Chapter III-V (3) Jawa Di Berastagi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI BERASTAGI



3.1 Mata Pencaharian Berastagi merupakan daerah yang sangat subur dan sejuk serta disertai dengan kekayaan alam yang melimpah sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan seperti pertanian maupun pariwisata. Kedua aktifitas kehidupan tersebut menjadi sektor perekonomian yang sangat menonjol di daerah tersebut. Sektor pertanian umumnya banyak dikelola oleh para penduduk asli yang beretnis Karo dan Batak Toba demikian juga halnya dengan sektor pariwisata senantiasa juga dikelola oleh penduduk asli sendiri di bawah naungan pemerintah daerah. Sektor perdagangan banyak dikelola oleh penduduk beretnis Tiong Hoa dan kemudian oleh penduduk asli etnis Karo. Orang Karo senantiasa memegang peranan dalam setiap sektor perekonomian. Hal ini terjadi karena makmurnya Berastagi sangat menggiurkan bagi banyak orang untuk mengecap kemakmurannya tersebut sehingga banyak orang berusaha untuk datang ke Berastagi. Hal ini tentunya menimbulkan suatu kekuatiran bagi penduduk asli, yakni orang-orang Karo bahwa suatu saat akan tergeser kedudukannya sebagai penduduk asli ataupun pemilik daerah tersebut. Orang-orang Karo sebagai penduduk asli umumnya bekerja sebagai pemilik lahan yang hendak dikerjakan dan disewakan kepada para penduduk pendatang seperti orang Batak Toba, Nias, dan sebagainya. Dalam hal ini tentunya orang Batak 46



Toba bekerja pada lahan yang dimiliki oleh orang Karo tersebut sebagai aron maupun bekerja di lahan yang telah disewanya dari orang Karo tersebut sebagai pemilik lahan dengan menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman sayuran dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama dalam surat perjanjian sewa lahan tersebut. Orang Tiong Hoa umumnya bekerja sebagai pedagang di pusat kota dengan ukuran dagang yang telah besar, seperti membuka toko pupuk dan obat-obatan pertanian, toko barang-barang dagangan kelontong atau kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya. Masyarakat Jawa yang masih tradisional baik bagi mereka yang bertempat tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan dalam mempertahankan hidup. Karena itu, bagi mereka dikenal istilah ngupaya upa, yang berarti bekerja hanya untuk mencari makan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang sangat cepat yang menuntut setiap orang dilaluinya untuk dapat mengikutinya maka masyarakat Jawa pun semakin berpikiran lebih modern. Mereka telah memiliki tujuan dari hakekat kerja yang mereka lakukan, sehingga segala sesuatu usaha yang dilakukan selalu dihubungkan dengan hasil yang ingin dicapai. Falsafah ini dipahami dengan jer basuki mawa beya, yang artinya bahwa bekerja merupakan segala upaya yang



47



dilakukan dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakan sehingga harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. 28 Hal ini terlihat jelas pada awal kedatangan orang-orang Jawa datang ke Berastagi, mereka mau bekerja apa saja dengan orang-orang penduduk asli yang mereka temui di daerah tersebut. Mereka bekerja pada orang-orang Karo baik sebagai buruh tani atau yang lebih dikenal dengan aron, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka tidak sungkan ataupun terlalu menjaga gengsinya, bagi mereka apapun harus dilakukan demi memperoleh sesuap nasi terutama di daerah perantauan. Mereka mau bekerja bagi orang-orang Karo sebagai pemilik lahan asalkan mereka diberi makan maupun diizinkan tinggal di rumah orang yang mempekerjakan mereka tersebut. 29 Pada masa masih berkuasanya penjajahan Belanda di Tanah Karo khususnya Berastagi hal serupa juga mereka lakukan. Mereka bekerja pada sebagai pembantu atau pesuruh di villa-villa yang dibangun serta adimiliki oleh para penguasa kolonial Belanda tersebut. Orang Jawa biasanya bekerja sebagai buruh baik buruh tani, buruh bangunan maupun buruh-buruh lainnya. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam mengelola tanah pertanian serta kurangnya modal. Selain itu, orang-orang Jawa juga menggantungkan hidupnya dalam bidang perdagangan akan tetapi masih dalam ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk beretnis Tiong Hoa. Selain itu, dalam jumlah yang lebih kecil lagi,



28



Margaret P. Gautama, “ Peta Budaya Masyarakat Jawa: Hasil Survei Terkini” dalam Budaya Jawa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT,2003, hal.16-17.



48



orang-orang Jawa di Berastagi



ada yang bekerja sebagai pegawai baik swasta



maupun yang telah menjadi pegawai negeri. Seiring dengan perkembangan kehidupan yang lebih baik, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, cara pikir dan sebagainya yang mereka peroleh selama berada di Kecamatan Berastagi lambat laun mereka pun tidak lagi hanya bekerja untuk makan saja tetapi telah memiliki rencana yang lebih baik untuk waktu yang akan datang. Dengan pemikiran seperti itu, mereka tidak hanya telah dapat makan saja tetapi mereka pun telah dapat mewujudkan keinginannya seperti menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, memiliki rumah dan sebagainya. Perdagangan yang dijalankan oleh etnis Jawa tersebut biasanya seperti dengan berjualan makanan- makanan baik dalam jumlah yang besar seperti rumah makan, toko kue atau makanan, warung pecal, warung wajit, berjualan kue keliing, berjualan bakso dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan usaha makanan atau masakan. Hal ini terjadi akibat adanya suatu anggapan dari suku-suku lain seperti halnya suku Batak Toba dan kenyataan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang yang pandai dalam hal masak-memasak atau membuat makanan. 30 Sehingga mereka memanfaatkan kepandaian atau bakat mereka tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi ada juga diantara mereka walaupun jumlahnya masih terbilang sedikit yang tidak berdagang dalam usaha makanan tetapi berdagang barang dagangan kebutuhan sehari-hari atau kelontong. Usaha seperti ini biasanya dilakukan



29



Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36. 30 Hasil wawancara dengan Karti pada tanggal 22 September pada pukul 10.20, di Jalan Gundaling, Desa Gongsol No 37.



49



dengan membuka warung-warung atau yang lebih dikenal dengan sebutan kedai yang menjual barang kebutuhan sehari-hari di depan rumah mereka. Perdagangan yang dilakukan orang-orang Jawa memang tidak sebesar yang dilakukan oleh orang-orang beretnis Tionghoa akan tetapi dengan usaha-usaha mereka tersebut mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bahkan dapat memiliki rumah ataupun barang-barang yang dianggap telah baik. Hal ini biasanya menimbulkan kecemburuan dari para tetangganya yang beretnis Batak Toba, Karo dan sebagainya.



3.2 Pola Pemukiman Manusia



cenderung



untuk



hidup



berkelompok.



Salah



satu



wujud



kecenderungan tersebut adalah dengan muncul atau adanya pemukiman penduduk. Pada dasarnya pemukiman diartikan sebagai tempat tinggal manusia dan tempat penduduk melakukan kegiatannya sehari-hari. Kehidupan di pemukiman penduduk dapat dilihat dari kerukunan hidup mereka, dengan indikatornya adalah keikutsertaan mereka dalam organisasi sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya serta bagaimana cara mereka menangani pertentangan yang timbul di antara mereka. Selain itu, juga dapat dilihat dari keragaman aktivitas penduduk dengan indikatornya adalah mata pencaharian baik yang pokok maupun tambahan, pendidikan serta keterampilannya masing-masing. 31



31



Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemukiman sebagai Kesatuan Ekosistem Daerah Jawa Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, hal.1-4.



50



Orang-orang Jawa yang berada di Kecamatan Berastagi umumnya berbaur dengan penduduk asli yakni etnis Karo maupun etnis pendatang lainnya seperti Batak Toba, Simalungun, Nias dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari pola pemukiman atau tempat tinggal mereka yang bergabung dengan etnis-etnis lainnya. Etnis Jawa banyak bermukim di kawasan Desa Sempa Jaya (Peceren), Desa Rumah Berastagi, dan sebagainya. Akan tetapi desa-desa tersebut bukan saja khusus bagi etnis Jawa akan tetapi juga dihuni oleh etnis-etnis lain misalnya oleh Etnis Karo maupun etnisetnis pendatang lainnya. Pola pemukiman yang menyebar atau membaur ini sangat mendukung interaksi sosial yang baik antar etnis di daerah tersebut karena mereka menjadi semakin dekat dan saling membutuhkan. Dengan demikian toleransi antar etnis pun dapat terjalin dengan baik.



3.3 Pendidikan Pendidikan merupakan suatu proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat dan juga merupakan sebuah proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terpimpin sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya. 32 Pendidikan menentukan cara berpikir dan cara hidup seseorang. Hal ini disebabkan oleh kecerdasan, perhatian, pengalaman, dan sebagainya yang diperoleh melalaui proses pendidikan tersebut.



32



H.M. Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Bayu Media, 2004, hal.24.



51



Pendidikan dapat diberikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, baik berupa pendidikan formal maupun informal. 33 Pendidikan sangat membantu dalam usaha pengembangan diri maupun lingkungan sekitar karena mampu menjadi sebuah kekuatan yang akan menentukan prestasi dan produktifitas dalam suatu bidang. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pendidikan merupakan hal yang paling mutlak. Keluarga merupakan tempat pertama manusia memperoleh pendidikan, tetapi itu saja belum cukup. Seseorang yang ingin maju harus bayak belajar terutama dari pendidikan formal. “Pendidikan merupakan segala usaha yang dilakukan dengan sadar dan pembinaan kepribadian dan pengembangan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani dalam rangka pembangunan persatuan bangsa Indonesia dan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. 34 Umumnya semua masyarakat sangat membutuhkan pendidikan dan hal ini juga sangat didukung oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usahausaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk membangun sarana-sarana pendidikan. Banyak bangunan sekolah didirikan baik di kota maupun di desa-desa terpencil. Sekolah-sekolah didirikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Selain itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah juga memberikan wewenang kepada pihak swasta. Di samping itu terdapat juga sekolahsekolah bersubsidi yaitu yang bekerjasama antara pemerintah dan swasta. Kerjasama ini dilakukan agar pihak swasta lebih meningkatkan mutu pendidikannya karena adanya dukungan dana yang memadai dari pihak pemerintah.



33



Ibid. hal.28. Masbun, Kebijaksanaan dan Langkah Pembaharuan Pendidikan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1973, hal.15. 34



52



Sebagian besar masyarakat di kecamatan Berastagi telah memiliki pandangan yang baik mengenai pentingnya sebuah pendidikan, hal ini dapat dilihat dengan tingkat pendidikan yang telah tinggi yang telah dan hendak dicapai oleh masyarakat di kecamatan tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sikap para orang tua yang telah mendorong anak-anaknya untuk bersekolah, dan sebagian besar dari orang tua tersebut pun telah mengenyam pendidikan yang baik. Selain itu,juga dapat dilihat dari banyaknya sekolah serta lembaga pendidikan lainnya di luar sekolah baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang didirikan demi kemajuan pendidikan anak-anak bangsa khususnya bagai mereka yang berada di Kecamatan Berastagi. Bagi etnis Jawa, demikian pula halnya, pendidikan bagi mereka merupakan hal yang penting untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka terutama karena mereka bukan merupakan penduduk asli di Berastagi. Sehingga untuk tetap dapat bertahan hidup di daerah perantauan tersebut mereka harus cerdas dan terampil, hal tersebut dapat diperoleh melalui proses belajar baik di keluarga, masyarakat maupun sekolahsekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pendidikan tersebut adalah dengan membuka yayasan pendidikan Al Karomah di Desa Sempa Jaya, Kecamatan Berastagi. Di yayasan atau sekolah tersebut anak-anak yang beretnis Jawa dan umumnya beragama Islam mendapatkan pendidikan secara formal. Tetapi yayasan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi etnis Jawa saja melainkan juga bagi seluruh penduduk yang ada di Kecamatan Berastagi maupun di luar daerah tersebut, tanpa memandang suku dan agama yang berbeda-beda di daerah tersebut. Meskipun, nama yayasan pendidikan ataupun sekolah tersebut menunjukkan penamaan yang 53



menunjukkan identitas Islam pada kenyataannya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja yang tentunya banyak dianut oleh etnis Jawa di Berastagi. Pendidikan formal bagi etnis Jawa biasanya diperoleh dari sekolah-sekolah atau yayasan pendidikan, pesantren dan sebagainya. Hal ini dilakukan dalam upaya mencerdaskan kehidupan mereka agar kelak memperoleh hidup yang lebih baik. Adanya yayasan pendidikan ini tidak hanya memguntungkan masyarakat Jawa saja akan tetapi juga turut memberikan suatu kontribusi yang sangat bernilai tinggi bagi pendidikan masyarakat di Berastagi sebagai salah satu usaha mencerdaskan bangsa.



3.4 Kehidupan Religi Kata religi sama artinya dengan agama atau kepercayaan. Agama berasal dari kata a dan gama, a artinya tidak sementara gama artinya rusak. Sehingga dapat dibuat suatu pengertian bahwa agama adalah suatu ajaran atau keyakinan yang bila dipatuhi tidak akan membuat penganutnya menjadi rusak malah sebaliknya memperoleh kebahagiaan. Agama dalam pandangan orang Jawa sama seperti busana atau pakaian, yang sering mereka sebut dengan ageman. 35 Penganut agama yang baik tentunya akan memperhatikan ajaran agama yang terdapat dalam Kitab Suci agamanya tersebut. Kehidupan religi atau keagamaan seseorang merupakan hubungan yang bersifat vertikal, akan tetapi secara umum kehidupan religi atau keagamaan suatu masyarakat dapat dilihat dari bagaimana cara mereka menjalankan ibadah ataupun perintah-perintah agama yang dianutnya tersebut.



35



Kasim Siyo, dkk, Op. Cit. hal 125.



54



Orang-orang Jawa Di Kecamatan Berastagi menjalankan kehidupan religi atau keagamaannya dengan baik. Mereka rutin mengadakan acara pengajian, bagi kaum Muslimah lebih dikenal dengan sebutan perwiritan. Dalam perwiritan tersebut kaum Muslimah sering mendendangkan nasyid, yakni suatu bentuk puji-pujian terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW. Antroplog Amerika, Clifford Geertz, mengelompokkan masyarakat dalam 3 (tiga) kelompok, yakni kelompok Santri, Abangan dan Priyayi. 36 Kelompok Santri merupakan kelompok penganut agama Islam yang taat, kelompok abangan merupakan kelompok penganut agama Islam secara nominal atau kejawen sedangkan kelompok Priyayi adalah kelompok bangsawan. 37 Dengan demikian, karena orangorang Jawa yang ada di Berastagi merupakan orang-orang yang masih membawa budaya dan adat kebiasaan dari daerah asalnya sehingga mereka dikelompokkan ke dalam kelompok Abangan.



3.5 Kehidupan Kesenian Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Kesenian merupakan hal yang senantiasa berhubungan dengan nilai estetika (keindahan). Kesenian merupakan hasil budi daya manusia yang diciptakan oleh manusia untuk manusia itu sendiri. Kesenian tersebut dapat lagi dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni: seni suara, seni tari, seni lukis dan sebagainya. Secara umum, kesenian tradisional Jawa terdiri dari berbagai macam, tetapi tetap dalam satu akar budaya. Kesenian Jawa dikelompokkan menjadi tiga kelompok



36



Kasim siyo, dkk, Op. Cit, hal.89.



55



besar, yakni Banyumasan seperti Lengger Calung, Ebeg dan sebagainya, Jawa Tengahan dan Jawa Timuran seperti Ludruk, Reog dan sebagainya. Kesenian tradisional Jawa umumnya bersentral pada kebudayaan atau kesenian Jawa Tengah dan Yogyakarta dan umumnya tumbuh dalam lingkungan Kraton dan kebudayaan rakyat. Dalam budaya Jawa ada banyak sekali kesenian yang merupakan asli kesenian budaya Jawa, diantaranya adalah wayang kulit, kesenian ini konon dimulai sewaktu salah satu dari Wali Songo menagjarkan agama Islam di Pulau Jawa. Konon, untuk menarik minat para penduduk asli, Wali Songo tersebut menggunakan kesenian tersebut untuk menarik minat mereka berkumpul. Sampai saat ini, kesenian wayang kulit masih terus hidup di tengah masyarakat Jawa bahkan bangsa Indonesia. Selain itu, dikenal juga kesenian jathilan, yakni suatu kesenian yang menyatukan antara unsur tari dan magis. Jathilan dikenal sebagai salah satu tarian yang paling tua di Jawa. Sering juga disebut dengan Jaran kepang, jaran roh, kuda lumping, dan sebagainya. Jathilan adalah sebuah drama tari yang menampilkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus pedang. Pertunjukan jaran kepang ini biasanya dimulai dengan tari-tarian kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik seperti gamelan, saron, kendang, bonang, kempul, slompret, ketipung dan gong, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang cemeti atau pecut. 37



Ibid. hal.89.



56



Pemain yang bertugas mengawasi itu adalah yang terpenting dalam jathilan karena dia adalah dukun atau pawang yang mengendalikan roh halus yang merasuki para penari tersebut. Para penari umumnya menggunakan kuda kepang yang terbuat dari bambu maupun kulit binatang yang dianyam sedemikian rupa menyerupai bentuk kuda. Pemain atu penari biasanya menempatkan kuda kepang ini diantara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang ksatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi musik. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang terkadang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Diantaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, dan benda-benda lainnya tanpa terluka atau merasakan sakit. Bahkan ketika mereka dilecuti dengan cambuk atau cemeti sekalipun tubuh mereka tidak memar atau tergores. Tari jathilan merupakan pentas drama yang dibawakan oleh enam orang secara berpasangan dengan menggunakan seragam yang serupa. Sebagai tambahan dalam tari ini, juga ditampilkan penari yang menggunakan topeng. Dengan tokohtokoh yang beragam, seperti gondoruwo (setan), barongan (singa) dan sebagainya. Mereka muncul kala para prajurit itu berangkat perang dengan tujuan untuk mengganggu. Tidak ada yang dapat mengetahui kapan sebenarnya tarian ini mulai ada.namun yang pasti, Jathilan berkembang di beberapa wilayah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun, masing-masing wilayah tersebut menampilkan versi yang berbeda. Hal ini juga lah yang dibawa oleh orang-orang



57



Jawa yang berasal dari daerah tersebut ke daerah perantauan mereka termasuk ke Berastagi. Tari ini bersifat fleksibel, bisa ditampilkan dimana saja, saat pesta pernikahan, sunatan maupun pesta atau festival-festival kesenian rakyat lainnya. Seni tari ini juga bersumber dari rakyat jelata. Hal ini dapat dilihat dari penampilan kesederhanan pakaian yang digunakan oleh para penarinya. Mereka mengenakan celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaos lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu (srempeng), selendang pinggang (sampur) dan kait ikat kepala (udheng) dan hiasan telinga (sumping). Para penari berdandan mencolok dan mengenakan kacamata hitam. Tentu sangat berbeda dengan pakaian sebuah pembesar kerajaan yang menggunakan pakaian serba lengkap dan gemerlap. Tarian yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan komposisi musik yang sederhana namun dengan penuh semangat. Selain itu juga terdapat seni reog, yakni salah satu kesenian Jawa yang berasal dari daerah Jawa Timur bagian barat laut, yakni kota Ponorogo, sehingga sering disebut dengan reog ponorogo. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Reog biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan bahkan hari-hari besar nasional. Seni reog ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah 58



tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang. Sehingga terdapat sebuah kesinergisan antara pertunjukan reog dan jaran kepang karena keduanya dapat dipentaskan sekaligus. Tarian pembukaan lainnya biasanya adalah berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu. Setelah tarian pembukaan selesai baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog tersebut ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan biasanya ditampilkan cerita pendekar dan sebagainya. Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Sehingga selalu ada interaksi antara pemain dan dalang yang biasanya adalah pemimpin rombongan dan bahkan kadang-kadang dengan penonton. Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku atau yang menjadi penarinya memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan ini selain diperoleh dengan latihan yang berat juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan bertapa. Bagi etnis Jawa di Berastagi, kesenian merupakan sesuatu hal yang senantiasa harus dilestarikan dan senantiasa dipertahankan sebagai identitas mereka. Terutama karena mereka di Berastagi adalah masyarakat pendatang yang harus berbaur dengan masyarakat setempat. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu kekhawatiran bagi 59



orang-orang Jawa tersebut jika suatu saat kebudayaan asli mereka akan terlupakan karena telah mengalami pembauran dengan kebudayaan setempat, salah satunya adalah dalam bidang kesenian. Salah satunya adalah seni kuda kepang dan reog tersebut. Kesenian-kesenian ini senantiasa dipertunjukkan ketika ada kegiatan pagelaran kebudayaan ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat Jawa sendiri sangat melestarikan kesenian tersebut hal ini dilakukan salah satunya yaitu dengan mendirikan sanggar kesenian kuda kepang Sekar Harum. Sanggar ini sebelumnya yakni sebelum tahun 1990an memiliki nama yang berbeda, yakni Melati Sari. Sanggar tersebut merupakan sebuah wadah perkumpulan bagi pecinta-pecinta kesenian Jawa dalam melestarikan kesenian atau kebudayaan mereka tersebut. 38 Pada awal pembentukannya sanggar ataupun paguyuban ini juga bernama Badan Kesenian Keluarga Jawa (BKKJ). Dibentuk atas prakarsa tokoh-tokoh seperti Sakirin, Alm. Kemis, Alm. Subari Bambang, Alm. Suterisno, Alm. Samsuddin, H. Jarno, H. Samianis, Rebo dan beberapa tokoh lainnya, badan inilah yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal perkumpulan kesukuan bagi etnis Jawa di Berastagi yakni Putera Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). 39



38



Hasil wawancara dengan Kemis pada tanggal 10 September pada pukul 15.10, di Jalan Jamin Ginting No. 124. 39 Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36.



60



3.6 Sistem Kekerabatan Orang Jawa di Berastagi Sistem kekeluargaan orang Jawa di Berastagi didasarkan pada prinsip keturunan bilateral. Sedangkan istilah kekeluargaannya diklasifikasikan menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah “siwa atau uwa”. Sementara adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelaminnya, yakni apabila para adik laki-laki maka disebut “paman” dan apabila para adik perempuan disebut “bibi”. Pada masyarakat Jawa di Berastagi berlaku adat-adat yang menentukan bahwa 2 (dua) orang tidak boleh saling kawin apabila mereka adalah saudara sekandung, apabila mereka itu adalah “pancer lanang” yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya apabila pihak lakilaki lebih muda menurut ibunya dari pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan kekeluargaan seperti tersebut diatas diperkenankan. Salah satu perkawinan yang diperbolehkan adalah “ngarang wulu serta wayuh”, yakni suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum isterinya. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan perkawinan “sororat”. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang isteri (poligami).



61



Kelanjutan dari adanya perkawinan adalah timbulnya keluarga “batih” atau kaluwarga. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri serta memegang peranan dalam proses sosialisasi dan anak-anak yang menjadi anggotanya. Suatu bentuk kelompok kekeluargaan yang lain ialah “sanak sedulur”. Kelompok kekeluargaan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Biasanya kelompok kekeluargaan ini saling bantu membantu jika ada peristiwa penting dalam rangka kehidupan keluarga. Misalnya pada pertemuan upacara dan perayaan yang diadakan berhubung dengan tingkat sekitar lingkungan hidupnya salah seorang anggota kerabat, pada perayaan hari ulang tahun, upacara kematian dan pemakaman dan selamatan pada hari ke-7, ke-100 dan ke-1000 sesudah kematian. Selain itu, mereka juga akan berkumpul pada hari Lebaran (Riyadi) dan hari besar Islam (Sura) dan lain-lain. Lumrahnya dalam masyarakat Jawa di Berastagi tata kramadilahirkan dalam berbagai bentuk seperti melalui perawakan atau sikap seseorang, gerak tubuh atau badan, nada suara dan bahasa yang digunakan. Perlakuan seperti ini bertujuan untuk membuktikan sejauh mana mereka masih dapat mempertahankan tradisi leluhur mereka. Kedudukan seseorang dari segi hierarkinya dalam masyarakat bergantung kepada ukuran utama dalam masyarakat itu. Ukuran utama yang membedakan kedudukan seseorang itu adalah kedudukannya dalam sebuah keluarga. Hierarki inilah yang menjadi penentuan dalam hubungan sosial dalam masyarakat. Dalam beberapa hal konsep tata krama amat dipentingkan dan dilakukan yakni sewaktu menjemput tamu menghadiri kenduri, melayani tamu, munjung dan 62



pamitan. Tingkah laku dan tutur kata sewaktu mengundang tamu amat diambil perhatian oleh masyarakat yang dikaji, lebih-lebih lagi bagi mereka yang diundang amat diperlukan juru rewang ataupun orang yang diundang itu lebih tinggi kedudukannya dari segi umur atau status. Sementara munjung berasal dari kata dasar kunjung yang artinya mengunjungi atau menemui. Melalui perlakuan ini anggota masyarakat melahirkan ras hormat dalam bentuk berkunjung sambil memberi buah tangan dan yang lebih umum ialah makanan. Munjung dilakukan atas faktor-faktor ikatan kekeluargaan, faktor umur, jiran atau hubungan ketetanggaan, keakraban hubungan,dan sebagainya. Dari segi ikatan kekeluargaan, seseorang seharusnya melakukan kunjungan kepada pihak yang lebih tua dari segi umur dan urutan kekeluargaan. Selain itu hubungan di antara satu individu dengan individu yang lain juga dapat menentukan kunjung mengunjungi itu perlu dilakukan atau tidak, contohnya murid kepada guru, kepada jiran dan kepada orang yang sering memberi pertolongan. Individu yang sering melakukan kunjungan dan orang yang dikunjungi akan merasa bahagia kalau hal-hal seperti ini terus dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi buah tangan atau pemberian bukanlah suatu hal yang penting bagi si pemberi dan si penerima akan tetapi lebih didasari oleh emosi pengunjung atau penerimanya. Pamitan lumrahnya dilakukan oleh golongan muda kepada orang-orang yang lebih tua dari pada mereka. Fenomena ini agak menonjol dalam situasi seperti seorang individu ingin berpindah ke rumah baru, merantau, melanjutkan pendidikan atau untuk meninggalkan rumah dalam beberapa hari. Orang yang ingin keluar rumah 63



diharuskan untuk pamitan kepada kedua orang tuanya. Bagi yang sudah berumahtangga pamitan akan dilakukan kepada jiran terdekat sebagai tanda untuk menitipkan rumah. Menitipkan rumah adalah suatu sikap yang sering dilakukan jika hendak meninggalkan rumah lebih dari dua hari. Seseorang yang pergi tanpa memberitahukan jirannya dianggap kurang tata kramanya. Kerukunan ini dapat dilahirkan dari gerak sosial seperti gotong royong karena dapat mewujudkan perasaan saling pengertian, membina hubungan yang harmonis, penyatuan dan kerelaan untuk memikul tanggung jawab bersama. Kerukunan dapat meningkatkan rasa solidaritas antara sesama anggota masyarakat dalam satu lingkungan dan juga dengan lingkungan lainnya yang saling berdekatan. Salah satu sistem gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di Berastagi adalah rewang, yakni gotong royong yang dilakukan sewaktu mengadakan kenduri. Lumrahnya masyarakat Jawa di Berastagi menganggap rewang adalah sebagai tanggung jawab yang harus dipikul bersama. Rewang sering melibatkan semua anggota masyarakat baik yang tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka yang terlibat akan melibatkan diri dalam upacara pakatan yaitu membagibagikan tugas dan kepercayaan dalam mengendalikan pekerjaan agar pekerjaan yang diadakan itu berjalan lancar. Anggota masyarakat yang mengikuti rewang ini adakalanya sanggup mengorbankan waktu dan kepentingan diri untuk memeriahkan acara perkawinan yang diadakan oleh anggota masyarakat tersebut. Bahkan hari-hari perkawinan tersebut menjadi hari cuti bagi mereka untuk bekerja. Dalam istilah mereka disebut dengan ngeranjang-ngeranjang. 64



Dalam masyarakat Jawa yang sedang melakukan rewang dalam rangka acara kenduri tersebut juga dikenal istilah nyumbang atau memberikan sumbangan. Sumbangan yang diberikan tidak hanya berbentuk tenaga saja tetapi adakalanya disertai dengan sumbangan material. Sumbangan yang berupa material ini lah yang lebih dikenali sebagai istilah nyumbang, yakni memberikan pemberian berupa uang atau bahan-bahan makanan seperti minyak, beras, telor dan gula. Anggota masyarakat yang tidak terlibat dalam rewang biasanya menyumbang dalam bentuk uang dan di kalangan masyarakat dikenali sebagai kondangan. Dalam masyarakat Jawa juga dikenal Njagong Bayi, yakni suatu upacara yang dilakukan sewaktu mengunjungi anggota masyarakat yang baru mendapat cahaya mata (anak). Upacara ini melibatkan kaum laki-laki dan wanita. Kaum laki-laki biasanya mengadakan kunjungan pada waktu malam sedangkan kaum wanita melakukannya pada waktu sore yaitu setelah Ashar. Mereka yang datang akan membawa oleh-oleh atau yang kerap dilakukan masyarakat adalah uang. Pemberian uang tersebut selalu mengikuti keikhlasan dari si pemberi. Selain itu, dikenal juga upacara Sambatan, upacara atau kegiatan ini berkaitan dengan hajat seseorang anggota masyarakat dalam kegiatan mendirikan rumah, memindahkan rumah atau membersihkan kebun. Orang tersebut akan mengundang sebagian anggota masyarakat termasuk jiran dan sanak saudara ke rumahnya. Dalam sambatan ini, tuan rumah akan menyediakan makanan untuk tamu yang diundang dan yang diharapkan akan memberikan bantuan. Upacara ini seringkali dijalankan sehari suntuk yakni sejak pagi hingga sore hari.



65



Seluruh kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat ini bertujuan untuk menciptakan kerukunan diantara mereka. Kerukanan sangat didambakan dan sama pengertiannya dengan selamat atau slamet dalam masyarakat. Sesuatu fenomena yang tidak selaras antara masa dan tempat akan menimbulkan suasana kurang senang dalam masyarakat. Keadaan tegang atau yang tidak seimbang ini dipercayai akan menyebabkan bahaya atau kecelakaan yang akan menimpa seseorang. Untuk mencari masalah keselarasan ini masyarakat Jawa masih memegang amalan yang diwarisi. Slametan adalah bentuk upacara yang merupakan pernyataan masalah syukuran. Kata slametan berasal dari kata slamet yang bermakna selamat. Slametan merupakan suatu aktivitas sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa di Berastagi. Setiap anggota masyarakat ini sedari dini telah dididik untuk mengadakan slametan sebagai tanda syukuran terhadap sesuatu peristiwa yang dialami. Situasi ini diimbangi pula oleh anggota masyarakat yang lain dengan cara memenuhi undangan slametan yang diadakan oleh orang yang mengadakan slametan tersebut, misalnya kenduri perkawinan, khitan dan sebagainya. Untuk kegiatan seperti ini dianggap formal karena lingkungan daerah anggota yang diundang agak lebih lebar, biasanya melibatkan seluruh kampong. Sehingga waktu dan tenaga sangat diharapkan oleh orang yang mengadakan kenduri tersebut agar upacara dapat dilaksanakan dengan baik. Slametan juga kadangkala diadakan dalam suasana kecil tetapi meriah seperti menunaikan hajat setelah berhasil dalam ujian atau memperoleh pekerjaan. Slametan kecil ini lebih dikenal sebagai “bancaan”. Dalam bancaan ini, anggota masyarakat yang diundang tidak begitu ramai hanya sekedar jran terdekat. Adakalanya upacara 66



ini hanya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga saja dengan cara membaca doa dan kemudian makanan yang disediakan akan diantar ke rumah jiran terdekat. Hidangan yang disediakan biasanya mudah dan ringkas. BAB IV HUBUNGAN SOSIAL ETNIS JAWA DI BERASTAGI



4.1 Prinsip Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa Seperti etnis-etnis lainnya etnis Jawa juga memiliki kaidah-kaidah yang sangat menentukan dalam hubungan sosialnya. Kaidah-kaidah ini juga disebut dengan etika ataupun etiket. Etika dan etiket tersebut merupakan wahana atau prasarana dalam melaksanakan interaksi ataupun hubungan-hubungan sosialnya dimanapun mereka berada. 40 Selain itu, struktur sosial pada etnis Jawa juga senantiasa ditentukan oleh prinsip-prinsip seperti resiprositas atau timbal balik (padapada, tepa seliro), prinsip solidaritas (rukun, rujuk), taat kepada atasan, orang tua, guru dan sebagainya (mbangun miturut), saling menghormati antar sesama, isteri kepada suami (bakti), sikap terhadap kekuatan atau kekuasaan supernatural adalah kepada Tuhan (sujud), dan kepada nasib (pasrah, sumarah). 41 Struktur-struktur



sosial



tersebut



dipakai



sebagai



wahana



menjaga



keseimbangan dan keselarasan kehidupan sosial mereka. Sehingga dalam hal ini struktur kekuasaan dan hirarki diterima sebagai hal yang wajar. Posisi sosial masing-



40



Sartono, Kartodirjo, dkk, Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987, hal.58. 41 Ibid, hal 61.



67



masing orang ataupun golongan dapat diterima sehingga setiap adanya konflik atau ketegangan senantiasa didasarkan kepada prinsip kekeluargaan dan persaudaran. Etnis Jawa baik dalam konteks tradisional maupun modern dalam pola interaksinya salah satu hubungan sosial yang menentukan adalah hubungan antara yang tua dan yang muda. Yang muda sangat dan harus menghormati yang lebih tua maupun orang tua. Sikap seperti ini dikarenakan orang tua maupun orang yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman yang lebih banyak jika dibanding dengan orang yang lebih muda. Selain itu, orang yang lebih tua maupun orang tua biasanya senantiasa menjadi suri teladan bagi orang yang lebih muda. Pada hakekatnya prinsip moralitas seseorang bertopang pada kesadaran atau perasaan akan kedudukan diri seseorang yang mempunyai konsekuensi luas dalam peranannya dalam berinteraksi. Dalam hubungan ini sosialisasi juga mencakup pembudidayaan pribadi yang penuh perasaan tentang harga diri, yang berarti harus pandai menempatkan diri dalam segala bentuk pergaulan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Sehingga hubungan sosial seseorang tergantung kepada pribadi yang berhubungan tersebut. Akan tetapi prinsip-prinsip serta nilai norma dan etika yang dipegang teguh oleh individu maupun masyarakat senantiasa tetap berpengaruh terhadap pola dan perilaku hubungan sosial individu maupun kelompok tersebut. Orang-orang Jawa merupakan orang-orang yang mudah bergaul dan mampu menempatkan diri dimanapun mereka berada. Hal ini terjadi karena orang Jawa dalam pergaulannya memegang teguh prinsip mencari ataupun menjadi seduluran atau saudara. Semua orang dianggap sebagai saudara atau sedarah bagi mereka,



68



ikatan darah atau batin biasanya sangat mempengaruhi dalam setiap hubungan sesorang ataupun sekelompok orang. Hal ini bisa tampak jelas dilihat ketika mereka kedatangan seseorang ataupun sekelompok orang ke daerah mereka berada. Terhadap hal seperti ini, orang-orang yang ditemui di daerah tersebut akan menunjukkan sikap yang ramah, penuh persaudaraan. Demikian pula sebaliknya apabila mereka yang datang ke suatu daerah orang lain, mereka akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka tersebut. Demikian pula halnya pada awal ketika orang-orang Jawa datang ke Berastagi, mereka mau bekerja apa saja dengan orang-orang penduduk asli yang mereka temui di daerah tersebut. Mereka bekerja pada orang-orang Karo baik sebagai buruh tani atau yang lebih dikenal dengan aron, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka tidak sungkan ataupun mau terlalu menjaga gengsinya, bagi mereka apapun harus dilakukan demi memperoleh sesuap nasi terutama di daerah perantauan. Mereka mau bekerja bagi orang-orang Karo sebagai pemilik lahan asalkan mereka diberi makan maupun diizinkan tinggal di rumah orang yang mempekerjakan mereka tersebut. Hal ini lah salah satu sebab mereka diterima baik hingga saat sekarang ini di daerah Berastagi. Banyak falsafah yang hidup dalam masyarakat Jawa secara umum. Falsafahfalsafah tersebut umumnya berisi hakekat hidup. Salah satunya adalah nrima ing pandum, yakni menerima segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan. Dengan falsafah ini, orang Jawa mengganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan



69



pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas segala yang telah diperolehnya karena segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. 42 Umumnya falsafah seperti ini masih banyak dipegang teguh oleh orang-orang Jawa yang masih konservatif, yakni mereka yang cara berpikirnya masih sederhana dan tradisional akibat pendidikan yang diperoleh masih rendah, kelompok ini sering juga disebut dengan wong cilik. Falsafah ini biasanya menimbulkan sikap cepat menyerah pada suatu keadaan yang sulit, sehingga mereka cenderung lebih menerima keadaan tersebutsebagai nasib. Namun, bagi mereka yang telah memperoleh pendidikan yang tinggi (priyayi), pengertian ini pun sudah berubah. Mereka mengartikannya bahwa orang tidak lagi harus selalu pasrah melainkan harus lebih giat berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Falsafah ini sering diikuti oleh falsafah mawas diri, yang artinya bahwa orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi atau pengawasan terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam bertindak. Dengan mawas diri seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertangggungjawabkan. 43



4.2 Pola Hubungan Sosial Etnis Jawa di Berastagi Masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan hubungannya terhadap sesama sangat menghendaki hidup yang selaras dan serasi serta saling menghormati karena hal tersebut akan menumbuhkan kerukunan baik bagi lingkungan rumah tangga, masyarakat bangsa maupun negara. Dalam hal ini sikap rukun dan hormat menjadi sikap yang sangat menentukan dalam pergaulan masyarakat. Dengan memegang



42



Margaret P. Gautama, Op. Cit, hal 15-16.



70



teguh prinsip rukun maka tidak akan terjadi konflik demikian pula halnya dengan prinsip hormat akan membuat seseorang akan berbicara dan berperilaku atau membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Selain itu, falsafah budaya Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan terhadap sesamanya adalah aja dumeh (jangan sok atau sombong) dan tepa seliro (tenggang rasa). Falsafah aja dumeh berguna dalam memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, berbuat sewenang-wenang, sekehendak hati sehingga lupa diri, dan jangan memandang rendah orang lain. Sedangkan tepa seliro diartikan sebagai sikap memahami perasaan orang lain sehingga seseorang tidak akan bertindak sewenang-wenang apalagi jika menjadi orang yang memiliki kekuasaan. Serta sikap tolong menolong dan saling tenggang rasa. 44 Seluruh falsafah, norma dan etika inilah yang senantiasa dipegang teguh dan dijalankan oleh orang-orang Jawa dimanapun mereka berada. Termasuk mawas diri, dimana orang-orang Jawa harus mampu mengendalikan dirinya dan dapat menginstropeksi diri ke arah yang lebih baik. Orang-orang Jawa dikenal memiliki sikap pengendalian diri yang besar namun bukan berarti mereka tidak memiliki keberanian mengeluarkan pendapat walaupun berbeda atau bertentangan dengan orang lain. Akan tetapi mereka memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pertentangan pendapat ataupun penolakannya tersebut tanpa harus menyakiti perasaan orang lain.



43 44



Ibid. hal. 16. Ibid, hal 20-21.



71



Orang-orang Jawa tersebut biasanya memperhalus pernyataan perbedaan pendapatnya tersebut dengan kata-kata seperti raos kula (saya rasa) atau mbok menawi (barangkali). De mikian pula halnya ketika menyampaikan penolakannya, orang-orang Jawa biasanya memulainya dengan ucapan kata injih atau inggih (ya). Hal-hal yang seperti inilah yang sering menimbulkan persepsi bahwa orang-orang Jawa berbelit-belit ketika ingin menyampaikan ketidaksetujuannya. 45 Hal ini juga terjadi akibat adanya suatu anggapan bagi orang-orang Jawa bahwa adalah tidak sopan jika secara langsung menyatakan kata tidak pada orang lain dalam menyampaikan perbedaan pendapatnya. Bagi mereka sikap terlalu berterus terang terhadap orang lain selain pada saudara atau teman dekat akan dinilai negatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Frans Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Jawa” 1983:43-44 bahwa orang Jawa memiliki budaya ethok-ethok (pura-pura) yang sangat untuk menghindari keterusterangannya ataupun menutupi perasaan kecewanya. 46 Perbedaan pendapat bagi orang Jawa tidak selalu harus diselesaikan dengan konflik atau pertikaian. Akan tetapi harus diselesaikan secara musyawarah (ana rembug becik dirembug). Sehingga dalam hal ini sangat diperlukan kesediaan untuk menomorduakan pendapat sendiri dan menerima pendapat orang lain dalam artian lebih luas lagi yakni melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Sikap-sikap yang demikian inilah yang sangat mendukung mereka dalam beradaptasi dimanapun mereka berada, termasuk di Kecamatan Berastagi. Mengingat



45



Sartono Kartodirjo, dkk, Op.Cit, hal 54.



72



orang-orang Jawa merupakan suku bangsa terbesar dan yang paling banyak menyebar ke hampir seluruh wilayah di Indonesia maka tentunya sangat menuntut mereka untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya tersebut termasuk dengan orang-orang dari suku bangsa lainnya sebagai sesama pendatang atau perantau.



4.2.1 Hubungan dengan Penduduk Asli Manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial) yang dalam hidupnya senantiasa memerlukan bantuan orang lain mulai dari sejak kelahirannya hingga pada saat kematiannya sehingga ia tidak dapat hidup sendiri. Demikian pula halnya dengan etnis Jawa yang ada di Kecamatan Berastagi, sebagai penduduk yang bukan asli dari daerah tersebut maka dalam kehidupan sehari-harinya dan dalam kehidupan bermasyarakatnya senantiasa membutuhkan orang lain. Kehidupan bermasyarakat atau bersosialisasi dilakukan dengan sangat baik dan kooperatif baik terhadap sesama etnis Jawa, Karo maupun etnis-etnis lainnya di daerah tersebut. Perbedaaan suku, agama maupun status-status lainnya tidak menjadi penghalang bagi mereka dalam mewujudkan hubungan yang harmonis. Untuk memperlancar hubungan mereka sehari-sehari mereka menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi lambat laun setelah orang-orang Jawa tersebut lama tinggal di Kecamatan Berastagi mereka menjadi fasih berbahasa daerah setempat, yakni bahasa Karo dan mempergunakan bahasa Karo tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari.



46



Frans Magnis Suseno, S. Reksosusilo C.M, Etika Jawa Dalam Tantangan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1983, hal.43-44.



73



Penggunaan bahasa Karo tersebut tidak hanya mereka gunakan dalam percakapan dengan orang-orang Karo saja tetapi juga terhadap sesama mereka orang-orang Jawa maupun etnis-etnis lainnya seperti orang Batak Toba dan sebagainya yang telah fasih menggunakan bahasa Karo. Hubungan baik antara orang-orang Jawa dengan penduduk asli juga terlihat dari pernikahan antar suku yang mereka lakukan dengan orang-orang Karo. Hal ini tentunya menjadi salah satu contoh jembatan pemersatu antara kedua etnis yang berbeda tersebut terutama bagi kedua pihak keluarga yang bersanngkutan. Dengan demikian interaksi antara kedua keluarga tersebut menjadi dekat dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Selain itu, hubungan yang erat antara orang-orang Jawa dengan orang-orang Karo juga terjalin akibat keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan adat maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang Karo di daerah lingkungan mereka. Misalnya adalah dengan keikutsertaan mereka pada acara-acara adat seperti pernikahan, memasuki rumah baru, upacara kematian bahkan acara-acara tahunan yang dilakukan oleh orang-orang Karo. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, orang-orang Jawa diikutsertakan sebagai anak beru dalam acara tersebut. Penyertaan mereka sebagai anak beru membuat orang-orang Jawa berperan dalam membantu penyelenggaraan setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh orang Karo yang berkegiatan tersebut. Sama halnya dengan anak beru lainnya maka orang-orang Jawa yang terlibat tersebut pun harus bertindak sebagai anak beru dengan cara membantu pelaksanaan kegiatan tersebut seperti dengan memasak untuk makanan saat pesta,



74



menyiapkan dekorasi ataupun alat-alat pesta, melayani tamu yang datang ke acara tersebut dan sebagainya. 47 Selain itu, untuk mendekatkan kedua etnis yang berbeda tersebut



maka



diberikanlah suatu marga atau beru dalam marga atau beru Karo terhadap orangorang Jawa yang telah dianggap sebagai keluarga tersebut. Marga atau beru yang diberikan tersebut bervariasi tergantung kepada si pemberi marga tersebut. Misalnya marga atau beru Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin maupun Karo-karo. Hal ini tentunya sangat berguna dalam mempererat hubungan antara mereka dan menganggap sebagai keluarga. Selain itu juga berguna dalam penempatan mereka secara adat dalam kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan oleh orang-orang Karo tersebut, misalnya apakah mereka akan menjadi kalimbubu, senina maupun anak beru. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah sebagai anak beru.



4.2.2 Hubungan dengan Penduduk Etnis Lainnya Mengingat bahwa Berastagi adalah daerah yang subur dan terkenal makmur maka tidak sedikit orang-orang yang berusaha datang ke Berastagi untuk juga turut menikmati kemakmuran tersebut. Tidak heran akhirnya Berastagi pun menjadi daerah yang plural/majemuk dengan keanekaragaman etnis, agama dan status-status sosial lainnya. Etnis yang banyak di Berastagi sejak tahun 1968-1986 adalah Batak Toba, Tionghoa, Jawa dan sebagainya. Dengan keragaman etnis tersebut maka beragam



47



Hasil wawancara dengan H.Darno pada tanggal 30 September pada pukul 10.00, di Jalan Jamin Ginting No. 120



75



pula agama serta status-status sosial lainnya yang ada pada masing-masing orang dari etnis-etnis tersebut. Hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi etnis-etnis tersebut untuk saling berhubungan karena mereka sadar keberadaan mereka sebagai perantau di daerah Berastagi tersebut sehingga mereka harus pandai menempatkan diri baik terhadap penduduk asli maupun terhadap etnis-etnis perantau lainnya. Tegur sapa antar etnisetnis yang berbeda tersebut awalnya juga dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi lambat laun setelah mereka fasih menggunakan bahasa Karo maka mereka menggunakan bahasa tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari. Bagi orang-orang Jawa etnis perantau lainnya seperti Batak Toba merupakan etnis yang keras terutama dalam cara bicaranya sehingga membuat suatu anggapan bagi mereka bahwa orang Batak Toba adalah orang yang kejam dan pemakan orang. Akan tetapi, lambat laun anggapan itu memudar seiring dengan berjalannya waktu dan semakin terjalinnya hubungan yang baik diantara mereka. Pernikahan juga menjadi salah satu saluran pemersatu antara dua etnis yang berbeda tersebut. Sejak tahun 1968-1986 orang-orang Jawa di Berastagi telah melakukan pernikahan antar etnis. Sama halnya dengan pernikahan yang dilakukan oleh etnis Jawa dengan etnis Karo, maka pada pernikahan pada etnis Jawa dan Batak Toba ini juga menghasilkan suatu hubungan yang lebih erat dan harmonis lagi diantara kelurga mereka yang berbeda etnis. Selain itu juga, dengan adanya pernikahan tersebut maka orang Batak Toba juga memberikan marga atau boru kepada pengantin dan keluarganya yang beretnis Jawa tersebut. Hal ini dilakukan juga untuk lebih meningkatkan rasa persaudaraan atau kekeluargaan diantara mereka 76



agar mereka merasa sedarah ataupun memiliki ikatan batin yang kuat dengan adanya marga atau boru yang melekat pada diri mereka tersebut. Umumnya orang-orang Jawa yang ada di Kecamatan Berastagi beragama Islam sementara orang-orang Batak Toba beragama Kristen. Hal ini tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap berhubungan. Hal ini terlihat ketika orang-orang Jawa yang beragama Islam merayakan hari raya Idul Fitri maka orang-orang Batak Toba datang bekunjung ke rumah mereka dan mengucapkan selamat hari raya serta saling bermaafan. Demikian pula sebaliknya jika orang-orang Batak Toba yang beragama Kristen merayakan hari Natal, maka orang-orang Jawa pun datang berkunjung. Hal ini biasanya terjadi pada mereka yang telah lama saling berhubungan dan hubungan tersebut telah terjalin dengan sangat erat atau kompak.



4.2.3 Hubungan dengan Sesama Etnis Jawa Apabila dengan etnis lainnya seperti etnis asli yakni dengan etnis Karo maupun etnis perantau lainnya seperti etnis Batak Toba, Tionghoa dan sebagainya orang-orang dapat menjalin suatu hubungan yang harmonis maka demikian pula halnya dengan sesama mereka. Mereka memiliki ikatan batin yang kuat yang melekat pada diri mereka masing-masing sebagai sesama etnis Jawa. Sehingga mereka senantiasa



mendasarkan hubungannya berdasarkan persamaan identitas mereka



tersebut. Secara bersama-sama mereka saling mendukung dalam banyak hal. Solidaritas antar sesama etnis Jawa di Kecamatan Berastagi juga tampak dengan keikutsertaan mereka dalam perkumpulan kesukuan yakni Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) yang dibentuk pada tahun 1986. Pujakesuma ini



77



lahir atas prakarsa tokoh-tokoh seperti Sakirin, Alm. Kemis, Alm. Subari Bambang, Alm. Suterisno, Alm. Samsuddin, H. Jarno, H. Samianis, Rebo dan beberapa tokoh lainnya, untuk mengembangkan satu paguyuban yang mereka sebut dengan BKKJ (Badan Kesenian Keluarga Jawa). Paguyuban inilah yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal perkumpulan kesukuan bagi etnis Jawa di Berastagi yakni Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) yang kemudian mempersatukan etnis Jawa yang ada di daerah Tanah Karo khususnya Berastagi demi mencari tunggal sekapal (saudara sekampung). Pujakesuma menjadi saluran solidaritas antar sesama etnis Jawa di Berastagi karena selain menjadi wadah pemersatu penduduk etnis Jawa di Berastagi juga menjadi wadah tolong menolong bagi seluruh anggotanya yang beretnis Jawa. Pujakesuma menerapkan falsafah Mukul duwur mendem jero (Berat sama dipikul ringan sama dijinjing) dan sepi ing pamrih rame ing gawe, yakni menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan pujian. Hal ini berarti kesulitan bagi salah satu anggota menjadi kesulitan anggota lainnya (bersama). 48 Hubungan sosial antara sesama etnis Jawa di Berastagi sebagian kecil juga masih ada yang berdasarkan harta kekayaan ataupun kedudukan seseorang. Hal ini dapat dilihat dengan hubungan yang dijalin antara orang kaya hanya dengan orangorang kaya saja, orang miskin hanya dengan orang miskin saja. Orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi dan sosial yang tinggi terkadang tidak mau perduli dengan orang-orang yang tingkat ekonomi dan sosialnya lebih rendah dari mereka, demikian



48



Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36.



78



pula halnya dengan sebaliknya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat ekonomi seseorang sangat mempengaruhi tingkat sosialnya. Ada empat kata yang dipahami masyarakat Jawa di Sumatera sebagai bagian dari identitas mereka, yakni rukun, raket, regeng dan rumeksa yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai menjaga kerukunan dan kedamaian, menjaga persaudaraan untuk mencapai persatuan yang kuat, saling gotong royong, saling mengerti dan mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain Benedict Anderson dalam bukunya menyatakan bahwa kemampuankemampuan itu sebagai “toleransi”. Dengan demikian orang-rang Jawa yang belum toleran, mempunyai kelapangan hati disebut belum Jawa, atau dalam pandangan Barat disebut belum dewasa. Ia dianggap belum paham etika. Pencarian identitas kejawaan itu terus terjadi dari tahun ke tahun meskipun masyarakat Jawa sendiri sudah ratusan tahun berada di Sumatera. Mereka tidak mau kehilangan identitas kejawaannya yang menurut Anderson diam-diam mereka banggakan. Pujakesuma sendiri menurut Kasim Siyo, selaku presiden Pujakesuma, adalah lebih dari sekedar gerakan kebudayaan bahkan menjadi sebuah modal sosial bagi masyarakat Jawa di rantau. Modal sosial artinya menjadi sebuah institusi yang hidup dari jaringan, nrma-norma dan kepercayaan sosial yang mendorong kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. 49



49



Kasim Siyo, Kompas, Jumat 11 Januari 2008: “Modal Sosial Masyarakat Jawa”.



79



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Daerah Tanah Karo sangat terkenal akan kesuburannya sehingga banyak orang-orang yang datang ke daerah tersebut untuk juga turut merasakannya, terutama daerah Berastagi yang pada masa awal dasawarsa abad ke-20 telah menjadi pusat perdagangan hasil pertanian. Hal ini tentunya sangat memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar terhadap daerah tersebut. Kenyataan ini dilihat oleh orang-orang yang berada di luar daerah Berastagi sehingga ingin mencoba peruntungan ekonomi ke daerah tersebut. Daerah Berastagi tergolong daerah yang strategis sehingga mudah untuk didatangi oleh masyarakat dari mana saja, termasuk orang-orang Jawa yang sebelumnya bermukim di daerah-daerah perkebunan pada masa tumbuh dan berkembangnya onderdeming-onderdeming bangsa Eropa. Pada masa perkebunan tersebut, Tanah Karo termasuk daerah Berastagi merupakan bagian dari Karesidenan Sumatera Timur yakni dengan menjadi bagian dari daerah Afdeling Simalungun en Karolanden. Banyak orang-orang Jawa yang bekerja di perkebunan-perkebunan milik bangsa Eropa tersebut yang datang ke Berastagi karena tidak lagi memperoleh kehidupan yang lebih baik di daerah mereka sebelumnya. Migrasi ini terus berlanjut hingga setelah perkebunan-perkebunan tersebut ditutup bahkan hingga saat sekarang ini.



80



Orang-orang Jawa di Berastagi merupakan kelompok masyarakat pekerja pada lahan-lahan pertanian orang-orang Karo serta masyarakat pedagang. Mereka dikelompokkan dalam kelompok abangan karena membawa budaya serta adat dari daerah asal mereka. Sistem kekeluargaannya didasarkan pada prinsip keturunan bilateral, yang artinya menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, baik dari ayah maupun ibu. Kehidupan budayanya senantiasa dipertahankan hal ini dapat dilihat dengan usaha-usaha yang mereka lakukan seperti menggelar kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti Kuda kepang, reog dan sebagainya. Selain itu, juga menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan kepada para pemuda dengan cara mengikutsertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan pagelaran kebudayaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar budaya asli mereka seperti kesenian tidak dilupakan dan hilang terutama mengingat telah majemuknya penduduk serta kebudayaan yang terdapat di daerah perantauan mereka tersebut. Orang-orang Jawa memiliki sifat mudah bergaul dan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini membuat mereka mudah diterima oleh masyarakat dimanapun mereka berada. Demikian pula halnya dengan di Kecamatan Berastagi, mereka telah banyak melakukan pembauran misalnya dengan pernikahan dengan orang-orang Karo sebagai penduduk asli maupun etnis-etnis pendatang lainnya seperti halnya etnis Batak Toba (Tapanuli), Nias, Simalungun, Minang, Tionghoa dan sebagainya. Selain itu karena orang-orang Jawa tergolong orang-orang yang sabar dan penurut dan tidak terlalu mau mencari masalah. Hal ini tentunya sangat mendukung dalam kehidupan sosial mereka dengan orang-orang yang berada di daerah perantauannya tersebut. 81



5.2 Saran 1. Perlunya penambahan/perbanyakan literatur mengenai kehidupan etnis Jawa etnis-etnis lainnya. Karena pembangunan suatu daerah dapat dilaksanakan dengan mengetahui sifat maupun karakter dari penduduknya sehingga pembangunan pun dapat berhasil karena adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyat dalam hal ini penduduk. 2. Pemerintah



daerah



setempat



perlu



memperhatikan



pentingnya



penyimpanan data-data yang lengkap mengenai etnis-etnis yang berdiam di Berastagi agar kelak dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian selanjutnya juga dalam pengembangan kualitas penduduk di daerah tersebut. 3. Diharapkan perlunya pelestarian nilai-nilai budaya dari setiap etnis yang berdiam di suatu daerah baik mereka sebagai etnis asli maupun perantau demi menjaga keutuhan nilai-nilai budaya tersebut.



82