Biografi Anggota Ppki Tahun 1945 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BIOGRAFI ANGGAUTA PPKI TAHUN 1945



NAMA



:



KHOIRUNNISA AZZAHRA



KELAS



:



8C



NO.ABS



:



13



BIOGRAFI ANGGAUTA PPKI TAHUN 1945



NAMA



:



NOVA SELVYANA



KELAS



:



8C



NO.ABS



:



26



BIOGRAFI ANGGAUTA PPKI TAHUN 1945



NAMA



:



DIANA LUVITASARI



KELAS



:



8C



NO.ABS



:



07



BIOGRAFI ANGGAUTA PPKI TAHUN 1945



NAMA



:



SALSABILABILA A.P



KELAS



:



8C



NO.ABS



:



28



KATA PENGANTAR



Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT hingga saat ini masih memberikan nafas kehidupan dan anugerah akal, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan kliping ini dengan judul “BIOGRAFI ANGGAUTA PPKI TAHUN 1945” tepat pada waktunya. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah ikut membantu hingga dapat disusunnya kliping ini. Kliping sederhana ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam kliping ini membahas tentang biografi anggota PPKI. Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Akhirnya, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan kualitas makalah ini dan makalah-makalah lainnya pada waktu mendatang.



Semarang, 22 Oktober 2020 Penyusun



IR.SOEKARNO



(ketua PPKI)



adalah presiden pertama bangsa indonesia dan bisa di sebut juga bubg karno yang lahir di blitar dan wafat di jakarta. dan dikenal sebagai bapak ploklamator kemerdekaan bangsa indonesia dan beliau juga yang pertama kali mencetuskan nama pancasila sebagai dasar negara. MASA PENJAJAHAN JEPANG soekarno memainkan peran penting dalam upaya menuju indonesia merdeka. beliau masuk dalam anggota bidang BPUPKI  dan mengusulkan 5 dasar indonesia merdeka yang diberinya nama pancasila Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh pimpinan Angkatan Darat Jepang wilayah Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam untuk membicarakan masalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada saat Soekarno berada di Vietnam, para pemuda di Indonesia telah mendengar kabar mengenai kekalahan Jepang pada Perang Dunia II atas Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Hal inilah yang kemudian membuat para pemuda terus mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sepulangnya Soekarno di tanah air. Para pemuda juga sempat mengasingkan Soekarno ke Rengasdengklok untuk menghindari pengaruh dari Jepang. Sekembalinya Soekarno dari Rengasdengklok, ia kemudian segera mengumpulkan para anggota PPKI untuk menyusun naskah proklamasi kemerdekaan indonesia yang akan dibacakan esok harinya, tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00, Soekarno dengan didampingi Muhammad Hatta akhirnya membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat Indonesia. Hanya berselang satu hari kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Ir. Soekarno ditetapkan sebagai presiden Republik Indonesia yang pertama dengan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. dan sekian maaf kalau kurang lengkap.



Drs. H. Mohammad Hatta



(wakil ketua PPKI)



Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta; lahir dengan nama Mohammad Athar di Fort de Kock, Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia mundur dari jabatan wakil presiden karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal akan komitmennya pada demokrasi. Ia mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.[1][2] Hatta meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[3] Namanya bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.



Soepomo Sebagai putra keluarga priyayi, ia berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri Sragen (Soegito 1977). Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia dan ahli hukum internasional, salah satu konseptor Liga Bangsa Bangsa. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektivitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Franz Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisantulisan Ben Anderson dalam Language and Power sebagai tambahan acuan tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo).



Radjiman Wedyodiningrat



Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat (lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 – meninggal di Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Ia adalah anggota organisasi Budi Utomo, pada tahun 1945 terpilih untuk memimpin Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). [1]  Pada tanggal 9 Agustus 1945, sehari setelah pengeboman atom di Nagasaki, Radjiman bersama dengan tokoh nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta diterbangkan ke Saigon untuk bertemu dengan Marsekal Lapangan Hisaichi Terauchi, komandan Jepang dari Grup Angkatan Darat Ekspedisi Selatan.[2] Pada tahun 1950, setelah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ia memimpin sidang pleno pertamanya. Dua tahun kemudian, Radjiman meninggal dan dimakamkan di Yogyakarta. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2013 oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.[1][3]



Otto Iskandardinata



Dalam kegiatan pergarakannya pada masa sebelum kemerdekaan, Otto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo. Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Otto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941. Pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.



Sutardjo Kertohadikusumo



Mas Sutardjo Kertohadikusumo (lahir di Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1892 – meninggal di Jakarta, 20 Desember 1976 pada umur 84 tahun) adalah gubernur pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, tetapi ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.



RP Soeroso



Raden Panji (R.P.) adalah varian gelar kebangsawanan pria dalam tradisi feodal Jawa. Gelar ini dipakai di sebagian wilayah Jawa Timur untuk keluarga bupati-bupati daerah vasal Kesultanan Mataram, seperti Besuki dan Pasuruan. Jabatan bupati di wilayah-wilayah itu diwariskan cara turun-temurun. Setelah wilayah-wilayah ini berada di bawah administrasi pemerintah kolonial, gelar tersebut tetap dipakai hingga berakhirnya masa penjajahan. Dalam periode pemerintahan republik, bupati kemudian dipilih oleh DPRD dan kemudian dipilih langsung melalui Pilkada. Gelar R.P. tidak dipakai lagi bagi para bupati terpilih, tetapi keturunan para bupati feodal masih menggunakan gelar ini. Beberapa tokoh nasional masih memakai gelar ini, seperti R.P. Soeroso (1893-1981, tokoh Sarekat Islam, pahlawan nasional, mantan menteri, mantan Gubernur Jawa Tengah), R.P. Mohammad Noer (mantan gubernur Jawa Timur), Prof. R.P. Soejono (arkeolog), dan R.P. Chandra Pratomo Samiadji Massaid (Adjie Massaid, model, politisi).



Abdul Wahid Hasyim



K. H. Abdul Wahid Hasjim (EYD: Abdul Wahid Hasyim) (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Mohammad Hasyim Asy'ari, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng, Jombang. Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan keIndonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun. Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama



dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah. Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI. Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan bangsa. Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif. Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953. Setelah meninggalnya Wahid Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak ke enam. Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya bekerja. Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.



Ki Bagoes Hadikoesoemo



Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig. Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW). Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum Muhammadiyah yang ditinggalkannya.[1]Posisi ini dijabat hingga tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI.



Abdul Kadir



Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia Pahlawan (lahir: Sintang, Kalimantan Barat, 1771 - wafat: Tanjung Suka Dua, Melawi, 1875) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Melawi. Pada tahun 1845, ia diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Melawi yang merupakan bagian dari Kerajaan Sintang. Sebagai pejabat kerajaan ia mendapat gelar Raden Temenggung. Ia berhasil mengembangkan potensi perekonomian wilayah ini dan mempersatukan suku Dayak dengan Melayu. Selain itu ia juga berjuang menentang Belanda yang ingin menguasai wilayah ini. Tahun 1999 diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden nomor 114 / TK / 1999 tanggal 13 - 10 - 1999. [1] Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda (datang di Sintang pada tahun 1820) yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuankesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda. Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun Abdul Kadir tidak mengubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan



kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuran pun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.



Pangeran Soerjohamidjojo Baru-baru ini santer terdengar usulan dari Arkand Bodhana Zeshaprajna seorang Doktor University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat agar nama negara Indonesia diganti menjadi Nusantara. Padahal usulan tersebut bukanlah hal baru. Hal demikian sudah tercetus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dengan usulan dari anggota BPUPK Soerjohamidjojo. Pada tanggal 15 Juli 1945, dalam Rapat Besar yang merupakan Sidang Kedua BPUPK Indonesia bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang merupakan gedung Kementerian Luar Negeri) memang berlangsung perdebatan rancangan Undang-Undang Dasar yang sangat menarik dan sungguh substantif. Berdasarkan Risalah Sidang yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI (1998), jelas tercatat ada satu usulan pergantian nama republik yang sebelumnya diusulkan Indonesia menjadi “Nusantara” atau nama lain. Usulan tersebut diajukan oleh Soerjohamidjojo, anggota BPUPK yang kemudian juga akan menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Soejohamidjojo mengusulkan agar nama Indonesia yang asal mulanya dari sebutan Belanda “Indonesie” diganti dengan bahasa Indonesia menjadi “Nusantara” yang berarti “negara yang mempunyai banyak kepulauan”



Pangeran Poerbojo Ia menikah dengan seorang wanita bangsawan Kutai yang bernama Aji Maryam Noerdin dan dikaruniai 5 orang anak yang salah satunya adalah Soekarni Catur Oetami Munandar, salah satu pakar psikologi Indonesia. Ia adalah wakil ketua dari Tyuooo Sangi-In (semacam Volksraad) buatan pemerintahan pendudukan Jepang dan anggota dari organisasi pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia, Barisan Pelopor.[1] Selain itu ia adalah salah satu pendiri dan ketua PELTI (Persatuan Lawn Tenis Indonesia) pertama selama 5 tahun sejak pendiriannya pada 26 Desember 1935.[2] Ia pulalah yang membentuk PMI (Palang Merah Indonesia) pada tanggal 5 September 1945 atas perintah Presiden Soekarno. Ia pernah pula menjabat sebagai anggota Seksi Kemasyarakatan Bappenas periode 21 September 1959 - 18 November 1959.



Dr. Mohammad Amir dr. Mohammad Amir (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, 27 Januari 1900 meninggal di Amsterdam, Belanda, 1949) merupakan politikus dan menjabat sebagai menteri di Indonesia. Dia menjabat sebagi menteri negara pada Kabinet Presidensial pada tahun 1945. Ia juga menjadi Wakil Gubernur Sumatera mendampingi Teuku Mohammad Hasan pada Desember 1945. Mohammad Amir lahir dari pasangan M. Joenoes Soetan Malako dan Siti Alamah. Dalam adat Minangkabau yang matrilineal, Amir mengikuti suku ibu yakni suku Mandaliko. Keluarganya merupakan kaum yang terpelajar. Selain Amir, kedua sepupunya yakni Mohammad Yamin dan Djamaludin Adinegoro juga merupakan tokoh pergerakan Indonesia. Pada waktu belia, Amir dibawa kakak ibunya Mohammad Jaman gelar Radjo Endah ke Palembang. Di kota ini Amir belajar di HIS, sekolah dasar untuk anak-anak pribumi. Sebelum tamat HIS, Amir pindah ke Batavia dan melanjutkan pendidikan dasarnya di ELS. Amir meneruskan studinya ke jenjang pendidikan menengah di MULO. Disana ia tamat belajar pada tahun 1918 untuk kemudian melanjutkan ke STOVIA. Setelah tamat STOVIA, antara tahun 1924-1928, Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Utrecht, Belanda dengan beasiswa dari perkumpulan Teosofi.



Abdul Rahman



Haji Abdul Rahman bin Haji Abbas adalah Yang di-Pertua Negeri (dikenal juga sebagai gubernur) dari negara bagian Penang, Malaysia saat ini. Ia adalah mantan politisi dari UMNO. Abdul Rahman ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan oleh Yang di-Pertuan Agong pada 2001 dan sejak itu ditunjuk kembali sebanyak tiga kali, pada 2005, 2009 dan 2011. Abdul Kadir Abbas, memulai karier di Departemen Agama, baru kemudian menerjuni bidang politik. Kadir terus aktif sebagai politisi dan menjadi Ketua DPW Partai PPP Riau. Sebagai politisi, Kadir Abbas pernah menjadi anggota DPRD Riau, bahkan menjabat lima periode berturut-turut. Karier politiknya juga menembus pusat dengan berhasil menjabat sebagai anggota DPR RI asal Riau. Di bidang pendidikan, nama Kadir Abas cukup di kenal, karena ia merupakan penggagas agar di Provinsi Riau di dirikan Perguruan Tinggi. Usaha nya tidak sia-sia, karena tidak berapa lama kemudian di dirikan sebuah perguruan tinggi di Riau, yang sekarang dikenal sebagai Universitas Islam Riau (UIR), dan Abdul Kadir Abbas termasuk sebagai tokoh pendiri sekaligus jadi rektor dan staf pengajar. Abdul Kadir Abbas menderita penyakit darah tinggi, dan karena penyakitnya ini pulalah membuat ia terpaksa harus di rawat di Rumah Sakit Ibnu Sina Pekanbaru. Namun akhirnya pada hari Sabtu tanggal 11 Juni 2011, Abdul Kadir Abbas menghembuskan napas terakhirnya.



Teuku Mohammad Hasan 



Mr. Teuku Mohammad Hasan atau juga ditulis Teuku Muhammad Hasan (lahir di Pidie, Aceh, 4 April 1906 – meninggal di Jakarta, 21 September 1997 pada umur 91 tahun) adalah Gubernur Provinsi Sumatra pertama[1] setelah Indonesia merdeka dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat.[2] Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak. Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang Jakarta). Kemeudian ia masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktivis yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda Hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.



Dr. GSSJ Ratulangi Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 – meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun), atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ratulangi juga sering disebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia dan merupakan Gubernur Sulawesi pertama. Sam Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890 di Tondano, Minahasa yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ia adalah putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.[1] Jozias adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano. Ia menerima pelatihan guru di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880.[2] Augustina adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang.[3] Ratulangi mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu ia melanjutkannya di Hoofden School, keduanya di Tondano. [4] Pada tahun 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut. Namun sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), ia berubah pikiran dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina.[5] Ratulangi lulus pada tahun 1908 dan mulai bekerja pada konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan di Jawa Barat. Di sana ia mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).



Andi Pangerang Pettarani  Andi Pangerang Pettarani (juga ditulis Andi Pangerang Petta Rani) yang bernama lengkap Andi Pangerang Pettarani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang (lahir di Mangasa, 14 Mei 1903 – meninggal di Makassar, 12 Agustus 1975 pada umur 72 tahun)[1][2] adalah birokrat, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari bangsawan Suku Bugis dan menjadi Gubernur Sulawesi terakhir. Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang adalah putra dari Raja Kesultanan Bone ke-XXXII yang bernama Andi Mappanyukki dan ibunya adalah seorang ningrat yang bernama I Batasai Daeng Taco. [3] Ia adalah saudara tiri dari Andi Abdullah Bau Massepe Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang juga Datu Suppa ke-25 dari Kerajaan Suppa. Sebagai bentuk penghargaan kepada Indonesia, Andi Pangerang Pettarani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar. Atas jasanya pula pemerintah setempat mengabadikan namanya sebagai nama jalan.



Pada suatu hari di zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 14 Mei 1903, telah lahir seorang putra Indonesia di sebuah desa mangasa. Desa ini berada di kawasan Kabupaten Gowa, yang dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang terbesar di wilayah Indonesia bagian timur. Anak yang lahir pada awal abad XX itu, keluar dari rahim seorang ibu yang bernama I Batasai Daeng Taco. Ibu sang anak adalah seorang ningrat yang ayahnya dikenal oleh masyarakat sebagai Gallarang Tombolo. Sebagai aristokrat, ayahnya menjabat sebagai anggota dewan BateSalapang, yang artinya Dewan Panji Sembilan.Suatu jabatan yang selain berperan dalam kehidupan adat, juga mempunyai peranan dalam dunia pemerintahan dari Kerajaan Gowa. Ayah anak itu adalah Andi Mappanyukki yang pada masa kelahiran anaknya tahun 1903 masih



merupakan seorang bangsawan yang belum menduduki takhta kerajaan Bone. Jadi, sang ayah masih merupakan seorang bangsawan yang menjadi pemimpin informal rakyatnya dalam siklus pemerintahan kolonial Belanda, tapi rakyat atau masyarakat pendukungnya telah menganggapnya sebagai raja yang dipatuhi nasihat dan perintahnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penobatan pada tanggal 2 April 1931 hanyalah bersifat formalitas belaka. Kemudian ayah Andi Pangerang Petta Rani dinobatkan dengan gelar Sultan Ibrahim Raja Bone XXXII. Jikalau kita bertolak dari sumber lokal ini, jelas nama Pengerang bukanlah berarti sama dengan Pangeran yang dikenal dalam bahasa Indonesia sekarang, atau seperti dalam bahasa Belanda Prins dan dalam bahasa Inggris Prince. Selain itu, kata Pengerang bukan berasal dari kata Makassar atau Bugis. Asal mula kata ini berasal dari bahasa Jawa yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata Pangerang bermula dari kata erang-erang dan kemudian berkembang menjadi Pangerang, seperti yang dikenal di masyarakat sekarang ini.



A.A. Hamidhan  Haji Anang Abdul Hamidhan (lahir di Rantau, Tapin, 25 Februari 1909 – meninggal di Banjarmasin, 21 Agustus 1997 pada umur 88 tahun)[1] atau yang lebih dikenal sebagai A.A. Hamidhan adalah seorang pejuang dan wartawan dari Kalimantan Selatan. Amidhan mendirikan Soeara Kalimantan pada 5 Maret 1942. Ia juga membawa berita kemerdekaan Indonesia ke Kalimantan pada 24 Agustus 1945 dengan menggunakan pesawat Jepang. Ia lahir di Rantau, Tapin pada 25 Februari 1909. Ia menempuh pendidikan di Europeese Lagere School di Samarinda, kemudian melanjutkan ke Gemoontelijke MULO Avondshool di Batavia Genrum, sekarang Jakarta karena politik etis Belanda yang pada saat itu membolehkan mereka yang bukan ningrat untuk melanjutkan pendidikan mereka. Saat itu jarang putra Kalimantan yang bukan keturunan ningrat dapat memasuki dunia pendidikan Eropa. Dengan kesadaran itu Hamidhan sangat menekuni pendidikannya di sana.



I Gusti Ketut Pudja I Gusti Ketut Pudja Adalah putra daripasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma yang lahir pada tanggal 19 Mei 1908. I Gusti Ketut Pudja terlahir dari kalangan bangsawan yang membuatnya tidak begitu sulit untuk mendapatkan pendidikan. Hingga pada tahun 1934 ketia dia berusia 26 tahun berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School di Jakarta. Pudja akhirnya bekerja di sebuah kantor residen Bali dan Lombok di Singaraja. Kiprahnya dalam politik nasional mulai terlihat ketika pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI pada tanggal 7 Agustus 1945. Dengan diketua oleh Ir. Soekarno, Pudja terpilih menjadi salah satu anggota PPKI mewakili sunda kecil (saat ini Bali dan Nusa tenggara). Nama I Gusti Ketut Pudja juga terlibat dalam perumusan naskah proklamasi di rumah laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945 hingga esok dinihari. Kemudian esoknya Pudja juga menjadi saksi sejarah terpenting bangsa Indonesia yang terjadi di jalan pegangsaan timur no 56 Jakarta atau pada rumah Soekarno. Setelah proklamasi kemerdekaan dilangsungkan shari kemudia PPKI mengadakan rapat yang membahas tentang dasar negara. Untuk itu dibentuklah panitia 9 yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A Salim, Achmad Subarjo, Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin.



Mr. Johannes Latuharhary



Mr. Johannes Latuharhary (lahir di Ulath, Saparua, 6 Juli 1900 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 8 November 1959 pada umur 59 tahun) adalah seorang politikus dan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia menjabat sebagai Gubernur Maluku yang pertama antara tahun 1950 dan 1955, dan memperjuangkan masuknya Maluku ke dalam NKRI. Johannes lahir di Saparua, Maluku, dan sebagai remaja ia pindah ke Batavia untuk pendidikan lanjut. Belakangan, ia memperoleh beasiswa untuk belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Sepulangnya ke tanah air, ia menjadi hakim di Jawa Timur dan mulai turut serta dalam pergerakan kebangkitan nasional Indonesia melalui organisasi pemuda Sarekat Ambon. Ia belakangan berhenti menjadi hakim dan pindah menjadi advokat, selagi bergerak di sisi politik untuk mengikutsertakan SA dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama zaman Jepang, Johannes bekerja di bawah departemen urusan dalam negeri di Jakarta dan ditahan Jepang tiga kali dengan berbagai macam alasan. Ia turut serta dalam penulisan UUD 1945 sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Seusai kemerdekaan Indonesia, ia ditunjuk menjadi Gubernur Maluku, tetapi karena Belanda menduduki Maluku pada saat itu, Johannes bertahan di Jawa sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan sebagai diplomat dalam perjanjian Renville dan perjanjian Roem-Roijen. Seusai pengakuan kedaulatan Indonesia, Johannes tiba di Maluku pada tahun 1950 dan semasa jabatannya ia berjuang untuk membangun kembali kota Ambon yang terdampak pertempuran dengan Republik Maluku Selatan. Ia wafat pada tahun 1959.



Drs. Yap Tjwan Bing Drs. Yap Tjwan Bing (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 31 Oktober 1910 meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat, 26 Januari 1988) adalah seorang politikus keturunan Tionghoa-Indonesia yang aktif berkontribusi di masa-masa kemerdekaan Indonesia dan menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Karier politiknya berlanjut sebagai anggota legislatif hingga 1954. Yap lahir di Surakarta, 31 Oktober 1910. Berbagai sumber menyebut bahwa jiwa nasionalismenya sudah mulai bangkit sejak usia 18 tahun. [1][2] Ia menempuh pendidikan Sarjana Farmasi di Municipal University of Amsterdam pada 1932. Setelah lulus, ia pulang ke Indonesia dan mendirikan sebuah apotek di Bandung. Pada Agustus 1945, Yap menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)[3]. Ia merupakan satu-satunya keturunan Tionghoa-Indonesia dalam PPKI. Ia menghadiri Sidang 18 Agustus 1945, di mana dalam sidang tersebut ia turut membantu merumuskan UndangUndang Dasar 1945 serta mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden.