Buku Ajar Neurologi Buku Ke-1 - FKUI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

II NI'Y ik;o. ttA,.. M



Kf:DOKHRAN



BUKU I



NEUROLOGI EDITOR TIARA ANINOITHA WINNUGROHO WIRATMAN



DEPARTEMEN NEUROLOGI KEDOKTERAN UNIVERSIT INl[)()lNE!UA-111



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang '



Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan penerbit.



BUKU AJAR NEUROLOGI 18x23 Halaman : i -xii f 342



Diterbitkan pertama kali oleh: DEPARTEMEN NEUROLOGI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo



Jakarta, 2017



Cetakan pertama: Maret, 2017



Dicetak pertama kali oleh: PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA Tangerang Email. perkisa.indonesia@gmaiLcom



ISBN: 978-602-74207-4-8



ii



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



KONTRIBUTOR Adre Mayza Ahmad Yanuar Safri AI Rasyid Amanda Tiksnadi Astri Budikayanti Darma Imran Diatri Nari Lastri Eva Dewati Fitri Octaviana Freddy Sitorus Henry Riyanto Sofyan Jan Sudir Purba Luh Ari lndrawati Manfaluthy Hakim Mohammad Kurniawan Ni Nengah Rida Ariarini Pukovisa Prawiroharjo Rakhmad Hidayat Riwanti Estiasari Salim Harris Siti Airiza Ahmad Taufik Mesiano Teguh AS Ranakusuma Tiara Aninditha Winnugroho Wiratman Yetty Ramli Zakiah Syeban Ade Wijaya Dyah Tunjungsari Kartika Maharani Ramdinal Aviesena Zairinal Rima Anindita Primandari Wiwit Ida Chahyani



SEKRETARIS Intan Nurul Azni Mumfaridah



ILUSTRATOR Marshal Sumampouw Ni Nengah Rida Ariarini Uti Nilam Sari



COVER Ni Nengah Rida Ariarini



iii



Scanned for Compos Mentis



\



Buku Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Pencipta semesta alam, karena atas berkat RahmatNya kita diberi kesempatan dan kemampuan mempelajari ciptaanNya, ilmu Neurologi yang menakjubkan. Ilmu ini sangat sempurna dan sangat khusus, yaitu susunan saraf pusat, susunan saraf otonom, dan susunan saraf tepi, serta hubungan timbal balik sistem dan organ (brain-mind-behaviour dan brain-neural-vascular-network-system-organs) dalam keadaan sehat maupun sakit akibat berbagai faktor, yaitu vaskular, inflamasi, trauma, autoimun, metabolik, iatrogenik, dan neoplasma (VITAMIN). Para ahli penyandang ilmu saraf atau neurologi, disebut neurolog, mempunyai hak dan kewajiban dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran, dan kesehatan (IPTEKDOKKES). Oleh karena itu, setiap neurolog wajib mempelajari ilmu itu secara tuntas, dalam keadaan sehat maupun sakit dan cacat, sebagai upaya mempertahankan maupun meningkatkan kualitas hidupnya. Proses tersebut perlu mengikutsertakan semua strata penyedia kesehatan dalam masyarakat, antara lain pasien sendiri, keluarga, kerabat kerja, perawat, dokter layanan pertama, sistem kedaruratan medis, neurolog umum dan subspesialis, serta penyandang disiplin ilmu lainnya, dalam tim yang terpadu struktural dan nonsktuktural di kehidupan masyarakat dan bernegara. Maka melalui buku ajar ini, seseorang mendapat kesempatan mengetahui, memahami, dan menghayati ilmu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan Sang Pencipta sebagai bekal menjalani kehidupan yang berguna untuk dirinya, orang lain, dan dunia lingkungannya. Mempelajari neurologi bagaikan menyusun kepingan-kepingan puzzle dari anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis yang sistematis untuk membentuk suatu gambar yang utuh dan memiliki makna. Kepingan kepinganan tersebut berupa simtom (gejala dan keluhan) serta tanda-tanda berbagai penunjang baik klinis, laboratorium, radiologis, dan lain-lain sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Gambaran yang utuh akan membawa ke tegaknya suatu diagnosis, yang tentunya harus diikuti dengan langkah tata laksana yang cepat, tepat, cermat, akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.



v



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



Semoga melalui buku ajar yang berhasil disusun dari berbagai sumber aktivitas profesional di Departemen Neurologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ini dapat menambah khazanah literatur ilmu kedokteran dan kesehatan serta pengetahuan pembaca sekalian dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Teruslah belajar, jangan pernah berhenti. Karena ilmu berlimpah telah disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang pada umat dan alam semestaNya. Belajarlah-bacalah-pikirkanlah ... iqra, iqra. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita, aamiin.



Teguh A.S. Ranakusuma



Guru Besar Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



" vi



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT karena buku ini dapat selesai atas pertolongan dan rahmatNya. Kami sangat menghargai kerja keras para penyusun dan pihak-pihak lain yang berkontribusi terhadap terbitnya buku ini. Untuk semua perjuangan yang panjang, kami ucapkan terima kasih. lnsya Allah buku ini menjadi investasi amal yang terus mengalir sepanjang kegunaannya. Perkembangan ilmu neurologi terus berkembang setiap saat. Selain itu, anggapan selama ini yang ada di kalangan mahasiswa a tau ternan sejawat adalah ilmu neurologi sulit untuk dipahami. Kebutuhan akan ketersediaan sumber kepustakaan yang mudah dimengerti merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, Departemen Neurologi FKUI/RSCM menyusun buku ajar ini, yang diharapkan setelah membacanya, ilmu neurologi menjadi lebih dimengerti dan semakin tertarik untuk mendalaminya. Buku ajar ini adalah persembahan dari kami untuk seluruh mahasiswa kedokteran, peserta program studi dokter spesialis saraf, dan ternan sejawat, serta orangyangtertarik mempelajari ilmu neurologi. Dengan adanya buku ini, semoga kita dapat bersama-sama memajukan ilmu neurologi dan meningkatkan kualitas pelayanan pasien.



Diatri Nari Lastri Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



vii



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



KATA PENGANTAR



Guru Besar Teguh AS Ranakusuma



v



Ketua Departemen Diatri Nari Lastri ..............................................................



vii



1. Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis ......



3



Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini, Pukovisa Prawiroharjo



NEUROLOGI UMUM



2. Penurunan Kesadaran .....................................



16



Tiara Aninditha, Pukovisa Prawiroharjo



3. Peningkatan Tekanan Intrakranial.............



36



Taujlk Mesiano



4. Pungsi Lumbal dan Analisis Cairan Serebrospinal ........................................



45



Riwanti Estiasari, Ramdinal Aviesena Zairina/, Kartika Maharani



5. Evaluasi Neurologis Perioperatif..................



53



Mohammad Kurniawan



6. Bangkitan dan Epilepsi ...................................



EPILEPSI



75



Fitri Octaviana, Astri Budikayanti, Winnugroho Wiratman, Luh Ari Indrawati, Zakiah Syeban



7. Status Epileptikus ............................................. Luh Ari lndrawati, Winnugroho Wiratman, Astri Budikayanti, Fitri Octaviana, Zakiah Syeban



ix



Scanned for Compos Mentis



98



Buku Ajar Neurologi



8. Penyakit Parkinson......................................... 109 Eva Dewati, Dyah Tunjungsari, Ni Nengah Rida Ariarini



GANGGUAN GERAK



9. Hemifasial Spasme ........................................... 136 Amanda Tiksnadi



10. Neurobehavior Dasar dan Peme'riksa.an:llya. •..•....••.•..•.......••...•.........••.•...•.•• 149 Adre Mayza, Diatri Nari Lastri



NEUROBEHAVIOR



11. Afasia .................................................................. 181 Pukovisa Prawiroharjo, Amanda Tiksnadi, Diatri Nari Lastri



12. Mild Cognitive Impairment ........................... 195 Yetty Ramli



13. Demensia ........................................................... 205 Diatri Nari Lastri



14.1nfeksi Tuberkulosis pada Susunan SarafPusat ...................................... 227 Darmalmran



NEUROINFEKSI DAN NEUROIMUNOLOGI



15. lnfeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat pada AIDS................ 239 Darma lmran, Riwanti Estiasari, Kartika Maharani



16. Multipel Sklerosis .......................................... 249 Riwanti Estiasari



17. Neuromielitis Optik .................................•.... 258 Riwanti Estiasari



X



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



18. Vertigo Vestibular Sentral ........................... 267 Eva Dewati



NEUROOFfALMOLOGINEUROOTOLOGI



19. Vertigo Vestibular Perifer ........................... 271 Freddy Sitorus, Ni Nengah Rida Ariarini, Kartika Maharani



20. Gangguan Gerakan Bola Mata ................... 285 Ni Nengah Rida Ariarini



INDEKS



xi



Scanned for Compos Mentis



NEUROLOGI UMUM Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis Penurunan Kesadaran Peningkatan Tekanan Intrakranial Pungsi Lumbal dan Analisis Cairan Serebrospinal Evaluasi Neurologis Perioperatif



Scanned for Compos Mentis



1



PENDEKATAN KLINIS GANGGUAN NEUROLOGIS Tiara Aninditha, Ni Nengah Rida Ariarini, Pukovisa Prawiroharjo



PENDAHULUAN Seperti halnya di dalam ilmu kedokteran, pendekatan klinis gangguan neurologis sangat ditentukan dari anamnesis dan r.emeriksaan terutama bertujuan untuk mendapatkan ada tidaknya defisit neurologis yang kemudian dibuktikan secara obyektif pada pemeriksaan fisik Berbeda dengan organ lainnya, pembuatan diagno sis pada gangguan neurologis juga disertai dengan diagnosis tapis untuk dugaan letak Iokasi penyebab munculnya gejala klinis, serta diagnosis etiologi dan patologis untuk kemungkinan mekanisme penyebab kelainannya. Hal in i dapat dibuat bahkan sebelum di lakukan pemeriksaan penunjang dengan mengikuti prinsip cara kerja otak yang sangat sistematis. Oleh karena itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti yang menghasilkan diagnosis klinis, tapis, etiologis, dan patologis akan sangat membantu menentukan pemeriksaan yang dibutuhkan serta tata laksana yang tepat.



sistem persarafan itu demikian luas, maka defisit neurologis dapat bersinggungan dipelajari di disiplin ilmu kedokteran lain. Bahkan defisit neurologis pada fungsi luhur dipelajari juga di luar disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan, seperti Psikologi, Ilmu Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan sebagainya. Secara umum berdasarkan keterlibatan sistem saraf, defisit neurologis dapat dibagi menjadi fokal maupun global. Defisit neurologis fokal adalah gejala dan tanda akibat kerusakan dari sekelompok sel saraf atau jarasnya di suatu area tertentu (fokal). Misalnya pada pasien yang mengalami kelemahan (paresis) sesisi tubuh kanan, maka kemungkinan ada _ggn,gguan di sistem piramidalis mulai dari korteks mqtorik primer hingga jarasnya ke otot. Karena sistem piramidalis hanyalah bagian dari seluruh sistem saraf, maka kelemahan sesisi sebagai gangguan sistem motorik dikategorikan sebagai defisit fokal. Defisit neurologis lainnya yang dapat dikategorikan defisit neurologis fokal di antaranya:



DEFISIT NEUROLOGIS Defisit neurologis adalah istilah yang dipakai untuk suatu gejala dan tanda yang muncul pada pasien akibat gangguan di sistem persarafan, baik sel otakn jlil (neuronjsel glia) hingga jarasnya (akson) dari reseptor untuk sistem sensorik,'""ili'a'UP un ke target organ dalam sistem motorik dan otonom. Karena



y



aresis dengan berbagai polanya, diantaranya hemiparesis sesisijalternans/ dupleks, tetraparesis, paraparesis, sis pacta miotom saraL tertentu, paresis gada poli neuro Q.ii!J:i, dan sebagainya.



3



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Ne uro log i



Defisit neurologis global adalah jika pada gejala dan tanda diakibatkan oleh kerusakan saraf yang luas, difus, atau menyeluruh. Meskipun nantinya pada analisis lanjutan dari sintesis diagnosis topis yang paling cocok ternyata hanya suatu lesi fokal tertentu yang mengakibatkan gejala dan tanda ini terjadi.



2,Cangguan gerak motorik meliputi (misalnya .trem.m:; balismus, dan sebagainya) dan ganggua!}_ koordinasi diskinesia, dismetria, dan sebagainya). /



Gangguan pola pernapasan. _}- Kejang fokal, misal mulut mencong ke satu sisi, salah satu tangan bergerak-gerak. dan lain-lain.



Beberapa gejala dan tanda yang dikategorikan defisit neurologis global di antaranya adalah:



) ' Gangguan sensorik eksteroseptif_hipestesi atau .b.iperestes j seperti dan alodinia, maupun gropriosepTif



.)- Penurunan kesadaran, karena salah satu diagnosis top is bandingnya adalah sakan hemisfer serebri bilateral, meskipun dapat pula disebabkan lesi fokal pada as-



>



Gangguan sensorik proprioseptif, misalnya hipestesi untuk sensasi getar dan posisi.



}



-



cendiiJB reticular activating system (ARAS).



Gangguan sensorik khusus akibat gangguan sistem saraf, seperti sistem visual (pola hemianopia, kuadranopia, buta kortikal, dan sebagainya), sistem penghidu (hipojanosmia, kakosmia, dan sebagainya), sistem pendengaran (tuli perseptif dan sebagainya), dan sistem pengecapan.



2..., Delirium, sebagai bagian dari penurunan v kesadaran. 3. Kejang umum, misal kaku atau kelojotan ../ pada kedua sisi ekstremitas secara ber-



,7 Nyeri kepala yang difus, karen a bisa akibat



8. _.Gangguan keseimbangan misalnya vertigo . /dan ataksia. /



perangsangan serabut peka nyeri intrakranial yang difus.



Nyeri fokal seperti nyeri leher, punggung bawah, dan sebagainya.



...£. Sindrom peningkatan tekanan intrakranial.



otonom misalnya sindrom Horner, hipo atau hiperhidrosis, hipotensi ortostatik, inkontinensia atau retensi uri dan alvi, serta gangguan ereksi dan ejakulasi akibat gangguan sistem saraf.



-./



6. Demensia... karena salah satu diagnosis bandingnya adalah atrofi serebri menyeluruh. Untuk melatih cara berpikir, pacta pembuatan diagnosis neurologis pada kegiatan akademik, tidak hanya memerlukan diagnosis klinis, tetapi juga dianalisis lebih lanjut menjadi diagnosis yang khas berupa: diagnosis klinis, tapis, etiologis, dan patologis.



)Y-Gangguan fungsi luhur fokal, seperti afasia, akalkulia, amnesia, dan seterusnya. 1):Gangguan neuropsikiatrik fokal, misalnya agitasi, depresi, dan sebagainya.



Maka langkah-langkah merangkai defisit neurologis menjadi suatu kajian diagnosis yang lengkap diperlukan anamnes is dan pemeriksaan fisik yang teliti.



neurologis yang bersifat fokal, misalnya sindrom lobus frontal dan sebagainya.



4



Scanned for Compos Mentis



Pendekatan Klinis Gangguan Neurologis



ANAMNESIS Pada anamnesis perlu dilakukan beberapa langkah penting, yaitu:



pertolongan. Pasien dibiarkan menjelaskan keluhan dengan istilahnya sendiri, kemudian diarahkan dengan lebih spesifik oleh dokter pemeriksa. Namun dalam neurologi, pemeriksa harus bisa mendapatkan 3 hal dari anamnesis, yaitu durasi dan perjalanan penyakit, lesi bersifat fokal a tau difus (menyeluruh), serta kemu ngkinan komponen sistem saraf yang terkena. Hal ini disebabkan oleh kerja sistem saraf pusat (SSP) yang sangat rapi dan sistematis. Setiap area di SSP sudah mempunyai fungsi tersendiri, sehingga kerusakan di area tertentu sudah pasti akan menyebabkan gejala yang ld1as sesuai dengan fungsinya, apapun penyebabnya. Dengan mengetahui durasi waktu, serta daerah dan perkiraan luasnya lesi, maka anamnesis saja sudah dapat membantu perkiraan diagnosis dan kemungkinan penyebab dengan lebih seksama.



a. fnventarisasi keluhan (gejala yang dirasakan secara subyektif oleh pasien). b. Dari inventarisas i keluhan itu turut dipilah jika ada yang masuk ke dalam suspek (kecurigaan) defisit neurologis. c. Keluhan termasuk defisit neurologis dianalisis dari sisi kronologis waktu (durasi, awitanjonset), kemunculan (insidens, frekuensi), intensitas gejala (progresivitas 11'1'((m buruk, membaik, atau acak), dan faktor yang memperburuk atau mengurangi gejala. d. Riwayat penyakit dahulu, termasuk pada anak adalah riwayat tumbuh kembang, kehamilan dan persalinan, dan vaksinasi. Perdalam anamnesis tentang analisis faktor risiko tertentu, misalnya hiperdiabetes melitus atau tung koroner I?_ada pasien yang dicurigai etiologinya vaskular.



Onset yang bersifat akut (dalam hitungan menit atau jam) dimungkinkan oleh kelainan vaskular atau kejang. Kelainan vaskular berupa cerebrovascular disease atau stroke berlangsung akut saat pasien sedang beraktivitas atau bangun tidw: Gejala dapat sangat bervariasi tergantung pada pembuluh darah otak yang terkena, hingga menyebabkan gangguan pacta bagian otak tertentu. Pasien akan mengalami gejala yang bersifat fokal, seperti kelemahan tubuh sesisi (hemiparesis), rasa baaljkesemutan pacta tubuh sesisi (hem i hipestesia/hemiparestesia), kesuli tan menelan (disfagia), bicara cadel (disartria), dan sebagainya secara mendadak.



e. Riwayat penyakit keluarga; beberapa penyakit neurologis bersifat genetik yang terdapat riwayat keluraga yang sama, seperti amvotro qbjc lateral sclerosis epilepsi, migren,



f.



--



Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan yang relevani pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah misalnya, perlu diketahui faktor sosio-ekonomi dan kebiasaan untuk menentukan penyebab nyerinya serta edukasi untuk pencegahan nyeri berikutnya.



Kadang gejala tidak segera disadari baik oleh pasien maupun lingkungannya, seperti gangguan fungsi kognitif. Pasien bisa mendadak terlihat linglung atau tidak mengerti pembicaraan orang (afasia sensorik) atau tidal
-=----'·-'/



\



\



., \



Ruang subarakncid



Gambar 1. Aliran Cairan Serebrospinal di Dalam Sistem Saraf Pusat



PUNGSI LUMBAL



Namun pungsi lumbal juga memiliki kontraindikasi, baik absolut maupun relatif. Kontraindikasi absolut pungsi lumbal adalah kondisi kardiopulmonal yang tidak stabil dan adanya infeksi kulit di lokasi tindakan. Sementara kontraindikasi relatifialah koagulopati, jumlah trombosit l (t(O.O\Oo\ {I;;•



, _ _,



I)



Buku Ajar Neurologi



Tabel 1. Alat dan Bahan Pungsi lumbal Perala tan Baju steril Masker To pi ]arum spinal no.20/ no.18/ no. 22 Sa rung tangan steril Kontainer steril (untuk pengiriman spesimen) ]arum suntik 2,Scc ]arum suntik Sec Manometer steril (atau blood set) Pe nggaris dengan skala ukur panJang SOcm Midazolam* viai1Smg Lidokain ampul1 % Povidon iodin Alkohol70% Plester



Three way stopcock



]umlah



1 1 1 2



2 3 2 3 1 1 1 2



1 1 1 1



Kantong plastik (untuk pengiriman spes imen) 3 Stiker label identitas-nama pasien 3 *Hanya digunakan bila pasien gelisah dan perlu dilakukan pemantauan fungsi pernapasan



Setelah alat dan bahan siap, maka prosedur pungsi lumbal dapat d.imulai. Awalnya, pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk di tempat tidur. Oianjurkan posisi lateral dekubitus dengan punggung di pinggir tempat tidur dan garis vertebra lurus untuk kemudahan prosedur. Bahu dan pinggul pasien diposisikan tegak lurus terhadap bidang datar sumbu vertebra, panggul dan Jutut difleksikan. Banta! dapat diletakkan di bawah telinga. Kemudian lokasi insersi jarum ditentukan dengan men ambil perpotongan garis imajiner antara kedua ·sta i i engan sumbu vertebra. Perpotongan ini biasanya jatuh pada celah intervertebralis L3-L4 (Gambar 2). Insersi jarum spinal dilakukan pada celah tersebut dan dapat bergeser satu celah ke arah.kaudal atau kranial. Pada anakjbayi, lokasi insersi dapat lebi h ke.arah kaudal, mengingatmedula masih sampai tingkat cela h intervertebralis L3-L4. Sedasi dengan m1dazolam



dilakukan jika pasien gelisah dan i!lkooperatif. Selanjutnya, langkah-Jangkah tindakan pungsi lumbal, sebagai berikut: 1. Gunakan alat pelindung diri (baju dan sa-



rung tangan steril serta masker dan topi)." 2. Lakukan antisepsis pada lokasi pungsi dengan povidone iodin dan alkohol 70% . ./ 3. Pasang duk sterU pada lokasi pungsi. .; 4. Lakukan anestesi lokal dengan Jidokain/ 1% pada kulit dan subkutis lokasi pungsi. 5. Dengan menggunakan jarum spinal beserta stilet, lakukan pungsi pada titik tengah Jaga posisi jarum tetap sejajar permukaan tempat tidur dan mengarah agqk ke umbilikus atau kranial. ... ,....... Pastikan needle bevel tetap menghadap ke wajah pemeriksa (atas langit-langit). 6. Dorong jarum spinal secara perlahan hingga menembus ligamentum flavum



-



48



Scanned for Compos Mentis



Pungsi Lumbal da n Ana /isis Cairan Serebrospinal



laka5i lumbal pllngsi lierietalc parla oelah intlenlertebr.a l3-l4 setinggi garis imajinasidi antaroa kedua luisti!J il@k ;;



Gam bar 2. Posisi Dekubitus Lateral untuk Pungsi Lumbal



dan menimbulkan sensasi seperti menembus kertas. Cabut perlahan-lahan stilet untuk mengetahui adanya aliran Jika belum ada aliran CSS, stilet kembali dipasang dan secara perlahan dorong lagi jarum spinal hingga ada aliran CSS. Jika jarum tidak dapat didorong lagi, maka kemungkinan jarum mengenai tulang. Tarik kembali jarum perlahan-lahan dan dorong kemba:Ii dengan sudut insersi yang sedikit berbeda.



Tekanan ini akan sedikit meningkat bila pungsi lumbal dilakukan dalam posisi duduk. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan nilai ini adalah obesitas, agitasi, peningkatan tekanan jntraahdominal (lutut dan perut djf!eksikan), dan tingginya tekanan intrakranial.



-



8. Jika tekanan CSS sudah didapatkan, tutup jalur ke arah manometer dan buka jalur lainnya untuk mengalirkan CSS ke dalam kontainer. Tampung CSS hingga diperoleh volume yang dibutuhkan.



7. Setelah ada aliran CSS, masukkan kernbali stilet dan siapkan manometer untuk mengukur tekanan pembukaan. Pasang three wa y sto pcock, lalu sambungkan salah satu jalur ke manometer dan tutup jalur lainnya. CSS akan mengalir ke dalam manometer hingga tidak ada erubahan, an 1 apa an nilai tekanan awal "tss. Nilai normal tekanan awal CSS pad'a orang dewasa adalah 10- 18cmH 20, sedangkan pada 28cmH 2 0.



9. Tutup jalur ke arah kontainer dan buka kembali jalur ke arah manometer untuk mengukur tekanan penutupan (closing pressure). lO.Setelah selesai mengukur tekanan akhir CSS, lepaskan three way stopcock dari jarum spinal. ll.Masukkan kembali stilet ke dalam jarum spinal. Tarik secara perlahan jarum spinal. Tutup lokasi pungsi dengan kassa steril.



49



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



12.Ambil darah sebanyak Sec untuk pemeriksaan gula darah sewaktu, untuk menentukan rasio glukosa CSSjdarah. 13.Kirim sampel CSS dan darah yang telah diambil ke laboratorium. .,...... ANALISIS CAIRAN SEREBROSPINAL



Anal isis CSS meliputi aspek makroskopik dan mikroskopik. Analisis aspek makroskopik CSS meliputi warna dan kejernihan, karena CSS yang normal jern jb dan tidak berwarna. Perubahan warna dapat dideteksi dengan membandingkan warna CSS pada kontamer dengan air pacta latar belakang dinding atau kertas putih dan pencahayaan matahari siang (daylight). Kelainan warna CSS dapat menjad i merah mudfi akibat hemQglobin, bilirubin, atau bahkan a bat melanm. CSS yang tidak jernih bisa disebabkan oleh jumlah leukosit >200/uL.



nai venula di pleksus Batson, sehingga darah ikut keluar mengalir bersama CSS. Kedua penyebab ini harus dibedakan mengingat konsekuensi tata laksana yang sangat berb eda Sci'tu sama lain. Cara membedakannya dengan mengambil dua atau tiga serial sampel CSS pacta satu waktu yang sama. Pada traum'atic 1IJjJ.. terjadi tren penurunan jumlah eritrosit pacta sampel CSS kedua dan ketiga. P acta perdarahan subaraknoid, tren penurunan ini tidak terjadi. oleh adanya hemolisis dan dilusi darah dengan CSS. Proses sentrifugasi CSS juga dapat membedakan CSS berwaroa merah akibat traumatic tap atau perdarahan subaraknoid. Pacta traumatic tap, supernatan yang dihasilkan tidak berwarna, sementara perdarahan subaraknoid menunjukkan warna merah muda (awitan beberapa jam) atau santrokrom (beberapa hari). Aspek mikroskopik yang dinilai meliputi analisis rutin, kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan beberapa pemeriksaan spesifik lain (pita oligoklonal, venereal disease research laboratoryjVDRL, sitologi), dengan nilai normal seperti pada Tabel 2.



Jika CSS berwarna merah umumnya akibat perdarahan subaraknoid atau kesalahan saat (traumatic ta p]. Kesalahan traumatic tap dapat terjad i karena jarum spinal menge-



Tabel 2. Nilai Normal Pemeriksaan Mikroskopik CSS Pemeriksaan Eritrosit Leukosit Hi tung jenis Protein total Glukosa Rasia glukosa CSS/darah Pewarnaan Gram Pewarnaan BTA Pewarnaan tinta india



Nilai normal l.l. U.QI,i • /,. onasi (vokaJisasi a tau speech arrest) b. Dengangejala somatosensori atau sensori spesial {halusinasi, seperti: rasa kesemutan, kilatan cahaya, telinga berdenging) • S.Omatosensori



I



. •



Ap d jt q r j







• Vertigo c. JI)engan gejala autonomik (sensasi epigastrik, pucat, berkeringat, wajah kemerahan, bulu kuduk berdiri, dilatasi pupil) d ....A>engan gejala psikis (gangguan fungsi kortikalluhur) • Disfasia • Dismnesia (misal: deja vu) • Kognitif (misal: seperti bermimpi, disorientasi waktu) • Afektif (misal: rasa takut, rasa marah) • Ilusi (misal: makropsia) Halusinasi terstruktur (misal : mendengar musik, melihat pemandangan) 2. Bangkitan parsial (disertai gangguan kesadaran; dapat didahului bangkitan parsial sederhana) J a. Parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran • Dengan bangkitan parsial sederha na (la-ld) diikuti gangguan kesadaran • De ngan automatisme b. Gangguan kesadaran sejak awal onset bangkitan • Dengan gangguan kesadaran saja • Dengan automatisme 3. Bangkitan parsia!Jerkembang menjadi bangkitan umum selmnder (tonik-klonik umum, tonik atau klonik) a. Bangkitan pars ial sederhana (1) berkembang menjadi bangkitan umum b. Bangkitan parsial kompleks (2) berkembang menjadi bangkitan umum c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks dan kemudian berkembang menjadi bangkitan urn urn Sumber: Panayiotopoulos CP. A clinical gu ide to epile ptic syndromes and their treatment. 2010.



81



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



Tabel2. Klasifikasi Bangkitan Umum (ILAE 1981) Klasifikasi Bangkitan Umum 1. Bangkitan absans a. Bangkitan absans



• • • •



Hanya gangguan kesadaran Dengan komponen klonik ringan Dengan komponen atonik Dengan komponen tonik Dengan automatisme Dengan komponen auto nomi



b. Bangkitan absans atipikal Dapat disertai: • Perubahan tonus otot yang leb ih jelas dibandingkan la • Awal mulai bangkitan clan berhentinya ba ngkitan ticlak terjacli mencladak



2. 3. 4. 5. 6.



Bangkitan mioklonik Bangkitan kJonik Bangkitan tonik Bangkitan tonik-klonik Bangkitan atonik (astatik)



Pada bangkitan umum dapat terjadi ko mb inasi beberapa ba ngkitan, misal: kombinasi anta ra mioklonik dengan atonik, atau absans dengan miokloni k Sumbe r: Panayiotopoulos CP. A clinical gui de to epi leptic syndromes an d their treatment. 2010.



Klasifikasi sindrom epilepsi (ILAE 1989) dibuat berdasarkan tipe bangkitan dan etiologi epilepsi. Penegakan diagnosis berdasarkan sindrom dapat mengarahkan ke tata laksana yang lebih spesifik dan dapat menentukan prognosis pasien. Klasifikasi sindrom epiIepsi dapat dilihat pada Tabel 3.



menjadi 4, yaitu: 1. Epilepsi dan sindrom .£fl.(fokal, Iokal, dan parsial) 2. _fu?ilepsi dan sindrom generalized atau umum 3. E12ilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum



Klasifikasi sindrom secara garis besar dibagi



4. Sindrom spesial



82



Scanned for Compos Mentis



Bangkitan dan Epileps.



Tabel 3. Klasifikasi Sindrom Epilepsi (I L.AE 1989)



J,



Sindrom Epilepsi Localization-related (fokal, lokal, parsial) a. ldiopatik (be_rhubungan usia awitan)



b.



c.



• Benrgn childhood epilepsy With centrotempora/ spike • Childhood epilepsy with occipital paroxysm • Primary reading epilepsy Simtomatil• • Chronik progressive epilepsia portia/is continua of childhood (sindrom Kozhevnikov) • Smdrom dengan bangkttan yang dipresipitasi oleh faktor tertentu • Epilepsi lobus temporal • Epilepsi lobus frontal • Epilepsi lobus parietal • Epilepsi lobus oksipital l} rigtogenik Epi_lepsi kriptogenik dianggap sebagai simtomatik namun etiologi masih bel urn diketahui secara pasti



Generallsedfumum ldiopatik (berhubungan dengan usia awitan)



a.



Benign neonatal familial convulsions • Benign neonatal convulsions • Benign myoclonic epilepsy in infancy • Childhood absence epilepsy (pyknolepsy) • juvenile absence epilepsy • juvenile myoclonic epilepsy • Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik umum saat bangun • Epilepsi umurn lainnya • Epilepsi dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh faktor tertentu b. Kriptogenik a tau simtomatik • Sindrom West (spasme infantil) • Sind rom Lennox-Gastaut • Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik • Epilepsi dengan absans mioklonik c. Simtomatik • Etiologi nonspesifil• Ensefalopati early myoclonic Ensefalopati epileptik early infantile dengan gambaran suppression burst Ep ilepsi umum simtomatik lainnya • Sindrom spesifik Bangkitan epi leptik dapat menyebabkan komplikasi beberapa penyakit lainnya. Pada sub-klasifikasi ini termasuk penyakit dengan gejala bangkitan sebagai manifestasi klinis utama. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan apakah folm.at



(B)



(A)



Gam bar 3. Sirkuit Motorik Ganglia Basal pada Keadaan Normal (A) dan Penyakit Parkinson (B) SNc: substantia nigra pars kompakta; GPe: glob us.palidus eksternus; STN: subthalamic nucleus; GPi: globus palidus intern us; SNr: substansia nigra pars retikulata; Th: talamus; Glu: glutamat; Enk: enkefalin; SP: substans i P; MSN: medium spiny neurons; GABA: gamma-aminobut:yric acid



113



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



• l



• . -



:



.• • ·







VPS13C •



• INPPSF



• •



DDRGKl GPNMB



· •



CCDC62



• $Ti(3g







• LRRK2



· .



Konsumsi b>pi Penggunaan AntiinOamasi Non Steroid







• SlPAll2 ' 8511 SNCA MAPT TMEMl7S·GAK



RDkol: tembakau



- 7 ' RA87ll·NUC!nsumsi .U.Ohol



HlA-DQBI



FGF20



MCCCl



SIIEBFl-RAil



Gambar 4. Faktor Risiko pada Penyakit Parkinson



Tanda patologi khas lain pada PP adalah badan Lewy. Pada penyakit Parkinson, protein terbanyak yang menyusun badan Lewy adalah a: -sinuklein. Protein ini mengalami agregasi dan membentuk inklusi intraseluler di dalam badan sel (badan Lewy) dan pada prosesus neuron (Lewy neurites). Braak dkk mengajukan teori progresifitas penyakit Parkinson berdasarkan distribusi topografi a-sinuklein. Pada proses ini, keru sakan dimulai pada sistem saraf tepi dan berkembang mengenai sistem saraf pusat secara progresif, dari arah kauda l menuju rostral. Progresifitas penyakit Parkinson menurut Braak (Braak Staging) dibagi menjadi 6 tahap (Gambar 5), yaitu:







formation , nukleus rap he posterior), substansia abu-abu medula spinalis.



• Tahap 3: melibatkan Pons (nukleus pedunkulopontin), midbrain (substansia nigra pars kompakta), basal forebrain [nukleus magnoselular termasuk nu kleus basalis Meynert), sistem limbik (subnukleus sentral am igdala) . • Tahap 4: melibatkan sistem limbik (korteks asesorius dan nukleus basolateral am igdala, nukleus interstisial stria terminal is, klaustrum ventral), talamus (nukleus intralaminar), korteks temporal (mesokorteks temporal anteromedial, region CA2 hipokampus). • Tahap 5 dan 6: melibatkan regio korteks multipel (korteks insula, area korteks asosiasi, area korteks primer).



Tahap 1: melibatkan sistem saraf perifer (neuron autonomik), sistem olfaktori (bulbus olfaktorius, nukleusolfaktorius). medula oblongata (nukleus dorsal motor vagal dan nervus glosofaringeus).



Tahap 1 dan 2 berkaitan dengan onset gej ala premotorik, tahap 3 merupakan tahap munculnya gejala motorik akibat defisiensi dopamin nigrostriatal, dan tahap 4-6 dapat muncul dengan gejala non-motorik pada tahap lanjut.



• Tahap 2: melibatkan pons (locus coeruleus, magnocellular portion of reticular



114



Scanned for Compos Mentis



Penyakit Parkinson



i-



Fase



: .t-



"""?:



F'==-e



I : II I- ./: II . . . ........... 1 I



+-



T-



: : Amhano bataS I



.......



../ :



I



..............



..f / .: I



·I



: /. . . . : : ... .•·•·



-: I



I



.l



.1



:



:



I



:



I 1I



Neokorteks, asosiasi tingkat tinggi



I



.. ·•



I



:



Neokorteks primer, sekunder



:



l



:



_: :



_j l!



Mesokorteks, thalamus Substansia nigra dan amygdala



Gain setting nuclei



_."



--+; · ·



-l



,'-



:



Nukleus dorsal motor X



'



2



3



4



5



6



Gambar 5. Tahap Patologi pada Penyakit Pm·kinson (Braak Staging)



dengan derajat keparahan defisit dopaminergik di striatum.



GEJALA DAN TANDA KLINIS



Manifestasi Motorik Gejala motorik utama dari PP adalah bradikinesia, rigiditas, tremor, dan instabilitas postural.



Tremor seringkali terjadi pada ekstremitas, lengan lebih sering dibandingkan dengan tungkai. Pada awal penyakit, tremor ber-sifat unilateral, kemudian seiring perjalanan penyakit, terjadi pada esktremitas kontralateral. Hal ini juga dapat terjadi secara intermiten pada rahang, bibir dan lidah. Tremor kepala biasanya merupa -kan perluasan dari tremor yang melibatkan badan dan ekstremitas.



1. Tremor



Merupakan salah satu gambaran khas PP. Namun 30% pasien dapat tidak mengelu hkan tremor pada awal gejala dan sekitar 25% kasus tanpa tremor selama perjalanan penyakit. Derajat keparahan tre mor tidak dikaitkan dengan progresivitas penyakit dan tidak berhubungan



115



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



hilang saat melakukan gerakan bertujuan atau mempertahankan postur tertentu. Efek ini hanya bertahan selama beberapa detik, kemudian muncul kembali (reemerges tremor). Namun menurut Lance dkk tremor postural dapat ditemukan bersamaan dengan tremor istirahat.



Tremor sebagian besar terjadi pacta bagian distal dan lebih jelas pacta jari-jari tangan atau kaki. Gerakan berupa fleksi ekstensi yang melibatkan jari-jari atau pronasi-supinasi pergelangan tangan yang disebut "pill-rolling tremor" meski pun tanpa komponen gerakan rotatear seperti saat melakukan pill-rolling. Tremor mencapai amplituda maksimal pacta saat istirahat, sehingga dikenal sebagai tremor istirahat atau resting tremor. Pada otot proksimal, tremor lebih jelas pacta saat mempertahankan postur, seperti pacta saat sedang duduk.



2. Rigiditas



Merupakan peningkatan tonus otot di seluruh lingkup gerak sendi (range of movement) dan tidak tergantung dari kecepatan otot saat digerakkan. Rigiditas dapat ditemukan pacta leher, badan, dan ekstremitas dalam keadaan relaksasi. Pemeriksaan pergelangan tangan dengan gerakan fleksi-ekstensi merupakan salah satu cara deteksi adanya rigiditas roda gigi (cogwheel) dan dapat dilakukan juga pacta sendi siku.



Tremor parkinson klasik memiliki frekuensi 4-6Hz, bersifat intermiten, seringkali dicetuskan ketika pasien dilihat oleh orang lain, serta dipengaruhi emosi atau stres. Tremor akan berkurang dan meng-



Postur membungkuk



Rigiditas



Tremor



Langkah kecil-keci l dan menyeret



Gambar 6. Postu r Simian, Khas pada Penyakit Parkinson



116



Scanned for Compos Mentis



Penyakit Parkinson



Rigiditas dapat mempengaruhi postur pasien, fleksi pada sebagian besar sendi, termasuk tulang belakang, dan membentuk postur simian (simian posture), suatu postur yang khas pada PP (Gambar 6). Bentuk ekstrim dari gangguan postur ini dikenal sebagai camptocormia. Abnormalitas postur dapat mempengaruhi ekstremitas bagian distal berupa ekstensi jari-jari dan fleksi dari sendi metakarpofalangeal dan dorsifleksi ibu jari kaki (striatal hand atau striatal toe).



tur, komunikasi, dan gerakan pasien juga berkurang, sehingga menyebabkan adanya halangan antara pasien, keluarga, dan teman-temannya. Akinesia dapat dinilai dengan manual agility test yang seringkali abnormal, yaitu tangan pasien yang terkena cenderung melambat dan mengalami penurunan amplituda gerakan secara progresif (early fatiguing) atau terhentinya gerakan atau terputus-putus (freezing). Pemeriksaan ini berupa gerakan seperti bermain piano dengan cepat. Pemeriksaan akinesia lain dapat dilakukan dengan repetitive tapping antara ibu jari dan jari telunjuk, atau hand movement dengan membuka dan menutup tangan, serta rapid alternating movement dengan pronasi dan supinasi secara bergantian.



Mengangkat salah satu lengan atau menggenggam salah satu tangan dapat menyebabkan rigiditas semakin jelas pada ekstremitas kontralateral (manuver Froment). Tremor yang terus menerus dapat menyulitkan pasien untuk mengalami relaksasi dan menyulitkan pemeriksa untuk menemukan rigiditas.



Pasien juga memiliki kesulitan untuk melakukan dua gerakan dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, ketika pasien hendak menyambut tamu yang datang, pasien dapat bangkit dari kursi dan berdiri secara perlahan namun ketika hendak mengangkat Iengan untuk bersalaman, pasien akan jatuh terduduk kern bali.



3. Akinesia



Akinesia merupakan salah satu gejala yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien, karena gerakan volunter pasien menjadi lambat. Pasien mengalami kesulitan dalam melakukan inisiasi gerakan, mempertahankan gerakan, dan mengubah berbagai pola gerakan motorik. Pada awal perjalanan penyakit, akinesia terjadi unilateral dan seringkali bersifat ringan. Pada tahap lanjut, akinesia terjadi pada kedua ekstremitas dan bertambah berat. Derajat keparahan ini tidak berhubungan dengan derajat keparahan tremor dan rigiditas. Akinesia dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk diam dengan ekspresi wajah minimal seperti topeng (facial amimia atau "masked face'J. Ges-



Terdapat pula gangguan dalam menulis, huruf menjadi kecil-kecil (mikrografia). Pada saat awal menulis bentuknya rnasib normal, namun semakin lama akan semakin mengecil. Pada saat menggambar spiral, pasien akan kehilangan kelancaran, yaitu menggambar secara perlahan dengan ukuran spiral yang menjadi kecil disertai tremor, sehingga garis yang dibentuk juga tidak mulus.



117



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



jatuh pada penyakit Parkinson meningkat seiring dengan durasi penyakit. Dalam jangka waktu 5 tahun, individu dengan parkinsonisme mengalami cedera karena jatuh 1,3 kali lipat dibandingkan dengan tanpa parkinsonisme.



4. Instabilitas Postural



Pasien dapat mengalami kesulitan pa'da saat bangkit dari kursi. Posisinya cenderung membungkuk ke depan untuk meletakkan pusat gravitasi di atas kaki dan seringkali harus dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba lakukan beberapa kali hingga berhasil berdiri dan seringkali terjatuh.



Manifestasi Nonmotorik Gejala nonmotorik jarang dikenali dalam praktik klinis. Baik klinisi maupun pasien seringkali mengenyampingkan gejala ini dan lebih fokus pada gejala motorik yang membawa pasien ke dokter. Shulmann dkk mendapatkan bahwa lebih dari 50% gejala depresi, ansietas, dan fatig. tidak dikenali oleh neurolog. Padahal sebagian besar pasien penyakit Parkinson memiliki gejala nonmotorik, termasuk lebih dari 40% gangguan tidur.



Pada tahap awal, dapat ditemui gangguan cara berjalan berupa berkurangnya ayunan lengan. Tahap selanjutnya panjang langkah akan berkurang dan kaki tidak dapat diangkat secara normal pada saat melangkah, sesuai dengan gambaran shuffling gait. Pasien dengan penyakit parkinson dapat memodulasi frekuensi langkah dan meningkatkan irama jalan, namun tetap berjalan lebih lambat dibandingkan normal karena langkahnya lebih kecil. Sesekali langkah-langkah pasien juga semakin cepat (festination), bahkan dapat berlari tanpa bisa ditahan sampai ada halangan di depan pasien. Pasien juga cenderung jatuh ke depan (propulsi) maupun ke belakang (retropulsi).



Berdasarkan studi PRIAMO (PaRkinson And nonMotor symptOms) yang melibatkan 1072 pasien dengan menggunakan kuesioner. 98,6% pasien memiliki setidaknya satu gejala motorik, terutama gejala psikiatrik, sensoris, atau gangguan tidur dan setiap pasien memiliki rerata delapan gejala motorik. Studi lainnya yang membandingkan dengan subjek individu sehat menggunakan Nonmotor Symptom Questionnaire, diperoleh bahwa pasien PP memiliki gejala nonmotor yang lebih banyak, berupa hipersalivasi, mudah lupa, sulit menahan berkemih (urinary urgency), hiposmia, dan konstipasi.



Pada awal tahap penyakit, postur bisa normal. Seiring perjalanan penyakit, postur akan mengalami perubahan, sehingga leher cenderung mengalami fleksi dan kifosis di daerah torakal (Gambar 5). Bahu akan mengalami aduksi. Siku, perge-langan tangan, dan jari akan semifleksi. Sendi panggul dan lutut akan tertekuk secara parsial. Berjalan dan khususnya berjalan memutar menjadi semakin sulit, dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap jatuh. Insidens



Gejala nonmotorik memiliki spektrum yang luas dan mencakup 4 ranah (domain), yakni 1) gangguan autonom; 2) gangguan tidur; 3) neuropsikiatrik; dan 4) gangguan sensoris (Tabel1).



118



Scanned for Compos Mentis



Penyakit Parkinson



Tabell. Em pat Ranah Gejala Nonmotorik pada Penyakit Parkinson Domain Nonmotorik



Gejala Nonmotorik



Gangguan auto nom



Saliva menetes,disfagia, mual, konstipasi, urinary frequency and urgency, nokturia, urinary voiding, disfungsl seksual, hipotensi ortostatik, supine hypertension (recumbent), keringat berlebihan



Gangguan tidur



Excessive daytime sleepiness, vivid dreams/REM behavioral disorder (RBD), insomnia, sindrom restless legs



Gangguan neuropsikiatri



Gangguan kognitif, gangguan mood, apatis, anhedonia, psikosis, halusinasi, gangguan kompulsif-impulsif Gangguan sensoris dan gejala Gangguan olfaktori, visual, auditorik, dan nyeri, fatig nonmotorik Jain REM: rapid eye movement Sumber: ErroR, dkk. Journal of Parkinsonism and Restless Legs Syndrome. 2015. h.l-10.



Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan klinis penyakit Parkinson yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih sering dijumpai pada: 1) fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik; 2) stadium awal penyakit, dan 3) stadium lanjut penyakit. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada fase premotor adalah rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder (RBD), konstipasi, dan hiposmia.



pada stadium awal adalah disautonomia, gangguan tidur, dan gangguan sensoris, sedangkan psikosis dan demensia umumnya pada stadium Jan jut. Depresi memiliki kurva bimodal, yakni terdapat dua onset tersering pada stadium awal dan stadium lanjut, dengan periode normal di antaranya. Selain onset, perjalanan natural gejala nonmotorik ini juga bervariasi dapat progresif atau stabil akibat multifaktor, tidak semata oleh durasi dan tingkat keparahan penyakit. Sebagian besar gejala nonmotorik pada tahap awal dikaitkan dengan proses intrinsik patogenesis penyakit yang kompleks yang tidak hanya melibatkan jaras striatonigral dan neurotransmiter dopaminergik, namun juga jalur ekstranigral dan berbagai neuron non-dopaminergik. Hal ini sesuai dengan hipotesis Braak yang mengusung konsep kaudo-rostral asending (Tabel 2).



Pada studi multisenter di Spanyol dan Austria, The Onset of Nonmotor Symptoms in Parkinson's Disease (The ONSET PD Study) diperoleh interval waktu yang berbeda dari munculnya gejala nonmotorik hingga terjadi gejala motorik penyakit Parkinson, yaitu dapat mencapai lebih dari 10 tahun. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai



119



Scanned for Compos Mentis



Tabel2. Gejala Nonmotorik Menurut Substrat Neuropatologis pada Struktur Anatomi dan Stadium Braak



.....



Regio Anatomt Sistem saraf otonom • Ganglion simpatik (paravertebral, celiac) • Pleksus gastroesofagealf enterik • Pleksus pelvik • Saraf simpatis kardiak • Kelenjar adrenal Kulit Saraf epidermal Bulbus olfaktori Nukleus olfaktori anterior Medula Oblongata Nukleus dorsal motor vagus (parasimpatls)



Patologi a-sinuklein Badan Lewy dan neurit Lewy Badan Lewy dan neurit Lewy Badan Lewy dan Neurit Lewy Badan Lewy dan Neurit Lewy Badan Lewy NeuritLewy



Stadium Braak 1-6 1-6 1-6 Tidak diketahui 1-6 2-6



Gejala au ton om Konstipasi Nokturia, impotensi, urgensi Hlpotensi ortostatlk Fatig, adinamla Sensasi abnormal, nyeri



Badan Lewy dan Neurit Lewy



1



Hiposmia



Badan Lewy dan Badan Lewy insidental



1



Disautonomla (gastrointestinal, kandung kemih)



Badan Lewy dan Neurit Lewy



2



N 0



Pons • Lokus seruleus, nukleus raphe, nukleus tegmental lateral



Gejala Non motor



Depresi, gangguan tidur, REM behavior disorder (RBD)



Midbrain



• • •



Badan Lewy dan Neurit Lewy Substansia nigra Badan Lewy dan Neurit Lewy Diensefalon Talamus • Hipotalamus Basal Forebrain Badan Lewy kortikal • Nukleus basal Meynert Badan Lewy kortikal • Hipokampus, amigdala Neokorteks Badan Lewy kortikal • Korteks prefrontal Badan Lewy kortikal • Korteks parieto-temporal NeuritLewy Retina Sumber: )ellinger KA. J Neural Transm. 2015. h. 1429-40.



Scanned for Compos Mentis



3 3-4



4



5 6 Tidak diketahui



Gejala Motorik ekstrapiramidal Gangguan tidur, perubahan berat badan



Gangguan eksekutif, emosional, dan perilaku Agnosis, apraksia Demensia, psikosis Diplopia, gangguan membaca



Penyakit Parkinson



Z. Positron Emission Tomography (PET) dan Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) PET dan SPECT dapat membantu proses visualisasi bagian pre dan pascasinaps dari proyeksi nigrostriatal serta mendapatkan gambaran semikuantitatif jaras-jaras tersebut. Hal ini digunakan untuk membedakan PP dengan sindrom parkinsonisme atipikal lain atau tremor esensial. Defisit dopaminergik dapat diidentifikasi melalui dopamine trans-



Selain akibat proses patogenesis intrinsik, beberapa gejala nonmotorik juga dikaitkan dengan obat. Obat-obat yang sering dipakai di awal penyakit, seperti antikolinergik dan amantadin, inhibitor monoamin oksidase, dopamin agonis, dan levodopa dapat menyebabkan efek samping atau meningkatkan potensi gejala nonmotorik pada PP. Contohnya gejala hipotensi ortostatik, halusinasi, excessive daytime sleepiness (EDS) atau insomnia akibat agen dopaminergik dan gangguan memori pada penggunaan antikolinergik. Oleh karena itu, perubahan modalitas terapi dapat mengurangi gejala nonmotorik tersebut



porter single-photon emission computed tomographyfDaT-SPECT (DaTSCAN®) menggunakan [1231]-FP-CIT yang mengukur penghantar dopamin presinaps di sinaps dopaminergik striatum.



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang dapat digunakan, di antaranya sesuai dengan United Kingdom Parkinson's Disease Society Brain Bank(Tabel3). Penilaian yang juga sebaiknya dilakukan adalah stadium penyakit berdasarkan klasifikasi modified Hoehn and Yahr (Tabel4).



3. Ultrasonografi Transkranial Untuk mengkonfirmasi gambaran hiperekoik di substantia nigra pada hampir dua pertiga pasien PP dan dapat terdeteksi pada tahap awal penyakit. Namun basil tersebut juga dapat ditemukan pada 10% dari orang normal, sehingga pemeriksaan ini hanya bersifat suportif dalam penegakan diagnosis.



Penyakit parkinson didiagnosis berdasarkan kriteria klinis. Tidak didapatkan pemeriksaan yang bersifat definitif untuk menegakkan diagnosis, kecuali konfirmasi histopatologis adanya badan Lewy pada autopsi. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membedakan dengan kelainan degeneratif lain, terutama parkinsonisme sekunder atau atipikal. 1. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Untuk menyingkirkan diagnosis banding lain, seperti parkinsonisme vaskular, Penyakit Wilson, dan sindrom parkinsonisme atipikal.



TATA LAKSANA Tata Laksana Gejala Motorik 1. Stadium Awal a. Edukasi Merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh klinisi setelah diagnosis PP ditegakkan kepada pasien danfatau pengasuh (caregiver)-nya mengenai perjalanan klinis penyakit, tata laksana, dan perubahan gaya hid up.



121



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



Tabel3. Kriteria Diagnosis Penyaldt Parkinson Berdasarkan UK Parkinson's Disease Society Brain Bank Langkah 1 : Diagnosis Sindrom Parkinsonisme Bradikinesia ditambah satu atau Iebih dari gambaran berikut :



Langkah 2 : Kriteria Eksklusi Penyakit Parkinson Satu atau lebih gambaran berikut mengindikasikan diagnosis alternatif: • Rigiditas muskular • Riwayat stroke berulang dengan progresifitas gejala parkinsonisme yang bertahap • Tremoristirahatfrekuensi 4-6Hz • lnstabilitas postural yang • Riwayat cedera kepala berulang • Riwayat ensefalitis definit tidak disebabkan oleh disfungsi visual primer; • Pengobatan neuroleptik pada onset gejala • Paparan 1-metil-4 -phenyl-1,2,3,6-tetravestibular; serebelar; atau proprioseptif hidropiridin (MPTP} • Respons negatiflevodopa dosis tinggi (dengan mengeksklusi malabsorbsi} • Lebih dari satu anggota keluarga terlibat • Remisi menetap • Gejala tetap unilateral setelah 3 tahun • Gejala autonom berat pada tahap dini • Demensia berat dengan gangguan memori, bahasa, dan praksis pada tahapdini • Krisis okulogirik • Tanda Babinski • Tanda serebelar • Tumor serebral atau hidrosefalus komunikans pada CT scan atau MRI



Langkah 3 : Kriteria Pendukung Positif untuk Penyakit Parkinson Tiga atau Iebih gambaran berikut untuk diagnosis definit penyakit Parkinson: • Tremor istirahat • Onset unilateral • Asimetri persisten melibatkan sisi onset Iebih hebat • Gejala progresif • Perjalanan klinis penyakit 10 tahun atau lebih • Respons sangat baik (70100%) dengan levodopa • Respons levodopa selama 5 tahun atau lebih • Korea hebat yang diinduksi pemberian levodopa



Tabel4. Stadium Penyakit Parkinson Berdasarkan Modified Hoehn and Yahr Stadium



Keterangan



StadiumO Stadium 1



Tidak ada gejala dan tanda penyakit Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh orang terdekat (ternan), terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya tremor pada satu anggota gerak. Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh orang terdekat (ternan), terdapat gejala yang mengganggu tetapl tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak. Terdapat keterlil;latan batang tubuh. Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, sikap/cara jalan terganggu Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, sikapfcara jalan terganggu. Pull test negatif, namun terdapat retropulsi 1-2langkah. Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalanfberdiri, disfungsi umum sedang. Puii test positif, yakni terdapat retropulsi 3langkah atau lebih. Terdapatgejala yang lebih berat, rigiditas, dan bradikinesia, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, tidak mampu berdiri sendiri. Tremor dapat berkurang dibanding sebelumnya. Stadium kakhektik (cachetic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan, memerlukan perawatan tetap



Stadium 1,5



Stadium2 Stadium2,5 Stadium 3 Stadium4 StadiumS



122



Scanned for Compos Mentis



Penyakit Parkinson



b. Nonfarmakologi Latihan regular sangat penting untuk meningkatkan mobilitas dengan memperbaiki pola berjalan (gait) dan meminimalisir risiko jatuh, meringankan ketidaknyarnanan muskuloskeletal, mencegah sendi kaku, dan mengurangi kecenderungan terjadi-nya kontraktur atau deformitas. Keluar-an dari latihan ini dapat memperbaiki kemandirian melalui skor activity daily living (ADL) dan motorik UPDRS secara signifikan. Selain itu, terapi wicara serta latihan menelan iuga sangat bermanfaat untuk pasien.



neuron yang rusak, CEP-1347 (atau KT7515) sebagai antiinflamasi dan antiapoptotik, TCH346 (atau CGP3466 atau CGP3466B) sebagai antiapoptotik, dan riluzol sebagai inhibitor eksitotoksisitas glutamanergik Beberapa agen farmakologis yang digunakan untuk pengobatan penyakit Parkinson, juga memiliki properti yang berpotensi sebagai neuroprotektor, namun hasilnya pun masih bel urn memuaskan. Adapun agen farmakologis yang dimaksud an tara lain: a) Inhibitor MAO-B seperti selegilin dan rasagilin Kedua agen ini memiliki cincin propargil yang memiliki efek antiapoptotik. Studi DATATOP (selegilin) dan ADAGIO (rasagilin) meragukan keluaran baik dari terapi tersebut semata-mata karena efek neuroprotektif.



c. Farmakologi 1) Neuroprotektor Terapi simtomatik pada umumnya efektif pada stadium awal penyakit. Namun dengan berjalannya waktu, sebagian besar pasien akan mengalami penyulit yang beragam dan disabilitas yang berkelanjutan akibat progresifitas penyakit. Oleh karena itu, perlu pemberian terapi untuk memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit.



b) Agonis dopamin seperti pramipeksol



Stimulasi pada reseptor dopaminergik presinaps menyebabkan penurunan distribusi dopamin endogen dan mengurangi turnover dopamin pada neuron dopaminergik. Hal ini menjadi perdebatan mengenai potensi neuroprotektif atau kemampuan memodifikasi penyakit dari agonis dopamin.



Hingga saat ini belum ada agen farmakologis yang terbukti efektif untuk memodifikasi penyakit, karena belum ada mekanisme yang dapat menjelaskan etiopatogenesisnya dengan tepat. Berbagai upaya terapi telah dikembangkan berdasarkan stres oksidatif, disfungsi mitokondria, perubahan degradasi protein, inflamasi, eksitotoksitas, dan apoptosis. Demikian pula hasil studi hewan percobaan maupun uji klinis kurang memuaskan, yakni analog FK-506 sebagai imunosupresan selektif meningkatkan regenerasi



c) Vitamin D dan koenzim QlO juga men-



jadi kandidat agen neuroprotektif, namun studinya masih kurang memadai. 2)



Simtomatik Terapi farmakologis yang ada saat ini masih bersifat simtomatik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh karena bertujuan simtomatik, pada



123



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



dingkan levodopa serta memiliki efek samping yang cukup banyak dan lebih berat dibandingkan levodopa, seperti gangguan kognitif, halusinasi, hipotensi ortostatik dan gangguan kontrol impuls.



umumnya klinisi berupaya mengurangi gejala dengan dosis terkecil yang paling efektif untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Dengan demikian terapi bersifat individual disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien.



Meskipun demikian, risiko terjadinya komplikasi motorik lebih rendah dibandingkan levodopa. Oleh karena itu pada pasien usia lanjut dengan gejala yang lebih berat, memiliki gangguan kognitif, gangguan kontrol impuls, serta riwayat gangguan psikiatri, levodopa menjadi pilihan utama. Sebaliknya, pada pasien usia muda, diberikan agonis dopamin atau inhbitor MAO-B, dan menunda pemberian levodopa hingga agen tersebut tidak lagi memberikan kontrol yang memuaskan.



Terdapat berbagai pendekatan untuk menetapkan kapan waktu yang tepat untuk mulai terapi simtomatik. Sebagian besar studi merekomendasikan untuk menginisiasi terapi simtomatik secara dini setelah diagnosis ditegakkan. Namun sebagian lagi, menunda pemberian terapi dengan pertimbangan efek samping atau komplikasi yang akan dihadapi pasien. Hingga saat ini, agen yang dapat meningkatkan konsentrasi dopamin atau menstimulasi reseptor dopamin, yakni levodopa dan agonis dopamin masih menjadi terapi utama untuk gejala motorik pada penyakit Parkinson. Namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai agen yang sering digunakan sebagai terapi simtomatik dapat dilihat pada Tabel 5, dengan mekanisme kerja pada Gambar 7.



Pertimbangan gejala motorik yang dominan juga mempengaruhi pemilihan terapi. Pada pasien yang memiliki gejala tremor dominan, antikolinergik seperti triheksifenidil dapat dijadikan alternatif. Ada hal yang perlu mendapat perhatian tentang antikolinergik, yaitu 1) belum jelas superioritas antikolinergik dibandingkan dopaminergik untuk mengatasi tremor; 2) mekanisme yang mendasari antikolinergik juga belum dapat dipahami sepenuhnya, namun diperkirakan deplesi dopamin menyebabkan hipersensitifitas kolinergik, sehingga perlu antikolinergik; serta 3) efek samping yang ditimbulkan akan memperberat disabilitas, diantaranya gangguan kognitif, konstipasi, retensi urin, dan gangguan prostat.



Levodopa meskipun merupakan agen farmakologis yang paling efektif dan menjadi baku emas pada studi agen farmakologis baru, namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi motorik. Dosis harian lebih dari 400mgfhari, durasi lebih dari 5 tahun, serta usia muda memiliki risiko komplikasi motorik yang lebih tinggi. Sementara, agonis efektifitas dopamin masih lebih inferior diban-



124



Scanned for Compos Mentis



Tirosin



Levodopa



Menlngkatkan kadar L- Dopa



.



Amantadine memacu pelepasan DA dan menghambat



Rasagi Ii n/Selegi Iin



reuptake



Menglnhlblsi MAO-B



.....



N U1



• DA •







Menghambat



reuptake







DA Agonis • Mengikat reseptor DA











l- -



• •• • •



Reseptor DA



.



Degradasi



COMT



Inhibitor COMT Menghambat degradasl DA dan L-Dopa



-------



--...



Gambar 7. Mekanisme Kerja Obat-obatan Simtomatik pada Penyakit Parkinson DA: dopamin, MAO: monoam in oksidase; COMT: catecho /-0-methy/transferase



Scanned for Compos Mentis



to



.:::: .::::



:>;;-



---. Gangguan Fungslonal



Tldak



--+



Terapl Neuroprotektif



- --



eo·..,



,__ •Anfl-oksldan •Agonls Oopamln /Pramlpeksol



!



.::::



Terapl Slmtomatlk



Ya



d



Tremoroomlnan



--+



r2



I



Usia i"hkan dihentikan karena lebih banyak efek samping yang ditemukan pada kelom pok deksametason dibandingkan kelompok plasebo. Oleh karena itu disimpulkan bahwa deksametason tidak efektif dalam menurunkan mortalitas dan memperbaiki keluaran pasien HIV positif dengan meningitis kriptokokus.



Gambaran pencitraan yang dapat ditemukan pada pasien meningitis kriptokokus di antaranya adalah penyangatan pad a meningen, .Eadat/granuloma, serebri, atau ,hidrosefalQ?. Bila dicurigai adanya gambaran massa atau kriptokokoma, maka diagnosis toksoplasmosis otak atau limfoma susunan sarafpusat (SSP) harus dipertimbangkan.



242



Scanned for Compos Mentis



lnfeksi Oportunistik Susunan Saraf" Pusa t pad a AIDS



Gangguan fun gsi ginjal merupakan efek samping terbanyak yang dikaitkan dengan penggunaan amfoterisin B. Efek tersebut pacta umumnya dapat diprediksi, namun dapat berkembang menjadi kondisi yang serius jika tidak dilakukan pemantauan ketat. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi RS dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan.



lumba l, dengan pengukuran yang dilaku kan posisi kepala pasien. Pengukura n ini dilakukan dengan manometer, namun seringkali tidak tersedia pada fasilita s kesehatan yang terbatas. Oleh karena itu dapat diantisipasi dengan alat pengukur lain yang dinilai cukup akurat seperti blood set (intravenous tubing sets).



Hipoka le mia juga seringkali menjadi efek sampmg amfoterisin 8 yang cuku p sul jt untuk dikoreksi. Hipokalemia berat bahkan seringkali ireversibel meskipun amfoteri sin 8 tidak lagi diberikan. Oleh karena itu, pemantauan balans cairan dan elektrolit sangat penting baik sebelum ataupun saat pemberian terapi.



Pungsi lumbal dapat menjadi pilihan terap i pada peningkatan TIK dan dapat dikerjakan berulang jika peningkatan TIK masih berlangsung, sehingga dapat memperbaiki keluaran pasien. Direkomendasikan untuk mengeluarkan CSS sebanyak 20-30mL pada rasien dengan te lfi Okg; 75mg /bar j 10-20mgfbari



10-20mgfhari (sediaan tablet 5 dan 10mg) 600mg/6jam v"Kiindamisin 600mg/6 jam (sediaa n tablet 300 mg) 960mg/12 jam 960mg/12 jam metoksazol (sediaan tablet 480mg) Sumber: Kaplan )E, dkk. CDC. 2009. h. 1-198.



Efek Sam ping Gan ggy an fungsi bari, fun gsi gin jal, gan gguan hematglggi Ruam kulit, de presi sums pm h!l a ng (neutropenia, trombositopenia)



Alergi Demam, ruam kulit, muntah, diare (kolitis pseudomembran) bosj tppenia gangguan funesi hati



Br Med Bull. 2010;72(1):99-118. 3. Sun HY, Hung CC, Chang SC. Management of cryptococcal meningitis with extremely high intracranial pressure in HIY-infected patients. Clin Infect Dis. 2004;38(12):1790-2. 4. Loyse A, Wainwright H, Jarvis JN, Bicanic T, Rebe K, Meintjes G, dkk. Histopathology of the arachnoid granulations and brain in HlV-associated cryptococcal meningitis: correlation with cerebrospinal fluid pressure. AlDS. 2010;24(3):405-10. 5. Meda ), Kalluvya S, Downs JA. Chofle AA. Seni L Kidenya 8, dkk. Cryptococcal meningitis management in Tanzania with strict schedule of serial lumber punctures using intravenous tubing sets: an operational research study. j Acquir Immune Defic Syndr. 2014;66(2):e31-6. 6. Day JN, Chau TT, Wolbers M, Mai PP, Dung NT, Mai NH, dkk. Combination antifungal therapy for cryptococcal meningitis. N Eng! j Med. 2013;368: 1291-302. 7. Beardsley). Wolbers M, Kibengo FM, Ggayi AB, Kamali A, Cue NT, dkk. Adjunctive Dexamethasone in HIV-Associated Cryptococcal Meningitis. N Eng! J Med. 2016;374:542-54. 8. Day). lmran D, Ganiem AR, Tjahjani N, Wahyuningsih R, Adawiyah R, dkk. CryptoDex: a randemised, double -blind, placebo-controlled phase Ill trial of adjunctive dexamethasone in HIY-infected adults with cryptococcal meningitis: study protocol for a randomised co ntrol trial. Trials. 2014;15:441.



Terapi rumatan diberikan hingga CD4 >200sel fhlL selama 6 bulan berturu tturut setelah pemberian ARV. Terapi tambahan berupa kortikosteroid seperti deksametason dapat diberikan pada pasien yang memiliki lesi fokal disertaj edema dan tanda hemiasi. Pember iannya harus dievaluasi dan dihentikan sesegera mungkin karena adanya potensi illJJ.!DQSilpresi. Pasien dengan steroid harus dimonitor ketat untuk menghindari infeksi oportunistik lain, seperti tuberkulosis dan 51tome.qalovirus.



-



Hingga saat ini, belum ada rekomendasi waktu yang tepat untuk memulai ARV pacta pasien TE. Laporan mengenai IRIS pacta TE sangat jarang. Para klinisi umumnya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu setelah diagnosis. DAFTAR PUSTAKA 1.



Lee SC, Dickson DW, Casadevall A. Pathology of cryptococcal meningoencephalitis: analysis of 27 patients with pathogenetic implications. Hum Pathol.1996;27(8):839-47. 2. Bicanic T, Harrison TS. Cryptococca! meningitis.



247



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



2014 Mei 21-24; Fukuoka,Jepang; 2014. 14. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: a living legacy. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-78. 15. Haryati S, Prasetyo AA, Sariyatun R. Sari Y, Murkati. lnterferon-y +874AfT polymorphism associated with Toxoplasma gondii seropositivity in HIV patients. Asian Pacific Journal ofTropical Disease. 2015;5(10):798-803. 16. jayawardena S, Singh S, Burzyantseva 0, Clarke H. Cerebral toxoplasmosis in adult patients with HIV infection. Hospital Physician. 2008;7:17-24. 17. Kaplan JE, Benson C, Holmes KK. Brooks JT, Pau A, Masur H, dkk. Guidelines for prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-Infected adults and adolescents: recommendation from CDC, the National Institute ofHealth, and the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of .Ainerica. MMWR [serial online]. 2009 [diunduh 21 Oktober 2016]:2009;58:1-



9. Kaplan JE, Vallabhaneni S, Smith RM, ChideyaChihota S, Chehab J, Park B. Cryptococcal antigen screening and early antifungal treatment to prevent cryptococcal meningitis: a review of the literature. J Acquir Immune Defic Syndr: 2015;68 (Suppi3):S331-9. 10. Abassi M, Boulware DR, Rhein J. Cryptococcal meningitis: diagnosis and management update. Curr Trop Med Rep. 2015;2(2):90-9. 11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral. Kemenkes [serial online]. 2015 [diunduh 27 Februari 2017]. Tersedia dari: ditjenpp.kemenkumham.go.id. 12. Terazawa A, Muljono R. Susanto L, Margono SS, Konishi E. High toxoplasma antibody prevalence among inhabitants in Jakarta, Indonesia. Jpn J Infect Dis. 2003;56(3):107-9. 13. Octaviani D, Imran D, Estiasari E. Response to empirical therapy in AIDS patients suspected Toxoplasma Encephalitis. Dipresentasikan pada: The 55th Annual Meeting of The Japanese Society of Neurology;



198. Tersedia dari: CDC.



248



Scanned for Compos Mentis



16



MULTIPEL SKLEROSIS Riwanti Estiasari



PENDAHULUAN Multipel sklerosis (MS) adalah penyakit autoimun berupa inflamasi kronik pada sistem saraf pusat (SS P). Pada MS terjad j proses demielinisasi pada SSP yang dapat meng_akibatkan kecacatan. menyer:;mg perem puan usia muda dengan rasio kekerapan dibandingkan dengan laki-laki sebesar 2:1 sampai 4:1.



nia tahun 2008 sekitar 2,1 juta orang dan bertambah menjadi 2,3 juta orang di tahun 2013 . MS ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang sangat bervariasi. Di Amerika Utara dan Eropa prevalensi MS merupakan yang tertinggi di dunia yaitu 140/100.000 dan 108/100.000. Adapun prevalensi terendah didapatkan di Afrika dan Asia Timur yaitu 2,1/100.000 dan 2,2/100.000.



--



Etiologi MS hingga saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak studi memperlihatkan interaksi antara kerentanan genetik dan faktor lingkungan menjadi pemicu proses imunologis yang mengakibatkan demielinisasi. Faktor lingkungan yang banyak diteliti adalah lintang, .[lata!J.iri dan vitamin..,.l2, riwayat lD feksi dan iml!!l a.ftlptif terhadap i.pfeksi EB"'



Berdasarkan peta tersebut prevalensi MS di Indonesia berkisar antara 0-5/100.000. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Rusmana mencatat 20 kasus MS selama tahun 2014 sampai dengan pertengahan tahun 2016.



PATOFISIOLOGI Karakteristik patologi MS adalah ditemykannya plak yang__merupakan hasH dari gg gradasi ne qronal dan ..a)v serta iarin ga.u parut astros_!!. Pada seseorang yang memUiki kerentanan genetik terhadap MS akan terjadi reaksi si!ang antara anti gen li pgkungan dengan Im.mponen dan atau oligodendros.ll atau protein r;uj eljp seperti protein S-1J.LO, fosfodiesterase. dan lain-law . Hal ini memicu sensitisasi limfosit T sehingga bersifat auto reaktif te;;hadap miEilin dan Qligodendrosit yang telah mengalamai reaksi silang tersebut .



MS di Indonesia masih tergolong penyakit yang langka meskipun jumlahnya terus bertambah. Sulitnya penegakan diagnosis MS dan masih sangat mahalnya harga obat-obat MS mengakibatkan tingginya beban ekonomi pada penyakit ini.



e.n



EPIDEMIOLOGI Berdasarkan atlas MS 2013 yang dikeluarkan oleh Multiple Sclerosis International Federation, jumlah penyandang MS di du-



Jika antigen (yang bereaksi silang dengan



249



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurolog i



mielin) memasuki tubuh, makrofag akan memfa gositosis antigen tersebut (Gambar 1). Antigen presenting cells (APC) seperti sel dendritik mempresentasikan antigen atau protein antigen ini dengan membentuk kompleks antara antigen dengan major histocompatibility complex (MH C) pada permukaan sel. Kompleks antigen dengan MHC akan dikenali oleh reseptor pada permukaan sel limfosit T CD4. Akibatnya sel terebut akan teraktivasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Thl). Th1 akan memicu sitokin proinflamasi yang selanjutnya akan mengakitivasi reseptor molekul adhesi endotel pembuluh darah sawar darah otak. Akibatnya sawar darah otak menjadi lebih mudah dilalui oleh sel T.



GEJALA DAN TANDA KLINIS Terdapat 3 subtipe MS yaitu:



vf.



-



../2· Secondary Progressive Multiple Sclerosis (SPMS) Subtipe ini merupakan kelanjutan dari RRMS. Median waktu antara diagnosis RRMS dan progresivitas menjadi SPMS adalah 19 tahun. Laki-laki lebih cepat mengalami progresivitas. Selain itu semakin tua usia saat terdiagnosis akan semakin cepat mencapai tahap progresif. Pada SPMS pola relaps remi.si menjadi semakin jarang dan digantikan oleh gejala neurologis yang progresif.



Setelah menembus sawar darah otak, Thl akan mengalami reaktivasi oleh APC, hanya saja antigen yang dibawa APC kali ini adalah protein mielin. Reakti.vasi akan memicu sitoki.n proinflamasi, nitrit oksida, antibodi, komplemen juga molekul-molekul yang memediasi apoptosis. 2roinflaruasi juga akan menstimulasi mikroglia trosit sehingga permeabilitas sawar darah otak menjadi semaki.n meningkat. Molekul kemotaksis yang memfasilitasi masuknya sel T, anti.bodi, dan juga makrofag juga ikut terstimulasi. Kaskade imun akan berakibat pada edema, demielinisasi juga kematian akson.



-



Relapsing Remitting Multiple Sclerosis (RRMS)... Merupakan ti pe M§ yang tersering 90%). Karakteristik subtipe ini adalah adanya relaps Peri.ode remisi dapat berlangsung geberapa atau tanpa bar;,seki.tar 65% pasien dengan RRMS bffkembang menjadi



3. Primary Progressive Multiple ScleroV sis (PPMS) PPMS ditemukan pada 10-15% kasus. Subtipe seperti Progresivitas penya11 berlangsung se jak gejala pertama dan terjadi akumulasi disabilitas padad kasus ini. Kondisi ini bisa mengalamija.se prat;';u untuk Reriode waktu tert;!!_tu. Pasien lebih tua dibanding subti pe lainnya dan Jebih sering d itemukan pada laki-laki.



-



250



Scanned for Compos Mentis



Multipe/ Sklerosis



SISTEM S A R A f



Antigen Presenting CeU (Astrosit.Mikro glia, Ma!ertama + + + LiniKedua + (Highly active)



SPMS



PPMS



+



+



Natalizumab + CIS: clinically isolated syndrome; PPMS: primary progressive multiple sclerosis; RRMS: relapsing -remitting multiple sclerosis; SPMS=S: Secondary progressive multiple sclerosis Diadaptasi dan dimodifikasi dari: Buttman M, dkk. Exper Rev Neurother. 2008. h. 433-55 .



Tabel2. Terapi Disease Modifying Drugs (DMD) pada Multipel Sklerosis Nama Obat IFN -I1,1a



Dosis dan Cara Pemberian



lnh ibisi migrasi sei-T dan proliferasi leukosit. Dapat memodulasi sitokin



subkutan 3 kali/minggu



lFN-B lb



Mekan isme Kerja



intramuskular



• Reaksi lokasi injeksi



• Flu-like symptoms • Peningkatan enzim hati • Limfopenia



1 kali/minggu Glatiramer asetat



Efek Sam ping



20mg/hari, subkutan



Meningkatkan regulas i sel-T, supresi sitokin inflamasi, menghambat APC



• Depresi • Reaksi lokasi injeksi • Vasodilatasi, nyeri dada • Mual • Ansietas



Fingolimod



0,5mgjhari, per oral (Perlu pemantauan kardiologi pada awal pemberian fingolimod)



Mengurangi migrasi limfosit ke SSP



• Bradikardi • Limfopenia • Edema makula • Disfungsi paru • Peningkatan enzim hati



• Progressive multifocal Berikatan dengan alfa4/B1 leukoencephalopathy (jarang) integrin pada limfosit dan 1 kali/4 minggu monos it aktif, menghambat • Reaksi alergi adhesi sel dan migrasi leu• Cepat Ielah, nyeri kepala kosit menyeberang sawar darah otak MS: multi pel sklerosis; CIS: clinically isolated syndrome; PPMS: primary progressive multiple sclerosis; RRMS: relapsing-remitting multiple sclerosis; SPMS: secondary progressive multiple sclerosis; MMP: matrix metalloproteinase; APC: antigen presenting cells; DNA: deoxyribose nucleic acid. Sumber: 1 Estiasari R, dkk Pedoman diagnosis dan tata laksana multip el sklerosis di Indonesia; 2015. 2 Fox EJ, Lisak RP, dkk Medical Education Resources; 2011. h. 23-7. Natalizumab



300mg intravena



255



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neuro/ogi



Fingolimod merupakan DMD dalam bentuk oral dosis O,Smgjhari. Fingolimod digunakan pada tipe MS an san at akt if atau pa a RRMS yang mengalami kegagalan dengan terapi interferon. Fingolimod bekerja dengan mengaktifkan reseptor sfingosin-1 fosfat sehingga menghambat a ilepaskannya limfosit ke dalam sirkulasi dari kelenjar getah bening.



TATA LAKSANA Tata laksana MS terbagi atas terapi relaps dan terapi jangka panjang. Terapi Relaps Terapi ini hanya diberikan pada saat relaps, tidak untuk jangka panjang. Pilihan pertama untuk terapi relaps adalah metilprednisolon IV atau 5£2.: 1000mg selama l l hari. Penurunan metilprednisolon 500-lOOOmg masih menjadi kontroversi. Sebuah studi yang membandingkan kelompok dengan dan tanpa penurunan dosis metilprednisolon memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kesemb uhan yang bermakna antara kedua kelom_l?ok tersebut.



Pada kondisi di mana DMD tidak dapat diberikan maka untuk terapi jangka panjang dapat diberikan imunosupresan seperti azatioprin. Metil prednisolon tidak dianjurkan untuk terapi jangka panjang.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Terapi Jangka Panjang Terapi jangka panjang disesuaikan dengan subtipe MS. Direkomendasikan untuk memberikan disease modifying drug CW::1Jl) pada pasien yang telah terdiagnosis MS sesegera mungkin. Hal ini bertujuan untuk memperlambat QI.Ogresivitas penyakit. DMD yang tersedia di Indonesia saat ini hanya interferon-J31a, interferon-Bib, dan fingolimod. Interferon-J31a dan interferon-Bib merupakan terapi pilihan untuk CIS dan RRMS. Indikasi pemberian dan DMD pada MS dapat dil ihat pada Tabel 1 dan 2. Interferon-J3 bekerj a dengan berikatan 129da reseptor permukaan sel dan mengl!bah dari beberapa gen yang berakibat pada menurunnya jumadhe§.i, ,m.enghambat ekspresi rn_engurangi migrasi sel inflamasn- II\ di pons dan mesensefalon (nukleus interstitial mediallongitudinalfasciculusjriMLF), serta serebelum.



-



-



Pusat integrasi di pons dan serebelum berperan pada gerakan mata horizontal, sedangkan pusat integrasi di mesensefalon berperan pada gerakan mata vertikal. Impuls dari batang otak akan diteruskan melalui dua jaras, yakni jaras asendens dan jaras . desendens. Jaras asendens ialah jaras yang menuju korteks parieto-temporal melalui talamus posterolateral, sedangkan Ja;;s desendens menuju lalui traktus vestibulospinal lateral dan me-



-



Jaras yang berperan pada refleks vestibulookular (vestibuloocular reflexjVOR) megang peranan sangat penting pada verti1). Jaras ini dimulai dari kemudian meriuju ke nukleus vesnukleus N III, IV, VI, pusat integrasi



ke



268



Scanned for Compos Mentis



-



Vertigo Vestibular Sentra l



dial. Sebagai tambahan, jaras desendens ini mengatur postur tubuh. [ esi pada jaras-jar§_S tersebut aklUi rnenyeiiabkan vertigo sen tral. 6 ieh E rena itu,p emeriksaan VOR memegang peranan penting untu k membedakap lesi sentral dan perifer. GEJALA DAN TANDA KLINIS Dalam menegakkan diagnosis vertigo maka harus dibedakan secara klinis antara ver-



tigo sentral dan perifer (Tabel 2). Vertigo merupakan gejala subyektif yang dikeluhkan oleh pasien, sedangkan gejala obyektif seyang dapat ditemukan adalah hingga pada kasus vertigo maka pemeriksaan nistagmus memegang peranan penting pula untuk menentukan lokasi lesi. Pacta vertigo nistagmus yang dapat ditemukan adalah nistagmus bidireksional, vertikal, dan rotatoar. Nistagmus sentral dapat berupa down !J.£at atau upbeat nystagmus.



Tabel 2. Perbedaan Klinis Vertigo Peri fer dan Sentral Gejala dan Tanda



Perifer



Sentral



Ringan 'I Ringan ./ jarang . / Sering . / Unidireksional Bidireksional, vertikal, rotatoar.t Head impulse test Positif Negatif Kompensasi Cepat Lambat ./ Sumber: Baloh RW, dkk. Baloh and Honrubiah's clinical neurophysiology of the vestibular system. Edisi ke-4. 2011. Gejala vertigo Mual dan muntah Gangguan pendengaran Defisit neurologis Nistagmus



Berat Berat Sering



Durasi Serangan Vertigo



Diagnosis Banding Transient ischemic attack sistem vertebrobasilar Migren vestibular Paroxysmal brainstem attack pada multipel sklerosis Ep ilepsi vestibular lnfark batang otak jam-beberapa hari Perdarahan batang otak Multipel sklerosis dengan keterlibatan batang otak Ma lformasi Arnold Chiari +-" gejala. Pada usia lanjut tanpa faktor risiko vaskular, dipertimbangkan evaluasi fLiant cell arteritis (GCA) dengan pemeriksaan laju e.ILdao dan c-reactive erotein CCRP). Usia muda (90% aneurisma. Namun pada rri'ikrovaskular dapat juga ditemukan pupil -involvement. Dhune dkk melaporkan 26% pasien iskemia mikrovaskular ditemukan eupil anisokor 1-2mm, sedangkan Jacobson medapatkan 38% mengalami pupil anisokor 50 tahun), memiliki faktor risiko vaskular, dan kejadiannya akut serta sering disertai nyeri. Pada keadaan tersebut, kebanyakan pro-



313



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



I



(A)



!:I"J_"!.



C:"t'Jc



!



·



:'fSeudotumor Q!:Qjg, dapat terjadi oftalmoparesis unilateral dan nyeri, namun otot ekstraokular yang terlibat tidak spesifik. Pada CT jMRI orb ita ditemukan pembesaran otot ekstraokular yang terlibat yang



Namun, seringkali ocular misalignment atau gejala diplopia atau visual lainnya menetap meskipun telah dilakukan tata laksana



315



Scanned for Compos Mentis



Buku Ajar Neurologi



kausatif. Pada onset akut sebelum diberikan tata laksana kausatif, gangguan ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan hendaya, sehingga dipertimbangkan tata laksana lain. Studi menunjukkan penurunan kualitas hidup pada pasien dengan ocular misalignment, terutama pada ranah fisik pada pasien yang disertai diplopia dan ranah psikososial yang tidak disertai diplopia. Oleh karena itu, tujuan tata laksana gangguan gerakan bola mata antara lain menghilangkan atau mengurangi ocular misalignment, mengurangi gejala diplopia atau visual confusion, memperbaiki postur head tilt (misalnya pada paresis nervus IV), dan akhirnya memperbaiki fungsi visual semaksimal mungkin. Secara umum tata laksana tersebut dibagi menjadi non-operatif dan operatif. Tata laksana non-operatif antara lain oklusi, prisma, dan injeksi toksin botulinum, bergantung pada penyebab dan tingkat keparaha n.



Namun, prisma pernah digunakan dan berespons baik pada kasus strabismus inkomitan dengan sudut deviasi besar. Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa secara umum efektif untuk pasien dengan horizontal misali nment hingga 20-15 rism iopters (PO) dan vertical misaliqnment. Thmhakar dkk melaporkan tingkat k;puasan penggunaan prisma sebesar 92% dari 82 pasien hipertropia akibat paresis nervus IV; sedangkan Guntn dkk mencapai 80% untuk semua penyebab diplopia Pasien dengan diplopia vertikal akibat skew deviation dan ,...._ paresis nervus IY me. i . tingkat kepuasan paling tinggi (100% dan 92%), sedangkan tiroid oftalmopati dan fraktur orbita blowout paling rendah (55% dan 8%). Diantara diplopia horizontal, pasien anak dengan strabismus dekompensasi kombinasi deviasi horizontal dan vertikal serta pasien dengan insufisiensi konvergensi memiliki tingkat kepuasan paling rendah, yakni masing-masing 71 %dan 50%.



Oklusi dilakukan dengan menutup salah satu mata menggunakan okluder (occ/uder) berupa patch atau plester pada mata atau kacamata. Hal ini dapat pada mata yang sakit, namun literatur lain menyebutkan bahwa oklusi, baik dilakukan pada mata yang sakit atau sehat akan efektif untuk mengeliminasi diplopia. Pilihan okluder dipertimbangkan yang tranlusen atau satin sehingga masih memungkinkan cahaya masuk. Oklusi dapat ditawarkan pada fase akut paresis okular motor atau pada pasien yang merupakan kandidat buruk untuk tata laksana non-operatif lain dan operatif.



Terdapat dua jenis prisma yakni prisma Fresnel yang dan prisma eermanen, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Prisma Fresnel menggunakan prinsip bahwa kekuatan prismatik dapat tercapai menggunakan cincin prismatik konsentrik dengan permukaan tiap cincin memiliki kekuatan prismatik. Prisma ini tipis, diaplikasikan seperti stiker yang dilekatkan pada kaca mata dengan ketebalan hanya l,OOmm dan tidak bergantung pada kekuatan prismatik. Oleh karena tipisnya, prisma Fresnel ringan dan dapat melakukan koreksi dengan kisaran yang lebih luas atau sudut deviasi yang besar (hingga 250) meskipun dilekatkan



Prisma terutama bermanfaat pada kasus strabismus komitan, deviasi relatif kecil stabil, dan memiliki potensi fusi yang baik:



316



Scanned for Compos Mentis



Gangguan Gerakan Bola Mata



pada kacamata. Selain itu, dibandingkan prisma permanen, biayanya lebih murah dan lebih fleksibel dalam mengubah kekuatan prisma pada kasus dengan deviasi yang bervariasi jarak dekat atau jauh. Kekuranyakni penggunaan -g;isma Fresnel apat menyebabkan penurunan visus, terutama jika kekuatan prismatik lebih da ri 120. Bef'""k urangnya kejernihan visualisasi obyek juga disebabkan karena prisma Fresnel dapat meningkatkan aberasi optik, atau adanya debu dan partikel yang terakumulasi pada alu r prisma. Selain itu dari segi kosmetik juga kurang diminati.



ment serta mencegah kontraktur pada otot antagonis. Dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki ocular alignment seiring dengan perbaikan fungsi otot yang mengalami kelumpuhan. Terapi ini terutama bermanfaat pada kondisi operasi strabismus tidal< memungkinkan seperti pacta usia lanjut, kondisi klinis tidak stabil atau operasi tidak berhasil. Efek toksin botulinum terlihat dalam 2- 4 hari pascainjeksi dan biasanya akan hilang setelah 8 -12 minggu.



Tata laksana operatif merupakan tata laksana utama pacta strabismus dewasa dengan ocular misalignment besar dan stabil dalam beberapa bulan (sekitar 6-12 bulan) . Tindakan ini efektif dan aman pada sebagian besar pasien. Angka keberhasiJan operasi strabismus dengan luaran ocular alignment dapat mencapai 80% kasus. Mills dkk melaporkan angka keberhasilan ditinjau dari perbaikan gejala diplopia, yakni sebesar 72%. Meskipun efektifitasnya baik, tindakan operatif jarang dikerjakan. Repka dkk mengestimasi insidens operasi hanya 1 dari 5000 pasien.



Prisma permanen biasanya ditanamkan pada lensa kacamata. Dengan demikian, kurang fleksibel untuk merubah kekuatan prismatik, terutama pada kasus dengan deviasi yang bervariasi menurut jarak. Kelebihan dibandingkan prisma Fresnel adalah dapat memvisualisasikan obyek lebih jernih, mudah dibersihkan, dan tidak mudah terlepas. Pada prakteknya, .prisma Fresnel biasanya digunakan pada tem porer, seperti pasien dengan paresis n!:_rakibat iskemia mikrovaskular atau sebagai uji awak efektivitas prisma sebelum meresepkan prism a permanen jltau pada kasus yang tidak diketahui kekuatan w isma yang dibutuhkan. Pasien biasanya diminta untuk kontrol 2 minggu untuk memastikan dapat beradaptasi dengan prisma. Ketika pasien dapat beradaptasi, maka akan diaplikasikan prisma permanen.



Pernah dilaporkan pula kegagalan dan komplikasi operasi strabismus, hingga sepertiga pasien mengalami diplopia temporer pasca operasi, dan diplopia persisten