Buku Aprc 18062023 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ADVANCED PEDIATRIC RESUSCITATION COURSE



ADVANCED PEDIATRIC RESUSCITATION COURSE



UKK EMERGENSI DAN RAWAT INTENSIF ANAK IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA



ADVANCED PEDIATRIC RESUSCITATION COURSE Penyunting: Irene Yuniar Ririe F Malisie Antonius Pudjiadi Abdul Latief Neurinda Anthony



UKK EMERGENSI DAN RAWAT INTENSIF ANAK IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA



Advanced Pediatric Resuscitation Course Penyunting: Irene Yuniar Ririe F Malisie Antonius Pudjiadi Abdul Latief Neurinda Anthony



Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit Disusun oleh: UKK Emergensi dan Rawat Intensif Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia Isi diluar tanggung jawab penerbit Diterbitkan oleh: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Cetakan I 2021 Cetakan II 2022



Daftar Kontributor Abdul Latief Antonius H. Pudjiadi Ukas Sukasah (Alm.) Dadang Hudaya Somasetia Ririe Fachrina Malisie Rismala Dewi Irene Yuniar Yogi Prawira Neurinda Permata Kusumastuti Kurniawan Taufiq Khadafi Niken Wahyu Puspaningtyas Tartila



APRC



iii



iv



Kata Pengantar Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh. Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh karena berkat dan rahmatNya sehingga buku Advance Pediatric Resuscitation Course (APRC) telah telah selesai disusun. Setiap tahunnya jutaan bayi dan anak tidak terselamatkan hidupnya disebabkan penyakit atau kondisi kegawatan yang sejatinya dapat diatasi jika segera dilakukan pertolongan. Upaya mengatasi kondisi kritis yang mengancam nyawa, apabila dilakukan dengan tepat dapat membantu menurunkan angka mortalitas. Tata laksana yang sesuai pada jam pertama sangat bermakna menurunkan kesakitan dan kematian pada bayi dan anak yang mengalami sakit kritis. Guna meningkatkan kualitas luaran penyakit kritis pada bayi dan anak, diperlukan pelatihan resusitasi tahap dasar dan lanjut, diharapkan dapat menjamin luaran yang baik sebagai usaha menurunkan morbiditas dan mortalitas kegawatan bayi dan anak. Setiap dokter dan tenaga medis diharapkan kompeten dan trampil dalam mengenali kegawatan pada bayi dan anak dengan sakit kritis, serta mampu melakukan tata laksana awal yang bermanfaat dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi kesakitan. Pelatihan resusitasi bayi dan anak haruslah mampu menjangkau seluruh tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien bayi dan anak. Pelatihan yang baik idealnya dapat memberikan materi pengajaran yang terstandarisasi dalam mencapai kompetensi yang sama bagi pelaksana (provider) pada saat memberikan pertolongan. Di masa pandemi seperti saat ini, pelatihan yang dilaksanakan sepenuhnya secara daring menjadi pilihan yang mau tidak mau harus diselenggarakan sebagai suatu upaya adaptasi menuju masa transisi dan kenormalan baru (new normal). Oleh karena itu, perekrutan pelatih sebagai usaha untuk memperluas cakupan pelatihan resusitasi pediatri tahap lanjut yang disusun dan dilaksanakan oleh Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK ERIA IDAI), merupakan Training or Trainer Advanced Pediatric Resuscitation Course (ToT APRC) pertama yang dilaksanakan dengan sepenuhnya secara daring. Begitu pula dengan pelaksanaan pelatihan berbasis sepenuhnya daring dan mengoptimalkan penyampaian melalui berbagai media interaktif dan pemanfaatan teknologi canggih, sebagai bagian dari pengembangan kemampuan mengajar dari para pelatih yang selama ini terbiasa dengan pola pelatihan luring. Suatu tantangan yang tidak mudah. Diperlukan suatu buku panduan yang berbasis teknologi dan kepiawaian untuk menerjemahkannya dalam format digital. Kami menghaturkan terima kasih banyak dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh kontributor, penyusun dan editor buku APRC. Semoga semua jerih payah, waktu dan tenaga yang telah dicurahkan dalam mewujudkan buku APRC ini menjadi penambah timbangan amal kebaikan bagi semuanya. Besar harapan kami agar buku APRC dapat dipergunakan sebagai panduan para praktisi, teman sejawat dokter anak dan tenaga kesehatan lainnya untuk lebih memahami, kemudian nantinya mampu menerapkan resusitasi tahap lanjut yang adekuat kepada bayi dan anak dengan kegawatan di tempat kerjanya, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan anak. Terima kasih, Salam Sehat. Dr. dr. Ririe Fachrina Malisie, Sp.A(K) Ketua UKK ERIA APRC



v



Kata Sambutan



Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Salam sejahtera dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Puji syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga kita dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Anak. Kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak  Ikatan Dokter Anak Indonesia atas diterbitkannya Buku Advance Pediatric Resuscitation Course (APRC), semoga menjadi berkah bagi kita semua. Berdasarkan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017, kematian bayi sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi salah satu indikator kesehatan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dan fokus pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian Kesehatan RI. Pada target SDGs nomor tiga, Good Health and Well-being, menerangkan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan angka kematian bayi dengan target menjadi 12 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Demi tercapainya target SDGs tersebut, kita perlu optimalkan kemampuan dalam mengenali dan menangani kasus kegawatdaruratan pada anak. Penanganan kasus kegawatdaruratan pada anak memerlukan sistem yang terkoordinasi baik antar tenaga kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan dengan cepat dan tepat serta adanya fasilitas kesehatan yang memadai. Oleh sebab itu, pengetahuan dan keterampilan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya  dalam menangani kondisi kegawatdaruratan pada bayi dan anak harus selalu diasah dan ditingkatkan. Selain mengikuti pelatihan resusitasi tahap awal, dokter spesialis anak juga perlu meningkatkan kemampuannya dengan pelatihan resusitasi tahap lanjut. Semoga dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga dapat memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya sebagai media pembelajaran serta pegangan ketika menemukan kondisi gawat darurat pada bayi dan anak. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh



Prof. DR. Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia



vi



Daftar Isi Daftar Kontributor....................................................................................................................................................iii Kata Pengantar........................................................................................................................................................... v Kata Sambutan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia................................................................................. vi BAB 1



Pendahuluan.............................................................................................................................................1



BAB 2



Karakteristik Anak....................................................................................................................................5



BAB 3



Assessmen Pra-Rumah Sakit pada Kegawatan Anak.................................................................................13



BAB 4



Mengenali dan Mengevaluasi Kegawatan pada Anak dengan Saga dan Sadewa........................................16



BAB 5



Manajemen Jalan Napas pada Anak........................................................................................................21



Bab 6



Bantuan Hidup Dasar.............................................................................................................................29



BAB 7



Defibrilasi dalam Tatalaksana Gangguan Irama Jantung .........................................................................36



BAB 8



Syok........................................................................................................................................................41



BAB 9



Keracunan...............................................................................................................................................46



BAB 10 Kejang dan Status Epileptikus.................................................................................................................53 BAB 11 Penurunan Kesadaran..............................................................................................................................58 BAB 12 Obstruksi Jalan Napas Atas.....................................................................................................................69 BAB 13 Obstruksi Saluran Pernapasan Bawah......................................................................................................76 BAB 14 Trauma Kepala........................................................................................................................................86 BAB 15 Trauma Toraks........................................................................................................................................93 BAB 16 Trauma Abdomen.................................................................................................................................102 BAB 17 Tenggelam.............................................................................................................................................105 BAB 18 Luka Bakar............................................................................................................................................109 BAB 19 Prosedur................................................................................................................................................113 BAB 20 Lampiran..............................................................................................................................................130



APRC



vii



viii



BAB 1 Pendahuluan



1.1. PENDAHULUAN



50% dari 63 pada tahun 1990 menjadi 32 pada tahun 2015. Demikian juga halnya dengan angka mortalitas balita, terjadi penurunan hingga 60%. Angka mortalitas balita menurun dari 93 pada tahun 1990 menjadi 38 pada tahun 2019. Pada beberapa negara maju, bahkan penurunannya jauh lebih dramatis. Perbaikan yang sangat besar pada angka mortalitas bayi ini disebabkan karena perbaikan kondisi kehidupan, seperti perbaikan sanitasi, rumah, kualitas air minum, dan nutrisi. Perbaikan layanan kesehatan, seperti layanan obstetrik dan neonatus, vaksinasi, juga memiliki peranan sangat besar pada penurunan angka mortalitas anak. Penatalaksanaan kasus kritis yang lebih baik dapat membantu menurunkan angka mortalitas. Di Indonesia, berdasarkan data United Nation Children’s Fund (UNICEF) dan World Bank, angka mortalitas bayi adalah 34 pada tahun 2012, menurun dari 71 pada tahun 1990, dan angka mortalitas balita adalah



Setiap tahun, jutaan anak meninggal disebabkan karena penyakit atau keadaan kegawatan yang dapat dicegah dan diobati. Perbaikan kompetensi tenaga medis untuk mengetahui keadaan kegawatan dan tata laksana awal kegawatan dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Pelatihan tata laksana kegawatan untuk praktisi kesehatan dan sumber daya pelayanan kesehatan sangat bervariasi di setiap negara. Namun demikian, untuk meningkatkan kualitas luaran penyakit kritis atau cedera diperlukan pelatihan prinsip dasar resusitasi untuk menjamin luaran yang jauh lebih baik dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas pada setiap kegawatan anak.



1.2. ANGKA MORTALITAS PADA ANAK World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa, secara global, angka mortalitas bayi menurun hampir 325



Premat



300



acute respiratory infect



275



Other cau



250



Congenital anoma



225



Birth asph



200 175



Inju



150



Neonatal se



125



Diarrh



100



Mea



75



Ma



50



HIV/A



25 0 1950



1955



1960



1965



1970



1975



1980



1985



1990



1995



2000



2005



2010



Gambar 1.1. Grafik angka mortalitas balita di Indonesia dari tahun ke tahun. Sumber: http://www.data.unicef.org (Diakses 10 November 2021)



1



2015



2020



27 pada tahun 2015, menurun dari 84 pada tahun 1990 (Gambar 1.1). Secara nasional, angka mortalitas anak di Indonesia di bawah rerata mortalitas global. Akan tetapi, masih terdapat disparitas angka mortalitas yang tinggi di provinsi yang berbeda.



1.3. PENYEBAB KEMATIAN PADA ANAK Penyebab kematian pada anak pada tiap kelompok umur bervariasi di setiap negara. Pada periode neonatus, penyebab kematian utama adalah kelainan kongenital, infeksi antepartum, dan prematuritas. Pada negara maju, kematian terutama disebabkan oleh kelainan kongenital dan trauma. Pada bayi usia 1-12 bulan, kelainan kongenital, kondisi prematuritas, dan kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, berkontribusi sekitar 20%. Kelainan kongenital berkontribusi meningkatnya mortalitas pada seluruh kelompok usia anak, seperti penyakit jantung kongenital kompleks, malformasi sistem saraf pusat, kelainan metabolik, dan anomali kromosom. Setelah usia 1 tahun, trauma menjadi penyebab tersering kematian. Kematian akibat trauma dapat dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama adalah trauma yang menyebabkan kerusakan sangat



berat, dan cedera yang terjadi tidak kompatibel untuk hidup, sehingga akan segera meninggal setelah kejadian. Kelompok kedua meninggal karena kegagalan respirasi yang progresif, insufisiensi sirkulasi, atau peningkatan tekanan intrakranial karena efek sekunder cedera. Pada kondisi ini, kematian terjadi beberapa jam apabila tidak ditata laksana segera. Pada kelompok ketiga, kematian disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, dan kegagalan organ multipel. Tata laksana yang sesuai pada jam pertama pada kelompok ini akan menurunkan kematian. Di negara berkembang, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian. Tujuh dari sepuluh kematian pada anak disebabkan oleh pneumonia, diare, campak, malaria, dan malnutrisi. HIV/AIDS juga berkontribusi dan berhubungan dengan peningkatan kasus kematian akibat tuberkulosis. Dengan meningkatnya arus urbanisasi di negara berkembang, kematian akibat trauma juga meningkat, khususnya trauma pada kasus kecelakaan bermotor. Di Indonesia, penyebab kematian terbanyak adalah karena prematuritas dan penyakit infeksi. Penyebab kematian pada anak di bawah 5 tahun di Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah (Gambar 1.2).



Gambar 1.2. Penyebab kematian anak di bawah 5 tahun di Indonesia. (WHO, 2013)



2



BAB 1: Pendahuluan



1.4. ALUR TERJADINYA HENTI KARDIORESPIRATORIK Henti jantung pada anak berbeda dengan dewasa. Pada anak, henti jantung sangat jarang disebabkan penyebab primer dari penyakit jantung, tetapi umumnya karena penyebab sekunder, yaitu hipoksia. Hipoksia dapat terjadi pada keadaan henti nafas atau kondisi respirasi yang patologis, seperti asfiksia, inhalasi benda asing, bronkiolitis, dan asma. Henti nafas juga dapat terjadi sekunder karena disfungsi neurologis yang disebabkan berbagai penyebab, seperti kejang, keracunan, peningkatan tekanan intrakranial karena cedera kepala, ensefalopati akut. Henti jantung pada anak karena penyebab apa pun menyebabkan periode insufisiensi respirasi pada anak, yang kemudian akan menyebabkan hipoksia dan asidosis respiratorik. Kombinasi hipoksia dan asidosis



menyebabkan kerusakan sel dan pada akhirnya kematian (khususnya pada organ yang sensitif, seperti otak, hati, dan ginjal), sebelum kerusakan miokard cukup parah untuk menyebabkan henti jantung. Penyebab henti jantung lainnya pada anak adalah penyebab sekunder akibat kegagalan sirkulasi. Kondisi ini seringkali dikarenakan kehilangan cairan atau darah (contoh: gastroenteritis, luka bakar, atau trauma), atau dari maldistribusi cairan di dalam sistem sirkulasi (contoh: sepsis atau anafilaksis). Pada kondisi kegagalan sirkulasi tersebut, seluruh organ akan kehilangan nutrisi esensial dan oksigen. Kondisi syok akan berprogresi menjadi henti jantung, dan pada akhirnya, seperti pada kondisi kegagalan respirasi, akan terjadi hipoksia jaringan dan asidosis. Pada kenyatannya, kedua alur henti jantung tersebut dapat terjadi pada satu waktu (Gambar 1.3).



Benda Asing Asma Croup Gagal Napas Hen� Jantung



Gagal Sirkulasi



Kejang Keracunan Peningkatan TIK



Perdarahan Luka Bakar Muntah Sepsis Anafilaksis Gagal Jantung



Sumbatan Napas



Depresi Napas



Kehilangan Cairan



Maldistribusi Cairan



Gambar 1.3. Alur terjadinya henti kardiorespiratorik



APRC



3



1.5. LUARAN HENTI JANTUNG PADA ANAK Luaran henti jantung pada anak adalah buruk. Pada pasien yang selamat, tidak sedikit yang mengalami defisit neurologis permanen. Luaran yang paling buruk adalah pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dan tiba di rumah sakit pada keadaan apnu. Pada pasien dengan kondisi tersebut, akan mengalami gangguan pada sistim neurologis, terutama pada kasus yang telah dilakukan resusitasi kardiopulmonal lebih dari 20 menit. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk meneruskan resusitasi atau tidak, antara lain lama resusitasi yang telah dilakukan, penyebab henti jantung, kondisi medis penyerta, usia, lokasi terjadi henti jantung, apakah kejadian henti jantung disaksikan atau tidak, durasi henti jantung sebelum tindakan resusitasi, gangguan irama jantung (irama shockable), serta kejadian khusus (tenggelam di air dingin). Studi pada



4



BAB 1: Pendahuluan



anak menunjukkan bahwa lama resusitasi berhubungan dengan luaran yang buruk, kecuali pada kasus tenggelam di air dingin.



Daftar bacaan 1.



2.



3.



4.



5.



S amuels M, Wieteska S. Advanced Pediatric Life Support: The Practical Approach. 5th ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2011. p. 3-6. Unicef. Child mortality estimates: country specific under five mortality rate. [Updated Sep 2015; cited Apr 2016]. Available from: http://www.data.unicef.org WHO. Distribution of causes of neonatal and under five deaths. [Updated Sep 2013; cited Apr 2016]. Available from: http://www.who.int Wyllie J, Bruinenberg J, Roehr CC, Rudiger M, Trevisanuto D, Urlesberger B. ERC Guideline: resuscitation and support of transition babies at birth. Resuscitation. 2015;95:249–63. International Liasion Committee on Resuscitation. Paediatric basic and advanced life support. Resuscitation. 2005;67:271-91.



BAB 2 Karakteristik Anak



2.1. PENDAHULUAN Pendekatan dan tata laksana kegawatan pada anak harus disesuaikan dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan, sesuai dengan kelompok usia masingmasing. Perbedaan tersebut terletak pada perkembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis anak.



1. Broselow Pediatric Emergency Tape/ Broselow Tape Pita Broselow menggunakan prinsip memperkirakan berat badan dengan mengukur panjang-tinggi badan anak. Pita tersebut mengukur tinggi badan anak dan pada tinggi badan tertentu tertulis perkiraan berat badan, dosis obat, dosis defibrilasi, cairan, dan ukuran alat resusitasi (Gambar 2.1)



2.2. BERAT BADAN



2. Metode Advanced Pediatric Life Support (APLS)



Berat badan anak diperlukan untuk menentukan dosis obat, dosis defibrilasi, kebutuhan cairan, dan ukuran alat-alat resusitasi. Pengukuran berat badan anak dengan menggunakan timbangan sering kali sulit dilakukan pada keadaan kegawatdaruratan. Oleh karena itu, dipakai beberapa cara untuk memperkirakan berat badan anak, sebagai berikut:



Alat Ambu resusitasi



Bayi



Neonatus/ Bayi Kecil (3-5 kg)



Bayi (6-9 kg) Anak



Usia



Rumus



1- 12 bulan



(0,5 x Usia dalam bulan) + 4



1-5 tahun



(2 x Usia dalam tahun) + 8



6-12 tahun



(3 x Usia dalam tahun) + 7



3. Metode Best Guess Usia 1-11 bulan 1-4 tahun 5-14 tahun



Balita (10-11 kg) Anak



Anak Kecil (12-14 kg) Anak



Rumus (Usia dalam bulan + 9)/2 2 x (usia + 5) 4 x usia Anak (15-18 kg) Anak



Sungkup O2 Oropharyngeal Airway



Neonatus Bayi/anak kecil



Neonatus Bayi/anak kecil



Pediatri Anak kecil



Pediatri Anak



Pediatri Anak



Bilah laringoskop



0-1 lurus



1 lurus



1 lurus



2 lurus



Ukuran Endotracheal tube (mm)



Bayi prematur 2.5 Bayi aterm 3.0-3-5 uncuffed



3.5 uncuffed



4.0 uncuffed



4.5 uncuffed



2 lurus atau melengkung



Kedalaman Endotracheal tube (cm dari bibir) Stylet (F) Selang suction (F) Manset tekanan darah Kateter intravena (G) Wing needle/ Butterfly needle (G) Selang nasogastric (F) Kateter urin (F) Paddle defibrillator/ eksternal kardioversi Chest tube (F)



5.0 uncuffed



Anak (19-22 kg) Anak



Pediatri Anak/ Dewasa kecil



2 lurus atau melengkung



5.5 uncuffed



Anak Besar (24-30 kg) Anak/dewasa



Dewasa Anak/ Dewasa Kecil



2-3 lurus atau melengkung



6.0 cuffed



Dewasa (> 32 kg) Dewasa



Dewasa Dewasa Sedang 3 lurus atau melengkung



6.5 cuffed



10-10.5



10-10.5



11-12



12.5-13.5



14-15



15.5-16.5



17-18



18.5-19.5



6 6-8 Neonatus/ Bayi 22-24 23-25



6 8 Neonatus/ Bayi 22-24 23-25



6 8-10 Bayi/ Anak



6 10 Anak



6 10 Anak



14 10 Anak



14 12 Dewasa



20-24 23-25



18-22 21-23



18-22 21-23



18-20 21-23



14 10 Anak/ Dewasa 18-20 21-22



5-8 5-8 Paddles bayi



5-8 5-8 Paddles bayi (hingga 1 tahun/10 kg) 10-12



10-12



16-20 18-21



8-10 10 8-10 10 Paddles dewasa (≥1 Paddles dewasa tahun atau ≥10 kg)



10-12 12-14 14-18 10-12 10-12 12 Paddles dewasa Paddles dewasa Paddles dewasa



18 12 Paddles dewasa



16-20



20-24



32-40



20-24



Gambar 2.1. Pita Broselow



5



24-32



28-32



2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI Karakteristik anatomi dan fisiologi pada anak beubah seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan tersebut antara lain:



Jalan napas (Airway) Secara anatomi dan fisiologi, terdapat beberapa perbedaan antara sistem pernapasan anak dan dewasa. Jalan napas dipengaruhi oleh anatomi kepala dan leher sebagai berikut: – Kepala bayi memiliki oksiput yang menonjol, mengakibatkan posisi sniffing saat berbaring terlentang. Keadaan ini mengakibatkan jalan napas dapat lebih terbuka dengan meletakkan penyangga pada bahu. – Lidah bayi berukuran relatif lebih besar dibanding ruang orofaring. Keadaan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas bila lidah jatuh ke belakang dan juga dapat mengganggu upaya melihat laring saat melakukan intubasi dengan laringoskop. – Epiglotis bayi dan balita lunak, pendek, sempit, dan membentuk sudut dengan sumbu trakea. Keadaan ini menyulitkan pengontrolan epiglotis saat melakukan intubasi. – Pada anak, proyeksi laring pada vertebra servikalis lebih tinggi daripada dewasa yaitu setinggi vertebra servikalis ke-3 dan ke-4, sedang pada dewasa setinggi



P



Kartilago Tiroid



A



















P



vertebra servikalis ke-4, ke-5, dan ke-6. Posisi ini mengakibatkan terdapatnya sudut yang relatif tajam antara basal lidah dan liang glotis. Keadaan ini menyulitkan penolong untuk melihat epiglotis karena jaringan dasar mulut bayi relatif lunak, penggunaan laringoskop berdaun lurus dengan teknik menekan jaringan dasar mulut lebih digemari saat mengintubasi bayi. Laring anak berbentuk corong sedangkan laring remaja dan dewasa berbentuk silinder (Gambar 2.2). Diameter pipa endotrakeal harus disesuaikan dengan diameter rawan krikoid, bukan liang glotis. Bayi memiliki trakea yang pendek. Keadaan ini mengakibatkan mudah terjadi migrasi pipa endotrakeal, baik endobronkial dengan akibat atelektasis paru kiri, maupun bermigrasi keluar dari liang glottis hingga jalan napas tidak terlindungi. Migrasi dapat terjadi pada fleksi atau ekstensi kepala. Bayi juga memiliki pita suara yang pendek dengan perlekatannya di dinding anterior lebih rendah. Susunan anatomi ini menyebabkan perlekatan endotrakeal secara buta sangat mungkin terhambat di komisura anterior pita suara. Lamina posterior rawan krikoid lebih tebal dan membentuk sudut seperti huruf “V”, sedang arkus anterior lebih bulat. Karena pipa endotrakeal berbentuk bulat, bagian posterior akan mengalami



Kartilago Tiroid



A



Krikoid Krikoid



Laring anak



Laring dewasa



Gambar 2.2. Perbedaan laring anak dan dewasa (A: anterior; P: posterior)



6



BAB 2: Karakteristik Anak



tekanan lebih besar sehingga dapat mengakibatkan iskemia dan nekrosis. – Jalan napas tersempit anak dibawah usia 10 tahun terletak di bawah pita suara, yaitu setinggi rawan krikoid yang kurang elastis. Laring anak berbentuk corong sedangkan laring remaja dan dewasa berbentuk silinder. Diameter pipa endotrakeal harus disesuaikan dengan diameter rawan krikoid, bukan liang glotis. Kebocoran dari pipa endotrakeal pada peak inspiratory pressure 20-30 cmH2O setelah intubasi merupakan indikator pemilihan pipa endotrakeal yang tepat.



Napas (Breathing) Diameter saluran napas atas dan bawah pada anak relatif lebih sempit. Akibatnya, edema mukosa ringan dapat meingkatkan resistensi jalan napas (work of breathing) yang besar. Sesuai dengan hukum Poiseuille, penurunan penampang lintang saluran akan meingkatkan resistensi sebesar pangkat 4 resistensi sebelumnya (Gambar 2.3) Dinding dada yang bersifat elastis menyebabkan kapasitas residu fungsional paru berkurang bila usaha napas berkurang. Volume tidal sangat bergantung



Normal



Bayi



Dewasa



4 mm



8 mm



Edema



gerakan diafragma. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat mengganggu pergerakan diafragma (misalnya distensi lambung atau toraks, akut abdomen) dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Tulang iga relatif horizontal dan bersifat elastis, sehingga sehingga bila terjadi trauma dinding dada, cedera parenkim mungkin terjadi tanpa disertai fraktur pada tulang iga. Adanya fraktur multipel pada tulang iga menunjukkan beratnya trauma, cedera parenkim, dan flail chest yang berat. Otot interkostal umumnya tipis dan tidak dapat banyak meningkatkan volume toraks dengan mengangkat iga. Pada obstruksi saluran napas, dinding toraks yang elastis mengalami retraksi pada saat inspirasi. Keadaan ini menimbulkan gerak napas paradoks. Merintih (grunting) pada bayi adalah upaya untuk mempertahankan kapasitas residu fungsional paru dan jalan napas agar tetap terbuka. Kebutuhan oksigen per kilogram berat badan pada anak adalah 6-8 ml/kg. Sementara kebutuhan pada dewasa adalah 3-4 ml/kg. Keadaan ini menyebabkan laju pernapasan anak lebih tinggi (Tabel 2.1) dan hipoksemia lebih cepat terjadi pada anak. Laju pernapasan dapat meningkat pada latihan fisik, ketakutan, nyeri, dan demam.



Resistensi (R = 1/radius 4)



Luas area penampang



↑ 16x



↓ 75%



↑ 3x



↓ 44%



Gambar 2.3. Peningkatan resistensi akibat edema mukosa



APRC



7



Tabel 2.1. Laju pernapasan berdasarkan usia



Usia (tahun)



Laju pernapasan (napas per menit)



0 hari-1 bulan



≤68 ≤58 ≤44 ≤38 ≤35



>1 bulan- 5 g% hemoglobin mengalami desaturasi oksigen. Oleh karena itu, sianosis mudah terlihat pada polisitemia dibandingkan dengan anak normal dan anemia. Sianosis tidak akan terlihat pada anemia berat meskipun terjadi hipoksemia berat. Dengan demikian, sianosis sentral bukan indikator awal yang dapat digunakan untuk hipoksemia. Suhu lingkungan harus diperhatiakan selama menilai warna dan suhu kulit. Bila suhu ruangan dingin, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh perifer dan menyebabkan kulit berbercak (mottled), pucat, dan teraba dingin disertai dengan melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) kurang dari 2 detik. Pengisian kapiler adalah tanda klinis yang harus dinilai pada cahaya ruangan yang cukup dan suhu ruangan yang tidak terlalu dingin.



Sirkulasi (Circulation) Volume darah dalam sirkulasi per kilogram berat badan neonatus, bayi, dan anak secara berurutan adalah 85 ml, 80 ml, dan 75 ml. Volume tersebut lebih besar dibandingkan volume orang dewasa per kilogram berat badan. Tingginya volume tersebut memungkinkan anak mempertahankan tekanan darah sistolik tetap normal meskipun telah terjadi kehilangan darah. Hipotensi baru terdeteksi bila terjadi kehilangan darah ≥25% volume sirkulasi. Namun demikian, kehilangan darah 5-10% volume sirkulasi, sudah merupakan kehilangan yang bermakna. Oleh karena itu, setiap pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium dan kehilangan darah lainnya, perlu dicatat dengan seksama. Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompa keluar dari jantung setiap menit (denyut jantung dikali isi sekuncup). Isi sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa keluar ventrikel kiri setiap kontraksi. Tekanan darah bergantung dari curah jantung dan tahanan pembuluh darah sistemik. Perfusi organ tergantung dari curah jantung dan tekanan perfusi (Gambar hal.6) Variabel yang mudah diukur secara klinis untuk menentukan curah jantung adalah tekanan darah dan denyut jantung, sedangkan isi sekuncup dan tahanan pembuluh sistemik secara tidak langsung dapat dinilai dengan pemeriksaan denyut nadi dan perfusi jaringan.



Denyut jantung Denyut jantung bayi dan anak menurut usia dipresentasikan pada Tabel 2.2. Sinus takikardia merupakan respon umum pada kondisi stres misalnya ansietas, nyeri, demam, hipoksemia, hiperkapnia, hipovolemia, dan/atau kelainan fungsi jantung. Oleh Tabel 2.2. Denyut jantung menurut usia Usia (tahun) Denyut jantung (denyut per menit) 0 hari – 1 bulan 100-190 >1 bulan - 1 bulan-10 tahun



Tekanan darah sistolik* 60 70



70+(2xusia dalam tahun) 90



*Persentil 5 tekanan darah sistolik sesuai kelompok usia



Takikardia dan peningkatan kontraktilitas jantung memiliki peranan penting didalam mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi gagal, maka akan terjadi hipotensi dan fase syok dekompensasi sehingga pengenalan dini fase awal syok kompensasi sangat diperlukan, yaitu dengan menilai tanda klinis yang secara tidak langsung merupakan cerminan aliran darah dan tahanan pembuluh darah sistemik. Tanda klinis tersebut adalah denyut nadi perifer dan fungsi organ (end-organ) seperti kulit, otak, dan ginjal.



Denyut Nadi Pada anak sehat, nadi karotis, aksila, brakial, radial, femoral, dorsalis pedis, dan tibialis posterior sangat mudah



10



BAB 2: Karakteristik Anak



diraba. Ketidaksesuaian isi antara nadi sentral dengan perifer disebabkan karena adanya vasokonstriksi perifer antara lain karena suhu dingin atau sebagai tanda awal penurunan curah jantung. Tekanan nadi menentukan isi nadi. Tekanan nadi dihitung berdasarkan rumus berikut: Tekanan nadi = Tekanan sistolik – Tekanan diastolik Penurunan curah jantung menyebabkan tekanan nadi mengecil, mengakibatkan denyut teraba menjauh dan akhirnya tidak teraba. Pada keadaan curah jantung yang cukup, tekanan nadi normal, maka denyut nadi akan teraba keras. Hilangnya denyut nadi sentral merupakan tanda kegawatan kardiovaskular dan harus dianggap dan diperlakukan sebagai henti jantung.



Kulit Penurunan perfusi kulit merupakan tanda awal syok. Bila perfusi baik, maka tangan dan kaki teraba hangat, kering, serta telapak tangan terlihat merah sampai ke ujung jari. Tetapi, bila terdapat penurunan curah jantung, kulit teraba dingin, dimulai dari perifer (ujung jari tangan dan kaki) dan menuju proksimal ke arah tubuh. Perlambatan pengisian kapiler (lebih dari 2 detik), dapat terjadi pada syok, demam, dan suhu udara dingin. Kulit berbercak (mottled), pucat, melambatnya pengisian kapiler, dan sianosis perifer menandakan perfusi kulit yang buruk.



Otak Tanda hipoperfusi otak tergantung oleh derajat dan lamanya iskemia otak. Pada iskemia otak mendadak, akan dijumpai gejala neurologis lain disamping penurunan kesadaran seperti kelemahan tonus otot, kejang, dan dilatasi pupil. Bila iskemia otak terjadi secara bertahap, maka gejala neurologis yang terjadi biasanya tidak jelas terlihat, penurunan kesadaran terjadi disertai dengan agitasi dan letargi. Pada hipoperfusi otak yang berlangsung lama dan dalam, dapat diketahui dengan menghilangnya refleks tendon, pupil miosis tetapi reaktif, perubahan pola napas, dan postur dekortikasi/deserebrasi.



Ginjal Produksi urin sangat berhubungan dengan kecepatan filtrasi glomerulus. Kecepatan filtrasi glomerulus mencerminkan status sirkulasi. Meskipun keluaran urin merupakan indikator yang baik terhadap perfusi ginjal, biasanya pada saat awal sulit diperoleh informasi yang akurat karena orangtua tidak memperhatikan jumlah urin anaknya. Keluran urin normal rata-rata 1-2 ml/kg/jam. Bila 5 tahun 5 Bercakap-cakap dan orientasi baik 4 Disorientasi namun bisa bercakap-cakap 3 Kata-kata tidak sesuai; menangis 2 Bunyi-bunyi yang tidak ada artinya 1 Tidak ada respons



14



Usia 0 – 1 tahun   Melokalisasi nyeri Respons nyeri tapi tidak melokalisasi Fleksi abnormal (dekortikasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi) Tidak ada respons Usia 2 – 5 tahun Kata-kata yang sesuai Kata-kata yang tidak sesuai Berteriak Mengerang Tidak ada respons



BAB 3: Assessmen Pra-Rumah Sakit pada Kegawatan Anak



Usia 0 – 2 tahun Menangis dengan sesuai Menangis Menangis/berteriak yang tidak sesuai Mengerang Tidak ada respons



3.3. TATA LAKSANA AWAL PRARUMAH SAKIT Pada kondisi trauma pediatrik, persiapan yang dilakukan dikeadaan pra-rumah sakit adalah penatalaksanaan kondisi yang mengancam nyawa terlebih dahulu. Untuk menjaga jalan napas yang terganggu tetap terbuka, dapat dilakukan pemasangan alat bantu jalan napas, seperti oropharyngeal airway atau laryngeal mask, atau bila memang dibutuhkan dapat dilakukan intubasi endotrakeal. Jangan lupa gunakan pelindung leher (neck collar) pada kasus dengan kecurigaan terjadi cedera leher. Bila intubasi orotrakeal sulit dilakukan, maka lakukan krikotiroidotomi dengan jarum. Krikotiroidotomi bedah tidak dilakukan pada bayi atau anak yang lebih kecil karena akan mencederai tulang rawan krikoid yang akan menyebabkan stenosis subglotis sekunder. Pemberian cairan resusitasi sebaiknya dilakukan pra rumah sakit. Pemberian cairan resusitasi diberikan melalui akses intra vena. Bila akses intra vena tidak dapat dilakukan maksimal tiga kali gagal (90 detik) dilakukan pemasangan akses intraoseus.



3.4. TATA LAKSANA DI RUMAH SAKIT Sesampainya di rumah sakit, ada tiga pokok yang harus diperhatikan dalam menangani pasien gawat darurat, yaitu: – Primary survey – Identifikasi dan tata laksana semua kondisi yang mengancam nyawa, dilanjutkan dengan resusitasi. Contoh kondisi yang dimaksud adalah obstruksi jalan napas, henti napas, dan henti jantung. – Secondary survey – Identifikasi tanda-tanda penting yang ditemui dalam pemeriksaan untuk dapat menentukan diagnosis yang paling mungkin dan memberikan tata laksana sesuai dengan diagnosis tersebut



– Stabilisasi, yaitu fase untuk mengembalikan homeostasis agar pasien dapat dipindahkan ke ruangan perawatan definitif, misalnya ruang perawatan intensif, atau ruang tindakan yaitu ruang operasi.



Persiapan di rumah sakit Ketika mengetahui bahwa ada pasien darurat yang akan segera tiba, pastikan bahwa: – Tim sudah siap untuk melakukan tindakan – Tim emergensi harus memiliki struktur dan pembagian tugas yang jelas. Pada kondisi darurat, setiap anggota sudah mengetahui peran, tugas dan kewajiban yang harus dilakukan. Ketua tim berperan untuk mengarahkan tim dalam memberikan pelayanan yang terbaik. – Obat-obatan, cairan, dan seluruh peralatan sudah dipersiapkan sebelum menerima pasien.



Persetujuan Persetujuan untuk tindakan medis merupakan hal yang wajib dilakukan, kecuali pada keadaan darurat. Bila pasien anak tidak didampingi oleh wali yang sesuai (orang tua atau pengasuh yang legal secara hukum) dan bila tidak dilakukan tindakan dapat mengancam nyawa, maka tindakan harus segera diberikan meski tanpa persetujuan.



Daftar bacaan 1. 2.



3.



Advanced Life Support Group. Advanced Paediatric Life Support. 5th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2011. Seid T, Ramaiah R, Grabinsky A. Pre-hospital care of pediatric patients with trauma. Int J Crit Illn Inj Sci. 2012; 2(3):114–20. American College of Surgeon Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life Support (ATLS) Student course manual. 9th ed. USA:2012.



APRC



15



BAB 4 Mengenali dan Mengevaluasi Kegawatan pada Anak dengan Saga dan Sadewa PENDAHULUAN



Pasien yang ditempatkan di zona kuning adalah pasien yang mengalami kondisi gawat tetapi tidak darurat, sedangkan pasien yang ditempatkan di zona hijau adalah pasien yang datang dalam kondisi false emergency yaitu bukan suatu kondisi kegawat daruratan sehingga dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap dahulu dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium sebelum melakukan tatalaksana lanjut. Untuk melakukan pemilahan pasien menjadi 3 zonasi, dipakai suatu skoring yaitu SAGA yang mudah dan dapat dilaksanakan dengan cepat.



Kegawatan anak merupakan suatu situasi yang harus ditangani segera. Bila terlambat ditangani anak cepat sekali jatuh pada kondisi kritis dan dapat menimbulkan kecacatan permanen bahkan kematian. Mengenali anak dalam kondisi kegawatan tidak selamanya mudah. Tidak jarang klinis terutama di tingkat layanan primer tidak mampu mengenali kegawatan pada anak. Sebab itu diperlukan suatu perangkat penilaian yang mudah dan dapat digunakan dengan cepat untuk menentukan situasi kegawatan pada anak. Perangkat penilaian yang dapat dipakai adalah segitiga gawat anak (SAGA), dan skoring gawat darurat anak (SADEWA). Pada bab ini selanjutnya akan dijelaskan cara mengenali dan dan mengevaluasi kegawatan anak dengan SAGA dan SADEWA.



SEGITIGA GAWAT ANAK (SAGA) Istilah SAGA atau yang lebih dikenal dengan istilah pediatric assessment triangle (PAT) dikembangkan oleh Dieckman dkk pertama kali pada tahun 2010. Pendekatan dengan SAGA memperlihatkan kondisi kegawatan anak dengan menilai 3 bagian besar yaitu tampilan, upaya napas dan sirkulasi. Pada tampilan akan dinilai 5 komponen, upaya napas 4 komponen dan sirkulasi 3 komponen. Untuk lebih mudah mengingat, dibuat suatu singkatan 5-4-3. Berbagai komponen SAGA dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam penilaian SAGA, terdapat 3 komponen yang harus dievaluasi yaitu tampilan, upaya napas dan sirkulasi. Pada tampilan akan dinilai 5 kondisi, upaya napas 4 kondisi dan sirkulasi 3 kondisi. Supaya mudah diingat, penilaian SAGA akan dilakukan dengan rumus 5-4-3.



TRIASE Triase adalah pintu masuk di ruang gawat darurat tempat klinisi memilah pasien berdasarkan kondisi kegawat daruratan pasien saat datang. Hasil pemilahan ini selanjutnya akan dipakai oleh tim medis untuk menempatkan pasien di zona tertentu tertentu sesuai kondisi pasien. Zonasi di ruang gawat darurat dibagi menjadi 3 yaitu zona merah, kuning dan hijau. Pasien ditempatkan di zona merah bila terdapat kondisi gawat dan darurat yang mengancam nyawa. Pasien yang ditempatkan di zona merah ini harus segera ditatalaksana untuk mencegah kondisi pasien menjadi lebih buruk. Tindakan resusitasi dilakukan di zona merah ini. 16



Gambar 1. Komponen SAGA



Tabel 1. Penjabaran 5 penilaian tampilan pada SAGA



Karakteristik Tonus Interaksi Kenyamanan Pandangan Kekuatan bicara/menangis



Hal yang dinilai Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus otot baik atau lumpuh? Bagaimana kesadarannya? Apakah berespon terhadap stimulus suara? Apa anak malas berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa? Apakah anak dapat ditenangkan oleh pengasuh atau pemeriksa? Atau anak menangis dan sulit ditenangkan, terlihat agitasi sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut? Apakah anak dapat memfokuskan pengelihatan pada wajah pemeriksa atau pengasuh? Atau pandangan kosong? Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat, lemah, atau parau?



Tabel 2. Penjabaran 4 penilaian upaya napas pada SAGA Karakteristik Suara napas tambahan Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi



Posisi tubuh abnormal



Sniffing, tripoding, menolak berbaring



Retraksi



Supraklavikula, interkosta, substernal, head bobbing



Cuping Hidung



Napas cuping hidung



Pada tampilan yang akan dinilai adalah tonus, interaksi dengan lingkungan, kenyamanan atau mudah ditenangkan (consolability), pandangan dan suara atau tangisan. Penjabaran pada tampilan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada upaya napas akan dinilai adalah napas cuping hidung, adanya suara napas tambahan, retraksi dan posisi abnormal pada pasien. Penjabaran penilaian upaya napas dapat dilihat pada Tabel 2.



Pada sirkulasi akan dinilai 3 kondisi yaitu sianosis, pucat dan kutis marmorata (mottled). Bila ada 1 satu kondisi saja dari tiap-tiap komponen pada tampilan, upaya napas dan sianosis, maka diambil kesimpulan bahwa penilaian komponen yang dimaksud abnormal. Dengan penilaian SAGA ini diharapkan klinisi akan mudah dan mampu mengenali kegawatan pada anak dan melakukan tatalaksana awal segera. Kesimpulan keseluruhan penilaian SAGA dapat dilihat pada Tabel 3.



APRC



17



Terdapat 6 klasifikasi hasil kesimpulan penilaian SAGA yaitu stabil, gawat napas, gagal napas, gangguan sirkulasi (renjatan), gangguan metabolik atau susunan saraf pusat dan gagal jantung paru. Pada table 3 diperlihatkan bahwa gangguan pernapasan dibagi menjadi gawat dan gagal napas. Perbedaan yang mendasar diantara keduanya adalah pada gawat napas penilaian tampilan abnormal sedangkan pada gagal napas telah terjadi abnormalitas pada tampilan. Setelah penilaian SAGA, petugas kesehatan yang berada di triase akan mampu mengklasifikasikan pasien berdasarkan zonasinya yaitu hijau, kuning atau merah.



Klasifikasi zonasi kegawatan anak berdasarkan penilaian SAGA dapat dilihat pada Tabel 4. Setelah dilakukan klasifikasi zonasi kegawatan, langkah selanjutnya adalah melakukan tatalaksana yang sesuai dengan kondisi anak. Tatalaksana berdasarkan penilaian SAGA dapat dirangkum dalam tabel 5. Pada gangguan pernapasan baik pada gawat dan gagal napas harus diberikan oksigen yang sesuai kebutuhan anak. Pada gawat napas dapat dipertimbangkan pemberian oksigen dengan kanula nasal 0.25-4 liter per menit (lpm) dan dapat ditingkatkan pemberiannya melalui sungkup muka sederhana 6-10 lpm. Pada gagal



Tabel 3. Penilaian keseluruhan SAGA dengan simpulannya Komponen Satbil Gangguan Pernapasan



Penampilan Upaya Napas Sirkulasi



Normal Normal Normal



Gawat Napas Normal Abnormal Normal



Gagal Napas Abnormal Abnormal Normal/ Abnormal



Gangguan Sirkulasi Renjatan Normal/ Abnormal Normal Abnormal



Gangguan SSP/ Gagal Metabolik Jantung-Paru Abnormal Normal Normal



Abnormal Abnormal Abnormal



Tabel 4. Klasifikasi zonasi kegawatan anak berdasarkan penilaian SAGA di triase Penampilan Upaya Napas Sirkulasi



HIJAU Bermain, aktivitas normal Normal Normal



KUNING Normal/ Abnormal Normal/Abnormal Normal



MERAH Abnormal Abnormal Abnormal



Tabel 5. Tatalaksana berdasarkan penilaiaan SAGA Gangguan Fisiologi Prioritas tatalaksana Stabil • Terapi spesifik sesuai dengan etiologi penyakit • Posisi nyaman Gawat napas • Pemberian oksigen / suction sesuai kebutuhan • Terapi spesifik berdasarkan kemungkinan etiologi (misal albuterol, dyphenhydramine, epinefrin) • Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi • Membuka jalan napas (head-tilt, chin lift, jaw thrust, membebaskan dari benda asing jalan nafas sesuai Gagal napas kebutuhan) • Oksigen • Ventilasi tekanan positif (sesuai kebutuhan) • Intubasi atau krikotiroidotomi (sesuai kebutuhan) • Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi • Pemberian oksigen (sesuai kebutuhan) Renjatan • Pemasangan akses vaskular • Pemberian terapi cairan RL 10 ml/kgbb dalam 15-30 menit • Pemberian terapi spesifik sesuai kemungkinan etiologi (misal antibiotik, anti aritmia, evaluasi bedah pada trauma, dll) • Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi Gangguan SSP/metabolik • Oksigen (sesuai kebutuhan) • Pemeriksaan gula darah atau kemungkinan etiologi lainnya • Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi • Ikuti algoritma bantuan hidup dasar Kegagalan Jantung Paru



18



BAB 4: Triase



napas dipertimbangkan pemberian non-rebreathing mask 10-15 lpm dan dapat ditambahan dengan pemberian tekanan melalui high flow nasal canula (HFNC) 4-40 lpm. Bila diperlukan pertimbangkan pemberian ventilasi tekanan positif.



SURVEI PRIMER Setelah melakukan penilaian dengan SAGA harus dilanjutkan dengan melakukan penilaian survei primer yang terdiri dari penilaian A-B-C-D-E yaitu airway (jalan napas), breathing (kinerja pernapasan) , circulation (sirkulasi atau kardiovaskuler), disability (kesadaran) dan exposure (paparan). Penilaian jalan napas (airway) dapat dilakukan dengan posisi sniffing dan pada pasien tidak sadar dilakukan dengan tekhnik head tilt-chin lift atau jaw trust pada anak dengan cedera servikal. Hasil dari penilaian jalan napas dapat disebutkan jalan napas bebas atau ada sumbatan atau obtruksi. Harus disebutkan pula apakah anak dapat mempertahankan patensi jalan napas. Penilaian kinerja pernapasan (breathing) dilakukan dengan menghitung frekuensi pernapasan dalam 1 menit penuh, teratur atau adanya pola panas tertentu, peningkatan upaya napas, suara napas dasar dan tambahan. Nilai normal laju nadi dan napas pada anak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai normal laju nadi dan napas pada anak Kelompok umur Laju Nadi Laju Napas Neonatus 100-180 40-60 1 bulan – 1 tahun 100-180 35-40 1 – 6 tahun 70-110 20-30 7 – 12 tahun 70-110 18-20 12 – 18 tahun 55 - 90 16 - 18



Tabel 9. Skala ‘AVPU’ Kategori  ‘Alert’ ‘Verbal’  ‘Pain’ 



Rangsang  Lingkungan normal  Perintah sederhana atau rangsang suara Nyeri 



Tipe respon  Sesuai  • Sesuai • Tidak sesuai  • Sesuai  • Tidak sesuai  •



‘Unresponsive’



Laju pernapasan yang abnormal pada anak dapat dipengaruhi faktor di luar sistem respirasi seperti adanya nyeri, demam atau cemas dapat meningkatkan laju napas anak. Suara napas tambahan dapat berupa stridor inspirasi atau ekspirasi atau mengi (wheezing). Klinisi harus mengevaluasi penyebab abnormalitas laju napas dan suara napas tambahan yang terjadi. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung laju nadi, penilaian kualitas nadi, capillary refill time (CRT), akral hangat atau dingin, pengukuran tekanan darah dengan manset yang sesuai usia anak dan pengukuran produksi urin. Nilai normal laju nadi dapat dilihat pada Tabel 6. Tekanan darah merupakan salah satu penentu apakah anak mengalamai syok terkompensasi atau tidak terkompensasi. Tekanan darah sistolik minimal dapat dihitung dengan rumus 70 + (2 dikali usia pasien). Penilaian disability adalah penilaian status neurologik pada pasien. Penilaian ini meliputi kesadaran, refleks bola mata, pola pernapasan sentral, postur tubuh, kejang, paresis saraf kranial dan akan diikuti oleh pemeriksaan neurologi keseluruhan pada suvei sekunder. Penilaian kesadaran dapat dilakukan dengan skala Glasgow (Glasgow Coma Scale atau GCS) dengan mengamati pandangan anak, kemampuan anak berbicara dan respon motorik. Pada kondisi emergensi, penilaian GCS tidak praktis dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan skala AVPU. Skala AVPU dilakukan dengan membagi tingkat kesadaran menjadi Alert, response to Voice, response to Pain dan Unresponsive. Penjabaran penilaian skala AVPU dapat dilihat pada Tabel 7. Penilaian paparan (exposure) dilakukan dengan memeriksa lesi pada kulit anak apakah terdapat jejas,



Patologis



Reaksi  Interaksi normal untuk tingkat usia • Bereaksi terhadap nama • Tidak spesifik/ bingung • Menghindar rangsang • Mengeluarkan suara tanpa tujuan atau dapat melokali-sasi nyeri • Posture



Tak ada respon yang dapat dilihat terhadap semua rangsang



APRC



19



terlihat kuning, terdapat perdarahan bawah kulit, dan lain sebagainya. Harus dievaluasi juga adanya paparan alergi pada anak, terapi yang telah diberikan, riwayat perawatan sebelumnya, konsumsi makanan terakhir dan pajanan lingkungan. Untuk mempermudah mengingat hal-hal yang perlu dievaluasi, dibuat singkatan menjadi AMPLE yaitu allergies, medications, past medical history, last meal, event surrounding injury or environtment. Setelah melakukan survei primer dan memberikan tatalaksana awal untuk masing-masing klasifikasi diperlukan evaluasi berkala untuk menilai keberhasilan terapi yang telah diberikan. Penilaian selanjutnya dilakukan dengan SADEWA. Pada SADEWA, dilakukan evaluasi pada 3 komponen yaitu perilaku, kardiovaskuler dan respirasi. Penilain SADEWA ini juga mudah dan cepat dilakukan sehingga petugas Kesehatan dapat menilai dengan tepat kondisi anak. Penilaian SADEWA dapat dilihat pada Tabel 6.



Tabel 6. Penilaian 3 komponen SADEWA Komponen 0 Perilaku Bermain /aktivitas sesuai usia Kardiovaskular Merah/waktu pengisian kapiler (CRT) 1-2 detik Respirasi



Hasil dari penilain SADEWA akan dibuat dalam bentuk skoring yang berguna dalam panduan evaluasi berkala dan tatalaksana selanjutnya. Skoring dan tatalaksana lanjutan berdasarkan penilai SADEWA dapat dilihat pada Tabel 7.



KESIMPULAN Kemampuan mengenal anak dalam kondisi gawat darurat perlu dimiliki setiap tenaga medis terutama yang bekerja di ruang emergensi. Untuk mempermudah pengenalan ini digunakan penilaian SAGA, survei primer dan SADEWA. Diharapakan dengan melakukan penilaianpenilaian ini, tenaga kesehatan dapat dengan cepat mengenali anak dalam kondisi gawat darurat, mampu mengklasifikasikan serta melakukan tatalaksan dengan cepat dan tepat sehingga angka morbiditas dan mortalitas anak dapat diturunkan.



1 Rewel, mudah ditenangkan



2 Rewel, sulit ditenangkan



3 Letargis



Pucat atau CRT 3 detik, Nadi ≥ 10 di atas normal



Pucat atau CRT 4 detik, Nadi ≥ 20 di atas normal atau diaforesis Laju napas ≥ 20 di atas normal atau saturasi O2 5 poin di bawah normal, atau retraksi sedang



Kutis marmorata (mottled) atau CRT ≥ 5 detik, Nadi ≥ 30 di atas normal atau bradikardia Laju napas di bawah normal atau peningkatan usaha napas atau saturasi O2 >5 poin di bawah normal, atau merintih, atau retraksi berat



Retraksi ringan Laju napas dan saturasi O2 dalam batas normal dan tidak ada peningkatan usaha napas



Tabel 7. Skoring dan tatalaksana lanjutan berdasarkan penilaian SADEWA



SKOR



TATALAKSANA



0–2 3–4



Evaluasi SADEWA dan tanda vital setiap 4 jam, tata laksana sesuai penyakit ulang SADEWA setiap 1 jam cek tanda vital setiap 2 jam rawat inap konsultasikan pada dokter spesialis anak. ulang SADEWA setiap 30 menit cek tanda vital setiap 2 jam rawat inap 🡪 rujuk HCU konsultasikan pada dokter spesialis anak ulang SADEWA setiap 20 menit cek tanda vital setiap 1 jam rawat inap 🡪 rujuk PICU konsultasikan pada dokter spesialis anak segera



5



≥6



20



BAB 4: Triase



BAB 5 Manajemen Jalan Napas pada Anak



1.1. PENDAHULUAN



faring dan menutup saluran napas. Oropharyngeal airway juga berfungsi untuk menjaga pipa endotrakeal agar tidak tergigit. Alat ini tidak digunakan pada pasien sadar atau masih memiliki refleks muntah karena akan menyebabkan aspirasi isi lambung, tersedak, dan laringospasme. Ukuran OPA ditentukan dengan meletakkan OPA di sisi pipi pasien, ujung OPA di angulus mandibula dan bagian pangkal berada di antara gigi insisivus 1 dan 2. Penggunaan ukuran OPA terlalu kecil tidak efektif dan dapat menimbulkan obstruksi parsial, sementara bila terlalu besar dapat menyebabkan laringospasme.



Memastikan jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing) berlangsung dengan lancar merupakan dua hal penting pada bantuan hidup dasar dan lanjut. Penurunan kondisi anak dapat terjadi dengan cepat bila fungsi respirasi terganggu. Perbedaan anatomi, fisiologi, dan alat-alat yang digunakan dalam resusitasi harus diketahui sebelum memberikan pertolongan. Bab ini akan membahas alat-alat yang diperlukan untuk melakukan manajemen jalan napas pada anak dalam keadaan gawat darurat, serta beberapa manuver yang dapat dilakukan. Prosedur dan langkah-langkah melakukan manuver tersebut akan dibahas pada bab prosedur.



1.2. PERALATAN YANG DIPERLUKAN Alat bantu jalan napas sederhana meliputi oropharyngeal airway (OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA), sedangkan peralatan minimal yang perlu ada untuk melakukan bantuan jalan napas lanjut adalah: – Sungkup oksigen – Laryngeal mask airway (LMA) – Self-inflating bag-valve-mask device – Pipa endotrakeal, introducer, dan connector – Alat pengisap (suction) – Kanula krikotiroidotomi



Gambar 5.1 Cara menentukan ukuran OPA



Nasopharyngeal airway Nasophayngeal airway (NPA) lebih mudah digunakan pada anak. Namun, alat ini tidak boleh digunakan pada fraktur basis cranii atau fraktur wajah yang mengenai hidung. Penggunaan NPA yang kurang tepat dapat berakibat terjadinya perdarahan di mukosa nasal.



Oropharyngeal airway Oropharyngeal airway (OPA) digunakan pada pasien tidak sadar untuk menjaga saluran napas tetap terbuka. Alat tersebut berfungsi untuk menopang lidah tidak jatuh kearah 21



Cara menentuan ukuran NPA adalah dengan meletakkan NPA dari cuping hidung ke tragus telinga. Ukuran diameter yang terlalu besar menyebabkan iritasi dan menekan valekula sehingga timbul obstruksi jalan napas. Pelumas berbahan dasar air yang dioleskan pada sisi luar NPA dapat mengurangi trauma pemasangan.



– Laringoskop bilah lengkung, digunakan untuk menggeser epiglotis dengan mengangkat bagian depan epiglotis. Ujung bilah dimasukkan ke dalam valekula yang berada di depan epiglotis dan kemudian epiglotis akan tertarik ke arah depan akibat tekanan pada valekula, sehingga plica vocalis dapat terlihat (Gambar 5.2). Pastikan laringoskop berfungsi baik, yaitu lampu laringoskop menyala. Gunakan ukuran bilah yang sesuai.



Pipa endotrakeal (endotracheal tube – ETT) Ukuran pipa endotrakeal (ETT) yang tepat sangat penting pada anak. Ukuran terlalu besar dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada plica vocalis sehingga berakibat terjadinya edema setelah ekstubasi, sementara ukuran yang terlalu kecil menyebabkan kebocoran jalan napas. Gambar 5.2. Cara menentukan ukuran NPA



Perkiraan ukuran ETT Laringoskop Ada dua jenis laringoskop yang digunakan pada anak, yaitu laringoskop dengan bilah datar/lurus, dan laringoskop dengan bilah lengkung (Gambar 5.3). – Laringoskop bilah lurus, digunakan untuk mengangkat epiglotis agar tampak plica vocalis (Gambar 5.3). Keuntungan dari manuver ini adalah untuk mencegah cedera saat visualisasi plica vocalis. Namun, laringoskop jenis ini dapat menstimulasi vagal yang akan menyebabkan laringospasme dan atau bradikardia.



– ETT tanpa balon Untuk anak di atas 1 tahun, ukuran ETT dapat diperkirakan dengan perhitungan berikut: Diameter internal (mm) = (usia/4) + 4 Panjang (cm) = (usia/2) +12 untuk pipa orotrakeal = (usia/2) + 15 untuk pipa nasotrakeal. Untuk neonatus cukup bulan, umumnya digunakan ETT dengan diameter internal 3–3,5 mm, dan untuk neonatus kurang bulan digunakan ukuran diameter internal 2,5 mm. – ETT dengan balon Untuk anak di atas 2 tahun, dapat digunakan ETT dengan balon, mengikuti perhitungan berikut: Diameter internal (mm) = (usia/4) + 3,5



Gambar 5.3. Laringoskop bilah datar dan lengkung



22



BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak



Untuk bayi di atas 3 kg dan usia kurang dari 1 tahun, dapat digunakan ETT ukuran 3. ETT jenis ini tidak boleh digunakan pada neonatus. Cara cepat untuk memperkirakan diameter pipa endotrakeal adalah dengan menggunakan diameter



jari kelingking pasien atau diameter liang hidung. Pemilihan diameter yang tepat dapat diketahui bila dalam penggunaannya tidak terjadi kebocoran udara pada tekanan di atas 20–30 mmHg. Untuk mengantisipasi ukuran ETT yang terlalu besar atau terlalu kecil, persiapkanlah satu ETT dengan ukuran lebih kecil dari nomor yang digunakan dan satu ETT dengan ukuran lebih besar dari nomor yang digunakan.



Introducer ETT Intubasi dapat dibantu dengan penggunaan stylet atau introducer yang dimasukkan ke dalam lumen dari pipa endotrakeal. Ada dua jenis introducer, yaitu lunak atau keras. Tipe keras dapat merusak jaringan bila melebihi panjang ETT.



Konektor ETT Konektor ETT secara umum berukuran sama, baik pada dewasa, anak, maupun neonatus, untuk dihubungkan dengan balon resusitasi atau ventilator.



Cunam magill Cunam magill adalah alat penjepit bersudut. Alat ini digunakan untuk menjepit pipa endotrakeal, terutama yang dimasukkan melalui liang hidung untuk memasukkan ke lubang di antara pita suara. Cunam magill juga dapat digunakan untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas atas.



Kateter penghisap Digunakan untuk mengeluarkan sekret bronkus atau cairan lain yang teraspirasi ke dalam jalan napas. Ukuran yang umum digunakan adalah dua kali diameter dalam pipa endotrakeal. Bila ukuran pipa endotrakeal 3,0 mm maka ukuran kateter penghisap yang digunakan adalah 6 French.



Kanul krikotiroidotomi Ada tiga ukuran kanul krikotiroidotomi, yaitu nomor



12 untuk dewasa, 14 untuk anak, dan 18 untuk bayi. Kanul krikotiroidotomi lebih kaku sehingga tidak mudah terlipat. Alat ini memiliki sambungan untuk diikatkan pada leher. Pada keadaan darurat, kanul intravena nomor 14 dapat digunakan dengan cara ditusukkan pada membran krikotiroid dan kemudian disambungkan dengan oksigen 1-5 L/menit. Pasien akan mendapat ventilasi secara parsial bila kanul dihubungkan dengan konektor Y dengan salah satu sisinya disambungkan ke sumber oksigen dan sisi konektor yang lain dibuka-tutup secara intermiten.



Sungkup resusitasi Sungkup resusitasi (face-mask) memiliki dua bentuk dasar. Bentuk pertama adalah bentuk yang menyesuaikan anatomi anak, untuk mengurangi ruang rugi dan mencegah kebocoran. Bentuk kedua adalah sungkup dengan plastik lunak di sekeliling sisinya yang berisi udara untuk menjaga kekedapan yang sempurna. Pada bagian pangkal, mempunyai konektor berukuran 15/22 mm. Sungkup yang baik adalah sungkup bening tembus pandang, sehingga dapat terlihat udara ekspirasi, sianosis bibir, dan muntahan. Ukuran sungkup yang sesuai adalah yang meliputi dagu hingga pangkal hidung, namun tidak menyebabkan tekanan pada mata.



Balon resusitasi tipe mengembang sendiri (self- inflating bag) Alat ini dirancang untuk memberikan ventilasi tekanan positif pasien pada keadaan darurat. Terbuat dari bahan karet atau plastik yang elastis, sehingga dapat mengisi udara sendiri tanpa adanya sumber oksigen. Pada bagian distal terdapat katup searah yang mengalirkan udara dari balon resusitasi ke sistem pernapasan. Bagian ini dilengkapi dengan konektor baku yang dapat dihubungkan dengan sungkup resusitasi. Pada bagian proksimal terdapat sambungan sumber oksigen dan satu sambungan lain untuk mengisi balon dengan udara luar atau yang dihubungkan dengan reservoir (Gambar 5.2).



APRC



23



Gambar 5.4. Balon resusitasi tipe mengembang sendiri



Tanpa reservoir, sulit untuk memasok udara dengan kadar oksigen lebih dari 50%. Bila tersambung dengan reservoir yang terisi penuh oksigen, alat ini dapat memasok udara dengan kadar oksigen mencapai 98%. Terdapat 3 ukuran balon tipe mengembang sendiri, yaitu ukuran 240 ml, 500 ml, dan 1600 ml. Balon ukuran 240 ml dan 500 ml biasanya dilengkapi katup pengaman yang membuka pada tekanan di atas 40 cmH2O. Katup ini juga dirancang untuk mencegah terjadinya barotrauma.



Balon resusitasi tipe tidak mengembang Terdiri dari balon reservoir, lubang tempat keluar untuk udara yang berlebih, lubang tempat untuk masuk gas, dan konektor sungkup baku 15/22 mm (Gambar 5.5). Bila tekanan berlebih, udara akan keluar melalui katup pengaman. Alat ini tidak dilengkapi dengan katup re- breathing. Balon ini tersedia dalam ukuran 500 ml untuk bayi, 1000-2000 ml untuk anak, dan 3000-5000 ml untuk dewasa.



Gambar 5.5. Balon resusitasi tidak mengembang dengan sendirinya (model Amerika)



24



BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak



Gambar 5.6. Balon resusitasi tidak mengembang dengan sendirinya T-piece (model Inggris)



Balon resusitasi dengan ujung terbuka yang dapat dihubungkan dengan pipa yang memiliki ujung menyerupai huruf T, disebut dengan T-piece. Pada satu sisi T, terdapat katup pengatur udara keluar, pada sisi lainnya terdapat konektor sungkup baku (Gambar 5.6). Pengguna alat ini membutuhkan keterampilan untuk dapat mengatur aliran gas dan katup pengatur kelebihan gas, serta penggunaan sungkup yang benar. Volume udara inspirasi diperoleh melalui pengaturan katup kelebihan gas. Komposisi gas inspirasi ditentukan oleh aliran udara segar. Aliran udara penting untuk menghalau gas ekspirasi. Bila katup kelebihan gas ini ditutup rapat maka udara ekspirasi tertahan dan akan terjadi rebreathing. Pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg, umumnya digunakan aliran gas 2L/menit, berat badan 10-50 kg digunakan aliran oksigen 4 L/menit, dan 6L/ menit untuk pasien dengan berat badan lebih dari 50 kg. Semakin tinggi aliran gas, semakin kecil terjadi rebreathing sehingga lebih efektif dalam mencegah hiperkarbia. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau continous positive airway pressure (CPAP) dapat diberikan dengan alat ini melalui katup pengatur kelebihan gas. Karena penggunaannya yang memerlukan pengalaman dan tidak dapat digunakan tanpa sumber gas, maka alat ini tidak umum digunakan sebagai peralatan resusitasi awal. Bila digunakan oleh petugas yang berpengalaman, compliance paru dapat ‘terasa’ hingga alat ini sangat efektif.



Pipa torakotomi Pipa ini digunakan pada pasien dengan hemothoraks dan pneumothoraks. Untuk neonatus, digunakan pipa ukuran 10 F (French), untuk bayi (di bawah 12 bulan), digunakan ukuran 12-16 F, untuk anak 1-5 tahun 16-20 F, dan ukuran 20-32 F untuk anak di atas 5 tahun.



Laryngeal mask airway Laryngeal mask airway (LMA) merupakan peralatan jalan napas yang sering digunaakan saat prosedur pembiusan (anestesi). Alat ini mudah dipasang namun tidak mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi. Laryngeal mask airway disiapkan pada kondisi emergensi karena pemasangannya mudah dan cepat.



Pipa lambung (gastric tube) Anak sangat rentan menelan udara dan muntah tanpa disengaja. Tindakan bantuan ventilasi dengan balon resusitasi juga dapat menyebabkan udara masuk ke lambung. Keadaan ini dapat merangsang muntah, refleks vagal, dan menekan diafragma ke atas. Pemasangan pipa lambung dapat membantu mengeluarkan udara, mendekompresi lambung, sehingga dapat memperbaiki pernapasan. Pipa lambung tersedia dengan ukuran 2 F hingga 16 F, untuk usia neonatus hingga remaja. Penempatan pipa lambung dilakukan melalui hidung, yaitu pada dasar hidung (Gambar 5.7), melewati dinding posterior faring, esofagus, dan kemudian masuk ke lambung.



Gambar 5.7. Letak pipa lambung didasar hidung



Untuk menempatkan ujung pipa di dalam lambung, perlu diberi tanda pada pipa sesuai dengan ukuran panjang jarak dari hidung ke telinga lalu ke prosesus xiphoideus (nex, atau nose-ear-xiphoid). Pemberian pelumas larut air atau yang mengandung lidokain 2% beberapa sentimeter pada ujung pipa akan mempermudah pemasangan dan mengurangi rasa tidak nyaman.



1.3. TEKNIK KHUSUS PENANGANAN JALAN NAPAS 1. Manuver Head Tilt - Chin Lift - Jaw Thrust dan Penggunaan Penyangga Jalan Napas Penilaian adanya gangguan jalan napas dilakukan dengan manuver melihat, mendengar, dan merasakan (look, listen, feel). Look-listen-feel dilakukan untuk mendeteksi henti napas, obstruksi jalan napas, atau gangguan pernapasan lain dengan cepat. Fleksi dan ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan tertutupnya jalan napas. Head tilt-chin lift (Gambar 5.8) tidak boleh dilakukan bila pasien dicurigai cedera tulang belakang servikal, sehingga lakukan manuver jaw thrust (Gambar 5.8) pada kondisi tersebut. 2. Penggunaan Balon dan Sungkup Resusitasi Teknik ini dilakukan dengan metode E-C clamp yaitu salah satu tangan penolong mempertahankan sungkup kedap pada muka sambil mempertahankan kepala pada posisi chin lift dengan meletakkan jari ke 3, 4, dan 5 pada angulus mandibula sambil mendorong ke atas (Gambar 5.9). Tangan penolong lainnya memijat perlahan balon resusitasi. Bila resusitasi dilakukan oleh lebih dari satu penolong, untuk resusitasi pernafasan, salah satu penolong bertugas mempertahankan posisi jalan napas tetap terbuka dengan manuver jalan napas dan memposisikan sungkup kedap udara, sementara penolong lain bertugas memijat balon resusitasi. Ventilasi yang adekuat dinilai dengan melihat pengembangan dada. Bila dada tidak mengembang APRC



25



Gambar 5.8. Teknik membuka jalan napas dengan manuver head tilt-chin lift dan jaw thrust



Gambar 5.9. Teknik memegang masker dengan satu tangan



dengan baik, lakukan perbaikan posisi, serta pertimbangkan melakukan pembersihan jalan napas dengan alat penghisap. Bila usaha bernapas baik, berikan oksigen. Pada bantuan ventilasi dengan sungkup, sering terjadi distensi lambung. Keadaan ini lebih sering lagi terjadi bila komplians paru menurun atau terdapat obstruksi jalan napas. Distensi lambung dapat menghambat gerakan diafragma ke bawah (rongga abdomen), regurgitasi, dan aspirasi cairan lambung. Pada bayi dengan kesadaran menurun, distensi lambung dan regurgitasi pasif dapat dicegah dengan memberikan tekanan pada rawan krikoid (manuver Sellick) selama ventilasi dengan sungkup



26



BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak



Gambar 5.10. Manuver Sellick



(Gambar 5.10). Pada bayi, penekanan rawan krikoid dilakukan dengan satu jari, sedangkan pada anak penekanan dilakukan dengan ibu jari dan telunjuk. Penekanan yang terlalu kuat dapat menyebabkan obstruksi trakea. 3. Intubasi Endotrakeal Intubasi endotrakeal merupakan cara mempertahankan jalan nafas tetap terbuka (patent airway) yang dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut. Kemungkinan aspirasi cairan lambung ke paru-paru lebih kecil dibandingkan dengan alat bantu jalan nafas lainnya. Berikut adalah indikasi penggunaan pipa endotrakeal:



Tabel 5.1. Ukuran bilah laringoskop, diameter pipa endotrakeal, ukuran pipa endotrakeal dan kateter penghisap



Usia



Laringoskop



Diameter dalam pipa endotrakeal (mm)



Jarak antara gigi seri/gusi ke bagian tengah trakea (cm)



Kateter penghisap (F)



Neonatus kurang bulan



Miller 0



2.5, 3.0 tanpa balon penyekat



8



5-6



Neonatus cukup bulan 6 bulan 1 tahun 2 tahun 4 tahun 6 tahun 8 tahun



Miller 0-1



3.0, 3.5 tanpa balon penyekat



9-10



6-8



3.5, 4.0 tanpa balon penyekat 4.5, 5.0 tanpa balon penyekat



10 11 12 14 15 16



8 8 8 10 10 10



6.5 dengan atau tanpa balon penyekat



17



12



7.0 dengan balon penyekat 7.0, 8.0 dengan balon penyekat



18



12



20



12



Miller 2



5.0, 5.5 tanpa balon penyekat 5.5 tanpa balon penyekat



Miller 2 Macintosh 2



10 tahun 12 tahun Remaja



4.5, 5.0 tanpa balon penyekat



Macintosh 3 Macintosh 3 Miller 3



6.0 dengan atau tanpa balon penyekat



a. Gangguan kontrol pernapasan pada sistem saraf pusat b. Obstruksi jalan napas anatomik maupun fungsional c. Hilangnya refleks yang melindungi jalan napas d. Usaha nafas berlebih e. Paru kolaps sehingga dibutuhkan tekanan ekspirasi yang tinggi atau PEEP f. Dibutuhkan ventilasi mekanik tekanan positif g. Transportasi pasien dengan kesulitan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka selama transportasi. Hal penting lain yang perlu diketahui dalam melakukan intubasi endotrakeal adalah ukuran bilah laringoskop, pipa endotrakeal, dan kateter penghisap (Tabel 5.1) Setelah pipa terpasang dengan baik, beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memastikan posisi pipa endotrakeal telah terpasang dengan tepat adalah sebagai berikut: 1. Observasi gerakan bilateral dinding dada, pastikan bahwa gerakan simetris kiri dan kanan 2. Auskultasi dinding dada dan abdomen, pastikan bahwa bunyi napas paru kanan dan kiri simetris



3. Lihat adanya embun air di bagian dalam ETT yang terpasang di daerah mulut 4. Lakukan foto thoraks untuk memastikan posisi pipa endotrakeal yang tepat 5. Pantau kadar karbon dioksida ekshalasi, dengan kapnometri atau kapnografi karbon dioksida.



Krikotirotomi Krikotirotomi jarang dilakukan pada anak. Krikotirotomi dilakukan dengan cara bedah (insisi) atau pungsi. Pada bayi hingga anak usia 3 tahun, risiko komplikasi krikotirotomi amat besar mengingat berbagai struktur vital seperti arteri karotis dan vena jugularis yang terletak berdekatan dengan daerah tindakan. Namun tindakan ini merupakan tindakan emergensi yang sering digunakan pada kondisi tidak dapat dilakukan ventilasi dan sulit intubasi. Kritotirotomi dilakukan bila terjadi kegagalan pemasangan jalan napas dengan cara tradisional, pada kondisi-kondisi berikut: a. Trauma yang menyebabkan perdarahan pada mulut, faring, dan nasal b. Spasme wajah dan laring c. Muntah yang tidak dapat dikontrol



APRC



27



d. Gigi yang mengatup kuat e. Tumor, kanker, maupun kondisi lainnya yang menyebabkan sulit dilakukan intubasi f. Edema orofaring, misalnya akibat anafilaksis g. Obstruksi benda asing h. Cedera maksilofasial Kontraindikasi absolut dilakukannya krikotirotomi adalah usia, walau tidak ada batasan pasti berapa usia minimal dilakukannya krikotirotomi. Beberapa sumber menyebutkan batasan minimalnya adalah 5-12 tahun, namun Pediatric Advanced Life Support (PALS) menyatakan pediatric airways dapat dilakukan pada usia 1-8 tahun. Kebanyakan pendekatan konservatif menggunakan usia 12 tahun sebagai batas. Di bawah usia tersebut, disarankan untuk melakukan krikotirotomi jarum karena ukuran membran krikotiroid yang masih kecil serta laring yang masih berbentuk tabung. Krikotirotomi jarum dapat digunakan sampai 40 menit, sementara krikotirotomi surgikal dapat digunakan lebih lama. Walau begitu, trakeostomi disarankan untuk dipasang segera dalam waktu 24 jam.



28



BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak



Setelah krikotirotomi terpasang, ada beberapa hal yang harus dipantau untuk memastikan bahwa pipa trakea telah terpasang dengan baik. Hal-hal yang harus dinilai adalah sebagai berikut: 1. Observasi gerakan bilateral dinding dada, pastikan bahwa gerakannya simetris 2. Auskultasi kedua lapang dada, pastikan bahwa bunyi napas sama kuatnya. Lakukan auskultasi abdomen 3. Auskultasi bunyi napas 4. Perhatikan warna kulit dan bibir Bila ditemukan adanya kelainan atau kejanggalan, segera lakukan tata laksana untuk memperbaiki kondisi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA 1.



2.



Effective use of oropharyngeal airway and nasopahryngeal airways. Diunduh dari https://acls.com/free-resources/ knowledge-base/respiratory-arrest-airway-management/ nasopharyngeal-oropharyngeal-airways Doherty JS, Froom SR, Gildersleve CD. Pediatric Pediatric laryngoscopes and intubation aids old and new. Pediatric Anesthesia 2009; 19 (S1):30-7. doi: 10.1111/j.1460-9592.2009.03001.x



BAB 6 Bantuan Hidup Dasar



PENDAHULUAN



19% menjadi 38%, tetapi angka keberhasilan resusitasi di luar rumah sakit hanya meningkat tidak lebih dari 3%, yaitu dari 6,7% menjadi 10,2%. Dengan pengenalan dini pada henti jantung anak dan tindakan resusitasi jantung paru anak yang berkualitas tinggi dapat membantu meningkatkan angka kesintasan henti jantung pada anak. Untuk itulah perlu dipelajari tentang cara melakukan bantuan hidup dasar yang benar baik oleh dokter, paramedis maupun awam, dalam rangka meningkatkan angka keberhasilan resusitasi pada anak dengan henti jantung. 4



Menurut data di Amerika, lebih dari 20.000 bayi dan anak mengalami henti jantung setiap tahunnya. Penyebab terjadinya henti jantung pada bayi dan anak berbeda dengan dewasa. Penyebab terbanyak henti jantung pada bayi dan anak adalah karena gangguan pernapasan (hipoksia) misal sindrom bayi mati mendadak (Sudden Infant Death Syndrome – SIDS), penyakit pernapasan, sumbatan saluran napas (termasuk aspirasi benda asing) dan tenggelam serta kegagalan sirkulasi yang juga didasari oleh ketidak seimbangan antara penghantaran oksigen dan konsumsi oksigen. Sehingga pemberian bahtuan napas (ventilasi) merupakan hal yang penting dilakukan dalam tatalaksana henti jantung pada anak.1-4



BANTUAN HIDUP DASAR



Cara pemberian bantuan napas dan kompresi yang benar dapat dipelajari dari berbagai macam panduan yang telah dikeluarkan oleh beberapa perkumpulan, seperti European Resuscitation Council (ERC) yang mengeluarkan panduan tentang Pediatric Basic Life Support (PBLS) dan Pediatric Advanced Life Support (PALS) yang secara berkala diperbaharui, yaitu pada tahun 1994, 1998, 2000, 2005, 2010, 2015 dan terbaru adalah 2021. Panduan resusitasi juga dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA) yaitu pada tahun 1995, 2000, 2005, 2010, 2015 dan terakhir tahun 2020. Panduan-panduan ini diperbaharui sesuai dengan kondisi kesehatan di seluruh dunia.5,6 Saat ini angka keberhasilan resusitasi pada pasien anak dengan henti jantung di rumah sakit mengalami perbaikan hingga dua kali lipat selama 20 tahun ini, yaitu



Resusitasi jantung paru adalah upaya pertolongan pada henti jantung yang bertujuan untuk mengembalikan pernapasan dan sirkulasi agar oksigen dapat mengalir ke jantung, paru, otak dan organ vital lainnya.6 Ada 2 fase dalam resusitasi jantung paru, yang pertama adalah bantuan hidup dasar (BHD) dan yang kedua adalah bantuan hidup lanjut. Perbedaan antara bantuan hidup dasar dan lanjut ini terletak pada jenis alat yang digunakan, pada bantuan hidup dasar biasanya dikerjakan tanpa menggunakan alat, kalaupun menggunakan alat, hanya terbatas pada alat bantu napas sederhana, yaitu bag valve mask (BVM). Sedangkan bantuan hidup lanjut sudah menggunakan alat yang lebih lengkap dan ditunjang dengan obat-obatan.6,7,9,10 Terdapat beberapa perbedaan pendekatan BHD pada bayi (usia 1-11 bulan) dan anak (usia > 1 tahun). 29



Perbedaan mendasar terutama pada teknik dasar pemberian bantuan ventilasi dan cara melakukan pijat jantung luar. European Resuscitation Council pada tahun 2021 ini telah merilis panduan BHD terkini dengan perubahan mendasar pada penilaian respon/tanda kehidupan (tanpa melakukan penilaian nadi) setelah pemberian 5 bantuan napas (rescue breaths). Kompresi segera dilakukan bila setelah pemberian 5 bantuan napas tidak terlihat respon/tanda-tanda kehidupan.6,7,9,10



ALUR BANTUAN HIDUP DASAR Pemberian bantuan hidup dasar dimulai dengan menilai kesadaran dari pasien, yang dilanjutkan sesuai dengan alur yang digambarkan pada gambar 1. Alur bantuan hidup dasar ini dapat disesuaikan dengan tingkat



kemahiran dari penolong (profesional medis atau awam), ketersediaan alat, jumlah penolong dan kemungkinan resiko penularan infeksi.6-7



Pemeriksaan Kesadaran6-7 Pemeriksaan kesadaran yang dilakukan adalah dengan metode AVPU (alert,verbal, pain, unresponsive), yaitu dengan memberikan stimulasi verbal atau nyeri pada pasien yang diperiksa. Stimulasi verbal dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan, sedangkan stimulasi nyeri dengan menekan/menggosok sternum atau dengan menekan jari. Korban yang sadar dapat bergumam atau menggerakan bagian tubuhnya sebagai respon terhadap stimulasi verbal atau nyeri. Apabila kita kesimpulan dari pemeriksaan kesadaran tadi menunjukkan pasien tidak sadar, maka dilanjutkan dengan pendekatan HATI sebelum membuka jalan napas.



Pendekatan HATI Pendekatan HATI ini terdiri dari: – Hubungi bantuan – Amankan diri dan lingkungan (tempatkan pasien di tempat yang datar dan keras dan dalam posisi terlentang) – Tidak membahayakan pasien (misal. pada pasien dengan riwayat trauma, jika harus membalikkan pasien lakukan seminimal mungkin menggerakkan leher dan kepala) – Investigasi ABC (Airway, Breathing dan Circulation)



Pembukaan Jalan napas6-7



Gambar 1. Alur Bantuan Hidup Dasar



30



BAB 6: Bantuan Hidup Dasar



Pada kondisi tidak sadar, maka bayi dan anak akan kesulitan dalam menjaga jalan napas tetap terbuka, karena leher mudah tertekuk, lidah jatuh ke belakang dan terjadi aspirasi akibat muntah. Teknik yang dapat dilakukan untuk membuka jalan napas pada bayi dan anak yang tidak sadar adalah dengan teknik head tilt–chin lift (gambar 2), teknik ini dapat dilakukan pada pasien yang TANPA atau TIDAK dicurigai trauma. Saat melakukan tindakan ini, hindari



Gambar 2. Membuka jalan anpas dengan manuver head tilt



Gambar 3. Membuka jalan napas dengan manuver Jaw thrust



Gambar 4. Posisi pemulihan (recovery position)



tindakan menekan jaringan lunak dibawah dagu, karena akan menyebabkan sumbatan jalan napas. Posisi kepala bayi dan anak harus lurus dengan melihat posisi telinga lurus dengan sternal notch atau kita sebut dengan posisi menghidu. Untuk pasien yang dicurigai atau dengan riwayat trauma, maka membuka jalan napas dapat dilakukan dengan Jaw Thrust (gambar 3). Yaitu dengan cara penolong berdiri di sisi atas kepala pasien dan letakkan telapak tangan penolong di pelipis pasien dan jari-jari Anda di bawah ramus mandibula. Angkat mandibula ke atas dengan jari-jari penolong, setidaknya sampai gigi seri bawah lebih tinggi dari gigi seri atas.



Penilaian ada tidaknya usaha napas6-7 Dari panduan yang telah ada baik dari ERC maupun AHA 2020 merekomendasikan penilaian usaha napas hanya dengan melihat apakah ada tanda pasien bernapas dengan adekuat. Sambil membuka jalan napas, nilai apakah anak apnea atau gasping. Jika anak tidak sadar namun bernapas normal, posisikan anak pada posisi pemulihan. Posisi pemulihan dilakukan dengan cara: pasien dimiringkan ke salah satu sisi, lengan dan tungkai sisi atas ditekuk ke depan tubuh, punggung tangan diletakkan di bawah pipi, dan kepala agak didongakkan (ekstensi ringan) agar sudut leher terbuka. Pada kecurigaan cedera APRC



31



kepala, hindari melakukan mobilisasi ini. Apabila terpaksa dilakukan (misalnya risiko aspirasi karena anak muntah), penolong yang lain membantu mempertahankan leher anak tetap sejajar dengan kepala saat dimiringkan dan tetap sejajar pada posisi pemulihan (Gambar 4). Jika pernapasan tidak normal (apnea atau gasping, agonal, tidak efektif ) berikan 5 kali bantuan napas (rescue breath) dimana satu bantuan napas diberikan tiap 2 – 3 detik (20-30 kali per menit).



Pemberian bantuan napas6-7 Pemberian bantuan napas dengan menggunakan bag valve mask (BVM) merupakan metode lini pertama yang direkomendasikan untuk digunakan. Apabila ventilasi sulit atau berisiko untuk transmisi penyakit menular maka bantuan napas akan lebih efektif bila dilakukan oleh dua penolong. Penolong pertama melekatkan sungkup ke wajah pasien dengan kedua tangan untuk mencegah kebocoran ventilasi yang diberikan, sementara penolong kedua memberikan ventilasi tekanan positif (gambar 5). Apabila hanya ada satu penolong yang melakukan bantuan napas, pelekatan sungkup ke wajah dilakukan menggunakan satu tangan dengan teknik CE-clamping (Gambar 5). Pilih ukuran sungkup (masker) yang sesuai sehingga menutup mulut, hidung. Amati dan pastikan pengembangan dada setiap kali pemberian bantuan napas. Bila dada tidak mengembang, maka perbaiki posisi kepala, periksa pelekatan sungkup



A



di wajah, kalau perlu coba berikan tekanan ventilasi yang lebih besar. Apabila dada tetap tidak mengembang, pikirkan kemungkinan sumbatan jalan napas.



Periksa tanda kehidupan6-7 Setelah memberikan 5 bantuan napas, periksa tandatanda kehidupan pada pasien, yaitu anak bergerak, terbatuk-batuk atau kembali bernapas normal. Apabila anak tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan setelah pemberian bantuan napas, segera lakukan resusitasi jantung paru sembari kembali menghubungi/ memanggil bantuan. Apabila tersedia monitor EKG, segera pasang monitor untuk menilai ritme jantung sambil mulai lakukan resusitasi jantung paru.



Resusitasi jantung paru7,8 Resusitasi jantung paru dilakukan dengan rasio 15:2 oleh dua penolong. Terdapat beberapa perbedaan teknik kompresi pada bayi dan anak. Titik kompresi dada pada bayi adalah 1 jari di bawah garis imajiner intermamae sedangkan pada anak pada pertengahan bawah sternum. Teknik kompresi pada bayi dapat dilakukan dengan menggunakan dua ibu jari atau dua jari dari satu tangan (jari telunjuk dan tengah), sedangkan pada anak teknik kompresi dilakukan menggunakan satu atau dua tangan. Teknik kompresi menggunakan dua tangan lebih optimal dari pada kompresi satu tangan.



B Gambar 5. Teknik pemberian bantuan napas dengan A. Satu orang penolong, B. Dua orang penolong



32



BAB 6: Bantuan Hidup Dasar



Bantuan hidup dasar dilakukan dengan prinsip resusitasi dengan kualitas baik (high quality CPR) yaitu push hard and fast yang dilakukan secara efektif dengan kedalaman kompresi mencapai 1/3 diameter anteroposterior rongga toraks atau kedalaman 4 cm pada bayi dan 5 cm pada anak. Frekuensi kompresi diberikan dengan kecepatan 100-120 kali per menit. Pastikan dada kembali mengembang penuh (complete recoil) untuk mengoptimalkan aliran balik ke jantung (venous return) pada fase dekompresi dan isi sekuncup pada fase kompresi berikutnya. Usahakan tanpa atau minimal interupsi selama melakukan resusitasi. Selama resusitasi jantung, hindari hiperventilasi yang akan menghambat venous return. Resusitasi dapat dihentikan apabila pasien tetap asistole setelah 20 menit melakukan resusitasi optimal dan tidak ditemukan adanya penyebab asistole atau ada tanda kehidupan (misal. batuk, bergerak, bernapas, dll) atau ada penolong lain yang datang dengan kemampuan minimal setara dengan penolong awal atau penolong kelelahan dan secara fisik tidak dapat melanjutkan resusitasi.8,11 Pada sarana atau fasilitas kesehatan, bila orang tua menolak dan menandatangani surat penolakan, maka resusitasi jantung paru boleh tidak dilakukan, terutama pada pasien dengan penyakit terminal atau kelainan genetik yang bersifat letal.6



TATALAKSANA SUMBATAN JALAN NAPAS Mengenali tanda sumbatan benda asing jalan napas pada anak Aspirasi benda asing aspirasi benda asing pada saluran napas merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia, terutama pada populasi anak-anak. Faktor predisposisi pada bayi dan anak adalah karena mereka belajar mengenali benda dengan cara memegang, mencium dan merasakan (memasukkan benda dalam mulut) dan anak sangat aktif (berteriak, menangis, berlari) dengan benda di dalam mulut. Kasus tersering adalah pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun. Angka kejadian terbanyak adalah



aspirasi karena kacang, disebabkan karena gigi geligi dan reflek menelan belum sempurna. Tanda dini yang dapat kita kenali adalah apabila ada gejala batuk, tersedak, suara stridor atau gawat napas yang timbulnya mendadak tanpa disertai ada riwayat sakit sebelumnya dan didapatkan riwayat bermain atau memakan benda kecil sesaat sebelum gejala timbul.



Tatalaksana sumbatan benda asing jalan napas pada anak Pada kondisi anak masih dapat batuk efektif, yaitu batuk dengan kuat dan dapat menarik napas dahulu sebelum batuk dan masih sadar baik (pasien masih dapat menangis dengan bersuara atau berbicara), tidak diperlukan tatalaksana khusus, hanya penolong mengupayakan agar anak tetap batuk secara efektif, untuk meningkatkan tekanan intrathorakal dengan tujuan mengeluarkan benda asing terdorong keluar dari jalan napas. Tetapi tetap harus dievaluasi apabila terjadi perubahan kondisi dari pasien, apakah batuk menjadi tidak efektif. Bila dalam evaluasi batuk menjadi tidak efektif, dimana batuk menjadi tidak bersuara, tidak dapat bersuara, kesulitan bernapas atau sianosis, tetapi anak masih dalam kondisi sadar, maka penolong harus segera memberikan pertolongan dengan melakukan manuver 5 kali back blows. Bila setelah 5 kali back blows tidak dapat melepaskan benda asing di saluran napas, maka dilanjutkan dengan melakukan 5 kali chest thrust (untuk bayi usia 1 tahun). Lanjutkan back blows dan chest thrust/ abdominal thrust bila benda asing yang menyumbat jalan napas belum keluar. Tetap evaluasi berkala untuk melihat kondisi pasien. Kondisi hipoksia akan terjadi bila benda asing tetap menyumbat jalan napas dalam waktu yang panjang, hal ini dapat menyebabkan terjadinya hipoksia yang berakhir pada kegagalan jantung paru. Pada kondisi ini biasanya pasien akan mulai mengalami penurunan kesadaran, maka segera periksa kesadaran dan meminta tolong penolong lain untuk memanggil ambulans dan penolong pertama dapat langsung melanjutkan tindakan sesuai dengan alur bantuan hidup dasar (gambar 1). Alur APRC



33



Gambar 6. Alurtatalaksana sumbatan benda asing jalan napas



tatalaksana sumbatan benda asing dapat dilihat pada gambar 6.7,8 Cara melakukan back blows : – Pada bayi: dengan meletakkan bayi tengkurap disangga oleh lengan bawah dan paha penolong dan posisi kepala lebih rendah dari pada badan. Beri 5 pukulan di antara kedua belikat dengan menggunakan tumit tangan penolong (gambar 7). – Pada anak: dengan memposisikan anak setengah berdiri dengan penolong berada di belakang anak dan menyangga tubuh anak dengan lengannya, berikan 5 pukulan diantara kedua tulang belikat. Cara melakukan thrust : – Chest Thrust : setelah melakukan 5 kali back blows, bila benda asing belum keluar maka balik badan bayi dalam posisi terlentang, lalu lakukan dengan cara seperti kita melakukan kompresi jantung pada resusitasi jantung paru, tetapi lebih lambat, 1 kompresi setara 1 detik dan lakukan dengan menghentak (gambar 7). 34



BAB 6: Bantuan Hidup Dasar



– Abdominal thrust : setelah melakukan 5 kali back blows, letakkan kedua tangan kita dengan posisi satu tangan mengepal dan tangan satunya mencengkram kepalan diletakkan di atas perut diantara processus xyphoideus dan umbilikus, lalu hentakkan 5 kali ke arah atas (gambar 7).



RESUSITASI JANTUNG PARU MASA PANDEMI Pandemi COVID-19 ini membuat perubahan alur penanganan anak dengan henti jantung. Selain itu pandemi mempengaruhi keberhasilan resusitasi dan angka kesintasan henti jantung secara umum. Hal ini disebabkan karena keterlambatan keluarga mencari pertolongan karena kuatir akan situasi pandemi, serta keterlambatan resusitasi karena proses pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) yang membutuhkan waktu dan keengganan penolong melakukan resusitasi terkait risiko penularan infeksi.



A



B



E



A C



B D



Gambar 10. Manuver back blows (A) dan chest thrust (B) pada bayi, dan back blows (C) dan abdominal thrust/Heimlich posisi bediri dan supine (D dan E) pada anak



European Resuscitation Council menyatakan bahwa keputusan RJP pada situasi pandemi dilakukan dengan mempertimbangkan situasi kasus pada saat itu, kemungkinan apakah pasien terinfeksi Covid-19, derajat beratnya kondisi pasien dan manfaatnya bila resusitasi tetap dilakukan, ketersediaan APD, dan pertimbangan personal lainnya dari penolong (komorbid, kompetensi). Alur resusitasi pada kasus/suspek Covid-19 berbeda dalam hal penekanan pada upaya tambahan mencegah penularan, yaitu penggunaan APD level 3, membatasi personil yg terlibat, dan meminimalisasi paparan aerosol dengan menggunakan filter.7



Daftar bacaan 1.



2.



3.



Niles DE, Duval-Arnould J, Skellett S,K night L, Su F, dkk; Characterization of Pediatric In- Hospital Cardiopulmonary Resuscitation Quality Metrics Across an International Resuscitation Collaborative. Pediatr Crit Care Med. 2018;19:421–32. Sutton RM, Niles D, Nysaether J, Abella BS, Arbogast KB, dkk. Quantitative analysis of CPR quality during inhospital resuscitation of older children and adolescents. Pediatrics. 2009;124:494–99. Niles D, Nysaether J, Sutton R, Nishisaki A, Abella BS, dkk. Leaning is common during in-hospital pediatric CPR, and decreased with automated corrective feedback. Resuscitation. 2009; 80:553–7.



4.



Vega RM, Kaur H, Edemekong PF. Cardiopulmonary arrest in children. Resuscitation. 2011; 82:1025–9. Dalam: StatPearls (Internet). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing: 2021 Jan.h. 1-12. 5. Sutton RM, Reeder RW, Landis WP, Meert KL, Yates AR, dkk. Ventilation Rates and Pediatric In-Hospital Cardiac Arrest Survival Outcomes. Crit Care Med. 2019; 47:1627–36. 6. Topjian AA, Raymond TT, Atkins D, Chan M, Duff JP, Joyner BL, dkk. Pediatric Basic and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circ. 2020;142:S469- 523. 7. Voorde PV, Turner N, Djakow J, Lucas N, MartinesMeijas A, Biarent D, dkk. European Resuscitation Council Guidelines 2021: Paediatric Life Support. Resuscitation 2021;8908:1-16. 8. Perkins GD, Graesner JT, Semeraro F, Olasveengen T, Soar J, Lott C, dkk. European Resuscitation Council Guidelines 2021: executive summary. Resusc 2021: 1-60. 9. Latief A, Pudjiadi A, Prawira Y, penyunting. Advanced Pediatric Resuscitation course. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2019.h.29-32. 10. Pudjiadi AH, Latief A., Budiwardhana N. Buku Ajar Pediatrik Gawat Darurat. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 11. Libby C, Skinner RB, Rawal AR. EMS termination of resuscitation and pronouncement death. Dalam: StatPearls (Internet). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing: 2021 Jan.h. 1-16.



APRC



35



BAB 7 Defibrilasi dalam Tatalaksana Gangguan Irama Jantung



PENDAHULUAN



Hiperkalemia, Hipo/hipertermia, dan Hipoglikemia. Pada pasien anak, hipoksia dan hipovolemia adalah penyebab paling umum. Selain 6H yang menyebabkan henti jantung, juga didapatkan 6T, yaitu Toksin, Tamponade (jantung), Tension pneumothorax, Trombosis jantung, Trombosis paru, dan Trauma. Meskipun 6H dan 6T sering dikaitkan dengan aktivitas listrik tanpa nadi, adalah bijaksana untuk mempertimbangkan penyebab serangan jantung, terutama jika Anda gagal mencapai kembalinya sirkulasi spontan dengan manajemen Anda saat ini. 2,3 Fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi memerlukan terapi awal yang serupa dengan asistol dan PEA, yaitu segera dilakukan RJP, namun pada kondisi ini harus segera disertai pengenalan irama secara dini. Akses cepat ke defibrilator manual atau Automated External Defibrillator (AED), dapat membuat perbedaan dalam jumlah angka kelangsungan hidup.2



Gangguan irama jantung pada anak dapat mengakibatkan terjadinya henti jantung. Walaupun jarang tetapi menurut literatur sekitar 10 – 14% menjadi penyebab henti jantung anak di dalam rumah sakit (rs) dan ± 7% penyebab henti jantung di luar rs.1 Kondisi henti jantung ini tentu saja membutuhkan resusitasi untuk mengembalikan ke sirkulasi yang baik dan normal.2 Gangguan irama yang membutuhkan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori yang mencakup nadi tidak teraba (yang mungkin akibat kondisi asistol), pulseless electrical activity (PEA), atau ventrikel fibrilasi / ventrikel takikardia tanpa denyut nadi. Pada kondisi asistol dan PEA adalah dilakukan resusitasi jantung paru yang dilanjutkan dengan pemberian epinefrin setiap 3 sampai 5 menit bila dibutuhkan. Pada ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardia, juga dibutuhkan tindakan resusitasi jantung paru (RJP), tetapi harus segera dilakukan pengenalan dari irama melalui monitor, sehingga dapat segera dilakukan pemasangan defibrilator manual atau Automated External Defibrillator (AED) untuk terapi kejut, yang meningkatkan angka kelangsungan hidup. Jadi pada dasarnya ada 2 klasifikasi dari gangguan irama jantung berdasarkan tatalaksana, yaitu yang dapat dilakukan terapi kejut (shockable) dan yang tidak dapat dilakukan terapi kejut (non-shockable).2,3 Ada beberapa penyebab dari terjadinya henti jantung baik yang shockable maupun non-shockable, yangvdapat di terapi dan bersifat reversibel, disebut 6H yaitu Hipoksia, Hipovolemia, Ion Hidrogen (asidosis), Hipo/



IRAMA JANTUNG YANG SHOCKABLE3-6 1. Ventrikel Fibrilasi (VF) Merupakan kondisi yang jarang ditemui pada anak. VF adalah kondisi dimana terjadi aktivitas listrik yang tidak teratur yang menyebabkan ventrikel hanya bergetar tidak berkontraksi secara normal, sehingga jantung gagal memmopa darah dan terjadi henti jantung. Gambaran elektrokardiografi (EKG) yang dapat ditemui pada VF adalah: • Irama tidak teratur, amplitude gelombang berbeda-beda 36



Gambar 1. Ventrikel Fibrilasi







Gelombang P, QRS dan T tidak dapat diidentifikasi



Algoritma tatalaksana VF dan VT tanpa nadi dapat dilihat pada gambar di bawah (gambar3).



2. Ventrikel Takikardia tanpa nadi (pVT) Jenis irama ini juga jarang dijumpai pada anak. tetapi bisa dicurigai pada anak dengan kondisi hipotermia, anak yang tiba – tiba pingsan, keracunan ataupun anak dengan kelainan jantung. Berikut gambaran elektrokardiogram (EKG) yang dapat ditemukan pada pVT (gambar 2): • Irama teratur • Gelombang P tidak dapat diidentifikasi. Bila dijumpai tidak berhubungan dengan QRS. • Gelombang T berlawanan arah dengan QRS • QRS lebarnya lebih dari 0.08 detik



3. Supraventrikular Takikardi (SVT) Merupakan jenis takikardia yang paling sering terjadi pada anak. Ini juga disebut takikardia atrium, takikardia atrium paroksismal (PAT) atau takikardia supraventrikular paroksismal (PSVT). Ketika seorang anak mengalami SVT, sinyal listrik di atrium menyala secara tidak normal. Ini mengganggu impuls listrik yang datang dari nodus sinoatrial (SA), alat pacu jantung alami. Gangguan ini menghasilkan detak jantung yang lebih cepat dari biasanya. SVT tidak menimbulkan masalah yang mengancam jiwa bagi sebagian besar anak-anak dan remaja.



Gambar 2. Ventrikel Takikardia tanpa nadi



Gambar 3. Tatalaksana VF dan VT tanpa nadi



APRC



37



Tindakan gawat darurat hanya dipertimbangkan jika episode berkepanjangan atau sering, karena akan menyebabkan jantung kolaps atau syok. Gambaran EKG yang dapat ditemukan pada SVT (gambar 4): • Irama teratur kecuali ditemukan AV Blok • Frekuensi jantung tergantung pada batas maksimal umur anak • Gelombang P sulit diidentifikasi terlebih lagi jika denyut jantung ventrikel cepat, menumpuk dengan gelombang T • Lama QRS normal dibawah 0.08 detik



Tatalaksana SVT tergantung pada kondisi hemodinamik dari pasien. Pada kondisi hemodinamik yang stabil dapat dilakukan manuver vagal, dengan cara meletakkan es di wajah (tidak menutup jalan napas) pada bayi atau anak, sedangkan apda anak yang lebih besar dapat dilakukan pemijatan pada sinus carotis atau manuver valsava (dengan meminta anak meniup dengan kuat pada sedotan yang sempit). Bila kondisi anak dengan hemodinamik yang tidak stabil (syok), tatalaksana SVT sesuai dengan algoritma di bawah ini (gambar 5): Sebagai catatan adenosin diberikan secara bolus cepat dan pemberian amiodaron dibawah arahan dari konsultan ERIA atau konsultan kardiologi anak.



Gambar 4. Supraventrikuler Takikardia



Gambar 5. Tatalaksana SVT



38



BAB 7: Defibrilasi dalam Tatalaksana Gangguan Irama Jantung



IRAMA JANTUNG YANG NONSHOCKABLE3-6 1. Asistol Gambaran EKG yang ditemukan apda kondisi asistol adalah menyerupai garis lurus, yang menandakan hampir/ tidak adanya aktivitas listrik di jantung, meski terkadang ada dijumpai gambaran gelombang P (gambar 6). 2. Pulseless electrical activity (PEA) Pulseless electrical activity ditandai dengan terbacanya aktivitas elektrik pada monitor tanpa adanya denyut nadi). Kondisi ini biasanya disebabkan karena periode hipoksia atau iskemia miokard, tetapi kadang-kadang dapat memiliki penyebab yang reversibel, yaitu 6H 6T yang menyebabkan penurunan curah jantung secara tiba-tiba.(ERC 2015) Gambaran EKG PEA seperti terlihat pada gambar berikut (gambar 7).



Algoritma tatalaksana irama jantung yang nonshockable dapat dilihat pada gambar di bawah (gambar 8): 3. Bradikardia Bradikardia merupakan kondisi dimana denyut jantung lebih lambat dari denyut jantung normal sesuai usia, dengan andi yang masih teraba baik. Kondisi ini dapat merupakan akibat dari 6H 6T atau akibat dari tindakan yang menyebabkan terjadinya refleks vagal seperti suction, dan bisa disebabkan karen peningkatan tekanan intrakranial. Tatalaksana pada irama bradikardia: • Jaga jalan napas • Berikan oksigen dan bantuan napas jika • • •



diperlukan Pasang monitor untuk evaluasi irama jantung Pasang akses vaskular (intravena/intraosseus) Lakukan EKG dengan 12 leads



Gambar 6. Irama asistol



Gambar 7. Irama PEA



Gambar 8. Tatalaksana asistol dan PEA



APRC



39







• •



Evaluasi berkala irama jantung, bila bradikardia menetap setelah pemberian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, maka dapat diberikan: epinefrin IV 0,01 mg/kg (0,1ml/ kg larutan 1:10000) atau bila didapatkan tanda refleks vagal dapat diberikan sulfas atropin 0,02 mg/kgBB dengan dosis minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg Identifikasi dan tangani penyebab mendasar Bila didapatkan nadi < 60 kali/menit, pindah ke algoritma tatalaksana henti jantung.



DEFIBRILATOR Defibrilator merupakan alat untuk melakukan defibrilasi baik secara manual maupun otomatis (AED), dengan bentuk gelombang dapat biphasic maupun monophasic. AED banyak kita dapatkan di tempat umum seperti lapangan udara maupun di mall. Mayoritas AED yang ada memberikan dosis standar 120-200 J (biphasic) dan dengan attenuator pediatrik dosis biasanya 50 J, idealnya harus memiliki metode penyesuaian tingkat energi untuk anak-anak.4,6 Peralatan dan cara penggunaan defibrillator pada dasarnya adalah sama hanya mungkin pada alat tombol ataupun monitor tergantung pada berbagai 2,3 merek yang ada. Pada AED alat yang digunakan untuk melakukan shock adalah menggunakan elektroda (pads) saja, sedangkan pada defibrilator manual, alat yang digunakan dapat berupa elektroda atau paddle. Paddle yang digunakan memiliki 2 ukuran, untuk yang bayi biasanya berada didalam pedal dewasa (paddle dewasa harus dibuka terlebih dahulu). Untuk anak >10 kg (mengikuti dewasa) adalah ∅8 cm, sedangkan untuk bayi (< 10 kg) adalah ∅4.5 cm. Dengan posisi penempatan elektroda:4,6,7 Antero-Lateral, satu elektroda di bawah tulang clavicula kanan satu lagi diletak di axilla kiri. – Antero-Posterior, satu elektroda anterior diletakkan di tengah tulang dada sedikit ke kiri, elektroda posterior diletakkan dibelakang diantara tulang skapula. Cara menggunakan defibrilator manual:7 – Sebisa mungkin amankan jalan napas dan jalur akses intravena 40



BAB 7: Defibrilasi dalam Tatalaksana Gangguan Irama Jantung



– Nyalakan mesin defibrillator dan keluarkan elektrodanya – Apabila akan melakukan cardioversi tekan tombol “sync” – Pilih energi level yang sesuai – Beri Gel pada elektroda – Tekan tombol “Charge” – Pastikan semua area aman/ “clear” sekitar tempat tidur pasien – Lihat ke monitor apakah irama masih shockable – Tekan tombol shock – Evaluasi irama jantung/lanjutkan CPR Catatan: berikan sedasi pada pasien yang masih sadar dan akan dilakukan cardioversi



Kepustakaan 1.



2.



3.



4.



5.



6.



7.



Duff JP, Topjian AA, Berg MD, Chan M, Haskell SE, Joyner BL, dkk. 2018 American Heart Association Focused Update on Pediatric Advanced Life Support: An Update to the American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2018; 138(23): e731-9. https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000612 Vega RM, Kaur H, Edemekong PF. Cardiopulmonary arrest in children. Resuscitation. 2011; 82:1025–9. Dalam: StatPearls (Internet). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing: 2021 Jan.h. 1-12. Kleinman ME, Chameidas L, Schexnayder SM, Samson RA, Hazinski SF, Atkins DL, dkk. Part 14: Pediatric Advanced Life Support 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010; 122(3): S876-908. Voorde PV, Turner N, Djakow J, Lucas N, MartinesMeijas A, Biarent D, dkk. European Resuscitation Council Guidelines 2021: Paediatric Life Support. Resuscitation 2021;8908:1-16. UKK Emergensi Dan Rawat Intensif Anak. Kumpulan Materi Pelatihan Resusitasi Tahap Lanjut. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2019. Topjian AA, Raymond TT, Atkins D, Chan M, Duff JP, Joyner BL, dkk. Pediatric Basic and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circ. 2020;142:S469- 523. Zoll AED Plus. Administrator Guide. 2017.



BAB 8 Syok



CaO2 = Kandungan oksigen darah arteri Hb = Kadar hemoglobin SaO2 = Saturasi oksigen darah arteri PaO2 = Tekanan parsial oksigen darah arteri



8.1. PENDAHULUAN Syok adalah sindrom klinis akut akibat kegagalan sistim sirkulasi dengan akibat kegagalan penyediaan energi di jaringan karena ketidakcukupan pasokan oksigen dan glukosa. Keterlambatan mengenali syok akan mengakibatkan metabolisme anaerob, asidosis dan gagal organ.



Besarnya SV dipengaruhi jumlah darah yang ada dalam ventrikel sebelum kontraksi (preload), kekuatan kontraksi (kontraktilitas) dan tahanan yang harus dihadapi ventrikel kiri, dikenal dengan afterload dan ditentukan oleh rerata tingkat konstriksi atau dilatasi vascular seluruh tubuh (SVR = systemic vascular resistance). Keseimbangan CO dan SVR menciptakan tekanan darah (gambar 8.1). Konsumsi oksigen tubuh (VO2) adalah jumlah seluruh oksigen yang dipakai jaringan untuk proses oksidasi. Karena darah mengalir dalam sirkuit tertutup, maka jumlah darah yang keluar dari jantung (CO) sama dangan jumlah darah yang kembali ke jantung. Dengan demikian, dengan menghitung perbedaan kandungan oksigen yang terdapat dalam darah arteri dan kandungan oksigen yang terdapat dalam vena sentral, dapat diketahui jumlah oksigen yang dipakai jaringan. Oxygen extraction ratio (O2 ER) adalah parameter yang digunakan untuk melihat perbandingan antara VO2 dan DO2 (persamaan 3). Dalam keadaan normal DO2 jauh melebihi VO2. Ketika DO2 menurun atau VO2 meningkat, O2 ER meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan.



8.2. PATOFISIOLOGI Pasokan oksigen ditentukan oleh curah jantung (CO = cardiac output) dan kandungan oksigen darah arteri (CaO2). Curah jantung adalah isi sekuncup (SV = stroke volume) di kali laju jantung (HR = heart rate), sedang CaO2 ditentukan oleh jumlah oksigen yang terikat hemoglobin dan oksigen yang terlarut dalam plasma (persamaan 1). Karena sebagian besar oksigen terikat hemoglobin, maka oksigen yang terikat hemoglobin lebih menentukan CaO2 (persamaan 2). Anemia (penurunan kadar hemoglobin) sangat mempengaruhi CaO2. DO2 = CaO2 x CO .................................... Persamaan 1 DO2 = Pasokan oksigen CaO2 = Kandungan oksigen darah arteri CO = Curah jantung CaO2 = (Hb x SaO2 x 1,34) + (0,003 x PaO2).............. .................................................................. Persamaan 2



VO2 = DO2 x O2 ER .................................. Persamaan 3



41



Gambar 8.1. Hubungan antar parameter hemodinamik yang menentukan pasokan oksigen. DO2 = Pasokan oksigen; Hb= Kadar hemoglobin; SaO2= Saturasi oksigen darah arteri.



VO2 = Konsumsi oksigen tubuh DO2 = Pasokan oksigen O2 ER = Oxygen extraction ratio Saat pasokan tercukupi, setiap molekul glukosa akan dioksidasi melalui siklus Kreb dan menghasilkan 36 molekul adenosine triphosphate (ATP). Bila pasokan berkurang maka pasokan glukosa akan dipenuhi melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Pada anak, kompensasi ini amat terbatas karena cadangan yang sedikit. Kekurangan oksigen akan menyebabkan metabolism sel tidak efisien. Pyruvate tidak diubah menjadi acetyl-CoA, dan masuk ke dalam siklus Kreb, namun diubah menjadi laktat yang hanya menghasilkan 2 molekul ATP. Kekurangan energi yang berkelanjutan akan mengakibatkan pompa sel terganggu yang mengarah pada kematian sel.



8.3. KLASIFIKASI Empat jenis syok, berdasar etiologinya adalah syok hipovolemik, kardiogenik, distributif dan obstruktif.



Syok hipovolemik Syok hipovolemik terjadi akibat kehilangan volume ruang intravaskular. Penyebab syok hipovolemik pada anak antara lain adalah gastroenteritis dehidrasi, kebocoran plasma (misalnya pada demam berdarah dengue), 42



BAB 8: Syok



luka bakar, perdarahan, ketoasidosis diabetes, diabetes insipidus dll.



Syok kardiogenik Syok kardiogenik terjadi akibat gangguan kotraktilitas miokardium (gangguan irama jantung dibahas dalam bab tersendiri). Penyebab syok kardiogenik pada anak antara lain adalah kardiomiopati (akibat iskemia, metabolik, infeksi dll.), iatrogenik (obat-obatan, pasca bedah), trauma, dan penyakit jantung bawaan.



Syok distributif Syok distributif terjadi akibat tonus vaskular yang menurun berlebihan. Penyebab syok distributif pada anak antara lain adalah anafilaksis (antibiotik, serum, sengatan lebah, racun, dll), trauma tulang belakang, iatrogenic (obat-obatan).



Syok obstruktif Syok obstruktif terjadi akibat sumbatan keluarnya aliran darah dari jantung, baik oleh penyebab kongenital atau didapat. Pada anak, penyebab syok obstruktif antara lain adalah penyakit jantung bawaan (yang bergantung keberadaan duktus arteriosus = ‘duct dependent lesion’), hipertensi pulmonal, stenosis katup aorta, tamponade jantung, pneumotoraks dengan tekanan tinggi (tension pneumothorax).



8.4. GAMBARAN KLINIS Pada anamnesis perlu digali adanya kehilangan cairan, seperti diare, muntah, perdarahan dll yang mengarah kepada penyebab syok hipovolemik. Demam dan infeksi dapat mengarah ke demam berdarah dengue atau infeksi lain termasuk sepsis. Sepsis harus lebih dicurigai pada anak dengan defek sistim imun dan bayi kecil. Syok yang terjadi pada sepsis anak dapat merupakan kombinasi syok hipovolemik, kardiogenik dan distributif. Pada bayi kecil gejala yang tidak spesifik seperti letargi, tidak mau menyusu dan penurunan produksi urine, dapat merupakan gejala dini syok. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan gejala kompensasi, gejala akibat kekurangan pasokan oksigen jaringan, dan gejala yang bergatung pada etiologi syok. Gejala dini yang dapat dijumpai adalah takikardi. Namun demikian takikardi dapat terjadi akibat berbagai sebab lain seperti nyeri, demam, ketakutan dll. Bila penyebab takikardi lain dapat disingkirkan, maka takikardi dapat digunakan sebagai parameter yang cukup sensitif. Untuk mempertahankan tekanan darah tubuh perlu meningkatkan SVR. Umumnya sirkulasi ke organ vital dipertahankan, dengan kompensasi vasokonstriksi pada daerah kulit. Akibat mekanisme ini, secara klinis dapat dijumpai kualitas nadi perifer yang mengecil (isi nadi perifer teraba lebih kecil daripada nadi sentral), suhu kulit bagian distal menurun dan pemanjangan waktu pengisian kapiler, terutama di jari tangan atau kaki. Pengukuran waktu pemanjangan kapiler dilakukan pada suhu ruangan yang normal, dengan penekanan pada ujung jari selama 5 detik, kemudian dilepas sambil melihat kembalinya warna kemerahan yang menandakan kembalinya perfusi ujung jari. Sebagian besar syok akan memberikan gambaran klinis berupa nadi yang kecil, akral yang dingin, dan waktu pengisian kapiler yang memanjang. Syok dalam kelompok ini dikenal dengan syok dingin (cold shock). Syok distributif memberikan gambaran klinis yang berbeda, hingga dikenal dengan syok panas (warm shock). Gambaran klinis yang menonjol pada syok distributif adalah tekanan darah yang sangat



menurun, nadi yang menyentak (bounding pulses), dan waktu pengisian kapiler yang memendek. Biasanya gambaran ini disertai dengan asidosis laktat menetap, menandakan penurunan pasokan oksigen jaringan. Untuk mengenal syok pada anak perlu dipahami mekanisme kompensasi anak yang berubah mengikuti usia (maturasi). Anak mempunyai kemampuan tinggi dalam mempertahankan tekanan darah. Pemeriksaan fisis yang umum dijumpai pada syok anak adalah takikardi, pemanjangan waktu pengisian kapiler (>2 detik), akral ekstremitas yang dingin, dan dapat disertai takipnu. Apabila kompensasi tubuh gagal, secara klinis akan dijumpai hipotensi. Jadi syok yang terkompensasi ditandai dengan tekanan darah di atas persentil 5, dengan demikian syok yang tidak terkompensasi mempunyai tekanan darah di bawah persentil 5 (Tabel 8.1). Bila tidak diatasi segera, syok akan berlanjut dengan kerusakan dan kegagalan organ. Tabel 8.1. Pedoman nilai presentil 5 sistolik untuk resusitasi anak Neonatus 60 mmHg Bayi (1 bulan- 1 tahun) 70 mmHg Anak (1-10 tahun) 70 + (2 x umur dalam tahun) mmHg Anak besar (>10 tahun) 90 mmHg



Pada syok kardiogenik, kecuali tanda-tanda syok (dingin), juga dapat dijumpai tanda gagal jantung seperti irama galop, precordial heave, dan tanda bendungan seperti ronkhi basah (halus yang tidak nyaring), peningkatan tekanan vena jugularis dan pembesaran hati (konsistensi keras dan tepi tumpul).



8.5. RESUSITASI Apapun jenis syok, tindakan awal yang harus dikerjakan adalah membebaskan jalan napas, dan menjaga serta melakukan bantuan napas, bila perlu, dan melakukan pijat jantung bila nadi tidak teraba atau teraba terlalu lambat (airway, breathing, circulation = ABC). Intubasi, untuk mempertahankan jalan napas, dilakukan atas indikasi (lihat bab gagal napas). Bila pernapasan dapat dipertahankan hanya dengan menjaga jalan napas, anak



APRC



43



cukup diberikan suplementasi oksigen, intubasi tidak perlu dilakukan. Bila fasilitas tersedia, pemeriksaan kadar glukosa dan kalsium harus dilakukan. Hipoglikemia dan hipokalsemia sering terjadi pada sepsis. Koreksi hipoglikemia dapat dilakukan dengan pemberian dekstrose 0,5-1 g/kg menggunakan 5-10 ml/kg dextrose 10% (dapat menggunakan vena perifer) atau 2-4 mL dextrose 25% melalui vena dalam. Koreksi hipokalsemia dilakukan dengan Calcium Gluconate 10% (9 mg/ mL elemental Calcium) dengan dosis 0,6-1 mL/Kg atau Calcium Chlorida 10% (27,2 mg/mL elemental Calcium) dengan dosis 0,2 mL/kg melalui vena dalam atau intraosseus dengan pemberian lambat (dalam 30 menit) dan pemantauan EKG. Cairan isotonic merupakan terapi utama tatalaksana syok hipovolemik. Cairan NaCl 0,9% atau Ringer’s lactate sebanyak 20 mL/kg diberikan secara cepat, intravena (IV) atau intraoseus (IO), sambil memantau parameter hemodinamik termasuk kesadaran dan produksi urine. Pemberian cairan selanjutnya tergantung pada kondisi anak, diagnosis syok dan respon cairan. Cairan resusitasi dapat diulangi bila diperkirakan kehilangan cairan yang besar, syok belum teratasi, dan terdapat perbaikan hemodinamik setelah pemberian cairan (cairan memperbaiki syok, namun belum cukup untuk mengatasi syok). Cairan resusitasi dihentikan bila syok teratasi (perfusi normal, kesadaran membaik, tanda kompensasi hilang), atau bila terdapat tanda gagal jantung (anak menjadi sesak, timbul ronkhi basah, takikardi, dapat terdengar irama galop, pembesaran hati, peningkatan tekanan vena jugularis). Peningkatan cairan di ruang interstitial paru atau tanda gagal jantung kongestif tidak selalu berarti pemberian cairan berlebihan, namun pemberian cairan selanjutnya besar kemungkinan tidak meningkatkan curah jantung. Bila secara klinis diperkirakan anak masih membutuhkan cairan, setelah



44



BAB 8: Syok



perbaikan fungsi jantung, pemberian cairan dapat diberikan lagi. Inotropik merupakan terapi utama syok kardiogenik. Namun demikian penggunaannya perlu mempertimbangkan diagnosis kerja yang ditegakkan. Pada syok kardiogenik terkompensasi akibat anemia berat, dibutuhkan transfusi packed red cells (PRC) perlahan (dan bertahap), untuk memperbaiki oksigenisasi dan kinerja jantung. Jika syok kardiogenik disertai kekurangan cairan (hipovolemik), pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, 5 ml/kg secara lambat, disertai dengan pemberian inotropik. Pilihan inotropik pertama untuk syok kardiogenik murni (gambaran klinis cold shock) adalah epinephrine atau dopamine (lihat tabel 2). Norepinephrine, yang bersifat vasopressor, terutama digunakan, setelah pemberian cairan resusitasi, pada syok distributif (dengan gambaran klinis warm syok, dan tekanan diastolik yang rendah). Bila respon terapi cairan, inotropik dan vasopressor tidak memuaskan, cari penyebab syok yang lain seperti pneumotoraks, tamponade jantung, yang menyebabkan syok obstruktif, gangguan elektrolit berat, dan gangguan endokrin seperti insufisiensi adrenal dan hipotiroid. Insufisiensi adrenal relatif sering terjadi pada anak yang mengkonsumsi steroid secara rutin (misalnya sindrom nefrotik), dan kemudian menghentikannya secara mendadak. Dalam keadaan demikian dibutuhkan pemberian hidrokortison dengan dosis awal 50-100 mg/m2/hari secara bolus, dan dapat ditingkatkan sesuai respon terhadap katekolamin.



Daftar pustaka 1. 2.



Overgaard CB, Dzavik V. Inotropes and Vasopressors. Circulation. 2008;118:1047-1056 Sinha R, Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognation and initial management of shock. In: Nichols DG, Shaffner DH, editors. Roger’s textbook of pediatric intensive care 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,2016. p 381-93.



Tabel 8.2. Daftar Obat Inotropik dan Vasopresor, Indikasi Klinis Penggunaan Obat, Dosis Obat, Receptor Binding (Katekolamin) dan Efek Samping Utama Obat



Indikasi Klinis



Dosis



Receptor Binding α1 β1 β2



DA



Efek Samping Utama



Katekolamin Dopamin



Renjatan (kardiogenik, distributif ) 2.0 – 20 µg.kg-1.min-1 (maks 50 µg.kg-1.min-1) Gagal jantung Bradikardia simptomatik yang tidak respon terhadap atropine atau pacing



+++



++++



++



+++++



Dobutamin



Penuruan curah jantung 2.0 – 20 µg.kg-1.min-1 (dekompensasi akut gagal jantung, (maks 40 µg.kg-1.min-1) syok kardiogenik, disfungsi miokard yang dipicu oleh sepsis) Bradikardia simptomatik yang tidak respon terhadap atropine atau pacing



+



+++++



+++



N/A



++



N/A



+++



N/A



+++++



N/A



0



N/A



Norepinephrine Renjatan (distributif, kardiogenik) 0.01 – 3 µg.kg-1.min-1



Epinephrine



Isoproterenol



Pehnylephrine



PDIs Milrinone



Amrinone



+++++ +++



Drip: 0.01 – 0.10 µg.kg1. +++++ ++++ min-1 Bolus: 1 mg IV setiap 3 sampai 5 menit (maks 0.2 mg/kg) Intramuskular: (1:1000): 0.1 sampai 0.5 mg (maks 1 mg) Bradiaritmia (terutama pada kasus 2 – 10 µg/min 0 +++++ torsade des pointes) Brugada syndrome



Renjatan (kardiogenik, distributif ) Henti jantung Bronkospasme / anafilaktik Bradikardia simptomatik atau blok jantung yang tidak respon terhadap atropine atau pacing



Hipotensi (akibat refleks vagal atau penggunaan obat-obatan) Peningkatan MAP dengan stenosis aorta dan hipotensi Penurunan gradasi Left Ventricular Outflow Tract (LVOT) pada kardiomiopati hipertrofi



Bolus: 0.1 sampai 0.5 mg IV setiap 1- sampai 15 menit Drip: 0.4 hingga 9.1 µg.kg-1.min-1



+++++ 0



N/A Penurunan curah jantung Bolus: 50 µg/kg, bolus (dekompensasi akut gagal jantung, perlahan selama 10 setelah cardiotomy) hingga 30 menit Drip: 0.375 hingga 0.75 µg.kg-1.min-1 (dosis perlu disesuaikan jika terdapat gangguan renal) Penurunan curah jantung (gagal Bolus: 0.75 mg/kg, bolus N/A jantung refrakter) perlahan selama 2 hingga 3 menit Drip: 5 hingga 10 µg.kg-1. min-1



Vasopressin



Renjatan (distributif, kardiogenik) Drip: 0.01 hingga 0.1 U/ Henti jantung min (dosis tetap 0.04 U/ min) Bolus: 40-U IV bolus



Reseptor V1 (otot polos vascular) Reseptor V2 (sistem tubular renal)



Levosimendan



Dekompensasi akut gagal jantung



N/A



Dosis inisial: 12 hingga 24 µg/kg, bolus perlahan selama 10 menit Drip: 0.05 hingga 0.2 µg.kg-1.min-1



Hipertensi berat (terutama pada pasien pengguna non-selective β-blockers) Aritmia ventrikel Iskemia jantung Iskemia/gangren jaringan (pada dosis tinggi akibat ektravasasi jaringan) Takikardia Peningkatan respon laju ventrikel pada pasien dengan atrial fibrilasi Aritmia ventrikel Iskemia jantung Hipertensi (terutama pada pasien pengguna non-selective β-blockers) Hipotensi Aritmia Bradikardi Iskemia perifer Hipertensi (terutama pada pasien pengguna non-selective β-blockers) Aritmia ventrikel Hipertensi berat akibat pendarahan cerebrovascular Iskemia jantung Henti jantung mendadak



Aritmia ventrikel Iskemia jantung Hipertensi Hipotensi Reflek bradikardi Hipertensi (terutama pada pasien pengguna non-selective β-blockers) Vasokonstriksi perfier dan jaringan visceral Nekrosis jaringan akibat ekstravasasi



Aritmia ventrikel Hipotensi Iskemia jantung Torsade des pointes



Aritmia, memperkuat konduksi AV (meningkatkan respon laju ventrikel pada pasien dengan atrial fibrilasi) Hipotensi Trombositopenia Hepatotoxicity Aritmia Hipertensi Penurunan curah jantung (pada penggunaan obat dengan dosis >0.4U/ min) Iskemia jantung Iskemia jaringan perifer akibat vasokonstriksi berat (terutama pada kulit) Vasokonstriksi splanchnic Takikardia, peningkatan konduksi AV Hipotensi



α1 mengindikasikan reseptor α-1; β1, reseptor β-1; β2, reseptor β-2; DA, reseptor dopamine; 0, afinitas reseptor tidak signifikan; + hingga +++++, afinitas reseptor dari rendah hingga paling maksimal; N/A, not applicable atau tidak dapat diterapkan; AV, atrioventricular.



APRC



45



BAB 9 Keracunan



9.1. PENDAHULUAN



bernapas, muntah-muntah, setelah pajanan terhadap zat yang bersifat toksik, segera aktifkan sistem emergensi terpadu (ambulans atau rumah sakit terdekat). Pendekatan awal pada keracunan yang disaksikan atau pada kasus terduga keracunan adalah sama dengan pendekatan pada kasus darurat lainnya, diawali dengan penilaian cepat dan stabilisasi ABC (airway, breathing, circulation) dan status mental, yang kemudian diikuti dengan evaluasi menyeluruh untuk mengidentifikasi zat penyebab dan menilai derajat keracunan. Kemungkinan trauma atau penyakit penyerta lainnya, harus diketahui sebelum inisiasi tindakan



Keracunan adalah terpajannya seseorang dengan zat yang bersifat toksik atau racun. Sebagian besar keracunan tidak menimbulkan gejala klinis yang khas, namun pada sebagian kecil keracunan dapat memiliki gejala yang berat hingga mengancam nyawa, sehingga diperlukan tatalaksana segera. Sebagian besar keracunan terjadi pada anak usia kurang dari 6 tahun (sekitar 50%), hampir semuanya adalah ketidaksengajaan (kecelakaan). Sekitar 90% keracunan terjadi di rumah dan hanya melibatkan satu zat. Pada tahun 2012, keracunan karbonmonoksida dan obat analgesik merupakan penyebab utama keracunan yang berakibat fatal pada anak kurang dari 6 tahun. Anak termasuk kelompok usia yang lebih rentan terhadap keracunan, karena karakteristik perkembangan anak itu sendiri. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan seringkali memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Faktor lainnya adalah faktor lingkungan, yaitu kesalahan menempatkan zat toksik pada tempat yang mudah dijangkau anak, serta kurangnya pengawasan orang tua. Zat toksik tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui melalui saluran cerna, mata, kulit, gigitan berbisa, inhalasi, dan transplasenta.



dekontaminasi.



9.3. EVALUASI INISIAL Anamnesis Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui riwayat keracunan yang akurat. Anamnesis yang singkat dan terfokus dilakukan segera setelah dilakukan pendekatan awal (stablilisasi dan penilaian cepat ABC dan status mental). Tujuan utama anamnesis ini adalah untuk menentukan beratnya gejala keracunan dan jenis zat racun (zat toksik). Seringkali pasien dibawa ke rumah sakit tanpa riwayat pajanan yang jelas. Kecurigaan terjadinya kasus keracunan pada anak jika didapatkan gejala muncul tibatiba atau akut, usia di bawah 6 tahun, diketahui pernah terpajan dengan zat toksik, adanya stres lingkungan (konflik atau kekerasan dalam rumah tangga), gejala



9.2. PENDEKATAN KLINIS Jika menemukan anak di luar rumah sakit dengan tanda atau gejala yang mengancam nyawa secara tiba-tiba seperti penurunan kesadaran (letargi), kejang, kesulitan 46



mengenai sistem multi organ, perubahan status mental yang signifikan. Keadaan pasien saat ditemukan dan benda yang ada di dekat pasien, dapat membantu identifikasi paparan zat toksik yang telah terjadi. Data atau informasi yang harus ditelusuri pada anamnesis adalah yang berhubungan dengan zat penyebab, seperti jenis, jumlah atau dosis, serta waktu pajanan atau terjadinya keracunan. Perlu diketahui juga apakah Tabel 9.1. Manifestasi klinis berdasarkan Toksidrom Toksidrom Tanda vital Status mental Simpatomimetik Hipertensi, Agitasi, takikardia, psikosis, hipertermia delirium, gaduh gelisah Antikolinergik Hipertensi, Agitasi, takikardia, delirium, hipertermia koma, kejang Kolinergik Bradikardia, Bingung, tekanan darah dan koma, suhu normal fasikulasi



Opioid



Depresi nafas, bradikardia, hipotensi, hipotermia Sedatif – Hipnotik Depresi nafas, nadi normal atau meningkat, tekanan darah normal atau meningkat, temperatur normal atau meningkat Sindrom Hipertermia, Serotonin (tanda takikardia, yang sama hipertensi dengan sindrom atau hipotensi neuroleptik (instabilitas maligna) otonom) Salisilat Takipnea, hiperpnea, takikardia, hipertermia Putus obat (SedatikHipnotik)



Takikardia, takipnea, hipertermia



Pupil



disengaja atau karena kecelakaan. Riwayat medis saat ini dan masa lalu, dan ada atau tidaknya stres lingkungan keluarga, juga ditanyakan pada saat anamnesis.



Pemeriksaan fisis Pemeriksaan fisis yang terarah penting untuk mengidentifikasi zat penyebab dan untuk menilai keparahan pajanan. Usaha awal yang harus dilakukan



Tanda Kulit



Toksin Suara usus



Dilatasi



Diaforesis Normal atau meningkat



Dilatasi



Kering, demam



Mengecil



Diaforesis Hiperaktif



Depresi, koma, euforia



Pin point



Normal



Normal atau meningkat



Somnolen, koma



Mengecil atau normal



Normal



Normal



Agitasi, bingung, koma



Dilatasi



Diaforesis Meningkat



Agitasi, bingung, koma



Normal



Diaforesis Normal



Agitasi, bingung, koma



Normal



Diaforesis Meningkat



Menurun



Tanda lain Amfetamin, kokain, phencyclidine, katinon, medikasi ADHD Ileus, retensi urin Diare, mikturisi, bronkorhea, bronkospasme, emesis, lakrimasi, salivasi



Antihistamin, antidepresan trisiklik, atropin, jimson weed Organofosfat (insektisida, nerve agent), Karbamat (Physostigmine, neostigmine, pyridostigmine), medikasi Alzheimer, medikasi Myastenia Metadon, buprenorphine, morfin, oxycodone, heroin Barbiturat, benzodiazepin, etanol



Hipereksitasi neuromuskular, klonus, hiperrefleks (ekstremitas inferior > ekstremitas superior) Mual, muntah, tinnitus, kesulitan mendengar, AGD alkalosis respiratori primer dan asidosis metabolik primer



SSRI, lithium, MOAI, Linezolid, tramadol, meperidine, dextrometrofan Aspirin atau agen yang mengandung aspirin, metil salisilat



Putus alkohol, benzodiazepin, barbiturat, gamma hidrobutirat, pemakaian berlebihan flumazenil Putus obat Takikardia Gelisah, Dilatasi Diaforesis Hiperaktif Mual, muntah, Putus opioid atau (Opiod) anxietas diare pemakaian berlebihan naloxon AGD: Analisis gas darah; ADHD: attention deficit hyperactivity disorder; MAOI: monoamine oxidase inhibitor; SSRI: selective serotonin reuptake inhibitor



APRC



47



adalah untuk menilai dan menstabilkan ABC (airway, breathing, circulation) dan status mental. Setelah jalan napas aman dan kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan fisis yang lebih menyeluruh dapat dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik spesifik zat toksik tertentu. Pemeriksaan fisis meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital (denyut nadi, tekanan darah, suhu, laju pernapasan), status mental, pupil (ukuran, reaktivitas), nistagmus, kulit, suara bising usus, dan bau. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat menentukan jenis sindrom keracunan (toxidrome) yang kemudian dapat ditentukan tata laksana yang akan diberikan (Tabel 9.1).



Pemeriksaan laboratorium Sebagian besar kasus keracunan dapat ditangani secara optimal tanpa memerlukan banyak pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium toksikologi jarang bermanfaat pada saat penanganan keracunan akut. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terutama adalah pemeriksaan darah rutin, urin, dan cairan lambung. Pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah memberikan informasi mengenai proses metabolik atau toksik, terutama nilai pH dan nilai kesenjangan (anion gap).



Pemeriksaan tambahan Pemeriksaan EKG dapat memberiksan petunjuk untuk menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Perubahan pada interval QRS (melebar) menyebabkan risiko terjadinya ventrikular takikardi. Pelebaran QRS merupakan petanda terjadinya keracunan obat antidepresan trisiklik, difenhidramin, dan kokain. Foto polos dada dapat menunjukkan adanya tanda pneumonitis (misalnya pada aspirasi hidrokarbon), edema paru non kardiogenik (toksisitas salisilat), atau adanya benda asing. Foto polos abdomen untuk skrining adanya besi, logam berat, kapsul enteric-coated, atau benda asing lainnya di abdomen, bezoar, tablet radioopak atau menunjukkan adanya paket obat. Endoskopi saluran cerna atas dapat berguna untuk menentukan prognosis setelah tertelan zat korosif. 48



BAB 9: Keracunan



9.4. PRINSIP TATA LAKSANA Prinsip tatalaksana keracunan adalah terapi suportif, antidotum, dekontaminasi, dan percepatan eliminasi.



Perawatan suportif Perawatan suportif ditujukan untuk menstabilkan ABC (jalan napas, ventilasi, dan sirkulasi). Penilaian ABC dilakukan dengan cepat menggunakan metode PAT (pediatric assessment triangle), dan diputuskan apakah perlu diberikan resusitasi dengan bantuan ventilasi, oksigen, atau resusitasi cairan.



Antidotum Saat ini, telah tersedia antidotum untuk beberapa bahan toksik. Pemberian antidotum yang sesuai dan lebih dini merupakan elemen penting pada tatalaksana keracunan (Tabel 9.2). Walaupun antidotum tersedia, pemberian terapi suportif tetap menjadi hal yang utama dan pertama dilakukan, agar fungsi organ vital tetap terjaga sampai bahan toksik dikeluarkan dari tubuh dan fisiologi tubuh kembali normal. Tabel 9.2. Antidotum untuk beberapa bahan toksik Jenis racun Antidotum Asetaminofen N-Asetil-L-Sistein Antikolinergik Physostigmine Antikolinesterase Atropin, pralidoksim (insektisida) Benzodiazepin Flumazenil Penghambat ß Glukagon Karbon monoksida Oksigen Sianida Amyl nitrit, sodium nitrit, sodium tiosulfat Antidepresan trisiklik Natrium bikarbonat Digoksin Digoksin spesifik Fab Etilen glikol Etanol Zat besi Desferoksamin Isoniazid Piridoksin Timah hitam BAL, kalsium EDTA Merkuri BAL, DMSA Metanol Etanol, 4-MP Methemoglobinemia Methylene blue Opioid Nalokson



Dekontaminasi Tujuan dekontaminasi adalah untuk meminimalkan absorpsi zat toksik. Mayoritas keracunan pada anak terjadi



melalui oral (tertelan), walaupun dapat juga melalui inhalasi, dermal, dan okular. Metode dekontaminasi spesifik yang dilakukan bergantung pada jenis toksin dan rute pajanan. Namun, apa pun metodenya, efikasi intervensi menurun seiring dengan lamanyan waktu pajanan terjadi dengan gejala klinis. a. Dekontaminasi kulit: lepaskan pakaian dan letakkan dalam kantung plastik. Aliri bagian tubuh yang terpajan dengan air dan sabun selama 10-15 menit. Cegah bagian tubuh lain terkontaminasi. b. Dekontaminasi mata: aliri mata yang terpajan dengan menggunakan larutan fisiologis (normal salin) atau air bersih yang hangat selama sekitar 20 menit. Jika bahan toksik adalah alkali, diperlukan waktu lebih lama yaitu sekitar 30-60 menit. c. Keracunan zat toksik secara inhalasi: segera pindahkan korban ke area terbuka dan berikan oksigen jika diperlukan. d. Dekontaminasi saluran cerna: optimal jika dilakukan di bawah 1 jam setelah terpajanan. Hingga saat ini belum ada metode dekontaminasi tertentu yang optimal untuk semua kasus keracunan. Faktor yang harus dipertimbangkan adalah tingkat toksisitas dan fisik zat toksik, lokasi zat toksik di dalam tubuh, dan adanya kontraindikasi.



cara mengikat bahan toksik dengan cepat sehingga mencegah bahan tersebut diabsorpsi tubuh. Lebih dari 90% intoksikan dapat diikat arang aktif dengan rasio arang aktif terhadap intoksikan adalah 10:1. Dosis arang aktif adalah 1 g/kgBB (maksimal 50-60 g), biasanya tanpa sorbitol. Efikasi maksimal dari arang aktif adalah jika diberikan kurang dari 1 jam setelah zat toksik tertelan. Sediaannya dalam air atau larutan lain dan dapat diberikan secara oral atau melalui pipa nasogastrik. Arang aktif dapat diberikan jika airway telah stabil. Sejumlah kecil larutan dapat ditambahkan untuk mempermudah penelanan tanpa mengurangi efikasinya, seperti susu coklat, sirup buah, atau minuman bersoda. Penambahan sorbitol digunakan untuk mencegah konstipasi pada pemberian dosis arang aktif yang lebih dari satu kali. Arang aktiif dapat diberikan kembali setiap 4-6 jam dengan dosis 0,5 g/kgBB. Dosis multipel dipertimbangkan pada kasus keracunan bahan toksik dalam jumlah banyak yang dapat membahayakan nyawa. Arang aktif dikontraindikasikan pada pasien dengan obstruksi usus atau perforasi, serta pada pasien dengan jalan napas yang belum aman. Arang aktif sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan penurunan kesadaran, hingga jalan napas aman dengan pemasangan intubasi. Tidak direkomendasikan untuk memasang intubasi hanya untuk memberikan arang aktif.



Arang aktif Pemberian arang aktif merupakan metode untuk dekontaminasi saluran cerna pada pasien anak. Dari beberapa studi, didapatkan bahwa arang aktif lebih efektif dalam mencegah absorpsi bahan toksik daripada sirup ipekak atau bilas lambung. Namun, metode bilas lambung yang didahului atau diikuti dengan pemberian arang aktif lebih efektif daripada pemberian arang aktif saja. Arang aktif merupakan bubuk arang yang bersifat insolubel dan tidak terabsorbsi, terbuat dari pembakaran dan penghancuran kayu, batok kelapa, batubara, produk petroleum yang kemudian diproses dengan pemanasan menggunakan penguapan, udara, karbon dioksia, sehingga menjadi “aktif ”. Arang aktif bekerja dengan



Pengosongan lambung Tujuan pengosongan lambung adalah membersihkan lambung dari sisa zat toksik yang belum terabsorpsi, untuk mencegah penyerapan sistemik lebih lanjut. Seperti halnya arang aktif, metode pengosongan lambung optimal jika dilakukan dalam waktu kurang dari 1 jam setelah zat toksik tertelan. Pengosongan lambung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan sirup ipekak dan bilas lambung. Sirup ipekak adalah larutan yang mengandung alkaloid cephaline dan emetine. Sirup ipekak bekerja dengan cara menginduksi muntah secara langung pada saluran cerna dan stimulasi tidak langsung melalui pusat muntah di otak. Muntah biasanya muncul 20 menit



APRC



49



setelah pemberian. Sekitar 70% anak akan muntah setelah dosis pertama, dan 90% muntah setelah diberikan dosis kedua. Ipekak tidak diberikan pada bayi kurang dari 6 bulan karena risiko aspirasi. Dosis sirup ipekak adalah 5-10 ml untuk usia 6-12 bulan; 15 ml untuk usia 1-12 tahun; 15-30 ml untuk usia lebih dari 12 tahun. Dosis dapat diulang jika muntah tidak muncul setelah 20-30 menit pemberian. Sirup ipekak tidak direkomendasikan dilakukan rutin di rumah sakit karena kurang efektif dibandingkan arang aktif. Sirup ipekak hanya diberikan pada pasien yang sadar dan kurang dari 1 jam setelah zat tertelan. Kontraindikasi pemberian ipekak adalah bayi kurang dari 6 bulan, menelan bahan yang tidak toksik atau kadar toksik minimal, penurunan status mental, tidak adanya refleks muntah, bahan yang tertelan adalah zat korosif atau hidrokarbon dengan viskositas rendah, riwayat koagulopati atau diatesis perdarahan. Bilas lambung dilakukan pada pasien yang menelan zat toksik dalam jumlah yang berpotensi mengancam nyawa dan kurang dari 1 jam setelah kejadian tertelan. Metode ini telah dilakukan sejak lama, namun hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan efektivitasnya, sehingga tidak dianjurkan dilakukan secara rutin. Efikasinya lebih rendah daripada arang aktif. Adanya refleks muntah harus dipastikan sebelum memulai tindakan ini. Bilas lambung dilakukan pada posisi trendelenburg, yaitu dekubitus lateral kiri dengan posisi kepala 15-200 lebih rendah daripada kaki. Tabung orogastrik yang digunakan adalah ukuran tabung yang terbesar yag mungkin (hingga 24F pada bayi) dengan lubang samping. Setelah dipastikan masuk ke lambung, isi lambung diaspirasi terlebih dahulu, kemudian dibilas dengan larutan garam fisiologis hangat 10 ml/kg (hingga 200-300 ml), hingga isi cairan lambung yang keluar jernih. Kontraindikasi bilas lambung adalah pada pasien yang jalan napasnya tidak terproteksi, terdapat risiko perdarahan atau perforasi, bahan yang tertelan bersifat korosif atau hidrokarbon dengan viskositas rendah.



Irigasi seluruh usus (whole bowel irrigation) Metode dekontaminasi saluran cerna dilakukan dengan 50



BAB 9: Keracunan



cara pemberian cairan nonabsorbable hypertonic solution (polyethylen glycol-balanceed electrolyte solution/PEG-ES) dalam jumlah besar dengan aliran yang cepat melalui pipa nasogastrik, sehingga tidak menimbulkan perpindahan cairan atau elektrolit dalam tubuh. Dosisnya adalah 20-40 ml/kgBB per jam hingga cairan yang keluar dari rektum jernih, yang biasanya dalam 4-6 jam. Dosis maksimum adalah 500 ml/jam untuk usia 9 bulan-6 tahun; 1000 ml/jam untuk 6-12 tahun; 1500-2000 ml/jam untuk usia lebih dari 12 tahun. Jika terjadi muntah pada saat prosedur, laju aliran dikurangi dan dapat diberikan antiemetik secara intra vena. Efikasi metode ini masih belum jelas karena belum banyak studi yang meneliti efektivitasnya. Indikasi irigasi saluran cerna adalah pada keracunan bahan yang tidak dapat diikat dengan baik oleh arang aktif, seperti logam berat, zat besi, tablet lepas lambat atau enteric coated, dan kokain. Kontraindikasi irigasi lambung adalah obstruksi usus, perforasi, atau perdarahan pada saluran cerna.



Katartik Metode dengan pemberian katartik akan mempercepat evakuasi isi gastrointestinal, termasuk toksik dan kompleks toksik-absorben, dengan cara meningkatkan beban cairan di saluran cerna dan menstimulasi motilitas usus. Metode ini digunakan bersamaan dengan metode dekontaminasi yang lain dan tidak boleh digunakan sebagai metode satu-satunya pada dekontaminasi saluran cerna. Pemberian katartik sorbitol lebih disukai karena efikasinya paling baik dan lebih mudah ditelan dibandingkan katartik salin. Dosis katartik adalah 0,5 g/kgBB (1-2 ml/kgBB) larutan sorbitol atau 4 ml/kgBB larutan magnesium sitrat. Tidak direkomendasikan pada bayi kurang dari 1 tahun. Dosis hanya diberikan satu kali. Indikasi pemberian katartik adalah pada pasien yang telah direncanakan untuk pemberian arang aktif lebih dari satu kali dosis (katartik diberikan pada dosis arang aktif yang pertama). Kontraindikasi adalah obstruksi saluran cerna, perforasi, gangguan elektrolit, hipotensi atau hipovolemia.



Dilusi Dilusi hanya digunakan pada kasus keracunan bahan korosif seperti asam atau basa. Dosis yang direkomendasikan adalah 120-180 ml air. Hingga saat ini, tidak ada bukti yang cukup kuat terhadap tindakan dilusi racun yang tertelan dengan air atau susu sebagai tindakan pertolongan pertama. Pada percobaan hewan, dibuktikan bahwa dilusi atau netralisasi agen penyebab dengan air atau susu mengurangi cedera jaringan, namun hingga saat ini tidak ada satu pun studi pada manusia yang menunjukkan manfaat klinis. Kemungkinan efek samping yang timbul dari pemberian air atau susu adalah muntah dan aspirasi.



Meningkatkan eliminasi Meningkatkan ekskresi hanya bermanfaat untuk keracunan zat toksik tertentu. Pada kasus tersebut, mempercepat eliminasi berpotensi menyelamatkan nyawa.



Alkalinisasi urin Metode ini dapat membantu eliminasi zat salisilat dan asam jengkolat. Metode ini juga dapat membantu eliminasi fenobarbital, klorpropamid, dan herbisidia klorofenoksi, tetapi bukan merupakan terapi utama. Alkalinisasi urin dilakukan dengan cara memberikan natrium bikarbonat 1-2 mEq/kg IV dalam waktu 1-2 jam. Selama prosedur, harus dilakukan pemantauan elktrolit darah untuk menghindari hipokalemia. Pemantauan terhadap jumlah cairan dan natrium yang diberikan juga dilakukan, terutama pada pasien dengan risiko gagal jantung kongestif dan edema paru. Kecepatan infus diatur untuk mempertahankan pH urin antara 7,5-8,5.



asam basa, elektrolit, atau hiperosmolaritas berat yang tidak respon terhadap terapi; hipotermi atau hipertermi berat yang tidak respon terhadap terapi. Zat atau bahan yang dapat didialisis adalah yang memiliki berat molekul rendah dengan volume distribusi dan ikatan terhadap protein yang rendah, sehingga menyebabkan efek klinis yang berat, misalnya aspirin, teofilin, litium, dan alkohol.



Hemoperfusi Indikasi hemoperfusi sama dengan hemodialisis. Pada kasus keracunan teofilin, hemoperfusi mempunyai keuntungan yang lebih besar dibandingkan hemodialysis.



Arang aktif dosis multipel Dari hasil beberapa penelitian, didapatkan bahwa terdapat peningkatan eliminasi beberapa jenis bahan toksik secara signifikan setelah diberikan beberapa dosis arang aktif. Beberapa zat tersebut antara lain fenobarbtital, karbamazepin, fenitoin, digoksin, salisilat, dan teofilin, Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 g/kgBB, diulang setiap 4-6 jam. Cara kerjanya adalah dengan cara mengikat obat bebas yang berdifusi dari kapiler periluminar ke lumen usus. Resirkulasi enterohepatik dari beberapa jenis zat juga dapat terhenti karena reabsorpsinya melalui empedu dapat dicegah. Sebelum diberikan arang aktif multidosis, harus dipastikan peristaltik saluran cerna normal, refleks muntah intak, dan jalan napas aman.



9.5. PEMANTAUAN Setelah dilakukan tata laksana pada pasien dengan keracunan, pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif. Perawatan dilakukan secara multidisiplin tergantung pada kerusakan organ yang terjadi.



Dialisis Metode ini dilakukan pada kasus keracunan berat zat tertentu atau apabila terdapat keadaan gagal ginjal. Dialisis dilakukan pada keracunan yang sangat mengancam nyawa dan disebabkan oleh zat atau obat yang dapat didialisis dan tidak dapat diterapi secara konservatif; hipotensi yang mengancam fungsi ginjal atau hati yang tidak dapat dikoreksi dengan resusitasi cairan; gangguan



9.6. PENCEGAHAN Pencegahan terjadinya keracunan adalah hal yang utama dalam kasus keracunan. Perlu diadakan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai bahaya keracunan dan pencegahan yang dapat dilakukan di rumah atau lingkungannya. Hal yang harus diperhatikan adalah menyimpan obat dan zat pembersih rumah tangga dalam APRC



51



lemari yang terkunci atau tempat yang sulit dijangkau anak, tidak membuang label botol obat dan membaca petunjuk pemakaian sebelum menggunakannya, tidak mengonsumsi obat di depan anak karena mereka dapat menirukannya, tidak menyebut obat dengan permen, ajarkan pada anak untuk tidak makan atau minum apa pun kecuali telah diizinkan, selalu periksa tanggal kadaluarsa obat secara berkala.



Daftar pustaka 1.



52



Kostic AM. Poisoning in Nelson’s: Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 447-456.



BAB 9: Keracunan



2.



3.



4.



5.



Alwi EH. Tata Laksana Keracunan in Buku Ajar Pediatrik Gawat Darurat. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. p. 249-256. Velez LI, Soto CS, Shepherd JG. Decontamination of poisoned children. [cited Jun 2016; update Dec 2012]. Cited from://http.www.Uptodate.com Markenson D, Ferguson JD, Chameides L, Cassan P, Chung KL, Epstein J, et al. First Aid: 2010 American Heart Association and American Red Cross Guidelines for Forst Aid. Nares MA, Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. In: Morrison WE, MCMIllan KL, Shaffner DH, editors. Roger’s handbook of pediatric intensive care 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,2016. p 139-50.



BAB 10 Kejang dan Status Epileptikus



10.1. PENDAHULUAN



oleh neurotransmitter asam glutamat dan N-methyl-D aspartat (NDMA) melalui jalur eksitasi berulang. Aktivasi reseptor NMDA akan menyebabkan peningkatan kadar ion kalsium intraseluler. Paroxysmal depolarization shift akan merangsang pelepasan muatan listrik yang berlebihan pada neuron di otak dan kemudian akan merangsang sel neuron lainnya



Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal yang berlebihan di neuron otak. Kejang dapat disertai gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, atau otonom. Kejang adalah kedaruratan neurologis yang sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Hampir 5% anak berusia kurang dari 16 tahun pernah mengalami kejang minimal satu kali, 21% terjadi pada satu tahun pertama usia kehidupan, dan 64% terjadi dalam lima tahun pertama usia kehidupan. Kejang pada anak dapat berhenti sendiri, namun beberapa diantaranya sering memerlukan pengobatan lanjutan. Status epileptikus adalah episode kejang yang berlangsung kontinu hingga beberapa menit atau kejang yang rekuren tanpa pemulihan kesadaran selama 30 menit atau lebih. Tata laksana kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi etiologi, pemberian terapi sesuai etiologi, dan monitoring hasil pengobatan.



untuk melepaskan muatan listrik secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya menimbulkan hipereksitabilitas neuron di otak. Pada kasus kejang fokal, terdapat penglepasan muatan listrik yang terdiri dari sekelompok sel neuron yang disebut dengan fokus epileptikus. Manifestasi klinis yang terjadi tergantung pada lokasi dan luas sel neuron yang tereksitasi. Gambaran EEG yang muncul terdiri dari gelombang paku (spike) yang menggambarkan proses eksitasi dan gelombang ombak yang menggambarkan proses inhibisi. Status epileptikus terjadi akibat proses eksitasi berlebihan terus-menerus yang diikuti proses inhibisi yang tidak sempurna.



10.2. PATOFISIOLOGI



10.3. KLASIFIKASI



Pada tingkat seluler, kejang disebabkan karena adanya proses paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial paska sinaps yang berlangsung lebih dari 50 ms. Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi dari neurotransmitter asam gamma amino butirat (GABA), atau karena peningkatan eksitasi sinaptik



Sebelum mengklasifikasikan kejang, maka terlebih dahulu diagnosis kejang harus ditegakkan. Pada penanganan pasien yang diduga kejang pertama kali, sangat penting untuk dapat membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis (Tabel 10.1).



53



Tabel 10.1. Perbedaan kejang dengan serangan menyerupai kejang Keadaan Kejang Onset Tiba-tiba Lama serangan Detik/menit Kesadaran Sering terganggu Sianosis Sering Gerakan ekstremitas Sinkron Stereotipik serangan Selalu Lidah tergigit atau luka lain Sering Gerakan abnormal bola mata Selalu Fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Dapat diprovokasi Jarang Tahanan terhadap gerakan pasif Jarang Bingung pascaserangan Hampir selalu EEG iktal abnormal Selalu EEG pascaiktal abnormal Selalu



Menyerupai kejang Mungkin gradual Beberapa menit Jarang terganggu Jarang Asinkron Jarang Sangat jarang Jarang Gerakan hilang Hampir selalu Selalu Tidak pernah Hampir tidak pernah Jarang



Dikutip dari: Smith DF. An atlas of epilepsy, 1998.



The International Classification of Epileptic Seizures mengelompokkan kejang epilepsi menjadi dua kategori, yaitu kejang fokal dan kejang umum. Kejang fokal berarti gejala klinis awal dan perubahan pada elektroensefalografik (EEG) menunjukkan aktivasi inisial dari neuron terbatas hanya dari 1 hemisfer serebral, sedangkan pada kejang umum, gejala klinis awal dan perubahan EEG menunjukkan keterlibatan secara sinkron kedua hemisfer. Kejang fokal dapat melibatkan sistem motorik, sensorik, maupun psikomotor, sedangkan kejang umum dapat berupa kejang konvulsif atau non-konvulsif (absans). Klasifikasi kejang yang digunakan saat ini adalah berdasarkan klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures tahun 1981 (Tabel 10.2). Jenis kejang harus ditentukan setiap kali pasien mengalami kejang karena dapat terjadi perubahan jenis kejang pada serangan yang terakhir dari serangan yang sebelumnya. Pengklasifikasian kejang sangatlah penting untuk tujuan terapi yang akan diberikan. Pemilihan obat anti kejang atau obat anti epilepsi jangka panjang adalah berdasarkan jenis kejang, karena terdapat obat anti kejang yang efektif untuk jenis kejang tertentu, dan sebaliknya terdapat obat yang dapat memperberat kejang jika salah diberikan.



54



BAB 10: Kejang dan Status Epileptikus



Tabel 10.2. Klasifikasi kejang I Kejang parsial (fokal, lokal) Kejang fokal sederhana Kejang parsial kompleks Kejang parsial yang menjadi umum II Kejang umum Absans Mioklonik Klonik Tonik Tonik-klonik Atonik III Tidak dapat diklasifikasi Dikutip dari: The Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy, 1981.



10.4. PENDEKATAN KLINIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Anamnesis dan pemeriksaan fisis diperlukan untuk memilih pemeriksaan penunjang yang sesuai dan terapi yang akan diberikan. Aloanamnesis dilakukan untuk mendapatkan riwayat perjalanan penyakit sekarang hingga terjadi kejang, jenis serangan kejang, dan dilanjutkan untuk mencari kemungkinan faktor pencetus atau penyebab kejang. Penentuan faktor pencetus atau penyebab kejang sangat penting untuk pemberian terapi selanjutnya, terutama pada kasus kejang berulang atau kejang yang sulit diatasi (Tabel 10.3).



Tabel 10.3. Etiologi kejang pada anak Kejang demam sederhana Infeksi: - Infeksi intrakranial: meningitis, ensefalitis - Shigellosis Keracunan: - Alkohol - Teofilin - Kokain Lain-lain: - Ensefalopati hipertensi - Tumor otak - Perdarahan intrakranial - Idiopatik



Gangguan metabolik: - Hipoglikemia - Hiponatremia - Hipokalsemia - Gangguan elektrolit atau dehidrasi - Defisiensi piridoksin - Gagal ginjal - Gagal hati - Kelainan metabolik bawaan Penghentian obat anti epilepsi Trauma kepala



Dikutip dari: Schweich PJ. Oski’s pediatrics, 1999.



Informasi mengenai riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, gangguan neurologis umum atau fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang, dapat diketahui dari autoanamnesis, namun jika tidak memungkinkan maka dilakukan aloanamnesis untuk mendapatkan informasi tersebut. Pemeriksaan fisis awal dilakukan dengan menilai tanda-tanda vital dan status mental, mencari tanda-tanda trauma kepala akut, dan ada atau tidaknya kelainan atau penyakit sistemik, paparan zat toksik, infeksi dan kelainan fokal. Adanya penurunan kesadaran mengindikasikan diperlukannya pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Edema papil yang disertai rangsang meningeal menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi sistem saraf pusat.



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat pada kasus kejang antara lain pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal, EEG, dan radiologis. Penentuan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sesuai dengan kebutuhan guna melengkapi data anamnesis dan pemeriksaan fisis, yaitu faktor penyebab dan komplikasi akibat kejang, sehingga diagnosis dapat ditegakkan dan terapi yang sesuai dapat diberikan.



Pemeriksaan Laboratorium Pada anak yang mengalami kejang, pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk mencari etiologi dan komplikasi dari kejang yang berlangsung lama. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk mengetahui adanya komplikasi kejang yaitu kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin. Jika terdapat kecurigaan adanya infeksi bakteri, perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur darah cairan serebrospinal. Pada kasus ensefalitis dapat dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk virus herpes simpleks.



Pungsi Lumbal Pungsi lumbal dipertimbangkan pada pasien kejang dengan penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan diketahui terdapat peningkatan tekanan intrakranial, lakukan pemeriksaan CT scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah terjadi herniasi saat dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal direkomendasikan pada serangan kejang disertai demam pada anak di bawah usia 12 bulan karena manifestasi meningitis tidak jelas pada usia tersebut.



APRC



55



EEG Pemeriksaan EEG dilakukan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform. Sensitivitas EEG interiktal bervariasi. Abnormalitas pada EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gambaran paku (spike), dengan atau tanpa gelombang lambat. Pemeriksaan EEG segera dalam waktu 24-48 jam setelah kejang atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya abnormalitas EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya tampilan klinis.



kepala akibat trauma. Kelainan pada jaringan otak dapat diperiksa dengan CT scan atau MRI. MRI lebih superior dibandingkan dengan CT scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal dan di daerah yang lokasinya tertutup struktur tulang, misalnya daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporal, dan perkembangan yang terhambat tanpa adanya kelainan pada CT scan.



10.5. TATA LAKSANA Radiologi Modalitas pemeriksaan radiologi pada kepala antara lain foto polos kepala, CT scan kepala, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan foto polos kepala memiliki nilai diagnostik rendah pada kasus kejang, hanya dapat menunjukkan ada atau tidaknya fraktur tulang



Serangan kejang pada umumnya akan berhenti spontan dalam waktu paling lama 5 menit. Bila serangan masih berlangsung setelah 5 menit, kejang cenderung akan berlangsung lama atau akan cenderung menjadi status epileptikus. Status epileptikus tipe konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang mengancam nyawa dengan



Gambar 10.1 Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus.



56



BAB 10: Kejang dan Status Epileptikus



Tabel 10.4. Obat yang digunakan pada tata laksana kejang akut Keterangan Diazepam Fenitoin Dosis inisial 0,2-0,5 mg/kgBB 20 mg/kgBB Maksimal dosis 10 mg 1000 mg awal Dosis ulangan 5-10 menit, dapat diulang 5-10 mg/kgBB dua kali Lama kerja 15 menit-4 jam 12 jam Rute pemberian IV perlahan, rektal IV perlahan, kecepatan 2 mg/ kgBB/menit, dapat diencerkan dengan NaCl 0,9% Catatan Dilanjutkan dengan fenitoin Monitor tanda vital atau fenobarbital Efek samping Somnolen, ataksia, depresi Hipotensi, depresi napas, napas aritmia



risiko besar terjadinya gejala sisa defisit neurologis. Tujuan utama tata laksana kejang tonik klonik umum adalah untuk menghentikan kejang sesegera mungkin dan menghindari terjadinya status epileptikus. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus ditampilkan pada Gambar 10.1. Obat yang digunakan pada tatalaksana kejang akut terdapat pada Tabel 10.4. Pada episode serangan kejang yang berlangsung lama, dapat terjadi hipoksia akibat gangguan pada jalan napas karena sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, gangguan pernapasan, serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia yang terjadi kemudian menyebabkan asidosis, yang selanjutnya menurunkan fungsi ventrikel, menurunkan curah jantung, hipotensi, dan akhirnya mengganggu fungsi sel dan neuron. Hipoksia, hipotensi, dan asidosis, dapat menyebabkan terjadinya edema otak. Selain itu, terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Hiperpireksia juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan mioglobinuria dan rabdomiolisis.



Pengobatan Jangka Panjang Pada serangan kejang yang baru pertama kali muncul, pengobatan lebih ditujukan untuk mencari faktor penyebab. Apabila faktor penyebab diketahui dan dapat segera diobati, maka tidak diperlukan pemberian obat anti epilepsi jangka panjang. Bila dalam tiga bulan pertama setelah kejadian kejang pertama tidak muncul kejang kembali, maka pasien tidak memerlukan pengobatan



Fenobarbital 20 mg/kgBB 1000 mg



Midazolam 0,2 mg/kgBB 10 mg



5-10 mg/kgBB 12-24 jam IV perlahan, kecepatan 10-20 mg/menit,



1-6 jam IM, buccal



Monitor tanda vital



Dilanjutkan dengan fenitoin atau fenobarbital Hipotensi, bradikardi



Hipotensi, depresi napas, aritmia



jangka panjang, karena risiko berulangnya kejang terjadi dalam satu tahun pertama setelah kejang pertama, khususnya pada tiga bulan pertama setelah kejang. Pengobatan jangka panjang diperlukan jika telah terjadi serangan kejang kembali. Pengobatan selalu dimulai dengan satu jenis obat atau monoterapi. Dosis dititrasi dari dosis rendah hingga tercapai dosis terapeutik. Jika dengan dosis maksimal obat tersebut kejang masih tidak terkontrol, pertimbangkan kombinasi dengan obat anti epilepsi lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan penurunan dosis terendah obat yang mencapai dosis terapeutik. Tidak ada satu jenis obat anti epilepsi yang merupakan pilihan utama untuk semua jenis epilepsi, namun beberapa obat lebih efektif untuk jenis kejang tertentu. Lama pengobatan adalah selama dua atau tiga tahun bebas kejang dari serangan kejang terakhir.



Daftar acaan 1.



2.



3.



4.



5.



Mikati MA, Hani AJ. Seizures in Childhood dalam Nelson’s: Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. Hal. 2823. Setyabudhy, Irawan MA. Kejang dalam Buku Ajar Pediatrik Gawat Darurat. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. Hal. 29-35. Wilfong A. Management of status epilepticus in children. [cited Jun 2016; update Jul 2012]. Cited from://http. www.Uptodate.com UKK Neurologi IDAI. Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2016. Hal. 4 McKenzie KC, Hahn CD, Friedman JN. Emergency management of the paediatric patient with convulsive status epilepticus. Paediatr Child Health 2021; 26:50



APRC



57



BAB 11 Penurunan Kesadaran



11.1. PENDAHULUAN



– Gangguan metabolik, misalnya hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum, kelainan metabolik bawaan – Trauma, misalnya: tenggelam, cedera kepala



Koma merupakan gangguan sistem saraf pusat yang paling berat yang dapat disebabkan berbagai patologi seperti penyakit, cedera, atau keracunan. Penurunan kesadaran pada anak dimulai dengan kantuk (bangun berkurang dan jumlah tidur bertambah) sampai tidak sadar (tidak dapat dibangunkan dan tidak ada reaksi). Kehilangan kesadaran ini berhubungan dengan gangguan fungsi otak, baik hemisfer serebral maupun Ascending Reticular Activating System (ARAS) di dalam batang otak. Pada anak-anak, 95 % kasus penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan metabolik yang difus (termasuk hipoksia serebri dan iskemik), sisanya akibat kelainan lesi struktural. Pasien seperti ini memerlukan evaluasi neurologis yang teliti dan hendaknya dapat dibedakan antara gangguan neurologis akibat metabolik, sedasi, sisa obat anestesi, obat pelumpuh otot, ataupun gangguan psikologis karena adaptasi lingkungan. Penyebab-penyebab penurunan kesadaran tersering pada anak, antara lain: – cedera hipoksik iskemik, akibat kegagalan kardiopulmoner (misalnya aritmia, penyakit jantung bawaan, aspirasi benda asing, gagal napas) – perdarahan intrakranial, misalnya akibat malformasi pembuluh darah, gangguan pembekuan darah – Space-occupying lession, misalnya karena tumor, abses, dan lain-lain – Infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, sepsis berat – Kejang, misalnya pada anak dengan epilepsi – Keracunan atau overdosis



11.2. DERAJAT KESADARAN Banyak definisi tentang derajat koma, mulai dengan derajat gangguan status mental serta skala koma Glasgow dan skala koma anak (Lihat Tabel 3.1), yang telah berkembang menjadi alat ukur yang semi kuantitatif, serta merupakan alat komunikasi di antara mereka yang merawat pasien.



11.3. DERAJAT GANGGUAN STATUS MENTAL Berbagai terminologi digunakan untuk menilai derajat kesadaran, akan tetapi mempunyai pengertian yang sama. – Sadar penuh (kompos mentis), sangat tanggap terhadap lingkungan, ada atau tidak ada rangsang, walaupun keadaan pasien bisa mudah atau susah dimengerti. – Obtundasi (apatis), gangguan kesadaran ringan disertai berkurangnya perhatian pada sekitarnya, komunikasi masih dapat dilangsungkan sebagian. – Letargi (somnolen), pasien tampak megantuk sampai tidur, akan tetapi masih dapat dibangunkan sampai sadar dengan rangsangan suara atau fisik. Pada waktu sadar, pasien bisa berkomunikasi dengan pemeriksaan, akan tetapi bila ditinggalkan maka pasien kembali tertidur. 58



– Stupor (sopor), gangguan kesadaran yang menyerupai tidur dalam dan hanya dapat dibangunkan sebagian dengan rangsang yang kuat dan berulang kali. Komunikasi minimal, reaksi ada berupa gerakan menolak sakit dan mengerang. – Koma adalah gangguan kesadaran yang berat, pasien tampak tidur dalam tanpa dapat dibangunkan dan tidak ada reaksi terhadap berbagai rangsangan.



11.4. PATOFISIOLOGI PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL Pada anak kecil dengan sutura tengkorak yang belum menutup, peningkatan volume intrakranial dapat berlangsung tenang apabila proses terjadinya lambat. Akan tetapi apabila prosesnya cepat dan pada anak yang volume tengkoraknya tetap, peningkatan volume akibat pembengkakan otak, hematoma, atau penyumbatan cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid/CSF), akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Pada tahap awal, volume CSF dan darah vena dalam tengkorak menurun. Mekanisme kompensasi ini segera gagal dan TIK akan meningkat terus dan menurunkan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure = CPP) dan aliran darah arterial akan menurun (tekanan arteri rata-rata = mean arterial pressure = MAP). CPP = MAP – TIK Turunnya CPP mengakibatkan turunnya aliran darah serebral (cerebral blood flow = CBF). Cerebral blood flow normal adalah 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Kalau CBF turun dibawah 20 ml/100 gr, otak mengalami iskemia. Peningkatan TIK akan mendorong jaringan otak ke arah struktur intrakranial yang keras. Dua sindrom klinis dapat ditemukan di daerah tempat terjadinya kompresi otak (Gambar 11.1). – Central syndrome Seluruh otak akan tertekan ke bawah ke arah foramen magnum dan terjadi herniasi tonsila serebelum (coning). Dapat terlihat gejala kaku



Gambar 11.1. Herniasi otak: central syndrome dan uncal syndrome



kuduk, bradikardia, peningkatan tekanan darah, dan respirasi ireguler sampai apnea pada tahap terminal. – Uncal syndrome Peningkatan volume intrakranial terutama terjadi di supratentorial. Unkus (bagian dari girus hipokampus) terdorong melalui celah tentorial dan terdesak ujung keras tentorium. Jika tekanannya bersifat unilateral (misalnya karena hematoma subdural atau ekstradural), maka akan menyebabkan tertekannya nervus tiga dan menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Selanjutnya terjadi palsi otot okulomotor eksternal dan mata tidak dapat digerakkan ke lateral. Hemiplegia dapat menjadi tetraplegia bergantung pada proses herniasi itu sendiri.



11.5. POLA RESPIRASI Penilaian pola respirasi dapat membantu memperkirakan letak gangguan dari susunan saraf pusat (SSP) yang mungkin menjadi penyebab penurunan kesadaran. Berbagai perubahan pola pernapasan dapat dilihat pada Gambar 11.2, yaitu sebagai berikut: – Pernapasan Cheyne-Stokes, pasien tampak bernapas dengan laju yang makin lama makin cepat dan makin dalam sehingga tercapai puncak APRC



59



















hiperventilasi, kemudian diikuti penurunan laju napas bertahap sampai terjadi periode apnea singkat. Pola pernapasan ini berhubungan dengan gangguan hemisfer bilateral (obat-obatan, hipoksia, atau faktor metabolik). Hiperventilasi neurogenik sentral, yaitu pernapasan yang cepat, dalam, dan menetap (Kussmaul), akan tetapi bukan asidosis metabolik. Pola ini disebaban proses mesensefalon. Pernapasan apneustik, inspirasi yang sangat panjang diikuti ekspirasi pendek. Hal ini menandakan gangguan daerah pons. Pernapasan cluster, berupa napas-napas yang berkelompok diselingi masa istirahat yang tidak teratur. Pola pernapasan ini disebabkan lesi di daerah pons bagian bawah atau bagian atas medula oblongata. Pernapasan ataksik, merupakan pernapasan yang dangkal, cepat, dan tidak teratur. Seringkali tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen dan terlihat menjelang kematian dan segera harus dibantu napas



buatan. Proses terletak di formasio retikularis bagian dorso medial medula oblongata.



11.6. GERAKAN EKSTRA OKULAR Untuk mendapatkan gerakan bola mata yang tepat dan seimbang sebagai reaksi terhadap rangsang vestibular, maka segmen batang otak yang luas harus berfungsi baik, yaitu mesensefalon, pons, dan medula. Rangsang sistem vestibular menyangkut saraf kranial VIII, yang berhubungan ke paramedian formasio retikularis pons, yang bertanggung jawab terhadap koordinasi menatap ke lateral dan terletak pada pons di nukleus saraf VI. Gerakan mata simetris dan teratur memerlukan hubungan antara nukleus saraf III dan VI, berupa rantai dalam fasikulus longitudinal medial yang dilanjutkan melalui traktus yang berjalan dari pons ke mesensefalon. Untuk menilai refleks vestibulo-okular (refleks kalorik dingin), maka air es disemprotkan ke liang telinga salah satu sisi (membran timpani harus utuh) maka sistem vestibular sisi tersebut menjadi tidak aktif. Karena sisi yang lain masih aktif,



Gambar 11.2. Pola pernapasan abnormal dan hubungannya dengan lesi patologis pada berbagai struktur otak. a) Pernapasan Cheyne-Stokes, b) Hiperventilasi neurogenik sentral, c) Pernafasan apeneustik, d) Pernafasan cluster, e) Pernafasan ataksik



60



BAB 11: Penurunan Kesadaran



maka akan terjadi gerakan bola mata ke arah sisi yang disemprot. Refleks kalorik yang utuh menunjukkan fungsi batang otak yang baik. Formatio retikularis yang merupakan bagian batang otak sangat rentan terhadap kesadaran, lesi daerah ini akan mengganggu kesadaran serta refleks kalorik yang abnormal.



Refleks lain yang bergantung kepada jalur saraf yang sama adalah refleks okulo-sefalik (refleks doll’s eye). Pemeriksaan ini hanya dilakukan setelah yakin tidak ada cedera tulang belakang servikal. Pada keadaan saraf normal, mata akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala. Refleks yang abnormal terjadi pada gangguan batang otak, maka tampak tetap



Gambar 11.3. Refleks bola mata pada pasien tak sadar



APRC



61



(fixed) atau bergerak searah dengan gerakan kepala. Pada Gambar 11.3 tampak kedua refleks ini pada keadaan normal dan berbagai kelainan batang otak.



11.7. PENATALAKSANAAN Penilaian dan tata laksana hendaknya dilakukan dengan cara berurutan dan dilakukan dengan tujuan untuk mencegah cedera otak sekunder karena hipoksia, iskemia, hipoglikemia, atau infeksi, serta mengurangi peningkatan TIK.



Penilaian Primer dan Resusitasi Langkah pertama dalam tata laksana pasien dengan penurunan kesadaran adalah menilai dan menjaga ABC (jalan napas = airway, pernapasan = breathing, dan sirkulasi darah = circulation) (Gambar 11.4).



A. Airway Patensi jalan napas merupakan hal pertama yang wajib dinilai. Nilai bicara, jika menangis atau berbicara maka hal tersebut menunjukkan patensi jalan napas. Menilai patensi jalan napas dilakukan dengan cara: • Look – pergerakan dinding dada dan abdomen • Listen – suara napas, stridor • Feel – udara yang diekspirasikan Jika terdapat obstruksi jalan napas, dapat dilakukan beberapa manuver di bawah ini: • Manuver head tilt-chin lift • Lakukan penghisapan orofaring menggunakan suction berdiameter besar • Intubasi Indikasi intubasi pada anak dengan penurunan kesadaran:



Gambar 11.4. Alur tata laksana awal koma 62



BAB 11: Penurunan Kesadaran



• • • • • • • • •



GCS ≤ 12 Perburukan GCS Airway yang tidak paten (walaupun GCS baik) Pernapasan tidak adekuat, depresi napas Tidak terdapat refleks batuk atau muntah protektif Hiperventilasi neurogenik (hiperventilasi dapat merupakan tanda keterlibatan mesensefalon) Pupil anisokor atau dilatasi Ditemukan tanda-tanda herniasi Selalu nilai ulang airway, bahkan setelah melakukan manuver untuk membuka jalan napas.



B. Breathing Nilai pernapasan pasien dengan menghitung pernapasan per menit dan melihat usaha bernapas, seperti otot-otot pernapasan bantuan, pernapasan cuping hidung, napas terengah-engah, merintih, pengembangan dada simetris/ tidak, atau pernapasan abdominal. Lakukan auskultasi, apakah suara napas menurun atau menghilang, adanya ronki atau wheezing. Semua anak dengan penurunan kesadaran harus diberikan oksigen aliran tinggi melalui sungkup oksigen dengan reservoir atau intubasi dan berikan bantuan ventilasi jika diperlukan.



Tabel 11.1. Interpretasi pemeriksaan pupil Ukuran dan refleks pupil Pupil miosis, refleks cahaya (+) Pupil pin-point Pupil 3-4 mm, refleks cahaya (-) Pupil midriasis, refleks cahaya (-)



Pupil midriasis unilateral



C. Circulation Hitung denyut nadi per menit, nilai isinya. Ukur tekanan darah, apabila terdapat hipertensi yang bermakna maka segera harus diterapi. Nilai akral dan capillary refill time. Pasang jalur intravena. Apabila ditemukan tandatanda syok maka segera tangani syok, berikan bolus cepat kristaloid 20 ml/kgBB. Pantau ketat tandatanda edema paru, hepatomegali, dan urin output. Apabila tidak syok maka hendaknya dilakukan restriksi cairan (2 ml/kgBB/jam). D. Disability Lakukan penilain skala AVPU (Alert, Responds to Voice, Responds to Pain, Unresponsive), jika nilai P atau U, atau refleks batuk dan muntah tidak ada, pertimbangkan intubasi. Perhatikan tanda-tanda herniasi. Periksa pupil dan reaksi terhadap cahaya (Tabel 11.1). Perhatikan postur pasien, apakah dekortikasi atau deserebrasi, jika sebelumnya postur pasien normal maka hal ini dapat menandakan adanya kemungkinan peningkatan TIK. Kaku kuduk atau ubun-ubun yang menonjol menandakan meningitis. Periksa segera kadar gula darah dan tata laksana hipoglikemia (< 50 mg%) dengan glukosa 10%



Penyebab Gangguan metabolik Lesi medula Gangguan metabolik Keracunan organofosfat/ narkotik Perdarahan pons Lesi mesensefalon Hipotermia Hipoksia berat Barbiturat Selama dan pascakejang Obat-obat antikolinergik Perkembangan lesi ipsilateral Herniasi tentorial Lesi N.III Kejang epileptikus



APRC



63



sebanyak 5 ml/kgBB (2 ml/kgBB untuk neonatus), setelah sebelumnya diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (misalnya darah lengkap, kultur darah, fungsi hepar, fungsi ginjal, analisa gas darah, golongan darah, dan sebagainya). Tanda pasti peningkatan TIK sangat sedikit, seperti papiledema, penonjolan ubun-ubun besar, dan hilangnya pulsasi pembuluh darah retina. Pada peningkatan TIK akut, ketiga tanda ini dapat tidak ditemukan. Pada anak yang semula sehat lalu tibatiba penurunan kesadaran (GCS < 9) dan bukan pasca kejang, maka berikut ini merupakan tandatanda kemungkinan terjadi peningkatan TIK: 1. Refleks okulo-sefalik (Doll’s eye) abnormal; jangan dilakukan pada pasien dengan cedera servikal a. Apabila kepala diputar ke kiri atau kanan, normalnya mata bergerak berlawanan dengan arah putaran kepala. Pada keadaan abnormal tidak terdapat gerakan atau kacau. b. Apabila kepala di-fleksi-kan, pada keadaan normal terjadi deviasi mata ke atas. 2. Postur abnormal; terkadang postur didapat dengan rangsang nyeri a. Dekortikasi (lengan fleksi, tungkai ekstensi) b. Deserebrasi (lengan ekstensi, tungkai ekstensi) 3. Reaksi pupil abnormal, dilatasi unilateral atau bilateral. 4. Pola pernapasan abnormal. Terdapat beberapa macam pola napas yang dapat terjadi pada peningkatan TIK. Pola pernapasan dari berubahubah dari hiperventilasi, Cheyne-Stokes, hingga apnea. 5. Trias Cushing: nadi lambat, tekanan darah naik, dan pola pernapasan abnormal, merupakan tanda lanjut dari peningkatan TIK. Apabila dicurigai peningkatan TIK, maka sebaiknya konsul ahli saraf anak, bedah saraf anak, dan



64



BAB 11: Penurunan Kesadaran



tatalaksana peningkatan TIK yang dianjurkan antara lain: 1. Intubasi dan ventilasi (PCO2 3,5-4,0 kPa atau 25-30 mmHg) 2. Posisikan kepala dengan sudut 20-30o untuk membantu drainase vena serebral 3. Berikan manitol 250-500 mg/kg IV. Contoh: 1,25-2,5 ml manitol 20% selama 15 menit, berikan setiap 2 jam sesuai kebutuhan. Manitol jangan diberikan apabila pasien anuria. Apabila meragukan, berikan furosemid 1 mg/kg IV dan pasang kateter urin. 4. Pertimbangkan pemberian deksametason 0,5 mg/kg setiap 6 jam E. Exposure Perhatikan adakah ruam purpura – yang mengindikasikan adanya penyakit akibat meningokokus – atau tanda-tanda trauma. Demam mengindikasikan adanya proses infeksi (namun apabila tidak demam bukan berarti sebaliknya) atau keracunan obat (ekstasi, kokain, salisilat). Hipotermia dapat terjadi akibat keracunan barbiturat atau etanol. Cari tanda-tanda keracunan. Jika kondisi pasien belum stabil atau perburukan, maka penilaian primer dan tindakan resusitasi segera dilanjutkan. Setelah kondisi pasien stabil, pemeriksaan neurologis lebih lanjut yang lebih rinci dapat dilakukan dalam rangka mengetahui lokasi gangguan neurologis dan menentukan pemeriksaan penunjang lainnya.



Penilaian Sekunder Sementara penilaian primer dan resusitasi dilaksanakan, anamnesis riwayat penyakit dilakukan untuk mencari penyebab terjadinya penurunan kesadaran.



Anamnesis Evaluasi anak dengan koma dimulai dengan anamnesis yang lengkap yang bisa diperoleh dari orang tua atau wali, atau dari dokter anak/ dokter bedah saraf yang mengirim



pasien ke ICU. Beberapa anamnesis yang penting adalah: – Trauma baru-baru ini, kejadian sebelum penurunan kesadaran – Kejadian segera yang mengikuti timbulnya koma – Kecepatan terjadinya koma – Riwayat demam, sakit kepala, kejang, kehilangan kesadaran, atau penyakit saraf yang sudah ada – Tertelan racun – Riwayat kesehatan: penyakit sekarang, penyakit kronik (ginjal, jantung, diabetes melitus), penggunaan obat, riwayat gizi, riwayat psikiatri, riwayat tumbuh kembang – Riwayat keluarga: kelainan metabolik, kelainan kongenital, kontak dengan penyakit menular – Perincian mengenai kejadian kecelakaan (jika ada) dan riwayat berpergian ke daerah endemis Bagaimanapun akan lebih banyak anak koma tanpa keterangan latar belakang medis, sehingga menjadi masalah diagnosis.



Pemeriksaan Fisik Hendaknya selalu melakukan penilaian ulang mengenai hasil pemeriksaan terdahulu. Pemeriksaan neurologis lanjutan awal: 1. Pemeriksaan mata a. Ukuran pupil dan reaksinya (lihat Tabel 11.1) b. Funduskopi: perdarahan, edema papil c. Deviasi mata: deviasi konjugat 2. Penilaian ulang postur dan tonus – perhatikan adanya lateralisasi Gerakan spontan dan postur yang asimetri menjadi petunjuk adanya hemiparesis, pada sisi tadi tampak tungkai yang lemas, fleksi, abduksi, dan postur rotasi eksternal. Sudut mulut yang datar dan tidak bergerak bersama bagian muka lainnya, serta gerakan muka yang asimetri saat diberi rangsang, dapat menunjukkan adanya hemiparesis ipsilateral. Tremor, mioklonus, asteriksis, mengarahkan pada kemungkinan gangguan metabolik, obat, atau racun (toksin). Halusinasi visual atau taktil paling sering



disebabkan gangguan racun, obat, atau metabolik. Halusinasi penciuman menunjukkan gangguan struktur SSP, sedangkan halusinasi pendengaran biasanya berhubungan dengan kelainan psikiatri. Koreo-atetosis dan distonia berhubungan dengan fungsi bangsal ganglia. Lengan dalam keadaan fleksi (dekortikasi) mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekstensi (deserebrasi). Masih adanya gerakan otomatis seperti menelan, membasahi bibir dan menguap, menandakan fungsi batang otak yang masih baik. 3. Periksa refleks tendon dalam dan reaksi plantar – perhatian adanya lateralisasi 4. Nilai ulang kesadaran Anak yang tampak bingung dan melawan perawat dan alat-alat, serta matanya terbuka melihat keliling ruangan adalah anak dengan keadaan mental normal atau sedikit depresi. Anak dengan mata tertutup dalam posisi tidur nyenyak, mungkin tidur biasa atau depresi ringan. Anak yang terbaring diam dengan mata tertutup atau seperempat terbuka, dengan sikap tubuh yang lemas, atau kaku, atau posisi aneh dan tidak biasa, merupakan anak dengan depresi mental yang berat dengan risiko kelainan susunan saraf pusat permanen atau kematian.



Pemantauan: – Tanda-tanda vital: laju dan irama nadi, laju dan pola napas, suhu badan, tekanan darah – Saturasi oksigen – Skala koma – Keseimbangan cairan



Pemeriksaan penunjang awal: – – – – – –



Darah lengkap Gula darah sewaktu Elektrolit: natrium, kalium, klorida Kalsium, magnesium, fosfat Fungsi ginjal: ureum, kreatinin Kultur darah APRC



65



– Analisa gas darah Jika fungsi kardiovaskular anak stabil, maka keadaan khusus yang harus segera diidentifikasi adalah hipoglikemia, keracunan opium, diabetes, dan septikemia meningokokus. Selain meningitis, keadaan lain dapat disingkirkan dengan cara mengidentifikasi penyebab lain, maka pengobatan sefotaksim intravena harus dimulai. Pemberian asiklovir juga harus dimulai karena prognosis ensefalitis herpes akan lebih buruk apabila pengobatan terlambat. Pada tahap kedua setelah keadaan stabil, pemeriksaan fisik secara umum yang lengkap dan seksama akan membantu dalam penegakkan diagnosis, seperti: 1. Kulit: ruam, perdarahan, cedera, sindrom neurokutaneus 2. Kepala: tanda-tanda trauma 3. Telinga dan hidung: otorrhea dan rhinorrhea (tanda fraktur basis kranii), tanda-tanda otitis media (meningitis) 4. Leher: lembek atau kaku 5. Bau: gangguan metabolik, keracunan 6. Abdomen: hepatomegali



Pemeriksaan penunjang lanjutan: – – – – – – –



Fungsi hati Skrining toksikologi Amonia darah Apusan darah tepi – untuk parasit Urin lengkap Foto toraks CT-scan



pada pasien koma, pemeriksaan ini dapat dilakukan di kemudian hari di saat keadaan mengizinkan. Pemeriksaan ini untuk menegaskan atau menyingkirkan diagnosis meningitis.



11.8. PENATALAKSANAAN UMUM LANJUTAN – Pertahankan keadaan normoglikemia • Hati-hati dalam pemberian insulin pada keadaan hiperglikemia, karena hiperglikemia dapat disebabkan karena stress – Restriksi cairan sampai 60% total kebutuhan – Periksa dan pertahankan keseimbangan elektrolit (Tabel 11.2) • Jaga natrium serum 135-145 mmol/l • Cegah hiponatremia dengan menggunakan NaCl 0,9% atau 0,45% – Tata laksana kejang dan berikan anti-konvulsan profilaktik jika kejang berulang • Kejang harus diamati dengan teliti karena bisa tampak nyata atau samar, berupa gerakan klonik ekstremitas, muka, kelopak mata, mata, dengan interupsi kesadaran berulang secara stereotip, dapat pula berupa nistagmus – Pasang naso-gastric tube (NGT) untuk aspirasi isi lambung – Jaga suhu tubuh di bawah 37,5oC – Tata laksana peningkatan TIK – Pasang kateter urin (distensi kandung kemih dapat memperburuk TIK) dan monitor keluaran urin – Cegah luka dekubitus akibat tirah baring dan tutup mata untuk mencegah xeroftalmia



Pemeriksaan pungsi lumbal tidak perlu dilakukan



Tabel 11.2. Koreksi gangguan elektrolit Elektrolit Nilai Natrium 115 mmol/L Kalsium < 0,75 mmol/L Magnesium 0,65 mmol/L



66



BAB 11: Penurunan Kesadaran



Dosis NaCl 3% 5 ml/kg Kalsium glukonas 0,3 ml/kg 50 mg/kg



Kecepatan Infus 5-10 menit 5 menit > 1 jam



11.9. BEBERAPA KEADAAN KHUSUS Meningitis Bakteri Setelah masa neonatus, umumnya bakteri penyebab meningitis adalah Neisseria meningitidis (meningokokus). Angka kejadian meningitis bakteri tidak berubah dalam beberapa tahun, yaitu 18 per 100.000 anak per tahun, dengan angka kematian sebesar 5-10% dan gejala sisa neurologis yang berat. Vaksinasi Hib telah menurunkan angka kejadian infeksi Haemophilus influenzae. Infeksi Streptococcus pneumoniae tidak umum sehingga harus dicari kemungkinan imunokompromais.



Diagnosis meningitis bakteri – Anak ≤3 tahun Sulit didiagnosis pada stadium dini. Gejala klasik seperti kaku kuduk, fotofobia, sakit kepala, demam, dan muntah-muntah sering tidak terlihat. Ubunubun besar yang menonjol merupakan tanda meningitis stadium lanjut, kadang hal ini tersamar pada anak dengan dehidrasi akibat demam atau muntah-muntah. Berikut ini adalah tanda dan gejala meningitis yang mungkin ditemukan pada bayi dan anak kecil: • Koma • Mengantuk (sering ditandai dengan kurangnya kontak mata) • Rewel atau menangis yang tidak mudah ditenangkan orang tua • Tidak nafsu makan • Demam tanpa penyebab yang jelas • Kejang dengan/atau tanpa demam • Apnea atau sianosis • Ruam purpura – Anak >3 tahun Pada anak berusia lebih dari 3 tahun, meningitis cenderung menunjukkan gejala-gejala klasik, sebagian disertai koma atau kejang. Pada semua anak yang tampak sakit dan menderita demam yang tidak jelas sebabnya, sebaiknya diperiksa adanya kaku kuduk atau ruam purpura. Ditemukannya



ruam merupakan tanda yang patognomonik untuk infeksi meningokokus dan pengobatan segera sangat diperlukan.



Pungsi lumbal Tujuan pungsi lumbal adalah untuk memastikan diagnosis meningitis dan mengenal kuman penyebab, serta mencari kerentanan terhadap antibiotik. Risiko coning (pembentukan contong/ kerucut) dan kematian dapat terjadi pada anak dengan peningkatan TIK yang bermakna. Hasil funduskopi yang normal tetap dapat dijumpai pada peningkatan TIK yang akut dan berat. Kontra indikasi relatif pungsi lumbal antara lain: – Kejang lama atau fokal – Gejala neurologis fokal, seperti gerakan atau refleks anggota badan yang asimetris, kelumpuhan bolat mata – Ruam purpura luas pada anak sakit – Skala koma Glasgow < 13 – Dilatasi pupil – Refleks okulosefalik terhambat (Doll’s eyes reflex) – Postur atau gerakan abnormal – Bradikardia, tekanan darah naik, respirasi ireguler – tanda-tanda herniasi otak – Gangguan koagulasi – Edema papil



Tatalaksana darurat Apabila seorang anak jelas menderita penyakit meningitis, pemberian antibiotik dan suportif harus segera diberikan setelah pengambilan kultur darah, PCR, dan apus tenggorok. Antibiotik spektrum luas sesuai pola kuman penyebab (contoh: sefotaksim 100 mg/kg IV sebagai dosis awal, diberikan perlahan 10-15 menit).



Reye’s Syndrome Merupakan kondisi idiopatik, diduga terdapat hubungan dengan konsumsi aspirin, sehingga aspirin sekarang dilarang digunakan pada anak di bawah usia 16 tahun. Keadaan yang relatif jarang ini ditandai dengan gejala



APRC



67



ensefalopati yang progresif, muntah-muntah hebat, mengantuk, kejang, atau koma. Dapat ditemukan hepatomegali (karena perlemakan hati), hipoglikemia, peningkatan enzim hati, atau peningkatan amoniak serum. Pada keadaan ini, segera konsultasikan dengan ahlinya dan segera tatalaksana secara intensif.



11.11. KESIMPULAN Perlu dilakukan pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran secara sistematis: – Penilaian primer dan resusitasi – Penilaian sekunder – Penatalaksanaan kegawatdaruratan – Stabilisasi dan rujukan untuk terapi definitif



Malaria Serebral Plasmodium falciparum menyebabkan kematian sebesar 95% dan komplikasi parah. Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Manifestasi malaria serebral meliputi penununan kesadaran sampai koma yang progresif, kejang-kejang, asidosis, anemia berat, atau peningkatan TIK. Pemeriksaan untuk menunjang diagnosis adalah pemeriksaan gambaran darah tepi untuk mencari parasit malaria. Berikan artesunat loading dose 2,4 mg/kgBB selama 2 menit, diulang 12 jam kemudian. Selanjutnya satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.



Daftar bacaan 1.



2.



3.



4.



5.



11.10. RUJUKAN Setelah anak stabil dan kondisi seperti hipoglikemia, meningitis, dan keadaan darurat lainnya tertangani, beberapa anak masih belum dapat ditentukan penyebab penurunan kesadarannya. Anak yang masih sakit berat dan belum diketahui penyebab penurunan kesadaran, memerlukan konsultasi kepada konsultan neurologi anak, konsultan endokrin metabolik, dan lainnya sesuai indikasi. Anak perlu dirawat di ICU anak. Untuk rujukan yang aman mungkin pasien memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Dokumentasi pemeriksaan neurologis sebelum anak dibuat paralisis harus lengkap.



68



BAB 11: Penurunan Kesadaran



6.



7.



8.



9.



Komisi Resusitasi Pediatrik, UKK PGD IDAI. Kumpulan Materi Pelatihan Resusitasi Pediatrik Tahap Lanjut. Jakarta, p. 117-34. Samuels M, Wieteska S, ed. Advanced Paediatric Life Support: The Practical Approach. 5th ed. British Med Journal Publication, 2011; p. 116-27. Santhanam I, ed. Pediatric Emergency Medicine Course, 2nd ed. India: Jaypee Brothers Medical Publisher, 2013; p. 187-95. Andrewsm BT, Hammer GB. The Neurological Examination and Neurological Monitoring in Pediatric Intensive Care, 1st ed. The American Association of Neurologicak Surgeons. Park Ridges, Illinois, 1997. Chamedes L, Hazinski MF. Pediatric Advance Life Support, American Heart Association and American Academy of Pediatrics, Emergency Cardiovascular Care Program, 1997-1999. Bergman I. Pediatric Neurological Assessment and Monitoring, 1st ed. Fuhrman, BP, Zimmerman, JJ. Pediatric Critical Care. Mosby Year Book, Louis, 1992. Lazuardi S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Koma pada Anak. Pusponegoro HD, Passat J. Kedaruratan Saraf Anak. Naskah lengkap PKB IKA-FKUI ke VXIII, Jakarta 1989. Yatsiv I. Central Nerve System Evaluation and Monitoring, 1st ed. Holbrook, PR. Textbook of Pediatric Critical Care. Williams & Wilkins. Baltimore, 1996. Michelson D, Thompson L, Williams EA.Evaluation of stupor and coma in children. In: Patterson MC, Wilterdink JL, Armsby C editor. UpToDate. :UpToDate 2018 [cited 2021 Nov 20]



BAB 12 Obstruksi Jalan Napas Atas



12.1. PENDAHULUAN



Tidak adanya tulang rawan membuat jalan nafas lebih mudah kolaps, ketika sumbatan jalan napas terjadi di supraglotis. Risiko ini meningkat pada anak yang lebih muda dimana jalan napas subglotis lebih kecil dan lebih lemas (tulang rawan belum terbentuk sempurna). Supraglotis mudah tersumbat oleh lendir, darah, pus, edema, konstriksi, tekanan eksternal atau perbedaan tekanan yang terjadi selama usaha napas spontan pada sumbatan jalan napas. Edema mukosa sedikit saja dapat mempersempit diameter saluran napas dan menyebabkan meningkatnya tahanan aliran udara dan usaha bernapas. Menangis dapat memperburuk hipoksia karena menangis meningkatkan turbulansi udara pada saluran napas yang tersumbat. Semua tindakan harus hati-hati untuk mencegah anak stridor menangis.



Kesulitan bernapas adalah keluhan yang sering ditemukan pada kondisi gawat darurat. Penyebab tersering kesulitan bernapas disebabkan karena gangguan pada saluran napas atas dan bawah. Penyebab lain adalah gangguan pada otot-otot pernapasan, diafragma dan abdomen, kelainan metabolik seperti asidosis metabolik dan keracunan yang menyebabkan peningkatan upaya bernapas, dan gangguan pusat pernapasan pada peningkatan tekanan intrakranial Obstruksi jalan napas berat menyebabkan gagal napas. Gagal napas adalah ketidakmampuan mekanisme kompensasi fisiologis untuk mencukupi pasokan oksigen dan pengeluaran karbondioksida, yang menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkarbia atau keduanya.



12.2. PATOFISIOLOGI



12.3. PENDEKATAN UMUM



Jalan napas atas dimulai dari hidung sampai ke bronkus utama. Stridor, suara napas abnormal bernada tinggi, merupakan tanda sumbatan parsial dari jalan napas atas. Efek dari sumbatan jalan napas atas dapat dijelaskan dengan “efek venturi”. Tekanan udara yang bergerak melewati pipa yang menyempit (dalam hal ini saluran napas yang tersumbat) akan turun, hal ini menyebabkan selama inspirasi, jalan napas cenderung akan kolaps. Secara anatomi, jalan napas atas dibagi menjadi supraglotis, glotis, dan subglotis. Pita suara, glotis, atau trakea. Trakea tidak mudah kolaps dibandingkan dengan supraglotis karena trakea didukung oleh tulang rawan.



1. Hindari manuver di bawah ini pada anak dengan stridor • Jangan pisahkan anak dari ibunya Periksa dan tangani anak di pangkuan ibunya • Hindari mengubah posisi nyaman anak Jangan membaringkan anak stridor yang gelisah pada tempat tidur, hal ini dapat menimbulkan sumbatan jalan napas total • Hindari memasang masker oksigen secara paksa pada anak yang sedang menangis. Pemasangan masker dapat dibantu oleh orang tua pasien



69



2. Tentukan keparahan obstruksi • Lakukan pemeriksaan kesadaran, kelainan serebral, kardiopulmonal cepat untuk menentukan apakah dapat ditangani di IGD atau di kamar operasi • Bila terdengar suara seperti air yang terperangkap di ruang sempit, kemungkinan saluran napas penuh dengan sekret dan membutuhkan pembersihan. Anak mungkin terlalu lelah sehingga tidak bisa membersihkan saluran napasnya sendiri • Bila terdapat suara mengorok, pikirkan anak mengalami penurunan kesadaran yang menyebabkan obstruksi parsial saluran napas atas • Bila terdapat stridor keras yang disertai batuk batuk yang menggonggong, pikirkan croup sebagai penyebab obstruksi • Bila terdapat stridor halus dan anak tampak sakit berat, pikirkan epiglotitis • Bila sesak terjadi mendadak, pikirkan adanya sumbatan benda asing di jalan napas 3. Secara simultan, lakukan anamnesis terarah untuk memperkirakan anatomi sumbatan. 5A membantu identifikasi tempat sumbatan: • Age/ umur: berapa umur anak? • Acuity/ ketajaman: apakah hiperakut, akut, kronik, atau akut pada kondisi kronis? • Acoustics/ suara: apakah stridor kasar atau halus? • Associated symptoms/ gejala yang berhubungan: demam, disfagia, atau mengeluarkan air liur? • Aggravating factors/ faktor yang memperburuk? • Kualitas suara: serak atau redam?



12.4. TEMPAT OBSTRUKSI Supraglotis Supraglotis meliputi hidung sampai pita suara. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bagian ini dapat melar dan kolaps dengan mudah karena tidak memiliki tulang rawan. Adanya sumbatan supraglotis, misalnya di atas level esofagus, seperti epiglotitis atau abses retrofaring 70



BAB 12: Obstruksi Jalan Napas Atas



menyebabkan terkumpulnya saliva, dengan gejala dan tanda klinis sebagai berikut: 1. stridor halus (mungkin tidak dikeluhkan ibu pasien) 2. mengeluarkan air liur dan disfagia 3. suara redam/ hot potato voice 4. batuk yang tidak efektif



Glotis Bagian glotis dan subglotis dari pita suara sampai trakea (sebelum memasuki regio torakal). Karena tulang rawan krikoid dan tulang rawan cincin trakea mengelilingi daerah ini, maka glotis dan subglotis tidak mudah kolaps seperti supraglotis. Penyebab paling sering obstruksi pada daerah ini adalah inflamasi dan edema akibat laringotrakeobronkitis akut. 1. suara serak 2. stridor kasar saat inspirasi atau ekspirasi atau bifasik (pada kedua fase respirasi). 3. batuk keras/brassy cough atau barking cough 4. mengeluarkan air liur dan disfagia tidak khas pada sumbatan glotis, kecuali sumbatannya cukup besar untuk menekan esofagus



Intratoraks Jalan nafas intratoraks terdiri dari trakea dan bronkus utama. Sumbatan pada jalan nafas intratoraks menyebabkan stridor, paling keras terdengar pada saat ekspirasi. Peningkatan tekanan intratoraks selama ekspirasi menyebabkan jalan nafas kolaps. Selama inspirasi, tekanan intratoraks turun. Akhirnya, jalan nafas yang tersumbat semakin meluas, suara yang terdengar semakin melemah. Malformasi kongenital jalan nafas merupakan penyebab tersering sumbatan di toraks.



12.5. ETIOLOGI OBSTRUKSI 1. Umur anak membantu identifikasi etiologi • Stridor pada bayi yang lebih muda banyak disebabkan oleh kelainan kongenital. Anak yang lebih tua (1-4 tahun) lebih banyak disebabkan oleh infeksi atau aspirasi benda asing (Tabel 12.1).



Tabel 12.1. Etiologi stridor Infeksi • Croup • Epiglotitis akut • Trakeitis bakteri • Abses retrofaring



• Croup jarang terjadi pada bayi  50% prediksi atau terbaik



BERAT  Bicara dalam kata  Duduk bertopang lengan  Gelisah  Frekuensi napas meningkat  Frekuensi nadi meningkat  Retraksi jelas  SpO2 (udara kamar)