdapat 2 bagian penting yaitu; 1. Leba atau Lobo Leba atau lobo adalah tempat menyimpan segala hasil bumi seperti; padi, jagung, gaplek, dll. 2. Lempa-rae Lempa-rae adalah ruangan kecil pada puncak niang, digunakan sebagai tempat khusus mempersembahkan sesajian kepada Tuhan dan para leluhur. Pada masa sekarang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berjalan begitu cepat dan sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat seperti gaya hidup, sosial dan bahkan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Akibat pengaruh perkembangan iptek ini mbaru gendang mulai banyak mengalami perubahan seperti penggunaan seng untuk menggantikan wunut (ijuk) sebagai atap rumah, dilakukannya pengecatan pada dinding mbaru gendang dan sebagainya seperi berikut ini;



(Mbaru gendang wade)



Perkembangan IPTEK seakan menjadi ancaman akan memudarnya budaya masyarakat, tetapi sebenarnya bergantung pada generasi itu sendiri, bagaimana motivasi dan partisipasinya untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan daerahnya sehingga perkembangan IPTEK bukan lagi menjadi ancaman tetapi wadah untuk melestarikan dan memperkenalkan budayanya.



DAFTAR PUSTAKA



Janggar petrus. 2010. Butir-butir adat manggarai. ruteng: Yayasan siri bongkok