Buku Prosiding SINI III 2018 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROSIDING Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Tips & Trick to Achieve Successful Endodontic Treatment, Restorative & Aesthetics Dentistry Yogyakarta, 24-25 November 2018



Editor : drg. Diatri Nari Ratih,M.Kes.,Sp.KG(K),Ph.D drg. Margareta Rinastiti, M.Kes.,Ph.D.,Sp.KG Reviewer : Dr.drg.Ema Mulyawati,M.S.,Sp.KG(K) Dr.drg.Yulita Kristanti, M.Kes.,Sp.KG(K) Dr.drg.Tunjung Nugraheni,M.Kes.,Sp.KG(K) drg.Nunuk Purwanti,M.Kes.,Ph.D drg.H.Dedy Kusuma Yulianto,M.Biotech.,Ph.D Dr.drg.Juni Handajani,M.Kes.,Ph.D drg.Heni Susilowati,M.Kes.,Ph.D Dr.drg.Dyah Irnawati,M.S Desain & Layout : drg. Arlina Nurhapsari,Sp.KG drg. Gustantyo Wahyu Wibowo,Sp.KG



Diterbitkan Oleh: PENGURUS PUSAT IKATAN KONSERVASI GIGI INDONESIA (PP IKORGI) Jl. Denta, Sekip Utara Bulaksumur, Yogyakarta Telp : 082135858232 Email : [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Tips & Trick to Achieve Successful Endodontic Treatment, Restorative & Aesthetics Dentistry ISBN : 978-602-19108-7-0 All rights reserved. This book or any part thereof may not be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, or otherwise, without prior written permission of the publisher



Copyright 2018 by Pengurus Pusat Ikatan Konservasi Gigi Indonesia



i



KatA PengantaR Assalamualikum Wr.Wb Salam Sejahtera bagi kita semua Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita dikaruniai kesempatan untuk menyelenggarakan Seminar Ilmiah Nasional Ikorgi (SINI III ) tahun ini. Merujuk pada UU Praktek Kedokteran Nomor 29 tahun 2004, bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Penyelenggaraan seminar ilmiah ini bertujuan untuk meningkatkan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan dan ketrampilan bagi semua anggota ikorgi, guna mengantisipasi perkembangan IPTEKDOKGI yang sangat cepat secara global. Seminar ilmiah ini juga sangat bermanfaat dalam ajang publikasi hasil penelitian maupun standar pelayanan kesehatan di bidang konservasi gigi, baik teknologi restorasi maupun endodontik. Pengurus Pusat Ikatan Konservasi Gigi Indonesia yang merupakan induk organisasi para dokter gigi spesialis konservasi gigi, bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan anggotanya dalam mendapatkan Satuan Kredit Profesi (SKP) yang menjadi persyaratan PB PDGI untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR ) bagi dokter gigi spesialis konservasi gigi yang menjalankan profesinya. Maka SINI III ini dapat menjadi wahana untuk memperoleh SKP yang dibutuhkan Pengurus Pusat Ikorgi mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ikatan Konservasi gigi cabang Jogyakarta yang telah bekerjasama dengan pengurus pusat untuk terselenggaranya SINI III ini dan terima kasih disampaikan juga kepada semua pihak maupun para vendor yang telah mendukung terselenggaranya SINI III ini . Akhir kata semoga seminar ilmiah ikorgi ( SINI III ) dapat berjalan dengan selamat dan sukses. Semoga Tuhan Memberkati kita semua.



Wignyo Hadriyanto, drg,MS,SpKG(K) Ketua Pengurus Pusat Ikatan Konservasi Gigi Indonesia



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



ii



KatA pengantaR Sistem pelayanan kesehatan gigi di Indonesia terus berkembang, sehingga sangatlah penting bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang bermutu dari praktisi medis yang kompeten. Di samping itu, di era digital saat ini, akan selalu terjadi inovasi baru dalam dunia kedokteran gigi. Dokter gigi dituntut untuk selalu membuka diri, memperbaharui ilmu, keterampilan dan menambah wawasan teknologi kedokteran gigi yang berkembang pesat dan penuh inovasi. Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III (SINI III) ini diadakan sebagai sarana untuk mengikuti perkembangan iptek dan meningkatkan profesionalisme dokter gigi sehingga dapat menciptakan dokter gigi dan dokter gigi spesialis konservasi gigi yang menguasai teknologi dan perkembangan keilmuan paling mutakhir. Buku prosiding ini memuat lebih dari 80 makalah lengkap yang dipresentasikan oleh rekan-rekan sejawat dari berbagai institusi pendidikan, rumah sakit dan praktisi dokter gigi spesialis maupun umum dalam Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III (SINI III) ini. Kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi para rekan sejawat, dan kami mohon maaf bila dalam pegelolaan dan penerimaan makalah banyak terdapat kekurangan. Masukan dan kritik membangun sejawat kami harapkan untuk perbaikan dimasa mendatang. Akhir kata semoga buku prosiding ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



drg. Pribadi Santosa, M.S., Sp.KG (K) Ketua Panitia SINI III



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



iii



DaftaR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii POTENCY OF NANO-CHITOSAN IRRIGANT AND ELECTROCHEMICAL ACTIVATION IN ELIMINATING E.FEACALIS : LITERATURE REVIEW Daisy Susilo*, Trimurni Abidin ** 1 EFEK IN-OFFICE BLEACHING TERHADAP WARNA, KEKERASAN MIKRO, DAN KEKASARAN PERMUKAAN RESTORASI NANO (TINJAUAN PUSTAKA) Sally Salsalina K*, Dennis ** 7 ENDODONTIC TREATMENT ON LATEX ALLERGY PATIENT : A CASE REPORT Benny Perabuwijaya*, Trimurni Abidin** 12 KURET APIKAL PADA KEGAGALAN ENDODONTIK DENGAN OVERFILLING Weni Sri Rahayu*, Ema Mulyawati**



16



RESISTENSI FRAKTUR ENDOCROWN DENGAN DESAIN MARGIN SERVIKAL YANG BERBEDA – TINJAUAN PUSTAKA Hilma Fitria Zulfa Noor* Rasinta Tarigan** 23 ENDODONTIC RETREATMENT IN 2 DIFFERENT C-SHAPED CANAL CONFIGURATION : A CASE SERIES Dwi Pusparani*, Dennis**,Trimurni Abidin ** 28 MINERAL TRIOXIDE AGGREGATE VS CALCIUM HYDROXIDE IN DIRECT PULP CAPPING: LITERATURE REVIEW Ardo Sabir*,Christine A Rovani**



34



UJI EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BIJI ALPUKAT TERHADAP FUSOBACTERIUM NUCLEATUM (IN VITRO) Cut Nurliza*, Yenni Windasari** 39 THE EFFECT OF CHITOSAN HIGH MOLECULAR NANO RESTORATIVE DEGRADATION : LITERATURE REVIEW Brian Merchantara*, Trimurni Abidin** 44 REPLANTASI GIGI AVULSI Dian Natalina Fuddjiantari*, R. Tri Endra Untara**



49



PERAWATAN ENDODONTIK PADA GIGI INSISIF LATERAL KANAN ATAS DIIKUTI DENGAN RESEKSI APEKS AKAR Senny Kandarani*, Adioro Soetojo** 56 Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



iv PULPEKTOMI DENGAN MAHKOTA JAKET PORSELIN PADA GIGI DENGAN FRAKTUR ELLIS KELAS III Dessy Natalia*, Yulita Kristanti**



62



ESTETIK KOMPLEKS LIMA GIGI ANTERIOR MAKSILA DENGAN CROWN LENGTHENING Meliana Ganda Wijaya*, Yulita Kristanti**, Wignyo Hadriyanto**, Dayinah**, Pribadi Santosa** 67 PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI MOLAR SATU MAKSILA DENGAN RESTORASI ONLAY KOMPOSIT INDIREK Diandra*, Irmaleny** 73 MANAJEMEN KONVENSIONAL RESORPSI AKAR EKSTERNAL PADA GIGI ANTERIOR PASCA TRAUMA Aristya Purnama Dewi*,Wignyo Hadriyanto** 78 BLEACHING INTRAKORONAL DIIKUTI RESTORASI DIRECT RESIN KOMPOSIT PADA DISKOLORASI INTRINSIK GIGI ANTERIOR Rindu Swakahati*, Wignyo Hadriyanto**



83



PERAWATAN ESTETIK KOMPLEKS DENGAN MULTIPLE DIASTEMA PADA ENAM GIGI ANTERIOR MAKSILA Naresworo Apsari*, Wignyo Hadriyanto** 89 PERAWATAN ULANG DAN BLEACHING INTRAKORONAL PADA INSISIVUS SENTRALIS KIRI MAKSILA Mira Lovita* , Yulita Kristanti**



95



ENDODONTIK KONVENSIONAL SEBAGAI MANAJEMEN NON BEDAH PADA GIGI DENGAN PERIODONTITIS APIKALIS ASIMTOMATIK Bayu Aji Kurniawan*, Pribadi Santosa** 100 PENATALAKSANAAN ABSES PERIAPIKAL YANG BESAR PADA GIGI INSISIV SENTRAL RAHANG ATAS : LAPORAN KASUS Dwita Budiarti.*, Ira Widjiastuti**



106



PENDEKATAN KLINIS DALAM KEGAGALAN ENDODONTIK: LAPORAN KASUS Tri Sari Dewi Purba* Dennis** Trimurni Abidin**



111



MANAGEMEN PADA INSTRUMEN PATAH DENGAN METODE BYPASS : LAPORAN KASUS Imelda Darmawi*, Dennis**, Trimurni Abidin ** 115 PEMANFAATAN IKAN TERI MEDAN DAN JAMUR SEBAGAI SUPLEMEN PENINGKATAN DENSITAS TULANG MANDIBULA RATTUS NORVEGICUS (STUDI INVIVO) Nevi Yanti *, Dina Keumala Sari **, Ameta Primasari ***, Nenni Dwi Aprianti Lubis ** Ika Astrina Tampubolon****



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



119



v PERAWATAN RETREATMENT PADA GIGI MOLAR MANDIBULA DENGAN INSTRUMEN PATAH: LAPORAN KASUS Ivan Poltak Sitompul*, Trimurni Abidin**



124



RESEKSI APIKAL GIGI INSISIVUS LATERALIS SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK DISERTAI PERIODONTITIS APIKAL SIMTOMATIK Hendri Eko Wahyudi*, Nanik Zubaidah** 127 APEX RESEKSI SEBAGAI PERAWATAN LESI PERIAPIKAL YANG LUAS PADA GIGI INSISIF SENTRAL RAHANG ATAS Rizky Harris Setyawibawa*, Moh. Rulianto ** 134 MANAJEMEN ENDODONTIK PADA MOLAR PERTAMA MANDIBULAR DENGAN SUPERNUMERARY DISTAL ROOT(RADIX ENTOMOLARIS) Juliana Siregar Siagian*, Dennis**, Trimurni Abidin **



140



PENDEKATAN KONSERVATIF DALAM PENANGANAN GIGI POSTERIOR YANG SPLIT : LAPORAN DUA KASUS Dwi Yani Sastika G*, Dennis**, Trimurni Abidin**



143



PERAWATAN ULANG ENDODONTIK PADA GIGI INSISIVUS BAWAH DENGAN LESI PERIAPIKAL PADA PASIEN DIABETES : LAPORAN KASUS Rina Oktavia*, Dennis**, Trimurni Abidin**



151



PERAWATAN ENDODONTIK SATU KUNJUNGAN PREMOLAR PERTAMA MAKSILA DENGAN RESTORASI MAHKOTA PFM Indracipta Munajat*, Opik Taofik Hidayat**



156



TANTANGAN MANAJEMEN DARI FRAKTUR KOMPLIKASI MAHKOTA GIGI PREMOLAR PADA PASIEN LANJUT USIA Yeamy Agustina Marpaung* Dennis ** Trimurni Abidin **



161



PENATALAKSANAAN GIGI INSISIVUS DENGAN KANAL BLUNDERBUSS DISERTAI DISKOLORASI DAN FRAKTUR MAHKOTA : LAPORAN KASUS Putu Dewi Purnama S.B*, Devi Eka Juniarti**



168



PERAWATAN ULANG SALURAN AKAR SEBAGAI MANAJEMEN NONBEDAH GIGI DENGAN PERIODONTITIS APIKAL SIMTOMATIK Gloria Fortuna*,Tunjung Nugraheni** 174 STUDI KASUS : PERAWATAN LESI PERIAPIKAL DENGAN APIKOEKTOMI PADA INSISIVUS MAKSILARIS PASCA PERAWATAN SALURAN AKAR Irmasmita Tasniadara*, Sri Kunarti**



178



PERAWATAN BLEACHING INTERNAL PADA DISKOLORASI GIGI ANTERIOR MAKSILA DENGAN APEKS TERBUKA : LAPORAN KASUS Normayanti*, Nirawati Pribadi**



183



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



vi BEDAH APIKAL DENGAN MTA DAN BONE GRAFT PADA GIGI DENGAN KISTA RADIKULER: LAPORAN KASUS Nindhira Puspita Sari*, Kun Ismiyatin**



187



APEKSIFIKASI PADA GIGI INSISIF SENTRAL RAHANG ATAS DENGAN RESTORASI DIREK RESIN KOMPOSIT Fajar Agus Muttaqin*, Tamara Yuanita**



193



PERAWATAN RESORBSI INTERNAL PADA GIGI INSISIF DENGAN MTA DAN THERMOPLASTICISED GUTTA PERCHA Mieke Kusuma Dewi*, Edhi Arif ** 196 PERAWATAN SALURAN AKAR PADA GIGI KANAN RAHANG ATAS RIWAYAT TRAUMA DENGAN APIKAL TERBUKA MENGGUNAKAN MINERAL TRIOXIDE AGGREGATE Uli Sasi Andari*; Setyabudi** 201 MANAJEMEN ENDODONTIK DAN BEDAH PADA GIGI INSISIF LATERAL KIRI ATAS DENGAN KISTA RADIKULER Marisa Irawan Ruslan *, Ari Subiyanto **



206



MANAGEMENT OF OPEN APEX IN MAXILLARY CENTRAL INSICIVUS WITH MINERAL TRIOXIDE AGGREGATE Koerniasari Eraiko Sudjarwo*, Kun Ismiyatin**



212



PERAWATAN SALURAN AKAR MOLAR KEDUA RAHANG MAKSILA DENGAN DUA AKAR PALATAL: LAPORAN KASUS Maria Liliana Santoso*, M.Mudjiono** 217 MANAJEMEN PERAWATAN INTERNAL BLEACHING PADA GIGI ANTERIOR KIRI ATAS DENGAN PERUBAHAN WARNA : LAPORAN KASUS Nanik Zubaidah*, Fresynandia Karyneisa Putri** 221 APEKSIFIKASI SEBAGAI PERAWATAN PADA GIGI DENGAN APEKS TERBUKA SETELAH TRAUMA Erdananda Nindya Wirawan*, Margareta Rinastiti**



225



REHABILITASI ESTETIK COMPLICATED CROWN FRACTURE PADA GIGI INSISIVUS SENTRALIS MAKSILA: LAPORAN KASUS Fitri Yunita Batubara*, Dennis**, Trimurni Abidin**



229



PENGARUH BAHAN IRIGASI TERHADAP KEKUATAN PERLEKATAN SEMEN RESIN DENGAN DENTIN SALURAN AKAR Namira Sabila*, Nevi Yanti**



233



PENGARUH BAHAN IRIGASI SALURAN AKAR TERHADAP KETAHANAN FRAKTUR AKAR: TINJAUAN PUSTAKA Jihan Rahmadian Fitria*, Nevi Yanti**



237



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



vii MANAGEMENT OF MAXILLARY CENTRAL INCISOR WHITE SPOT LESION WITH DIRECT PARTIAL COMPOSITE VENEER: A CASE REPORT Vemmia Anindita Dharsono*, Ira Widjiastuti**



243



APEKS RESEKSI SETELAH PERAWATAN ENDODINTIK DENGAN KELAINAN PERIAPIKAL Jayanti Rosha *, Sukaton **



247



APEKSIFIKASI DENGAN MINERAL TRIOXIDE AGGREGATE (MTA) PADA GIGI FRAKTUR INSISIF SENTRAL MAXILLA Diana Zakiyah*, Ruslan Effendy**



251



APEKS RESEKSI DAN PENGISIAN RETROGRADE SEBAGAI PERAWATAN TERHADAP GRANULOMA PERIAPIKAL : LAPORAN KASUS Wijayanti Siswanto*, Dian Agustin W**



257



EFEKTIVITAS PERAWATAN SALURAN AKAR SATU KALI KUNJUNGAN PADA TIGA GIGI ANTERIOR RAHANG BAWAH PADA PASIEN GERIATRI Dwina Rahmawati Junaedi*, Widya Saraswati **



263



PENATALAKSANAAN PERAWATAN PADA GIGI PREMOLAR PERTAMA KANAN RAHANG BAWAH DENGAN KONFIGURASI SALURAN AKAR VERTUCCI TIPE IV : LAPORAN KASUS Ridzki Almeria Oktavianti*, Dian Agustin Wahjuningrum**



267



PENATALAKSANAAN INSTRUMEN PATAH PADA GIGI ABSES PERIAPIKAL DENGAN VARIASI ANATOMIS: LAPORAN KASUS Aya Amida*, Hendra Dian Adhita Dharsono**, Anna Muryani**



271



PERAWATAN ENDODONTIK PADA MOLAR KEDUA MANDIBULA DENGAN KONFIGURASI AKAR C- SHAPED : LAPORAN KASUS Elvi Sahara* , Rahmi Alma Farah**



277



PERAWATAN SALURAN AKAR S-SHAPED PADA PASIEN GERIATRI ASA II: LAPORAN KASUS Ellizabeth Yunita*, Hendra Dian Adhita Dharsono**



283



PENUTUPAN DIASTEMA MENGGUNAKAN KOMBINASI RESTORASI DIREK RESIN KOMPOSIT DAN MAHKOTA PORSELAIN Kristya Asrianti Jarwadi*, Diatri Nari Ratih**



288



TEKNIK SUPERIMPOSE FOTO RONSEN SEBAGAI ACUAN DASAR DALAM MENENTUKAN UKURAN FILE PADA PREPARASI SALURAN AKAR Sophian Abdurahman*, Sulistrianingsih* 294 PENATALAKSANAAN INTRUSI INSISIVUS MAKSILA AKIBAT TRAUMA PADA ANAK DENGAN REPOSISI BEDAH : LAPORAN KASUS Aditya Hayu Nastiti*, Rinaldi Budi Utomo**



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



298



viii PENATALAKSANAAN ODONTEKTOMI GIGI MESIODENS BILATERAL DENGAN POSISI INVERTED PADA ANAK Wina Elia Sari Utami*, Emut Lukito** 303 MANAJEMEN RESORBSI AKAR EKSTERNAL MENGGUNAKAN MTA PADA GIGI INSISIF MAKSILA IMATUR DISERTAI DISKOLORASI Amanda Diah Prameswari Heriawan*, Tamara Yuanita**



307



PENATALAKSANAAN FRAKTUR MAHKOTA KOMPLEKS PADA GIGI DESIDUI DEPAN KIRI ATAS : LAPORAN KASUS Puji Kurnia*, Putri Kusuma WM** 312 PERAWATAN BLEACHING EKSTERNAL PADA GIGI DENGAN DISKOLORASI EKSTRINSIK : LAPORAN KASUS Juni Jekti Nugroho*, Yennata Saputra**



316



EVALUASI SATU TAHUN PERBAIKAN ESTETIK KOMPLEKS GIGI ANTERIOR DENGAN VENEER KOMPOSIT DIREK Priscilla Daniego Pahlawan*, Opik Taofik hidayat **



320



PENUTUPAN MULTIPEL DIASTEMA DENGAN VENEER DIREK KOMPOSIT : KONTROL SATU TAHUN Ovilya Septy Hutami*, Opik Taofik hidayat **



326



APEKSIFIKASI PADA GIGI INCISIVUS SENTRALIS KANAN RAHANG ATAS (11): LAPORAN KASUS Aries Chandra Trilaksana*, Nurwira** 333 BLEACHING EKSTERNAL PADA GIGI YANG DISKOLORASI AKIBAT KONSUMSI KOPI : LAPORAN KASUS Yusran M*,Nurhayaty Natsir** 338 PENATALAKSANAAN DISKOLORASI GIGI NON VITAL DENGAN BLEACHING INTERNAL : LAPORAN KASUS Aries Chandra Trilaksana*, Mufliha Siri**



342



KOREKSI ESTETIK PADA HYPOPLASIA ENAMEL MENGGUNAKAN VENEER PORCELAIN : LAPORAN KASUS Arfina Sari Hamid*, Aries Chandra Trilaksana**



347



PENATALAKSANAAN PERAWATAN SALURAN AKAR MELENGKUNG PADA GIGI PREMOLAR PERTAMA RAHANG ATAS KIRI : LAPORAN KASUS Widy*, H.D. Adhita Dharsono** 351 MANAJEMEN ENDODONTIK PADA SALURAN AKAR BENGKOK J-SHAPED DAN APLIKASI BONDED OVERLAYS Pradipto Natryo Nugroho *, Sri Kunarti **



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



355



ix PERAWATAN IN-OFFICE BLEACHING PADA GIGI DENGAN DISKOLORASI EKSTRINSIK: LAPORAN KASUS Juni Jekti Nugroho*, Dyna Puspasari**



362



PERAWATAN BEDAH APIKAL ULANG PADA LESI KISTA PERIAPIKAL GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA : LAPORAN KASUS Wandania Farahanny*, Trimurni Abidin* 366 BLEACHING INTERNAL PADA GIGI YANG MENGALAMI DISKOLORISASI AKIBAT TRAUMA: LAPORAN KASUS Tirta Asprimi Angraeni*, Nurhayaty Natsir** 371 VENER DIRECT PADA GIGI INCISIVUS SENTRALIS YANG MENGALAMI INTRUSI : LAPORAN KASUS Yakobus Yanni*, Nurhayaty Natsir** 375 BLEACHING INTERNAL GIGI INSISIVUS YANG MENGALAMI OBLITERASI AKIBAT TRAUMA : LAPORAN KASUS Christine Anastasia Rovani*, Bulkis Thahir**



379



KEBERHASILAN PERAWATAN ULANG SALURAN AKAR GIGI YANG LEDGE DISERTAI LESI PERIAPIKAL : LAPORAN KASUS Taufik Amrullah*,Christine Anastasia Rovani**



383



PERAWATAN ENDODONTIK SATU KALI KUNJUNGAN PADA GIGI PULPITIS IRrEVERSIBEL DENGAN RESTORASI OVERLAY Juni jekti Nugroho*, Nenny Athriana Farma**



388



PENGARUH APLIKASI KARBAMID PEROKSIDA 10% SECARA HOME BLEACHING TERHADAP KEKERASAN PERMUKAAN GIGI Deli Mona*, Hanna Hashufa Aliju** 393 CROWN LENGTHENING FUNGSIONAL DISERTAI RETREATMENT DENGAN RESTORASI MAHKOTA PASAK Regia Aristiyanto*, Diatri Nari Ratih**



399



PENGGUNAAN BIODENTINE SEBAGAI BAHAN PENUTUP PERFORASI IATROGENIK PADA GIGI DENGAN FURCATION DEFECT Renna Maulana Yunus*, Munyati Usman**



405



PERAWATAN SALURAN AKAR VITAL PADA GIGI MOLAR KEDUA MANDIBULA DENGAN NEKROSIS PARSIAL : LAPORAN KASUS Noni Maharani*, Dewa Ayu Nyoman Putri Artiningsih**



411



INSIDENSI RADIX ENTOMOLARIS PADA POPULASI DUNIA: TELAAH SISTEMATIK DAN META-ANALISIS Amanda Andika Sari*, Valonia Irene Nugraheni**, Deddy Dwi Septian***



415



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



x PERBEDAAN KEHERMETISAN TEKNIK OBTURASI SALURAN AKAR DITINJAU DARI RADIOGRAF PERIAPIKAL Noor Hafida Widyastuti*, Alfatisa Riski Dewantari **



422



PENATALAKSANAAN KISTA RADIKULAR REKUREN PADA INSISIVUS SENTRAL MAKSILA Maria Yovita Lisanti*



427



PENGARUH BAHAN ADHESIF TERHADAP KEKUATAN GESER PELEKATAN REPARASI RESIN KOMPOSIT Andina Widyastuti*, R. Tri Endra Untara*, Raras Ajeng Enggardipta*



432



EFEKTIVITAS KOMBINASI EKSTERNAL IN OFFICE DAN HOME BLEACHING PADA GIGI VITAL : LAPORAN KASUS Maria Elisea Kiswantoro Hadinoto*, Ira Widjiastuti**



437



PERBAIKAN ESTETIK DAN FUNGSIONAL PADA GIGI ANTERIOR YANG CROWDED DISERTAI DENGAN MULTIPLE CARIES Nurlestari Kustartini*, Tamara Yuanita**



440



BIKUSPIDISASI : PENDEKATAN BEDAH PADA KASUS FURCATION INVOLVEMENT GIGI MOLAR PERTAMA MANDIBULAR DENGAN TRUE COMBINED LESION Aldila Ceasy Prameswari*, Tunjung Nugraheni** 446 MANAGEMENT OF TRAUMA-INDUCED EXTERNAL APICAL ROOT RESORPTION IN PERMANENT MAXILLARY CENTRAL INCISOR Aqilla Tiara Kartikaning Tyas*, Ema Mulyawati **



450



PERAWATAN NONBEDAH PADA APEKS TERBUKA DAN RESORPSI EKSTERNAL BERKAITAN DENGAN IMPAKSI KANINUS Cyntia Dewi Maharani*, Diatri Nari Ratih**, Margareta Rinastiti**



455



PERAWATAN SALURAN AKAR SATU KUNJUNGAN PADA MOLAR MANDIBULA DENGAN PERIODONTITIS APIKAL ASIMPTOMATIK Desi Wadianawati*, Ema Mulyawati**



460



ONE-STEP MTA APEXIFICATION FOR TRAUMATIZED IMMATURE PERMANENT TOOTH Raras Ajeng Enggardipta*, Ema Mulyawati**, Tri Endra Untara**



465



HEMISECTION – A SURGICAL APPROACH TO IATROGENIC COMPLICATION OF ENDODONTICS THERAPY: A CASE REPORT Selvia Martinova* , Wignyo Hardianto**, Pribadi Santosa**



470



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PO-01



Daisy Susilo,Trimurni Abidin



1



POTENCY OF NANO-CHITOSAN IRRIGANT AND ELECTROCHEMICAL ACTIVATION IN ELIMINATING E.FEACALIS : LITERATURE REVIEW Daisy Susilo*, Trimurni Abidin ** *Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan **Staff Departemen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan



ABSTRACT Background: The elimination of intracanal bacterial populations and their products from an infected root canal are essential for the successful outcome of endodontic treatment. Irrigation and agitation have been performed in conjunction with endodontic therapy for many years. Purpose: This review discusses the available literature on nano-chitosan and electrochemical activation in eliminating E. feacalis. Method: The cleanliness involves both elimination of microorganisms specially E. Faecialis and removal of organic and anorganic matter. E. feacalis, which can be found in treated and untreated root canals, is highly associated with failures. Techniques, instruments, and equipments have been developed to improve clinical work and achieve a high treatment success rate. The irrigant agents that usually used in endodontic are sodium hypochloride, chlorhexidine, EDTA and chitosan had high success rate in endodontic. In addition to optimize microbial reduction, electrochemical activation has proven to be an adjunctive therapy for endodontic treatment due to the turbulence generated by the activation thus the irrigation fluid can enter the dentinal tubules and create a microcavities that can eliminate bacteria, organic and non-organic matter. Result: With the effect of acoustic streaming and cavitation, it is possible to help chitosan nanoparticle to eliminate e.faecalis in the dentinal tubules. Conclusion: Further research is needed on the effects of chitosan which has biocompatible and antibacterial properties by using electrochemical agitation to eliminate E.faecalis. Keywords: electrochemical activation, endodontic treatment, chitosan, E.facealis



INTRODUCTION In most cases where endodontic treatments prove unsuccessful, it is due to treatment procedures that have failed to meet a satisfactory standard for control and elimination of infection.1,2,3 Guerreiro-Tanomaru et al discussed that E. faecalis is the most frequently observed microorganism in persistent infections associated with endodontic failure.4 Borzini et al discussed that elimination of microbes from the pulpal tissue as well as in root canals is the main goal when aiming to prevent and treat pulpal and periapical lesions.1 Hosseini et al, Nicoletti et al have discussed that irrigation has a central role in endodontic treatment. NaOCl and CHX have been used as irrigant solution in endodontic treatment.5,6 CHX has a broadspectrum antibacterial action, sustained action and lower toxicity than NaOCl. In addition, NaOCl and CHX, it is unable to kill all bacteria and cannot remove the smear layer.



Another irrigant solution is EDTA. It is a good chelating agent and is used for removal of the inorganic portion of the smear layer but EDTA has little or no antibacterial effect.5 Hosseini et al, Perochena et al have reports have shown that chitosan and chitosan derivative materials have good biocompatibility. Conversely, studies have shown varying antimicrobial activity of chitosan against Gram-positive and Gram-negative bacteria. Chitosan advantages include antibacterial effect, biocompatibility, nontoxicity, biodegradability and chelating potential.5,7 To optimize microbial reduction, electrochemical activation has proven to be an adjunctive therapy for endodontic treatment due to the turbulence generated by the activation thus the irrigation fluid can enter the dentinal tubules and create a microcavities that can eliminate bacteria, organic and non-organic matter.8 The aim of this article is (a) to describe characteristics E. faecalis; (b) to discuss root canal irrigant; (c) to



Korespondensi: Daisy Susilo, Residen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara, Jl. Alumni no. 2 Kampus USU, Medan 20155, Indonesia. Alamat e-mail: [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



POTENCY OF NANO-CHITOSAN IRRIGANT AND ELECTROCHEMICAL ACTIVATION IN ELIMINATING E.FEACALIS : LITERATURE REVIEW



2 discuss effect of electrochemical activation. CHARACTERISTICS E. FAECALIS E. faecalis is a normal inhabitant of the oral cavity. In the category of primary endodontic infections.9 E. faecalis is associated with asymptomatic chronic periradicular lesions significantly more often than with acute periradicular periodontitis or acute periradicular abscesses. E. faecalis is found in 4 to 40% of primary endodontic infections. Pinheiro et al. found E. faecalis in 52.94% of canals with bacterial growth. This microorganism has demonstrated the capacity to survive in an environment in which there are available nutrients and in which commensality with other bacteria is minimal.1 The most-cited virulence factors of E. faecalis that may be related to endodontic infection and the periradicular inflammatory response are aggregation substance, surface adhesions, sex pheromones, lipoteichoic acid, extracellular superoxide production, the lytic enzymes gelatinase and hyaluronidase, and the toxin cytolysin. Each of them may be associated with various stages of an endodontic infection as well as with periapical inflammation.1 Sedgley et al have found that viable E. faecalis was recovered from all root filled teeth and from 95–100% of unfilled inoculated teeth.10 In in vitro studies, E. faecalis has been shown to invade dentinal tubules whereas not all bacteria have this ability. E. faecalis, unlike others, was found to colonize the root canal in most cases and to survive without the support of other bacteria. E.faecalis is a microorganism that can tolerate extreme conditions.1 Enterococci can withstand harsh environmental conditions. As originally defined by Sherman (1937), Enterococci can grow at 10°C and 45°C, at pH 9.6, in 6.5% NaCl broth, and survive at 60°C for 30 minutes.11 ROOT CANAL IRRIGANT Using root canal irrigant solutions has proved to be essential in endodontic treatment. To effectively clean and disinfect the root canal system, an irrigant should ideally: (a) have a broad antimicrobial spectrum and high efficacy; (b) be able to digest proteins and necrotic tissue, ;(c) prevent the formation of a smear layer during instrumentation or dissolve the latter once it has formed; (d) present low surface tension to reach areas inaccessible to the tools (dentin tubules); (e) offer long-term antibacterial effect, (f) keep dentinal debris in suspension; (g) provide a lubricating action Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



for root canal instruments; (h) be non-antigenic, nontoxic and non-carcinogenic. In addition, it should have no adverse effects on dentin or the sealing ability of filling materials. Furthermore, it should be relatively inexpensive, convenient to apply and cause no tooth discoloration.1 The irrigant standard in endodontic treatment usually are sodium hypochlorite (NaOCl), chlorhexidine, ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), and nanoparticle chitosan. Sodium Hypochlorite (NaOCl) Sodium hypochlorite is the most commonly used root canal irrigant. It is an antiseptic and inexpensive lubricant that has been used in dilutions ranging from 0.5% to 5.25%. Free chlorine in NaOCl dissolves vital and necrotic tissue by breaking down proteins into amino acids. Decreasing the concentration of the solution reduces its toxicity, antibacterial effect and ability to dissolve tissues. Increasing its volume or warming it increases its effectiveness as a root canal irrigant. Advantages of NaOCl include its ability to dissolve organic substances present in the root canal system and its affordability. In addition, it does not kill all bacteria, nor does it remove all of the smear layer. It also alters the properties of dentin. The results of a recent in vitro study show that the most effective irrigation regimen is 5.25% at 40 minutes, whereas irrigation with 1.3% and 2.5% NaOCl for this same time interval is ineffective in removing E. faecalis from infected dentin. Based on the findings of this study, the authors recommend the use of other irrigants to increase the antibacterial effects during cleaning and shaping of root canals.12 The major disadvantages of this irrigant are its cytotoxicity when injected into periradicular tissues, foul smell and taste.11 Nicoletti et al have discussed that is still widely used for disinfecting root canals during endodontic therapy in most parts of the world. It is usually employed at 0.5-6.0% concentrations. For a proper antimicrobial activity, NaOCl must be prepared freshly just before its use. Exposure of NaOCl solution to oxygen, at room temperature under light can inactivate it significantly.6 Del Carpio et al have discussed that the use of NaOCl in a high concentration of this solution for long periods of time may cause damage into the dentin.7 The results of a recent in vitro study show that the most effective irrigation regimen is 5.25% at 40 minutes, whereas irrigation with 1.3% and 2.5% NaOCl



3



Daisy Susilo,Trimurni Abidin



for this same time interval is ineffective in removing E. faecalis from infected dentin cylinders. Based on the findings of this study, AAE recommend the use of other irrigants to increase the antibacterial effects during cleaning and shaping of root canals.12 Chlorhexidine (CHX) Hosseini et al have discussed that an alternative irrigant solution is CHX. Gomez et al have discussed that 2% CHX gel has several advantages over 2% CHX solution, in spite of having similar antimicrobial, substantivity and biocompatibility properties. The CHX gel lubricates the root canal walls, which reduces the friction between the file and the dentin surface, facilitating the instrumentation and decreasing the risks of instrument breakage inside the canal. In addition, by facilitating instrumentation, CHX gel improves the elimination of organic tissues, which compensates for its incapacity to dissolve them. Another advantage of CHX gel is the reduction of smear layer formation, which does not occur with the liquid form. CHX has a broadspectrum antibacterial action, sustained action and lower toxicity than NaOCl. The major advantages of chlorhexidine over NaOCl are its lower cytotoxicity and lack of foul smell and bad taste. In addition, like NaOCl, it is unable to kill all bacteria and cannot remove the smear layer. 7,11,13 Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) Chelating agents such as ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) is used for removal of the inorganic portion of the smear layer. Irrigation with 17% EDTA for one minute followed by a final rinse with NaOCl is the most commonly recommended method to remove the smear layer. Longer exposures can cause excessive removal of both peritubular and intratubular dentin. EDTA has little or no antibacterial effect.12 Chitosan Nanoparticle Nanoparticles are widely used in healthcare sector as well as industry for varied applications including antimicrobials. Nanoparticle drug delivery system offers advantages such as better bioavailability, efficacy, solubility and encapsulation of the drug compared to conventional systems. The versatility to be modified into various sizes as well as chemical modifications could be advantageous for targeted antibacterial applications.



Furthermore, the nanoparticles could be delivered into the anatomical complexities and dentinal tubules were bacteria are known to escape the conventional disinfection strategies. The choice of the carrier in a nanoparticle delivery system is crucial since it can affect protection, retention and bioavailability of the drug or the natural active ingredient. Chitosan is a natural cationic polysaccharide derived by N-deacetylation of chitin. Chitosan is reported to exhibit adhesiveness, biocompatibility and biodegradability and is widely used in biomedical and pharmaceutical applications. Chitosan can be used in dental application and corneal implants, based on its ability to form thin films 5,7,14,15 Hosseini et al,Del Carpio et al have reports have shown that chitosan and chitosan derivative materials have good biocompatibility. Conversely, studies have shown varying antimicrobial activity of chitosan against Gram-positive and Gram-negative bacteria.5,7 Del Carpio et al have found that chitosan nanoparticles could be used as a final irrigant during root canal treatment with the dual benefit of removing the smear layer and inhibiting bacterial recolonization on root dentin.7 DISINFECTION OF THE ROOT CANAL SYSTEM For many years various methods have been proposed and developed to make root canal irrigants more effective in removing debris and bacteria from the root canal system. 16 In addition to optimize microbial reduction, sonic, ultrasonic, laser activated irrigation systems, and electrochemical activation has proven to be an adjunctive therapy for endodontic treatment due to the turbulence generated by the activation thus the irrigation fluid can enter the dentinal tubules and create a microcavities that can eliminate bacteria, organic and non-organic matter.16 Sonic Activation Sonic activation makes use of instruments that have an enforced vibration at one end (at the hand piece) and are allowed to vibrate freely at the other end. Sonic devices operate at audible frequencies ( below 20kHz) and have file oscillation amplitudes up to 1mm. 16



Ultrasonic Activation Ultrasonic have n enforced vibration at one end Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



POTENCY OF NANO-CHITOSAN IRRIGANT AND ELECTROCHEMICAL ACTIVATION IN ELIMINATING E.FEACALIS : LITERATURE REVIEW



4



Figure 1: Schematic representation of the acoustic streaming that is induced by an ultrasonically oscillating instrument (black circle). Near the instrument there is a boundary layer in which the fluid oscillates together with the file (oscillatory component). In the direction of oscillation, jets are formed (steady component) that may impact on a nearby root canal wall and flow back toward the file (steady component) (entrainment).16



Figure 2: ketch of the removed mechanisms of a biofilm from a surface. The biofilm may be attacked chemically, after which the consumed irrigant has to be replaced by mixing with fresh irrigant. Refreshment of the irrigant involves a flow that exerts shear stress on the wall. Finally, cavitation (formation and collapse of bubbles) may enhance the biofilm removal locally.16



and are allowed to vibrate freely at the other end. Ultrasonic devices operate at higher frequencies (typically 20-200kHz) and have amplitudes less than 100µm. The higher frequency employed by ultrasonic activation leads to a more complex pattern of nodes and antinodes.16 Ultrasonic use to activate irrigant in the canal has shown to be a clinically proven and efficient adjunct to cleaning and shaping instrument sequences and is used by many endodontic specialists. Ultrasonic activation of irrigants produces at least 2 helpful effects:16,17,18 1. Cavitation, defined as the formation of thousands of tiny bubbles which rapidly implode, producing a "shock wave" removing biofilm. 2. Acoustic streaming which produces shear forces that will help extricate debris from instrumented canals.



near the apex of the root canal, or in the pulp chamber with normal fibers or specially developed fiber. 17



Laser activation Laser activation have a wavelength in infrared region (2796-2940 nm) that is absorberd well in water. The dynamic of laser activation have been studied using high speed imaging showing the generation and implosion of a large vapor bubble at the tip of the fiber, generated by the absorption of laser energy fast heating of the irrigant. The collapse of this bubble may induce shock wave and additional bubbles throughout the root canal system. The laser fiber tip may be placed Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



Electrochemical activation Electrochemical activation occurs in the electrolysis cell, consisting of the cathode and the anode separated by a special semi-permeable membrane (diaphragm) which separates water to alkaline fraction – the catholyte and acidic fraction – the anolyte. When electric current passes through water, a series of redox reactions occur on the surface of the cathode and anode. As a result of this, new elements are formed and the composition of water and the water structure is also changed.19 Photodynamic Therapy In recent years, photodynamic therapy (PDT) has been the subject of research as a new therapeutic modality to improve results with significant bacterial reduction in the root canal system. PDT is based on the association between a light generated by a lowpower laser and a nontoxic photosensitizer (dye), in the presence of oxygen. The photosensitizer excited by the laser light reacts with the molecular oxygen (O2) to generate singlet oxygen (1O2) and reactive oxygen species such as superoxide (O2-), hydroxyl radical (OH) and hydrogen peroxide (H2O2). Both free radicals and O2 are capable of acting in several cellular components



5



Daisy Susilo,Trimurni Abidin



of the bacteria through oxidation or reduction reactions, causing cellular destruction.20 DISCUSSION Kayaoglu et al have discussed that E. faecalis can adapt to adverse conditions: Following pre-exposure to sublethal stress conditions, E. faecalis becomes less sensitive to normally lethal levels of sodium dodecyl sulfate, bile salts, hyperosmolarity, heat, ethanol, hydrogen peroxide, acidity, and alkalinity; furthermore, 'cross-protection' is pronounced against diverse challenges. Starving E. faecalis cells maintain their viability for extended periods and become resistant to UV irradiation, heat, sodium hypochlorite, hydrogen peroxide, ethanol, and acid. E. faecalis, moreover, can enter the viable but non-cultivable (VBNC) state, a survival mechanism adopted by a group of bacteria when exposed to environmental stress, and resuscitate upon returning to favorable conditions. The ability of E. faecalis to tolerate or adapt to harsh environmental conditions may act as an advantage over other species. It may explain its survival in root canal infections, where nutrients are scarce and there are limited means of escape from root canal medicaments. In in vitro studies, E. faecalis has been shown to invade dentinal tubules, whereas not all bacteria have this ability.13 Nicoletti et al have discussed that NaOCl is an irrigant solution which is known to many root canal patients for its bitter taste. Surprisingly, this toxic irrigant is still widely used for disinfecting root canals during endodontic therapy in most parts of the world. It is usually employed at 0.5-6.0% concentrations. NaOCl is mostly used for its excellent tissue-dissolving and antimicrobial properties. Nevertheless, it has many problems. For a proper antimicrobial activity, NaOCl must be prepared freshly just before its use. Exposure of NaOCl solution to oxygen, at room temperature under light can inactivate it significantly.6 Estrela et al have evaluated that NaOCl or CHX showed low ability to eliminate E. faecalis when evaluated by either culture or PCR techniques.21 Another irrigant that used in endodontic is EDTA. It is a good chelating agent and is used for removal of the inorganic portion of the smear layer but EDTA has little or no antibacterial effect.5 Chitosan has been researched extensively owing to its excellent antimicrobial and antifungal properties. Qi et al have discussed about antibacterial activity of chitosan is influenced by a number of factors that



include the type of chitosan, the degree of chitosan polymerization and some of its other physicochemical properties. Chitosan exhibits higher antibacterial activity against Gram-positive bacteria than Gramnegative bacteria. The antibacterial activity of chitosan also depends on the molecular weight and solvent, and is inversely affected by pH, with higher activity at lower pH values. It was found to be more effective against fungi and viruses by some studies. The exact mechanisms of antibacterial action of chitosan and its derivatives are still not vivid.22 Qi et al, Rabea et al have discussed that chitosan mechanism is contact mediated killing that involves the electrostatic attraction of positively charged chitosan with the negatively charged bacterial cell membranes. This might lead to the altered cell wall permeability eventually resulting in rupture of cell and leakage of the proteinaceous and other intracellular components.22,23 Del Carpio et al have found that chitosan nanoparticles could be used as a final irrigant during root canal treatment with the dual benefit of removing the smear layer and inhibiting bacterial recolonization on root dentin.7 Hosseini et al study have suggested that the use of chitosan as a possible alternative to replace EDTA. CS, even at the lowest concentration, was capable of adequately removing the smear layer from the dentin surface causing little erosion of dentin.5 Photodynamic therapy (PDT) is a new technique introduced in endodontics that combines the action of a photosensitizer (dye) and a low intensity light source. Nunes et al, Tennert et al reported that PDT was effective against E. faecalis.20,24 CONCLUSION With the effect of acoustic streaming and cavitation, it is possible to help chitosan nanoparticle to eliminate e.faecalis in the dentinal tubules. Further research is needed on the effects of chitosan which has biocompatible and antibacterial properties by using electrochemical agitation to eliminate E.faecalis. REFERENCES 1.



Borzini L, Condò R, De Dominicis P, Casaglia A, Cerroni L.,2016,Root Canal Irrigation: Chemical Agents and Plant Extracts Against Enterococcus faecalis. The Open Dentistry Journal,10:692-703.



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



POTENCY OF NANO-CHITOSAN IRRIGANT AND ELECTROCHEMICAL ACTIVATION IN ELIMINATING E.FEACALIS : LITERATURE REVIEW



6 2. 3. 4.



5. 6. 7.



8.



9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.



17. 18. 19.



Waltimo T.M.T, Sen B.H., Meurman J.H., Ørstavik D, Haapasalo M.P.P.,2003,Yeasts in Apical Periodontitis. Crit Rev Oral Biol Med,14(2):128-137. Cha´vez de Paz L.E., Bergenholtz G, Svensa¨ter G.,2010 The Effects of Antimicrobials on Endodontic Biofilm Bacteria. JOE,36 (1):70-77. Tanomaru J.M.G., Andrade G.M.C., Faria-Júnior N.B., Watanabe E., Filho M.T., 2015, Effect of Passive Ultrasonic Irrigation on Enterococcus faecalis from Root Canals: An Ex Vivo Study. Braz Dent J,26(4). Hosseini S., Kassaee Z.M., Elahi S.H., Bolhari B., 2016, A New Nano-Chitosan Irrigant with Superior Smear Layer Removal and Penetration. Nanochem Res,1(2): 150-156 Nicoletti M.A., Siqueira E.L., Bombana A.C., Oliveira G.G., 2009. Shelf-Life of a 2.5% Sodium Hypochlorite Solution as Determined by Arrhenius Equation. Braz Dent J,20(1): 27-31. del Carpio-Perochena A.,Bramante M.C., DuarteM.A.H.,, Moura M.R., Aouada F.A., Kishe A., 2015, Chelating and antibacterial properties of chitosan nanoparticles on dentin. ISSN 2234-7658. Hubble T.S., Hatton J.F., Nallapareddy S.R., Murray B.E., Gillespie M.J., 2003. Influence of Enterococcus faecalis proteases and the collagen-binding protein, Ace, on adhesion to dentin. Oral Microbiol Immunol,18:121-126. Stuart C.H., Schwartz S.A.,Beeson T.J.,Owatz C.B.,2006. Enterococcus faecalis: Its Role in Root Canal Treatment Failure and Current Concepts in Retreatment. JOE,32(2):93-98. Sedgley C.M, Lennan S.L.,Appelbe.O.K., 2005. Survival of Enterococcus faecalis in root canals ex vivo. International Endodontic Journal, 38:735–742. Kayaoglu G., Ørstavik D., 2004. Virulence Factors Of Enterococcus Faecalis: Relationship To Endodontic Disease. Crit Rev Oral Biol Med,15(5):308-32. American Association of Endodontists., 2011.Root Canal Irrigants and Disinfectants. Gomes B.P.F.A., Vianna M.E., Zaia A.A., Almeida J.F.A, SouzaFilho F.J., Ferraz C.C.R.,2013. Chlorhexidine in Endodontics. Brazilian Dental Journal,24(2): 89-102. Shrestha S.,Fong S.W., Khoo B.C., Kishen A., 2009. Delivery of Antibacterial Nanoparticle0s into Dentinal Tubules Using High-intensity Focused Ultrasound. JOE, 35(7) : 1028-1033. Ong H.T., Chitra E., Ramamurthy S., Siddalingam R.P., Yuen K.H., Ambu S.P., Davamani F.,2017. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0174888 Luc van der Sluis, Verhaagen B, Macedo R., Versluis M., 2014, Disinfection of the Root Canal System by Sonic, Ultrasonic, and Laser Activated Irrigation : Cohenca N., Disinfection of Root Canal Systems The Treatment of Apical Periodontitis. John Wiley & Sons, Inc. Dalai D.R., Bhaskar D.J., Agali R.C.A, Singh N., Singh H.,2014, Modern Concepts of Ultrasonic Root Canal Irrigation. International Journal of Advanced Health Sciences, 1(4). van der Sluis L.W.M.,Versluis M.,Wu M.K.,Wesselink P.R.,2007. Passive ultrasonic irrigation of the root canal: a review of the literature. International Endodontic Journal, 40: 415–426 Lata S.,Mohanty S.K.,Pradhan P.K.,Patri G.,Sinha S.P., Agrawal P.,2016, Anti bacterial Effectiveness of Electro- Chemically Activated (ECA) Water as a Root Canal Irrigant- An Invitro Comparative Study. Journal of Clinical and Diagnostic Research,10(10):138-142



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



20. Nunes, M.R.,Mello I.,Franco G.C.N.,de Medeiros J.M.F.,Ferreira dos Santos S.S.,Habitante S.M.,Lage-Marques J.L.,Raldi D.P.,2011. Effectiveness of Photodynamic Therapy Against Enterococcus faecalis, With and Without the Use of an Intracanal Optical Fiber: An In Vitro Study. Photomedicine and Laser Surgery,29 (12):803–808 21. Estrela C.,Silva J.A.,Gonçalves De Alencar A.H.,Leles C.R.,Decurcio D.A.,2008. Efficacy Of Sodium Hypochlorite And Chlorhexidine Against Enterococcus Faecalis – A Systematic Review. J Appl Oral Sci,16(6):364-8. 22. Qi L.F., Xu Z.R.,Jiang X.,Hu C.H.,Zou X.F., 2009. Preparation and antibacterial activity of chitosan nanoparticles.Carbohydrate Research,339:2693–2700. 23. Rabea E.I.,Badawy M.E.T.,Stevens C.V.,Smagghe G.,Steurbaut W.,2003. Chitosan as Antimicrobial Agent: Applications and Mode of Action. Biomacromolecules,4(6): 1457-1465. 24. Tennert C., Feldmann K., Haamann E., Al-Ahmad A., Follo M.,Wrbas k.T., Altenburger M.J.,2014. Effect of photodynamic therapy (PDT) on Enterococcus faecalis biofilm in experimental primary and secondary endodontic infections. BMC Oral Health,14(1).



PO-03



Sally Salsalina K, Dennis



7



EFEK IN-OFFICE BLEACHING TERHADAP WARNA, KEKERASAN MIKRO, DAN KEKASARAN PERMUKAAN RESTORASI NANO :TINJAUAN PUSTAKA Sally Salsalina K*, Dennis ** *Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan **Staff Departemen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan



ABSTRACT Background : In recent years, there has been an increased demand for improvement in the appearance of natural teeth for esthetic reason and quality of life . There are number of causes affecting the color of teeth , with the main causes being enamel discoloration or damage, degeneration of pulp tissue, heavy bleeding after pulp extirpation, trauma, infection, drugs. Objective : The aim of this literature review is to evaluated the interaction between bleaching and color, micro hardness and surface roughness of nano restorative materials. Review : The treatment methods to enhance esthetic appeal by controlling tooth discoloration are tooth bleaching and using esthetic restorative materials. The conservative technique of tooth bleaching has gained attention and acceptance from both patients and clinicians. Despite increased popularity , there is controversy surrounding the adverse effects of bleaching on dental materials. Bleaching agents may affect the surface of existing restorations. Given the fact over 40% of the population has at least one dental restorative materials, the effect of different bleaching treatments on dental materials have received much attention. Further improvement of dental composites are nano filled and nano hybrid composites. These composites may present smaller changes of bleaching agents because its filler size of 5–20 nm . Conclusions : Considering the cost and benefit for the patient to replace existing restoration, it is important to understand the effect of bleaching agents on the physical properties such as color, microhardness and surface roughness of the nano restorative materials and it needs further research. Keyword : bleaching, nano restorative , color, micro hardness, roughness.



INTRODUCTION The pursuit of an esthetic smile has stimulated the search for effective treatments and alternatives to increase its attractiveness. In recent years, there has been an increased demand for improvement in the appearance of natural teeth for esthetic reason and quality of life. There are a number of causes affecting the color of teeth, with the main causes being enamel discoloration or damage, degeneration of pulp tissue, heavy bleeding after pulp extirpation, trauma, infection, drugs. Discoloration of teeth can be attributed to various etiologies. Discoloration was described as “any change in the hue, color, or translucency of a tooth due to any cause. One of the treatment methods to enhance esthetic appeal by controlling tooth discoloration is tooth bleaching and using esthetic restorative materials. 1,2 Tooth whitening is a highly desirable esthetic treatment, since it is conservative and can lead to satisfactory results for changing dental color. Many agents for whitening teeth have been introduced.



Among them, sodium perborate, carbamide peroxide and hydrogen peroxide are used most widely either alone or in combination. 3 Hydrogen peroxide is an important agent used in dental bleaching that is capable of penetrating tooth structures, releasing free radicals, and oxidizing chromophore molecules, by means of redox processes. The penetration of these oxidative agents in dental structures breaks these chromophore molecules into less complex molecules, giving a brighter aspect to the tooth.4 Given the fact over 40% of the population has at least one dental restorative materials, the effect of different bleaching treatments on dental materials have received much attention.1 Bleaching agents may be applied to the surface of preexisting restorations. The use of these solutions on restorative materials— especially composite resins—seems to result in different effects on surface hardness and roughness. 5 The dental composite is made up of four major components: an organic polymer matrix, inorganic filler particles, a coupling agent, and an initiator-accelerator system. Further improvement of dental composites



Korespondensi: Sally Salsalina Ketaren drg, Residen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara, Jl. Alumni No. 2 Kampus USU, Medan 20155. Alamat e-mail: [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



EFEK IN-OFFICE BLEACHING TERHADAP WARNA, KEKERASAN MIKRO, DAN KEKASARAN PERMUKAAN RESTORASI NANO (TINJAUAN PUSTAKA)



8 are nano filled and nano hybrid composites.6,7 A composite dental filling material with primary filler size of 5–20 nm that could be used in all areas of the mouth with high initial polish and superior polish retention, as well as excellent mechanical properties suitable for high stress–bearing restorations (typical of hybrid composites). Because of these properties the nano composites may present smaller changes of bleaching agents. Its surface properties may be different from those of hybrid composites. 8 Effect of bleaching on dental restorative materials in general has been reviewed recently. Due to their organic matrix, composite resin materials especially are more prone to chemical alteration compared to inert metal or ceramic restorations. Bleaching agents also deteriorate the surface of existing composite restorations and induce bacterial adhesion. 8 Generally, the microhardness decreased, the surface roughness increased, and there was some color change observed in the resin composites. Despite the general trend, there is some controversy regarding these conclusions.1 Bleaching agents may affect the color of existing composite restorations.8 Different bleaching eficiency on restorative materials may require the replacement of existing restorations for esthetic reasons.1 The aim of this literature review is to evaluated the interaction between bleaching and the color, microhardness and surface roughness of nano restorative materials. MECHANISM OF TOOTH BLEACHING Bleaching is a decoloration or whitening process that can occur in solution or on a surface. Many agents for whitening teeth have been introduced. Among them, sodium perborate, carbamide peroxide and hydrogen peroxide are used most widely either alone or in combination. 3 In an aqueous solution, due to heat or in an acidic environment, both carbamide peroxide and sodium perborate decompose and release hydrogen peroxide. Hydrogen peroxide then diffuses through enamel and dentin. Subsequently, the oxidative process provides for lightening of stains in comparison to the surrounding tooth structure. 2 The color producing materials in bleaching are typically organic compounds that possess extended conjugated chains of alternating single or double bonds and often include heteroatoms, carbonyl, and phenyl rings in the conjugated system and are often referred to as a chromophore. Bleaching and decoloration Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



of the chromophore can occur by destroying one or more of the double bonds in the conjugated chain, by cleaving the conjugated chain, or by oxidation of other chemical moieties in the conjugated chain. Hydrogen peroxide oxidises a wide variety of organic and inorganic compounds. The mechanisms of these reactions are varied and dependent on the substrate, the reaction environment, and catalysis. In general, the mechanism of bleaching by hydrogen peroxide is not well understood and it can form a number of different active oxygen species depending on reaction conditions, including temperature, pH, light and presence of transition metals. Under alkaline conditions, hydrogen peroxide bleaching generally proceeds via the perhydroxyl anion (HO2 ). Other conditions can give rise to free radical formation, for example, by homolytic cleavage of either an O–H bond or the O–O bond in hydrogen peroxide to give H + OOH and 2 OH (hydroxyl radical), respectively. Under photochemical initiated reactions using light or lasers, the formation of hydroxyl radicals from hydrogen peroxide has been shown to increase. 9 NANO RESTORATIVE MATERIALS Around the year 2000, nanotechnology allowed further improvement of dental composites and the launch of nano filled and nano hybrid composites. Nano filled composites contain silica and/or zirconia particles (5–20 nm) in the form of discrete/non-agglomerated particle and fused/ agglomerated nanoclusters (avg. size = 0.6– 10 μm). Nano hybrid composites contain silica/ zirconia nanoparticles and larger 0.6–1 μm glass/ zirconia/silica particles. Nano hybrid composites also contain pre polymerized resin fillers and nanoclusters. The new sol-gel technology used to create nano- sized filler particles allowed greater nano filler content compared to the traditional micro filled composites.6 The development of nanotechnology has made it possible to produce functional materials and nano size structures (0.1~100 nm). Resin composites containing nano size fillers have a higher filler content due to a decrease in the amount of empty free space within the resin matrix. The improved continuity between the host material (teeth) and restorative material can increase the strength and durability of resin composites. Resin nano-composites exhibit superior translucency and esthetics over conventional resin composites because the nano filled do not absorb a significant amount of visible incident light. 3



9



Sally Salsalina K, Dennis



EFFECT OF BLEACHING AGENTS ON PROPERTIES OF NANO RESTORATIVE MATERIALS The physical properties of restorative materials, such as micro hardness, flexural strength, flexural modulus, and fracture toughness, influence the quality and durability of restorations. A reduction in micro hardness due to organic matrix erosion may enhance the roughness of restorations and may decrease their wear resistance. 10 The success of these methods depends on two aspects: physical properties and esthetic factors. Esthetic factors conducive to satisfactory treatment results are color stability of the restorative treatment in the oral cavity. 1 Microhardness Yap et al found that the micro hardness of nano composite resin were reduced significantly with 20% and 35% CP. 11 Turker et al. reported that using 10% CP or 16% CP did not affect the micro hardness of the restorative materials. 12 Kwon et al was evaluated micro hardness using three different resin nanocomposites [Ceram X (CX), Grandio (GD), Z350 (Z3)] with two different bleaching agents (CP 15 % and HP 35 % ). After treatment, each resin product showed an 8.1~10.7% decrease from the original micro hardness. The difference in microhardness was not significant (P< 0.05). 3 Wattanapayungkul et al. reported that treating composite resins with a low peroxide concentration (10% and 15% carbamide peroxide) significantly increased their surface roughness after 8 weeks. They claimed that repolishing or replacement of toothcolored restorations may be required after bleaching procedures. 13 Surface micro hardness and texture of composite resin (nano hybrid and packable) remained stable after 15% CP treatment for 28 days.14 Soo et al., 2015 was evaluated that 25% HP does not have a statistically significant difference reduction in micro hardness of nano hybrid (p>0.05). 1 Most studies addressing the effects of bleaching agents on the surface properties of composite showed that the effect of bleaching on the surface texture is materialand time-dependent (Polydorou et al., 2006). 15 Surface Roughness The surface roughness of esthetic restorative materials is a clinically important physical property that has great impact on esthetics and oral health. A rough surface is more prone to the deposition of bacterial plaque and bacteria, triggering inflammation by gingival damage, and the patient is likely to feel



discomfort after restorative treatment. 16 Yap et al reported that the average surface roughness corresponding to a threshold value for bacterial adhesion in the oral cavity is 0.2 μm. When a surface roughness 0.01). They also assess treatment outcome of direct pulp capping with MTA versus Ca(OH)2. Potential prognostic factors were re-evaluated based on a larger sample size and longer follow-up periods. The overall success rates were 80.5% of teeth in the MTA group and 59% of teeth in the Ca(OH)2 group. There was significantly increased risk of failure for teeth that were directly pulp capped with Ca(OH)2 compared with MTA (P0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perubahan nilai kekerasan permukaan enamel gigi antara kelompok aplikasi dengan karbamid peroksida 10% selama 2 minggu dan 3 minggu. Lama waktu aplikasi karbamid peroksida 10% dalam penelitian ini adalah 8 jam per hari selama 2 minggu dan 3 minggu. Berdasarkan penelitian Attin dkk (2004), lama waktu aplikasi tersebut tidak menyebabkan perubahan kekerasan permukaan enamel yang bermakna. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Hosianna Br. B dkk (2011) yang menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi dan lama waktu aplikasi karbamid peroksida sebagai bahan home bleaching tidak mempengaruhi kekerasan permukaan enamel.16 Selain karena kandungan flourida dalam bahan pemutih gigi, remineralisasi juga diduga dapat terjadi sesudah proses pemutihan gigi karena setelah proses pemutihan selesai, sampel penelitian direndam dalam saliva buatan. Pada penelitian ini sampel gigi disimpan dalam inkubator suhu 37°C sehingga dapat mensimulasikan kondisi klinis rongga mulut selama proses penelitian. Berdasarkan penelitian Attin dkk (2004), mensimulasikan keadaan rongga mulut manusia di dalam penelitian laboratorium dapat memperkecil resiko penurunan kekerasan permukaan enamel selama proses pemutihan gigi.16



DAFTAR PUSTAKA



KESIMPULAN



12.



Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap penurunan kekerasan permukaan enamel gigi antara kelompok aplikasi karbamid peroksida 10% secara home bleaching selama 2 minggu dan 3 minggu. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diajukan saran untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh aplikasi karbamid peroksida 10% secara home bleaching terhadap kekasaran permukaan enamel gigi.



1.



2. 3. 4.



5. 6. 7.



8. 9.



10. 11.



13.



14. 15.



16.



17.



Torres, C. R. G., Ribeiro, C. F., Bresciani, E., & Borges, A. B. 2012. Influence of hydrogen peroxide bleaching gels on color, opacity, and fluorescence of composite resins. Operative Dentistry, 37(5): 526-531 Syafriadi, M., & Noh, T. C. 2014. Pengukuran kadar kalsium saliva terlarut pada gigi yang dilakukan eksternal bleaching dan dipapar dengan Streptococcus mutans. JIDA, 63(2):63-65 Garg, N., & Garg, A. 2010. Textbook of Endodontics. Edisi ke-2. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers: 443-452 Féliz-Matos, L., Hernández, L. M., & Abreu, N. 2014. Dental bleaching techniques; hydrogen-carbamide peroxides and light sources for activation, an update. Mini Review Article. The Open Dentistry Journal, 8: 264-268 Meizarini, A., & Rianti, D. 2005. Bahan pemutih gigi dengan sertifikat ADA/ISO. Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal), 38: 73-76 Suprastiwi, E. 2005. Penggunaan karbamid peroksida sebagai bahan pemutih gigi. Journal of Dentistry Indonesia, 12(3): 139-145 Summitt, J. B., Robbins, J. W., Hilton, T. J., & Schwartz, R. S. (Editor). 2006. Fundamentals of Operative Dentistry: A Contemporary Approach. Edisi ke-3. Quintessence Publishing Company: 437-450 Bernardon, J. K., Sartori, N., Ballarin, A., Perdigȃo, J., Lopes, G., & Baratieri, L. 2010. Clinical performance of vital bleaching techniques. Operative Dentistry Journal, 35(1): 3-10 Mondelli, R. F., Gabriel, T. R., Rizzante, F. A., Magalhȃes, A. C., Bombonatti, J. F., & Ishikiriama, S. K. 2015. Do different bleaching protocols affect the enamel microhardness. Eur J Dent, 9(1): 25-30 Kelleher, M. 2008. Dental Bleaching Operative Dentistry. London: Quintessence Publishing Co. Ltd: 2,9,97 Sasaki, R. T., Arcanjo, A. J., Florio, F. M., & Basting, R. T. 2009. Micromorphology and microhardness of enamel after treatment with home-use bleaching agents containing 10% carbamide peroxide and 7.5% hydrogen peroxide. JAOS, 17(6): 611-616 Ameri, H., Ghavamnasiri, M., & Abed, A. 2011. Effects of different bleaching time interval on fracture toughness of enamel. JCD, 14(1): 73-75 Mondelli, R. F., Gabriel, T. R., Rizzante, F. A., Magalhȃes, A. C., Bombonatti, J. F., & Ishikiriama, S. K. 2015. Do different bleaching protocols affect the enamel microhardness. Eur J Dent, 9(1): 25-30 Anusavice, K. J. 2003. Phillips’ Science of Dental Materials. Edisi ke-10. Alih Bahasa : drg. Johan Arief Budiman dan drg. Susi Purwoko. Jakarta: EGC: 57-58 Maia, E., Baratieri, L. N., de Andrada, M. A. C., Monteiro, S., & Vieira, L. C. C. 2008. The influence of two home-applied bleaching agents on enamel microhardness: an in situ study. Journal of Dentistry, 36(1): 2-7 Bangun, H. Br., Mulyawati, E., & Retnowati, E. 2011. Pengaruh perbedaan konsentrasi dan lama waktu aplikasi karbamid peroksida sebagai bahan home bleaching terhadap kekerasan email. Jurnal Kedokteran Gigi, 2(2): 98-104 Elfallah, H. M., Bertassoni, L. E., Charadram, N., Rathsam, C., & Swain, M. V. 2015. Effect of tooth bleaching agents on protein content and mechanical properties of dental enamel. Acta



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PENGARUH APLIKASI KARBAMID PEROKSIDA 10% SECARA HOME BLEACHING TERHADAP KEKERASAN PERMUKAAN GIGI



398 biomaterialia, 20: 120-128 18. Santoso T, P., Rianti, D., & Meizarini, A. 2009. Kekerasan permukaan email setelah aplikasi gel karbamid peroksida 10% dan pasta buah strawberry. Journal of Dentomaxillofacial Science, 8(2): 118-124



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PO-84 399



Regia Aristiyanto, Diatri Nari Ratih



CROWN LENGTHENING FUNGSIONAL DISERTAI RETREATMENT DENGAN RESTORASI MAHKOTA PASAK Regia Aristiyanto*, Diatri Nari Ratih**



*Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta **Staff Departemen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



ABSTRACT Background: Crown lengthening is one of the most common surgical procedures that facilitating restorative treatment. Crown lengthening was done on teeth with inadequate clinical crowns in the presence of deep and subgingival pathologies. Inadequate clinical crowns defined as tooth with less than 2 mm cervico-incisal of sound. Purpose: This case report decribes the management of patient with fracture of upper anterior teeth restoration with crown lengthening, retreatment and post crown restoration. Case: The 32 years old male patient complained broken restoration on upper left anterior tooth since one week ago. He also complained about upper right anterior tooth that turned brown. The tooth have been done root canal treatment with direct composite restoration since 2016, but the restoration on tooth 11 and 21 was inadequate and broken. Seen less than 2 mm remaining crown on tooth 11 and 21. The periapical radiograph examination showed tooth 11 and 21 was non-hermetic obturation. Case Management: Crown lengthening and reatment was performed on teeth 11 and 21, with porcelain crown restoration and fiber post. Conclusion: Crown lengthening result affects the quality of post retreatment restoration. Success crown lengthening marked there was no recurrent gingival hyperplasia after crown lengthening. Keywords: crown lengthening, retreatment, post crown



PENDAHULUAN Prosedur crown lengthening fungsional merupakan salah satu perawatan yang sering dilakukan untuk mengekspos atau membuka permukaan akar dengan merubah posisi jaringan gusi dan tepi tulang alveolar lebih ke apikal1. Prosedur tersebut bertujuan mempertahankan biological width yang berhubungan dengan kesehatan jaringan periodontal, serta memberikan retensi dan resistensi yang adekuat pada restorasi yang akan dilakukan2. Gigi yang membutuhkan retreatment pada umumnya memiliki kondisi dengan karies sekunder, fraktur pada mahkota dan atau fraktur pada restorasi yang luas. Tantangan pada retreatment berkaitan dengan isolasi, pengambilan bahan pengisi saluran akar dari perawatan sebelumnya, serta restorasi akhir3. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan retreatment adalah restorasi akhir4. Restorasi akhir pasca retreatment harus mampu mempertahankan dan melindungi struktur gigi yang ada, serta mengembalikan fungsi mastikasi dan estetik5. Gigi dengan kondisi mahkota yang hilang lebih dari setengah membutuhkan pasak saluran akar. Fungsi utama penggunaan pasak adalah retensi dan



mempertahankan inti pada gigi yang telah kehilangan struktur koronal secara luas6. Penggunaan mahkota jaket porcelain telah digunakan secara luas karena mampu memberikan hasil yang lebih estetis dibanding bahan restorasi lain7. KASUS Pasien pria berusia 32 tahun datang ke klinik Residen Konservasi Gigi RSGM Prof Soedomo FKG UGM mengeluhkan tambalan gigi kiri bagian depan atas patah sejak satu minggu yang lalu, serta mengeluhkan tambalan gigi kanan bagian depan atas goyang dan berubah warna menjadi kecoklatan. Pasien juga mengeluhkan bahwa dua gigi tersebut sakit sejak sekitar enam bulan yang lalu jika digunakan untuk makan. Gigi tersebut pernah dirawat beberapa kali kunjungan dan pernah ditambal sekitar dua tahun yang lalu. Tambalan gigi depan atas pernah lepas dua kali dan tambalan yang pertama lepas sekitar satu tahun bulan yang lalu, kemudian dilakukan penambalan ulang dua hari setelah tambalan lepas. Pasien tidak dicurigai memiliki penyakit sistemik dan tidak sedang dalam pengobatan medis. Pemeriksaan objektif menunjukkan bahwa terdapat



Korespondensi: Regia Aristiyanto, Residen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Denta Sekip Utara Yogyakarta, Indonesia. Alamat e-mail: [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



CROWN LENGTHENING FUNGSIONAL DISERTAI RETREATMENT DENGAN RESTORASI MAHKOTA PASAK



400 tumpatan resin komposit pada seluruh bagian mahkota gigi 11. Tumpatan resin komposit goyang dan terdapat perubahan warna, serta tampak sisa struktur gigi sekitar 1 mm. Gigi 21 terlihat menyisakan struktur gigi sekitar 0,5 mm supra gingiva (gambar 1). Pemeriksaan perkusi positif (sakit) pada



Dilakukan pengukuran untuk prosedur crown lengthening pada gigi 11 dan 21. Hasil pengukuran menunjukkan kedalaman sulkus hasil probing 0,5 mm (A), perkiraan jarak CEJ – alveolar crest berdasarkan radiograf 2 mm (B), biologic width yang diperlukan 2,04 mm (C),serta bagian labial yang ingin didapatkan dan minimal sisa jaringan keras gigi 11 dan 21 untuk ferulle effect yang dibutuhkan 2 mm (D), sehingga crown lenghtening yang dibutuhkan untuk tetap mempertahankan biological width adalah sebesar (C+D) – (A+B) = 4,04 – 2,5 = 1,54 mm. Tanda vital dalam keadaan normal, yaitu tekanan darah 120/70, denyut nadi 72x/menit, suhu tubuh 36,5 oC, dan respirasi 16/ menit.



(A) (B) Gambar 1. (A) Foto klinis gigi 11 dan 21, terlihat sisa struktur gigi 11 dan 21 kurang dari 2 mm dan terdapat perubahan warna pada restorasi gigi 11. (B) Radiograf periapikal awal gigi 11 dan 21 terlihat pengisian saluran akar kurang hermetis dan kurang mencapai konstriksi apikal.



Area bedah didisinfeksi dengan iod gliserin. Dilakukan anestesi infiltrasi pada lipatan mukolabial 11 dan 21 untuk anastesi nervus alveolaris superior anterior dan bagian palatal 11 dan 21 untuk anastesi nervus nasopalatinus gigi 11 dan 21 dengan larutan anastesi lidokain 2% yang mengandung epinefrin 1:80.000 (Pehacaine) sebanyak masing-masing 0,5 ml. Area yang akan diinsisi ditandai dengan periodontal pocket marker. Dilakukan pembuatan flap envelop dengan melakukan insisi menggunakan blade #15 (Gambar 2A), sedangkan gingiva bagian proksimal diinsisi menggunakan Orban. Kemudian dilakukan diseksi flap dengan raspatorium (Gambar 2B). Dilakukan pengurangan tulang alveolar dengan bur tulang bentuk bulat sesuai dengan perhitungan yang telah dilakukan pada bagian labial, palatal dan prosimal gigi 11 dan 21 (Gambar 3), kemudian dilakukan pembersihan sisa jaringan lunak menggunakan kuret (Gambar 4A) dan area kerja diirigasi menggunakan salin (Gambar 4B). Flap dikembalikan pada posisi semula, kemudian dilakukan penjahitan dengan teknik interupted (Gambar 5A). Daerah bedah dibersihkan dengan kain kasa steril yang telah dibasahi dengan salin. Kemudian daerah bedah ditutup dengan periodontal pack (Gambar 5B). Pasien diberi antibiotik amoksisilin 500 mg sebanyak 15 tablet (diminum setiap 8 jam dan harus dihabiskan), antiinflamasi kalium diklofenak 50 mg sebanyak 8 tablet (diminum setiap 12 jam), serta analgesik parasetamol 500 mg sebanyak 10 tablet (diminum setiap 8 jam dan muncul rasa sakit). Pasien juga diberi instruksi secara tertulis dan diberi instruksi untuk kontrol 1 minggu kemudian.



gigi 11 dan 21, sedangkan pemeriksaan palpasi dan mobilitas menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan radiograf pada gigi 11 dan 21 menunjukkan terdapat area radiopak pada saluran akar, namun terdapat area radiolusen pada 1/3 tengah saluran akar gigi 11. Area radiopak pada saluran akar gigi 21 terlihat kurang mencapai panjang gigi. Pada mahkota gigi 11 terdapat area radiopak pada seluruh permukaan mahkota dan terdapat radiolusen pada bagian 1/3 koronal saluran akar. Diagnosis yang ditegakkan pada gigi 11 dan 21 adalah previously treated disertai periodontitis apikalis simtomatik. Rencana perawatan pada gigi 11 dan 21 adalah KIE, crown lengthening, retreatment, serta mahkota jaket porcelain disertai pasak fiber. PENATALAKSANAAN KASUS Kunjungan pertama dilakukan pada tanggal 2 Juli 2018, dilakukan anamnesa secara lengkap, penegakan diagnosa, dan penetapan rencana perawatan. Pasien diberi penjelasan mengenai prosedur perawatan, biaya dan waktu perawatan. Pasien menandatangani informed consent karena telah menyetujui rencana perawatan. Pasien juga menyetujui untuk dilakukan publikasi terhadap rangkaian perawatan yang akan dilakukan sebagai sebuah studi kasus. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



401



Regia Aristiyanto, Diatri Nari Ratih







A) (B) Gambar 2. (A) Insisi bagian labial gigi 11 dan 21 dengan blade #15. (B) Diseksi flap menggunakan raspatorium



Gambar 3. Pengurangan tulang alveolar menggunakan bur tulang bentuk bulat







isolator. Kemudian dilakukan pengambilan guta perca dengan file retreatment (Maillefer, Dentsply). Saluran akar diirigasi dengan NaOCl 2,5%. Pengukuran panjang kerja dilakukan dengan pengukuran panjang kerja estimasi melalui foto radiograf, kemudian dikonfirmasi dengan electronic apex locator (ApexID, Sybron Endo). Dilakukan penentuan initial apical file, kemudian dilanjutkan dengan preparasi bagian apikal untuk mendapatkan master apical file dan preparasi badan saluran akar. Setiap pergantian file dilakukan irigasi dengan NaOCl 2,5% dan penggunaan agen kelasi EDTA (Glyde, Dentsply). Pada akhir preparasi, saluran akar diirigasi dengan Chlorhexidine digluconate 2% (Cavity Cleanser, Bisco). Akuades digunakan sebagai larutan irigasi perantara. Kemudian dilakukan pengambilan radiograf pengepasan master apical cone. Dressing saluran akar dengan kalsium hidroksid yang dicampur dengan gliserin, kemudian ditumpat sementara dengan cavit (Caviton, GC).



(A) (B) Gambar 4. (A) Pembersihan sisa jaringan lunak mneggunakan kuret (B) irigasi dengan larutan salin Gambar 6. Foto klinis kontrol 1 minggu pasca crown lengthening



(A)



(B) Gambar 5. (A) Penjahitan dengan teknik interupted (B) Aplikasi periodontal pack



Kunjungan kedua dilakukan pada tanggal 09 Juli 2018. Pada kontrol 1 minggu setelah operasi, luka bekas operasi baik, margin gingiva masih terdapat inflamasi dan pemeriksaan palpasi menunjukkan hasil negatif (Gambar 6). Dilakukan pemasangan rubber dam sebagai



(A) (B) Gambar 7. (A) Pengepasan kon utama terlihat guta perca sesuai dengan panjang kerja (B) Hasil obturasi saluran akar gigi 11 dan 21 terlihat hermetis



Kunjungan ketiga dilakukan pada tanggal 18 Juli 2018. Tidak terdapat keluhan pada gigi 11 dan 21. Dilakukan isolasi dan pembukaan tumpatan sementara pada gigi 11 dan 21. Kalsium hidroksid dikeluarkan dari saluran akar dengan irigasi menggunakan akuades. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



CROWN LENGTHENING FUNGSIONAL DISERTAI RETREATMENT DENGAN RESTORASI MAHKOTA PASAK



402 Selanjutnya dilakukan irigasi dengan NaOCl 2,5%, EDTA cair 17% dan Chlorhexidine digluconate 2%. Akuades digunakan sebagai larutan irigasi perantara. Kemudian saluran akar dikeringkan dengan paper point. Obturasi saluran akar dilakukan dengan teknik kondensasi lateral. Guta perca dipotong 2 mm dari orifis ke arah apikal dengan pluger (Heat Carrier Plugger, Dentsply) yang dipanaskan dan dikompaksi ringan arah vertikal. Dilakukan aplikasi basis dengan semen ionomer kaca (Fuji IX, GC) dan ditumpat sementara dengan kavit, kemudian dilakukan pengambilan foto radiograf untuk memeriksa hasil obturasi. Kontrol perawatan ulang saluran akar dilakukan seminggu kemudian, yaitu pada tanggal 25 Juli 2018. Pasien tidak mengeluhkan rasa sakit di antara waktu kunjungan dan tumpatan sementara dalam keadaan baik. Perawatan selanjutnya adalah restorasi mahkota jaket porcelain dengan penguat pasak fiber. Dilakukan preparasi mahkota jaket pada permukaan proksimal menggunakan round end tappered diamond bur, preparasi membentuk sudut kemiringan 6º terhadap poros gigi sebanyak 2 mm. Kemudian dilakukan preparasi permukaan labial menggunakan round end tappered diamond bur. Finish line dibentuk sedalam 0,5 mm subgingiva yang didahului dengan meretraksi gingiva dengan gingival cord. Preparasi bagian palatal menggunakan round end tappered diamond bur pada bagian cingulum ke arah servikal dan menggunakan pear shaped diamond bur pada bagian cingulum ke arah insisal sedalam 2 mm.







(A) (B) (C) Gambar 8. Gambaran radiograf pasca pengurangan guta perca dan tracing dengan precission drill (A) pada gigi 11 dan (B) pada gigi 21. (C) Pengepasan pasak gigi 11 dan 21. Terlihat panjang pasak sudah tepat pada preparasi saluran pasak



Gambar 9. Radiograf periapikal pasak yang telah disementasi pada gigi 11 dan 21



Selanjutnya dilakukan pengambilan guta perca dan preparasi saluran pasak dengan pesso reamer dan precision drill. Kontra bevel dibuat mengelilingi permukaan cavosurface ke arah insisal dengan flame diamond bur. Hasil preparasi dikonfirmasi dengan foto radiograf. Saluran pasak diirigasi dengan EDTA cair 17% dan Chlorhexidine Digluconate 2%, akuades digunakan sebagai larutan irigasi perantara. Dilakukan prosedur etsa pada permukaan mahkota gigi dengan asam fosfat 37%, kemudian dibilas. Saluran pasak dikeringkan dengan paper point dan kavitas dikondisikan lembap dengan cotton pellet lembab. Dilakukan aplikasi bonding (Prime and Bond Universal, Dentsply) pada permukaan mahkota gigi, dianginkan dan disinar dengan light cure unit selama 20 detik. Pasak fiber diolesi silan (Monobond Plus, Ivoclar Vivadent), kemudian diinsersi dengan semen resin (RelyX U200,3M ESPE). Pasak diinsersikan dengan cara mendorong ke dalam saluran pasak. Sisa semen dibersihkan dengan ekskavator, didiamkan beberapa saat, kemudian disinar dengan light curing unit. Dilakukan core build up menggunakan Fiber Reinforced



Gambar 10. Foto klinis pasca insersi mahkota jaket



Core Material (Build-it FR, Pentron). Selanjutnya dilakukan preparasi dasar mahkota jaket. Bagian insisal dipreparasi dengan round wheel diamond bur, preparasi proksimal membentuk sudut 60, serta preparasi bagian labial dan palatal dengan round Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



403



Regia Aristiyanto, Diatri Nari Ratih



end tappered diamond bur. Dilakukan pemeriksaan dan oklusi pasien untuk melihat ruang yang tersedia untuk ketebalan mahkota jaket. Selanjutnya dilakukan retraksi gingiva dan pencetakan model kerja. Rahang atas dicetak dengan teknik double impression, yaitu dengan hydrophilic polysiloxane impression material dan vinyl polysiloxane impression material, sedangkan rahang bawah dicetak dengan bahan cetak hydrocoloid irreversibel. Kemudian dilanjutkan pembuatan catatan gigit dengan wax dan mahkota sementara. Hasil cetakan diisi dengan menggunakan hard stone gips. Dilakukan penentuan warna mahkota gigi dengan shade guide Vitapan Classic, didapatkan warna A3. Kunjungan berikutnya dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2018, yaitu sementasi mahkota jaket porcelain. Mahkota sementara dilepas, kemudian gigi 11 dan 21 dibersihkan. Dilakukan pengepasan mahkota dan dilakukan pemeriksaan warna, kontur, embrasur, kerapatan tepi, oklusi dan kontak proksimal. Selanjutnya dilakukan disinfeksi dengan Chlorhexidine Digluconate 2%. Aplikasi etsa pada fitting surface mahkota jaket dengan hydrofluoric acid 9% selama 90 detik, kemudian cuci dan keringkan. Aplikasi asam fosfat 37% selama 5 detik untuk menghilangkan garam porcelain dan debris yang terbentuk pada pengetsaan dengan hydrofluoric acid 9%, kemudian cuci dan keringkan. Aplikasi silan pada fitting surface mahkota jaket. Semen resin diaplikasikan tipis pada fitting surface mahkota jaket yang sudah diolesi dengan silan. Mahkota jaket kemudian diinsersikan. Mahkota jaket didiamkan beberapa saat, kemudian dilakukan penyinaran dengan light curing unit selama 1 detik pada sisi labial dan palatal, ekses semen resin dibersihkan menggunakan ekskavator. Pada bagian interdental ekses semen dibersihkan menggunakan dental floss. Kemudian dilakukan penyinaran dengan light curing unit dari arah labial dan palatal. Kontrol pasca insersi mahkota jaket dilakukan seminggu setelah insersi. Pasien tidak ada keluhan di antara waktu kunjungan. Mahkota jaket pada gigi 11 dan 21 dalam keadaan baik, kerapatan tepi baik, tidak terdapat traumatik oklusi, serta tidak terdapat kelainan pada gingiva dan mukosa.



faktor yang menentukan keberhasilan perawatan3. Kesehatan jaringan pendukung gigi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan ketika restorasi diaplikasikan pasca perawatan endodontik, terutama pada gigi dengan sisa struktur mahkota dengan kedalaman subgingiva1. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan akumulasi plak dan menyebabkan kerusakan pada jaringan gingiva dan tulang alveolar harus dieliminasi8. Pada kasus di atas, panjang mahkota gigi 11 dan 21 tidak adekuat untuk dilakukan restorasi karena sisa struktur jaringan keras gigi 11 dan 21 kurang dari 2 mm. Restorasi mahkota jaket merupakan jenis restorasi paling ideal untuk mendapatkan restorasi yang kuat dan estetik. Restorasi mahkota jaket yang diperkuat dengan pasak dan inti akan menambah retensi dan resistensi mahkota jaket9. Resistensi mahkota jaket pada gigi pasca perawatan saluran akar dapat ditingkatkan dengan adanya ferrule effect10. Ferrule effect pada gigi dengan sisa struktur mahkota kedalaman subgingiva dapat diperoleh dengan prosedur crown lengthening fungsional. Prosedur crown lengthening fungsional dapat memberikan 2 mm jaringan keras gigi subgingiva yang dapat digunakan sebagai ferrule effect13. Prosedur crown lengthening pada kasus ini disertai dengan tindakan osteotomi karena perhitungan total jarak antara kedalaman sulkus dengan jarak cemento enamel junction ke alveolar crest berbeda dengan biological width (2,04 mm).



PEMBAHASAN



DAFTAR PUSTAKA



Restorasi pasca perawatan saluran akar atau perawatan ulang saluran akar merupakan salah satu



1.



KESIMPULAN Salah satu indikasi crown lengthening adalah indikasi fungsional yang berhubungan dengan perubahan posisi jaringan gingiva dan tepi tulang alveolar ke arah apikal. Pergeseran ke apikal jaringan gingiva dan tulang alveolar berfungsi untuk mencegah peradangan kronis pada jaringan periodontal akibat terganggunya biological width saat restorasi, serta memberikan retensi dan resistensi yang adekuat pada restorasi. Batas tepi gigi pasca crown lengthening yang berada pada area supragingival juga memberikan kondisi yang ideal pada prosedur sementasi mahkota jaket karena kondisi yang bersih dan kering mudah didapatkan12.



Lanning, S.K., Waldrop, T.C., Gunsolley, J.C., Maynard, J.G., 2003, Surgical Crown Lengthening: Evaluation of The Biological Width, J Periodontol, 74:468–74



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



CROWN LENGTHENING FUNGSIONAL DISERTAI RETREATMENT DENGAN RESTORASI MAHKOTA PASAK



404 2.



Kina, J.R., Dos Santos, P.H., Kina, E.F., Suzuki, T.Y., Dos Santos, P.L., 2011, Periodontal and Prosthetic Biologic Considerations to Restore Biological Width in Posterior Teeth, J Craniofac Surg. 22:1913–6 3. Gorni, F.G.M., Gagliani, M.M., 2004, The Outcome of Endodontic Retreatment: A 2-Years Follow-up. J Endod., 30(1):1–4 4. Chugal, N.M., Clive, J.M., Spångberg, L.S., 2007, Endodontic Treatment Outcome: Effect of The Permanent Restoration, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod., 104(4):576–582 5. Carlos, R.B., Nainan, M.T., Pradhan, S., Sharma, R., Benjamin, S., Rose, R., 2013, Restoration of Endodontically Treated Molars Using All Ceramic Endocrowns, Hindawi Publishing Corporation, Volume 2013, Article ID 210763 6. Bonfante, G., Kaizer, O.B., Pegoraro, L.F., do Valle, A.L., 2007, Fracture Strength of Teeth with Flared Root Canals Restored with Glass Fibre Posts, International Dental Journal, 57:153160 7. Goswami, R.P., Mankar, P., Mohan, S.A., 2015, Enhanced Esthetics by All- Ceramic Crown-Case Report, Journal of Applied Dental and Medical Sciences, Vol.1 Issue:1 8. Levine, D.F., Hnadelsman, M., Ravon N.A., 1999, Crown Lengthening Surgery: A Restorative-Driven Periodontal Procedure. J Calif Dent Assoc., 27:143-51 9. Eccles, J.D., Green, R.M., 1994 Konservasi gigi (terj.), ed.2, Jakarta: Widya Medika 127, 145. 10. Mutebi, A.K., Osman Y.I., 2004, Effect of The Ferrule on Fracture Resistance of Teeth Restored with Prefabricated Posts and Composite Cores, Afr Health Sci., 4(2): 131-135 11. Gegauff, A.G., 2000, Effect of Crown Lengthening and Ferrule Placement on Static Load Failure of Cemented Cast Post-Cores and Crowns, J Prosthet Dent., 84(2): 169-179 12. Patel, R.M., Baker, P., 2015, Functional Crown Lengthening Surgery in The Aesthetic Zone; Periodontic and Prosthodontic Considerations, Dent Update, 42 (1): 36–38, 41–42



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PO-85 405



Renna Maulana Yunus, Munyati Usman



PENGGUNAAN BIODENTINE SEBAGAI BAHAN PENUTUP PERFORASI IATROGENIK PADA GIGI DENGAN FURCATION DEFECT Renna Maulana Yunus*, Munyati Usman** *Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta **Staff Departemen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta



ABSTRACT Background: Iatrogenic root perforation occurs in approximately 2-12% of endodontically treated teeth. This condition can cause pain, suppuration, abscess, fistula and followed by bone resorption. When the infection has occurred, the prognosis of treatment will decrease and complications may require the tooth to be extracted. However, if perforation is found earlier and management is done correctly then the prognosis will be better. Objective: This case report is aim to know the effectiveness of Biodentine as repairing perforation material in molar with furcation defect. Case: The 35-year-old female patient came with a chief complaint of pain in her tooth. Intraoral examination ot the tooth 36 revealed a perforation on the floor of chamber. Periodontal probing showed 10 mm pockets depth and o2 tooth mobility. Diagnosis of tooth 36 is chronic pulpitis with class I furcation defect. Case Management: The perforation was sealed using Biodentine followed by root canal treatment and dowel crown restoration. At one-month follow-up, the patient was asymptomatic, periodontal pocket was dissapeared and radiography demonstrated the healing of furcation area. Conclusion: Biodentine can be used as an ideal material for sealing perforation that has several advantages over other materials. Sealing perforation will break the paths of bacteria in the root canal system and periodontal to allow repair and regeneration of periodontal tissue. Key words: Biodentine, root perforation, furcation defect, root canal treatment.



PENDAHULUAN Perforasi akar terjadi pada sekitar 2–12% gigi yang dirawat endodontik. Seringkali disebabkan oleh tindakan iatrogenik sebagai akibat dari penggunaan bur yang tidak sejajar selama proses pembukaan ruang pulpa dan pencarian akses ke saluran akar.1 Perforasi iatrogenik mungkin menyebabkan implikasi yang serius, kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya nyeri, supurasi, abses, dan fistula serta diikuti resorbsi tulang.2 Ketika proses infeksi telah terjadi di daerah perforasi, prognosis dari perawatan akan menurun dan komplikasi dapat mengharuskan gigi diekstraksi. Namun, jika perforasi ditemukan sejak dini dan dilakukan manajemen dengan benar, prognosis akan lebih baik.3 Beberapa material telah digunakan dalam perawatan perforasi akar seperti zinc oxide-eugenol, amalgam, calcium-hydroxide, resin komposit, dan glass ionomer.4 Material ideal yang digunakan untuk penutupan perforasi harus mempunyai sifat tidak toksik, tidak mengiritasi jaringan, nonkarsinogenik, mempunyai daya antimikroba, dan biokompatibel, stabil, dan bersifat radiopak. Selain



itu mempunyai kemampuan merangsang regenerasi jaringan periradikular, merangsang osteogenesis dan sementogenesis serta memiliki sifat adesif terhadap dentin sehingga mencegah terjadinya microleakage oleh bakteri.5,6 Saat ini Biodentine telah diajukan sebagai biomaterial yang ideal untuk perbaikan atau regenerasi dari kerusakan jaringan periodontal yang disebabkan oleh perforasi bifurkasi.3 Biodentine mempunyai keunggulan seperti material bioceramic lain karena bioaktivitas dan biokompabilitas dengan jaringan periradikular serta memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih baik.7 Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai perawatan perforasi bifurkasi akar iatrogenik menggunakan Biodentine dan dilanjutkan perawatan saluran akar pada gigi molar molar pertama bawah. KASUS Pasien wanita, 35 tahun, datang ke RSGMP Universitas Indonesia dengan keluhan gigi geraham bawah paling belakang sering sakit. Gigi pasien pernah dirawat 1 bulan yang lalu namun kemudian dirujuk ke



Korespondensi: Renna Maulana Yunus, Residen Konservasi Gigi, Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya No.4. Jakarta Pusat. Alamat email: [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PENGGUNAAN BIODENTINE SEBAGAI BAHAN PENUTUP PERFORASI IATROGENIK PADA GIGI DENGAN FURCATION DEFECT



406 klinik Spesialis Konservasi Gigi RSGMP UI karena terjadi perforasi akar saat access opening. Sejak 1 minggu terakhir pasien mengeluh sakit cekot-cekot pada gigi tersebut terutama saat dipakai pengunyah. Pada pemeriksaan klinis terdapat tumpatan sementara pada gigi 36. Setelah dilakukan pembongkaran tumpatan sementara, terlihat kavitas gigi yang telah dilakukan preparasi akses dan pengambilan dasar kamar pulpa yang berlebihan oleh operator sebelumnya. Terlihat adanya perforasi pada dasar ruang pulpa dengan diameter ±2mm yang tertutup debris dan berdarah saat debris diambil. Tes vitalitas memberikan respon positif, tes perkusi dengan arah vertikal dan horizontal menunjukkan respon positif berupa nyeri sedangkan tes palpasi menunjukkan respon negatif. Terdapat poket periodontal sedalam 10 mm pada daerah lingual. Sulkus gingiva bagian distal, mesial, dan bukal normal. Gigi mengalami kegoyangan derajat 2.



Gambar 1.(A) Gambaran klinis gigi 36 saat kunjungan pertama. Terlihat adanya perforasi disertai perdarahan pada daerah bagian lingual dasar pulpa. (B) Pemeriksaan menggunakan probe mendeteksi adanya poket periodontal sedalam 10 mm.



Pada pemeriksaan radiografi awal terlihat adanya radiolusen pada daerah bifurkasi yang memperlihatkan adanya jalur dari dasar kamar pulpa ke jaringan periodontal di daerah bifurkasi. Tidak ada kelainan pada daerah periapikal dan lamina dura tidak terputus. Dari anamnesa, pemeriksaan klinis dan hasil foto radiografi, diagnosis dari gigi 36 adalah pulpitis kronis disertai defek furkasi klas I. Perawatan yang akan dilakukan adalah penutupan perforasi bifurkasi menggunakan bahan Biodentine, perawatan saluran akar dilanjutkan pembuatan restorasi mahkota selubung porcelen fused to metal dengan pemasangan pasak fiber fabricated.



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



Gambar 2. Foto ronsen diagnostik menunjukkan adanya daerah radiolusen pada bifurkasi.



PENATALAKSANAAN KASUS Pada kunjungan pertama, dilakukan anaestesi dengan pehacain-adrenalin 1:100.000 kemudian dilakukan isolasi menggunakan rubber dam (KSK, Jepang). Setelah itu dilakukan ekstirpasi saluran akar mesiobukal, mesiolingual dan distal diikuti dengan irigasi kavitas menggunakan NaOCl 2,5%. Kemudian dilakukan penutupan orifice menggunakan gutta percha dan tumpatan sementara Cavit diatas orifice agar material Biodentine tidak masuk ke dalam orifice sehingga menyebabkan pembuntuan saluran akar. Untuk persiapan penutupan perforasi, dilakukan eskavasi debris pada daerah perforasi menggunakan eskavator endodontik (Osung, Korea). Kemudian debridement dengan menggunakan ultrasonic scaller (Woodpecker, China) lalu daerah perforasi diirigasi dengan NaOCl 2,5% serta aquades steril. Setelah itu kavitas dikeringkan dengan cotton pellet steril hingga perdarahan daerah perforasi kering atau terkontrol. Bubuk dan cairan Biodentine diaduk selama 30 detik dan kemudian diambil menggunakan amalgam carrier untuk diletakkan menutupi daerah perforasi. Setelah itu material Biodentine dipadatkan menggunakan cotton pellet steril hingga tercapai sealing yang merata pada daerah perforasi. Saat Biodentine telah mengeras (setting time: 12 menit) dilakukan penutupan kavitas diatas daerah perforasi menggunakan GIC. Pasien kemudian diminta untuk datang kembali 1 minggu kemudian. Pada kunjungan kedua tidak ada keluhan subjektif pasien, tes perkusi dan palpasi tidak peka. Tumpatan sementara dibongkar dan mulai dilakukan perawatan saluran akar. Preparasi saluran akar dilakukan dengan menggunakan Protaper Universal Rotary (Dentsply Maillefer, Swiss). EDTA gel (RC–Prep, Swiss) digunakan sebagai lubrikan selama instrumentasi. Selama



407



Renna Maulana Yunus, Munyati Usman



pergantian alat, saluran akar diirigasi menggunakan NaOCl 2,5%. Digunakan juga teknik irigasi sonik dengan bantuan alat EndoActivator (Dentsply Maillefer, Swiss) untuk meningkatkan efektivitas dari cairan irigasi. Setelah preparasi selesai dilakukan foto radiograf dengan percobaan guttap utama. Kavitas kemudian diberi medikamen CHKM dan ditutup dengan tumpatan sementara. Pasien diminta untuk melanjutkan perawatan 1 minggu kemudian.



Gambar 3. (A)Foto ronsen untuk mengkonfirmasi panjang kerja sebenarnya. (B)Foto kon guttap utama.



Pada kunjungan ketiga tumpatan sementara dibongkar, saluran akar diirigasi menggunakan EDTA 17% dan NaOCL 2.5% lalu dikeringkan dengan paper point steril. Pada kunjungan ini, akan dilakukan pengisian saluran akar menggunakan siler AHPlus (Dentsply, Swiss) dan kemudian dikonfirmasi dengan foto radiograf. Kamar pulpa diisi dengan Zinc phosphate cement. Pasien diminta untuk kontrol 1 bulan kemudian untuk dilakukan restorasi definitif.



Gambar 5. (A)Gambaran radiografi pada saat 1 bulan setelah pengisian saluran akar. (B)Poket periodontal di daerah lingual menghilang. Kedalaman sulkus hanya 2 mm.



Pada kunjungan keempat dilakukan pemasangan pasak fiber pada saluran akar yang disemen menggunakan semen Breeze (Dentsply, Swiss) serta silane coupling agent. Kemudian diikuti dengan pembuatan inti pasak dari core composite Fluorocore (Dentsply, Swiss). Setelah itu dilakukan preparasi gigi untuk pembuatan mahkota tiruan porcelen fused to metal. 1 minggu kemudian dilakukan pemasangan mahkota porcelen fused to metal.



Gambar 6. (A)Gambaran radiografi setelah pemasangan restorasi akhir (B) Restorasi mahkota porcelen fused to metal.



PEMBAHASAN



Gambar 4. (A) Foto ronsen setelah dilakukan obturasi. (B) Foto klinis setelah obturasi



Pada saat 1 bulan setelah pengisian saluran akar dilakukan evaluasi hasil perawatan, tidak ada keluhan subjektif dan gigi dapat dipakai mengunyah, pemeriksaan klinis menunjukkan tidak ada mobilitas gigi, perkusi negatif dan palpasi negatif. Pada saat dilakukan probing di daerah lingual, poket sudah menghilang dan kedalaman sulkus 2 mm pada daerah mesial, distal, bukal dan lingual. Evaluasi radiograf tidak terlihat adanya radiolusensi pada periapikal maupun di daerah bifurkasi.



Pada kasus ini terjadi nyeri pada saat perkusi serta kegoyangan gigi derajat 2 yang merupakan tanda adanya lesi pada jaringan periodontal. Reaksi inflamasi yang muncul di sekitar jaringan periodonsium pada lokasi perforasi disebabkan karena adanya trauma mekanis dan adanya mikroba yang akan berkembang di daerah perforasi. Perforasi menyebabkan jalan keluarmasuk bakteri pada sistem saluran akar dan jaringan periodontal.8 Pada daerah perforasi, limfosit T akan memproduksi beberapa macam sitokin pro-inflamasi yang berperan dalam progres lesi dan destruksi tulang.9 Terdapat beberapa pilihan rencana perawatan untuk perforasi iatrogenik di daerah furkasi. Berdasarkan kondisi dari struktur gigi yang tersisa, kondisi tulang yang mengelilingi akar dan perluasan serta lokasi, perawatan yang dilakukan dapat berupa penutupan Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PENGGUNAAN BIODENTINE SEBAGAI BAHAN PENUTUP PERFORASI IATROGENIK PADA GIGI DENGAN FURCATION DEFECT



408 perforasi, hemiseksi, bikuspidasi atau pencabutan gigi.3 Pada kasus ini perforasi sudah terjadi kronis dengan kehilangan tulang pada daerah furkasi yang ditandai dengan adanya radiolusen di daerah furkasi pada foto radiograf. Kondisi mahkota gigi yang tersisa masih banyak dan besar perforasi 2 mm yang termasuk kategori kecil dapat diusahakan penanganan dengan cara konservasi. Ketika perforasi diidentifikasi, perforasi harus segera ditutup secepat mungkin, karena keterlibatan daerah periodontal yang muncul dari perforasi dapat menjadi irreversibel seiring berjalannya waktu.8 Oleh karena itu penutupan perforasi saat kunjungan pertama. Penutupan perforasi dengan segera akan memberikan terapi endodontik yang adekuat pada kunjungan berikutnya, bebas dari perdarahan dan kontaminasi, yang akan dapat mengganggu hasil dari perawatan.4 Secara umum jika perforasi yang terjadi sudah berlangsung lama, maka defek harus didesinfeksi dan dipersiapkan sebelum ditutup dengan bahan restorasi.10 Persiapan penutupan perforasi pada kasus ini dilakukan eskavasi debris menggunakan eskavator endodontik serta ultrasonic scaller. Setelah itu dilakukan irigasi dengan NaOCl 2,5% serta aquades steril. Instrumen ultrasonik ideal untuk mempersiapkan daerah perforasi karena dapat membersihkan secara langsung (direct vision).10 Arens dan Torabinejad menyatakan penggunaan bahan irigasi seperti sodium hipoklorit dapat dipertimbangkan jika perforasi tidak begitu besar sehingga tidak beresiko merusak jaringan periradikuler. Penggunaan NaOCl 2,5% disarankan untuk debridement karena resiko komplikasi yang kecil terhadap over ekstensi bahan irigasi terhadap perforasi.11 Perdarahan yang muncul kembali setelah defek dibersihkan dan diirigasi dikeringkan dengan cotton pellet steril hingga perdarahan daerah perforasi kering atau terkontrol. Material yang digunakan untuk perawatan perforasi harus bersifat tidak toksik, tidak dapat diabsorbsi, radiopak, mempunyai daya antibakteri, serta mudah diaplikasikan. Material tersebut harus mempunyai kemampuan dalam menutup kebocoran mikro di lokasi perforasi sehingga mencegah penetrasi bakteri.11 Selain itu material ideal penutupan perforasi mempunyai kemampuan merangsang regenerasi jaringan periradikular, merangsang osteogenesis dan sementogenesis.5,6 Pada kasus ini operator menggunakan Biodentine sebagai material penutupan Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



pada perforasi bifurkasi. Biodentine mempunyai formula atau bahan dasar yang sama dengan MTA, yaitu tersusun dari sebagian besar dari trikalsium silikat, namun mempunyai perbaikan sifat fisik dan karakteristik penggunaan yang lebih mudah.7 Biodentine memiliki sifat antibakterial dari pH tinggi, biokompabilitasnya baik, manipulasinya mudah, setting lebih cepat, tidak ada efek staining pada gigi, dan memiliki sealing ability yang lebih baik dibandingkan MTA.12,13 Pada saat fase setting dari Biodentin, ion kalsium hidroksida dilepaskan dari semen. Hal ini menyebabkan kenaikan pH hingga 12,5 dan membuat lingkungan sekitar menjadi basa. pH yang tinggi akan menghambat pertumbuhan bakteri.14 Kemampuan material untuk menyegel daerah perforasi merupakan elemen penting dalam perawatan perforasi. Material calsium silikat semen dapat menutup komunikasi antara ruang pulpa dan jaringa periodontal.4 Secara in vitro, Biodentine menunjukkan pembentukan endapat kalsium dan fosfat setelah immersi pada cairan biologi tubuh dan menyebabkan pembentukan interfacial layer dengan dentin. Degradasi dari komponen kolagen karena efek kaustik alkali menyebabkan struktur porus sehingga memfasilitasi masuknya ion Ca2+, OH-, and CO3 sehingga terjadi mineralisasi15, dengan kata lain Biodentine akan berpenetrasi terhadap tubulus membentuk struktur seperti tag yang masuk ke dalam tubuli dentin. Scanning electron microscopy (SEM) memperlihatkan bahwa dentin tubulus mengungkapkan adanya sumbatan kristal mineral tepat dipermukaan tubulus dentin. Hasil ini menjelaskan adanya retensi mikromekanik pada satu sisi dan marginal sealing pada sisi lain16 sehingga material ini adekuat untuk menutup perforasi dan mencegah terjadinya kebocoran mikro. Biodentine mempunyai beberapa keunggulan dari MTA sebagai material yang selama ini digunakan dalam perawatan perforasi bifurkasi. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa kekuatan material dari MTA lebih rendah daripada Biodentine selama 24 jam. Terlebih lagi, kekuatan MTA yang terkontaminasi dengan darah lebih rendah daripada MTA yang tidak terkontaminasi. Namun adanya darah tidak berefek pada Biodentine3 hal tersebut memberikan keuntungan karena salah satu kesulitan dalam proses penutupan perforasi adalah adanya kontaminasi dari perdarahan.4 Biodentine dapat mengatasi dua kesulitan utama saat klinisi melakukan perawatan pada perforasi yaitu



409



Renna Maulana Yunus, Munyati Usman



kebutuhan hemostasis dan kontrol dalam penempatan material restoratif.10 Seperti halnya material bioaktif lainnya, Biodentine menunjukkan potensi dari bioaktivitas dengan memproduksi lapisan interfacial pada dentin dengan simulasi cairan tubuh. Analisis TEM dari lapisan interfacial pada Biodentine dan MTA menunjukkan pembentukan amorphous calcium phosphate. 15 Pelepasan kalsium yang besar dari Biodentine dapat dihubungkan dengan adanya komponen kalsium silikat dan kalsium kloride serta solubilitas yang rendah karena kandungan polikarboksilat yang menurunkan kebutuhan air untuk melarutkan partikel dan meningkatkan fluidity, membuat semen mengeras. Selain itu, reaksi hidrasi dari trikalsium silikat yang cepat terjadi dapat dihubungkan dengan solubilitas yang rendah serta pelepasan kalsium dalam jumlah besar pada waktu singkat (selama beberapa jam).17 Penelitian yang dilakukan oleh Camilleri (2013) menunjukkan adanya peningkatan kalsium hidroksida mulai hari pertama dan mencapai puncaknya setelah 28 hari. Dalam penelitian ini disebutkan munculnya kalsium hidroksida Biodentin lebih cepat dibandingkan dengan MTA. 18 Pada kunjungan kedua (1 minggu setelah penutupan perforasi bifurkasi) tidak ada keluhan subjektif pasien, tes perkusi dan palpasi tidak peka. Selain itu pemeriksaan klinis menunjukkan tidak adanya mobilitas gigi. Evaluasi 1 bulan setelah pengisian menunjukkan hilangnya gambaran radiolusen pada daerah bifurkasi yang mengindikasikan adanya remineralisasi tulang disekitar daerah perforasi serta penyembuhan dari defek furkasi. Beavers et al. mendemonstrasikan bahwa kesembuhan lesi diasosiasikan dengan material biokompatibel dan hilangnya kontaminasi bakteri secara total akan memberikan hasil penyembuhan pada defek perforasi.8 Beberapa penelitian menyatakan bahwa material berbasis kalsium silikat mempunyai sifat merangsang proliferasi dan aktivasi gen dari fibroblas periodontal, sel pulpa, sementoblas, osteoblas, dan sel mesenkim.17 Semen berbahan dasar kalsium silikat melepaskan silikat yang mempunyai pengaruh positif terhadap metabolisme tulang dan menambah laju dari pertumbuhan tulang. Selain itu semen calcium silikat mempunyai peran penting dalam perbaikan tulang dengan cara menginduksi pengendapan kalsium fosfat pada permukaan jaringan periodontal.12 Biodentine lebih unggul terhadap MTA berdasar



reaksi biologisnya terhadap sel di jaringan periodontal berdasarkan analisis histomorphometrik yang telah dilakukan pada osteoblas manusia dan sel ligamen periodontal. Sel periodontal ligamen yang kontak dengan MTA dan Bidentin menunjukkan distribusi maturasi sel yang teratur dengan konsentrasi yang tinggi. Biodentine menunjukkan kuantitas terbesar dari sel periodontal ligamen.7 Biodentine membentuk permukaan seperti hidroksi apatit dan menunjukkan kondisi yang baik untuk pelekatan sel dan proliferasi. Penelitian lain menyatakan bahwa Biodentine menunjukkan reaksi biokompatibel terhadap periodontal ligamen dan osteoblas dibandingkan dengan ProRoot MTA.19 KESIMPULAN Biodentin dapat digunakan sebagai material ideal untuk penutupan perforasi. Penutupan perforasi akan memutus jalan keluar-masuk bakteri pada sistem saluran akar dan jaringan periodontal sehingga memungkinkan terjadinya perbaikan atau regenerasi dari kerusakan jaringan periodontal. DAFTAR PUSTAKA 1.



Hegde M, Varghese L, Malhotra S. Tooth Root Perforation Repair - A Review. Oral Health Dent Manag. 2017;16(2):1-4. 2. Tsesis I, Fuss ZVI. Diagnosis and treatment of accidental root perforations. Endod Top. 2006;13:95-107. 3. Heredia AL, Bhagwat SA, Mandke LP. Biodentine as material of choice for furcal perforation repair – A case report. Ann Prosthodont Restor Dent. 2016;2(2):54-57. https:// www.innovativepublication.com/admin/uploaded_files/ APRD_2(2)_54-57.pdf. 4. Unal GC, Maden M, Isidan T. Repair of Furcal Iatrogenic Perforation with Mineral Trioxide Aggregate : Two Years Follow-up of Two Cases. 2010;4(October):475-481. 5. Baroudi K, Samir S. Sealing Ability of MTA Used in Perforation Repair of Permanent Teeth ; Literature Review. 2016:278-286. doi:10.2174/1874210601610010278 6. Main C, Mirzayan N, Shabahang S, Torabinejad M. Repair of Root Perforations Using Mineral Trioxide Aggregate : A Longterm Study. 2004;(15). 7. Rajendran M, Jeevarekha M, Poorana K. Biodentine : Periodontal perspective. Int J Appl Dent Sci. 2017;3(1):12-16. 8. Castelulucci A. The Use of Mineral Trioxide Aggregate to Repair Latrogenic Perforations. Italy; 2009. 9. Paula V De, Lara L, Cardoso FP, et al. Experimental Furcal Perforation T r e a t e d w i t h M TA : A n a l y s i s of the Cytokine Expression. 2015;26(015):337-341. 10. Ingle JI, Bakland LK. Ingle’s Endodontics. 6th ed. Hamilton: BC Decker; 2008. 11. Torabinejad M. A Endodontics Principles and Practice. 5th ed. Missouri: Elsevier Inc; 2009.



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PENGGUNAAN BIODENTINE SEBAGAI BAHAN PENUTUP PERFORASI IATROGENIK PADA GIGI DENGAN FURCATION DEFECT



410 12. Pagaria S, BD. Singh, Dubey A, Avinash A. Biodentine Biodentine as a New Calcium Silicate Based Cement. Chettinad Heal City Med J. 2015;4(December 2015):182-184. 13. Malkondu Ö, Kazandaǧ MK, Kazazoǧlu E. A review on biodentine, a contemporary dentine replacement and repair material. Biomed Res Int. 2014;2014. doi:10.1155/2014/160951 14. Madfa AA, Al-sanabani FA, Al-kudami NHA. Endodontic Repair Filling Materials : A Review Article. 2014;4(16). 15. Nuñez CC, Covarrubias C, Fernandez E. Enhanced bioactive properties of Biodentine TM modified with bioactive glass nanoparticles. 2017;25(2):177-185. 16. About I. Biodentine: from biochemical and bioactive properties to clinical application. G Ital Endod. 2016;30(2):8188. doi:10.1016/j.gien.2016.09.002 17. Gandolfi MG, Siboni F, Polimeni A, et al. In Vitro Screening of the Apatite-Forming Ability , Biointeractivity and Physical Properties of a Tricalcium Silicate Material for Endodontics and Restorative Dentistry. 2013:41-60. doi:10.3390/dj1040041 18. Camilleri J. Investigation of Biodentine as dentine replacement material. J Dent. 2013;41:600-610. 19. Jung S, Mielert J, Kleinheinz J, Dammaschke T. Head & Face Medicine. 2014;(December). doi:10.1186/s13005-014-0055-4



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PO-86 411



Noni Maharani, Dewa Ayu Nyoman Putri Artiningsih



PERAWATAN SALURAN AKAR VITAL PADA GIGI MOLAR KEDUA MANDIBULA DENGAN NEKROSIS PARSIAL : LAPORAN KASUS Noni Maharani*, Dewa Ayu Nyoman Putri Artiningsih**



*Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta **Staff Departemen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta



ABSTRACT Background: Pulp necrosis is the death of the pulp which can occur totally, partially, or does not involve all roots in multirooted teeth. Partial necrosis has necrotic pulp tissue in the corona and vital parts of the apical, or has a distinct pulp vitality condition between the root canal of the tooth and the multi-root. Management of root canal treatment on teeth with partial necrosis is a challenge in terms of anesthesia especially in mandibular molars. Many techniques are used to achieve adequate anesthesia in the management of pain during root canal treatment Objective: To determine the effectiveness of topical anesthetic techniques that are inserted into the root canal in the management of cases of partial necrosis. Case: A 37-year-old female patient came with complaints of lower left back teeth with holes and pain. In the 37th tooth there is proximal caries, positive percussion, negative palpation, and negative vitality tests. From the history and examination, a diagnosis of partial necrosis is obtained Case Management: The treatment performed is root canal treatment with topical anesthetic techniques that are inserted into the root canal and making onlay restorations. Conclusion: Anesthetic technique using topical anesthesia which is inserted into the root canal is quite effective as an alternative in the management of partial necrosis. Key words: Partial Necrosis, Topical anesthesia, Molar



PENDAHULUAN Gigi dengan nekrosis parsial sangat sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala yang muncul merupakan campuran dari pulpitis dan nekrosis dengan infeksi 1. Gejala yang muncul pada parsial nekrosis dapat membingungkan dan tes pulpa pada satu saluran tidak berespon namun memberikan respon vital pada saluran akar yang lain. Gigi juga dapat menunjukkan gejala pulpitis irreversible yang simtomatik2. Reaksi negatif terhadap tes sensitivitas dicurigai sebagai nekrosis, tetapi diagnosis yang pasti hanya dapat ditetapkan setelah pemeriksaan dan probing ruang pulpa dan saluran akar. Nekrosis pulpa dapat disebabkan oleh bakteri, trauma, dan iritasi kimia. Nekrosis merupakan kematian pulpa yang dapat terjadi parsial, total, dan kemungkinan tidak melibatkan seluruh saluran pada gigi berakar ganda2. Gigi dengan nekrobiosis atau nekrosis parsial memiliki jaringan pulpa yang inflamasi dan nekrosis. Jaringan nekrosis dapat berada di bagian koronal pulpa dengan jaringan yang inflamasi di apikal, atau keadaan jaringan yang berbeda antara kanal pada gigi dengan multi-kanal1.



Penanganan rasa sakit pada nekrosis parsial atau ‘nekrobiosis’ dengan kondisi sebagian pulpa mengalami nekrosis dan menjadi terinfeksi sementara sebagian pulpa yang lain mengalami inflamasi (pulpitis ireversibel)3 adalah tantangan besar dalam perawatan endodontik khususnya pada gigi molar mandibular. KASUS Pasien wanita 37 tahun datang ke RSGMP Universitas Indonesia dengan keluhan gigi belakang kiri bawah berlubang, terasa sakit, dan tidak nyaman saat dipakai untuk mengunyah makanan sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan klinis telihat karies di bagian proksimal dan tambalan amalgam pada oklusal gigi 37 dengan, tes perkusi menunjukkan respon positif, tes palpasi dan tes vitalitas pulpa menunjukkan respon negatif, gingiva sekitar gigi normal. Dari anamnesa, pemeriksaan klinis dan hasil foto radiografi, Diagnosis gigi 37 yaitu nekrosis parsial dengan rencana perawatan perawatan saluran akar dan restorasi onlay sewarna gigi.



Korespondensi: Noni Maharani, Residen Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya No. 4 Jakarta Pusat. Alamat email: [email protected]



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PERAWATAN SALURAN AKAR VITAL PADA GIGI MOLAR KEDUA MANDIBULA DENGAN NEKROSIS PARSIAL : LAPORAN KASUS



412



Gambar 1. Gambaran klinis gigi 37 saat kunjungan pertama. Terlihat adanya karies proksimal dan tambalan amalgam di oklusal



tambalan sementara dan irigasi dengan NaOCl 2,5 % dan EDTA 17% kemudian dikeringkan menggunakan paperpoint. Obturasi saluran akar menggunakan guttap non-ISO sesuai panjang kerja masing-masing saluran akar yang telah ditentukan pada kunjungan sebelumnya melalui KGU serta sealer AHPlus (Dentsply, Maillefer, Switzerland), tutup dengan tambalan sementara Cavit®, dan evaluasi obturasi dengan gambaran radiografis. Tambalan sementara dibongkar kemudian ditumpat dengan GIC Fuji II sebagai basis, ditutup kembali dengan tambalan sementara Cavit®.



PENATALAKSANAAN KASUS Pada kunjungan pertama dilakukan anamnesis dan pemeriksaan lengkap, selanjutnya dilakukan pembuangan karies serta tambalan amalgam dengan bur intan bulat. Atap kamar pulpa dan pulpa pada bagian koronal dihilangkan dan dilakukan penelusuran orifis menggunakan sonde lurus dan ditemukan orifis distal, mesiobukal, dan mesiolingual. Dilakukan penjajakan saluran akar menggunakan K-file ISO no. 10 sepanjang kerja yang diperkirakan dari foto radiografi pre-operatif. Saat file mencapai 1/3 panjang kerja pasien mengeluhkan rasa sakit sehingga dilakukan ekstirpasi pulpa dengan menggunakan anestesi topikal yang diaplikasikan pada ujung file, file kemudian ditempatkan ke dalam saluran akar menggunakan gerakan watchwinding dengan memompa secara bergantian sehingga gel topikal terdorong ke bawah saluran akar. Setelah itu dilakukan foto radiografi untuk mengecek panjang kerja dan konfirmasi menggunakan apex locator sehingga diperoleh panjang kerja 18 mm untuk saluran akar distal, panjang kerja 17 mm untuk saluran akar mesiolingual dan mesiobukal. Selanjutnya dilakukan preparasi saluran akar dengan rotary instrument Protaper Next (Dentsply, Maillefer, Switzerland) hingga D X3/18 mm, MB X3/17 mm, dan MP X3/17 mm. Aplikasi EDTA gel saat preparasi saluran akar dan irigasi NaOCl 2,5 % setiap pergantian file. Saluran akar dikeringkan dengan paper point dan aplikasi medikamen intrakanal antar kunjungan dengan kalsium hidroksida (Calcipex ®, Nippon Sika-Yakuhin, Shimonoseki, Japan) dan ditutup dengan tambalan sementara Cavit®. Pada kunjungan kedua perawatan gigi 37, tidak ada keluhan subyektif, dilanjutkan dengan membongkar Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



Gambar 2. Foto periapikal gigi 37 setelah perawatan saluran akar



Kunjungan ketiga, dilakukan pembongkaran tambalan sementara dan preparasi mahkota gigi untuk restorasi post endo. Kemudian hasil cetakan preparasi dikirim ke laboratorium. Tutup hasil preparasi menggunakan tambalan sementara Cavit®. Pada kunjungan keempat, tidak ada keluhan subyektif dan dari pemeriksaan klinis tidak ada inflamasi pada daerah gingiva dan palpasi tidak peka. Pada gambaran radiografis tidak ada pertumbuhan lesi baru pada daerah periapikal. Pada kunjungan ini dilakukan insersi onlay ceramage. PEMBAHASAN Nekrosis parsial sulit didiagnosis karena gejala pasien menunjukkan pulpitis namun hasil tes vitalitas pulpa menunjukkan respon nekrosis pulpa. Gejala nekrosis parsial dengan episode nyeri ringan intermiten selama beberapa minggu atau bulan3. Gigi dengan nekrosis parsial juga dapat menunjukkan gejala pulpitis irreversible yang simtomatik2. Pasien dengan kondisi klinis yang menyakitkan ini lebih sulit untuk dianestesi4. Laporan kasus ini menjelaskan mengenai metode anestesi dalam perawatan nekrosis parsial gigi molar rahang bawah dimana masih terdapat jaringan pulpa yang vital dan sangat sensitif di 1/3 panjang kerja



413



Noni Maharani, Dewa Ayu Nyoman Putri Artiningsih



sehingga sulit untuk dianestesi dengan menggunakan teknik anestesi blok maupun intrapulpa. Kegagalan anestesi menggunakan metode infiltrasi dan blok regional pada gigi posterior mandibular dapat disebabkan karena gigi menerima persarafan lebih dari satu batang saraf atau suplai saraf aksesori. Saraf di sepanjang bukal kadang-kadang akan menginervasi pulpa molar bawah. Saraf lingual juga dapat berkontribusi terhadap suplai pulpa gigi mandibula tetapi hal ini biasanya akan dinetralisir oleh blok saraf lingual saat anestesi blok saraf alveolar inferior. Namun saaraf lingual tidak akan ternetralisir oleh blok saraf mental dan incisivus5. Suplai saraf aksesori lebih lanjut yang menginervasi gigi mandibula dapat berasal dari saraf mylohyoid, saraf aurikulotemporal dan saraf servikal atas. Cabang mylohyoid meninggalkan batang utama alveolar inferior satu sentimeter lebih superior dari foramen mandibula sehingga dapat tidak terpengaruh oleh blok konvensional5. Saraf aurikulotemporal kadang-kadang bercabang ke pulpa gigi rahang bawah melalui foramina yang tinggi pada ramus. Suplai saraf aurikulotemporal dan mylohyoid dapat dinetralisir oleh blok seperti GowGates atau Akinosi5. Gigi dengan nekrobiosis atau nekrosis parsial memiliki jaringan pulpa yang terinflamasi dan nekrosis. Nekrosis parsial secara histologis menunjukkan tidak ada jaringan vital atau seluler di bagian koronal yang berdekatan dengan lesi karies, namun pada bagian radikular terdapat inflamasi yang parah dan infiltrasi sel inflamasi yang melimpah6. Anestesi blok alveolar inferior dan injeksi ligament periodontal pada gigi yang mengalami inflamasi tidak dapat dicapai pada 27% kasus7. Kesulitan anestesi pada kondisi ini kemungkinan karena proses neuronal. Kerusakan yang diakibatan oleh inflamasi dan bakteri dapat menyebabkan pertumbuhan serabut saraf baru, peningkatan ekspresi neuropeptida seperti substansi P dan peptida terkait gen kalsitonin, dan pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin E2, prostaglandin F2a, interleukin 1 dan 6, dan tumor necrosis factor. Hal ini juga dapat menyebabkan isoform nociceptor menjadi mudah terangsang. Kondisi klinis yang dapat terjadi antara lain allodynia, plastisitas neuronal, hiperalgesia perifer dan sentral, dan sensitisasi sentral. Faktor-faktor ini dapat membantu menjelaskan mengapa anestesi lokal tidak selalu efektif ketika pasien kesakitan4.



Bila anestesi infiltrasi atau blok masih menyisahkan sensasi nyari pada jaringan pulpa, biasanya dibantu dengan tehnik anestesi intrapulpa. Tehnik ini dilakukan dengan injeksi langsung ke dalam jaringan pulpa8. Ketika akses terlalu besar untuk memungkinkan jarum yang pas, pulpa yang terekspos harus direndam dengan sedikit anestesi lokal beberapa menit sebelum memasukkan jarum sejauh mungkin ke dalam kamar pulpa dan menginjeksikannya5. Pada kasus ini pulpa vital berada di 1/3 akar sehingga anestesi intrapulpa sulit dilakukan karena tehnik ini hanya bisa digunakan bila akses ke pulpa cukup untuk masuknya jarum suntik8, sehingga digunakan teknik anestesi topikal yang dimasukkan ke dalam saluran akar. Teknik ini dapat digunakan setelah mencoba anestesi intrapulpa atau sebagai alternatif anestesi intrapulpa7. Anestesi topikal diaplikasikan pada ujung file, file kemudian ditempatkan ke dalam saluran akar menggunakan gerakan watchwinding dan memompa secara bergantian sehingga gel topikal terdorong ke bawah saluran akar. Tujuannya adalah untuk mendorong gel di depan file sehingga dapat menganestesi jaringan saraf yang tersisa di saluran sebelum file menstimulasi saraf dan menyebabkan sensasi nyeri7. Pasien biasanya merasa sedikit tidak nyaman selama fase ini, tetapi hanya berlangsung -10 detik. Kanal biasanya teranestesi sepenuhnya dengan satu atau dua aplikasi topikal dengan file. pasien yang sangat sensitif membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendorong topikal ke saluran akar. Ketika jaringan saraf pada seluruh saluran teranestesi, dilakukan irigasi untuk membersihkan sistem saluran dari sisa topikal7. Teknik ini efektif untuk semua gigi namun pada saluran akar yang sangat sempit dan berliku membutuhkan lebih banyak waktu dan aplikasi topikal sampai tiga atau empat kali per saluran akar. Teknik ini telah terbukti sebagai teknik yang efektif dan aman untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien yang tidak sepenuhnya teranestesi oleh teknik anestesi lokal konvensional selama prosedur pulpektomi7. KESIMPULAN Rasa sakit pada nekrosis parsial dapat menimbulkan kesulitan bagi klinisi dalam melakukan perawatan endodontik. Manajemen rasa sakit dengan menggunakan teknik anestesi alternatif anestesi topikal yang dimasukkan ke dalam saluran akar cukup Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PERAWATAN SALURAN AKAR VITAL PADA GIGI MOLAR KEDUA MANDIBULA DENGAN NEKROSIS PARSIAL : LAPORAN KASUS



414 efektif dilakukan pada nekrosis parsial gigi molar rahang bawah dengan akses yang sulit dicapai menggunakan anestesi intrapulpa. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.



7. 8.



Abbott P V., Yu C. A clinical classification of the status of the pulp and the root canal system. Aust Dent J. 2007;52(1 SUPPL.):17-31. doi:10.1111/j.1834-7819.2007.tb00522.x Hargreaves K. Cohen’s Pathways of the Pulp Tenth Edition. (Berman LH, ed.). St. Louis, Missouri: mosby; 2011. Jafarzadeh H, Abbott P V. Review of pulp sensibility tests. Part I: general information and thermal tests. Int Endod J. 2010;43(9):738-762. doi:10.1111/j.1365-2591.2010.01754.x Drum M, Reader A, Nusstein J, Fowler S. Successful pulpal anesthesia for symptomatic irreversible pulpitis. J Am Dent Assoc. 2017;148(4):267-271. doi:10.1016/j.adaj.2017.01.002 Meechan JG. How to overcome failed local anesthesia. Brazi 1999; 186 (1):15-20. BrazilianDental Journal. 1999;186(1):1520. Naseri M, Khayat A, Zamaheni S, Shojaeian S. Correlation between histological status of the pulp and its response to sensibility tests. Iran Endod J. 2017;12(1):20-24. doi:10.22037/ iej.2017.04 DeNunzio M. Topical anesthetic as an adjunct to local anesthesia during pulpectomies. J Endod. 1998;24(3):202203. doi:10.1016/S0099-2399(98)80185-4 Malamed S. Handbook of LOCAL ANESTHESIA. 6th ed. Los Angeles, California: ELSEVIER; 2012.



Prosiding Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III Yogyakarta, 24-25 November 2018



PO-88 415



Amanda Andika Sari, Valonia Irene Nugraheni, Deddy Dwi Septian



INSIDENSI RADIX ENTOMOLARIS PADA POPULASI DUNIA: TELAAH SISTEMATIK DAN META-ANALISIS Amanda Andika Sari*, Valonia Irene Nugraheni**, Deddy Dwi Septian***



*General Dental Practitioner, Erta Dental Clinic, Jakarta Selatan **General Dental Practitioner, UPT BLUD Puskesmas Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat ***Clinical Undergraduate Student, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Brawijaya, Malang



ABSTRACT Background: The aim of endodontic treatment is to heal or prevent apical periodontitis. A succesful endodontic outcome needs to prevent bacterial penetration from the pulp to periodontium. Radix entomolaris presents an endodontic challenge which can be the cause of bacterial penetration that leads to endodontic failure and the need of surgical intervention. Purpose: To evaluate the incidence of radix entomolaris in mandibular molars in worldwide population. Method: We performed a literature search using Google Scholar, Cochrane and PubMed from any period. We included studies reporting mandibular molars with radix entomolaris based on gender, population background, its region of the mandible. Data was calculated using Comprehensive Meta-analysis V.3 and R 3.5.1. Our search yielded 57 studies worldwide. Result: The odds of radix entomolaris in mandibular molars in male were significantly higher than female (95% CI, P < 0.05), also there is a significantly higher incidence of radix entomolaris in first mandibular molar than second mandibular molar (95% CI, P < 0.05). But, there is no significant different of the incidence of radix entomolaris between mandibular molar sinistra and dextra (95% CI, P < 0.05). We also found, the incidence of radix entomolaris is significantly higher in Asia than the other continents (95% CI, P< 0.05). Conclusion: The incidence of radix entomolaris could be predicted from patient’s gender, region, and the type of molars thus a proper knowledge is needed for clinician to approach a successful endodontic treatment. Keywords: Incidence, Radix entomolaris, Systematic review, Meta analysis



INTRODUCTION The aim of endodontic treatment is to heal or prevent apical periodontitis. A succesful endodontic outcome needs to prevent bacterial penetration from the pulp to periodontium by a good procedure of the triad of debridement, thorough disinfection, and obturation. Identification of canals is also an important factor. Failures of endodontic treatment might happen because of various factors, such as missed canals or procedural errors1. Anatomical variation exist on different types of teeth1. A presence of additional third root, called radix entomolaris (RE), located distolingually in mandibular molars is one of a major anatomical variations2. In Mongoloid population (Chinese, American Indians, and Eskimo) the frequency of the presence of radix entomolaris is between 5% to more than 30%3. While in UK, Dutch, German, Finnish, and European populations the frequency of radix entomolaris is less than 4%3. On a study of the incidence of radix entomolaris in Palestinian population, there was



no significant difference on the occurence of radix entomolaris between females and males4. While on a study on Indian population showed that the incidence of radix entomolaris is higher in males than in females5. 24,5% incidence was found in mandibular permanent first molars (MPFM) while in mandibular permanent second molars (MPSM) only 0,7% incidence was found on a study among Korean population6. And on a study on Indian population, only 0,23% MPSM shows the presence of radix entomolaris7. Garg, A., Tewari, R., and Kumar, A. on their study among Indians stated that there was no significant difference on the incidence of radix entomolaris between the right side and the left side (x2=0.36, p> .05)8. While on a study among Taiwanese individuals shows that there is a significant difference on incidence of radix entomolaris between the right side (4.22%) and the left side (2.41%) (x2=99.671, p