Buku Radikalisasi Gerakan GmnI-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sekapur Sirih Buku yang diberi judul “Pergulatan GmnI Menuju Sosialisme Indonesia. RADIKAL”, adalah hasil dari pemikiran yang berkembang di lingkungan gerakan kader-kader GmnI beberapa tahun terakhir ini. Pemikiran tersebut adalah gagasan dan ide yang kemudian menjadi perdebatan yang rumit dan panjang di antara sesama kader. Perdebatan itu adalah upaya kader dalam mencari strategi baru (jalan baru) demi mengembalikan progresivitas dan radikalisasi gerakan bagi kebangunan cita-cita ideologi. Perdebatan itupun pada akhirnya menghasilkan sebuah pilihan strategi baru yang kemudian diputuskan dalam Kongres Luar Biasa GmnI 2001 Semarang, yang terus menguat dan mengkristal sampai saat ini. Melihat perkembangan itu, kemudian tercetus sebuah ide tentang perlunya merangkai gagasan dan ideide yang berkembang itu dalam sebuah dokumentasi tertulis. Harapannya, tulisan itu akan memberikan stimulus dan élan baru bagi para kader lengkap dengan critic-self-critic-nya. Oleh karenanya diharapkan pula buku ini akan menjadi buku awalan yang akan memunculkan buku-buku lain oleh kader-kader GmnI maupun kader-kader nasionalis muda lainnya. Buku ini disusun melalui pendekatan kesejarahan GmnI khususnya sejarah pergulatan pemikiran, konsepsi dan strategi organisasi yang mengalami pasang surut dari jaman ke jaman. Tentu saja unsur subyektifitas sangat mungkin terjadi dalam buku ini. Oleh karena itu maka penyusun mencoba untuk lebih komprehensif lagi dengan ikut memasukkan unsur-unsur konteks sejarah yang dipandang ikut mendukung dan mempengaruhi munculnya motivasi-motivasi ide, gagasan dan strategi



pada masa itu, selain literatur-literatur yang memperkuat kejadian-kejadian sejarah itu. Selanjutnya buku ini khusus memuat tentang perdebatan ide dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir, yang kemudian melahirkan sebuah strategi baru sebagai proyeksi “jalan baru”, yang didasarkan pada sebuah refleksi atas pasang-surutnya perjuangan GmnI sejak sejarah kediriannya. Jalan baru itu ditujukan sebagai upaya GmnI menghadapi tantangan baru kebangsaan Indonesia yang berada dalam hegemoni imperium kapitalisme global yang dirasa telah merubah sekian nilai kehidupan kebangsaan di dalam masyarakat Indonesia. Terakhir, buku ini mencoba untuk sedikit mengangkat masalah ideologi sebagai paradigma organisasi yang dikaitkan dengan beberapa perdebatan wacana di tubuh kader khususnya mengenai relevansi ideologi dan keberadaan marhaenisme yang sempat dikait-kaitkan dengan “jalan ketiga”. Sekali lagi, buku ini hanyalah awalan, yang tentunya memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu maka critic-self-critic diharapkan mampu terbangun. Jakarta, Maret 2003 Penyusun Donny Tri I. Margiono



Daftar Isi Sekapur Sirih Daftar Isi Pengantar Presidium GmnI I.



GmnI dan Sejarah Kelahirannya



II.



Pasang Surut Perjuangan GmnI



III.



KLB dan Jalan Baru GmnI GmnI dan Tantangan Kedepan



IV. 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Globalisasi: Matinya Negara dan Demokrasi Indonesia Otonomi Daerah dan Fragmentasi Perjuangan Feodalisme dan Peradaban Baru Agama dan Nation and Caracter Building Hukum dan Kekuasaan Ilmu untuk Perjuangan



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Kelahiran Marhaenisme Marhaenisme dalam Pemahaman GmnI Dasar Perjuangan GmnI Kewajiban Perjuangan GmnI Kekuatan Perjuangan GmnI Syarat Perjuangan GmnI Musuh-Musuh Perjuangan GmnI Taktik dan Strategi Perjuangan GmnI



Marhaenisme dan Jalan Baru GmnI



V.



VI.



Marhaenisme Bukan Jalan Ketiga



VII.



Marhaenisme Tidak Lagi Relevan?



Lampiran: Silabus Kaderisasi GmnI Amanat PYM Presiden Bung Karno pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang 17 Februari 1959 dan Jakarta 20 Juli 1963;



Pengantar Presidium GmnI Jika saja dalam sejarah perubahan kita mengenal yang dinamakan sebagai Very Important Person (VIP), mahasiswa tentu merupakan nominator utamanya. Dan andaikata memang ada, mungkin bukan lagi Very Important Person, melainkan Very Important Community. Betapa tidak, dalam setiap episode perubahan yang terjadi di Republik ini, selalu saja mahasiswa menjadi pelopornya. Tengok saja pada tahun 1908, ketika gerakan kebangkitan nasional yang dimotori mahasiswamahasiswa STOVIA. Atau mungkin pada tahun 1966 yang dipelopori mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang akhirnya melahirkan rejim Orde Baru. Atau juga pada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang aksi-aksinya juga dipimpin oleh para mahasiswa. Pun di tahun 1998 kemarin yang kemudian dikenal sebagai pelopor gerakan reformasi. Semua itu adalah lembaran-lembaran emas dalam sejarah perjuangan yang diperankan mahasiswa. Namun demikian, ada satu catatan penting yang harus kita cermati bersama, bahwa dalam setiap gerakannya, mahasiswa sebenarnya merupakan subyek dari perubahan, tetapi dalam perjalanannya kemudian ternyata mulai menjadi obyek permainan (khususnya oleh para segelintir elit). Dan menjadi ironis ketika perubahan peran ini justru tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa. Dan pada konteks critic-self-critic sebagai mahasiswa, harus diakui bahwa perubahan itu menunjukkan bahwa kita (mahasiswa) telah terjebak



dalam pola gerakan yang selama ini kita jalankan sendiri. Gerakan-gerakan yang selama ini kita sebut sebagai sebuah gerakan moral ini cenderung dimanifestasikan sebagai gerakan yang hanya akan turun ketika terjadi proses-proses sosial dan politik yang tersumbat. Padahal sebagaimana yang telah kita alami selama ini, tersumbatnya proses-proses sosial dan politik ini selalu saja kita ketahui setelah menimbulkan implikasi. Dan konsekuensi dari semua itu adalah highcost politic yang harus kita bayar. Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita dengan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Ketika Orde Baru dapat dengan leluasa melaksanakan sistem pemerintahan yang sentralistik dan kapitalistik, sebagian besar mahasiswa kita terlelap dalam tidur panjangnya. Semua baru tersentak bangun ketika sistem itu telah menghasilkan sebuah krisis ekonomi yang maha-dahsyat, dan memang hal ini menjadi sebuah ironi yang luar biasa. Dalam ketersentakan itulah kita harus membayarnya dengan economic-cost dan political-cost yang tidak murah. Ketika bangun, kita baru sadar, berapa asset negara kita yang telah dirampok, berapa pulau kita yang telah tergadaikan, berapa trilyun hutang yang harus kita tanggung, dan berapa puluh kebijakan negara dibuat sehingga membuat sistem ketatanegaraan kita menjadi semakin amjburadul. Seringkali, dalam kondisi yang sudah parah itu kita baru sadar. Dan seringkali pula dalam kondisi itu kita juga baru bergerak dengan gelombang besarnya. Itulah pola gerakan moral mahasiswa selama ini! Sebagai mahasiswa, kita sering memposisikan diri sebagai seorang resi yang duduk di singgasana dalam sebuah menara gading yang hanya akan turun ketika melihat suatu persoalan terjadi di tengah masyarakat. Dan pada gilirannya pula, ketika problematika politik



maupun kemasyarakatan itu sirna, kita kembali duduk tenang di singgasana kampus dan kembali menyerahkan semuanya pada orang-orang yang justeru sebenarnya merupakan biang dari segala persoalan tersebut. Kenapa semua itu terjadi? Pertanyaan itulah yang kemudian mendasari mengapa buku ini ditulis. ********* Andaikan GmnI adalah sesosok manusia, usia 49 tahun adalah usia yang lebih dari sekedar dewasa. Sejak kelahirannya, organisasi yang merupakan fusi dari tiga organisasi yang berazaskan marhaenisme ini telah mengalami beberapa kali masa pasang surut. Pada tahun-tahun awal kelahirannya saja misalnya, GmnI yang bercirikan nasionalis dan berwatak kerakyatan ini langsung berada dalam “kebesarannya”. Dari kongres pertama hingga kongres ketiga pada tahun 1959, meskipun programnya lebih banyak pada konsolidasi internal, namun demikian GmnI telah mampu menunjukkan eksistensinya di dunia pergerakan. Dan potensi strategis ini kemudian terbaca oleh Soekarno, hingga dalam kapasitasnya sebagai Presiden, kemudian bersedia memberikan pidato pada Konperensi Besar di Kaliurang dengan judul “Hilangkan Steriliteit dalam dalam Gerakan Mahasiswa”. Di tengah-tengah semangatnya, ketika GmnI yang mulai meningkatkan kiprah gerakannya, tiba-tiba muncul satu persoalan. Gejolak politik yang terjadi pada tahun 1965 memberikan dampak luar biasa terhadap GmnI. Kongres V yang rencananya dilaksanakan di Jakarta harus gagal dan hanya sanggup terealisir di Pontianak dalam bentuk Konperensi Besar. Dan persoalan ternyata tidak hanya berhenti di situ. Dalam babak politik selanjutnya, ketika perpecahan melanda di tubuh front marhaenis, hal tersebut ternyata juga



menjadi cobaan berat yang harus dihadapi GmnI. Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Baik conflict of interest maupun pertarungan ide selalu mewarnai perjalanan GmnI. Hingga pada tahun-tahun berikutnya pasang surut GmnI terus saja terjadi, bahkan sampai detik ini. ********* Dari sedikit ulasan sejarah perjalanan GmnI di atas tentu akan memunculkan satu pertanyaan besar, mampukah GmnI merumuskan satu pola baru dalam gerakan mahasiswa? Bagi kami, keberanian adalah modal utama. Kesalahan, kekurangan, kelemahan, kebodohan, serta hal-hal lain yang pernah terjadi dan dilakukan oleh GmnI di masa lalu merupakan cambuk bagi kami. Keberanian untuk menerbitkan semua ide dan gagasan yang selama ini didiskusikan dan dirumuskan bukan hanya oleh Presidium, melainkan juga korda, cabang, dan seluruh kader GmnI ini, mungkin oleh beberapa pihak dinilai sebagai sebuah kesombongan, tapi bagi kami, sesungguhnya merupakan sebuah bentuk radikalisasi. Dan radikalisasi yang kami maksudkan dalam konteks ini adalah radikalisasi untuk merubah cultuur kita yang tidak pernah self-reliance, tidak pernah percaya pada diri sendiri. Jalan Baru yang akan kita tempuh dan tawarkan kepada setiap elemen pro-demokrasi ini pun, sesungguhnya juga merupakan bentuk radikalisasi kami, yakni sebuah radikalisasi atas pola gerakan (yang secara subyektif kami nilai salah) yang sedang dan telah dipraktekkan oleh kita, para kaum muda. Alam bawah sadar kita yang menyatakan bahwa urusan negara adalah hanya urusan orang tua haruslah dihilangkan. Pemahaman yang menyatakan bahwa urusan pendidikan dan pemberdayaan politik adalah tugas dan urusan



partai politik harus dibersihkan pula dari otak kita, mengapa? Karena masa depan adalah masa kita, juga telah terbukti dalam sejarah jaman bahwa mereka sering lalai dalam tugas-tugasnya. ********* Di Republik yang konstitusinya telah dengan jelas menyatakan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi ini, kaum muda harus menjadi sebuah kekuatan kritis. Adalah tugas dan porsinya, bahwa mahasiswa harus senantiasa melakukan kritik, kontrol, dan pengawasan terhadap segala kebijakan yang menyangkut nasib seluruh rakyat, khususnya yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara. Dan satu hal yang harus menjadi keyakinan dan prinsip kita pula, bahwa mengkritik, mengontrol, dan mengawasi dalam alam demokrasi bukan saja sesuatu yang penting, namun lebih dari itu, peran-peran tersebut merupakan peranperan yang terhormat dan mulia. Oleh karenanya, dalam melakukan tugas-tugas perubahan menuju Indonesia yang berperadaban baru itulah, GmnI jauh-jauh hari hingga detik ini telah memposisikan diri sebagai “oposisi permanen”. Sebuah kekuatan yang memposisikan diri mengawal bangsa ini mewujudkan masyarakat sosialis-religius. Sikap oposisi permanen adalah satu sikap yang di satu sisi akan setia mendukung setiap kebijakan yang menyelamatkan kaum marhaen, dan di sisi yang lain, sebuah sikap yang siap berhadap-hadapan dengan negara sekalipun, apabila dalam kebijakannya, negara justeru menindas rakyat. Dan siap untuk vivere pericoloso adalah sesuatu yang telah include dalam sikap kita untuk melakukan perubahan menuju kehidupan zonder penindasan. *********



Akhirnya, sebagai sebuah buku yang berisi tawaran tentang konsep gerakan, buku ini tentu terlalu sederhana, bahkan malah lebih terkesan compangcamping. Dan itu sangat disadari benar, oleh karena itu pula, kami juga telah bersepakat bahwa buku ini hanya merupakan starting point. Sehingga kami atas nama Presidium, yang juga sebagai penerbit buku ini, dengan penuh kerendahan hati memohon kritik, saran, dan masukan dari pembaca sekalian demi lebih sempurnanya gagasan yang akan kami tawarkan. Dan tak lupa pula, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memberikan bantuannya sehingga dapat diterbitkannya buku ini. Terima kasih kami yang sangat khusus dan tulus juga kami berikan kepada kawan-kawan di Serikat Asongan Pulogadung yang telah memberi pengetahuan kepada kami tentang ganasnya kapitalisme, kawankawan dari jaringan pengobatan alternatif “Sido Waras” yang telah menjaga kesehatan kami, para bapak dan ibu dari serikat kaum miskin kota yang telah banyak mengajari kami tentang arti dari kehidupan dan pengharapan, dan tak ketinggalan pula para anggota dari serikat nelayan, buruh, maupun petani, yang meskipun di beberapa tempat kawan-kawan GmnI mendampingi kasus-kasusnya, namun dalam banyak hal, kami justeru banyak belajar. Dan kepada bapak, ibu, dan kawankawan yang secara khusus telah saya sebutkan itulah buku ini kami dedikasikan. Jakarta, 18 Maret 2003 Atas Nama Presidium GmnI Sonny T. Danaparamita Sekretaris Jenderal



Bab Satu



GmnI dan Sejarah Kelahirannya



Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau disingkat GMNI lahir dari hasil peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang ketiganya berazaskan marhaenisme. Ketiga organisasi tersebut adalah: Gerakan Mahasiswa Marhaenis berpusat di Yogyakarta; Gerakan Mahasiswa Merdeka berpusat di Surabaya; dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berpusat di Jakarta. Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa tersebut mulai tampak ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh Hadi Prabowo. Dalam suatu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan



kedua organisasi lain yang hadir (Gerakan Mahasiswa Marhaenis dan Gerakan Mahasiswa Merdeka), dan ternyata mendapat sambutan positif. Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka dalam Rapat Bersama antara ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain: 1. Ketiga organisasi setuju melakukan fusi; 2. Wadah peleburan tiga organisasi dalam fusi tersebut diberi nama Gerakan mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GmnI; Azas organisasi GmnI adalah Marhaenisme ajaran Bung Karno; 3. Disepakati pula dalam pertemuan itu untuk melaksanakan Kongres I GmnI di Kota Surabaya. Para pimpinan tiga organisasi pertemuan ini antara lain:



yang



hadir



dari Gerakan Mahasiswa Merdeka: - SLAMET DJAJAWIDJAJA - SLAMET - RAHARDJO - HERUMAN dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis: - WAHYU WIDODO - SUBAGIO - MASRUKIN - SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia: - S.M. HADIPRABOWO - DJAWADI HADIPRADOKO - SULOMO



dalam



Atas dukungan Bung Karno, pada tanggal 22 Maret 1954 segera dilangsungkan Kongres I GmnI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GmnI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk menetapkan pimpinan organisasi di tingkat pusat. Sehubungan dengan masih banyaknya persoalan yang ternyata belum mampu terselesaikan dalam pertemuan Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GmnI menggelar Kongres II di Bandung. Dalam kongres tersebut GmnI masih mengkonsentrasikan dirinya untuk membahas persoalan konsolidasi internal yang dipandang masih belum selesai walaupun telah berusia 2 (dua) tahun sejak kediriannya. Kongres itu kemudian memutuskan untuk memprioritaskan kerja organisasi pada peningkatan kuantitas GmnI dengan cara mendirikan cabang-cabang baru di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan Kongres II tersebut ternyata membawa pengaruh yang sangat positif di tubuh GmnI. Sebab paska Kongres II itu, cabang-cabang GmnI mulai banyak didirikan di beberapa kota khususnya wilayah Jawa dan Sumatera atas bantuan dan dukungan Partai Nasional Indonesia (PNI). Mengingat pesatnya pertumbuhan GmnI di daerah-daerah, maka 3 (tiga) tahun kemudian, GmnI menyelenggarakan Kongres III di Malang pada tahun 1959. Kongres III tersebut merupakan sejarah penting, karena momentum itu adalah kematangan GmnI dalam perjuangan mendukung revolusi sosial yang sedang berlangsung di Indonesia. Pada tahun yang 1959 itu juga, GmnI kembali menyelenggarakan Konperensi Besar GmnI di Kaliurang



Yogyakarta dalam rangka peneguhan ideologi marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan organisasi. Dalam Konperensi Besar itu, Bung Karno sebagai Presiden RI, memberikan Pidato Sambutan berjudul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa!" yang intinya ikut menegaskan tentang nilainilai ajaran marhaenisme tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1963, GmnI kembali mengadakan Konperensi Besar di Jakarta. Agenda pokok yang dibahas dalam konperensi tersebut adalah penataan organisasi yang lebih menyeluruh dalam upaya menunjang kerja-kerja gerakan di tubuh GmnI. Dalam konperensi tersebut, Bung Karno juga memberikan sambutan sekaligus amanat yang pada intinya meminta kepada GmnI untuk lebih menegaskan ideologi marhaenisme-nya. Dengan ketegasan ideologi tersebut maka GmnI diharapkan akan mampu melakukan upaya pengorganisasian rakyat untuk kesatuan bangsa dan kekuatan new emerging force dalam melawan segala bentuk ancaman kekuatan neo kolonialismeimperialisme yang menginginkan perpecahan bangsa dengan menciptakan pemberontakan-pemberontakan di wilayah tanah air. Untuk lebih mematangkan gerakan di tubuh GmnI sebagai salah satu elemen pelopor jalannya revolusi sosial di Indonesia, maka segera direncanakan untuk melaksanakan Kongres V di Jakarta pada tahun 1965. Namun kongres yang dicanangkan tersebut pada akhirnya gagal karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G 30 S. Walaupun kongres tersebut gagal dilaksanakan, namun GmnI masih sempat melaksanakan Konperensi Besar di Pontianak pada tahun 1965 yang berhasil menyusun Kerangka Program Perjuangan, dan Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.



Peristiwa G 30 S yang membawa negara pada pergantian rejim kekuasaan, ternyata harus dibayar mahal oleh GmnI dengan terpolarisasinya GmnI dalam 2 (dua) kubu, yaitu antara kelompok yang tetap setia pada ideologi marhaenisme dan sepakat untuk melanjutkan jalannya revolusi, dan kubu yang memilih kompromi dengan Orde Baru dengan mengakui Orde Baru sebagai pemerintahan baru yang berkuasa. Kubu yang menolak tunduk terhadap rejim baru pada akhirnya harus rela menjadi korban dari represivitas rejim melalui stigmatisasi komunis dan represi fisik yang berakhir dengan dipenjarakannya kader-kader GmnI sebagai tahanan politik. Sementara kubu yang sepakat kompromi dengan rejim diberikan fasilitas berupa pengakuan oleh rejim dan dijinkan untuk meneruskan kerja-kerja keorganisasiannya. Bahkan “kubu kompromis“ tersebut diberikan legitimasi politik dengan merestui pelaksanaan Kongres V di Salatiga yang menghasilkan kepemimpinan nasional baru di bawah pimpinan Suryadi. Paska kongres tersebut, kelompok Suryadi kemudian diakui sebagai satu-satunya pimpinan nasional GmnI oleh pemerintah Orde Baru. Namun sebagai kompensasinya, Presidium kubu Suryadi harus tunduk dan patuh pada pemerintahan Orde Baru sebagai rejim yang berkuasa. Setelah gejolak politik mulai mereda, GmnI yang telah terpecah kembali memanfaatkan momentum untuk melakukan upaya konsolidasi demi kebangunan GmnI. Upaya konsolidasi tersebut membuahkan hasil dengan kembali disatukannya 2 (dua) kubu yang pecah dalam Kongres VI GmnI yang dilaksanakan di Ragunan-Jakarta pada tahun 1976. Rekonsiliasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan power sharing antara 2 (dua) kubu untuk mengisi struktur pimpinan nasional. Untuk mengakhiri konflik perpecahan organisasi, disepakati



bahwa kader-kader yang akan didudukkan dalam kepemimpinan nasional haruslah kader yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu. Tema pokok yang digagas dalam kongres tersebut adalah "Pengukuhan Independensi GmnI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang asas marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga. Untuk masalah keorganisasian, model kepemimpinan di tubuh GmnI diubah dari instruktif menjadi kolektif-kolegial dalam bentuk lembaga Presidium. Paska Kongres VI Ragunan-Jakarta, gerakan di tubuh GmnI mulai bangkit kembali walaupun masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaaan rejim Orde Baru. Pada tahun 1979, GmnI kembali melaksanakan Kongres VII di Medan Sumatera Utara. Dalam kongres tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting antara lain tentang asas marhaenisme yang tetap tidak boleh diubah; penegasan tentang independensi organisasi; dan perlunya keseimbangan antara konsolidasi organisasi dengan konsolidasi ideologi terhadap seluruh kaderkader GmnI. Kongres VII Medan tersebut pada dasarnya adalah awal dari kebangkitan kembali gerakan di tubuh GmnI mengingat telah diputuskannya beberapa sikap yang radikal terutama menyangkut asas marhaenisme yang dipertahankan sebagai asas organisasi serta dilancarkannya program konsolidasi ideologi terhadap seluruh basis kader. Sikap radikal tersebut patut untuk dihargai karena secara tidak langsung telah menunjukkan adanya sikap yang berani dari kaderkader GmnI dalam menentang rejim Orde Baru yang phobi dengan marhaenisme ajaran Bung Karno. Namun sikap radikal itu ternyata tidak cukup mampu untuk kembali menggerakkan GmnI dalam



sebuah radikalisasi gerakan. Sebab sikap radikal itu harus berbenturan dengan gencarnya intervensi kekuatan rejim yang tidak menginginkan GmnI menjadi kuat. Intervensi tersebut dilakukan oleh rejim dengan melakukan pembusukan di tubuh GmnI yaitu dengan menyusupkan kader gadungan atau memanfaatkan kader-kader GmnI yang tidak memiliki mental ideologi yang kuat untuk dibeli dan didudukkan sebagai pimpinan nasional GmnI. Dengan demikian, akan memudahkan rejim untuk mengendalikan setiap gerak dan langkah GmnI. Intervensi rejim tersebut berlangsung sampai menjelang dilaksanakannya Kongres VIII di Yogyakarta. Kongres tersebut berhasil digagalkan oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain) yang sadar akan adanya bahaya intervensi dan kepentingan rejim di dalam kongres. Tetapi sayang, protes cabang-cabang tidak mampu membendung intervensi kekuatan rejim karena toh pada akhirnya kongres tetap dilaksanakan dengan memindahkan tempatnya dari Yogyakarta ke Lembang Bandung (1982) di bawah pengawalan ketat militer Orde Baru. Dan akhirnya pimpinan nasional GmnI pun tetap tidak bisa diselamatkan dari intervensi, karena sudah terlanjur dimasuki oleh beberapa kelompok kekuatan luar yang memiliki kepentingan terhadap GmnI. Kader-kader “titipan-rejim” yang duduk di kepemimpinan nasional tersebut pada akhirnya harus berakibat pecahnya lembaga Presidium GmnI. Ironisnya, perpecahan ditingkat pimpinan nasional tersebut ternyata merambat sampai pada perpecahan di antara cabang-cabang. Implikasinya, organisasi yang mulai bangkit pada akhirnya harus ambruk karena konflik berkepanjangan yang menyita sebagian besar energi kader-kader GmnI. Akibatnya, sebagian besar kerja-kerja



organisasi regenerasi matinya kehabisan



menjadi terbengkalai. Proses kaderisasi dan menjadi stagnan yang berakibat runtuh dan sebagian besar cabang-cabang karena kader.



Di tengah ancaman keruntuhan organisasi itu, Kongres IX GmnI akhirnya tetap dilaksanakaan pada tahun 1985 di Samarinda. Karena stagnannya kaderisasi dan regenerasi, maka sebagian besar pimpinan nasional yang terpilih adalah wajah-wajah lama (status quo) yang sebenarnya masih dipertanyakan tentang loyalitasnya terhadap ideologi dan organisasi. Kongres IX tersebut relatif tidak menghasilkan konsepsi apapun terutama tentang pembaharuan pemikiran serta operasional program. Perpecahan yang berlarut-larut di tubuh GmnI tersebut terus menjalar ke berbagai struktur organisasi dan memuncak saat dilaksanakannya Kongres X di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai oleh kericuhan fisik. Dalam Kongres X tersebut, lagi-lagi wajah-wajah lama menduduki kepemimpinan nasional GmnI akibat stagnannya kaderisasi dan regenerasi di tubuh GmnI. Lebih ironis lagi, konflik di kepimpinan nasional GmnI ternyata semakin parah dan sudah mulai mengarah pada saling "pecat-memecat". Akhirnya, identitas sebagai organisasi perjuangan pun menjadi luntur akibat konflik yang tidak jelas dan deideologis. Perilaku yang lebih menonjol justru adalah mentalmental birokrat demi mempertahankan status-quo. Lebih parah lagi, demi melestarikan status-quonya, beberapa pimpinan nasional GmnI mulai mengintrodusir apa yang disebut "Komunitas Baru GmnI" yang ditetapkan melalui Deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan terberat yang dihadapi GmnI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat



sesaat, tetapi sudah mengarah pada kehancuran ideologi dan nafas gerakan. Mental-mental birokrat yang menjadi perilaku elite GmnI saat itu pada akhirnya mendapat perlawanan dari cabang-cabang dalam Kongres XI yang dilaksanakan di Malang pada tahun 1992. Reaksi perlawanan tersebut dilakukan dengan cara menuntut adanya otonomi yang lebih luas dari cabang-cabang. Tuntutan itu akhirnya melahirkan format baru tentang tata-hubungan antara kader-kader GmnI yang tidak boleh lagi bersifat “formalinstitusional” untuk mengikis mental-mental birokrat kader GmnI. Sebagai gantinya tata-hubungan antar kader diganti dalam bentuk hubungan “personalfungsional” karena dipandang cukup relevan dan mampu mendukung GmnI menjadi organisasi yang benar-benar berbasiskan gerakan. Radikalisasi GmnI kembali bangkit pada saat dilaksanakannya Kongres XII di Denpasar-Bali tahun 1996, walaupun GmnI telah mengalami penurunan kuantitas kader yang cukup tajam akibat stagnasi regenerasi. Radikalisasi gerakan itu oleh cabang-cabang kemudian dituangkan dalam perubahan Pembukaan Anggaran Dasar dengan memasukkan klausul "sosialisreligius” dan “progressif-revolusioner". Dalam kongres tersebut, juga kembali ditegaskan tentang independensi gerakan dengan membuat aturan baru yang ditetapkan dalam AD/ART tentang dilarangnya anggota GmnI merangkap keanggotaan dengan partai politik dan organisasi sejenis. Namun sayang, komitmen radikalisasi gerakan oleh cabang-cabang kembali mendapatkan ujian dengan intervensi kekuatan luar yang selalu memasukkan orang-orang titipannya dalam lembaga Presidium GmnI. Dan dapat diprediksi akibat intervensi tersebut,



Presidium GmnI hasil Kongres XII kembali terpecah seperti juga lembaga sebelumnya. Dan komitmen yang dihasilkan dalam Kongres XII Denpasar kembali tercoreng dengan dilanggarnya komitmen oleh beberapa anggota Presidium yang masuk menjadi anggota partai politik dan menjadi salah satu calon legislatif dari partai politik tersebut. Melihat pelanggaran komitmen itu, maka DPCDPC sepakat untuk melakukan penyikapan dalam konsolidasi nasional yang dilaksanakan di Malang tanggal 23 April 1999. Dalam konsolidasi tersebut disepakati bahwa seluruh cabang menyatakan tidak percaya lagi terhadap pimpinan nasional pada saat itu sebagai sikap protes terhadap konflik kepentingan dan pelanggaran organisasi yang dilakukan oleh beberapa anggota presidium. Akhirnya cabang-cabang bersepakat pula untuk meneruskan jalan baru tentang pengembalian radikalisasi gerakan di tubuh GmnI yang telah digulirkan di Kongres XII tanpa melibatkan pimpinan nasional. Demi percepatan radikalisasi gerakan, seluruh cabang sepakat untuk segera melakukan konsolidasi ideologi yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 21 Juni 1999 di Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut, cabang-cabang berhasil merumuskan kembali nilai-nilai marhaenisme untuk mengembalikan roh gerakan di tubuh GmnI. Rumusan nilai-nilai itu kemudian disempurnakan dalam pertemuan antar cabang pada tanggal 1 Juli 1999 di Surabaya. Selain berhasil menyempurnakan rumusan marhaenisme, pertemuan tersebut juga menghasilkan kesepakatan antar cabang untuk menyusun Silabus Kaderisasi yang akan direlevansikan dengan rumusan marhaenisme yang telah disusun.



Oleh karena itu, cabang-cabang kemudian menyepakati untuk mengadakan satu kali pertemuan lagi dalam bentuk Lokakarya Nasional yang khusus membahas tentang silabus kaderisasi. Sebelum Lokakarya Silabus Kaderisasi terlaksana, Presidium GmnI ternyata telah menyebarkan undangan ke seluruh cabang untuk segera melaksanakan Kongres XIII di Kupang NTT. Akhirnya, Lokakarya ditunda sampai selesainya Kongres XIII. Namun sebelum kongres terlaksana, cabangcabang ternyata memiliki sikap dan pandangan yang berbeda-beda terhadap Kongres XIII. Perbedaan sikap dan pandangan itu menyebabkan perpecahan baru di tubuh GmnI. Beberapa perbedaan pandangan tersebut antara lain: Dua cabang (Bandung, Yogyakarta) bersikeras untuk tetap mengabaikan undangan Presidium atas dasar sejarah kongres-kongres GmnI terdahulu yang selalu melahirkan kepemimpinan nasional yang corrupt akibat intervensi rejim. Sehingga tidak ada toleransi terhadap pengkhianatan organisasi yang dilakukan oleh anggota Presidium tersebut. Akhirnya Bandung dan Yogyakarta memutuskan untuk tidak hadir dalam Kongres XIII di Kupang-NTT. Tiga cabang (Surabaya, Denpasar, Jember) tetap memutuskan untuk berangkat menghadiri Kongres namun dengan tuntutan: -



Presidium harus memberikan klarifikasi terlebih dahulu tentang pelanggaran organisasi yang telah dilakukan;



-



serta Presidium diminta untuk menyelesaikan konflik internalnya terlebih dulu sebelum Kongres XIII dilaksanakan.



Tuntutan tersebut disampaikan oleh ketiga cabang yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang lain ketika seluruh cabang berkumpul di Jakarta untuk bersama-sama berangkat menuju Kupang. Namun karena tuntutan itu tidak dipenuhi oleh Presidium, maka Surabaya, Jember dan Denpasar kemudian memutuskan untuk tidak menghadiri kongres dan kembali pulang ke daerah masing-masing. Cabang-cabang lainnya memutuskan untuk tetap berangkat dengan berbagai macam pertimbangan. Namun di tengah-tengah pelaksanaan Kongres, ternyata 5 (lima) cabang yaitu Malang, Solo, Semarang, Pontianak dan Medan melakukan aksi walk-out sebagai bentuk protes terhadap Presidium yang dinilai tidak quorum sehingga tidak bisa dimintai laporan pertanggungjawabannya (Kongres XIII Kupang hanya dihadiri oleh 4 orang Presidium dari 13 cabang). Tiga cabang lain yaitu Pontianak, Mataram dan Garut memutuskan untuk tetap mengikuti Kongres sampai selesai untuk menghindari pressure fisik dari cabang-cabang yang tetap ngotot meneruskan kongres, namun dengan sikap abstain terhadap segala keputusan. Akhirnya, dari keseluruhan cabang yang hadir dalam Kongres XIII Kupang, otomatis hanya ada 10 (sepuluh) cabang yaitu DKI Jakarta, Depok, Bogor, Purwokerto, Pasuruan Kupang, Ende, Manado, Tondano dan Bitung. Namun ternyata kesepuluh cabang tersebut tetap meneruskan Kongres bahkan membentuk kepemimpinan nasional yang baru di tubuh GmnI walaupun sebenarnya Kongres tersebut tidak quorum untuk membuat sebuah keputusan. Karena sikap yang berbeda-beda antar cabang terhadap Kongres XIII Kupang seperti di atas, akibatnya sejarah konflik dan perpecahan di tubuh GmnI kembali



terjadi. Untuk mengatasi perpecahan agar tidak meluas dan membias, maka beberapa cabang (Solo, Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, Jember, Surabaya dan Medan) sepakat untuk melakukan konsolidasi lanjutan antar cabang yang dilaksanakan di Jember tanggal 15 Desember 1999. Pertemuan tersebut diadakan khusus untuk mencari upaya-upaya solusi yang dipandang bisa mengatasi perpecahan di tubuh GmnI yang terjadi. Menjadi fenomena menarik karena di pertemuan itu ternyata juga dihadiri oleh salah seorang Presidium hasil Kongres XIII Kupang (Yanto) yang juga mengakui bahwa Kongres XIII Kupang mengalami kecacatan. Akhirnya dalam pertemuan tersebut disepakati untuk menyelesaikan perpecahan dengan cara menggagas adanya sebuah pertemuan tingkat nasional yang akan dihadiri oleh seluruh cabang (baik yang mendukung dan menolak Kongres XIII Kupang), untuk kembali duduk bersama dalam satu pertemuan resmi. Dan berdasarkan AD/ART GmnI, satu-satunya pertemuan resmi yang setingkat dengan kongres hanyalah Kongres Luar Biasa (KLB). Mengenai agendaagenda yang akan dibicarakan dalam KLB tersebut antara lain: 1. Menyelesaikan konflik Kongres XIII Kupang;



antar



cabang



paska



2. Pengesahan Manifesto Politik GmnI berupa rumusan nilai-nilai marhaenisme hasil pertemuan antar cabang di Yogyakarta dan Surabaya; 3. Pengesahan Silabus Kaderisasi dan Garis-Garis Besar Program Perjuangan (GBPP). Mengingat belum dirumuskannya Silabus Kaderisasi dan GBPP GmnI karena terhenti oleh adanya Kongres XIII Kupang, maka diputuskan dalam pertemuan



tersebut untuk segera melaksanakan Lokakarya Silabus Kaderisasi yang sempat tertunda. Lokakarya Kaderisasi akhirnya bisa dilaksanakan pada tanggal 22-23 Januari 2000 di Solo. Dalam Lokakarya tersebut cabang-cabang akhirnya mampu menyelesaikan rumusan Silabus Kaderisasi dan GBPPGmnI. Di dalam Lokakarya itu juga diputuskan bahwa Yogyakarta ditetapkan sebagai tuan rumah pelaksanaan KLB. Namun karena tidak kesulitan dana, akhirnya KLB dipindahkan ke kota Semarang yang menyatakan diri siap untuk menjadi tuan rumah. KLB kemudian dilaksanakan pada tanggal 9-12 Februari 2001 di Semarang Jawa Tengah. Penggalangan dana sebagian besar diperoleh dari sumbangan cabang-cabang yang hadir. Agenda pertama KLB tentang penyelesaian konflik antar cabang ternyata tidak berhasil diwujudkan karena cabang-cabang yang mendukung Kongres XIII Kupang (DKI Jakarta, Depok, Bogor, Purwokerto, Pasuruan Manado dan Kupang) tidak hadir walaupun telah diundang. Cabang-cabang yang menghadiri KLB antara lain: Lampung, Bengkulu, Jakarta Raya, Bandung, Garut, Cianjur, Jogyakarta, Semarang, Solo, Magelang, Surabaya, Malang, Jember, Banyuwangi, Denpasar, Pontianak, Palangkaraya dan Balikpapan. Sementara Medan dan Siantar Simalungun tidak bisa menghadiri KLB karena terbentur oleh persoalan dana, namun masih sempat membuat surat yang menyatakan patuh dan sepakat terhadap segala keputusan yang dihasilkan dalam KLB. KLB kemudian menghasilkan beberapa keputusan penting antara lain: pengembalian azas organisasi dari Pancasila kepada Marhaenisme dan Pengesahan Silabus Kaderisasi hasil Lokakarya Nasional di Solo. Mengenai



Manifesto Politik yang berisi rumusan nilai-nilai marhaenisme diputuskan untuk disempurnakan dalam Rapat Koordinasi Nasional GmnI. Ketidakhadiran cabang-cabang GmnI yang mendukung Kongres XIII Kupang di KLB telah memunculkan perdebatan sengit antar cabang. Sebagian cabang menuntut untuk terus melakukan upaya rekonsiliasi, dan sebagian cabang lagi menolak rekonsiliasi dan menuntut GmnI memisahkan diri demi pemurnian dan radikalisasi gerakan di tubuh GmnI. Akhirnya perdebatan tersebut berakhir dalam sebuah kesepakatan antara lain: 1. Cabang-cabang GmnI KLB memutuskan untuk memilih kepemimpinan nasionalnya sendiri yang memiliki kewajiban pokok membawa GmnI pada pemurnian dan radikalisasi gerakan sebagai “jalan baru” yang akan ditempuh GmnI menuju cita-cita sosialisme Indonesia; 2. Rekonsiliasi akan tetap dilaksanakan secara proporsional dengan menggunakan pendekatan ideologis dan kultural, sehingga rekonsiliasi akan terukur dan tidak sampai keluar dari rel ideologi karena hanya akan dilakukan sesama kader marhaenis dan bukan kader-kader marhaenis gadungan yang selalu muncul sejak sejarah kedirian GmnI; 3. Rekonsiliasi yang dilakukan tidak boleh mengorbankan komitmen, konsepsi dan gerakan pemurnian GmnI yang telah dirintis dan disusun oleh cabang-cabang KLB. Oleh karena itu rekonsilasi tidak bisa dilakukan jika harus merubah asas organisasi (marhaenisme), Silabus Kaderisasi GmnI, Manifesto Politik GmnI dan GBPP-GmnI yang selama ini telah menjadi roh



kebangkitan GmnI ditubuh cabang-cabang KLB include strategi perjuangannya yang baru. Upaya rekonsiliasi tersebut ternyata masih sulit bahkan semakin harapan semakin tipis seiring dengan dilaksanakannya Kongres XIV Manado pada bulan Desember 2002 oleh Presidium hasil Kongres XIII Kupang. Menjadi semakin tipis, karena cabang-cabang KLB di Rakornas II GmnI bulan Januari 2003 di Bandung juga memutuskan untuk meneruskan radikalisasi gerakan sebagai jalan baru yang akan dideklarasikan dalam Kongres XIV di Medan Sumatera Utara pada tanggal 1 Juni 2003. Akhirnya, sejarah juga yang nanti akan menguji komitmen, militansi dan loyalitas masing-masing barisan. Semoga GmnI tetap Jaya…!!!



Bab Dua



Pasang Surut Perjuangan GmnI



Pendirian organisasi GmnI sebenarnya berkaitan erat dengan keberadaan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai salah satu partai politik terkemuka di Indonesia pada tahun 1950-an hingga 1960-an yang mengusung bendera nasionalisme dan berbasiskan ideologi marhaenisme. PNI sebagai pelopor kekuatan nasionalis memiliki tanggung jawab untuk membangun sebuah front marhaenis dengan cara membangun organ-organ marhaenis di setiap elemen-elemen bangsa meliputi elemen pemuda, pelajar, mahasiswa, buruh, petani, perempuan, dan lain-lain. Pembangunan front marhaenis tersebut bertujuan sebagai penyusunan kekuatan kaum marhaenis demi percepatan revolusi sosial yang sedang dilakukan di Indonesia (samenbundeling van alle revolutionare krachten). Berkaitan dengan hal tersebut, maka kedirian GmnI diharapkan akan menjadi representasi kekuatan elemen mahasiswa yang nantinya akan mendukung penguatan front marhaenis.



Sebagai salah satu kekuatan front marhaenis dari elemen mahasiswa, maka fungsi pokok GmnI saat itu adalah mencetak kader-kader muda yang akan disiapkan sebagai penerus perjuangan partai dengan memasukkan kader-kader GmnI ke dalam kepengurusan partai dari tingkat ranting, cabang, daerah sampai nasional. Wajar jika pada saat itu sebagian besar anggota GmnI masih merangkap keanggotaan di Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai wujud konsekuensi logis dari GmnI yang menjadi underbow PNI. Walaupun menjadi underbow partai, GmnI masih memiliki posisi strategis terutama hal-hal yang menyangkut tanggung jawabnya sebagai motor penggerak massa di tingkatan grass root bersama ormas underbow PNI lainnya. Sebagai motor penggerak, tentunya GmnI memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya-upaya penciptaan perubahan di tingkatan masyarakat. Sebab dengan posisi tersebut, GmnI memiliki kunci jalannya massa-aksi dalam proses perubahan yang dilakukan untuk perwujudan cita-cita revolusi sosial Indonesia. Penggalangan kekuatan di tingkat masyarakat dalam gerakan yang radikal saat itu memang lebih banyak didominasi oleh GmnI dibandingkan dengan PNI sendiri. Sikap radikal GmnI pada akhirnya harus berbenturan dengan kelompok-kelompok tua PNI yang dipandang sebagai kelompok feodal, konservatif dan ortodok. Benturan dengan kelompok tua tersebut pada akhirnya berpuncak pada perlawanan frontal GmnI terhadap kelompok nasionalis tua. Perlawanan itu dilakukan GmnI dengan menggalang kekuatan-kekuatan muda yang masih dipandang radikal dan revolusioner untuk melakukan upaya pembersihan partai dari kaderkader marhaenis gadungan. Pembersihan itu penting dilakukan karena kelompok marhaenis gadungan



tersebut cenderung melakukan gerakan yang bersifat kontra revolusioner. Pada bulan Februari 1959, pimpinan nasional GmnI kemudian menyusun sebuah dokumen yang kemudian dikenal dengan nama “Beberapa Thesis Pedoman Perjuangan” (Some Theses as Guidelines for Struggle). Beberapa isi penting dari dokumen tersebut, seperti yang dikutip oleh Eliseo Rocamora, antara lain menyebutkan: ……in the revolution, we recognize two types of persons and groups, a person or group working actively for the revolution and a counterrevolutionary. The revolution does not recognize a dual personality, for commitment to the revolution is tital and absolute. It does not recognize compromise, for it is compromise which obstructs and eventually causes the failure of the revolution. Thus we must consciously and firmly separate the revolutionary form the counterrevolutionary types. A politics of isolation, of separating counterrevolutionaries from the masses, is an absolute necessity1.



Kelompok yang diidentfikasi sebagai kontra revolusi di dalam dokumen tersebut adalah: ….capitalists, landlords, compradors, federalists, ‘conservative-orthodox-doctrinaire-formalist’ bureaucrats, opportunist and corrupt politicians, and economic speculators. The most important revolutionary element is labor youth. The revolutionaries also include poor peasants, members of the armed forces, and poor intellectuals. Counterrevolutionary elements must be purged form the party. Although control over governmental institutions is important, a major part of party energies must be devoted to work among the 1



R. William Liddle (editor), 1973, Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies.



masses in orde to prevent isolation from them. To do this, the party must seriously train cadres to lead the mass organizations2.



Sampai tahun 1965, posisi GmnI di tengah percaturan politik nasional tetap sebagai salah satu kekuatan front marhaenis yang menjadi back-up bagi jalannya revolusi yang sedang digencarkan oleh pemerintahan Bung Karno. Bahkan GmnI juga sempat mengambil peran di parlemen untuk menjalankan strategi kejuangannya dengan mendudukkan kaderkadernya di DPRGR dan Dewan Konstituante sebagai jatah kursi yang diberikan PNI atas kemenangannya pada Pemilu 1955. Bahkan Sri Sumantri, salah seorang kader GmnI sempat berperan secara optimal dalam mewarnai rumusan Undang-Undang Dasar di Dewan Konstituante sebelum kemudian dibubarkan. Ruang yang dimiliki GmnI pada era 1950-1960 memang cukup besar dan luas sehingga GmnI mampu meletakkan posisi organisasi dalam posisi multistrategis: sebagai alat pencetak kader, alat pengorganisasian rakyat dan ikut melakukan perjuangan di dalam parlemen. Peran optimal GmnI tersebut sebenarnya tidak terlepas dari dukungan realitas politik saat itu, dimana kekuatan-kekuatan sosialis dan nasionalis masih mendominasi pemerintahan Indonesia. Dan di bawah demokrasi terpimpin (guided democracy), kekuatankekuatan kiri terutama partai-partai beraliran sosialis dan kekuatan agama bersatu dalam satu strategi perjuangan (nasakom) demi pencapaian konsentrasi kekuatan nasional untuk melawan rongrongan kekuatan neo kolonialisme-imperialisme yang masih menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan bangsa saat itu.



2



Ibid.



Namun demikian, penyatuan kekuatan sosialis dan agama dalam kesatuan perjuangan demi perwujudan revolusi sosial pada akhirnya menjadi kandas seiring dengan peristiwa coup 30 September 1965. Dan sejak saat itu, perekonomian Indonesia secara cepat langsung berada di bawah kekuatan kapitalisme global. Ironisnya, Pancasila yang pada masa Bung Karno menjadi roh bagi revolusi Indonesia ternyata digunakan oleh Orde Baru untuk memberangus kekuatan-kekuatan sosialis di dalam pemerintahan dan legislatif, kemudian menggantikannya dengan militer, teknokrat dan kelompok modal. Seperti yang diungkap Hardoyo: “Pancasila Democracy” of Suharto indirectly claimed the position of “extreme centre”, to keep in mind that the primary enemies are the extreme left, meaning communists and the extreme right meaning Islam. Suharto’s central pillar was the triple ideologi of militaritechnocrats-business3.



Pada era 1970 sampai 1990-an, gerak perjuangan GmnI telah berada dalam kekuasaan rejim otoriter yang berpihak pada kepentingan modal. Dalam realitas rejim yang otoriter tersebut, gerakan di tubuh GmnI pun menghadapi pasang surut. Dari catatan sejarah dokumentasi organisasi yang masih dimiliki cabangcabang, arah strategi gerakan GmnI terbagi dalam dua movement grand strategy yaitu studi wacana/diskursus dan pengorganisiran rakyat. Strategi gerakan yang dipusatkan pada wacana dan diskursus dilakukan sebagai bagian dari upaya siasat menghadapi represivitas rejim yang tidak menghendaki adanya radikalisasi gerakan yang mengarah pada tindakan subversif versi rejim. Selain itu, 3



Hardoyo, The Future of The Left in Indonesia



strategi tersebut sebenarnya adalah salah satu bagian dari keputusan Kongres VI GmnI di Ragunan-Jakarta yang menghendaki adanya konsolidasi ideologi untuk segera mengakhiri konflik perpecahan paska Kongres V Salatiga pada tahun 1969. Konsolidasi ideologi tersebut kemudian dituangkan oleh sebagian cabang dalam bentuk kajian dan diskursus tentang marhaenisme yang diderivasikan ke dalam ilmu-ilmu politik, ekonomi sosiologi, antropologi dan budaya. Derivasi tersebut dipandang penting, mengingat gencarnya stigmatisasi Orde Baru yang melakukan pemberangusan terhadap segala gerakan yang dipandang berbau kiri seiring dengan penggunaan kekuasaan yang militeristik. Oleh karena itu, beberapa penggunaan bahasa di tubuh GmnI yang dimasa pemerintahan Bung Karno selalu digunakan sebagai alat propaganda politik terhadap rakyat, sejak saat itu telah dibatasi penggunaannya hanya di kalangan internal GmnI. Implikasinya, bahasa-bahasa propaganda ideologi pada akhirnya hanya dikenal di kalangan internal kader GmnI saja, tetapi tidak meluas terutama di kalangan rakyat. Penggunaan bahasa-bahasa seperti: marhaen, sosialisme, revolusi, buruh tani, radikalisme, historis materialisme dan lainnya mulai tenggelam digantikan dengan bahasa-bahasa “akademisi” sebagai siasat menghadapi stigmatisasi “bahasa kiri” oleh rejim kekuasaan. Kajian-kajian ideologi yang diderivasikan ke dalam ilmu-ilmu praksis akademis tersebut, pengembangannya dipusatkan pada penguasaan kampus untuk dijadikan sebagai alat perubahan (agent of change). Dan sejak saat itu, taktik yang diambil GmnI adalah menjadikan kampus sebagai alat taktis untuk melakukan kontrol



terhadap jalannya kekuasaan yang diterapkan oleh rejim. Kampus pun menjadi corong segala konsepsi yang digulirkan oleh GmnI untuk membangun perubahanperubahan baru dalam masyarakat. Hanya saja, strategi tersebut akhirnya menjadi surut seiring dengan tragedi 1974 dan 1978 yang diakhiri dengan pembersihan kampus dari kekuatan-kekuatan kiri (pemberlakuan NKK/BKK) oleh rejim Orde Baru. Mengingat tidak kondusifnya lagi kampus sebagai kendaraan taktis dan corong gerakan bagi GmnI yang diakhiri dengan pengusiran paksa GmnI bersama organorgan kiri mahasiswa lainnya, maka sebagian besar cabang menyusun strategi baru yang diarahkan pada perjuangan yang bersifat terjun langsung ke dalam kehidupan rakyat yang kemudian dikenal dengan strategi integratif. Harus diakui, strategi baru yang ditempuh sebenarnya memiliki resiko tinggi karena akan berada dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan rejim. Radikalisasi strategi tersebut berpuncak pada tahun 1980-an yang telah membawa GmnI kepada sebuah keputusan besar untuk menyatakan dirinya “keluar” dari kampus. Keputusan itu diambil sebagai bagian dari protes GmnI terhadap rejim yang telah mengkebiri kehidupan kampus dari kebebasan berorganisasi, berpikir dan bergerak. Strategi gerakan ini, juga memiliki relevansi dengan gerakan di Amerika Latin yang berkembang saat itu dimana gerakan telah mengarah pada delegitimasi terhadap “institusi sekolah” karena dianggap penyebab munculnya ketidakadilan adalah sistem yang membatasi kebebasan ekonomi masyarakat melalui labelisasi intelektual. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam gerakan tersebut adalah Ivan Illich dan Paulo Freire.



Labelisasi intelektual oleh hegemoni lembaga pendidikan oleh sebagian kader-kader GmnI kemudian dijawab secara tegas dengan segera melepas status kemahasiswaannya dan memilih untuk belajar secara otodidak tanpa terikat oleh lembaga pendidikan apapun. Proses pembelajaran otodidak tersebut dilakukan dengan cara berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Strategi baru itu oleh sebagian besar kader-kader GmnI kemudian dikenal dalam slogan: “makan bersama rakyat, minum bersama rakyat, belajar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat”. Pola pembelajaran bersama rakyat yang sekaligus dijadikan sebagai alat pengorganisiran oleh kader GmnI dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik pendampingan (advokasi) dengan isu keadilan, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan gender. Strategi tersebut terus berjalan sampai tahun 1990-an. Strategi pengorganisasian yang meninggalkan kampus sebagai basis telah membawa implikasi stagnannya regenerasi di tubuh GmnI akibat terhentinya proses rekruitmen kader terhadap mahasiswamahasiswa baru. Stagnasi tersebut diperparah lagi oleh konflik yang berkepanjangan di tingkat pimpinan nasional yang tidak mampu dibersihkan dari intervensi kekuatan rejim dan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap GmnI. Stagnasi regenerasi tersebut terus membawa GmnI pada penurunan kuantitas kader, karena sampai tahun 1998 tercatat hanya 30-an cabang saja yang masih tersisa dan bertahan sebagai kekuatan riil GmnI di seluruh Indonesia (berdasarkan daftar hadir peserta Kongres XII Denpasar Bali dan Kongres XII Kupang NTT). Selain penurunan kuantitas, ternyata GmnI juga mengalami penurunan kualitas yang cukup tajam.



Sebagian besar kader dipandang telah kehilangan basic ideologinya akibat ketidakmampuan GmnI dalam mentransformasikan nilai-nilai marhaenisme melalui kaderisasi. Bahkan sebagian besar kader-kader GmnI di era 1990-an dipandang tidak memiliki pemahaman yang cukup kuat untuk memanifestasikan nilai-nilai ideologi organisasi.



Bab Tiga



KLB dan Strategi Baru Kejuangan GmnI



Kembali kepada Marhaenisme Masalah internal GmnI yang bersangkut paut pada penurunan kualitas dan kuantitas kader di tubuh organisasi telah memaksa GmnI untuk menyusun ulang strateginya agar dapat menyelamatkan organisasi yang berada di ambang kematian. Oleh karena itu sejak tahun 1998 sebagian cabang-cabang segera melakukan pertemuan-pertemuan tingkat nasional yang khusus membahas tentang kajian-kajian marhaenisme yang ditinjau kembali dari runtutan sejarah sekaligus berusaha untuk merelevansikan strateginya kembali agar sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia yang telah jauh berubah. Kajian ideologi tersebut bertujuan untuk membuat rumusan baku tentang marhaenisme yang akan dijadikan sebagai sumber dari segala aturan organisasi terutama aturan-aturan yang menyangkut rancangan Silabus Kaderisasi, Manifesto Politik GmnI dan GarisGaris Besar Perjuangan (GBPP) GmnI.



Setelah dilaksanakan beberapa kali pertemuan di Malang, Yogyakarta dan Surabaya dan terakhir dalam Lokakarya Nasional di Solo, akhirnya GmnI mampu membuat rumusan ideologi yang kemudian dituangkan dalam bentuk rancangan Silabus Kaderisasi dan GarisGaris Besar Program Perjuangan (GBPP) GmnI. Selama pertemuan dilangsungkan, cabang-cabang GmnI memang tidak melibatkan lembaga presidium karena cabang-cabang telah belajar dari sejarah kepemimpinan nasional GmnI yang selalu tidak pernah bersih dari intervensi kekuasaan rejim. Namun upaya perbaikan organisasi tersebut ternyata harus kembali mengalami cobaan yang cukup berat akibat perpecahan pimpinan nasional GmnI yang kemudian berimbas pada perpecahan antar cabang di Kongres XIII GmnI di Kupang 1999. Ditengah perpecahan antar cabang yang masih terus berlangsung, kedua rancangan masih berhasil disahkan dalam Kongres Luar Biasa (KLB) GmnI di Semarang bulan Februari 2001 yang tidak dihadiri oleh cabang-cabang yang mendukung Kongres XIII Kupang.



Membangun Oposisi dan Kembali pada Kekuatan Rakyat Sejarah KLB memiliki sejarah penting bagi perubahan strategi di tubuh GmnI. Sebab dalam KLB tersebut telah menghasilkan sebuah keputusan yang pada akhirnya membawa GmnI pada pilihan sebagai “oposisi permanen” terhadap kekuasaan. Keputusan tersebut diambil setelah terjadinya pergulatan pemikiran yang cukup melelahkan antar cabang tentang peran negara yang mulai melenyap di bawah kekuatan kapitalisme global.



Akhirnya GmnI mengakui bahwa hegemoni neoliberalisme saat ini telah memaksa negara Indonesia menjadi subordinat (antek) kekuatan kapitalisme global. Realitas tersebut pada akhirnya bertentangan dengan salah satu asas perjuangan GmnI yang masih mengakui dan memberikan kepercayaan kepada negara sebagai alat pemersatu, pelopor revolusi sosial, dan panglima penegak keadilan dalam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berjalan di Indonesia. Peran negara yang terdistorsi oleh kebijakankebijakan yang tidak berpihak pada rakyat sangat bertentangan dengan asas perjuangan GmnI. Hal ini telah memaksa GmnI untuk merumuskan kembali tentang peran negara dalam keikutsertaannya mewujudkan revolusi sosial di Indonesia. Disini kemudian memunculkan perdebatan lagi di antara cabang mengenai sejauh mana peran negara harus dibatasi keikutsertaannya dalam mewujudkan cita-cita revolusi sosial tersebut. Perdebatan itu akhirnya tidak menghasilkan sebuah keputusan yang tegas, namun masih berhasil membuat sebuah catatan tentang negara yang dipandang masih terlalu sulit bagi GmnI untuk mengandalkannya sebagai alat perlawanan terhadap kapitalisme global dalam kondisi ketergantungan negara seperti saat ini. Sikap GmnI itu baru bisa dipertegas dalam pertemuan nasional berikutnya yang difasilitasi oleh Presidium KLB dan DPC GmnI Bandung (Agustus 2001) yang menghasilkan keputusan bahwa GmnI secara institusional harus mengambil strategi “oposisi permanen” terhadap negara. Pertemuan itu kemudian dikenal dengan nama “Deklarasi Lembang”. Strategi itu diambil sebagai upaya melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara yang berada dalam kendali kekuatan kapitalisme global. Hal tersebut dipandang penting



untuk dilakukan, mengingat posisi negara sebagai representasi rakyat dalam konstitusi kita, dimana keselamatan dan nasib rakyat Indonesia berada di tangan negara, namun di satu sisi, justru negara acapkali mengkhianati “amanat penderitaan rakyat”. Unsur-unsur negara include unsur-unsur kekuatan lain yang ikut mempengaruhi negara yang dirumuskan GmnI antara lain: eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik dan kekuatan modal. Sikap oposisi permanen terhadap negara tersebut bukan diartikan sebagai upaya GmnI mendekonstruksi negara dan peranannya dalam kehidupan kebangsaan Indonesia seperti apa yang digagas oleh kelompok postmodernisme selama ini. Oposisi permanen tersebut justru dilakukan dalam upaya mengembalikan peran negara dari ambang kematian akibat penetrasi kekuatan kapitalisme global seperti saat ini. Bagaimanapun dalam konsepsi marhaenisme, negara adalah sebuah wadah yang tetap dipandang perlu untuk membawa kehidupan bangsa ke masa depan res publica yang sejahtera, adil dan makmur. Namun demikian, belajar dari sejarah dunia, negara justru acapkali melahirkan pemerintahan yang corrupt dan menindas. Dan mungkin realitas sejarah itulah yang menjadi penyebab kenapa sistem demokrasi kemudian menjadi pilihan populer bagi bangsa-bangsa dunia dalam upaya menjinakkan kekuasaan negaranya. Locke dan Montesque telah berbicara banyak kepada kita tentang perlunya menciptakan media kontrol atas negara melalui pembagian kekuasaan yang kemudian dikenal dengan konsep trias politikanya. Namun demikian, dalam sejarah kontemporer, trias politika itu pun ternyata tidak mampu lagi menjalankan kontrolnya terhadap kekuasaan seiring dengan



munculnya sebuah kekuatan baru yang melebihi kekuatan negara dalam bentuk kapitalisme global sebagai metamorfosa kapitalisme klasik. Bagi Indonesia yang juga menganut nilai-nilai demokrasi juga menghadapi persoalan serupa. Negara Indonesia selama 33 tahun terakhir telah disulap oleh pemerintahan Orde Baru menjadi sebuah negara yang bersifat facis kedalam dan bersifat liberalis keluar. Negara di bawah rejim Orde Baru telah memaksa rakyat dan konstitusi menundukkan dirinya kepada kekuatan kapitalisme global. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang terlalu mempercayakan media kontrolnya kepada trias politika dan konstitusi, ternyata juga tidak cukup mampu menjadikan negara yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebaliknya, tiga elemen negara (trias politika) justru secara serempak bersama-sama menyerahkan kekuasaannya kepada kapitalisme global. Konstitusi pun yang selama ini dipandang mampu mengontrol jalannya negara acapkali terkhianati karena hanya dijadikan sebatas simbol dan “macan kertas” oleh kekuatan yang selama ini menjalankan negara. Fakta ketertundukan negara selama 33 tahun terhadap kekuatan kapitalisme global di atas tentu saja tidak dapat dipungkiri oleh GmnI maupun elemen bangsa lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks demokratisasi kemudian GmnI memandang perlu untuk membangun media kontrol baru yang tidak hanya tergantung pada kekuatan tiga elemen negara dan konstitusi. Media kontrol baru tersebut adalah kebangkitan seluruh kekuatan rakyat untuk bersamasama mengontrol jalannya negara. Untuk membangkitkan kekuatan rakyat tersebut, GmnI



kemudian menyusun strategi baru untuk kembali mengefektifkan pengorganisasian rakyat (machtvorming) yang sempat menjadi grand strategy GmnI di era 1980an sampai awal 90-an. Pola-pola pengorganisasian itu kemudian disusun ulang dalam sebuah modul-modul baru pengorganisiran. Perubahan paling mendasar dari strategi pengorganisasian GmnI itu adalah reorientasi tentang tujuan pengorganisasian itu sendiri. Berdasarkan dari pengalaman sejarah pengorganisiran yang dilakukan pada 80-an, gerakan di tubuh GmnI seringkali mengarah pada pembiasan akibat terlalu kakunya pola pendampingan (advokasi) terhadap rakyat. Sebab disadari kemudian bahwa pola advokasi yang selama ini diterapkan, ternyata secara tidak langsung telah membatasi gerak GmnI karena terlalu tergantungnya pengorganisasian dengan menunggu adanya kasus-kasus di tingkatan rakyat. Implikasinya, pola pengorganisasian GmnI akhirnya bersifat pasif dan menunggu. Jika tidak terjadi kasus-kasus kerakyatan, maka pengorganisasian tidak dapat dilakukan oleh GmnI baik secara institusional maupun personal kader-kader GmnI. Disamping itu, pola pengorganisasian tersebut juga acapkali menjebak GmnI pada pola-pola developmentalis dan rutinitas gerakan yang membuat pendampingan kepada rakyat yang dilakukan justru menyimpang dari tujuan pokok pengorganisasian. Beberapa kasus pendampingan GmnI seperti yang dilakukan oleh GmnI Jember terhadap kasus perebutan tanah antara petani Jenggawah dengan pemerintah dan swasta hanya berhasil meraih tujuan jangka pendek saja yaitu berhasil direbutnya kembali tanah-tanah petani yang sempat diambil alih oleh negara dan swasta selama pemerintahan rejim Orde Baru.



Namun target jangka menengah dan panjang dimana seharusnya GmnI bisa membangun simpulsimpul rakyat dan menciptakan sebuah tatanan kehidupan baru sebagai wujud perlawanan terhadap peradaban barat yang dikonstruksi kekuatan kapitalisme global, seringkali tidak mampu dijalankan oleh kaderkader GmnI. Perlawanan-perlawanan melalui aksi-aksi massa yang dilakukan oleh GmnI bersama-sama rakyat masih dipandang sebagai sebuah gerakan yang bersifat reaksioner. Sebab aksi-aksi massa tersebut hanya baru berhasil di tingkatan mobilisasi, bukan “massa aksi”. Sebab aksi-aksi massa tersebut terjadi hanya karena kepentingan pragmatis dan jangka pendek, bukan muncul atas kesadaran rakyat tentang perlunya melakukan perubahan secara terus-menerus. Hal ini tergambar jelas dari pengakuan Hafid (salah seorang wakil petani Jenggawah) yang menyatakan bahwa: …..puncak keberhasilan dari perjuangan petani Jenggawah adalah ketika GmnI Jember berhasil membawa petani-petani Jenggawah berangkat ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya kepada Komnas HAM4.



Wajar jika dalam salah satu kasus tanah yang diadvokasi oleh GmnI kemudian menjadi stagnan ketika tanah-tanah tersebut berhasil direbut kembali oleh rakyat. Karena puncak keberhasilan perjuangan hanya diukur dari berhasilnya merebut tanah saja. Sementara konsepsi-konsepsi mengenai konstruksi bangunan masyarakat baru yang didasarkan kepada nilai-nilai ideologi pada akhirnya harus diabaikan karena tidak mampu tersampaikan ke dalam kehidupan rakyat. 4



Hafid, J.O.S. Perlawanan Petani. Kasus Tanah Jenggawah. Pustaka Latin. Bogor. 2001.



Berdasarkan pengalaman pengorganisasian itulah maka kemudian GmnI menyusun format baru yang diarahkan pada pola-pola integratif dimana setiap kader GmnI dituntut untuk melebur ke dalam kehidupan rakyat. Slogan perjuangan GmnI era 80-an yang dikenal dalam jargon “makan bersama rakyat, minum bersama rakyat, belajar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat”, kembali dintrodusir untuk menguatkan kembali komitmen pengorganisasian terhadap kader-kader GmnI. Beberapa modul pengorganisasian tersebut kemudian dimasukkan dalam Silabus Kaderisasi GmnI yang disempurnakan dalam Rakornas GmnI di Jakarta bulan April 2002. Pola integratif yang diterapkan dalam pengorganisasian membutuhkan syarat pokok adanya kader yang memiliki kemampuan ideologi, loyalitas dan militansi gerakan. Oleh karena itulah, maka Silabus Kaderisasi kemudian menyempurnakan beberapa format pengkaderan yang mensyaratkan kader-kader GmnI harus sanggup leave in di tengah-tengah masyarakat. Leave in tersebut dilaksanakan paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan. Tugas pokok kader GmnI selama kaderisasi di tengah-tengah masyarakat tersebut adalah melakukan analisa sosial tentang relasi-relasi sosial, pranata-pranata sosial, kontradiksi-kontradiksi ekonomi, berbagai tingkat ketergantungan hidup, budaya kekuasaan, dan lain-lain. Target yang hendak dicapai dari pola pengkaderan tersebut antara lain5: Kaderisasi Tingkat Menengah: 1. Menguji tingkat wacana dan cara berpikir kader yang dikaitkan langsung dengan ideologi marhaenisme. Sekaligus mengolah seluruh wacana (teori) yang 5



Silabus Kaderisasi GmnI. Hasil Kongres Luar Biasa GmnIdi Semarang 2001.



dikuasai para kader untuk disinergikan sesuai dengan roh dan jiwa marhaenisme, sehingga tidak paradoks jika diimplementasikan dalam langkahlangkah perjuangan; 2. menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang siap menjadi motor penggerak perjuangan untuk memimpin rakyat menuju revolusi demi terwujudnya cita-cita sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka para kader yang telah lulus dari kaderisasi diharapkan telah mampu memegang kantungkantung massa dan melakukan pengorganisiran di tiap kantung-kantung massa tersebut. Kaderisasi Tingkat Pelopor: 1. uji materiil setiap kader dalam proses membangun sintesa sistem-sistem sosial di setiap elemen masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial bersangkut paut pada pola dan tata cara yang dilakukan kader dalam mengkonstruksi ulang bangunan sistem sosial menuju pada cita-cita masyarakat sosialis Indonesia; 2. terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori, mental dan watak progressif revolusioner sehingga benar-benar menjadi kader yang berkualitas. Dengan Kaderisasi Tingkat Pelopor diharapkan setiap kader akan mampu memanifestasikan ideologi marhaenisme dalam setiap kehidupan pribadinya dan dalam langkah perjuangannya sebagai leader rakyat.



Kembali ke Kampus Strategi baru lain, sebagai upaya revisi dari strategi GmnI 80-an adalah strategi “kembali ke kampus”. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sebagian kader-kader GmnI 80-an saat itu mengambil strategi keluar kampus untuk bergabung ke tengahtengah kehidupan masyarakat dalam upaya melakukan pembelajaran dan pergerakan bersama rakyat. Strategi itu ternyata membawa implikasi stagnannya proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh GmnI. Belajar dari sejarah kegagalan gerakan GmnI di tahun 80-an itu, maka GmnI kemudian membuat kebijakan baru untuk segera kembali ke dalam kampus. Kebijakan itu memang perlu diambil, karena bagaimanapun kampus merupakan basic organisasi GmnI yang anggotanya adalah para mahasiswa. Oleh karena itu maka kampus harus kembali menjadi alat bagi GmnI dalam rangka rekrutmen anggota baru demi berjalannya kembali proses regenerasi dan kaderisasi yang sempat stagnan. Strategi GmnI 80-an yang memilih meninggalkan kampus sebagai upaya mendekonstruksi lembaga pendidikan yang dipandang tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, secara konsepsional dapat dipandang bagus karena sesuai dengan sikap non-kooperatif GmnI terhadap kekuasaan. Namun sayang, strategi itu tidak diikuti dengan penguatan organisasi sebagai bentuk konsekuensi atas hengkangnya GmnI dari kampus. Jika GmnI menyepakati keluar dari kampus, mestinya GmnI harus mencari kantung-kantung massa alternatif lain yang berada di luar kampus sebagai sumber rekrutmen kader yang baru. Yang berarti GmnI harus rela merubah basic organisasi kemahasiswaannya



dengan cara berubah menjadi organisasi kemasyarakatan (Ormas). Karena itu adalah langkah yang paling memungkinkan bagi GmnI untuk mengganti kantung massa dari kampus dengan merekrut anggota dari masyarakat umum. Namun ternyata langkah itu tidak diambil, implikasinya jelas, GmnI secara cepat dan pasti akan kehilangan kader-kadernya karena tidak lagi memiliki kantung-kantung massa baik di dalam kampus maupun di masyarakat. Oleh karena itu, “kembali ke kampus”, adalah satu-satunya jalan bagi GmnI saat ini untuk membangun kembali kuantitas dan kualitas kaderkadernya. “Kembali ke kampus” akan menjadi momentum bagi GmnI untuk kembali mewarnai kampus dengan menjadikan kampus sebagai alat perubahan (agent of change). Kampus yang selama tiga dekade telah menjadi “menara gading” yang tak tersentuh oleh kehidupan masyarakat, harus dikembalikan fungsinya sebagai “menara air” yang akan mengairi kehidupan masyarakat dengan ilmu yang dimiliki. Kampus akan menjadi corong dari segala konsepsi yang akan digulirkan GmnI untuk membangun perubahanperubahan baru di dalam masyarakat. Tiga grand strategy yang telah disampaikan di atas adalah bagian dari pergulatan pemikiran yang terjadi di GmnI saat ini. Mengenai peran GmnI sebagai alat pencetak kader, GmnI tetap memiliki kewajiban untuk mendistribusikan kader-kadernya ke seluruh potensi-potensi kekuatan nasional, baik pemerintahan, legislatif, eksekutif, pers, akademisi, teknokrat dan lainlain. Kewajiban lainnya, GmnI tetap dituntut untuk membangun konsolidasi dengan kekuatan-kekuatan front marhaenis (organ-organ marhaenis) dan front nasional (kekuatan-kekuatan nasional) demi tercapainya sebuah konsentrasi kekuatan nasional yang akan



mendukung jalannya kembali revolusi menuju cita-cita sosialisme Indonesia (samenbundeling van alle revolutionare krachten). Tanggung jawab GmnI tersebut merupakan tanggung jawab yang sangat berat, sebab GmnI dituntut untuk terus mencetak kader-kader yang benar-benar militan dan setia terhadap ideologi. Padahal calon-calon kader GmnI saat ini berbeda jauh dengan tahun 50-60an, sebab calon-calon kader GmnI yang ada saat ini adalah generasi muda yang hidupnya berada dalam bangunan rejim kapitalis yang tentu pola perilaku dan pandangan hidupnya banyak diwarnai oleh sifat-sifat kapitalisme (individualis, westernis, hedonis, konsumeris, pragmatis). Dibutuhkan waktu, keuletan dan ketekunan untuk merubah pandangan dan cita-cita hidup mereka agar benar-benar menjadi kader marhaenis.



Bab Empat



GmnI dan Tantangan Kedepan



Globalisasi: Matinya Negara dan Demokrasi Indonesia Doug Lorimer (anggota National Executive Commite Democratic Sosialist Party Australia) pernah menyatakan dalam tulisannya Globalisation, Neoliberalism, and The Capitalist Austerity Drive6 bahwa peradaban baru saat ini telah memasuki fase dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas kenegaraan (territorial) telah kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses globalisasi yang cepat dan baru. Ekonomi dunia saat ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah menginternasionalisasikan aktivitas produksi barang mereka ke seluruh negara-negara dunia. Perusahaanperusahaan tersebut tidak memiliki kesetiaan terhadap suatu negara-bangsa secara khusus, mereka hanya setia 6



Jurnal Kiri



kepada negara yang memberikan keuntungan baginya. Jika sebuah negara dipandang kontra atau tidak kooperatif dengan mereka, maka mereka pun akan memindahkan modal dan usahanya ke negara lain yang dipandang lebih kooperatif dan mendatangkan keuntungan yang lebih baik dari sebelumnya. Globalisasi yang membawa ideologi neoliberalisme seperti yang disampaikan Lorimer di atas pada dasarnya adalah runtutan dari sejarah perkembangan kapitalisme dunia yang telah berlangsung hampir dua abad lamanya. Neoliberalisme tersebut sebenarnya berakar dari ekonomi neo-klasik, yang menuntut kebebasan dari campur tangan negara terhadap segala kegiatan ekonomi karena negara dianggap sebagai penghalang berjalannya mekanisme pasar, yang berarti juga sebagai penghalang terwujudnya pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dua tokoh utama yang mungkin dapat dianggap sebagai moyang neoliberalisme adalah Milton Friedman yang harus melawan ekonomi Keynesian, dan Frederick von Hayek yang harus melawan ekonomi terencana dari negara komunis. Pandangan negatif mereka tentang peran negara ternyata benar-benar membawa negara (state) menuju jurang “kematian”. Bahkan di akhir abad 20 kekuatan neoliberalisme telah memaksa negaranegara menjadi subordinat dari kekuatan kapitalisme global. Bahkan kebijakan welfare state yang telah menjadi kebijakan populis beberapa puluh tahun di Eropa Barat harus rontok menghadapi perkembangan neoliberalisme tersebut. Sampai tahun 1980-an, tidak ada satu pun partai di Eropa Barat yang berani mengotak-atik masalah yang amat sensitif, seperti pendidikan, kesehatan, dan pensiun hari tua yang menjadi nafas kebijakan welfare state selama ini. Bahkan Thatcher dan Partai



Konservatifnya segera mereformasi sistem perekonomian Inggris dan kembali menuruti kemauan kapitalis global dan lokal, karena welfare state dipandang sebagai sebabmusabab takutnya para investor membawa masuk modalnya ke Inggris. Kebijakan Thatcher ini pada akhirnya diikuti pula oleh partai-partai lainnya di Eropa dengan mengusung “Thatcherism”. Tindakan Thatcher tersebut sebenarnya sama saja dengan memperparah posisi negara sebagai subordinat kekuatan kapitalis global. Gidden dengan Third Way-nya mungkin memberikan jawaban baru terhadap peran negara yang semakin menjadi subordinat kapitalis global. Menurut Gidden, jalan ketiga merupakan suatu keharusan sebagai upaya pembaruan demokrasi sosial di dunia di mana pandangan-pandangan golongan kiri dianggap telah usang, sementara pandangan-pandangan kelompok kanan dianggap tidak memadai dan kontradiktif. Ide Gidden untuk membentuk negara demokrasi baru yang bertumpu pada pembangunan investasi di bidang sosial, dengan cara mengaktifkan masyarakat sipil (pendidikan), dan membentuk ekonomi campuran baru dalam demokrasi berkarakter kosmopolitan, sebenarnya tidak lebih dari bentuk kompromi Gidden dengan kapitalisme global, dimana kompromi tersebut hanya bentuk bargain politik untuk mengembalikan sebagian peran negara, namun tetap membiarkan keadilan dalam kehidupan rakyat ditentukan oleh pasar. Satu sisi, Gidden memang berhasil memberikan ruang kembali bagi negara, namun tetap saja ia belum mampu melepaskan negara dari pendiktean kapitalis global. Bahkan Tony Blair (salah seorang penganut Gidden) dalam konsepsi New Labour Party-nya secara terang-terangan berusaha mentransformasikan Partai



Buruh Inggris menjadi partai kapitalis seperti Partai Demokrat di Amerika Serikat. Paska kemenangan Pemilu 1997, Blair mereformasi besar-besaran pengurus partai buruhnya yang pada awalnya berlatar belakang pekerja digantikan oleh kaum profesional dari kalangan kelas menengah ke atas. Sebagai partai pemenang Pemilu, langkah Blair ini tidak ubahnya dengan mengkapitalisasi partainya dengan cara memasukkan kaum kapitalis dalam kepengurusan partai. Di negara dunia ketiga khususnya di Indonesia, neoliberalisme telah tumbuh dan menguat sejak awal 70an dibawah kepemimpinan rejim militer Orde Baru. Jika mau jujur, tumbuhnya neoliberalisme tersebut sebenarnya telah membawa kematian “negara” di Indonesia. Mengutip teori dependensianya Paul Baran (Direktur ECLA), jebakan hutang (dept trap) yang digunakan MNC melalui World Bank dan IMF kepada Indonesia telah memaksa negara ini menjadikan wilayahnya sebagai pasar global melalui liberalisasi dan deregulasi, dan membiarkan MNC mengeruk sumber daya alam melalui privatisasi. Tidak cukup itu, pos-pos anggaran yang dianggap “tidak produktif” (seperti pendidikan dan kesehatan) dan segala jenis subsidi pun harus dipotong. Aturan main yang ditetapkan IMF dan World Bank ini adalah bagian dari political game MNC yang telah disahkan dalam sidang tahunan IMF dan World Bank di Washington DC sejak tahun 1976, sebagai syarat bagi negara-negara penghutang termasuk Indonesia7. Implikasinya, negara ini pada akhirnya harus terjerembab dalam jurang kemiskinan sebagai negara 7



World Bank. Entering the 21st Century. World Development Report 1999/2000. Oxford University Press. New York. 2000.



koloni (jajahan) baru di era globalisasi akibat keterjebakannya pada hutang dan ketergantungannya pada investasi MNC. Sehingga wajar jika sampai saat ini, walaupun telah terjadi proses pergantian kepemimpinan nasional sebanyak tiga kali paska Orde Baru (Habibie, Gus Dur dan Megawati), negara ini tetap saja tidak mampu melepaskan diri dari cengkaraman neoliberalisme, bahkan perannya semakin melenyap karena terus terdikte oleh permainan MNC. Akhirnya, negara yang sebenarnya memiliki tanggung jawab ideologi, sebagai pengemban “amanat penderitaan rakyat”, karena dipilih oleh rakyat, pada akhirnya harus membunuh nilai-nilai ideologi (Pancasila), konstitusi (UUD 1945) dan konstituennya (rakyatnya) sendiri, yang seharusnya menjadi sumber dari segala kebijakannya. Pada masa Bung Karno, sistem perekonomian nasional masih nyata berpijak pada pondasi nilai-nilai ideologi, dimana manusia Indonesia masih menjadi sebuah kedirian (entity) bebas yang hak dan kewajibannya diletakkan di dalam suatu kepentingan bersama. Setiap warga negara berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan bebas berusaha demi perkembangan kemanusiaanya (pasal 27). Namun demikian, negara juga menjamin bahwa setiap cabang produksi dan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak akan dikuasai (dikelola) oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945). Oleh karena itu pada masa Bung Karno, perkebunan, pertambangan, kereta api, dll, jenis badan usahanya adalah perusahaan negara (tidak ada swasta di dalamnya).



Yang terpenting dari itu, dasar penyusunan perekonomian nasional pada masa Bung Karno juga murni didasarkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai (asas) kekeluargaan, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum (recht persoon) utama dalam perekonomian nasional. Sebab koperasi dianggap mampu mengintegrasikan sistem kepemilikan privat dalam naungan kebersamaan. Dalam istilah Bornstein yang dikutip Winoto diartikan: the variants of private ownership include individual, partnership, cooperative and enterpreise 8. Sistem perekonomian campuran, dimana negara diposisikan sebagai panglima keadilan, yang dapat mengintervensi pasar, yang dapat memaksa investor mengkolektifkan modalnya dalam sistem koperasi, dan tidak dijinkannya modal privat memasuki ruang-ruang usaha yang menyangkut khalayak hidup orang banyak, jelas tidak akan membuat banyak investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Oleh karena itulah, pada masa Bung Karno, sistem perekonomian nasional tersebut banyak mendapatkan tentangan dari negaranegara imperialis maju yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya alam dan pasar di Indonesia. Tentangan tersebut pada akhirnya memunculkan krisis yang berlarut-larut pada dekade 50-an akibat embargo dan rongrongan kelompok kapitalis pribumi dan luar negeri. Akhirnya menjelang 60-an, Bung Karno mengambil langkah tegas dengan menggunakan demokrasi terpimpin (guided democracy) untuk menyatukan kekuatan-kekuatan nasional terutama partai-partai beraliran sosialis dan kekuatan agama (nasakom) untuk membantu terwujudnya revolusi sosial 8



Winoto, Joyo. Sistem Ekonomi Dunia. Makalah Kaderisasi Tingkat Menengah GmnI. Presidium GmnI. Jakarta. 2002.



di Indonesia yang banyak mendapat rongrongan dari neoliberalisme (bahasa Bung Karno neo kapitalisme dan imperialisme). Elisio Rocamora dalam tulisannya Political Participation in Modern Indonesia menyatakan: “……sosialist party (PNI and PKI) efforts to organize the peasantry and the urban workers against landlords and bureaucratic capitalists in the last years of Guide Democracy gave party leaders a sense of political dynamism and ameasure of potential power”9.



Namun demikan, kekuatan untuk mewujudkan revolusi sosial sebagai tahapan revolusi kedua tersebut pada akhirnya menjadi kandas seiring dengan peristiwa coup 30 September. Dan sejak saat itu, perekonomian Indonesia secara cepat langsung berada di bawah kekuatan kapitalisme global. Dan atas nama Pancasila, Suharto mulai memberangus kekuatan-kekuatan sosialis di pemerintahan dan legislatif, dan menggantikannya dengan militer, teknokrat dan kelompok modal, seperti yang diutarakan Hardoyo: “Pancasila Democracy” of Suharto indirectly claimed the position of “extreme centre”, to keep in mind that the primary enemies are the extreme left, meaning communists and the extreme right meaning Islam. Suharto’s central pillar was the triple ideologi of militari-technocrats-business 10. Sebagai negara subordinat kekuatan MNC, negara Indonesia secara efektif telah mematikan nilai-nilai demokrasi atas nama “stabilitas pembangunan” demi kepentingan pasar. Orde Baru secara massif membungkam kekuatan demokrasi demi memberikan kenyamanan dan keamanan bagi para investor. Bahkan 9



R. William Liddle (editor). Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies. 1973. 10 Hardoyo. The Future of The Left in Indonesia, …….



selama 33 tahun pemerintahannya, segala gerakan berbau sosialis terutama yang bersumber pada ajaran marxis menjadi larangan dan masuk kategori subversif. Tidak cukup itu, Orde Baru pun memaksa merendahkan nilai pajak, mempermurah upah buruh dan membungkam setiap pemogokan buruh dengan kekuatan militernya, sebagai varian pendukung kebijakan meraih simpati para investor. Fukuyama dalam karyanya The End of History berpendapat bahwa ……I want to avoid the materialist determinism that says that liberal economics inevitably produces liberal politics, because I believe that both economics and politics presuppose an autonomous prior state of consciousness that makes them possible. But that state of consciousness that permits the growth of liberalism seems to stabilize in the way one would expect at the end of history if it is underwritten by the abundance of a modern free market economy. We might summarize the content of the universal homogenous state as liberal democracy in the political sphere combined with easy access to VCRs and stereos in the economic 11. Bagi Fukuyama, sistem ekonomi pasar secara niscaya akan mendorong munculnya demokrasi. Alasannya karena hak milik pribadi yang menjadi landasan ekonomi kapitalis hanya akan terjamin oleh institusi politik yang demokratis. Namun ternyata pendapat Fukuyama ini berbanding terbalik dengan realitas perkembangan globalisasi saat ini, dimana para investor justru berlomba-lomba mencari negara-negara 11



Fukuyama, Francis. The End of History?. in The National Interest. Summer. 1989.



yang berkekuatan rejim otoriter (bukan demokratis) demi keamanan dan keselamatan modalnya. Indonesia adalah salah satu contohnya. Mungkin benar apa yang dikatakan Noreena Hertz12 yang menyatakan bahwa globalisasi ekonomi hanya akan berakibat matinya demokrasi di seluruh negara.



Otonomi Daerah dan Fragmentasi Perjuangan Dalam perkembangannya saat ini, neoliberalisme telah mengakibatkan terjadinya sebuah perubahan politik ketatanegaraan yang ternyata mengarah pada penguatan kapitalisme global di seluruh wilayah (daerah) Indonesia. Kebijakan otonomi daerah adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kedirian bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menginginkan adanya kesatuan gerak dan perjuangan dalam upaya mewujudkan bangsa yang adil dan makmur. Kedirian itu adalah sebuah wujud komitmen atas kesamaan nasib sejarah ketertindasan bangsa-bangsa di wilayah nusantara. Namun, dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bangsa ini telah dibawa pada sebuah perpecahan solidaritas kejuangan yang melupakan atas kesamaan nasib tersebut. Setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengelola daerahnya melalui perjanjian-perjanjian internasional tanpa perlu membuat kesepakatan bersama antar daerah. Tentu saja kebijakan itu akan mempermudah kekuatan kapitalisme global melakukan penetrasi modal, pasar dan sumber daya 12



Hertz, Noreena. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy. Publisher: Free Press. 2002



alam di seluruh wilayah nusantara Otonomi daerah adalah sebuah contoh terhadap quo vadisnya visi kebangsaan kita akibat euphoria dalam memaknai transisi demokrasi termasuk didalamnya masalah amandemen UUD 1945 yang sebagian besar isinya telah mengarah pada bentuk-bentuk federalisme yang jelasjelas bertentangan dengan nilai-nilai ideologi negara dan konstitusi. Perkembangan sistem multipartai dalam transisi demokrasi Indonesia saat ini juga berimplikasi terjadinya perubahan realitas politik Indonesia yang mengarah pada penguatan kekuatan-kekuatan kelompok yang mengatas namakan agama, kesukuan dan bentukbentuk golongan lainnya. Dalam perspektif penguatan daya kritis masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah perkembangan yang cukup positif dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Namun jika kekuatankekuatan kelompok tersebut tidak dapat dibingkai dalam kerangka kesatuan bangsa maka tentu akan mengakibatkan fragmentasi perjuangan yang akan menghambat konsentrasi kekuatan nasional dalam upaya memuluskan jalan revolusi yang sedang ditempuh. Sejatinya, sistem multi partai yang berkembang saat ini harus menempatkan partai sebagai avantgarde atau pelopor dalam kejuangan mewujudkan cita-cita revolusi sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai partai pelopor, maka tugas utama partai politik adalah melakukan pendidikan politik dan pemberdayaan terhadap seluruh masyarakat Indonesia agar tercipta peran serta aktif masyarakat dalam segala tingkat perubahan yang hendak dan akan dicapai.



Feodalisme dan Peradaban Baru Harus disadari bahwa globalisasi saat ini telah membawa proses perubahan nilai terhadap masyarakat Indonesia tentang hidup dan eksistensi hidup. Globalisasi secara massif telah memaksa masyarakat Indonesia untuk membuat sebuah pandangan baru tentang eksistensi dirinya yang diarahkan pada kemampuan membeli barang (konsumerisme). Pandangan baru tersebut ternyata mampu membuat sebuah perubahan besar-besaran dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia. Bangunan baru tersebut dikemas dalam image “modernisme” yang dipropagandakan kapitalisme global melalui mediamedia informasi yang juga telah mengglobal. Propaganda media itu diarahkan pada upaya pembangunan image (pencitraan) terhadap barang dalam bungkus “modernisme”. Di Indonesia, pencitraan tersebut telah efektif memasuki kisi-kisi bangunan pergaulan hidup masyarakat Indonesia akibat masih kuatnya budaya feodal yang membuat sebagian besar masyarakat mengalami penyakit minder karena merasa bangsanya adalah bangsa kecil dan primitif dibandingkan dengan perkembangan budaya negaranegara maju. Implikasinya, semua perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan kapitalisme global terutama dalam budaya pergaulan hidup yang hedonis, konsumeris dan pragmatis. Mungkin benar yang disampaikan Foucault 13 bahwa episteme yang menjadi mayoritas pada akhirnya akah menjadi sebuah “rejim kebenaran”. Dan 13



Foucault, Michele. Pengetahuan dan Metode. Jalatustra. 2002.



propaganda media iklan kapitalis telah memasukkan sebuah episteme baru yang memaksa pandangan masyarakat berubah tentang kemajuan dan modernisme yang diarahkan pada kepentingan pasar. Pandangan itu pun pada akhirnya menjadi sebuah “rejim kebenaran” ketika masyarakat Indonesia membenarkan dan menerapkannya. Dan pada akhirnya konsumerisme pun menjadi budaya hidup yang merubah tatanan peradaban masyarakat dengan segala asumsinya atas episteme mayoritas yang dimiliki (hegemoni wacana liberal). Implikasinya, budaya hidup tersebut pada akhirnya telah membawa masyarakat pada sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang mengarah pada patronase peradaban yang berkembang di negara-negara maju.



Agama dan Nation and Caracter Building Agama pada dasarnya pemegang kunci strategis dalam nation and caracter building. Sebab nilai-nilai agama adalah nilai-nilai unversal yang syarat dengan ajaran-ajaran kebenaran, kebaikan, kemanusiaan dan keadilan yang sebenarnya menjadi roh kunci dari ideologi bangsa. Oleh karena itu, agama sudah seharusnya tidak boleh dicampur-adukkan dengan kepentingan-kepentingan politik apalagi kekuasaan. Simbolisasi pertarungan elite yang kadangkala membawa-bawa agama, adalah salah satu contoh konkrit yang cukup ironis bagaimana agama telah menjadi alat justifikasi politik dalam perebutan kekuasaan elite. Apalagi dalam beberapa kurun waktu terakhir, kekuatan-kekuatan agama yang muncul justru membawa bangsa ini pada sebuah konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Padahal nilai-nilai Ketuhanan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah



nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dimana setiap pemeluk agama menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam semangat saling menghargai dan menghormati dalam bingkai kesatuan.



Hukum dan Kekuasaan Selama kepemimpinan rejim Orde Baru, disadari bahwa hukum di Indonesia telah menjadi salah satu kekuatan politik rejim untuk menjustifikasi setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka sebagian besar produk-produk hukum tersebut merupakan produk yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan kekuatan modal asing dalam upaya pembangunan pasar, penanaman modal dan pengerukan sumber daya alam. Bahkan hampir keseluruhan produk-produk hukum tersebut secara kasat mata telah bertentangan dengan roh cita-cita kebangsaan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Produk-produk hukum yang dibuat oleh Rejim Orde Baru tersebut adalah sebagai bentuk konsekuensi politik dari posisi pemerintah yang menyerahkan negara menjadi subordinat (antek) kekuatan kapitalisme global. Wajar jika implikasi politik yang harus diterima adalah ketidak mampuan negara dalam menahan setiap intervensi kapitalisme global dalam bentuk penetrasi politik dengan memaksa negara melakukan deregulasi ekonomi dengan merubah dan membuat aturan-aturan hukum baru yang dapat memberi peluang kepada kekuatan kapitalisme global untuk melancarkan kepentingannya. Penetrasi politik dalam bentuk intervensi kebijakan hukum di Indonesia oleh kekuatan kapitalisme global tersebut sampai saat ini belum mampu teratasi secara signifikan karena lemahnya bargaining negara



akibat ketergantungannya terhadap hutang dan investasi asing. Walaupun saat ini terdapat beberapa produk hukum baru yang mendukung upaya menuju perubahan nasib yang lebih baik seperti aturan hukum yang membahas masalah korupsi, narkotika dan HAM, namun belum mampu menunjukkan sebuah perubahan yang signifikan. Faktor pokok yang menghambat efektifitas produk hukum baru tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor penegak hukum yang masih lemah dan tidak bisa dipercaya. Beberapa kasus menonjol adalah dalam penanganan masalah korupsi dimana aparat penegak hukum belum mampu melawan intervensi politik dari kekuatan luar sehingga membuat berlarut-larutnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Faktor pokok yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengeluarkan produk hukum adalah harus tetap berpijak pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat terutama hal-hal yang menyangkut adat-istiadat, budaya dan hal-hal lain yang dipandang adil dan benar oleh masyarakat. Dengan demikian, maka secara tidak langsung negara telah melakukan kontrak social (kesepakatan) dengan masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan hukum yang tentunya lebih obyektif. Kesalahan pokok negara selama ini dalam setiap membuat kebijakan hukum adalah atas dasar kepentingan kekuasaan atau kepentingan lain yang justru bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat. Implikasinya, sebagian besar produk hukum yang dikeluarkan selalu mendapatkan aksi protes (penolakan) dari masyarakat karena dianggap tidak berkeadilan dan bertentangan dengan hati nurani (kebenaran) masyarakat. Padahal Bung Karno telah menegaskan



bahwa sosio-nasionalisme harus berpihak pada wetwetnya (hukum) masyarakat14.



Ilmu untuk Perjuangan Pendidikan nasional seharusnya tetap menjadi tanggung jawab negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang telah menjadi amanat cita-cita konstitusi. Pendidikan gratis adalah kerangka ideal yang harus segera diwujudkan oleh negara demi terjangkaunya biaya pendidikan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi ras, suku, agama, gender maupun tingkat sosial. Privatisasi pendidikan melalui kebijakan otonomi kampus adalah bentuk pengingkaran dari konstitusi dimana negara secara tidak langsung telah melepas tanggung jawabnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan privatisasi pendidikan tersebut maka lembaga pendidikan secara otomatis telah mengalami disfungsionalisasi dari lembaga sosial (nirlaba) menjadi lembaga profit dimana setiap kampus dituntut untuk membiayai secara otonom kelembagaannya yang berarti setiap lembaga pendidikan akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam upaya memajukan sarana dan prasarana pendidikannya. Secara mendasar konsepsi kebijakan otonomi kampus tersebut jelas telah mengalami quo vadis visi karena bertentangan dengan kebangsaan Indonesia saat ini. Otonomi pendidikan seharusnya dipandang lebih pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana setiap kampus diberikan kebebasan 14



Bung Karno. Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid Satu Cetakan Kedua. Panitia Penerbit DBR. 1969.



dan keleluasaan untuk menyusun kurikulum pendidikannya yang akan disesuaikan dengan kultur dan natur daerah (wilayah) kampus sendiri. Dengan otonomi kurikulum tersebut diharapkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu berkembang lebih pesat karena bersinggungan dengan basic material masyarakat secara langsung. Sehingga ilmu pun tidak sebatas untuk ilmu, tetapi ilmu untuk perjuangan yang akan mendukung jalannya revolusi sosial di Indonesia (science is not for science but science for struggle).



Bab Lima



Marhaenisme dan Jalan Baru GmnI



Kembalinya GmnI kepada marhaenisme yang ditunjukkan dengan komitmen merubah asas organisasi dari Pancasila kembali ke marhaenisme di dalam Kongres Luar Biasa GmnI, dipandang sebagai sebuah upaya perubahan gerakan besarbesaran yang akan merombak segala strategi dan taktik di tubuh GmnI untuk kembali merintis jalan revolusi sebagai jalan baru GmnI. Oleh karena itu, GmnI kemudian menyusun kembali rumusan-rumusan tentang marhaenisme mulai dari sejarah kelahirannya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sampai dengan cara bagaimana marhaenisme dimanifestasikan dalam asas perjuangan dan taktik strategi GmnI ke depan. Rumusan marhaenisme itu dikaji dengan cara kembali merelevansikannya dengan perkembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia yang telah jauh berubah. Rumusan



marhaenisme itu kemudian dimasukkan ke dalam beberapa aturan kebijakan baru berupa Manifesto Politik, GBPP dan Silabus Kaderisasi.



Kelahiran Marhaenisme Marhaenisme dilahirkan dari pemikiran seorang Sukarno muda. Runtutan sejarah singkatnya dimulai pada saat Bung Karno menjalankan studinya di Bandung (1921). Marhaenisme dilahirkan dari proses perenungan panjang Bung Karno terhadap realitas perkembangan sejarah bangsa dan dunia internasional yang dipenuhi oleh penghisapan sesama manusia dan sesama bangsa. Sejarah ketertindasan bangsa adalah faktor pokok yang telah membangunkan Bung Karno dalam sebuah kesadaran berpikir untuk membangkitkan rakyat Indonesia dari penghisapan dan kemiskinan akibat kolonialisme dan imperialisme. Kesadaran Bung Karno itu kemudian ditopang oleh ketekunannya dalam mendalami ajaran-ajaran marxisme. Konsepsi perlawanan kaum buruh sebagaimana yang menjadi gagasan pemikiran Marx telah memberikan stimulus bagi Bung Karno untuk ikut membangkitkan sebuah perlawanan nasional menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda. Namun pola perlawanan yang diinginkan Bung Karno bukanlah perjuangan kelas sebagaimana yang menjadi konsepsi pemikiran Marx. Sebab kultur dan natur masyarakat eropa sangatlah berbeda dengan kultur dan natur masyarakat Indonesia. Mayoritas masyarakat eropa yang dihisap oleh sistem kapitalisme adalah kaum buruh. Namun di Indonesia, masyarakat yang terhisap oleh kapitalisme dan kolonialisme adalah masyarakat yang terdiri dari pluralitas profesi, mulai dari



petani, nelayan, kusir delman, buruh perkebunan, buruh tani, kuli, dan kaum melarat lainnya. Untuk itulah kemudian Bung Karno memandang perlu untuk mencari sebuah simbol pemersatu dari sekian pluralitas profesi kaum melarat Indonesia agar terbangun dalam satu wadah perlawanan bersama. Simbol pemersatu itu kemudian ditemukan Bung Karno ketika ia sedang berjalan-jalan di sebuah desa pinggiran kota Bandung. Saat itulah ia bertemu dengan seorang petani dan terlibat sebuah dialog antara Bung Karno dan petani tersebut15: “Milik siapakah tanah ini?” “Milik saya”, petani itu menjawab. “Siapa yang memiliki pacul itu?” “Milik saya”, petani itu menjawab. “Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu? “Milik saya”, jawab petani itu lagi. “Siapakah nama Bapak?” “Marhaen”



Dialog itu telah menghasilkan sebuah pemikiran baru bagi Bung Karno karena telah memberikan fakta sosial tentang petani Indonesia yang memiliki alat produksi berupa sawah dan bajak, yang seluruh hasil pertaniannya itu digunakan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, namun masih tetap saja melarat akibat sistem kolonialisme yang terjadi di Indenesia. Dan fakta sosial tentang petani tersebut ternyata juga sama dengan fakta sosial yang terjadi pada rakyat miskin Indonesia lainnya, baik nelayan, tukang besi, penjual sate sampai pedagang kaki lima. Kesemuanya juga memiliki alat-alat produksi namun ternyata nasibnya juga sama melaratnya dengan petani akibat 15



Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung. Jakarta. 1967



sistem yang menghisap (pauverishing). Berdasarkan fakta sosial itu kemudian diputuskan oleh Bung Karno untuk memberikan sebuah simbol pemersatu bagi rakyat miskin Indonesia dengan nama kaum “marhaen” Indonesia yang diambil dari nama seorang petani yang ditemui Bung Karno. Sejarah kemunculan nama “marhaen” tersebut pada masa rejim Orde Baru sempat menjadi kontroversi dikalangan masyarakat. Nama “marhaen” diragukan keberadaannya. Bahkan beberapa kalangan masyarakat berpendapat bahwa kata-kata “marhaen” tidak diambil dari nama seorang petani karena itu hanya merupakan cerita rekayasa Bung Karno. Nama “marhaen” dihasilkan dari penggabungan 3 (tiga) nama yaitu Marx, Hegel dan Engel yang jika disingkat menjadi MARHEN. Namun tuduhan itu disangkal mati-matian oleh kaum nasionalis. Sebab tuduhan itu akan membahayakan keberadaan ideologi marhaenisme dari pemberangusan dan stigmatisasi rejim Orde Baru yang melarang setiap ajaran yang berbau marxis. Untuk membuktikan kebenaran cerita Bung Karno tersebut kemudian diadakan “penyelidikan” yang menyatakan bahwa nama marhaen itu memang ada dengan menunjukkan kuburannya di pinggiran kota Bandung. Kontroversi tentang ada tidaknya nama petani bernama Marhaen tersebut sebenarnya bukanlah masalah prinsip karena tidak akan mempengaruhi keberadaan kaum nasionalis Indonesia sebagai penerus ajaran Bung Karno. Sebab substansi pokok dari kemunculan nama “marhaen” tersebut adalah: berhasilnya Bung Karno memberikan sebuah simbol baru yang mampu menyatukan seluruh kekuatan kaum miskin Indonesia, tidak peduli apakah nama itu hasil rekayasa ataukah tidak.



Marhaenisme dalam Pemahaman GmnI Dalam tulisannya Marhaen dan Proletar16 Bung Karno mempertegas pengertiannya tentang marhaenisme dengan mengutip hasil-hasil keputusan Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933 antara lain: a. Marhaenisme yaitu, sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. b. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani yang melarat dan kaum melarat indonesia yang lainlain. c. Partindo memakai parkataan marhaen, dan tidak proletar karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum melarat tidak termaktub di dalamnya. d. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya, maka Partindo memakai perkataan marhaen itu. mengambil bagian yang besar sekali. e. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen. f. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu cara-cara perjuangan yang revolusioner. 16



Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia Penerbit DBR. 1969.



g. Jadi marhaenisme adalah cara-cara perjuangan yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme. h. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa indonesia yang menjalankan marhaen-isme. Berdasarkan tulisan Bung Karno tersebut dapat ditegaskan bahwa marhaenisme adalah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Namun atas beberapa pertimbangan dalam Kongres Luar Biasa (KLB), maka marhaenisme yang dianut oleh GmnI ditambah dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan tersebut didasarkan pada perkembangan pemikiran Bung Karno tentang sejarah Ketuhanan masyarakat Indonesia yang tertuang dalam bukunya berjudul “Sarinah” dan Pidatonya di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tooyskai (lahirnya Pancasila).



Sosio Nasionalisme Sosio nasionalisme dijelaskan oleh Bung Karno dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”17 yang mengemukakan secara jelas pokok-pokok pikirannya yaitu: ……nasionalisme kita haruslah nasionalisme mencari selamatnya perikemanusiaan.



yang



……sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat. …..sosio nasionalisme, bukanlah nasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua kaiknya berdiri di dalam masyarakat. 17



Bung Karno, ibid.



Kemudian Bung Karno menegaskan lagi dalam tulisannya “Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi”18: ….sosio nasionalisme adalah “nasionalsme masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wetwetnya masyarakat.



Berdasarkan pandangan Bung Karno tersebut di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio nasionalisme pada dasarnya adalah satu asas kehidupan rakyat Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia muncul dan tumbuh atas kesadaran sejarah ketertindasan bangsa oleh kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena itu nilai-nilai yang dianut oleh nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai kebangsaan yang menginginkan penegakan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, zonder exploitation de lhomme par lhomme dan zonder exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat Indonesia, dan bertindak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sosio-nasionalisme adalah idea yang dijadikan sebagai asas pergaulan hidup rakyat dan bangsa Indonesia, yang dilandasi oleh semangat cinta terhadap manusia dan kemanusiaan. Sosio nasionalisme adalah idea tentang sebuah susunan masyarakat Indonesia yang tidak chauvist melainkan humanis, tegas dan revolusioner terhadap segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme sebagai sebuah kesadaran dan keharusan sejarah (historische notwendeigheit). 18



Bung Karno, ibid.



Sosio Demokrasi Dijelaskan oleh Bung Karno dalam tulisannya “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” 19 bahwa sosio demokrasi memiliki artian: …. timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio demokrasi adalah demokrasi yang berdiri dengan dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuai gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio demokrasi bukanlah demokrasi ala revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman dan lain-lain, tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.



Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio demokrasi adalah asas kehidupan rakyat Indonesia yang memiliki 2 (dua) makna demokrasi yaitu: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik adalah sistem kehidupan politik ketata-negaraan Indonesia yang memberikan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia, dan tidak mengabdi pada segolongan masyarakat. Demokrasi politik Indonesia adalah demokrasi yang memberikan hak penuh kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai entitas merdeka untuk mengartikulasikan seluruh kemerdekaan politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi politik Indonesia mengedepankan nilai-nilai solidaritas kebangsaan daripada kepentingan individu, kelompok maupun golongan. 19



Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia Penerbit DBR. 1969.



Demokrasi ekonomi adalah bangunan sistem perekonomian nasional yang berpijak pada pondasi nilainilai ideologi, dimana manusia Indonesia menjadi sebuah kedirian (entity) bebas yang hak dan kewajibannya diletakkan di dalam suatu kepentingan bersama. Setiap warga negara berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan bebas berusaha demi perkembangan kemanusiaanya. Dasar penyusunan perekonomian nasional juga harus didasarkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai (asas) kekeluargaan, yang kemudian oleh Bung Karno dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum (recht persoon) utama dalam perekonomian nasional. Sebab koperasi adalah sebuah badan hukum yang mampu mengintegrasikan sistem kepemilikan privat dalam naungan kebersamaan.



Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam pidatonya di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tooysakai, Bung Karno mengemukakan pokokpokok pikirannya tentang Ketuhanan masyarakat Indonesia antara lain20: ……Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama 20



Bung Karno. 1949. Lahirnya Pancasila. Penerbit Guntur. Yogyakarta.



lain. Nabi Isa verdraagzaamheid.



pun



telah



menunjukkan



Dari pandangan Bung Karno di atas dapat ditegaskan kemudian bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah asas kehidupan rakyat Indonesia yang Berketuhanan. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilainilai yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Indonesia karena setiap nilainilai Ketuhanan (agama) akan mengajarkan kepada rakyat tentang hakekat kemanusiaan dan budi nurani manusia Indonesia. Nilai-nilai Ketuhanan tersebut diletakkan dalam Ketuhanan yang berkebudayaan, yang meletakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan cara saling hormat-menghormati sesama pemeluk agama.



Historis Materialisme Historis materialisme adalah metode berpikir yang berpijak pada hukum dialektika sejarah. Tokoh yang terkenal sebagai pelopor dari hukum dialektika sejarah tersebut adalah Heraclitus, seorang filusuf Yunani dari abad 5 SM. Teorinya yang terkenal sampai saat ini adalah pantharei oden menei (semua mengalir tidak ada yang berhenti) dan sering dikutip Bung Karno dalam beberapa tulisannya. Ajaran dialektika tersebut diteruskan oleh G.F.W. Hegel, seorang filsuf Jerman dari aliran idealis. Teori Hegel yang terkenal yaitu pernyataannya yang memandang bahwa alam pikiran manusia sebagai dasar dari kemunculan segala hal yang bersifat materi di dunia. Pemikiran dialektika Hegel ini kemudian di teruskan oleh Marx dan Engel yang membalik teori Hegel dalam sebuah pernyataan bahwa bukan alam pikiran manusia yang melahirkan hal-hal yang bersifat materi, tetap sebaliknya, hal-hal yang bersifat materilah yang menentukan segala perubahan alam pikiran manusia.



Mengenai historis materialisme, Bung Karno pernah menjelaskan dalam artikelnya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” 21 bahwa: … historis materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini…. historis materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran… historis materialisme adalah historis.



Dari lontaran Bung Karno tersebut dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa historis materialisme adalah metode berpikir (denk methode) yang digunakan untuk mengetahui jalannya sejarah sekaligus mencari cara untuk mengubahnya. Dengan historis materialisme dapat diketahui bahwa segala kejadian, segala alam pikiran manusia di dalam setiap masa, di semua kehidupan bangsa, adalah pencerminan dari keadaankeadaan sosial ekonomi. Jika keadaan sosial ekonomis materiilnya berubah, maka alam pikiran manusia pun ikut berubah. Sehingga setiap perubahan dalam alam pikiran manusia akan selalu mengikuti perubahanperubahan sosial ekonomi di dalam setiap komunitas manusia (masyarakat). Secara prinsip, historis materialisme yang digagas terakhir oleh Marx tersebut telah membuka pikiran kita tentang sejarah yang akan terus dan selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena adanya pertentangan (kontradiksi) nilai dalam setiap kehidupan sejarah manusia. Setiap perubahan tersebut adalah sebuah proses akumulasi kuantitatif yang kemudian bergerak menuju kualitatif (the lawl of the quantitative change into the qualitative change). Perubahan tersebut akan menuju sebuah arah perubahan yang dipandang 21



Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia Penerbit DBR. 1969.



lebih baik dibandingkan dengan kondisi kehidupan sebelumnya (the law of the negation of the negation). Historis materialisme oleh GmnI digunakan sebagai pisau analisa untuk mencari jawaban terhadap segala perubahan-perubahan sejarah yang terjadi sekaligus mencari cara untuk menyusun perubahanperubahan tersebut menuju perubahan yang lebih baik sesuai dengan cita-cita ideologi. Historis materialisme akan memberikan seluruh perangkat kepada nilai-nilai marhaenisme agar dapat terbumikan dalam kehidupan sejarah manusia. Sebab historis materialisme telah memberikan metode untuk mengetahui segala jenis dan bentuk perubahan sejarah yang sekaligus membeirkan jawaban untuk merubahnya.



Dasar Perjuangan GmnI22 Dasar Perjuangan GmnI adalah terciptanya keadilan sosial dalam kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka dan berdaulat. Setiap individu masyarakat Indonesia merupakan entitas merdeka yang berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan bebas berusaha demi perkembangan kemanusiaanya (Sosial Conscience of Man). Atas dasar dan tujuan perjuangan tersebut maka kehidupan kebangsaan Indonesia harus dibangun dalam konstruksi kehidupan negara bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Berdaulat di bidang politik diletakkan dalam kerangka negara bangsa yang mengabdi kepada rakyat dengan kewajiban melindungi segenap kehidupan rakyat Indonesia dari segala bentuk penindasan dan 22



Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.



penghisapan. Oleh karena itu, negara tidak boleh terikat maupun tergantung dengan kekuatan lain (negara asing, modal, militer, dan lain-lain). Negara hanya tunduk kepada kedaulatan rakyat dan mengabdi kepada rakyat. Berdikari di bidang ekonomi diletakkan dalam kerangka negara bangsa yang mendasarkan perekonomiannya pada potensi bangsa (ilmu pengetahuan, teknologi, sumber daya alam, dan lainlain) tanpa tergantung dengan kekuatan lain (modal dan negara asing). Susunan perekonomian Indonesia juga harus didasarkan pada nilai-nilai (asas) kekeluargaan yang mengintegrasikan sistem kepemilikan privat dalam naungan kebersamaan. (the variants of private ownership include individual, partnership, cooperative and enterpreise). Berkepribadian di bidang kebudayaan diletakkan dalam kerangka negara bangsa yang mendasarkan pergaulan hidupnya pada budaya bangsa sendiri. Budaya bangsa adalah bangunan karakter kebangsaan rakyat Indonesia dalam semangat persatuan (nasionalisme) yang berkesadaran sejarah, humanis dan percaya kepada kekuatan sendiri (self reliance).



Kewajiban Perjuangan GmnI23 -



menciptakan masyarakat yang memiliki kesadaran akan sebuah revolusi dalam upaya mencapai sebuah tujuan perubahan yang lebih baik;



-



melakukan penyadaran kelas kepada seluruh rakyat tentang sejarah ketertindasan bangsa sampai saat ini;



-



membangkitkan perlawanan rakyat terhadap segala bentuk-bentuk penindasan dan penghisapan;



23



ibid



-



membangun nilai-nilai kegotong-royongan sebagai manifestasi cita-cita kehidupan negara bangsa;



-



membangun progressifitas revolusioner gerakan sebagai alat percepatan menuju cita-cita sosialisme Indonesia;



Kekuatan Perjuangan GmnI24 Kaum Marhaen Indonesia Kaum marhaen Indonesia adalah potensi kekuatan sosial bagi perjuangan GmnI yang akan menjadi barisan pelopor perwujudan cita-cita sosialisme Indonesia. Sebab kaum marhaen adalah kaum yang mengerti, memahami dan mengalami secara langsung tentang ketertindasan dan penghisapan;



Kaum Marhaenis Indonesia Kaum marhaenis Indonesia adalah kekuatan yang akan mengawal kaum marhaen Indonesia dalam sebuah gerakan perlawanan bersama-sama menuju cita-cita sosialisme Indonesia. Kaum marhaenis akan bersatu bahu membahu bersama kaum marhaen membuka jalan perubahan dalam setiap kerangka revolusi;



Pembukaan UUD 1945 dan Revolusi 1945 Pembukaan UUD 1945 adalah declaration of independence bangsa yang menjadi phillosophisce grondslag rakyat Indonesia yang didalamnya mengandung nilai-nilai luhur tentang dasar kemerdekaan dan cita-cita kehidupan rakyat Indonesia. Pembukaan UUD 1945 akan menjadi landasan pijak perjuangan rakyat Indonesia menuju cita-cita sosialisme Indonesia. Revolusi 1945 adalah potensi pendukung 24



ibid



yang akan membantu terwujudnya sosialisme Indonesia. Sebab revolusi 1945 telah menyelesaikan kerangka revolusi pertama yaitu terwujudnya negara bangsa yang merdeka dan berdaulat. Jika dalam perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan negara kembali terjajah oleh kekekuatan neo liberalisme maka sudah menjadi kewajiban bagi GmnI untuk mengembalikan kedaulatan dan kemerdekaan tersebut atas nama jiwa revolusi rakyat Indonesia;



Konsentrasi kekuatan nasional Indonesia Konsentrasi (persatuan) kekuatan nasional Indonesia diperlukan sebagai alat untuk melakukan perlawanan secara bersama-sama terhadap kapitalisme global (neo kolonialisme dan imperialisme). Jika perlawanan dilakukan dalam kondisi parsialitas kekuatan nasional, maka akan menyulitkan jalannya revolusi Indonesia. Oleh karena itu maka perlawanan terhadap kekuatan kapitalisme global harus tetap dilakukan secara serentak oleh seluruh rakyat Indonesia, oleh seluruh elemen-elemen bangsa. Sehingga segala bentuk perbedaan antar elemen bangsa harus dikesampingkan atas nama persatuan dan kesatuan perlawanan bangsa terhadap kekuatan kapitalisme global tersebut;



Letak geografis Indonesia yang strategis Sebagaimana diakui oleh sejarah bangsa-bangsa di dunia, Indonesia memiliki potensi letak geografis yang strategis baik dalam percaturan politik internasional maupun perekonomian dunia. Dan potensi itulah yang mengakibatkan sejarah ketertindasan yang cukup panjang yang dialami oleh rakyat Indonesia sampai detik ini. Mengingat potensi strategis dimana bangsa-bangsa dunia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap



keberadaan Indonesia, maka potensi tersebut harus diproteksi guna melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman penindasan dan penghisapan. Sebaliknya, potensi tersebut harus digunakan sebagai bargaining terhadap dunia internasional untuk membangun hubungan internasional yang lebih baik dalam kerangka perdamaian abadi, bukan penindasan sesama bangsa.



Percaya pada kekuatan bangsa sendiri Kepercayaan pada kemampuan dan keuletan bangsa sendiri (self reliance) penting untuk membangun semangat kejuangan rakyat Indonesia yang sedang menjalankan revolusinya. Sejarah telah membuktikan tentang kejayaan tersebut khususnya pada masa-masa kerajaan Hindustan beberapa abad yang lalu dimana bangsa ini telah menunjukkan kekuatannya kepada dunia.



Syarat Perjuangan GmnI25 Progressif Revolusioner Progressif dimaknai sebagai sebuah perubahan yang berlangsung terus menerus, sebuah perubahan dari kuantitatif menuju kualitatif (dialektika perubahan). Revolusioner dimaknai sama dengan makna “radikal” yaitu mencapai perubahan secara cepat” (omvormend in snel tempo). Sehingga dapat diartikan bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan secara cepat dan dipercepat serta terus menerus (permanen), sebagaimana sejarah yang terus merevolusi dirinya.



Radikal



25



ibid



Radikal adalah semangat perubahan yang harus dilakukan secara cepat dengan mendobrak segala bentuk penindasan demi percepatan revolusi Indonesia;



Dialektis Dialektis adalah syarat yang mewajibkan revolusi Indonesia atas dasar hukum dialektika sejarah. Sebuah hukum yang mempelajari sebab akibat terjadinya perubahan sejarah yang akan memberikan arah perubahan pasti bagi cita-cita revolusi Indonesia;



Kritis Kritis adalah sikap dan cara berpikir rakyat Indonesia dalam menjalankan revolusi Indonesia. Sikap dan cara berpikir kritis tersebut adalah sikap dan cara berpikir yang tidak puas dan tidak percaya terhadap segala bentuk kebijakan dan sistem yang ada. Sebuah sikap dan cara berpikir yang terus mengkaji dan menilai setiap kebijakan dan sistem yang timbul dalam sejarah perkembangan masyarakat sehingga mampu menilai tentang keadilan dan kebenaran dari setiap perubahan yang terjadi, dan mampu memperbaikinya dalam sebuah perubahan untuk menuju sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik;



Mandiri Mandiri adalah sikap revolusi Indonesia yang tidak tergantung oleh kekuatan lain selain kekuatan nasional, kekuatan seluruh rakyat Indonesia. Mandiri adalah sikap revolusi yang tidak tunduk pada kemauan siapapun kecuali kemauan seluruh rakyat Indonesia yang didasarkan pada tuntutan budi nurani;



Gotong Royong



Gotong royong adalah kehidupan revolusi Indonesia yang meletakkan entitas manusia Indonesia yang bebas merdeka di atas kepentingan bersama yang berdasarkan pada nilai-nilai solidaritas kebangsaan (kekeluargaan);



Kemanusiaan Kemanusiaan adalah jiwa dan roh revolusi Indonesia yang menginginkan sebuah perubahan menuju kehidupan yang berdasar atas dasar-dasar perikemanusiaan zonder exploitation de l’homme par l’homme.



Religius Religiusitas masyarakat Indonesia adalah alat untuk membangun kesadaran revolusi yang didasarkan atas tuntutan budi nurani manusia, yang mana tuntutan budi nurani tersebut merupakan inti dari nilai-nilai ajaran agama yang dianut dan diyakini oleh seluruh rakyat Indonesia.



Musuh-Musuh Perjuangan GmnI Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme Neo kolonialisme sebagai nomena paska perang dunia kedua berkembang dalam kedok pemberian kemerdekaan bagi negara-negara jajahan, namun kedaulatannya tetap di bawah kekuatan politik negara penjajah. Bahkan dalam perkembangan terakhir, selain dengan menggunakan kekuatan modal dan jebakan hutang, negara-negara maju dalam upaya menjajah negara-negara dunia ketiga adalah dengan menggunakan kekuatan militer terselubung dengan kedok penegakan hak asasi manusia dan penjaga perdamaian dunia. Namun dibalik semua kedok tersebut, kepentingan yang



diharapkan dari pengerahan kekuatan militer tersebut adalah penguasaan sumber daya alam milik negaranegara dunia ketiga khususnya sumber daya alam yang menyangkut energi. Sebab energi (minyak) saat ini menjadi pemegang kekuatan utama negara-negara maju untuk menggerakkan mesin-mesin industri yang memproduksi barang.



Feodalisme Bangsa Dalam kesejarahan bangsa di seluruh wilayah nusantara, kaum marhaen Indonesia telah diperintah oleh raja-raja kerajaan Hindustan dalam tatanan kehidupan feodal. Kaum marhaen hanya menjadi alat kepuasan para raja dengan segala bala keningratannya. Kaum marhaen tidak memiliki hak menentukan nasibnya sendiri (self determination). Akibat sistem feodalisme yang berlangsung selama berpuluh-puluh abad tersebut telah membentuk mental masyarakat Indonesia yang lemah, tidak percaya diri (minder), sungkan dan ewuh pakewuh terhadap kelas yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Mental-mental warisan feodalisme tersebut adalah faktor penghambat terwujudnya revolusi Indonesia karena kontradiktif dengan syarat-syarat revolusi yang menginginkan kejuangan bersifat progressif, revolusioner, radikal dan kritis.



Kekuatan Kontra Revolusi Kekuatan kontra revolusi yang menjadi musuh utama GmnI adalah: kaum kapitalis, tuan-tuan tanah (landlords), para komprador, kaum federalis yang menginginkan perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kaum ortodoks, konservatif dan kaum doktriner formalistik (otoriter), kaum oportunis dan politisi-politisi korup serta spekulan-spekulan ekonomi



yang selama ini telah menjadi para pelaku yang membawa bangsa ini dalam kungkungan kekuatan kapitalisme global.



Taktik dan Strategi GmnI Strategi: Machtvorming, Massa Aksi dan Non Kooperatif Dalam perspektif ideologi, neoliberalisme diakui telah memaksa negara Indonesia menjadi subordinat (antek) kekuatan kapitalis global. Padahal dalam asas perjuangan, negara diberikan peran dan kepercayaan yang sangat besar sebagai alat pemersatu, pelopor revolusi sosial, dan panglima penegak keadilan dalam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berjalan. Distorsifitas peran negara sebagai subordinat kekuatan kapitalis global, yang melanda seluruh negara-negara dunia, memaksa GmnI untuk merumuskan kembali tentang peran negara dalam keikutsertaannya mewujudkan revolusi sosial di Indonesia. Namun yang pasti, bahwa terlalu sulit bagi GmnI untuk mengandalkan “negara” sebagai alat perlawanan terhadap kapitalisme global dalam kondisi ketergantungan seperti saat ini. Oleh karena itu, GmnI kemudian secara institusional mengambil strategi sebagai “oposisi permanen” (deklarasi Lembang 2001) terhadap negara. Strategi tersebut diambil sebagai upaya melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara yang berada dalam kendali kekuatan kapitalis global. Hal ini penting dilakukan, sebab negara sampai saat ini dipandang sebagai representasi rakyat dalam konstitusi kita, dimana keselamatan dan nasib rakyat Indonesia berada di tangan negara. Namun di satu sisi, justru negara acapkali mengkhianati “amanat penderitaan rakyat”.



Unsur-unsur yang mempengaruhi negara antara lain: eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai politik. Untuk itu maka dalam kerangka non-kooperatif GmnI dituntut melakukan upaya penetrasi kebijakan melalui agitas dan propaganda terhadap kekuasaan dari tingkat pusat sampai daerah demi terwujudnya sistem yang mendukung nilai-nilai ideologi. Dalam upaya nonkooperatif pula, Gmni harus mampu mengontrol jalannya kebijakan kekuasaan secara langsung dengan cara massa aksi, melalui aksi penolakan bersama-sama kekuatan rakyat. Dalam kerangka massa aksi tersebut, Gmni dituntut untuk terus melakukan penyusunan kekuatan (machtvorming) dengan cara pengorganisiran rakyat yang dilakukan secara holistik dan integratif. Dan berdasarkan silabus kaderisasi, setiap kader GmnI memiliki tanggung jawab pengorganisiran rakyat tersebut dengan cara memasuki sentra-sentra komunitas untuk membangun simpul-simpul komunitas.



Taktik26 Taktik yang dilakukan dalam perjuangan oleh GmnI adalah: isu kontra isu, propaganda ideologis, penguasaan media, statement, intelejen kontra intelejen, kaderisasi, diplomasi, tanpa kekerasan (non violence), kontra hegemoni, aliansi taktis dan strategis, pendampingan



26



Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.



Bab Enam



Marhaenisme bukan Jalan Ketiga Beberapa kurun waktu terakhir, keberadaan marhaenisme oleh beberapa kalangan sempat dikaitkaitkan dengan sebuah wacana ideologi baru yang dilontarkan Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way: The Renewal of Society Democracy. Beberapa pandangan menyatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa kesamaan yang cukup kuat antara marhaenisme dengan politik jalan ketiga Giddens. Jika ditinjau dari motivasi kemunculannya, politik jalan ketiga Giddens memang memiliki beberapa kesamaan dengan gagasan Bung Karno yang juga ingin menjadikan marhaenisme sebagai politik “jalan tengah” (istilah Bung Karno). Gagasan Giddens bertujuan pokok untuk menggantikan demokrasi sosial klasik partai-partai Sosdem Uni Eropa yang dipandang sudah tidak mampu lagi menjawab perkembangan dunia yang telah memasuki era kapitalisme global. Giddens kemudian menggagas jalan baru yang dipandang bisa mengatasi masalah besar masyarakat dunia kontemporer tentang



globalisasi, individualisme, kerusakan lingkungan hidup dan kosmopolitisme. Tujuan pokok jalan ketiga Giddens adalah untuk mendamaikan 2 (dua) perbedaan ideologi di eropa yang berkembang saat itu yaitu antara kekuatan demokrasi sosial yang dianggap masih terlalu memberikan kekuasaan besar kepada negara untuk mengatur jalannya perekonomian masyarakat dan neoliberalisme yang dianggap terlalu liberal dengan politik ekonomi pasar bebasnya. Motivasi Giddens tersebut hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Bung Karno pada era 19501960-an yang menggagas marhaenisme sebagai upaya jalan tengah untuk mengganti 2 (dua) kekuatan ideologi besar dunia pada saat itu. Sebab komunisme (marxismeleninisme) dipandang oleh Bung Karno terlalu diktator sehingga mengingkari sifat manusia sebagai entitas merdeka, dan liberalisme terlalu mengagung-agungkan nilai-nilai kebebasan dan individualisme yang justru mengingkari nilai-nilai solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat. Atas perkembangan 2 (dua) kekuatan ideologi dunia tersebut, Bung Karno kemudian memunculkan marhaenisme sebagai nilai-nilai baru yang dipandang akan mampu menggantikan dua kekuatan ideologi tersebut. Sebab marhaenisme menganut nilai-nilai yang memadukan antara kebebasan manusia dengan solidaritas sosial yang didasarkan pada nilai-nilai manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Gagasan tersebut oleh Bung Karno kemudian diperkenalkan melalui pidatonya berjudul To Build A World A New di depan Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana gagasan baru tersebut diidentifikasi dengan nama new emerging force yang akan menggantikan dua kekuatan



ideologi dunia yang kemudian diidentifikasi dengan nama old established force. Gagasan tersebut terus digalang oleh Bung Karno dengan penyatuan kekuatan Asia Afrika dan memberikan sumbangan ide dibentuknya Gerakan Non Blok sebagai new emerging force. Lepas dari motivasi jalan tengah Bung Karno ataupun jalan ketiga Giddens di atas, jika dicermati dari nilai-nilai yang ditawarkan Giddens dengan pemikiran Bung Karno jelas memiliki perbedaan yang sangat jauh. Marhaenisme dilahirkan sebagai sebuah sintesa atas penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme dan imperialisme negara maju terhadap negara dunia ketiga. Berbeda dengan jalan ketiga Giddens yang dilahirkan hanya sebatas untuk mencari titik temu antara sistem ekonomi demokrasi sosial dengan sistem ekonomi neoliberal yang berkembang di eropa dengan cara merevisi sosial demokrasi klasik yang dianut partaipartai sosdem eropa. Gidden mencoba menggagas kembali pola relasi baru antara pemerintah dan masyarakat yang diharapkan akan lebih mendukung percepatan perekonomian masyarakat terutama kelas pekerja menuju kelas menengah. Oleh karena itu, maka Giddens tidak menolak kapitalisme global, tetapi kompromi dengan cara merevisi ulang peran negara dalam perkembangan pasar bebas. Revisi peran negara itu didasarkan pada pandangan barunya terhadap welfare, seperti yang dikemukakannya: When Beveridge wrote his Report on Social Insurance and Allied Services, in 1942, he famously declared war on Want, Disease, Ignorance, Squalor, and Idleness. In other words, his focus was almost entirely negative. We should speak today of positive welfare, to which individuals themselves and other agencies besides government contribute - and which is functional for



wealth creation. Welfare is not in essence an economic concept, but a psychic one27.



Revisi peran welfare negara itu kemudian diarahkan pada sebuah pendekatan baru tentang negara yang diarahkan untuk mengatur perekonomian yang difokuskan pada pendidikan untuk meningkatkan skill kelas pekerja; membangun budaya mandiri di masyarakat dengan melatih masyarakat berwiraswasta, seperti yang dikemukakannya: Government policy can provide direct support for for entrepreneurship, through helping create venture capital, but also through restructuring welfare systems to give security when entrepreneurial ventures go wrong - for example, by giving people the option to be taxed on a two- or three-year cycle rather than only annually28.



Modernisasi demokrasi sosial yang digagas Giddens di atas sebenarnya tidak lebih daripada sebuah bentuk kompromi dan penundukan negara terhadap kekuatan kapitalisme global. Sebab dalam konsepsi itu secara tidak langsung Giddens telah menerima neoliberalisme dan mengesahkan kapitalisme pasar bebas dengan cara membiarkan negara memberikan kebebasan yang lebih kepada pasar untuk menentukan keadilan ekonomi. Dan negara disuruh untuk ikut membantu menyiapkan kelas pekerja agar ikut bersaing dalam “hukum rimba” pasar itu. Berbeda dengan ide Giddens di atas, marhaenisme sebagai sintesa dari kapitalisme, sistem perekonomiannya lebih diarahkan pada stimulasi solidaritas sosial yang dapat menyatukan masyarakat Indonesia dalam kebersamaan ekonomis. Oleh karena 27



Giddens, Anthony. The Third Way:The Renewal of Social Democracy. Polity Press. UK. 1998. 28 ibid



itu, maka dasar penyusunan perekonomian nasional diarahkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai kekeluargaan (cooperative), yang dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum (recht persoon) utama perekonomian nasional. Dengan media koperasi maka penguasaan modal (kapital) tidak dimiliki dan diusahakan secara perorangan melainkan kolektif sebagai syarat cooperation dan partnership. Dengan demikian, maka pasar yang ada di Indonesia adalah sebuah transaksi ekonomi antara sesama badan koperasi (transaksi modal kolektif), bukan modal perorangan seperti pasar negara liberal. Intervensi negara terhadap pasar dalam konsepsi marhaenisme tetap dipandang perlu oleh Bung Karno untuk menghindari terjadinya ketidak-adilan (monopoli, pengekangan buruh, permainan harga dll). Mengenai investasi sumber daya alam yang menyangkut kebutuhan hidup masyarakat, Bung Karno tetap mempercayakannya kepada negara untuk berinvestasi, yang keuntungannya akan digunakan untuk kesejahteraan sosial yang adil dan merata. Konsepsi Bung Karno di atas, jelas sangat jauh berbeda dengan konsepsi Giddens. Jika Giddens memilih kompromi dengan kekuatan kapitalisme global, bagi Bung Karno tidak, karena bagaimanapun kapitalisme global adalah antitesa marhaenisme, sehingga tidak ada jalan untuk kompromi, kecuali mengganti sama sekali sistem kapitalisme dengan marhaenisme sebagai satusatunya jalan. Oleh karena itu, marhaenisme tidak dapat dikategorikan sebagai jalan ketiga jika diartikan sebagai upaya mengkompromikan sosialisme dan kapitalisme. Namun marhaenisme bisa diartikan sebagai jalan tengah yang akan mengganti sosialisme dan kapitalisme dengan



nilai-nilai marhaenisme yang sama sekali baru, bukan revisi seperti Giddens. Sehingga jelas bahwa baik dari latar belakang kemunculan gagasan dan nilai-nilainya, antara marhaenisme dan jalan ketiga Giddens adalah berbeda. Perbedaan paling pokok dalam konsepsi ekonomi antara jalan ketiga Giddens dengan Marhaenisme adalah terletak pada peran negara dalam mengatur jalannya perekonomian pasar. Jalan ketiga Giddens yang memilih kompromi terhadap sistem ekonomi liberal telah membagi peran antara negara dan kekuatan modal dalam masalah pembagian usaha dan rejeki. Kompromi itu diwujudkan dengan spesialisasi usaha antara negara dan kekuatan modal, dimana negara hanya diberikan ruang usaha dibidang investasi-investasi yang bersifat sosial saja. Sementara usaha-usaha perekonomian yang bersifat profit sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan modal tanpa ada celah bagi negara untuk melakukan intervensi lagi. Sebagai kompensasinya, negara diberikan keleluasan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat mendukung peningkatan kesejahteraan kelas pekerja dengan cara memberikan fasilitas pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan skill para pekerja dalam jangka panjang sebagai wujud revisi terhadap fungsi welfare negara yang lama, seperti yang ditulis Giddens: ….Governments need to emphasize life-long education, developing education programmes that start from an individual’s early years and continue on even late in life29.



29



Giddens. ibid.



Konsepsi Giddens tentang pembagian peran negara dan kapital di atas adalah berbeda dengan marhaenisme. Secara prinsip, perekonomian marhaenisme tetap tidak mengijinkan pasar dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan kapital. Namun demikian, marhaenisme masih tetap menganut teori persaingan pasar. Tetapi persaingan itu harus dilakukan oleh badan-badan usaha koperasi yang kepemilikan modalnya bersifat kolektif, tidak perorangan. Kepemilikan modal kolektif berarti dalam sebuah badan usaha (recht persoon), semua elemen yang ada didalamnya mulai dari pekerja, tukang sapu, mandor sampai pimpinan perusahaan adalah pemilik modal. Kepemilikan modal kolektif itu tidak sama rata sebagaimana yang menjadi konsepsi Marxian dalam teori “pasar negara”. Kepemilikan modal kolektif dalam kosepsi marhaenisme tetap menganut diferensiasi saham dan keuntungan yang disesuaikan dengan tingkat resiko, porsi tanggung jawab dan nilai kerja masing-masing elemen dalam perusahaan tersebut. Persaingan antar badan koperasi dalam mekanisme pasar tersebut tetap berada dalam pantauan dan kendali negara sebagai penegak keadilan pasar. Negara diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung terciptanya keadilan pasar. Mengenai peran negara di bidang investasi, konsepsi marhaenisme berbeda dengan Giddens yang mengarahkan negara pada investasi bersifat sosial saja. Konsepsi marhaenisme tetap menganut teori sosialisme klasik, yaitu cabang-cabang produksi dan sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum tetap dikelola oleh negara. Posisi ini penting untuk diambil mengingat masa depan kehidupan rakyat saat ini dan akan datang (generasi masa depan). Dengan pengambil-alihan negara tersebut, dapat dimungkinkan semua keuntungannya



dimanfaatkan untuk kepentingan sosial masyarakat daripada dikelola oleh perorangan yang keuntungannya hanya akan dinikmati oleh segelintir pemilik modal saja. Sedangkan tentang ide Giddens mengenai peran negara yang akan diarahkan pada peningkatan skill pekerja dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan, secara substantif hampir sama dengan konsepsi marhaenisme. Perbedaannya, jika Giddens hanya memprioritaskan pendidikan kepada kelas pekerja, marhaenisme menuntut negara untuk mencerdaskan seluruh elemen masyarakat agar mendapatkan penghidupan yang lebih layak karena masyarakat miskin Indonesia tidak hanya masyarakat pekerja (proletar) saja. Perbedaan kedua, jika tujuan pendidikan dan pelatihan Giddens untuk menyiapkan kelas pekerja menghadapi persaingan pasar, tujuan Bung karno untuk membawa masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan sosial bersama. Ide Bung Karno ini mungkin hampir sama dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Saint Simon pada abad delapan belas silam yang menggagas perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi dimanajemeni agar bisa bermanfaat bagi kepentingan seluruh masyarakat. Bung Karno menyadari bahwa bangsa Indonesia memang mengalami ketertinggalan di bidang IPTEK sebagai implikasi dari kolonialisme imperium barat. Oleh karena itu maka transfer ilmu pengetahuan dan teknologi tetap dibutuhkan bagi percepatan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan sekali lagi bahwa bagaimanapun marhaenisme tidak dapat dikategorikan sebagai ideologi jalan ketiga seperti konsepsi yang digagas Giddens. Marhaenisme adalah ideologi kiri yang menjadikan kapitalisme berikut



metamorfosanya sebagai antitesa. Marhaenisme bukan ideologi kanan, tengah ataupun jalan ketiga yang bersifat kompromi terhadap kapitalisme. Marhaenisme adalah ideologi yang berdiri sendiri karena berpijak pada nilainilainya sendiri, bukan hasil revisi dari ideologi apapun seperti ide Giddens.



Bab Tujuh



Marhaenisme Tidak Lagi Relevan? Konsepsi marhaenisma oleh beberapa kalangan saat ini sudah dianggap usang atau tidak relevan lagi dengan perkembangan kapitalisme global, sebagaimana Giddens yang juga menggangap sosial demokrasi klasik juga tidak relevan di era globalisasi. Pandangan tentang tidak relevannya marhaenisme itu didasarkan pada sistem perekonomian marhaenisme yang dinilai terlalu memposisikan negara sebagai “panglima keadilan” yang dapat mengintervensi pasar dan memaksa investor mengkolektifkan modalnya dalam sistem koperasi. Bahkan marhaenisme juga tidak mengijinkan adanya modal-modal privat memasuki ruang-ruang usaha yang menyangkut khalayak hidup orang banyak. Konsepsi seperti itu dinilai tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan perkembangan globalisasi dan kosmopolitisme saat ini yang menuntut kebebasan berekonomi (pasar bebas) tanpa ada intervensi apapun dan dari siapapun termasuk negara di dalamnya. Semua keadilan yang menentukan adalah pasar bukan negara ataupun hukum karena hukum harus ikut membela kepentingan pasar. Sehingga apapun yang dihasilkan



oleh pasar adalah keadilan bagi semuanya lengkap dengan legitimasi hukum positifnya. Dalam perspektif kapitalisme global, intervensi negara dipandang sebagai bentuk pengekangan terhadap hak-hak kebebasan manusia dalam berekonomi. Oleh karena itu, fungsi-fungsi territorial negara yang membatasi relasi-relasi ekonomi dunia dipandang sudah tidak relevan lagi bagi perkembangan kosmopolitisme saat ini. Berdasarkan pandangan-pandangan neoliberal di atas, lalu apakah kita akan meninggalkan marhaenisme karena dipandang telah usang karena tidak bisa mengikuti fakta sejarah kontemporer? Apakah kita perlu untuk merevisi kembali konsepsi marhaenisme itu agar bisa mencapai titik temu dengan neoliberalisme agar bisa dikatakan relevan lagi bagi perkembangan sejarah jaman? Bagi saya tidak, sebab justru itulah inti dari gagasan Bung Karno, yaitu “mengganti” kapitalisme berikut metamorfosanya (kapitalisme global maupun neo liberalisme), bukan mencari “kompromi” ataupun titik temu. Lebih salah lagi jika kita meninggalkan nilai-nilai ideal yang terdapat dalam marhaenisme dan mencari nilai-nilai baru karena marhaenisme telah dianggap usang. Dalam konteks ini, maka yang perlu diperdebatkan adalah bukan mengenai relevan tidaknya marhaenisme bagi perkembangan jaman, karena marhaenisme tetaplah sintesa nilai atas antitesa kapitalisme yang telah bermetamorfosa dalam wujud kapitalisme global sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Sehingga jika mengacu pada hukum dialektika perubahan, sampai kapanpun nilai-nilai marhaenisme akan tetap relevan bagi perkembangan jaman sampai



ada sintesa baru yang marhaenisme tersebut.



akan



mengganti



nilai-nilai



Namun yang menjadi persoalannya saat ini adalah marhaenisme belum bisa menjadi sintesa (tesa baru), sebab nilai-nilai lama kapitalisme belum tergantikan dengan nilai-nilai baru marhaenisme. Jika demikian, maka bukan nilainya yang salah ataupun usang, tetapi taktik dan strateginya yang perlu dikaji ulang, kenapa marhaenisme belum mampu termanifestasikan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Beberapa kelompok nasionalis muda di GmnI juga pernah memiliki pandangan bahwa kapitalisme saat ini telah bermetamorfosa ke dalam bentuk neo liberalisme dan kapitalisme global. Oleh karena itu marhaenisme pun harus melakukan metamorfosa jika ingin dikatakan relevan30. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah metamorfosa kapitalisme itu dapat dikatakan sebagai sebuah tesa baru yang telah menggantikan tesa lama kapitalisme klasik? Dalam konteks nilainya, jelas tidak ada sebuah tesa baru dalam kapitalisme, karena essensi nilainya tetap sama dengan nilai lama yaitu eksploitatif dan menindas. Perubahan kapitalisme hanya sebatas pada strategi-strategi baru yang dipakai kapitalisme untuk menguasi pasar dan sumber daya alam (bahan baku produksi) serta pengembangan modal. Pada abad pertengahan (masa imperialisme klasik), strategi kapitalisme imperialisme adalah mencari wilayah-wilayah baru yang akan dijadikan wilayah jajahan. Ekspedisi dan pengerahan armada perang adalah taktik yang digunakan untuk menundukkan wilayah-wilayah jajahan tersebut. Peperangan di abad 30



Pandangan ini sempat mencuat dalam pertemuan antar Cabang GmnI seIndonesia di Surabaya 1 Juli 1999 dengan tema “Quo Vadis Marhaenisme”.



pertengahan berslogan gold, glory and gospel adalah bagian dari implikasi politik kepentingan imperialisme dunia masa itu. Pencarian wilayah baru bagi negara-negara maju itu terus meningkat seiring dengan munculnya revolusi industri. Sebab revolusi industri telah mengakibatkan terjadinya perubahan secara mendasar dalam sistem produksi ekonomi di eropa. Barang-barang produksi yang pada awalnya hanya bisa diproduksi secara terbatas karena masih diproduksi secara manual (tenaga kerja manusia) kemudian menjadi over produksi karena diproduksi secara massal oleh mesin-mesin industri sebagai pengganti tenaga manual. Over produksi tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terjadinya akumulasi barang akibat terbatasnya pasar, dan akumulasi modal akibat terbatasnya lahan usaha31. Meminjam teori Hilferding, Kautsky dan Luxemburg yang dikutip oleh Bung Karno32, untuk menghindari kebangkrutan akibat akumulasi barang dan modal itu, maka jalan imperialisme pada akhirnya menjadi sebuah keharusan bagi bangsa-bangsa yang telah mengalami kematangan kapitalisme. Kondisi itulah yang kemudian menjadi penyebab utama perang lanjutan dari abad pertengahan yang terus berkembang sampai menjadi perang dunia I dan perang dunia II akibat perebutan wilayah jajahan negara-negara imperialis. Paska perang dunia II, seiring dengan munculnya declaration of human right (1948), strategi imperialisme negara maju kemudian berubah (yang kemudian dipandang sebagai metamorfosa kapitalisme). Strategi itu 31



Bung Karno, “Swadesi dan Massa Aksi Indonesia”, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I Cetakan Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969. 32 Ibid.



diubah dari pendekatan bersenjata (perang) menjadi pendekatan lunak dengan iming-iming pemberian modal dan transfer IPTEK yang dijustifikasi melalui “teori modernisme”33. Secara garis besar teori itu menegaskan tentang perlunya transfer modal dan IPTEK untuk membantu negara dunia ketiga (bekas jajahan) mengejar ketertinggalannya terhadap negara maju. Teori itu pula yang kemudian melahirkan lembaga-lembaga donatur internasional terutama IMF dan World Bank. Namun dalam realitasnya kemudian, teori itu dipatahkan oleh “teori dependensia”34 yang berhasil membuktikan bahwa transfer modal dan IPTEK tersebut justru menjerumuskan negara dunia ketiga dalam jebakan hutang (dept trap). Sebab transfer modal itu ternyata digunakan sebagai bargain negara maju untuk menguasai pasar dan sumber daya alam negara dunia ketiga. Transfer IPTEK pun ternyata tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh oleh negara maju, bahkan sebaliknya yang terjadi adalah transfer tenagatenaga ahli ke negara dunia ketiga. Bargain negara maju itu dilakukan dengan cara menggunakan lembaga donatur internasional (IMF dan World Bank) sebagai kendaraan politik untuk memaksa negara penghutang mengikuti kemauan negara maju. Wajar jika aturan-aturan yang dibuat IMF dan World Bank kemudian tidak pernah jauh dari deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan pencabutan subsidi 35. Melihat perubahan strategi kapitalisme itu, maka jelas akan memunculkan pertanyaan bagi kita mengenai masih relevan tidaknya strategi yang kita terapkan dalam 33



Budiman, Arief. Teori Pembangunan Negara Dunia Ketiga ibid. 35 World Bank. Entering the 21st Century, World Development Report 1999/ 2000. Oxford University Press. New York. 34



menghadapi perubahan kapitalisme ini. Inilah pertanyaan yang benar dan perlu untuk ditanggapi oleh GmnI. Jadi –sekali lagi– bukan pertanyaan yang menyangkut relevan tidaknya nilai-nilai marhaenisme, tetapi lebih menyangkut pada relevan tidaknya strategi. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab Tiga “KLB dan Strategi Baru Kejuangan GmnI”, GmnI telah mencoba menyusun ulang tentang strategi-strategi baru yang coba diterapkan menghadapi kapitalisme global tersebut. Strategi dasar yang dilakukan GmnI saat ini adalah pembangunan kekuatan masyarakat (machtvorming) melalui strategi pengorganisasian rakyat. Tujuan pengorganisasian tersebut dalam jangka pendek adalah upaya pembangunan simpul-simpul kekuatan di dalam masyarakat yang nantinya diharapkan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang mandiri dan tidak tunduk pada kekuasaan, melainkan kritis dan radikal. Dengan terbentuknya lembagalembaga kontrol di tengah kehidupan masyarakat tersebut, perubahan diharapkan akan berjalan lebih cepat dan meningkat karena kekuasaan mulai dari RT, RW, Desa, Kecamatan, Distrik sampai pusat dapat dikontrol secara bertingkat karena lembaga-lembaga kontrol masyarakat itu dengan sendirinya akan membentuk jaring kerjasama antar masyarakat melalui pemanfaatan media komunikasi global sebagai alat transformasi dan komunikasi. Dalam jangka menengah, tujuan pengorganisasian adalah terciptanya sebuah kesadaran baru bagi masyarakat tentang sistem nilai (ekonomi, politik dan budaya) yang ditanamkan oleh kekuasaan, yang dipandang tidak mendukung terwujudnya sebuah perubahan yang lebih baik, sehingga perlu untuk dilakukan pendekonstruksian nilai dengan cara



perlawanan terhadap kekuasaan. Cara penyadaran itu dilakukan melalui pola-pola agitasi dan propaganda melalui media-media informasi dan komunikasi yang terdapat dalam sentra-sentra komunitas masyarakat (tempat ibadah, karang taruna, warung kopi, pasar, dll). Cara itulah yang dulu pernah dilakukan oleh Bung Karno dan founding father lainnya dalam upaya membangkitkan perlawanan nasional pada masa kekuasaan imperium barat di Indonesia. Tujuan jangka panjangnya adalah merekonstruksi ulang tatanan nilai kehidupan masyarakat yang kapitalistik untuk diarahkan pada bangunan sintesa ideologi (marhaenisme). Untuk bisa merekonstruksi bangunan nilai di masyarakat tersebut kader-kader GmnI dituntut untuk memiliki kemampuan yang benarbenar kuat dalam memahami nilai-nilai yang berpengaruh dan berkembang di masyarakat. Sebab tanpa memahami basic materiil masyarakat maka terlalu mustahil bagi seorang kader untuk bisa melakukan rekonstruksi karena tidak tahu dimana dan bagaimana rekonstruksi nilai itu akan dilakukan. Oleh karena itu, maka pemetaan dan analisa sosial dengan cara integral di tengah-tengah kehidupan masyarakat adalah satu-satunya cara strategis bagi GmnI jika benar-benar menginginkan terjadinya sebuah rekonstruksi nilai dalam kehidupan masyarakat. Dengan cara integral maka GmnI akan mengetahui secara detail tentang perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, mulai dari cara pandang masyarakat, cita-cita hidup masyarakat, harapanharapan yang ada dalam kehidupan masyarakat, budaya-budaya yang hidup di tengah masyarakat sampai pada keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat. Variabel-variabel sosial itu adalah alat yang akan membawa GmnI pada satu analisa dan pemikiran



yang tidak akan bersifat kuldesak sehingga benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah sintesa ideologi. Untuk mencapai tujuan-tujuan pengorganisiran itu, langkah pertama yang harus dilakukan GmnI adalah menyusun format pengkaderan baru yang bisa memadukan antara indoktrinasi ideologis dengan kemampuan berpikir kader. Sehingga GmnI akan memiliki kader-kader yang memiliki kemampuan dan kemauan atas kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai kader untuk melakukan perjuangan melalui strategi pengorganisasian rakyat tersebut. Dan cukup menggembirakan karena Kongres Luar Biasa GmnI pada akhirnya berhasil menyusun Silabus Kaderisasi yang dipandang bisa mendukung strategi baru pengorganisasian rakyat yang telah digagasnya. Apakah strategi pengorganisasian rakyat ini nantinya akan mampu menjadikan marhaenisme sebagai tesa? Dan apakah strategi ini cukup relevan menghadapi kapitalisme global? Hanya dialektika sejarahlah yang bisa menjawabnya. Seorang kader GmnI pun hanya bisa menjawab kapan strategi ini akan dijalankan, yang tentunya akan dijawab: detik inipun akan kita jalankan. Sampai kapan? Sampai sejarah meminta kita untuk merubahnya kembali. Amien.



Daftar Bacaan



Adam, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung. Jakarta. 1967. Adian, Donny Gahral. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer. Jalatrustra. Jakarta. 2002. Budiman, Arief. Teori Pembangunan Negara Dunia Ketiga. Dokumen CIA. Melacak Penggulingan Bung Karno dan Konspirasi Gerakan 30 September 1965. Hasta Mitra. Jakarta. 2002. Doug Lorimer. Globalisation, Neoliberalism, and The Capitalist Austerity Drive. International Report to DSP Conference. 1999 Engels, Freidrich. Das Kapital Karl Marx, Hasta Mitra, Jakarta, 2002. Foucault, Michele. Pengetahuan dan Metode. KaryaKarya Penting Foucault. Jalatustra. Jakarta. 2002. Fukuyama, Francis. The End of History?. In The National Interest. Summer. 1989 Gani, Roeslan Abdul. Sosialisme Indonesia. Cetakan Ketujuh. Yayasan Prapanca. Jakarta. 1965. Giddens, Anthony. The Third Way:The Renewal of Social Democracy. Polity Press. UK. 1998. Giddens, Anthony. The Third Way and its Critic, Polity Press. UK. 2000. Hafid, JOS. Perlawanan Petani. Kasus Tanah Jenggawah. Pustaka Latin. Bogor. 2001. Hardoyo. The Future of The Left in Indonesia. Hertz, Noreena. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy. Publisher: Free Press. 2002.



Kahin. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. 1952. Liddle, Williem R.(ed). Political Participation in Modern Indonesia. Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies. 1973. Marx, Karl. Engels, Friedrich. Manifesto Komunis. 1848. Marx, Karl. Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik. 1859. Siahaan, Pataniari. Api Perjuangan Rakyat. Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno. LKEP. Kekal Indonesia. Jakarta. 2001. Siahaan, Pataniari. Marhaenisme. Makalah Rakornas GmnI. Presidium GmnI. Jakarta. 2002. Suhelmi, A. Pemikiran Politik Barat. Grasindo. 2001. Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Cetakan Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969. Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid II. Cetakan Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969. Sukarno. Indonesia Menggugat. Penerbit SK “SENO”. Jakarta. 1956. Sukarno. Kuliah tentang Marhaenisme. Bandung. Sukarno. Lahirnya Pancasila. Penerbit Guntur. Yogyakarta. 1949. Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka. 1936. Sukarno. Pidato pada peringatan Konperensi Asia Afrika. 1960. Sukarno. Pidato pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Yogyakarta. 1959. Sukarno. Pidato pada Konferensi Besar GMNI di Jakarta. 1963. Sukarno. Sarinah. Perjuangan Wanita Indonesia. Jakarta. 1949. Toto, Imam. Bung Karno Bapakku, Guruku, Pemimpinku.. Grasindo, 2001 Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Panitia Pembina Jiwa Revolusi, Jakarta, 1961.



Yusuf, Shahid. Globalization and the Challenge for Developing Countries. Policy Research Working Paper. The World Bank Development Research Group. 2001. Winoto, Joyo. Sistem Ekonomi Dunia. Makalah Kaderisasi Tingkat Menengah. Presidium GmnI. Jakarta. 2002. World Bank. Entering the 21st Century. World Development Report 1999/2000. Oxford University Press, New York. _______, From Socrates to Sarte: The Philosophic Quest. Bantam Books. Inc. New York. 1984.



STRUKTUR PRESIDIUM HASIL KONGRES LUAR BIASA GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA PERIODE 2001 – 2003 Sekretaris Jenderal : Sonny Tri Danaparamitha Komite Kaderisasi



: Hatmadi* Sidiq Dwi Nugroho



Komite Organisasi



: Sholi Saputra* Endras Puji Juwono*



Komite Politik & : Purwanto Propaganda (Polprop) Susilo Eko Prayitno Tonison Ginting* Komite Jaringan & Advokasi (Jarvok)



: Donny Tri Istiqomah Andre W. P.



Abdullah Sani Komite Pendanaan & Logistik (Danlog)



(* non aktif



: Bambang Nugroho I Gde Budiatmika



SILABUS KADERISASI Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Landasan Pemikiran Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) adalah sebuah organisasi gerakan yang berbasiskan intelektual muda (mahasiswa) yang memiliki cita-cita terwujudnya sosialisme Indonesia sebagai satu sinthesa yang berdasarkan atas asas marhaenisme yaitu : sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di lain pihak, ternyata sejarah perkembangan kapitalisme telah berimplikasi terjerumusnya kehidupan rakyat Indonesia dalam sebuah penderitaan panjang berupa penindasan dan penghisapan kapitalisme dan imperialisme negaranegara maju. Ketidakberdaulatan politik, ketergantungan ekonomi, serta kehancuran mental dan moral budaya bangsa, adalah sebuah realitas sejarah dimana rakyat Indonesia menjadi tumbalnya. Dan realitas sejarah tersebut telah menjauhkan cita-cita bangsa yang menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur zonder exploitation de l’homme par l’homme dan zonder exploitation de nation par nation. Padahal cita-cita bangsa tersebut merupakan cita-cita ideologi yang diemban oleh GMNI yaitu terwujudnya sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, dengan mencermati realitas di atas, telah menjadi tanggung jawab seluruh kader GMNI untuk menegakkan kembali cita-cita sosialisme



Indonesia tersebut demi amanat penderitaan rakyat (AMPERA). Revolusi adalah pilihan perjuangan yang akan dilakukan GMNI. Revolusi yang berarti perubahan secara cepat dan radikal; revolusi yang tidak mengenal titik, melainkan terus mengalir sampai akhir jaman (panta rhei); revolusi yang bersifat merombak mental dan moral bangsa untuk dikembalikan kepada jati diri masyarakat marhaenis yaitu humanis, gotong royong dan anti penindasan. Dengan tugas dan tanggung jawab tersebut, maka GMNI sebagai alat pendidikan kader harus mampu membentuk, menggembleng dan mencetak generasi muda sebagai kader pelopor yang progressif, revolusioer dan radikal, untuk memimpin jalannya revolusi dalam upaya mewujudkan sosialisme Indonesia yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka GMNI merasa perlu untuk menyusun Silabus Kaderisasi yang akan menjadi acuan resmi organisasi sebagai upaya mencetak kader-kader yang diharapkan mampu menjadi pelopor dan pemimpin revolusi Indonesia. Dengan terbentuknya silabus kaderisasi, diharapkan sistem pengkaderan GMNI akan lebih sistematis, terarah sehingga mendukung terbentuknya kader-kader yang ideologis, progresif, revolusioner dan berkepribadian. Untuk itu maka di dalam silabus kaderisiasi GMNI, sistem pengkaderan diputuskan untuk dibagi dalam 4 tahapan kaderisasi yaitu : 1. 2. 3. 4.



Pekan Penerimaan Kaderisasi Tingkat Kaderisasi Tingkat Kaderisasi Tingkat



Anggota Baru (PPAB); Dasar (KTD); Menengah (KTM); Pelopor (KTP).



Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB)



Maksud PPAB adalah masa penerimaan anggota baru GMNI yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa Indonesia. PPAB berfungsi sebagai alat pengenalan organisasi kepada seluruh para calon anggota agar dapat memahami peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab GMNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pelaksanaan PPAB tersebut diharapkan para calon anggota akan terbangun kesadarannya khususnya tentang kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai generasi muda terhadap masa depan dan citacita bangsa. Tujuan Tujuan PPAB adalah membangun instuisi kesadaran para calon anggota. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran akan ruang dan waktu dimana calon anggota telah memahami dan meyakini bahwa membangun kehidupan bangsa adalah benarbenar menjadi tugas dan tanggung jawabnya yang harus diimplementasikan, dan GMNI adalah wadah dalam upaya mengimplementasikan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.



Materi Selama pelaksanaan PPAB, para calon anggota diberikan masukan-masukan materi yang diharapkan akan membantu para calon anggota dalam membangun kesadaran dan visi akan peran dan tanggung jawabnya sebagai generasi muda bangsa. Materi-materi tersebut antara lain : Ke-GMNI-an; Nasionalisme dan Patriotisme Indonesia; serta Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Format Pengkaderan Materi disampaikan dengan cara kuliah umum (ceramah). Ceramah berfungsi sebagai alat pendorong dan stimulus pemikiran bagi para calon anggota dalam upaya memahami materi dan persoalan yang diketengahkan. Materi ceramah harus tetap berpijak pada teori dan realitas yang relevan agar mampu dicerna secara baik oleh para calon anggota. Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan pada sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan calon anggota, tetapi dialog diartikan sebagai proses tukar pikiran antara pemateri dan para calon anggota. Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian para kader dalam mengemukakan pemikiranpemikirannya. Di samping itu, dengan dialog tersebut panitia dapat melihat dan menilai tentang metode berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon anggota dalam menangkap dan menganalisa persoalanpersoalan yang didasarkan pada materi yang mereka serap. Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para calon anggota untuk dianalisa dalam sebuah diskusi



terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan erat dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan diskusi tersebut diharapkan para calon anggota akan lebih mudah memahami dan menganalisa materi-materi yang telah diberikan selama PPAB. Masa waktu pelaksanaan PPAB paling lama 2 (dua) hari. Pelaksana PPAB dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yang dibentuk dan disahkan oleh Pengurus Komisariat GMNI. PPAB dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode kepengurusan komisariat. Kepanitiaan PPAB dapat dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan peserta PPAB menjadi anggota GMNI dilakukan oleh Dewan Pimpinan Cabang bersangkutan. Kerangka Acuan Materi Ke-GMNI-an Materi ke-GMNI-an ditujukan untuk mengenalkan GMNI sebagai organisasi kepada para calon anggota. Pengenalan organisasi GMNI tersebut meliputi sejarah GMNI, AD/ART GMNI dan peran GMNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah pertarungan ide dan pemikiran yang bersifat ideologis. Dan GMNI adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan pertarungan ide dan pemikiran itu dapat dianalisa dari runtutan kongres ke kongres dimana di dalamnya terjadi



dinamika gerakan dan perjuangan GMNI dalam upaya mewujudkan cita-cita marhaenisme. Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI, khususnya tentang aturan hukum (rule of law) dan aturan main (rule of game) yang berlaku di GMNI. Dengan pengenalan AD/ART tersebut maka para calon anggota diharapkan akan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan mekanisme keorganisasian yang berlaku di tubuh GMNI. Pokokpokok yang menjadi prioritas materi dalam pengenalan AD/ART tersebut antara lain : pembukaan Anggaran Dasar yang menerangkan tentang sifat dan watak perjuangan GMNI; asas organisasi yang menerangkan tentang ideologi dan cita-cita GMNI, struktur keorganisasian yang bersangkut paut pada pembagian tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis keorganisasian, serta hak dan kewajiban para anggota. Peran GMNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disampaikan dengan cara pengemukaan realitas perjuangan yang dilakukan GMNI agar dapat lebih menggugah kesadaran dan semangat para calon anggota. Pengemukaan realitas perjuangan dapat dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh gerakan yang dilakukan GMNI baik skala nasional, regional maupun lokal. Namun dari pengemukaan contoh tersebut, tetap lebih diprioritaskan pada kasuskasus lokal yang diperjuangkan oleh komisariat maupun DPC bersangkutan. Sebab dengan pengemukaan kasus lokal tersebut propaganda dan indoktrinasi akan lebih mudah ditangkap dan diterjemahkan oleh para calon anggota.



Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis besar, kerangka acuan materi ke-GMNI-an dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Sejarah lahirnya GMNI Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI Watak dan cita-cita perjuangan GMNI Asas dan asas perjuangan GMNI Keorganisasian di tubuh GMNI Peran dan tantangan yang dihadapi oleh GMNI



Materi Nasionalisme dan Patriotisme Indonesia Nasionalisme Indonesia merupakan materi yang ditujukan untuk memberikan pemahaman secara benar bagi para calon anggota tentang roh dan jiwa nasionalisme Indonesia. Materi nasionalisme dimulai dari tahapan sejarah munculnya nasionalisme dengan merujuk pada beberapa tokoh seperti Ernest Renan, Otto Bauer, dan lain-lain. Tahapan kedua pemberian materi nasionalisme adalah tentang dinamika sejarah nasionalisme negaranegara di dunia dengan mengemukakan minimal 4 (empat) kejadian sejarah penting yaitu : perang di awal abad XI (perang antar agama), perang di abad pertengahan, perang dunia I dan perang dunia II: -



Perang antar agama di abad XI ditujukan untuk memberikan pemahaman kepada para calon anggota seobyektif-obyektifnya tentang motif-motif yang melandasi peperangan tersebut, apakah benar atas dasar nasionalisme-agama, ataukah hanya kepentingan perluasan ekspansi kekuasaan masingmasing pihak;



-



Peperangan yang terjadi di abad pertengahan ditujukan untuk mengetahui karakteristik nasionalisme yang mewarnai pada masa itu, dengan merujuk pada penganalisaan slogan gold, glory and gospel;



-



Perang dunia I juga ditujukan untuk mengetahui motif dan karakteristik nasionalisme yang melandasi semangat masing-masing negara pada masa itu;



-



Perang dunia II ditujukan untuk mengetahui tentang karakteristik nasionalisme chauvinistik khususnya di Jerman, Italia, dan Jepang.



Tahapan ketiga adalah pengetengahan sejarah munculnya nasionalisme di Indonesia beserta ciri dan karakterinya. Pemberian materi nasionalisme Indonesia lebih di titik beratkan pada pembahasan mengenai ide dan pemikiran Bung Karno tentang nasionalisme Indonesia, dimulai dari tokoh yang mengilhami Bung Karno, teori yang dipakai oleh Bung Karno dan realitas politik yang mendukung pemikiran Bung Karno pada saat itu. Tahapan keempat adalah studi komparasi antara nasionalisme barat khususnya di eropa pada masa abad pertengahan dengan nasionalisme Indonesia, agar para calon anggota dapat mengetahui letak perbedaan dan kesamaannya. Materi patriotisme adalah materi yang mempelajari pemikiran-pemikiran founding fathers di Indonesia. Tokoh-tokoh yang dibahas nantinya adalah pemikiran Cokroaminoto, Bung Karno, Sema’un, Tan Malaka, Syahrir dan Hatta. Pemikiran para tokoh yang diambil dan dibahas tersebut menyangkut visi kebangsaan beserta cara, sikap dan cita-cita



perjuangannya menghadapi imperialisme di Indonesia.



kolonialisme



dan



Pemikiran dari Cokroaminoto ditekankan pada konsep-konsep pemikiran dan perjuangannya tentang Islam dalam menghadapi kolonialisme imperialisme Belanda. Disamping itu perlu pula mengangkat perbedaan pemikiran antara Cokroaminoto dengan Sema’un dan Haji Misbach sehingga berakibat pecahnya SI menjadi SI merah dan SI putih. Pemikiran dari Bung Karno ditekankan pada konsep persatuan Bung Karno dengan merujuk pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (DBR I). Disamping itu perlu pula untuk sedikit memberikan gambaran perbedaan pemikiran antara Bung Karno dan Hatta tentang taktik dan strategi perjuangan meraih Indonesia merdeka. Pemikiran dari Moh. Hatta ditekankan pada konsep-konsepnya tentang membangun bangsa Indonesia baik dari sistem politik dan sistem ekonomi kerakyatan yang digagas dan dikembangkannya lewat sistem koperasi. Pemikiran Hatta lainnya adalah menganalisa pandangan-pandangan Hatta tentang marxisme. Pemikiran dari Sema’un ditekankan pada pandangan dan cita-citanya dalam upaya membangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat komunis. Selain itu, perlu juga diketengahkan perbedaan prinsip antara pemikiran Sema’un cs dan Tan Malaka sehingga berakibat keluarnya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia dan mendirikan partai baru (PARI dan MURBA). Pemikiran Tan Malaka yang perlu diketengahkan adalah pengantar dasar dari teori Madilog (materialisme,



dialektika dan logika) yang dikembangkan oleh Tan Malaka, dan pandangan-pandangannya tentang Republik (Res Publika) dan ketidaksepakatannya terhadap PKI yang mencoba menganut pola pemerintahan Uni Sovyet (lihat : tulisan Tan berjudul Uni Sovyet atau Parlementer). Pemikiran dari Sahrir yang perlu diangkat adalah pokok-pokok pikirannya tentang sosialisme, serta sifat dan pola gerakan yang digunakannya dalam menghadapi kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Hal lain yang perlu untuk ikut dibahas adalah tentang pandangan Sahrir terhadap Bung Karno dan Hatta. Setelah pembahasan pemikiran para tokoh tersebut, kemudian dilanjutkan pada analisa komparatif pemikiran para tokoh untuk mengetahui secara jelas letak perbedaan dan kesamaannya. Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis besar kerangka acuan materi “Nasionalisme dan Patriotisme Indonesia” dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sejarah lahirnya nasionalisme di dunia 2. Teori dan tokoh nasionalisme Ernest Renan Otto Bauer Gandhi (jika dipandang perlu, teori dan tokoh dapat ditambah oleh pemateri) 3. Sejarah peperangan dunia dan nasionalisme 4. Sejarah nasionalisme Indonesia 5. Karakteristik nasionalisme Indonesia 6. Studi komparasi nasionalisme barat (eropa) dan nasionalisme Indonesia 7. Ide dan pemikiran founding fathers Cokroaminoto (pandangannya tentang Islam sebagai alat perjuangan)



Bung Karno (nasionalisme dan marhaenisme) Tan Malaka (madilog dan res publica) Sema’un (marxisme/komunisme) Syahrir (sosialisme kerakyatan) Hatta (ekonomi kerakyatan dan sosialisme) (jika dipandang perlu, teori dan tokoh dapat ditambah oleh pemateri) 8. Analisa komparatif pemikiran antara founding father Bung Karno dan Hatta Sema’un dan Tan Malaka Bung Karno dan Sahrir Bung Karno dan Tan Malaka Bung Karno dan Sema’un – Alimin – Muso -



Materi Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Materi “Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” dimulai dari sejarah kebangkitan pemuda pada masa pra kemerdekaan sampai saat ini. Penyampaian sejarah gerakan pemuda pra kemerdekaan dimulai dari Budi Utomo, Sumpah Pemuda sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Penyampaian sejarah gerakan pemuda tersebut dititik beratkan pada sejarah ide, pemikiran, platform dan paradigma yang berkembang di kalangan pemuda saat itu. Penyampaian sejarah gerakan pemuda pasca kemerdekaan dimulai dari gerakan mahasiswa angkatan 66, gerakan mahasiswa tahun 70-an, gerakan mahasiwa tahun 80-an sampai pada masa gerakan reformasi 1998. Pola penyampaian dilakukan dengan cara menggunakan metode analisa komparatif masing-masing gerakan, meliputi : karakter gerakan, paradigma gerakan, dan strategi gerakan di masing-masing elemen. Dengan



analisa komparatif di atas diharapkan para calon anggota akan mampu melihat dan menilai letak kegagalan dan keberhasilan peran pemuda di masingmasing angkatan, baik pada masa pra kemerdekaan sampai masa paska kemerdekaan. Tahapan pemberian materi selanjutnya adalah mengajak calon anggota untuk menelusuri dasar-dasar ideologi yang mewarnai platform dan paradigma gerakan di tiap-tiap angkatan. Penelusuran ideologi tersebut dapat dilakukan dengan merujuk pada cita-cita, paradigma dan metode yang dipakai oleh tiap-tiap angkatan. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar, kerangka acuan materi “Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.



Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam perspektif sejarah Budi Utomo Konggres Pemuda II (Sumpah Pemuda) Lahirnya Pancasila Proklamasi Kemerdekaan 2. Paradigma gerakan pemuda dan mahasiswa pandangan dan cita-cita ideologi yang berkembang 3. Analisa komparatif gerakan mahasiswa 66, 70, 80 dan 98 meliputi : sikap terhadap kekuasaan cita-cita dan paradigma tiap-tiap gerakan/angkatan metode dan pola gerakan ditiap-tiap angkatan 4. Keberhasilan dan kegagalan gerakan pemuda dan mahasiswa



Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) Maksud Kaderisasi Tingkat Dasar adalah proses pengkaderan tingkat pertama yang ditujukan bagi mahasiswa yang telah disahkan sebagai anggota GMNI melalui PPAB. KTD mengutamakan proses pengenalan ideologi kepada para calon kader sehingga dapat memahami marhaenisme secara menyeluruh, tidak tekstual dan parsial. Dengan pemahaman ideologi yang baik, maka para kader diharapkan akan mampu melaksanakan perjuangan secara konsisten mulai dari metode berpikir yang dipakai, pola gerakan yang digunakan serta disiplin gerakan yang dianut, kesemuanya akan selalu bersumber pada satu roh ideologi yaitu marhaenisme. Tujuan Tujuan pokok dari KTD adalah menyiapkan para anggota GMNI menjadi kader yang memahami, meyakini dan mampu memanifestasikan marhaenisme dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, maka KTD akan berfungsi sebagai proses indoktrinasi kader untuk merubah sikap, mental, kepribadian dan cara berpikir para calon kader agar menjadi kader yang ideologis, progressif, revolusioner dan berkepribadian.



Materi Selama proses KTD, para calon kader akan mendapatkan materi yang akan menunjang penggemblengan diri anggota menjadi kader. Materimateri tersebut antara lain meliputi : Marhaenisme; Metode Berpikir Marhaenisme; Nasionalisme Indonesia; Sosiologi dan Analisa Sosial; Keorganisasian; Konstalasi Politik Nasional; dan Ke-GMNI-an. Disamping materi pokok di atas, di dalam KTD juga akan diberikan materi pendukung, antara lain : materi-materi lokal yang disesuaikan dengan geografis dan geopolitik di tiap-tiap daerah bersangkutan. Materi pendukung lainnya adalah materi tentang dinamika kelompok dan dinamika pergerakan. Format Pengkaderan Kaderisasi Tingkat Dasar diharapkan dapat dilaksanakan di tempat-tempat terbuka yang bernuansa alam namun jauh dari keramaian (pantai, hutan, pegunungan, dan lain-lain). Pemilihan tempat tersebut bertujuan untuk memudahkan proses indoktrinasi kepada para calon kader, dengan asumsi bahwa para calon kader akan dapat lebih mengkonsentrasikan pikirannya tanpa harus terganggu oleh pikiran-pikiran lain yang justru semakin melemahkan mental dan pikiran calon kader. Indoktrinasi yang ditekankan adalah indoktrinasi tentang penindasan dan kesengsaraan yang dihadapi oleh rakyat melalui simbolisasi dan simulasi (modellings) kepada para calon kader. Simbolisasi dan simulasi tersebut harus diimbangi pendekatan emosional dan psikologis kepada seluruh calon kader dengan caracara kontemplatif.



Penyampaian materi dilakukan dengan cara pemberian ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah berfungsi sebagai alat pendorong dan stimulus pemikiran bagi para calon kader dalam upaya memahami materi dan persoalan yang diketengahkan. Materi ceramah harus tetap berpijak pada teori dan realitas yang relevan agar mampu dicerna secara baik oleh para calon anggota. Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan hanya sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan calon kader, tetapi lebih diartikan sebagai proses tukar pikiran (sharing) antara pemateri dan para calon kader. Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian para kader dalam mengemukakan pemikiranpemikirannya. Disamping itu, dengan dialog tersebut panitia dapat melihat dan menilai tentang metode berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon kader dalam menangkap dan menganalisa persoalan-persoalan yang didasarkan pada materi yang mereka serap. Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para calon kader untuk dianalisa dalam sebuah diskusi terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan secara erat dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan diskusi tersebut diharapkan para calon kader akan lebih mudah memahami dan menganalisa materi-materi yang telah diberikan selama KTD. Masa waktu pelaksanaan KTD minimal 3 (tiga) hari. Jika pemberian materi dinilai tidak memiliki cukup waktu, maka KTD dapat diperpanjang menjadi 5 (lima) hari.



Pelaksana Kaderisasi Tingkat Dasar dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yang dibentuk dan disahkan oleh Pengurus Komisariat atau Dewan Pimpinan Cabang. KTD dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode kepengurusan komisariat. Kepanitiaan KTD dapat dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan anggota menjadi kader GMNI dilakukan oleh Dewan Pimpinan Cabang bersangkutan disaksikan oleh Koordinator Daerah. Kerangka Acuan Materi Marhaenisme Pemberian materi marhaenisme dimulai dari sejarah munculnya marhaenisme di Indonesia. Proses sejarah tersebut dikaitkan dengan pandanganpandangan Bung Karno tentang realitas sejarah kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pada masa pra kemerdekaan yang berakibat pada penindasan dan penghisapan kehidupan rakyat. Sejarah munculnya marhaenisme juga ditinjau dari ide-ide yang mengilhami pemikiran Bung Karno sehingga menemukan marhaenisme tersebut. Pengenalan materi marhaenisme dimulai dengan menerangkan 3 (tiga) pokok intisari marhaenisme yaitu : sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sosio nasionalisme adalah pandangan hidup yang menjelaskan tentang watak nasionalisme Indonesia. Sosio demokrasi adalah sistem sosial politik dan sosial ekonomi yang berdasarkan pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Ketuhanan Yang Maha



Esa adalah Ketuhanan masyarakat Indonesia yang berkebudayaan (DBR I dan Lahirnya Pancasila). Setelah calon anggota memahami isi daripada marhaenisme, materi selanjutnya adalah pengenalan tentang marhaenisme sebagai asas (ideologi) dan asas perjuangan. Marhaenisme sebagai asas adalah pandangan dan cita-cita hidup yang harus dipegang teguh oleh seluruh kader GMNI. Marhaenisme sebagai asas perjuangan adalah cara dan upaya dalam mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang bersumber pada marhaenisme. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar, kerangka acuan materi “Marhenisme” dapat dijabarkan sebagai berikut : a. b. a. c. -



Sejarah lahirnya marhaenisme Realitas sejarah kapitalisme dan imperialisme di Indonesia Marhaenisme sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendeig) Marhaenisme dan jiwa kehidupan rakyat Indonesia Marhaenisme dan feodalisme di Indonesia Marhaenisme sebagai antitesa kapitalisme Marhaenisme sebagai asas (ideologi) sosio nasionalisme sosio demokrasi Ketuhanan Yang Maha Esa Marhaenisme sebagai asas perjuangan Machtvorming dan machtanwending Non Kooperasi dan gerakan revolusioner Massa Aksi dan Masalle Actie Self reliance dan self help



Materi Metode Berpikir Marhaenisme Materi metode berpikir marhaenisme diawali dari sejarah perkembangan pemikiran manusia sebagai kata pengantar, yang dimulai dari kehidupan filsafat masa Yunani kuno (Heraclitus, Parmanides, Socrates, Aristoteles dan Plato). Ruang lingkup materi filsafat Yunani kuno tersebut lebih ditekanan pada pokok-pokok pikiran tentang kosmologi dan epistemologi demi memudahkan para calon kader untuk meruntut sejarah perkembangan pemikiran manusia. Setelah kata pengantar, materi dilanjutkan dengan dasar-dasar filsafat Hegel terutama tentang historische materialisme untuk memberikan pemahaman dasar tentang cara berpikir dialektis dalam menangkap fenomena dan realitas sejarah. Pemikiran Hegel lainnya yang perlu diketengahkan dalam materi KTD adalah teori “idealisme absolute” Hegel tentang alam dan Tuhan. Pemikiran idealisme absolute Hegel tersebut kemudian dikomparasikan dengan pemikiran Feurbach tentang manusia dan Tuhan. Materi Feurbach tersebut dianggap sebagai satu sejarah penting yang perlu disampaikan karena memang pada masa Ferubach-lah filsafat materialisme mulai berkembang sebagai wujud kritik dan ketidak puasan terhadap filsafat idealisme yang dikembangkan Hegel. Setelah pemberian materi tentang Feurbach, barulah diberikan pemikiran- pemikiran Karl Marx yang menyempurnakan pemikiran Feurbach dan Hegel dengan teori yang disusunnya yaitu materialisme sejarah dan materialisme dialektika. Historis materialisme dan materialisme dialektika yang dikembangkan oleh Marx dan Engel tersebut kemudian dikomparasikan dengan filsafat idealisme Hegel untuk dianalisa guna melihat letak perbedaan-perbedaan prinsipnya.



Materi berikutnya adalah tentang materialisme sejarah dan materialisme dialektika yang diterapkan dan disempurnakan oleh Bung Karno ke dalam tubuh marhaenisme sebagai pisau analisa untuk membedah persoalan-persoalan dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah pemberian materi tersebut, pemateri harus mengkomparasikan antara pemikiran materialisme dialektika Bung Karno dengan Marx untuk mengetahui letak perbedaan dan kesamaan prinsipnya. Pola komparasi dilakukan dengan mengaitkan secara langsung dengan latar belakang sejarah yang terjadi pada masa Marx dan masa Bung Karno. Setelah uji komparatif tersebut, materi selanjutnya adalah pengenalan kepada para calon kader tentang cara-cara menggunakan materialisme dialektika sebagai pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara garis besar kerangka acuan materi “metode berpikir marhaenisme” dapat dijabarkan sebagai berikut: a.



Pengantar : Perkembangan sejarah pemikiran manusia Heraclitus dan Parmanides Socrates, Plato dan Aristoteles b. Kerangka pemikiran George Frederich Hegel Idealisme absolut Materialisme sejarah a. Kerangka pemikiran Ludwig Feurbach Kritik Feurbach tentang idealisme absolut Hegel c. Analisa komparatif filsafat idealisme Hegel dan materialisme Feurbach Pandangan Hegel dan Feurbach tentang manusia dan Tuhan



d. e. -



Kerangka pemikiran Karl Marx Pandangan Marx terhadap materialisme sejarah Hegel Pandangan Marx terhadap Feurbach Materialisme dialektika dan hukum kontradiksi Karl Marx Metode berpikir marhaenisme Marhaenisme dan filsafat idealisme Marhaenisme dan filsafat materialisme Filsafat marhaenisme Materialisme sejarah dan materialisme dialektika dalam roh marhaenisme



Cara menggunakan materialisme dialektika sebagai pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia. Materi Nasionalisme Indonesia Materi nasionalisme Indonesia merupakan pendalaman atas materi nasionalisme yang diberikan selama masa PPAB. Materi nasionalisme tetap mencakup materi yang dimulai dari tahapan sejarah munculnya nasionalisme di dunia yang dimulai dari awal abad XI (perang antar agama), kemudian perang di abad pertengahan, sampai perang dunia I dan perang dunia II. Perang antar agama di abad IX ditujukan untuk mengetahui tentang motif-motif yang melandasi peperangan tersebut, apakah benar atas dasar kepentingan agama, ataukah hanya sebatas kepentingan perluasan/ekspansi kekuasaan masing-masing pihak. Peperangan yang terjadi di abad pertengahan ditujukan untuk mengetahui karakteristik nasionalisme yang mewarnai pada masa itu dengan cara mengkritisi tujuantujuan dari peperangan itu sendiri. Begitu pula dengan



Perang dunia I dan Perang dunia II yang juga ditujukan untuk mengetahui kadar karakteristik nasionalisme yang melandasi semangat masing-masing negara sehingga memunculkan peperangan antar negara tersebut. Tambahan materi nasionalisme dalam KTD adalah analisa komparatif antara nasionalisme yang berkembang di negara-negara kapitalis (liberal), negaranegara penganut faham teologis (keagamaan), negaranegara komunis, negara-negara monarki, dan negaranegara facis. Dari analisa komparatif tersebut kemudian direlevansikan dengan nasionalisme yang berkembang di Indonesia terutama mengenai karakter dan cita-cita masing-masing nasionalisme. Materi tambahan lainnya tentang nasionalisme adalah penjelasan tentang tantangan-tantangan nasionalisme Indonesia menghadapi neo liberalisme, kosmopolitisme dan etnonasionalisme. Berdasarkan uraian di atas maka Kerangka Acuan materi “Nasionalisme Indonesia” secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut :



1. Sejarah lahirnya nasionalisme di dunia 2. Teori dan tokoh nasionalisme Ernest Renan Otto Bauer Mahatma Gandhi (jika dipandang perlu, teori dan tokoh dapat ditambah oleh pemateri) 3. Sejarah peperangan dunia dan nasionalisme 4. Karakteristik nasionalisme negara-negara dunia Nasionalisme di negara kapitalis (liberalis) Nasionalisme di negara komunis Nasionalisme di negara facis Nasionalisme di negara monarki Nasionalisme di negara keagamaan -



5. Karakteristik nasionalisme Indonesia 6. Studi komparasi nasionalisme Indonesia



dan



nasionalisme negara-negara lain 7. Tantangan nasionalisme Indonesia Nasionalisme Indonesia dan neo liberalisme Nasionalisme Indonesia dan kosmopolitisme Nasionalisme Indonesia dan etnonasionalisme Materi Sosiologi dan Analisa Sosial Materi sosiologi dimulai dengan pemberian teoriteori sosial terutama tentang (3) mazhab teori sosial modern yang berkembang saat ini, yaitu : mazhab positivisme dengan tokohnya Emille Durkheim, mazhab konvensionalisme (Max Weber), dan mazhab realisme (Karl Marx). Mazhab positivisme diarahkan pada pandangan Durkheim dalam melihat realitas sosial masyarakat terutama tentang persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat tersebut (pranata sosial, perilaku ekonomi, solidaritas sosial, dan lain-lain). Mazhab konvensionalisme diarahkan pada pandangan Weber tentang spirit protestan (peran agama dalam perilaku ekonomi masyarakat) dan birokrasi. Mazhab realisme diarahkan pada pandangan-pandangan Marx tentang kontradiksi kelas akibat sistem ekonomi kapitalisme. Dari ketiga mazhab tersebut kemudian dikomparasikan untuk dilihat letak perbedaanperbedaan prinsipnya sekaligus melihat kelemahan dan keunggulan masing-masing mazhab. Setelah ketiga mazhab tersebut dikomparasikan satu sama lain, maka kemudian dikomparasikan ulang dengan marhaenisme untuk melihat mazhab mana yang cocok dan sesuai dengan ideologi marhaenisme.



Materi analisa sosial adalah follow up dari materi sosiologi. Pemberian materi analisa sosial disampaikan dengan cara mengungkapkan realitas sosial, minimal mencakup 4 (empat) sektor komunitas antara lain : petani, buruh, nelayan dan komunitas miskin kota. Dari tiap-tiap sektor tersebut, para peserta diajak melakukan pemetaan (maping) untuk mengidentifikasi variabelvariabel pokok dan tidak pokok tentang persoalanpersoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pemetaan tersebut bertujuan untuk membantu para peserta dalam upaya pengorganisiran massa (machtvorming) nantinya. Dengan pemetaan, maka para peserta akan dapat memahami akar persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat. Dengan pemetaan, peserta juga akan dapat membedakan variabel-variabel pendukung dan variabel-variabel penghambat yang nantinya akan dihadapi dalam proses pengorganisiran nanti. Cara pemetaan tetap menggunakan pisau analisa dari mazhab realisme sebagai satu mazhab yang relevan dengan ideologi marhaenisme. Di dalam materi analisa sosial, juga dipandang perlu untuk memberikan materi tentang cara-cara pengorganisiran secara mendasar terutama tentang pola integrasi, agitasi dan propaganda untuk tujuan “massa aksi” yang radikal dan revolusioner. Pola integrasi bersangkut paut dengan cara kader dalam memasuki sebuah komunitas sektoral. Pola integrasi ditekankan pada pentingnya “bunuh diri kelas” agar tidak menjadi hambatan ketika leave in di masyarakat. Bunuh diri kelas yang dimaksud adalah beradaptasi secara total dengan segala pola perilaku komunitas (adat istiadat) dan tidak menunjukkan identitas kader yang sebenarnya. Sebab bagaimanapun, identitas sosial yang dimiliki seorang kader adalah identitas sosial yang



diidentifikasi sebagai kelas menengah dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan materi “sosiologi dan analisa sosial” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.



2. 1. 3.



4.



Teori sosial modern Positivisme Emille Durkheim Konvensionalisme Max Weber Realisme Karl Marx Komparasi tiga (3) mazhab teori sosial Analisa komparatif tiga (3) mazhab dengan marhaenisme Pemetaan organ sektoral Kehidupan petani, buruh tani dan buruh perkebunan Kehidupan Buruh manufaktur/industri Nelayan dan buruh nelayan Komunitas miskin kota Cara-cara pengorganisiran



Materi Keorganisasian Materi keorganisasian adalah materi yang mengenalkan kepada calon kader tentang arti sebuah organisasi yang mencakup bentuk-bentuk organisasi, jenis-jenis organisasi dan fungsi organisasi. Bentukbentuk organisasi disampaikan dengan cara menjelaskan bentuk perbedaan antara organisasi dengan non organisasi. Jenis-jenis organisasi disampaikan dengan cara membedakan pola dan sistematika hirarkis keorganisasian di tiap-tiap organisasi yang ada. Setelah penyampaian materi tersebut, calon kader diwajibkan melakukan identifikasi pada masing-masing organisasi yang ada untuk membedakan organisasi



mana yang evolutif, tidak memiliki paradigma dan citacita, dengan organisasi mana yang revolusioner, berparadigma dan memiliki landasan ideologi yang kuat. Setelah pengenalan dan identifikasi tiap-tiap organisasi, calon kader kemudian diajak untuk mengidentifikasi GMNI sebagai organisasi yang ditinjau dari ideologi dan sistematika keorganisasian yang berlaku di AD/ART. Dengan identifikasi tersebut diharapkan para calon kader akan dapat memahami lebih baik lagi tentang bentuk, jenis dan fungsi keorganisasian di tubuh GMNI. Materi keorganisasian tersebut kemudian direlevansikan dengan peran dan posisi GMNI sebagai alat perjuangan dan sentral gerakan. GMNI sebagai alat perjuangan berarti GMNI adalah alat untuk mewujudkan cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia. GMNI sebagai sentral gerakan berarti GMNI adalah titik pusat dari segala gerakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Tambahan materi keorganisasian lainnya adalah materi manajemen organisasi dan teori kepemimpinan. Materi manajemen organisasi bersangkut paut pada rule of law dan rule of game di tubuh GMNI sebagai sebuah organisasi. Materi teori kepemimpinan bersangkut paut pada tipe-tipe kepemimpinan dengan cara mencontohkan pola-pola kepemimpinan yang ada dalam perkembangan sejarah yang kemudian dikaitkan dengan budaya-budaya kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis bersar Kerangka Acuan materi “Keorganisasian” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pengenalan organisasi Bentuk organisasi Jenis organisasi Fungsi organisasi



2. Identifikasi organisasi 2. GMNI sebagai organisasi GMNI sebagai alat perjuangan GMNI sebagai sentral gerakan 3. Manajemen organisasi 4. Teori kepemimpinan Pola-pola kepemimpinan dalam perkembangan sejarah Pola kepemimpinan dan budaya kekuasaan Materi Konstalasi Politik Nasional Materi konstalasi politik nasional adalah materi yang mencakup perkembangan politik ketatanegaraan di Indonesia selama sejarah Indonesia berdiri. Politik ketatanegaraan minimal mencakup hal-hal mengenai : dinamika demokrasi Indonesia dan dinamika politik pemerintahan di Indonesia. Dinamika demokrasi di Indonesia ditekankan pada analisa komparatif antara sistem demokrasi (demokrasi politik dan demokrasi ekonomi) yang diterapkan oleh setiap rejim pemerintahan di Indonesia, mulai dari masa Bung Karno sampai pada kepemimpinan nasional terakhir. Analisa komparatif tersebut merupakan derivasi dari teori-teori demokrasi yang minimal mencakup 5 (lima) contoh pola demokrasi yang ada di dunia antara lain : demokrasi terpimpin negara komunis, demokrasi terpimpin negara monarki konstitusional, demokrasi terpimpin negara-negara keagamaan, demokrasi liberal negara kapitalis dan demokrasi Pancasila sendiri. Dengan analisa komparatif tersebut, nantinya akan dapat diketahui sistem demokrasi apa yang dipakai dan dikembangkan oleh setiap rejim pemerintahan di Indonesia, sekaligus untuk



memahami letak keburukan dan kebaikan dari sistem demokrasi yang diterapkan tersebut. Materi dinamika politik pemerintahan di Indonesia mencakup materi tentang analisa kekuasaan dengan cara menganalisa kebijakan-kebijakan pemerintah (kekuasaan) sebagai stakeholder untuk dianalisa motif dan tujuannya besarta pengaruh dan implikasinya terhadap kehidupan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian diidentifikasi ke dalam turunanturunan ideologi agar diketahui dasar-dasar dan muatan kepentingan yang mewarnai kebijakan tersebut. Dengan proses identifikasi itu diharapkan nantinya para kader akan mampu menjawab pertanyaan: apakah kebijakan itu benar-benar untuk kepentingan hidup rakyat ataukah hanya sebatas kepentingan kapitalisme dan kekuasaan. Materi konstelasi politik nasional juga dapat ditambahkan dengan pemetaan (maping) potensi-potensi kekuatan yang berkembang dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan rakyat, baik partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, maupun organ-organ kekuatan lainnya. Tujuan pemetaan tersebut adalah untuk mengetahui mana kawan taktis dan mana kawan strategis serta mana lawan taktis dan mana lawan strategis sehingga memudahkan kader dalam proses membangun machtvorming. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan dari materi “Konstelasi Politik Nasional” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. -



Sistem demokrasi negara-negara dunia demokrasi terpimpin di negara komunis demokrasi terpimpin di negara monarki demokrasi terpimpin di negara keagamaan



2. 1. 3. 4. -



demokrasi liberal di negara kapitalis Demokrasi Pancasila Dinamika demokrasi di Indonesia Analisa komparatif demokrasi dalam setiap kepemimpinan nasional (masa Bung Karno sampai masa kepemimpinan nasional terakhir) Analisa komparatif dinamika perkembangan sistem demokrasi Indonesia dengan sistem demokrasi negara-negara di dunia Dinamika politik pemerintahan di Indonesia Identifikasi dan analisa atas kebijakan-kebijakan publik Pemetaan kekuatan organ Kawan taktis dan kawan strategis Lawan taktis dan lawan strategis



Materi Ke-GMNI-an Materi ke-GMNI-an merupakan pendalaman dari materi ke-GMNI-an yang sebelumnya telah diberikan selama masa PPAB. Materi ke-GMNI-an di dalam KTD meliputi sejarah GMNI, AD/ART GMNI, serta peran dan tanggung jawab GMNI dalam mengemban cita-cita marhaenisme. Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah pertarungan ide dan pemikiran yang bersifat ideologis. Dan GMNI adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan pertarungan ide dan pemikiran itu ditinjau dari runtutan kongres ke kongres dimana di dalamnya dipenuhi oleh dinamika gerakan dalam upaya mewujudkan cita-cita marhaenisme. Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI



secara lebih mendalam, khususnya tentang aturan hukum (rule of law) dan aturan main (rule of game) yang berlaku di GMNI. Dengan pengenalan AD/ART tersebut maka para calon kader akan dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan mekanisme keorganisasian yang berlaku di GMNI, khususnya mengenai hak dan kewajiban sebagai anggota GMNI. Item-item yang menjadi prioritas materi dalam pengenalan AD/ART tersebut antara lain : pembukaan Anggaran Dasar yang menerangkan tentang sifat dan watak perjuangan GMNI; asas organisasi yang menerangkan tentang ideologi dan cita-cita GMNI, struktur keorganisasian yang bersangkut paut pada pembagian tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis keorganisasian yang berlaku, serta hak dan kewajiban para anggota. Materi tentang Pembukaan Anggaran Dasar disampaikan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada kader tentang cita-cita, watak dan sifat gerakan di dalam tubuh GMNI. Materi tentang asas ditekankan pada alasan-alasan ideologis penggunaan marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan. Materi tentang struktur keorganisasian menjelaskan tentang sistematika keorganisasian di tubuh GMNI mulai dari tingkat teratas yaitu lembaga kepresidiuman sampai tingkat terendah yaitu komisariat. Penjelasan tentang struktur keorganisasian tersebut bertujuan agar kader dapat memahami tentang maksud dan tujuan dibentuknya struktur keorganisasian yaitu untuk memudahkan langkah-langkah gerakan dengan cara pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab sebagai sebuah organisasi formal.



Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis besar, Kerangka Acuan materi ke-GMNI-an dapat dijelaskkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Sejarah lahirnya GMNI Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI Watak perjuangan GMNI Asas dan asas perjuangan GMNI Sejarah perjuangan GMNI Tantangan yang dihadapi oleh GMNI Keorganisasian GMNI (AD/ART)



Kaderisasi Tingkat Menengah (KTM) Maksud Kaderisasi Tingkat Menengah adalah proses pengkaderan tingkat kedua bagi kader GMNI yang telah lulus dari Kaderisasi Tingkat Dasar. KTM memiliki maksud untuk menguji tingkat wacana dan cara berpikir kader yang dikaitkan langsung dengan ideologi marhaenisme. Pelaksanaan KTM juga sekaligus mengolah seluruh wacana (teori) yang dikuasai para kader untuk disinergikan sesuai dengan roh dan jiwa marhaenisme, sehingga tidak paradoks jika diimplementasikan dalam langkah-langkah perjuangan. Tujuan Tujuan Kaderisasi Tingkat Menengah adalah menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang siap



menjadi motor penggerak perjuangan untuk memimpin rakyat menuju revolusi demi terwujudnya cita-cita sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka para tiaptiap kader yang telah lulus dari KTM diharapkan telah mampu memegang kantung-kantung massa dan melakukan pengorganisiran di tiap kantung-kantung massa tersebut. Format Pengkaderan Pengkaderan diharapkan dapat dilakukan di tengah-tengah komunitas masyarakat marjinal dan tertindas, misalnya perkampungan masyarakat miskin pedesaan, perkampungan kumuh masyarakat miskin perkotaan, perkampungan buruh perkebunan, dan lainlain. Dengan latar belakang komunitas tersebut, diharapkan akan lebih membantu para kader dalam upaya menerapkan wacana dan teori-teori yang dikuasai sesuai dengan metode berpikir marhaenisme dengan cara menatap dan menganalisa realitas sosial yang ada di sekitar. Format KTM dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah “KTM dalam ruang” yang berisi pembekalan dan pematangan materi bagi seluruh kader. Proses penyampaian materi dilakukan dengan cara ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah, dialog dan diskusi bertujuan untuk mensinergikan teori dan kerangka berpikir kader dengan metode berpikir dan ideologi marhaenisme. Masa waktu KTM dalam ruang paling lama adalah 7 (tujuh) hari. Tahap kedua adalah “KTM luar lapang” yang merupakan praktek langsung di lapangan. Setiap kader diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakat untuk mempraktekkan secara langsung materi-materi yang telah diberikan selama KTM dalam ruang. Tiap



kader memegang satu kantung massa dengan pilihan : komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas nelayan, komunitas buruh, dan komunitas miskin kota. Setiap kader harus berprofesi dan berpola perilaku sama dengan komunitas tempat tinggal. Masa waktu KTM luar lapang paling cepat 1 (satu) bulan dan paling lama 2 (dua) bulan. Hasil selama penerjunan tersebut kemudian didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis yang mengacu pada format baku (standarisasi) pembuatan tesis. Materi Materi yang akan disampaikan dalam Kaderisasi Tingkat Menengah adalah materi tentang: ideologi kapitalisme, marxisme, dan marhaenisme; keorganisasian mengenai teknik pengorganisiran, pemetaan, negosiasi, agitasi propaganda, teknik diplomasi (networking), manajemen aksi dan analisa sosial. Materi pendukung lain yang akan dipergunakan dalam KTM luar lapang adalah : studi kasus. Pelaksana Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yang dibentuk oleh Dewan Pimpinan Cabang. Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan minimal 1 (satu) kali selama periode kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang. Pelantikan bagi kader-kader yang dinyatakan lulus dilakukan oleh Presidium atau dapat diwakilkan kepada Koordinator Daerah atas surat mandat dari Presidium.



Kerangka Acuan Materi Ideologi Materi ideologi merupakan tindak lanjut dari materi ideologi yang diberikan pada saat Kaderisasi Tingkat Dasar untuk menguji kemampuan kader dalam melakukan penganalisaan terhadap perkembangan ideologi di dunia. Materi ideologi yang diberikan di Kaderisasi Tingkat Menengah adalah pembelajaran secara khusus tentang 3 (tiga) ideologi di dunia yaitu : kapitalisme, marxisme, dan sosialisme (sosialis non marxis). Materi tentang kapitalisme mencakup pada penganalisaan perkembangan kapitalisme dimulai dari tinjauan filsafat, sejarah permulaan kapitalisme, sampai pada bentuk-bentuk perubahan (metamorfosa) kapitalisme dalam kesejarahan. Di dalam penyampaian materi kapitalisme juga dipandang perlu untuk ikut mengupas tentang konsep negara kemakmuran (welfare state) yang mulai dikembangkan pada masa paska perang dunia II di beberapa negara eropa dan Amerika Serikat sebagai salah satu wujud metamarfosa kapitalisme. Materi tentang marxisme mencakup perkembangan marxisme dimulai dari tinjauan filsafat yaitu Hegel, Feurbach sampai Marx, dilanjutkan pada perpecahan kelompok marxisme dengan mengetengahkan pokok-pokok pikiran kaum revisionisnya mulai dari Vladimir Ilyitz Lenin, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, Eduard Bernstein, Karl Kautsky, Leon Trotsky, Mao Tse Tung, Otto Bauer (Austromarxis) sampai pada masa Frankfurt School. Materi tentang sosialisme di luar marxisme minimal mencakup 4 (empat) pemikiran yaitu : anarkisme/anarko sindikalisme, postmodernisme, sosialisme agama dan teologi pembebasan.



Setelah dilakukan penjabaran dari tiap-tiap ideologi tersebut, materi selanjutnya adalah analisa komparatif antara marhaenisme dengan marxisme, dan marhaenisme dengan sosialisme di luar marxisme dengan kapitalisme sebagai antitesa masing-masing ideologi, untuk mengetahui letak kesamaan dan perbedaan-perbedaan prinsip antara ideologi-ideologi tersebut dengan marhaenisme sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan dari materi “ideologi” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Sejarah perkembangan kapitalisme Pokok-pokok pikiran Adam Smith (Wealth of Nation) Merkantilisme Kolonialisme dan Imperialisme Neo liberalisme Negara Kemakmuran (Welfare State) Teori modernisme, dependensia dan sistem dunia di negara dunia ketiga 2. Perpecahan marxisme Pokok-pokok pikiran V.I. Ulliavov/Lenin Pokok-pokok pikiran Leon Bornstein/Trotsky Pokok-pokok pikiran Antonio Gramsci Pokok-pokok pikiran Rosa Luxemburg Pokok-pokok pikiran Karl Kautsky Pokok-pokok pikiran Eduard Bernstein Pokok-pokok pikiran Mao Tze Tung Pokok-pokok pikiran Otto Bauer (Austro Marxis) Pokok-pokok pikiran Neo Marxis (Mazhab Frankfurt) (jika dipandang perlu, pemateri dapat menambahkan beberapa tokoh)



3. Sosialisme di luar Marxis Anarkisme/Anarko Sindikalisme Postmodernisme Sosialisme Islam Teologi Pembebasan (jika dipandang perlu, pemateri dapat menambahkan beberapa ideologi lain) 4. Analisa Komparatif antar ideologi dengan memakai kapitalisme sebagai antitesa 5. Marhaenisme dan marxisme 6. Marhaenisme dan Islam 7. Marhaenisme dan teologi pembebasan Materi Keorganisasian Materi keorganisasian meliputi teknik negosiasi, agitasi-propaganda, teknik diplomasi (networking), dan manajemen aksi. Teknik negosiasi adalah materi yang membahas tentang cara-cara melakukan negosiasi terutama dengan kekuatan-kekuatan kontra revolusioner, baik lawan taktis maupun lawan strategis. Teknik negosiasi lebih ditekankan pada metode pendekatan dalam upaya mencegah dan mengarahkan konflik agar berbalik menjadi satu kekuatan yang mendukung kita untuk menghantam kekuatan lawan. Teknik agitasi dan propaganda ditekankan pada upaya mempengaruhi massa dengan cara membangun isu dan opini yang mampu menyatukan massa dalam satu kekuatan “massa aksi” yang mampu digerakkan sebagai satu kekuatan revolusioner. Manajemen aksi ditekankan pada cara dan teknik dalam melaksanakan aksi-aksi baik yang bersifat taktis maupun strategis. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan dari materi “keorganisasian dapat dijabarkan sebagai berikut :



1. 2. 3. 4. 5.



Teknik diplomasi Manajemen issu Aliansi taktis dan aliansi strategis Penggalangan massa Manajemen Aksi



Materi Analisa Sosial dan Studi Kasus Materi analisa sosial adalah pendalaman dari materi yang telah diberikan pada saat Kaderisasi Tingkat Dasar. Materi analisa sosial di Kaderisasi Tingkat Menengah lebih banyak ditekankan pada praktek di lapangan secara langsung, dimana tiap kader diberikan tugas dan tanggung jawab untuk melakukan analisa sosial terhadap organ-organ sektoral yang antara lain : petani, buruh, nelayan dan komunitas miskin kota. Analisa sosial tersebut dilakukan dengan cara integrasi langsung dalam kehidupan masyarakat (leave in) dengan cara berprofesi dan berpola perilaku sesuai dengan wilayah komunitas yang didiami. Selama proses integrasi, setiap kader memiliki tugas untuk melakukan pemetaan (maping) untuk mengidentifikasi variabelvariabel pokok dan tidak pokok yang dihadapi oleh masyarakat yang ia diami. Setelah variabel-variabel pokok dan tidak pokok telah diketahui secara jelas dan telah dianalisa secara matang sampai ke sumber akarnya, maka setiap kader dapat memulai pengorganisiran yang diawali dengan cara membangun opini dan isu di komunitas yang ia diami melalui agitasi dan propaganda. Selama proses pengorganisiran tersebut, setiap kader akan dievaluasi setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan untuk dilihat dan diuji tingkat keberhasilannya dalam pengorganisiran yang ia lakukan. Selama proses pengorganisiran, peserta kader juga diwajibkan untuk membuat laporan tertulis



dalam format baku yang mengacu pada standarisasi pembuatan tesis. Laporan tertulis tersebut akan digunakan sebagai bahan evaluasi akhir peserta kader untuk persiapan uji materi pendadaran dihadapan “tim khusus” yang dibentuk oleh Dewan Pimpinan Cabang dan atau Koordinator Daerah agar dapat dinilai dan ditentukan lulus tidaknya kader. Tim khusus yang dibentuk tersebut miminal meliputi unsur : filusuf, ideolog antropolog/sosiolog, dan sejarawan.



Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP) Maksud Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP) adalah proses pengkaderan formal tingkat akhir di dalam silabus kaderisasi GMNI. KTP ditujukan bagi kader-kader yang telah lulus dari Kaderisasi Tingkat Menengah. KTP memiliki maksud untuk uji materiil setiap kader dalam proses membangun sintesa sistem-sistem sosial di setiap elemen masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial bersangkut paut pada pola dan tata cara yang dilakukan kader dalam mengkonstruksi ulang bangunan sistem sosial menuju pada cita-cita masyarakat sosialis Indonesia. Tujuan Kaderisasi Tingkat Pelopor memiliki tujuan pokok terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori, mental



dan watak progressif revolusioner sehingga benar-benar menjadi kader yang berkualitas. Dengan Kaderisasi Tingkat Pelopor diharapkan setiap kader akan mampu memanifestasikan ideologi marhaenisme dalam setiap kehidupan pribadinya dan dalam langkah perjuangannya sebagai leader rakyat. Materi Pokok Materi-materi yang disampaikan dalam Kaderisasi Tingkat Pelopor adalah materi ideologi, organisasi dan uji materi kemampuan kader dalam menyusun sintesa. Materi ideologi melingkupi : kapitalisme, ideologi-ideologi negara dunia ketiga, dan marhaenisme. Materi Organisasi ditekankan pada materi net working dan community organizing. Materi pendukung lainnya adalah materi : sejarah dunia, perbandingan sistem sosial politik dan sosial ekonomi negara-negara dunia; dan strategi diplomasi untuk kepentingan pengorganisiran massa. Selain materi-materi tersebut di atas, di dalam Kaderisasi Tingkat Pelopor masih akan diberikan materi kemampuan khusus yaitu uji materi terhadap efektifitas perjuangan kader dalam meng-construct ulang sistem sosial masyarakat dalam sebuah komunitas sebagai uji sintesa marhaenisme. Format Pengkaderan Format Kaderisasi Tingkat Pelopor dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah “KTP dalam ruang” yang berisi uji teori dan dialektika berpikir seluruh kader. Proses penyampaian materi dilakukan dengan cara mengeksplorasi pemikiran peserta, proses dialog



dan diskusi serta penyusunan karya tulis dengan standarisasi disertasi, yang berisi sintesa kebangunan sistem masyarakat berdasarkan sosialisme Indonesia. Masa waktu “KTP dalam ruang” paling lama adalah 7 (tujuh) hari. Khusus untuk penyusunan karya tulis, batas waktu yang diberikan adalah 6 (enam) bulan. Tahap kedua adalah “KTP luar lapang” yang merupakan uji materi kemampuan kader, dalam menganalisa, mengorganisir, dan meng-construct sistem kehidupan masyarakat berdasarkan asas-asas marhaenisme. Tiap kader memilih satu komunitas antar lain : komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas nelayan, komunitas buruh manufaktur, komunitas miskin kota, atau komunitas lain atas pilihan kader sendiri dengan syarat diusulkan untuk mendapatkan persetujuan dari panitia KTP. Tugas kader di dalam komunitas tersebut adalah melakukan analisa sosial, melakukan pengorganisiran dan melakukan perekonstruksian sistem kehidupan komunitas atas dasar marhaenisme sebagai sintesa. Hasil-hasil penganalisaan, pengorganisiran dan perekonstruksian sistem didokumentasikan dalam bentuk karya tulis ilmiah yang mengacu pada format baku penulisan disertasi. Karya tulis ilmiah tersebut akan diuji melalui pendadaran oleh “tim khusus” yang dibentuk oleh Presidium. Tim khusus yang dibentuk tersebut miminal meliputi unsur : filusuf, ideolog/antropolog, sosiolog, dan sejarawan. Pelaksana Kaderisasi Tingkat Pelopor dilaksanakan oleh sebuah kepanitian yang dibentuk dan disahkan oleh Presidium GMNI. Kaderisasi Tingkat Pelopor dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali selama satu



periode kepengurusan Presidium. Para kader yang lulus dari Kaderisasi Tingkat Pelopor akan dilantik secara langsung dan terbuka oleh Presidium di hadapan pertemuan dalam “waktu yang diberikan secara khusus” di sela-sela acara nasional GMNI (Kongres, Rakornas, Seminar Nasional, atau agenda nasional lainnya). Kerangka Acuan Ideologi Materi ideologi yang pertama adalah materi tentang kapitalisme. Dalam materi tersebut yang ditekankan adalah eksplorasi pemikiran kader tentang kapitalisme yang diruntut dari sejarah perkembangan kapitalisme; anatomi (ciri-ciri) kapitalisme; hubungan kapitalisme dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari eksplorasi tersebut diharapkan para kader akan mampu menangkap dan menganalisa perkembangan kapitalisme dalam putaran roda waktu. Eksplorasi pemikiran kedua adalah tentang perkembangan kapitalisme di Indonesia antara lain : kekuatan-kekuatan kapitalisme di Indonesia, pengaruh kapitalisme terhadap susunan politik, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia; serta pemetaan kapitalisme di dalam struktur politik pemerintahan Indonesia. Dengan eksplorasi pemikiran tersebut diharapkan para kader akan mampu memahami seluk beluk perkembangan kapitalisme di Indonesia baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam struktur politik pemerintahan. Materi ideologi yang kedua adalah pengeksplorasian ideologi di negara-negara dunia ketiga dan negara maju berikut tentang potensi, tantangan, peluang, dan hambatan marhaenisme dalam upaya mengkonsolidasi



kekuatan negara-negara dunia ketiga. Dengan eksplorasi pemikiran tersebut diharapkan para kader akan mampu melihat marhaenisme sebagai ideologi alternatif yang dapat menyatukan seluruh ideologi-ideologi dunia khususnya negara dunia ketiga. Materi ideologi ketiga adalah eksplorasi pemikiran kader dari upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan kader untuk memanifestasikan marhaenisme. Materi ini merupakan pembekalan materi guna menghadapi uji materi “KTP luar lapang” dimana setiap kader diuji untuk melakukan analisa, pengorganisiran dan perekonstruksian sistem kehidupan masyarakat menjadi susunan masyarakat sosialis Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan dari materi “ideologi” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.



Kapitalisme Sejarah perkembangan kapitalisme dunia Anatomi kapitalisme Metamorfosa kapitalisme saat ini Kapitalisme di negara dunia ketiga (beserta teori yang membedahnya) Kapitalisme di Indonesia Kapitalisme di struktur politik pemerintahan Indonesia Implikasi kapitalisme terhadap kehidupan politik, ekonomi, budaya masyarakat Indonesia 2. Perbandingan sistem sosial politik dan sosial ekonomi antar negara dunia ketiga. 1. Marhaenisme Marhaenisme sebagai ideologi dunia Marhaenisme sebagai alat pengkonsolidir negara dunia ketiga



-



Tantangan, peluang, dan hambatan marhaenisme dalam roda perkembangan sejarah dunia Marhaenisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia Marhaenisme dalam manifestasinya



Materi Organisasi Materi organisasi yang pertama adalah mengenai net working yang menyangkut taktik dan strategi yang digunakan oleh para kader dalam setiap gerakannya. Taktik strategi yang dimaksud adalah taktik dan strategi perlawanan terhadap “lawan taktis” dan “lawan strategis”, serta taktik dan strategi aliansi dan penggunaan kekuatan “kawan taktis” dan “kawan strategis”. Dalam materi tersebut para kader diminta untuk melakukan eksplorasi pemikirannya tentang caracara memainkan peran dan pengelolaan issu yang baik dalam upaya memetakan dan mematahkan kekuatan lawan. Materi organisasi kedua mengenai organizing yang menyangkut tentang cara-cara machtvorming yang dilakukan kader untuk tujuan massa aksi. Dalam materi tersebut setiap kader diminta untuk melakukan eksplorasi pemikiran tentang pemetaan strukturstruktur sosial kemasyarakatan disertai dengan polapola yang merujuk pada geografis, geo-politik dan demografi komunitas bersangkutan. Materi organisasi ketiga adalah eksplorasi pemikiran kader tentang metode analisa yang dipakai terhadap segala persoalan di masyarakat untuk menguji konsistensi pisau analisanya.



Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan materi “organisasi” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.



Kerja jaringan taktik strategi perlawanan terhadap kawan dan lawan taktik strategi aliansi dan penggunaan kekuatan kawan taktis dan strategis manajemen issu melalui agitasi dan propaganda Pemetaan struktur sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat Bangun kebudayaan Taktik strategi pengorganisiran Metode berpikir yang digunakan para kader ditinjau dari pisau analisa materialisme dialektika -



2. 1. 3. 4.



Materi studi kasus Materi studi kasus merupakan uji materi kemampuan kader dalam melakukan penganalisaan, pengorganisiran, dan perekonstruksian sistem masyarakat yang didasarkan pada asas-asas marhaenisme. Dalam menguji kemampuan kader tersebut, para kader diterjunkan langsung ke dalam komunitas masyarakat khususnya : komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas nelayan, komunitas buruh manufaktur, komunitas miskin kota, atau komunitas lain atas pilihan kader sendiri dengan syarat diusulkan untuk mendapat persetujuan dari panitia KTP. Selama proses penerjunan tesebut, setiap kader memiliki tugas untuk melakukan pemetaan, analisa sosial, pengorganisiran dan perekonstruksian sistem kehidupan komunitas. Setiap proses harus



didokumentasikan dalam bentuk catatan tertulis dimana catatan-catatan tersebut nantinya akan disusun dalam sebuah bentuk karya tulis ilmiah yang mengacu pada format pembuatan disertasi. Karya tulis ilmiah tersebut akan diuji melalui pendadaran oleh “tim khusus” yang dibentuk oleh Presidium. Tim khusus yang dibentuk tersebut miminal meliputi unsur : filusuf, ideolog/antropolog, sosiolog, dan sejarawan. Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar Kerangka Acuan materi “studi kasus” dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pemetaan sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat 2. Analisa sosial dalam sebuah komunitas 3. Pengorganisiran massa menuju satu massa aksi 4. Perekonstruksian sistem kemasyarakatan ke dalam susunan masyarakat atas dasar marhaenisme. 5. Pendokumentasian studi kasus dalam bentuk karya tulis ilmiah yang mengacu pada format penulisan standarisasi disertasi 6. Mekanisme pertanggung-jawaban kader selama studi kasus melalui uji pendadaran di hadapan tim khusus yang dibentuk oleh Presidium.



“Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa” Pidato Tertulis PYM Presiden Bung Karno Pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Yogyakarta, 17 Februari 1959



Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini. Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme. Apa sebab saya gembira? Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat –suatu partai politik– yang asasnya pun adalah Marhaenisme. Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut: Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.



Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk”, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula. Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu? Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur: Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh) Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain. Dan siapakah Marhaenis?



yang



saya



maksud



dengan



kaum



Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan Yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur. Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi.Camkan benar-benar!: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!



Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini? Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpang-siuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu. Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen. Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu: Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa! Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni! Dan agar yang tidak murni terbakar mati! Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasilLah Konferensi Besar ini. Jakarta, 17 Februari 1959 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI ttd



BUNG KARNO BAPAK MARHAENISME



“Memikul Tanggung Jawab Dalam Memenangkan Pancasila” Amanat PYM Presiden Bung Karno pada Konferensi Besar GMNI di Jakarta, tanggal 20 Juli 1963 Terlebih dahulu saya menyatakan kegembiraan saya dengan Konferensi Besar dari GMNI, dengan harapan semoga GMNI terus maju dalam perjuangannya untuk memenangkan seluruh cita-cita Revolusi nasional kita. GMNI memikul suatu tanggung jawab yang besar sekali dalam memenangkan Pancasila dan Manipol/USDEK. Seperti sudah berkali-kali saya tegaskan, maka dalam alam Manipol/Usdek ini, dasar-dasar pokok ideologi kita harus teguh kita pegang teguh. Dan tidak hanya kita pegang teguh, tetapi harus kita perluas, perdalam dan perkembangkan di dalam praktik medan perjuangan. Medan Perjuangan kita dewasa ini adalah terus menyempurnakan Negara Kesatuan kita, terus membanting tulang unutk membangun Sosialisme Indonesia dan terus memupuk solidaritas dengan ”the new emerging forces”. Karena itu GMNI harus mempelopori pembinaan Kesatuan Negara dan Bangsa dan mengkikis habis neoprovinsialisme. Selain itu GMNI harus terus berkonfrontasi dengan sisa-sisa kolonialisme dan neokolonialisme, terutama yang sedang mengepung kita seperti Malaysia sekarang ini.



Percayalah bahwa kepungan ini akan patah dan berantakan karena zaman sekarang adalah zaman kemenangannya pergerakan kemerdekaan nasional dan zaman runtuhnya kolonialisme dalam bentuk apapun juga. Kesemua ini masuk dalam medan perjuangannya GMNI, dan ideologi kita akan terus bersinar di tengah-tengah medan perjuangan kita itu. Saudara-saudara sekalian, selaku mahasiswa harus menyadari hal ini dengan sungguh-sungguh, dan saya percaya bahwa selaku mahasiswa, saudara-saudara di samping menuntut berbagai ilmu pengetahuan akan terus mengorganisasi rakyat agar supaya benar-benar segala cita-cita untuk kemerdekaan, kemakmuran dan keadilan dapat terlaksana. Tetapi saudara-saudara selaku mahasiswa tidak boleh berjuang secara “ngawur”. Kita harus berjuang dengan teratur. Teratur dalam ideologinya dan teratur dalam organisasinya! Barisan kita harus kokoh dan kuat. Bukan hanya ideologinya, yang kokoh kuat, tetapi juga keorganisasinya. Saya minta supaya GMNI yang ideologinya adalah sudah tegas, sekarang ini mempertegas kedudukan organisasinya agar supaya dengan demikian perjuangan kita dapat berhasil. Sekali lagi “Selamat Berkonferensi” Jakarta, 20 Juli 1963 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI ttd



BUNG KARNO BAPAK MARHAENISME