Cerpen Pengarang Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kakek dan Nenek Membenciku Cerpen Karangan Kategori



: Talya Firsta : Cerpen Keluarga, Cerpen Kisah Nyata



Cerita ini diangkat dari sebuah kisah nyata dari seorang anak yang bernama Savana. Ia adalah seorang anak korban dari perpisahan orangtua. Karena perpisahan kedua orangtuanya ia dan adik perempuannya yang bernama Sasa terpaksa meninggalkan ibunya dan tinggal dengan kakek dan neneknya. Itu semua karena ayah Savana tidak mau memberi nafkah pada Savana dan Sasa jika ia tinggal bersama ibunya. ayah Savana tidak memberi nafkah karena ayah Savana ingin jika kedua anaknya tinggal bersamanya di rumah kakek Savana. Dengan berat hati ia melangkah pergi menjauh dari rumah ibunya yang begitu ia sayangi. Ia pergi dengan tangisan di dalam hati. Semua kenangan manis tentang keluarganya di masa lalu teringat jelas. Sayangnya semua itu hanya kenangan yang tak dapat diulang kembali. Tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya, ia dan Sasa sudah berada di depan rumah kakek dan nenek dari ayahnya. Perlahan lahan ia dan adiknya Sasa membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah mewah milik kakek dan neneknya. Dulu disana Savana juga ayah mama dan adiknya sering berkunjung saat liburan tiba. Waktu serasa berlalu dengan begitu lama untuk Savana dan adiknya, mereka melewati setiap detiknya dengan hati gundah dan sedih. Ia dan Sasa sama sama merindukan ibunya. Ia begitu rindu ingin bertemu dengan ibunya seperti dulu tetapi semua harapan itu musnah, ketika Savana mengungkapakan keinginannya itu ke kakeknya. Dan kakeknya menjawab permintaan itu dengan nada tegas dan keras “kamu dan sasa tidak boleh bertemu ibumu.” “mengapa kek? Aku dan sasa sangat merindukan ibu.” “ibumu pasti akan membawa dampak negatif!” “mana mungkin ibuku memberi dampak negatif kek, ia ibu kandungku.” “sudah! Kalau masih mau tinggal disini harus patuh perintahku, kalau tidak mau silahkan pergi dari rumah ini!” Setelah mendengar jawaban itu Savana lari menuju kamar dengan air mata yang bercucuran dan hati penuh tanya ‘dampak negatif apa yang akan diberikan seorang ibu pada anaknya. Itu semua pasti hanya alasan, tak mungkin ibu yang mengandung dan melahirkanku memberi dampak negatif untukku dan Sasa’ suara hati Savana Savana dan Sasa dilarang bertemu ibu mereka tanpa alasan yang jelas. Dan lebih sedihnya lagi ayah Savana tidak berani menentang keputusan itu, karena saat itu ayah Savana tidak punya tempat tinggal lain yang layak untuk Savana dan Sasa selain rumah ayahnya itu. Savana dan Sasa ingin kembali ke ibu mereka perasaan itu tumbuh dalam hati mereka masing masing tetapi perasaan itu kalah dengan ketidakberdayaan mereka. Tak sampai hati Savana dan Sasa jika kembali kepada ibunya karena mereka berdua tau saat mereka kembali pasti akan membuat ibu mereka semakin kesusahan seperti dulu. Dulu Ibu Savana harus bekerja banting tulang dari pagi sampai malam supaya dapat menafkahi kedua anaknya. Itu yang membuat kedua anaknya harus tetap berada di rumah kakeknya. Tepat seminggu berlalu ayah Savana harus pergi bekerja dan baru akan kembali 1 minggu lagi. Savana dan adiknya mulai diperlakukan buruk oleh kakek dan neneknya. Saat mereka berdua ditinggal pergi ayahnya untuk bekerja. Ia dan Sasa begitu terkejut dengan perlakuan kakek dan neneknya yang berubah drastis, saat ada ayah kakek dan neneknya penuh cinta kasih, tapi saat ayah tidak lagi di rumah kakek dan neneknya bersikap kasar.



Perlakuan kasar dan buruk mereka dapatkan mulai dari diancam dibunuh dikatakan anak monyet dipukul dengan sapu dan pipa itu semua perilaku buruk yang ia dapatkan dari nenek dan kakeknya. Sering kali kakek dan neneknya marah hanya karena masalah masalah kecil. Savana dan adiknya tak pernah mengatakan perlakuan kasar dan buruk itu pada siapapun termasuk ayah dan ibunya. Savana tidak ingin karena mereka keduang orangtuanya bermasalah dengan kakek neneknya. Suatu hari saat Savana dan adiknya mencuci baju bersama datanglah kakeknya memaki makinya menghinanya memukulnya, hanya karena telah membuat telur mata sapi yang terlalu asin. Savana dan adiknya begitu tertekan dengan perlakuan kakek dan neneknya, yang begitu mudah marah hanya karena masalah kecil. Banyak sekali masalah kecil yang dibesar-besarkan oleh kakek dan neneknya. tak terhitung lagi pukulan dan cacian yang didapatkan Savana dan Sasa. Tidak disadari perlakuan buruk yang didapatkan dari kakek dan neneknya membuat savana dan adiknya terganggu mental dan psikisnya. Itu semua tak disadari oleh ayah mereka. Sebaik apapun orang menyimpan keburukannya pasti akan ketahuan juga, itulah pepatah yang tepat untuk kakek dan nenek Savana. Tak sengaja ayah Savana pulang cepat sebelum satu minggu karena ayah Savana saat itu sedang sakit. Tepat saat Savana dan Sasa ditampar oleh neneknya karena telah membuat kopi yang terlalu manis. Ayah Savana datang dan melihat semua perlakuan itu. Ayah Savana tidak menyangka jika kedua orangtuanya memperlakukan anak anaknya dengan kasar. Tanpa berfikir panjang ayah Savana segera membawa pergi kedua anaknya. Ayah Savana tak tau akan membawa savana dan sasa kemana karena ia pun belum punya tujuan selanjutnya. Saat mobil berhenti di SPBU untuk mengisi bensin, Savana dan Sasa memberanikan diri untuk menceritakan semua perlakuan buruk kakek dan neneknya. Ayahnya menangis karena banyak sekali perlakuan buruk yang didapatkan kedua anaknya, tetapi ia hanya dapat menangis tanpa berbuat apa apa. Ayah Savana memeluk kedua anaknya sambil mengucapkan maaf karena telah lalai sebagai orangtua. Savana dan Sasa akhirnya tinggal bersama ibu mereka kembali, tetapi kini ibu Savana tidak perlu banting tulang lagi karena semua kebutuhan Savana dan Sasa akan dipenuhi oleh ayahnya. Kini ayahnya tak lagi mendahulukan keinginannya untuk tinggal bersama dengan kedua anaknya, ia menyadari jika ia belum sanggup menyukupi semua kebutuhan hidup kedua anaknya.



Harapan Cerpen Karangan Kategori



: Fitri Suwandari : Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Pengorbanan, Cerpen Penyesalan



Hari hariku berjalan selayaknya anak anak seumuranku, tapi banyak sekali perbedaanku dengan mereka karena aku tidak sempurna seperti mereka. “Syani awas nak” suara perempuan yang berada di seberang jalan. “Bruuk” suara hantaman mobil di jalan. Keadaan jalanan seketika macet, riuh, ramai memenuhi jalan dan terlihat seorang anak kecil di pinggir jalan. Sejak kecelakaan itu aku memiliki kekurangan dari segi fisik, aku cacat, kakiku harus diamputasi dan sekarang aku memakai kaki palsu. Sulit memang rasanya menerima keadaan, tapi hari demi hari aku mencoba menerima. Walau sudah mulai menerima akan tetapi banyak sekali gangguan dalam hidupku. “Syani buntung, Syani buntung” suara mereka terngiang ngiang di kepalaku. Hari ini adalah hari pertama aku memasuki SMA, hari yang menurutku sih biasa biasa saja. “Hai nama gue Ocha” sapa teman sebamgku ku sambil mengulurkan tangannya. “Hai juga aku Syani” kataku yang tengah menjabat tangannya. Hari Hariku berjalan seperti biasanya, sungguh membosankan dan tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Satu tahun kemudian “Woy woy ada anak baru” kata ketua kelasku dengan hebohnya, kemudian yang kulihat Pa Husein memasuki kelas bersama orang lain yang mengikutinya dari belakang. Pak Husein mengenalkan anak baru itu pada anak anak sekelas, tak kusangka anak baru yang kutahu namanya Marco akan duduk di sampingku karena selama ini aku duduk sendiri. “Hai Syani” sapa Marco yang membuatku justru bingung. Tiga bulan telah berlalu aku semakin dekat dengan Marco, entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda darinya. Marco selalu menyapaku di pagi hari, mengajakku pulang bersama, dan keanehan lainnya. “Syan ke kantin yuk!” ajak Ocha padaku yang ke balas dengan anggukan. Saat aku dan Ocha di kantin aku merasa Marco sedang memperhatikan aku, entah kenapa jantungku berdegup kencang dan aku menjadi salah tingkah. “Syan lu kenapa si?” tanya Ocha padaku. “Engga kok” kataku padanya dengan gugup, kutaruh sendok makanku di meja dan bergegas pergi ke kelas. Saat aku tiba di rumah ponselku bergetar, segera kujawab panggilan masuk dari ponselku. “Hai Syan, udah nyampe rumah?” tanya Marco padaku. “Udah emang kenapa?” tanyaku pada Marco. “Engga papah khawatir aja” jawabnya padaku lalu sambungan teleponku pun terputus. Tak terasa aku dan Marco semakin dekat, aku hanya berharap Marco akan menyatakan cintanya padaku, dan Ocha pun sudah kenal dengan Marco bahkan Ocha sudah akrab dengan Marco. Hari ini kulihat wajah Ocha sangat bergembira dan ia bilang ia ingin mentraktirku di kafe, melihatnya bahagia aku pun sangat bahagia karena dia adalah sahabatku satu satunya.



“Hai Syan” sapa Marco padaku, awalnya aku bingung kenapa Marco juga ikut. Aku melihat bahwa kami bertiga telah berkumpul dam akhirnya Ocha memulai pembicaraan. “Syan gua mau ngomong” kata Ocha dengan serius, entah kenapa perasaanku tidak enak. “Kalo gua udah jadian sama Marco, ya kan sayang?” kata Ocha dengan wajah bergembira. “Ini juga semua berkat lo, karena lewat lo gua bisa deket dengan Ocha” kata Marco padaku. “Oh iya Syan gue nemuin surat ini di buku lo dan gua udah tau lo suka juga kan sama Marco? Gua minta lo jauhin Marco ya! karena Marco lebih pantes sama gue karena gue sempurna nggak cacat” Kata Ocha. Tak tahan lagi aku pergi dari kafe itu dengan sejuta air mata menetes di pipi, dan tak ada satu pun dari mereka yang mengejarku keluar. Kulihat dari jauh mereka juga keluar, saat kulihat Ocha hendak menyeberang jalan saat kulihat dari jauh ada mobil yang berjalan dengan cepat dan ngebut. Darah mengalir deras, terdengar jeritan seseorang kerumunan orang mengerubungi seorang wanita yang tergelatak di tengah jalan dengan bersimbah darah. Aku hanya dapat melihat Ocha dan Marco samar samar, perlahan kupingku berdengung sekujur tubuh kaku dan aku merasakan sunyi menghampiriku, mungkin ini akhir dari hidupku dengan menukar nyawa diriku dengan sahabat yang telah mengkhianatiku. Usai pemakaman terjadi keributan yang disebabkan kehadiran Ocha dan Marco. “Mau apa kamu kemari? Kamu telah membunuh anak saya, tega ya kamu sama anak saya” Teriak Mama Syani pada Marco dan berusaha mendorong dorong mereka. “Syani maafin gue! Gua udah jahat sama lo” kata Ocha. “Gua juga minta maaf karena gua udah dimaanfaatin lo” kata Marco, mereka berdua berlutut di makam Syani sambil menangis meratapi apa yang telah mereka perbuat. “Ingat kata kata saya karma tidak akan pernah salah tempat” kata Mamah Syani.



Menelan Takdir Tuhan Cerpen Karangan Kategori



: Iqbal Saripudin : Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan, Cerpen Sedih



Bangunan letter U berdinding gribig bambu itu mendadak membisu. Sepuhan angin sejuk dari arah selatan pegunungan sana terasa hambar. Derap langkah kaki-kaki jenjang nampak terseok berjalan ke arah masjid di halaman utama, terlihat seakan tak bernyawa. Begitupun gema adzan shubuh dari speaker masjid, melengking merdu menyambut bola raksasa kemerahan di ufuk timur, juga terdengar hampa dan kosong. Seperti tak tampak denyar-denyar nafas kehidupan, walau kenyataannya bangunan itu berjamur, disesakki beribu makhluk pencari nur ‘ilmi. Sunyi dan senyap, layaknya bangunan tua tak berpenghuni warisan nenek moyang sekian abad silam. Tetapi denyut nadi mereka mengabarkan bahwa mereka masih hidup. Bukan jasad yang teronggok mati-kaku, melainkan nafas-nafas himmah kehidupan mereka yang nyaris direnggut maut. Bahkan perlahan sirna, berpisah jauh entah kemana. Hampa dan hambar ialah dua kata yang pantas untuk menggambarkan suasana bangunan itu –pagi ini, Pondok Pesantren Kebon Bambu Al-Islamy. Ya, usai beberapa puluh jam lalu malaikat maut dari langit menjemput sosok berambut kapas itu. Dia, sosok yang disegani, dimuliakan dan dihormati setiap buah bibir, tanpa praduga ataupun pertanda. Bakda shubuhan kemarin aktivitas sakral para santri berjalan normal, mengaji di setiap sudutsudut pondok. Riuhan mereka menelusuk tiap jengkalnya, terasa sejuk dan damai. Tak tergoyahkan walau angin pegunungan membisikkan dingin. Sama sekali tak ada yang tahu atau sekedar isyarat umum bahwa bencana memilukan akan terjadi di detik-detik selanjutnya. Tepat pukul lima lebih seperempat menit dari arah kantor pusat Kang Fatih -kepala pondok tergopoh menuju griya pengasuh. Satu menit selanjutnya menyusul dua pengurus lainnya, berlari dan membendung cemas di wajah. Sekonyong-konyong mobil Avanza hitam di bagasi menyala, tiga pengurus tadi dan dua orang lelaki lainnya buru-buru sekali membopong tubuh kaku, keluar dari pintu griya. Bu Nyai Aisyah dan Ning Salma mengekor di belakang, seberkas mendung menggelayut di wajah keduanya. Tatkala mobil itu bergegas melaju cepat meninggalkan pondok, sontak berbagai pertanyaan mencuat cepat diantara wajah-wajah santri yang menyaksikan kejadian ganjal pagi itu. Tatapan cemas, ragu dan takut bercampur menjadi satu tanpa berujung pada sebuah jawaban pasti. “Apa yang terjadi sebenarnya?” “Siapa yang barusan mereka bopong? Abah Anwar kah?” “Mengapa mereka buru-buru sekali memasuki mobil?” Mereka tak berani menjawab yakin, sebab fakta belum terbaca di depan mata. Selanjutnya mereka cukup mengatupkan doa-doa kebaikan kepada Sang Khalik, atas pemandangan samar itu. Menilik entah siapa sebenarnya sosok tubuh yang dibopong itu. Tetapi doa hanyalah doa dan ikhtiar hanyalah ikhtiar, jika ternyata takdir Tuhan menjawab lain mau bagaimana lagi? Makhluk hina seperti mereka hendak berbuat apa? Melawan takdir ataukah cukup menelan bulat-bulat tanpa sisa? Hingga ternyata sekitar pukul tujuh, sang waktu mengabarkan angin kepiluan tanpa menelusup permisi pada keadaan. Kang Fatih turun dari motornya, lantas berlari ke arah kantor pusat. Kucuran deras air mata menganak sungai di kedua belah pipinya. Isak tangis menyayatnya mampu membuat lidahnya kelu untuk sekedar menjawab sapaan saat beberapa pengurus menghadangnya penuh tanda tanya cemas.



Dengan suara bergetar menahan isak tangis tertahannya, Kang Fatih mulai memecah suasana pagi dan segala aktivitas para santri di setiap sudut-sudut pondok. Seperti halnya terserang sengatan listrik beribu volt, sejurus mereka diam, terkesiap. Telinga mereka pasang baik-baik, karena awal dari ucapan Kang Fatih saja sudah dapat mengirim denyut kepiluan. “Hiks… hiks… innalillahi wainnalillahi rooji’uununn. Telah ber..puulang ke rahmatullaaah, kyai kitaa hiks… guru kita, almukarrom KH. Anwar Muhammad. Huhuhu… pagi tadi ba’da shubuh. Dimohon santri-santri segera bergegas mengambil air wudhu, berkumpul di masjid untuk membacakan ayat al-qur’an untuk beliauu..,” Plass… pada detik itu juga waktu seakan terhenti tanpa kendali. Nafas-nafas seakan terhenti, denyut nadi terhenti, aliran darah terhenti. Semuanya terhenti untuk beberapa saat usai telinga mereka menangkap jelas kabar bencana memilukan itu. Saat waktu kembali bergerak. Sontak pekik tangis menyayat menggelegar seluruh seantro pondok Kebon Bambu itu. Para santri di dalam kantin keluar, tangis mereka pecah meninggalkan makanan di meja-meja. Para santri didalam kamar mandi tergugu menahan tangis bersama guyuran air dingin. Para santri di dalam kamar dan komplek langsung keluar, berhenti, saling tatap menahan pilu serta amukan tangis menggila. Semua makhluk di sana menagis tersedu, di jalan, di halaman, di setiap sudut-sudut pondok. Hingga makhluk yang tak kasat mata sekalipun. Tak perlu menunggu lama untuk menyaksikan banjir tangis mereka disana-sini, terhadap berita memilukan pagi itu, sebab Kyai mereka satu-satunya dijemput Allah tiba-tiba. Selanjutnya bagi pengurus yang mampu menahan ketegaran hati segera mengomando, menggiring para santri untuk segera mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Beberapa saat kemudian sambil menunggu mobil avanza hitam muncul membawa tubuh dingin Kyai Anwar, lantunan ayat suci Al-Qur’an membahana, menelusuk tiap jengkal tanah, bercampur dengan derai air mata yang masih sulit terkikis habis. Suara-suara bernafas pilu itu mendadak senyap tatkala mobil avanza hitam datang memarkir di halaman depan griya Almukarrom. Mereka langsung bangkit, berjubel keluar hendak menyaksikan sebuah pemandangan yang belum mereka percayai betul-betul. Dan ketika pemandangan di depan mata mereka mengabarkan kejelasan, lagi, isak tangis kembali tercipta sempurna bersamaan berontak beberapa santri yang memaksa ingin membopong tubuh dingin terbalut kain kafan itu, memasuki pintu griya. Sungguh hanya orang-orang yang tak punya hati jika mendengar kabar memilukan ini tentang wafatnya sosok ulama bersahaja –Kyai Anwar malah tertawa bahagia. Bukan denyar kesedihan yang menyapa, apalagi jika melihat pemandangan nyata di depan mata serta pekik tangis menderu para santri laksana dengkuran lebah saat diganggu sang pengusik. Sebab Kyai Anwar ialah sosokyang pantas mereka muliakan, segani, hormati dan takdzimi. Siapa pun tak akan mampu menggambarkan segala lembar kebaikan yang kasat mata maupun samar dari sosok berambut kapas itu. Terlebih beliaulah yang telah melahirkan Pondok Kebon Bambu ini dan tentunya juga melahirkan generasi-generasi agamis berjubah takwa, berpencar memenuhi tiap daerah di tanah air ini. Dan ini merupakan kali pertama sebuah kabar duka menyapa tiba-tiba, mengusir segala ketenangan. Lagipula siapa yang tak akan berduka jika menghadapi takdir berupa kematian? Saat para pengurus dan alumni serta masyarakat bahu-membahu mempersiapkan segala langkah selanjutnya terhadap jasad Sang Kyai, Bu Nyai Fatimah nampak berjalan tergesa menuju masjid. Dari wajahnya sama sekali jelas tergambar ketegaran dan ketabahan, tak ada air mata atau bekas menggenang di pipinya, walau bening matanya memang memancarkan duka terselubung. Beliau hendak berbicara di depan para santri. Baru saja langkah kakinya menyentuh lantai masjid, senyap seketika merambat ke seluruh ruangan. “Santri-santriku cukup sudah kalian menangisi kepergian Abah. Derai air mata kalian percuma, sia-sia saja keluar tetap tak akan mengubah keadaan. Apalagi berharap Abah bisa kembali bangun, sangat tidak mungkin. Ini sudah takdir Allah, Dia menjemputnya begitu cepat tanpa memberi kesempatan sedikit kepada kita untuk mempersiapkannya. Kita tidak perlu takut atau



malah berpikiran buruk kedepannya, nanti siapa yang akan memimpin pondok? Mengatur dan memimpin pengajian serta jama’ah? Bagaimana kehidupan pondok selanjutnya tanpa beliau? Juga bagaimana dengan anak-anaknya serta saya sebagai istrinya? Dan berbagai pikiran buruk lainnya. Hilangkan! Kerena hakikatnya beliau hanyalah titipan Allah, karena titipan pasti suatu saat nanti Dia akan mengambil kembali. Mungkin sekarang inilah nafas terakhir beliau. Sekali lagi tak perlu kalian membebani pikiran dengan kesedihan berlarut-larut, berpikiran buruk. Kita masih punya sosok yang abadi, yang akan selalu memimpin kita tanpa batas waktu. Siapa? Dia adalah Allah ‘Azza Wajalla, Sang Maha segalanya…” ungkap Bu Nyai Fatimah berapi-api, himmah ketegarannya berkobar seiring seperti tengah membius para santri dengan sapuan sejuk angin dari langit, hingga mampu menundukkan mereka, menghentikan tangis dan kesedihan tanpa pengobat yang jelas. Semua diam membisu, menunduk dalam, mendengarkan tajam setiap untaian kata dari sosok bidadari bumi Kyai mereka, hei! Lihatlah betapa tegarnya istri beliau, menghadapi sayap kehidupannya yang patah-hilang-pergi ke langit dibawa malaikat tanpa memberikan jeda waktu sedikitpun untuk sekedar saling menukar sapa perpisahan. Beberapa saat setelahnya sedikit demi sedikit ketenangan hadir diantara jiwa-jiwa mereka. Hanya satu-dua air mata menetes, itupun karena mencoba hati mengkiblat pada sajadah ketegaran dan ikhlas tanpa batas. Seiring serangkaian prosesi mengurus jenazah Kyai Anwar berlangsung amat khidmat. Meski ribuan jama’ah berbondong-bondong silih berganti menyolati dan menyaksikan perpisahan terakhir sebelum benar-benar hilang ditelan tanah. Lantunan ayat suci Al-Qur’an dan iringan tahlil terus berlanjut tanpa jeda, bergilir setiap santri. Hingga dua puluh empat jam itu suasana syahdu menyapa tanpa henti. Demi sosok guru mulia satu-satunya, Kyai Anwar Muhammad –Abah Anwar. Walaupun untaian nasehat berlumur kesejukan selalu dielu-elukan disetiap kesempatan, terlebih oleh Bu Nyai Fatimah sendiri. Dan hati mengkiblat pada keikhlasn penuh, namun siapa yang utama menggerakkan hati dan jiwa-jiwa mereka? Disamping memang Allahlah Sang Muqollibal Qulub serta berbagai harapan menguap.Sementara hati dan jiwa, mereka sendiri yang miliki, mereka yang menentukan Maka keesokan harinya denyar-denyar nafas himmah kehidupan para santri terasa masih tak bernyawa. Langkah-langkah kaki jenjang mereka terasa senyap, begitu pula lantunan sholawat nabi dan ayat suci Al-Qur’an mendayu-dayu, terdengar pilu mengiris hati. Semua itu karena satu hal, mereka belum begitu siap menelan takdir Tuhan bulat-bulat, terhadap dijemputnya sosok bersahaja Kyai mereka. Dan ini ialah kali pertama kabar memilukan mengejutkan cakrawala kehidupan pondok, maka tak perlu menyalahkan sedini ini jika diawal kehilangan sosok pelengkap jiwa itu nyawa hikmah kehidupan mereka belum benar-benar pulih, untuk kembali merajut nafas-nafas kehidupan secara damai. Karena sekali lagi siapa yang mampu melawan takdir Tuhan? Kematian. Ikhlas dan tabah ialah sikap yang pantas diusungkan, terutama pada kali pertama sang waktu mengabarkan demikian.



Luka Lisa Lusa Lalu Cerpen Karangan Kategori



: Elsa Rahmi : Cerpen Patah Hati, Cerpen Remaja, Cerpen Slice Of Life



Luka. Apapun wujudnya, pasti menyakitkan. Luka yang paling menyakitkan adalah luka yang tak berwujud. Luka yang tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan. Yaitu luka yang bersumber dari hati. Seperti yang kurasakan kemarin lusa. Namaku Alyssa Ashila Farisha. Teman-teman biasa memanggilku Lisa. Aku kelas 10 SMA. Hobiku bermain basket, mendengarkan musik, membaca buku fiksi, dan memancing. Hari itu, langit terlihat mendung. Sepertinya akan turun hujan. Aku mempercepat langkahku keluar dari gedung sekolah sambil berharap semoga masih ada angkot yang lewat, meskipun aku tahu ini mushahil. Angkot A2, angkot yang melewati komplek rumahku itu sangat jarang ditemukan saat sore seperti ini. Latihan baket hari ini menguras banyak tenaga dan waktu, sehingga baru selesai sekarang. Namun hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Tiga hari lagi, sekolahku akan mengadakan pertandingan dengan SMA Bhakti. Pertandingan ini khusus untuk team basket putri. Baru tahun ini SMA Angkasa lolos ke tahap final. Mr. Yosi, pelatihku, sangat bangga kepada team kami yang terdiri dari sembilan orang. Ya, hanya sembilan orang perempuan yang mengikuti ekskul sekaligus perlombaan. Itupun gabungan dari kelas 10 dan 11. Sementara, team basket putra terdiri dari empat puluh lima orang. Jadi, tak heran jika Mr. Yosi sangat berterimakasih bila ada yang mau bergabung dengan team basket putri. Ia akan benar-benar melatih kami dengan baik, sampai kami bisa melakukan teknik yang tepat. Sudah lima bulan aku bergabung dengan team ini, terhitung dari tiga hari sesudah MOS. Awalnya aku ragu, karena takut tak memiliki teman. Namun, Rara, teman semejaku mengajakku untuk mendaftar. Ketika aku sedang menulis nama di meja pendaftar, seseorang yang diam-diam kukagumi sosoknya mengambil kertas formulir yang sama. Lalu mengisi formulir di sampingku. Saat itu, aku merasa tak sia-sia telah memilih ekskul ini hingga sekarang. Karena sosoknya selalu dapat kutemukan di indoor, setiap kami berlatih basket. “Alyssa! Kamu belum pulang?” Itu suara Rara. Aku menoleh cepat ke arahnya, lalu menggeleng lemah. “Belum,” Balasku. Rara ikut duduk di sebelahku, di kursi panjang yang ada di samping pos satpam depan sekolah. Aku mengecek lagi jam di pergelangan tangan, jam tiga lewat sepuluh menit. Aku semakin cemas. “Kalo tau begini, tadi aku ikut ganti baju.” Aku menunduk, melihat ke pakaian basketku yang basah karena keringat. “Lagian juga kamu cemas karena takut nggak ada angkot kan? Makanya langsung ke sini,” Ucap Rara Aku membenarkan ikatan rambutku yang hampir lepas sambil menyahuti ucapan Rara. “Iya.” “Ohya, aku hampir lupa.” Rara nampak menyodorkan sesuatu padaku. Yaitu sebuah paper bag berwarna biru laut. Aku terkejut dan sangat berterima kasih kepada Rara. “Aku lupa. Makasih ya, Ra.” Aku mengambil alih paper bag itu dari tangan Rara. Bagaimana aku bisa lupa? Ini kan barang berharga. Aku mengintip isi paper bag yang kupegang. Untungnya, semua masih utuh. Aku menghembuskan nafas lega.



Barang yang ada di dalam paper bag ini adalah cokelat dan surat dari penggemarku yang tiap hari mereka selipkan di loker. Kan kasihan kalau hilang atau rusak, kesannya aku nggak menghargai usaha mereka yang pastinya sudah susah payah untuk ngasih barang-barang ini. “Itu tadi ketinggalan di loker indoor,” Jelas Rara. “Pelupa dasar,” Cibir Rara kemudian. Aku menyengir lebar. “Hehe. Untung ada kamu. Pokoknya, makasih ya Ra. Kalau sampai paper bag ini hilang… aku nggak tau deh harus ngapain.” “Bagiku, paper bag ini lebih berharga daripada isinya,” Ucapku dengan pandangan menerawang ke langit yang nampaknya makin mendung. Kilatan petir terlihat dari kejauhan. Angin berhembus kencang, meniup rambutku dan memberi sensasi menyejukkan. Rara tertawa setelah mendengar ucapanku. “Ya ampun, Lisa. Paper bag itu harganya nggak nyampe dua puluh ribu tau, di toko juga banyak yang jual. Yang mahal itu isinya. Satu cokelat itu bisa nyampe sepuluh ribu, terus dikali dua puluh… wah, Lis, kalo kamu jual nih ya… dapet banyak duit,” Celoteh Rara. Aku tersenyum tipis dan menoleh ke arahnya yang masih cekikikan menertawaiku. “Ra, ini bukan paper bag biasa. Paper bag ini spesial dari seseorang.” Dan seketika tawa Rara berubah menjadi tatapan datar. “Orang yang itu?” Tanya Rara, memastikan tebakannya benar atau bukan. Aku mengangguk. “Please, Lis. Kamu harus berhenti deh. Kamu tau kan, beberapa jam yang lalu mereka udah jadian?” Rara menggoyang-goyangkan badanku. Seolah memintaku untuk sadar dengan keadaan, bahwa ini bukanlah mimpi. Aku tahu persis apa yang dimaksud Rara. Ya, orang yang kukagumi sudah ada yang punya. Dan sudah seharusnya aku berhenti mengagumi dari sekarang. Aku tersenyum getir. “Iya. Aku tau kok.” Lalu Rara memelukku. Menyalurkan semangatnya kepadaku. Suara klakson angkot mengagetkan kami. Aku dan Rara kompak menoleh ke sebuah angkot B4 yang berhenti beberapa meter di depan kami. Rara bersorak senang. Aku mendesah kecewa. Dimana angkot A2? “Aku duluan ya, Lis. Byee.” Rara bangkit dari duduknya dan menghampiri angkot itu sambil berjalan mundur. “Jangan mewek malam ini. Aku nanti malem sibuk, jangan telepon aku dan curcol galau. Apalagi ngegalauin orang yang udah punya pacar. Mending, kamu curcol sama tetanggamu itu. Ups, dia kan adaw!” Ocehan Rara berganti dengan risngisan gadis itu karena kepalanya kejedot angkot. Aku menertawakan kesialannya. “Lisa,” Geram Rara. “Bye!” Dan Rara masuk ke angkot itu sambil mengusap-usap belakang kepalanya yang nyeri. Aku bahkan masih tertawa sampai angkot itu benar-benar menghilang di pandanganku. Tawaku berhenti ketika sebuah sepeda motor berhenti di depanku. Dan orang itu sama sekali tak menganggap keberadaanku. Tadinya aku ingin menyapa, tetapi tak jadi saat sebuah suara muncul. “Farell! Bentar!” Seorang gadis nampak berlarian menghampiri orang di depanku. Lalu perempuan itu naik ke boncengan yang sebelumnya merupakan tempat yang sering kududuki. Hatiku serasa dicubit, nyeri. Menyadari bahwa sekarang tempat itu bukan untukku seorang. Sekarang posisiku sudah digantikan oleh perempuan itu. Perempuan manis yang bernama Putri, ketua cheerleaders dan kakak kelasku. Dan laki-laki itu, yang sekarang sedang memakaikan helm ke Kak Putri adalah Farell. Sahabat sejak kecil sekaligus tetanggaku yang sejak beberapa minggu lalu sifatnya berubah. Aku maklumi itu. Harusnya, aku tak boleh egois. Harusnya, aku mengerti. Kalau yang dia cintai itu Kak Putri. Tetapi, aku masih merasa tak rela. Biasanya, aku dan Farell selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Lalu sorenya, kami belajar bersama. Kadang di rumahnya, kadang juga di rumahku. Di hari Sabtu dan Minggu, kami bermain basket di lapangan komplek bersama. Dan di sekolah, kami sering meramaikan



kelas dengan keusilan kami kepada teman-teman, terutama Rayhan si cowok pendiam dan kutu buku. Kadang-kadang kami bolos bareng, ngusilin Pak Andre yang orangnya kagetan, sampai kerjasama nyuri soal dan jawaban ulangan matematika di mejanya Bu Indah. Sekarang semuanya sudah berbeda. Farell sudah tak usil lagi, sekarang dia lebih kalem, jadi nurut sama guru dan pacarnya, juga sudah jarang dipanggil ke BK. Tante Erina dan Om Fachri, orangtua Farell, juga sudah tak keseringan menghukum Farell yang sering buat ulah. Bagiku, Farell yang sekarang jadi tak asik. Dia terlalu datar, pendiam, dan sifatnya itu seperti tak cocok pada dirinya. Dulunya, dia selalu balas menyapa cewek-cewek yang jadi penggemarnya, sekarang sudah tidak. Kak Putri berhasil mengubah semuanya pada diri Farell. Tetesan hujan membasahiku. Lama-lama tetesan itu semakin banyak. Rasanya dingin, kulitku seperti dipukul-pukul oleh tetesan itu. Sakit. Apalagi ketika melihat Kak Putri memeluk erat tubuh Farell, dan mereka melesat menembus hujan di depanku. Aku merasa sesak, tetapi sulit untuk mengeluarkan air mata. Hidupku seperti drama. Dan aku benci mengatakan kalau aku merasa terluka saat sahabatku pergi meninggalkanku seorang diri di sini dengan tubuh basah kuyup karena hujan. Paper bag pemberiannya juga basah. Sebelum isinya ikutan basah, aku memindahkan semua surat dan cokelat ke dalam tas ranselku. Dan aku membuang rasa sakitku bersama paper bag pemberiannya ke dalam tong sampah di dekatku.



Sahabat Karibku Cerpen Karangan Kategori



: Cayla Andriany : Cerpen Anak, Cerpen Persahabatan



Pagi menjelang siang… Siang pun menjelang sore… Dan sore menjelang malam … Waktu berputar, kenapa hidup kita tidak berputar? Bila mana jika hidup kita berputar, tandanya kau sedang mengalami kesusahan.. Hai kawann.. Namaku Cayla Andriany… Umurku 12 tahun. Aku bersekolah di SMPN 3 Pemalang. Kata orangtua umur belasan sudah umur peralihan dari masa kanak kanak jadi masa remaja.. Katanya pergaulan umur belasan sudah bebas dan tak benar.. Memang aku tau tapi sudahlah.. “Ayo cepat kita harus pergi ke kantin sebelum kau malas bergerak.” Kata sahabatku sambil berdiri dari bangkunya “Ya kau sangatlah cerewet.. Sabarlah sebentar..” Kataku dengan lemas dan lelah “Sudahlah ayo.. Aku sungguh lapar..” Katanya sambil menyeret tanganku… Beberapa saat kemudian sampailah kita berdua di sebuah kantin. Pada saat itu Sahabatku yang bernama NAJMI LAILA ZAHIRA sedang berulang tahun sebenarnya aku mempunyai surprise untuknya dengan cara aku membuat ia marah agar dia lupa hari ini adalah hari ulang tahunnya “Zah, aku sebenarnya gak suka sama kelakuan kamu.. Aku sebenarnya juga gak boleh berteman sama kamu maaf ya..” “Mengapa, apa salahku Any..? Aku sudah mengangapmu sebagai saudaraku sendiri.. Tapi kau begitu padaku..” Katanya dengan mata berkaca kaca hampir menangis “Maaf ya aku gak tau juga kenapa harus begini” Kataku serius “Sudahlah tak tau aku apa maumu.. Sudah berhenti..” Katanya sambil menangis dan meninggalkanku Dan semua anak anak dikelasku sudah kupertimbangkan.. Masing masing ada yang membela Zahira dan yang lain membelaku Saat bel masuk berbunyi.. Aku pun segera lari ke kelasku. Di kelas, aku dan Zahira sama sekali tidak berbicara… Dan bel istirahat kedua berbunyi.. “Zahira ayo kita ke kantin. Ayo lah cepat sedikit..” Kata temanku yang bernama Hani “Ayo aku ingin makan nasi goreng.” Katanya “Jangan kita makan kacang saja.” Anak Anak yang lain menyiapkan kue dan minuman yang kita beli bersama sama.. “Saat Zahira datang kelas ini harus gelap matikan saja lampunya.. Setelah itu yang memegang kue aku..” Kataku sambil menaruh lilin di atas kue Saat Zahira tibaa… Lampu gelap dan “Happy Birthday To You.. NAJMI LAILA ZAHIRA I love you.” Kataku sambil bernyanyi “Makasih teman teman aku sangat kagum.. Makasih ya.. Ini surprise terbaik.” Katanya sambil menciumku.. “Maaf soal yang tadii.. Itu hanya Prank neng hehe..” Kataku sambil tertawa “Tak apa apa kok Ny.. Makasih buat surprisenya ya.” “Ya Sama sama..” Kataku sambil berpelukan Saat bel pulang berbunyi Zahira mengajak aku dan Hani makan makan kita memesan MIE KWETIAW dan ES TEH