Cogito Ergo Sum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: COGITO ERGO SUM, aku berpikir maka aku ada.



(Wikipedia) Sabtu, 29 Desember 2012



Tokoh Filsafat Modern Rene Descartes ( Cogito Ergo Sum) BAB I PENDAHULUAN Rene Descartes dinggap sebagai Bapak aliran filsafat pada zaman modern. Disamping seorang tokoh rasionalime, Descartes pun merupakan seorang filsuf yang ajaran filsafatnya sangat populer, kerna pndangannya yang tidak pernah goyah, tentang kebenaran tertinggi berada pada akal atau rasio manusia. Rene Descartes seorang filsuf yang tidak puas dengan filsafat Skolastik yang pandangan-pandangannya saling bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh miskinya metode berfikir yang tepat. Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu, jelas ia sedang berfikir. Sebab, yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terangbenderang.Cogito ergo sum (saya berfikir, maka saya ada). Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang paa kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderangyang disebutnyaIdeas Claires el Distinces (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Idea terang benderang ini pemberian tuhan sebelum orang dilahirkan (ida inate : ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar. Kerasionalan dalam berfikir Descartes membuat saya tertarik untuk mengkaji tokoh ini (Descartes). Begitu juga tentang metode cara menemukan kepastian yag ia kemukakan dalam ungkapan Cogito rgo sum ( saya berfikir, maka saya ada). Selain itu juga tentang pendapat



Descares yang mengatakan bahwa roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan. Makalah ini akan membahas beberapa pokok masalah yang terkandung di dalamnya. Diantaranya adalah biografi dari Rene Descrtes itu sendiri. Dari kelahiranya, riwayat pendidikannya, dan kondisi keluarganya, serta karya-karya monumental dari Rene Descartes itu sendiri. Kemudian pokok-pokok pemikiran beliau serta metode dan pendekatan apa yang ia pakai dalam pemikirannya tersebut. Makalah ini juga membahas tentang analisa tokoh mulai dari dukungan atas tokoh, kritik atas pemikiran tokoh, serta analisa penulis sendiri mengenai Decartes sendiri. Pembahasan berikutnya adalah mengenai epistemologi atau cara memperoleh pengetahuan yang ditawarkan Descartes dan begitu juga ontologi Descartes. Menenai makalah tujuan dari makalah ini dibuat adalah yang petama kali merupakan sebagai tugas akhir semester dari mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika. Untuk seterusnya penulis mengharapkan dengan terselesaikannya makalah ini, pembaca dapat mengetahui lebih dalam siapa itu Rene Descartes, apa saja pemikirannya, epistemologi Decartes dalam mencari kepastian , juga ontologi Descartes. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Rene Descartes lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret tahun 1596 M. Dalam literatur berbahasa latin dia dikenal dengan Renatus Cartesius. Rene Descartes selain merupakan seorang filosof, dia juga seorang matematikawan Perancis. Beliau meninggal pada tanggal 11 februari 1650 M di Swedia di usia 54 tahun[1]. Kemudian jenazahnya dipindah ke Perancis pada tahun 1667 M dan tengkoraknya disimpan di Museum D‘historie Naturelle di Paris. Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertnand Russel, memang benar. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat, serta bukan yang lainnya[2]. Corak pemikiran yang rasional merupakan sebuah kontribusi pemikiran yang ia berikan kepada dunia. Selain itu, ada beberapa kontribusi berupa karya-karya buku. Karya-karyanya yang terpenting dalam bidang filsafat murni dintaranya Dicours de la Methode (1637) yang menguraikan tentang metode. Selain itu juga ada Meditations de Prima Philosophia (1642), sebuah buku yang menguraikan tentang meditasi-meditasi tentang filsafat pertama. Di dalam kedua buku inilah Descartes menuangan metodenya yang terknal itu, metode Cogito ero sum, metode keraguan Descartes.[3] Rene Descates merupakan anak ketiga dari seorang anggota Parlemen Inggris yang memiliki tanah yang cukup luas. Ketika beliau mewarisinya setelah ayahnya meninggal, beliau menjual tanah warian tersebut dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun[4]. Pada tahun 1612 M, beliau pidah ke Perancis. Beliau merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid‘ah-bid‘ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Terbukti



dalam bukunya La Monde yang mana beliau memaparkan di dalamnya dua pemikiran bid‘ah : Rotasi bumi dan keterhinggaan alam semesta[5]. Dari tahun 1629 M sampai 1649 M, beliau menetap di Belanda. Pendidikan pertama Descartes diperoleh dari College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika[6]. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan. Pada tahun 1612 M, Descartes pergi ke Paris dan di sana beliau mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan yang akhirnya beliau mengasingkan diri ke Faobourg Sain German untuk mengerjakan ilmu ukur. Kemudian pada tahun 1617 M, Descartes masuk ke dalam tentara Belanda. Selama dua tahun, beliau mengalami suasana damai dan tentram di negeri kincir angin ini, sehingga beliau dapat menjalani renungan fisafatnya. Pada tahun 1619 M, Descartes bergabung dengan tentata Bavaria. Selama musim dingin antara tahun 1619 – 1620 M, di kota ini, beliau mendapatkan pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya Discours de la Methode. Salah satu pengalaman yang unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan ilham dari Tuhan.[7] Pada tahun 1621 M, Descartes berhenti dari medan perang dan setelah berkelana ke Italia, lalu beliau menetap di Paris (1625 M.). Tiga tahun kemudian, beliu kembali masuk tentara, tetapi tidak lama beliau keluar lagi. Dan akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di Belanda. Di sinilah Descartes menetap selama 20 tahun (1629 – 1649 M.) dalam iklim kebebasan berfikir. Di negeri sinilah beliau dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat[8]. Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala beliau memenuhi undangan Ratu Christine yang menginginkan pelajaan-pelajaran dari Descartes. Salah satunya Ratu Christine ingin mempelajari filsafat Decartes. Pelajaran-pelajaran yang diharusakn diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit radang paru-paru yang menjemput ajalnya pada tahun 1650 M, sebelum sempat beliau menikah. Tetapi Descartes mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada umur lima tahun; ini, katanya, merupakan kesedihan yang paling mendalam selama hidupnya[9]. B. Metode dan Pendekatan Pemikiran Descartes Dalam pemikiran Descartes Cogito Ergo Sum yang berarti aku berfikir maka aku ada, beliau menggunakan metode analistis kristis melalui keraguan (skeptis) dengan penyangsian. Yaitu dengan menyangsikan atau meragukan segala apa yang bisa diragukan. Descartes sendiri menyebutnya metode analitis. Descartes juga menegaskan metode lain: empirisme rasionil[10]. Metode itu mengintregasikan segala keuntungan dari logika, analisa geometris, dan aljabar. Yang di maksud analisa geometris adalah ilmu yang menyatukan semua disiplin ilmu yang dikumpulkan dalam nama ―ilmu pasti‖[11]. Mengenai pendekatan yang digunakan Descartes dalam menganalisa pemikirannya, sudah kelihatan jelas bahwa beliau menggunakan pendekatan filsafat yang mana menganut paham rasionalisme yang sangat mengedepankan akal.



Dapat dipahami bahwasanya Rene Descartes dalam ―Cogito Ergo Sum‖nya menggunakan metode analitis tentang penyangsian dan dengan menggunakan pendekatan filsafat yang rasional. C. Pokok-Pokok Pemikiran 1. Cogito ergo sum Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan ―aku berfikir maka aku ada‖ merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.[12] Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada).[13] Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada[14]. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Apa sebab kebenaran ini bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.[15]



Cogito Ergo sum, aku berfikir, jadi aku ada. Tahapan metode Descartes itu dapat diringkas sebagai berikut[16]:



2. Ide-ide bawaan Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga ―ide bawaan‖ (Inggris: innate ideas).[17]Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.



a.



Pemikiran Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.



b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan. c.



Keluasan Materi sebagai keluasan atau ekstensi ( extension ), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.[18]



3. Substansi Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama,jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatny adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan,sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.[19] 4. Manusia Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.[20] D. Analisa terhadap Rene Descartes 1. Pujian atau dukungan terhadap Rene Descartes Bertrand Russell dalam bukunya Sejarah Filsafat Barat mengatakan bahwasanay Descartes pantas menyandang gelar The Founder of Modern Philosophy atau Bapak Filsafat Modern. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat, serta bukan yang lainnya.[21] Bertnand Russell juga mengatakan bahwa Descartes adalah orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi baru. Ada sebuah



kesegaran dalam pemikirannya yang tidak ditemukan dalam pemikiran filsuf ternama sebelumnya semenjak Plato. Wataknya baik dan tidak suka menonjolkan keilmuannya, layaknya orang-orang pintar di dunia, bukannya seperti seorang murid. Wataknya ini luar biasa sempurna. Sangat beruntunglah filsafat modern karena pionirnya mempunyai cita rasa sastra yang mengagumkan.[22](Bertand Russell) Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam[23] dari Anselmus itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dari pendapat tokoh gereja. Apakah ada filsuf yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkram oleh iman abad pertengahan itu? Tokoh itu adalah Rene Descartes.[24] 2. Kritik terhadap Rene Descartes Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah menghinakan empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah fungsi-fungdi indrawi,yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habishabisan, karena semuanya menunjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang memadai.[25] 3. Analisa penulis terhadap Rene Descartes Rene Descartes menurut penulis, merupakan seorang filsuf zaman modern yang memberikan trobosan, alternatif, dan logika baru dalam bidang filsafat. Descartes telah berhasil memberikan fondasi kepastian bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebuah dasar yang belum pernah ditemukan oleh para pendahulunya. Salah satunya yaitu bahwa filsafat pada masa lampau teerlalu mudah memasukkan penalaran yang bisa-jadi-benar (belum tentu benar) ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Oleh karena itu Descartes menyatakan aturan umum dalam logika dalam bukunya Discourse bahwasanya tidak boleh menerima hal apa saja sebagai hal yang benar jika tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Oleh karena itu semua, penulis mengatakan bahwa Descartes pantas menyandang gelar The Founder of the Modern Philosophy karena dialah pencetus rasionalisme yang lebih mengunakan akal yang mana sebelumnya mereka masih takut akan dogma-dogma gereja. E. Epistemologi Pemikiran Rene Descartes Epistemologi merupakan pembicaraan mengenai bagaimana sebuah ilmu pengetahuan diperoleh. Dalam perjalanannya mencari kepastian, Descartes telah menemukan metode tersendiri. Yaitu dengan cara meragukan semua yang dapat diragukan. Kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Ia meragukan segala ilmu dan hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya ini adalah kemungkinan kekeliruan panca indra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan adanya demon jahat penipu. Ia seolah-olah bersikap sebagai seoarang skeptikus. Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, sebagaimana dikenal dalam karya Sextus Empirious, agak menjadi populer.[26] Menurut Descartes, untuk dapat memulai



sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.[27] Ciri utama dari filsafatnya adalah penekanan yang ia sangat menggarisbawahi pada kenyataan bahwa satu hal kita sebagai manusia seluruhnya dapat merasa seyakin-yakinnya, -bahkan oleh orang yang mengalami keraguan yang amat sekalipun—adalah ―keberadaan dirinya sendiri‖. Cogito, Ergo sum ( I think, therfore I am ). Seluruh sistem filsafatnya disusun untuk menghindarkan atau menjauhkan diri dari sifat ragu-ragu yang ditimbulkan dari dirinya sendiri. Sistem filsafatnya dipersembahkan untuk menguji bagaimana sesungguhnya seseorang dapat memahami segala apa yang ada di luar dirinya (outside); bagaimana membangun kembali fondasi yang kokoh untuk sebuah keyakinann yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hal-hal yang ada pada dunia di luar fondasi yang kokoh untuk kepercayaan terhadap adanya Tuhan.[28] Dia juga menunut bahwa kepercayaan kita sesungguhnya dimulai dari –seperti yang biasa berjaln dalam sistem berfikir deduktif dalam wilayah matematika—dari premis-premis aksiomatik tertentu, yang secara intuitif bersifat ―pasti‖, dan dari sana secara perlahan-lahan – lewat pengambilan kesimpulan deduktif-- ke arah kesimpulan-kesimpuln yang dapat dibuktikan secara meyakinkan dan kokoh.[29] F. Ontologi Rene Descartes ( substansi-atribut-modus) Descartes telah mencari hakikat sesuatu, akan tetapi agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribu atau sifat dasar, dan modus.[30] Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipkirkan seperti itusebenarnya hanya ada satu yaitu Tuhan. Segala sesuatu yang lain hanay dapat dipikirkan sebagai berada dengan pertolongan tuhan. Jadi sebutan substansi sebenarnya tidak dapat dngan cara yang sama diberikan Tuhan dan kepada hal-hal lain. Hal-hal bendawi dan rohani yang diciptakan memang dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian substansi itu, dan dalam prakteknya Descartes memasukkan jiwa dan materi dalam pengertian substansi juga. Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri, yang menentukan hakikat substansi itu. Sifat asasi ini mutlak perludan tidak dapat ditiadakan. Sifat asasi ini adanya diadakan oleh segala sifat yang lain. Yang diebut modus (jamak dari modi) adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah. Jelas dan teranglah sekarang bahwa segala substansi bendawi memiliki sebagai atribut atau sifat asasi; keluasan, dan memiliki sebagai modi; bentuk dan besarnya yang lahiriyah serta gerak dan perhentiannya. Dengan demikian segala benda tidk memiliki ketentuanyng kualitatif, yang menunjukkan kualitas atau mutunya. Seluruh realitas bendawi dihisabkan kedalam kuantitas atau bilangan. Oleh karena itu segala hal yang bersifat bendawi pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan-perbedaannya bukan mewujudkan hal yang asai, melainkan hanya tambahan saja. Jelas juga bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran,



sedang asasi benda adalah keluasan. Roh dapat dipikirkan dengan jelasdan terpilah-pilah,tanpa memerlukan sifat asasi benda. Oleh karena itu secara apriori tiada kemungkinan yang satu mepengaruhi yang lain, sekalipun dalam praktek tamak ada pengaruhnya.[31]



BAB III KESIMPULAN



Rene Decartes merupakan tokoh filsafat yang menganut paham rasinalisme yang menganggap bahwa akal adalah alat terpenting untuk memeperoleh pengetahuan. Dan menganggap bahwa pengetahuan indra dianggap sering menyesatkan. Lahir tahun 1596 M dan meninggal tahun 1650 M. Ia adalah anak ketiga dari seorang anggota parlemen inggris. Merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid‘ah-bid‘ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Belajar di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan. Dan pernah masuk tantara Belanda dan Bavaria. Dan akhirnya ia meninggal di Swedia tahun 1650 M setelah menerima panggilan Ratu Christine yang ingin belajar kepada dirinya. Dalam pernyataanyang ia katakan Cogito ergo sum, ia menyatakan bahwa sumber keyakinan itu berasal dari keragu-raguan. Maka dari itu dalam epistemologinya Descartes dengan menggunakan metode analitis dan dengan pendekatan filsafat rasional yang mendahulukan akal ia mengatakan bahwa ― aku berfikir maka aku ada‖. Dimulai dengan meragukan apa yang ada, segalanya, akan tetapi ia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya yag sedang berfikitr tidak dapat diragukan. Maka dia mengatakan aku berfikir, maka aku ada. Dalam ontologinya Descartes juga mengatakan bahwa agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribut atau sifat dasar, dan modus. Subtansi merupakan apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada ,yaitu Tuhan. Atribut adalah sifat asasi mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan,yaitu pemikiran. Pemikiran adalah perbuatan jiwa berdasarkan hakekatnya sendiri, bebas dari pada tubuh. Sedangkan modus adalah sifat-sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat diubah-ubah,yaitu pikiran- pikiran individual. Dengan itu ia mengatak jelas bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan.



DAFTAR PUSTAKA Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari Metodologi sampai Teofilosofi. . 2008. Bandung: Pustaka Setia. Bertebs , K. ,. Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius. Bakker, Anton., Metode-Metode Filsafat. 1986. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sudarsono. Ilmu Filsafat; suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta. Zubaedi. Filsafat Barat; Dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. 2010. Yogyakarta: Arruzz Media. Russell, Bertnand. Sejarah Filsafat Barat. 2002. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum.1990. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



[1] Zubaedi, Filsafat Barat; dari logika baru Descartes hingga revolusi sains ala Thomas Khun,(Yogyakarta: Arruzz Media, 2010) hlm.18, dikutip dari Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hlm.68. [2] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.248 diambil dari (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 107). [3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.129. [4] Bertnand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm.733. [5] Bertnand Russell, Sejarah Filsafat Barat, hlm.734. [6] Zubaedi, Filsafat Barat; dari logika baru Descartes hingga revolusi sains ala Thomas Khun,(Yogyakarta: Arruzz Media, 2010) hlm.18, dikutip dari Bertnand Russell, History of Western Philosophy, vol.1 (London : George Allen and UnminLtd, 1961), hlm.542. [7] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.249 diambil dari ( Juhaya S.Pradja, 2000 : 62-63) [8] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ...hlm.249. [9] Bertnand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm.735. [10] Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm.71. [11] Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, hlm.71. [12] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.250. [13]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm.48. [14] Diterjemahkan secara harfiah, perkataan Latin “cogito ergo sum” berarti “saya berfikir,jadi saya ada”. Tetapi yang dimaksudkan Descartes dengan “berfikir” ialah “menyadari”. Jika saya sangsikan, saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya. Dalam filsafat modern kata cogito sering kali digunakan dalam arti “kesadaran”.( K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm.49). [15] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 2011),hlm.49. [16] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.132.



[17] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.256 diambil dari ( Juhaya S.Pradja, 2000 : 67). [18] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 2011),hlm.49. [19] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.256 diambil dari ( Juhaya S.Pradja, 2000 : 67). [20] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.256 diambil dari ( Juhaya S.Pradja, 2000 : 67). [21] Bertnand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm.732 [22] Bertnand Russell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 733 [23] Keyakinan tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah iman.( Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja rosdakarya, 1990 ) hlm.129. [24] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum ; dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hlm.258 diambil dari ( Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004 : 107). [25] Atang Abdul hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum...hlm.257 diambil dari ( Juhaya S.Pradja, 2000 : 68 ). [26] Zubaedi, Filsafat Barat; Dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2010 ) hlm.20. [27] Zubaedi, Filsafat Barat...hlm.21 dikutip dari Harun hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm.20. [28] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.120 diambil dari Frederick Copleston, S. J. A History of Philosophy, Vol.IV (London: Search Press, 1985). [29] Amin Abdullah, Islamic Studies...hlm.121 ( Kritik dan komentar terhadap konsepsi pemikiran Descartes, lebih lanjut lihat Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science Hermeneutik and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983 ), khususnya bab I. [30] Sudarsono, Ilmu Filsafat; suatu pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.315. [31] Sudarsono, Ilmu Filsafat; suatu pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.316 dikutip dari DR. Harun Hadiwijono; Sari Sejarah Filsafat Barat, 2h :23. Diposkan oleh ulin nuha di 19.30



COGITO ERGO SUM PART I Posted by findracadabra on May 17, 2012 · Leave a Comment



Rene-Descartes



Sebuah kata kata menarik dari seorang filsuf bernama René Descartes yaitu “Cogito ergo sum” (French: “Je pense donc je suis”; English: “I think, therefore I am”) yang dalam arti indonesianya kurang lebih aku berfikir maka aku ada. Konsep ini kurang lebih mempunyai arti Descartes ingin mencari kebenaran dengan meragukan semua hal, meragukan benda benda bahkan meragukan dirinya. Yang akhirnya menciptakan sifat skeptis tujuannya agar membersihkan dirinya dari segala prasangka untuk menghindari jalan pikiran yang salah. Mungkin saja pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa kepada kebenaran namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada faktor X yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Walaupun pikiran mengalahkan dirinya ke arah yang salah tetapi ia tetap berfikir, dan ini satu satunya yang menurut dia jelas. Hingga ia mempunyai kesimpulan “ketika berpikir, sayalah yang berpikir (disarikan dari wikipedia) Point yang hendak penulis ambil dari kata kata Corgito ergo sum adalah, mempertanyakan semua hal. Tujuannya? Adalah mencari kebenaran. Gejala yang Descartes alami pernah penulis rasakan, mulai dari meragukan Tuhan, meragukan Kebenaran itu sendiri, tapi yang paling menarik dan konyol yang penulis alami adalah mempertanyakan semiotika (tanda) bahwa tangan kanan identik dengan kebaikan dan tangan kiri identik dengan sesuatu yang buruk. Bukan hanya dalam agama Abrahamic saja, tapi juga budaya dunia yang adat adat kesopanan menggunakan tangan kanan dalam bersalaman. parahnya orang akan merasa terhina bila diajak bersalaman menggunakan tangan kiri. Bukankah bentuk tangan kanan dan kiri itu sama? Hanya letaknya saja yang berbeda. Apakah Tuhan sebegitu bencinya dengan tangan kiri hingga kiri identik dengan hal negatif. mengabsolutkan tangan kanan sebagai kebenaran dan kiri sebagai sesuatu yang salah adalah suatu kepicikan bagi penulis saat itu. Hingga penulis berkesimpulan kanan kiri& benar salah adalah konstruksi budaya. Apakah berhenti disitu kepuasan untuk mencari kebenaran? Tidak Dan pada suatu ketika penulis pun tersadar, Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya dengan baik dan tepat serta ada adat istiadatnya. Minum, makan, berjabat tangan menggunakan tangan kanan. Masuk rumah, keluar rumah



menggunakan kaki kanan. Cebok menggunakan tangan kiri, masuk wc, masuk pasar menggunakan kaki kiri. Tuhan membagi porsinya agar tidak bercampur, sebagai logika “sikat gigi tidak tepat bila digunakan untuk sikat wc, walaupun mungkin masih bisa tetapi ke higienisan dari sikat gigipun akan diragukan” Itulah kenapa tangan kanan untuk makan dan tangan kiri untuk cebok, dan lain sebagainya. Segala sesuatu diatur sesuai porsinya agar tidak tercampur



.point lain yang penulis dapat adalah kita lebih banyak mempertanyakan



Tuhan daripada bertanya langsung kepadanya. Konyolnya kita lebih banyak berbicara tentang Tuhan daripada berbicara langsung kepadanya. Pencarian akan kebenaran memang tiada habisnya, begitula hakikat filosofi yang cinta akan kebenaran. Namun kadang ada beberapa pertanyaan yang tak dapat terjawab karena keterbatasan akal. COGITO ERGO SUM PART I Posted by findracadabra on May 17, 2012 · Leave a Comment



Rene-Descartes



Sebuah kata kata menarik dari seorang filsuf bernama René Descartes yaitu “Cogito ergo sum” (French: “Je pense donc je suis”; English: “I think, therefore I am”) yang dalam arti indonesianya kurang lebih aku berfikir maka aku ada. Konsep ini kurang lebih mempunyai arti Descartes ingin mencari kebenaran dengan meragukan semua hal, meragukan benda benda bahkan meragukan dirinya. Yang akhirnya menciptakan sifat skeptis tujuannya agar membersihkan dirinya dari segala prasangka untuk menghindari jalan pikiran yang salah. Mungkin saja pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa kepada kebenaran namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada faktor X yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Walaupun pikiran mengalahkan dirinya ke arah yang salah tetapi ia tetap berfikir, dan ini satu



satunya yang menurut dia jelas. Hingga ia mempunyai kesimpulan “ketika berpikir, sayalah yang berpikir (disarikan dari wikipedia) Point yang hendak penulis ambil dari kata kata Corgito ergo sum adalah, mempertanyakan semua hal. Tujuannya? Adalah mencari kebenaran. Gejala yang Descartes alami pernah penulis rasakan, mulai dari meragukan Tuhan, meragukan Kebenaran itu sendiri, tapi yang paling menarik dan konyol yang penulis alami adalah mempertanyakan semiotika (tanda) bahwa tangan kanan identik dengan kebaikan dan tangan kiri identik dengan sesuatu yang buruk. Bukan hanya dalam agama Abrahamic saja, tapi juga budaya dunia yang adat adat kesopanan menggunakan tangan kanan dalam bersalaman. parahnya orang akan merasa terhina bila diajak bersalaman menggunakan tangan kiri. Bukankah bentuk tangan kanan dan kiri itu sama? Hanya letaknya saja yang berbeda. Apakah Tuhan sebegitu bencinya dengan tangan kiri hingga kiri identik dengan hal negatif. mengabsolutkan tangan kanan sebagai kebenaran dan kiri sebagai sesuatu yang salah adalah suatu kepicikan bagi penulis saat itu. Hingga penulis berkesimpulan kanan kiri& benar salah adalah konstruksi budaya. Apakah berhenti disitu kepuasan untuk mencari kebenaran? Tidak Dan pada suatu ketika penulis pun tersadar, Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya dengan baik dan tepat serta ada adat istiadatnya. Minum, makan, berjabat tangan menggunakan tangan kanan. Masuk rumah, keluar rumah menggunakan kaki kanan. Cebok menggunakan tangan kiri, masuk wc, masuk pasar menggunakan kaki kiri. Tuhan membagi porsinya agar tidak bercampur, sebagai logika “sikat gigi tidak tepat bila digunakan untuk sikat wc, walaupun mungkin masih bisa tetapi ke higienisan dari sikat gigipun akan diragukan” Itulah kenapa tangan kanan untuk makan dan tangan kiri untuk cebok, dan lain sebagainya. Segala sesuatu diatur sesuai porsinya agar tidak tercampur



.point lain yang penulis dapat adalah kita lebih banyak mempertanyakan



Tuhan daripada bertanya langsung kepadanya. Konyolnya kita lebih banyak berbicara tentang Tuhan daripada berbicara langsung kepadanya. Pencarian akan kebenaran memang tiada habisnya, begitula hakikat filosofi yang cinta akan kebenaran. Namun kadang ada beberapa pertanyaan yang tak dapat terjawab karena keterbatasan akal.



Mungkin anda bertanya-tanya apa arti (makna) judul tulisan ini, berani bertaruh (sayang, tidak boleh dalam ajaran agama), bahwa sebagian besar lebih tahu makna yang pertama Cogito Ergo Sum dibandingkan Credo Ego Sum. Cogito Ergo Sum Benar…, kata yang pertama, cogito ergo sum, lebih dikenal dengan kata yang menunjukkan eksistensi manusia di dunia ini. kata tersebut merupakan ucapan terkenal dari Descrates. Ada apa dengan kalimat ini kok dikaitkan dengan Descartes?… kalimat ini berarti: “aku berfikir maka aku ada”, artinya jika manusia berfikir dengan menggunakan potensi luar biasa yang Allah anugerahkan (dan ini yang membedakan dengan ciptaan lain di alam jagat ini), yaitu otak, dapat dipastikan bahwa pada hakikatnya manusia tersebut „betul-betul ada sebagai manusia‟, sebaliknya, jika seorang manusia tidak



menggunakan pikirannya (tidak pernah berfikir dengan keras, cenderung menggunakan bagian terkecil dari kemampuannya otaknya) jangan disalahkan orang lain jika anda dikatakan „telah mati‟ karena tidak mampu berfikir. Saya pernah mengalami bagaimana prinsip cogito ergo sum menjadi kebenaran, kalimat inierat terkait dengan eksistensi kita sebagai manusia. Bagaimana terjadi? Dalam suatu sessi kuliah saya diberikan tugas untuk membuat makalah (sama dengan teman-teman lain), padahal kondisi saya saat itu lebih pantas untuk tidak mengerjakan membuat tulisan, apa pasalnya? Kesadaran mind saya belum sepenuhnya normal ,setelah selama kurang lebih 8 hari mengalami apa yang banyak orang menyebut, tidak hidup dan tidak mati, alias koma… Dalam kondisi seperti itulah, saya menyadari betul bagaimana kondisi psikis ternyata sangat mempengaruhi diri kita!!, dalam titik itu saya kemudian menyadari alasan orang melakukan bunuh diri di daerah saya (Gunungkidul, kebetulan tempatnya adalah tetangga desa, lihat buku tulisan Darmaningtyas berjudul Pulung Gantung) lebih banyak ditentukan oleh factor ketidakmampuan mengatasi masalah yang menghimpit. Dalam bukunya tersebut Darmaningtyas berkesimpulan bahwa fenomena bunuh diri dengan cara menggantung merupakan wujud jalan pintas menyelesaikan ketidakberdayaan menghadapi sebuah masalah (dalam hal ini adalah penyakit kronis yang menimpanya). Memang dalam konteks buku tersebut tidak keluar dari factor ketidakberdayaan ekonomi sehingga cara paling mudah dan murah adalah menggunakan seutas tali, bandingkan dengan harus membeli apotas yang membutuhkan modal yang lebih banyak..J Pikiran positif dalam alam bawah sadar kita ternyata sangat mempengaruhi hidup kita, ini kesimpulan saya. Pasalnya, tugas yang cukup banyak tersebut dapat diselesaikan tanpa harus meminta bantuan teman-teman mengerjakan!, sebabnya: dalam pikiran saya, saya tanamkan kuat bahwa “aku harus menyelesaikan tugas ini dengan caraku sendiri” karena ini sangat terkait erat dengan eksistensi saya dihadapan orang lain (terutama teman sekelas… hehe). Dan lebih bersyukur lagi, ternyata teman-teman saya banyak memberikan support (selain menyelesaikan tugas tentunya). Dua factor inilah yang kemudian membentuk kemauan kuat untuk membuktikan diri bahwa saya ADAsebagai manusia!!! Credo Ego Sum



Kalimat ini berarti “aku percaya maka aku ada”.Betul-betul keheranan yang saya rasakan ketika pada semester ke 3, seluruh kelas disibukkan dengan urusan membuat proposal tesis!!, dengan kondisi yang lebih membaik dibandingkan sebelumnya,tetap saja saya heran, kok cepet banget temanteman bikin tesis ya.. haha. Akhirnya dengan „terpaksa‟ saya ikut aja alur yang diciptakan. Pada fase ini belum muncul apa yang disebut dengan “aku percaya maka aku ada” dalam benak saya. Hingga ada suatu kejadian dimana eksistensi saya harus saya buktikan kembali..betul saja lebih dari 2 bulan saya mati-matian menyelesaikan tesis dengan cara yang bagi sebagian orang sangat ekstrim, >80% dari 2 bulan tersebut tidur malam setelah jam 12 malam!! Saat itu saya berfikir dengan cara sederhana saja: “aku percaya bahwa aku bisa” bagaimana hasilnya? Hasilnya adalah tesis„seadanya‟ yang meluluskan saya dari kuliah, karena kalimat saya percaya maka aku ada!. Pertanyaannya: kalimat mana yang anda suka untuk membuktikan bahwa anda ADA?? Cogito Ergo Sumataukah Credo Ego Sum?J NB: · Buat temen AAA, ada kang Yusuf, kang Yusri, Bos Saipul, kang Zaidun terima kasih telah mensupport selama ini, memang kalian sahabat luar biasa… terima kasih trik main kartunya, bermanfaat loh… hehe, khusushon mas Ajib.. matur nuwun sanget kagem ojek gratis antar jemput selama lebih dari 4 bulan… entah dengan cara apa diriku membalasnya… juga tementemen lain yang senantiasa memberikan support tiada terkira. · Juga buat teman-teman satu kontrakan (Said dan Aly), kalau tanpa kalian belum tentu jadi itu tesis, dan kalau tidak jadi tesis ya tulisan ini tidak bakalan ada donk. Ucapan ini sebagai pengganti ketiadaan ucapan terima kasih di tesis. Soale terkait dengan ucapan terima kasih buat yang dibawah ini · Buat Wahyudi, gara-gara ente, setitik kesalahan dalam berbahasa Indonesia jadi terlihat begitu besar… tapi jadi kalimat yang efektif dan efisien .. tenkyu · Buat seseorang… benerkan??? Kamu akhirnya bisa mengerjakan dan menyelesaikan. Nah tinggal pilih sekarangcogito ergo sum atau credo Ego sum? Oiya, pada akhirnya kembali kedirimu sendiri loh… J



FILSAFAT RENE DESCARTES 08/05/2013 · by Sean Ochan ·



A.



in paper. ·



Pendahuluan



Era filsafat modern dimulai sejak munculnya pemikiran positivisme dan rasionalisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak hal-hal yang bersifat metafisik.



Sedangkan rasionalisme secara umum diartikan sebagai teori yang menyatakan bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis yang bisa diterima oleh akal manusia. Ciri khas dari aliran filsafat ini adalah semboyan yang berbunyi ―Corgito Ergo Sum‖ yang berarti saya berpikir, maka saya ada.



Selain rasionalisme, ada beberapa aliran lain yang ikut meramaikan dunia akademik filsafat, diantaranya:



1.



Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa segala pengetahuan berasal dari pengalaman. Aliran ini menolak anggapan bahwa manusia membawa pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Tokoh-tokohnya antara lain David Hume, George Berkeley dan John Locke.



2.



Idealisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa mental dan ideasional sebagai kunci untuk mencapai kebenaran realitas. Tokoh-tokohnya antara lain Johan G. Fitcher, Hegel dan Immanuel Kant.[1]



Pada dasarnya aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk mengemukakan teori-teori pengetahuan untuk memperoleh kebenaran akan pengetahuan tersebut. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Dalam hal realitas yang bisa dijangkau oleh panca indera manusia, kebenaran dari pengetahuan tersebut bisa dibuktikan melalui pengujian secara ilmiah, pendekatan melalui akal pikiran terhadap benda-benda yang nyata yang bertemu langsung antara subjek dan objeknya. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra manusia dan bersifat abstrak, mendapatkan kebenaran pengetahuan tersebut bisa dilakukan dengan berpikir dan merasakan dengan pengalaman.



Dalam makalah ini akan dibahas teori filsafat rasionalisme dengan berbagai teori dan semboyan serta metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan maupun kebenarannya. Selain itu juga akan dipaparkan tokoh yang menggunakan teori pemikiran ini.



B.



Pengertian Rasionalisme



Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk akal, akal budi. Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:



1.



Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif, konseptual yang khas manusiawi.



2.



Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu pengetahuan rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.



3.



Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio atau dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat dimengerti/ditangkap.



Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua makna umum, yaitu:



1.



Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan akal budi atau menjadi masuk akal.



2.



Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.



Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.[2]Rasionalisme menjadi aliran baru dalam filsafat sejak Descartes mengemukakan hasil filosofinya dengan menggunakan pikiran dan rasionya untuk menguji kebenaran pengetahuan. Dasar-dasar dari aliran ini dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes yang kemudian dikenal sebagai Rasionalisme Kontinental. C.



Sejarah Hidup Descartes (1596-1650)



Descartes dikenal sebagai ―Penemu Filsafat Modern‖ dan ―Bapak Matematika Modern‖. Ia lahir di La Haye, sebuah kota kecil di daerah Tourine, Perancis. Pada tahun 1606 ia mengikuti pendidikan di Jesuit College yang berada di kota La Fleche. Selama menempuh studi disana, ia menjadi siswa kesayangan gurunya, walaupun Descartes menyatakan bahwa ia hanya mendapatkan sedikit ilmu dan lebih banyak memberikan perhatian pada studi matematika. Pada tahun 1616, Descartes mendapatkan gelar Baccalaureat dan Licence dalam bidang hukum dari University of Poitiers.[3] Pada tahun 1618, Descartes berangkat ke Belanda untuk bergabung dengan pasukan Perancis dibawah pimpinan pangeran Maurice dari Nassau. Disana ia bertemu dengan Isaack Beckman yang kemudian bersama-sama menciptakan sebuah nada musik yang dikenal dengan Compendium Musicae. Pada tahun 1619, ia berangkat ke Jerman dalam misinya bersama pasukan Perancis. Pada malam tanggal 10 November, setelah seharian merenung dan berpikir, ia mendapatkan mimpi yang ditafsirkannya sebagai pertanda dari Tuhan (divine sign) yang dianggap sebagai takdir hidupnya untuk menemukan kesatuan ilmu alam pada



matematika.[4]Pada masa itu ketertarikannya sangat tertuju pada hukum alam dan matematika yang diinspirasi oleh Isaac Beckman. Selama masa perang tersebut, Descartes lebih banyak melakukan perjalanan daripada menulis dalam bidang filosofi atau ilmu alam. Pada tahun 1622, ia kembali ke Perancis dan menetap selama beberapa waktu di Paris serta melakukan beberapa perjalanan di Eropa. Pada tahun 1628, Descartes menulis karya pertamanya yang tidak pernah terselesaikan yang berjudul Regulae ad Directionem ingenii (aturan dalam pengarahan pikiran) yang dikerjakannya dalam kurun waktu satu tahun. Karyanya tersebut menunjukkan bahwa Descartes telah menyibukkan diri dengan metode-metode untuk memajukan ilmu alam (scientific advance), sebuah metode yang berdasarkan inspirasi hitungan matematika, walaupun ditujukan sebagai metode penyelidikan rasional pada berbagai keadaan subjek dan hal-hal lain. Pada bulan November 1628, Descartes membuat dirinya terkenal melalui pertentangan (perbedaan pendapat) dengan Chandoux yang menganggap ilmu (science) hanya bisa dibangun dari kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan menurut Descartes, kepastian absolut yang menjadi dasar pengetahuan manusia dan ia mempunyai metode untuk membuktikannya.[5] Pada tahun tersebut, Descartes pensiun menjadi tentara dan pergi ke Belanda serta menetap disana sampai tahun 1649 dengan berulang kali berpindah alamat. Pada tahun 1629, Descartes menulis tentang Le Monde (The World) yang merupakan hasil penyelidikan ilmiahnya tentang alam. Ketika ia mendengar penghukuman Galileo yang mengajarkan sistem Copernican[6], ia membatalkan penerbitan Le monde tersebut. Kejadian itu merupakan hal penting dalam hidup Descartes yang menunjukkan sikap hati-hati dan kebijaksanaan terhadap otoritas yang berlaku dalam dirinya.[7] Pembatalan penerbitan buku tersebut juga mempengaruhi penerbitan karya Descartes berikutnya yang mana ditujukan untuk memperlihatkan kurangnya pengaruh ortodox dalam gaya pemikirannya. Pada tahun 1637, Descartes menerbitkan sebuah buku yang berjudul Discours de la Metode. Buku ini memuat tiga rumus dalam matematika dan hukum alam, yaituGeometry, Dioptric dan Meteors. Buku ini menjadi sebuah tanda penting bagi Descartes, baik dari segi kepadatan penjelasan tentang penemuan sistem Cartesian, autobiographical, dan kenyataan bahwa buku tersebut ditulis di Perancis. Buku ini ditujukan bagi kaum akademik yang diharapkan bisa memberikan masukan penting bagi Descartes. Model Perancis yang dikembangkan oleh Descartes dalam perkembangan ilmu matematika dan ilmu alam ini dihargai sebagai model ekspresi dari pemikiran abstrak bagi bahasa tersebut.[8] Pada tahun 1641, Descartes menerbitkan buku lain yang lebih membahas tentang hal-hal metafisik. Buku yang berjudul Meditationes de Prima Philosophia (Perenungan sebagai langkah awal berfilosofi) memuat enam langkah berpikir dalam filsafat.[9]Setahun kemudian ia menerbitkan edisi revisi dari buku Meditations dengan tujuh langkah berpikir dalam filsafat. Pada tahun 1643, filsafat Cartesian dianggap tidak layak untuk akademik di University of Utrecht dan Descartes mulai hubungan surat menyurat dengan putri Elizabeth dari Bohemia. Pada tahun berikutnya, Descartes mengunjungi Perancis dan menerbitkan tulisannya yang lebih formal dalam filsafat yang berjudul Principia Philosophiae(prinsip dalam berfilsafat). Selain memuat tentang filsafat Descartes, buku tersebut juga memuat tentang pandangan Descartes terhadap kosmologi (ilmu perbintangan) yang mana ia menyatakan bahwa ia berharap buku tersebut dapat digunakan sebagai bahan pelajaran bagi umat Kristen tanpa harus bertentangan dengan teks Aristoteles.



Pada tahun 1647, Descartes diberikan penghargaan dari raja Perancis dan menerbitkan Comment on a Certain Broadsheet serta mulai menulis tentangDescription of the Human Body. Pada tahun 1648, ia mendapatkan wawancara oleh Frans Burman di Egmond-Binne yang kemudian menjadi tulisan yang berjudulConversation with Burman.



Pada tahun 1649, Descartes berangkat ke Swedia atas undangan dari ratu Christina. Setelah beberapa lama menunggu ia menyerah setelah mendapati banyak ketidakpastian dari permintaan ratu Christina yang menyatakan bahwa ia akan dimasukkan ke dalam golongan filsuf terkemuka. Pada tahun ini Descartes juga menerbitkan buku Les Passions de l’ame (gairah jiwa). Tahun berikutnya, Descartes meninggal karena terserang penyakit pheneumonia sebagai akibat dari iklim yang ada di Swedia dan ketatnya jadwal yang diinginkan oleh sang ratu.



D.



Pemikiran Filsafat Descartes



Sebagai seorang filsuf, Descartes memiliki konsep sendiri tentang pengetahuan. Menurut beliau pengetahuan adalah keyakinan yang yang berdasarkan pada sebuah alasan yang kuat yang tidak bisa digoyahkan oleh alasan lain yang muncul kemudian. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada. Hal ini terlihat pada bukunya yang berjudul Meditations dimana ia menempatkan keraguan sebagai renungan pertama.



Descartes menyandarkan keraguannya pada semua kepercayaan yang ada dalam dirinya pada sebuah alasan, yaitu keyakinan yang tidak bisa digoyahkan, keyakinan yang nyata yang diketahui oleh orang umum yang biasa digunakan dalam prinsip matematika. Walaupun saya dalam keadaan sadar ataupun bermimpi, dua ditambah tiga hasilnya tetap lima. Oleh karena itu, Descartes meminta kita untuk berimajinasi sebuah jiwa yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang menyebabkan kita merasakan pengalaman yang kita miliki dan semua keyakinan yang berkaitan dengannya.[10] Menurut beliau, ada beberapa langkah untuk mencapai pengetahuan yang tidak ada lagi keraguannya. Dalam Ensiklopedi Filsafat disebutkan empat aturan dalam menjalankan metode ―keraguan‖ Descartes[11], yaitu: 1.



Menerima bahwasanya tidak ada sesuatu yang benar (true). Hal ini berguna untuk mencegah adanya dugaan dan prasangka dalam menentukan kebenaran, untuk menerima kebenaran itu apa adanya yang tidak ada celah untuk meragukannya kembali.



2.



Mengelompokkan berbagai masalah yang akan diperiksa sebanyak yang bisa dilakukan dan yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran tersebut, yang kemudian diselesaikan dengan cara yang paling baik/tepat.



3.



Memasukkan pemikiran subjek (peneliti/pemikir) sesuai dengan masalahnya, dimulai dari objek yang paling mudah dimengerti, kemudian meningkatkannya secara perlahan. Atau dengan cara mengetahui yang paling rumit sesuai dengan keadaan sekalipun hal tersebut tidak nyata, yang diantaranya tidak sesuai dengan peristiwa alam yang saling berkaitan satu sama lain.



4.



Yang terakhir adalah dengan memberikan penomoran terhadap semua kasus dengan lengkap dan meninjaukembali secara umum supaya terhindar dari ketiadaan (nothing).



Langkah-langkah diatas cukup rumit untuk dipahami karena ada beberapa hal yang terkesan vague. Langkah pertama cukup jelas dengan meragukan semua kebenaran yang ada agar tidak terjadi perselisihan antara kebenaran yang ada di dalam pikiran dengan



kebenaran yang ada dalam realitas alam. Hal ini bisa disebut dengan menghapuskan doktrin atau tradisi yang terdapat di dalam pikiran manusia dari ia dilahirkan hingga ia bertemu dengan sesuatu yang belum diketahui kebenaran aslinya.



Langkah kedua yaitu dengan mengelompokkan masalah-masalah yang ingin diteliti kebenarannya kemudian diselesaikan dengan cara yang tepat. Semua hal yang berkaitan dengan masalah yang ingin diketahui kebenarannya tersebut dikelompokkan sesuai tema dan inti permasalahannya agar tidak terjadi kesalahan di dalam memahami kebenaran yang ingin diungkap. Dengan begitu, kebenaran akan terbuka satu-persatu seiring dengan terpecahkannya masalah yang sudah dikumpulkan sebelumnya.



Langkah ketiga yaitu dengan memasukkan pemikiran subjek sesuai dengan masalahnya. Pada langkah ini, setelah semua masalah diketahui dengan jelas dan telah dilihat dari berbagai aspek yang meliputi hal tersebut, subjek mulai memasukkan pemahaman yang ada dalam pikirannya untuk membuka secara perlahan inti dari masalah tersebut, dimulai dari hal yang paling mudah hingga hal yang paling sulit, atau sebaliknya, dimulai dari hal yang paling rumit hingga bisa menjawab hal yang paling mudah. Misalkan meneliti kepribadian dan cara berpikir seseorang untuk mengetahui sejauh mana ia menilai kebenaran dari sebuah pengetahuan. Hal yang paling mudah bisa saja dengan mengetahui sejarah hidupnya, kemudian latar belakang intelektualnya, dilanjutkan dengan kebiasaannya dalam berpendapat hingga masuk ke alam pemikirannya. Atau sebaliknya dengan mencoba menerobos alam pikirannya dari gaya pengungkapan dan pemilihan bahasanya yang kemudian dilanjutkan dengan melihat kebiasaannya sehari-hari.



Langkah terakhir adalah verifikasi terhadap semua masalah yang ada dan memberikan tanda tertentu terhadap permasalahan yang sudah diselesaikan. Hal ini bertujuan agar tidak ada masalah yang tertinggal atau luput dari penyelesaian. Semua masalah yang telah diselesaikan ditinjau kembali untuk mendapatkan pemahaman yang tepat terhadap kebenaran yang didapatkan.



Langkah-langkah diatas terkesan cukup sulit untuk dilakukan dalam perenungan dan penelitian ilmu alam. Leibniz menanggapi metode tersebut dengan cara yang mudah, yaitu: ambil apa yang kamu perlukan, lakukan apa yang harus kamu lakukan, dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.[12] Adapun pemikiran filsafat Descartes yang dirangkum dalam wikipedia dibagi menjadi tiga bagian[13], yaitu: Pengetahuan yang Pasti. Menurut Descartes, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga pengetahuan yang bisa diragukan, yaitu:



o



Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Contohnya kayu lurus yang dimasukkan ke dalam air maka akan kelihatan bengkok.



o



Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan jatuh. Ia juga menyatakan bahwa mimpi yang berulang kali bisa memberikan pengetahuan tentang sesuatu.



o



Prinsip-prinsip logika dan matematika. Ia menyatakan bagaimana jika ada seorang makhluk yang bisa memasukkan ilusi ke dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matrix.



Menurut Decrates, eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya. Oleh karena itu tidak dapat diragukan lagi jika pikiran itu eksis. Sedangkan pikiran menurut Descartes adalah suatu benda berpikir yang bersifat mental, bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu ada, Descrates melanjutkan penyelidikan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada.



Ontologi Tuhan Dan Benda Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran dan pengalaman manusia karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan bisa diragukan dan tidak memenuhi sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan itu muncul karena ada yang menaruh pikiran itu ke dalam pikiran manusia, yaitu Tuhan tersebut.



Setelah membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes mencoba membuktikan benda material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada, bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan bahwa benda material itu ada. Jika pemahaman bahwa benda material itu ada hanya sebuah matrik kompleks yang menipu pikiran manusia, hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penipu dan bagi Descrates penipu adalah ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah makhluk sempurna sehingga Tuhan tidak mungkin menipu dan benda material itu ada.



Metafisika Menurut Descartes, realitas itu terdiri dari tiga hal, yaitu: benda material yang terbatas seperti objek-objek fisik, benda-benda mental yang terbatas seperti pikiran dan jiwa manusia, dan benda mental yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Ia juga membedakan pikiran dan tubuh manusia yang membawanya kepada pembagian ilmu, yaitu realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru seperti yang dibawa oleh Galileo dan Copernicus, dan realitas mental bagi ranah keilmuan seperti ilmu agama, etika dan sejenisnya yang tidak berkaitan dengan objek material.



Hasil pemikiran Descartes yang dijelaskan dalam tiga bagian diatas cenderung merupakan hasil refleksi yang disampaikannya dalam buku Meditations. Pengetahuan yang pasti dengan metode keraguannya adalah langkah awal dalam perenungan. Dilanjutkan dengan berpikir untuk menemukan eksistensi diri terdapat pada perenungan kedua. Pengetahuan akan Tuhan terdapat dalam perenungan ketiga. Perenungan keempat membahas tentang objek material. Pada perenungan kelima membahas tentang pembuktian keberadaan Tuhan. Pengetahuan akan metafisika dibahas dalam perenungan keenam.[14] Dibawah ini akan dijelaskan tentang enam langkah perenungan (meditasi) filsafat rasionalisme yang juga dianggap sebagai dasar awal terbentuknya aliran rasionalisme tersebut. Meditasi Pertama: Apa Saja yang Bisa Diragukan[15] Sejak dilahirkan, manusia diberikan pengetahuan yang diajarkan terus-menerus seiring pertumbuhannya, baik ajaran dari keluarga, lingkungan, masyarakat, sekolah ataupun yang lain yang merupakan refleksi dari pikirannya. Semua pengetahuan



tersebut tertanam dalam pikiran manusia, begitu dalam hingga apa saja yang ada dalam pikiran mereka semua dianggap benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan dan dimasukkan dalam pikiran tersebut. Ketika manusia mencapai titik kesadaran tertentu dimana dia berhadapan dengan realitas yang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran mereka selama ini, mulai timbul keraguan yang semakin dalam apakah pengetahuan tersebut sudah benar, ataukah masih perlu dikaji ulang.



Lebih jelasnya jika diilustrasikan pada diri penulis. Saya hidup dalam lingkungan yang mempunyai adat, tradisi dan agama. Saya terikat pada hukum-hukum yang berlaku pada tiga hal tersebut. Seiring pertumbuhan saya dan minat saya dalam mengetahui sebuah hal secara lebih dalam dan terperinci, saya melihat banyak perbedaan antara apa yang saya pelajari dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (realitas). Apa yang saya temukan dari hasil penglihatan, percobaan, dan berpikir lebih dalam (seeing deep insight)[16], mengantarkan saya pada sebuah kesadaran bahwasanya semua hal yang sudah tertanam di dalam pikiran saya dapat diragukan kebenarannya. Saya semakin tertarik untuk mengetahui hal tersebut dan berusaha untuk menemukan sebuah pengetahuan yang tidak dapat lagi diragukan kebenarannya. Descartes berkata :



―But to accomplish this, it will not be necessary for me to show all my opinions are falls, which is something i could perhaps never manage. Reasons now leads me to think that i should hold back my assent from opinions which are not completely certain and indubitable just as carefully as i do from those which are patently false‖.[17] Tidak semua pengetahuan yang tertanam di dalam pikiran harus diragukan, ada beberapa juga yang harus dipertahankan yang belum bisa diragukan. Untuk mencapai pengetahuan yang benar, alasan diperlukan sebagai tolak ukur bahwasanya pengetahuan itu tidak bisa diragukan kembali.



Cara untuk menolak semua pengetahuan yang dimiliki (opinions) dapat dilakukan dengan menemukan alasan untuk meragukan pengetahuan tersebut. Ketika kebenaran baru telah ditemukan dengan menggunakan alasan tersebut, maka kebenaran pengetahuan yang lama yang berada dalam pikiran akan hilang dengan sendirinya. Apapun yang saya terima sebagai hal yang paling benar harus saya yakinkan baik dalam sense (indera/perasaan) maupun melalui perasaan tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya menemukan bahwasanya perasaan dan sense saya ternyata menipu. Akan lebih bijak jika saya tidak mempercayai orang atau apapun yang telah menipu saya.[18] Walaupun sense kita terkadang menipu untuk mempercayai objek yang kecil dan jauh, ada keyakinan lain yang lebih tidak mungkin untuk diragukan walaupun itu berasal dari sense. Contohnya: saya sedang duduk diatas api, menggunakan pakaian musim dingin (jaket yang sangat tebal dan hangat) sambil memegang beberapa kertas. Pertanyaannya adalah apakah tubuh itu benar-benar milik saya? Apakah saya sedang bermimpi atau dalam keadaan sadar? Mimpi ataupun sadar, pengetahuan yang saya dapatkan itu ada dan tertanam dalam pikiran.[19] Ini adalah sebuah alasan yang tepat. Apapun keadaan saya, baik tidur ataupun terjaga, pengalaman yang saya rasakan dan pengetahuan yang saya dapatkan tetap sama. Ketika saya bermimpi sedang menggunakan jaket yang tebal, saya merasa jaket itu benar-benar ada dan pengalaman/pengetahuan yang saya dapatkan juga ada sekalipun ketika terbangun saya dalam keadaan tanpa busana. Jadi, apapun yang bisa dikhayalkan baik dari segi bentuk tubuh atau warna-warna dan apa yang ada di bumi itu nyata sekalipun hanya dalam pikiran kita.[20] Bisa disimpulkan bahwa fisika, astronomi, kedokteran dan disiplin ilmu lain yang memerlukan pengajaran (study) untuk menggabungkan sesuatu bisa diragukan. Sedangkan aritmatic, geometry dan hal-hal lain yang lebih sederhana sekalipun dia nyata atau tidak di dunia ini mengandung kepastian dan tidak bisa diragukan kembali.[21]



Meditasi Kedua: Pikiran Alami Manusia.[22] Seperti yang telah dijelaskan pada meditasi pertama, segala sesuatu yang dapat diragukan bisa dianggap sebagai hal yang palsu. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode untuk menemukan hal atau pengetahuan yang tidak bisa diragukan dan tidak bisa digoyahkan oleh hal lainnya. Sebuah pernyataan menarik dari Descartes dalam meragukan pengetahuan yang ada, yaitu:



―I will Suppose then, that everything I see is spurious. I will believe that my memory tells me lies, and that none of the things that it reports ever happened. I have no senses. Body, shape, extensions, movement and places are chimeras. So what is remains true? Perhaps just the one fact that nothing is certain.‖[23] Lebih lanjut, ia mempertanyakan siapa yang memasukkan pengetahuan dalam pikirannya, apakah itu Tuhan atau apapun sebutanNya. Tapi mengapa ia bisa berpikiran seperti itu sedangkan ada kemungkinan bahwa ia yang menuliskan pengetahuan tersebut ke dalam pikirannya. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa dirinya adalah sesuatu yang dia yakini ada (exist). Akan tetapi di sisi lain ia juga menerima bahwa ada kekuatan besar dan cerdas yang ikut mempengaruhi diri dan pikirannya. Menurut Descartes, dalam kasus ini ia menganggap bahwa keberadaan dirinya tidak dapat diragukan lagi. Sekalipun ada kekuatan di dalam dirinya yang mempengaruhi pikirannya, kekuatan tersebut tidak akan bisa meyakinkan bahwa dirinya tidak ada selama ia berpikir bahwa ia adalah sesuatu. Disinilah kemudian muncul istilah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada.[24] Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian yang terkait denganCogito Ergo Sum, antara lain:



o



Ungkapan tersebut merupakan kepastian pertama menurut Descartes. Sebelumnya sudah ada argumen Agustinus ―Si Fallor Sum‖, jika saya tertipu saya ada. Satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah kepastian eksistensi (keberadaan) kita sendiri.



o



Dengan ungkapan tersebut, Descartes mau menunjukkan suatu intuisi langsung, niscaya, dan tidak dapat diragukan, dimana ia mengenal dirinya sendiri secara jelas dan terpilah-pilah. Seseorang tidak dapat meragukan bahwa dia berpikir (ragu), karena dalam tindakan meragukan itu dia membuktikan bahwa hal tersebut ada (eksis) dan nyata.



o



Cogito Ergo Sum dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya atau aksioma yang jelas dengan sendirinya dan dari dasar ini Descartes mengembangkan sistem filsafatnya yang bersifat rasionalistis.[25]



Dari pola pikir bahwa ia adalah sesuatu (something), Descartes melanjutkan pembuktiannya untuk mengetahui siapakah dia sebenarnya. Dia mempertanyakan dirinya sendiri dan menjawab pertanyaan itu dengan cara yang unik, yaitu:



―What then did I formerly thinks I was? A man. But what is a man? Shall I say ‗a rational animal‘? No; for then I should have to enquire what an animal is, what rationality is, and in this way one question would lead me down the slope to other harder ones, and I do not now have the time to waste on subtleties of this kind…



What else I am? I will use my imagination. I am not the structure of limbs which is called a human body. I am not even some thin vapour which permeates the limbs – a wind, fire, air, breath, or whatever I depict in my imagination, for those are things which I suppose to be nothing..



But what then am I? A thing that thinks. What is that? A thing that doubts, understands, affirms, denies, is willing or unwilling, and also imagines and has sensory perceptions.‖[26] Perjalanan pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dirinya dan siapakah sebenarnya dirinya tersebut, Descartes menciptakan dua istilah yang dianggap sebagai pondasi dasar dalam pemikiran rasionalisme. Istilah yang pertama adalah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada. Dengan berpikir manusia sudah membuktikan jika dirinya ada (exist). Pikiran adalah kunci keberadaan manusia. Hal ini berimplikasi jika manusia atau sesuatu tidak berpikir maka dia tidak ada. Sedangkan istilah kedua yaitu Sum Res Cogitans, saya adalah sebuah benda yang berpikir.



Dari sini Descartes mulai menaruh pijakannya bahwa manusia adalah sebuah benda yang berpikir, benda yang mempunyai mental yaitu pikiran itu sendiri. Sebuah benda yang bisa meragukan, bisa mengerti, bisa menegaskan, bisa menolak, bisa berkehendak ataupun tidak berkehendak, bisa berimajinasi dan mempunyai pemikiran sendiri. Klaim seperti ini tentu bertentangan dengan ajaran agama yang menyatakan manusia adalah makhluk, bukan benda. Ini salah satu bukti rasionalitas dalam berfilsafat yang dikemukakan oleh Descartes.



Meditasi Ketiga: Keberadaan Tuhan.[27] Seperti yang telah disinggung pada meditasi pertama, Descartes mengemukakan bahwasanya ada sebuah kekuatan besar dan memiliki kecerdasan yang memasukkan pengetahuan ke dalam pikiran manusia. Kekuatan besar dan memiliki kecerdasan yang digambarkan Descartes sebagai makhluk yang sempurna ini disebut sebagai Tuhan. Descartes melanjutkan pemikirannya untuk mengetahui eksistensi Tuhan.



Setelah menyatakan dirinya adalah benda yang bisa berpikir, Descartes mencoba untuk melanjutkan pemikirannya terhadap sesuatu yang berada dalam dirinya yang belum ia sadari. Kembali ke pemikiran awalnya bahwa ia meragukan berbagai hal yang ada di dunia ini, baik itu bumi, langit, bintang dan apapun yang bisa dipahami dengan sense (indera/perasaan). Walaupun begitu, ia menyadari bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang sudah terbiasa ia yakini sebagai sumber ide yang muncul di pikirannya.[28] Disini ia mulai membuka kembali pengetahuan yang ada dalam pikirannya. Descartes berkata:



―Indeed, the only reason for my later judgement that they were open to doubt was that it occured to me that perhaps some God could have given me a nature such i was deceived even in matters which seemed most evident. And whenever my preconceived believe in the supreme power of God comes to mind, I can not but admit that it would be easy for him, if he so desired, to bring it about that I go wrong even in those matters which I think I see utterly clearly with my mind‘s eye.‖[29] Dari pernyataan tersebut, Descartes mengakui bahwa Tuhan itu ada dan mempunyai kemampuan untuk mengubah persepsi atau pandangannya menjadi salah jika Tuhan berkehendak sekalipun Descartes sudah melihat dengan jelas melalui mata dan pikirannya. Pernyataan Descartes berikutnya adalah pijakan awal untuk mengetahui keberadaan Tuhan dengan meragukan adanya Tuhan, yaitu:



―And since I have no cause to think that there is a deceiving God, and I do not yet even know for sure there is a God at all, any reason for doubt which depends simply on this supposition is very slight and, so to speak, metaphysical one. But in order to remove even this slight reason for doubt, as soon as the opportunity arises I must examine whether there is a God, and, if there is, whether he can be deceiver.‖[30]



Langkah pertama yang dilakukan Descartes untuk membuktikan keberadaan Tuhan yaitu dengan memisahkan pikirannya dalam beberapa hal yang terperinci dan membedakan mana yang benar (truth) dan mana yang palsu (falsity). Hal ini berguna agar ia bisa mengkategorikan mana yang ia sebut dengan kehendak (volition) atau perasaan (emotion) dan yang mana ia sebut dengan penilaian (judgement). Ketika pengetahuan yang ia terima berdasarkan kehendak dan perasaan yang ada dalam pikirannya, maka tidak ada kekhawatiran pengetahuan tersebut jatuh kepada kepalsuan (falsity). Ia juga menjaga pikirannya agar tidak sampai membuat penilaian (judgement) yang pada akhirnya membuat ia melakukan kesalahan. Diantara ide-ide yang muncul dalam pikirannya, beberapa merupakan pengetahuan yang didapatkan sejak lahir, beberapa didapatkan dengan cara tidak sengaja[31], dan beberapa lainnya merupakan pengetahuan yang ditemukan dalam proses berfilsafatnya.[32] Langkah selanjutnya, Descartes memisahkan antara objek dan ide. Objek adalah hal di luar pikiran yang menjadi sumber pengetahuan yang bisa ditangkap langsung oleh indera manusia. Sedangkan ide adalah persepsi yang ada dalam pikiran tentang objek tersebut sekalipun objek tersebut tidak ada (exist) atau abstrak.



Ia mencontohkan matahari untuk menjelaskannya. Matahari adalah sebuah objek yang bisa dilihat langsung oleh mata atau indera manusia. Dengan penglihatan langsung, matahari terlihat kecil bahkan jauh lebih kecil dibandingkan bumi. Ketika sudah menggunakan ilmu astronomi dalam melihat matahari, ternyata matahari begitu besar, bahkan jauh lebih besar daripada bumi.[33] Ada dua ide yang muncul dari sebuah objek yaitu matahari. Ide pertama bahwa matahari itu terlihat kecil dan memancarkan cahaya, ide kedua bahwa matahari itu ternyata jauh lebih besar daripada bumi. Adapun ide yang muncul tanpa ada objek nyata dicontohkan dalam beberapa bentuk. Diantaranya adalah panas. Panas bisa dirasakan oleh kulit kita sekalipun objeknya tidak ada atau tidak terlihat[34]. Panas dari api maupun dari pancaran sinar matahari memunculkan satu ide tentang sesuatu yang abstrak tapi eksis. Menurut Descartes, ide tentang panas sekalipun dia tidak terlihat, adalah sebuah bukti bahwa panas itu ada. Jadi ada sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh indera manusia tapi ada (exist) di sekitar mereka. Begitu juga bunyi. Kita hanya bisa mendengar dan mengetahui suara sirene dari jenis gelombang udara yang ditimbulkan. Kita yakin sirene itu ada walaupun kita tidak tahu persis bagaimana bentuknya.[35] Berangkat dari gagasan diatas, Descartes mencoba untuk menjelaskan tentang Tuhan. Dia berkata:



―Undoubtly, the ideas which represent subtances to me amount to something more and, so to speak, contain within themselves more objective reality than the ideas which merely represent modes or accidents. Again, the idea that gives me my understanding of a supreme God, eternal, infinite, omniscient, omnipotent and the creator of all things that exist apart from him, certainly has in it more objective reality than the ideas that represent finite substance.‖[36] Dari pernyataan diatas, secara tidak langsung Descartes mendefinisikan Tuhan sebagai sesuatu yang luar biasa, abadi, maha besar, maha mengetahui, maha kuasa dan pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dalam pernyataan lain ia menyebutkan bahwa Tuhan ketika menciptakan dia telah menempatkan ide tentang eksistensi Tuhan ke dalam pikiran Decrates sebagai tanda bahwa ia (manusia) adalah hasil ciptaan-Nya.[37] Meditasi Keempat: Truth and Falsity.[38] Setelah mengetahui keberadaan Tuhan, Descartes menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak sempurna. Dengan menggunakan konsep ―Thingking thing‖, sesuatu yang berpikir, Descartes menyadari ada sesuatu atau makhluk (being) yang memiliki kesempurnaan sebagai akibat dari keberadaan dirinya yang tidak sempurna. Makhluk tersebut, yang disebut Descrates sebagai Tuhan, adalah sesuatu yang berbeda dari dirinya. Dia mengakui kenyataan bahwa dirinya memiliki keraguan, tidak



sempurna dan bergantung pada sesuatu, yang kemudian memunculkan gagasan tentang sesuatu yang berdiri sendiri dan sempurna yang disebut Tuhan. Dia juga menyadari bahwa kemampuan berpikir manusia (human intellect) tidak bisa mengetahui sesuatu dengan sangat jelas dan pasti. Dari sini, dia mengakui bahwa Tuhan yang memiliki kebijaksanaan dan mengetahui apa yang tersembunyi dibalik pengetahuan sepenuhnya (secara pasti).[39] Dalam menjelaskan tentang kebenaran dan falsity, Descartes lebih banyak membandingkan kemampuan dirinya dengan kemampuan Tuhan. Hal ini juga mengantarkan ia pada kesadaran dimana ia adalah makhluk yang bisa berbuat salah atau menuju kesalahan, sedangkan Tuhan selalu menyampaikan kebenaran yang tidak mungkin bisa disalahkan.



Sebagai langkah awal, Descartes menanamkan dalam pikirannya bahwa Tuhan tidak mungkin menipu dirinya. Hal ini disebabkan segala macam bentuk tipu daya adalah bukti dari ketidaksempurnaan. Walaupun memiliki kemampuan untuk menipu sebagai bukti maha kuasa Tuhan, keinginan untuk menipu itu sendiri tidak diragukan lagi adalah sebuah kelemahan dan ketidaksempurnaan, jadi hal tersebut tidak mungkin terdapat pada Tuhan yang sempurna.[40] Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Descartes adalah dengan menyadari bahwa ia memiliki pengetahuan (faculty) dalam menilai sesuatu (judgement). Seperti halnya segala yang ada dalam dirinya, ia menerima bakat tersebut dari Tuhan. Karena Tuhan tidak mungkin menipu dirinya, maka ia yakin bahwa Tuhan tidak akan memberikan bakat (pengetahuan) yang bisa mengantarkan dirinya kepada kesalahan jika ia menggunakan bakat tersebut dengan benar. [41] Descartes menyadari bahwa tidak mungkin ada celah untuk berbuat salah atau salah menilai jika semua yang ada pada dirinya datang dari Tuhan. Oleh karena itu, jika ia terus berpikir tentang Tuhan dan memberikan seluruh perhatiannya kepada Tuhan, dia tidak menemukan sebab apapun untuk berbuat salah (error or falsity). Akan tetapi, jika ia kembali kepada dirinya sendiri, dengan pengalaman yang ia miliki, ia menyadari bahwa dirinya rawan untuk melakukan kesalahan (error). Dari sini ia mengetahui bahwa ia mengakui dan berpikir secara nyata tentang hal-hal positif yang berasal dari Tuhan yang maha sempurna, dan juga ia mengakui ada sisi negatif dan kekurangan sebagai akibat dari ketidaksempurnaan tersebut.[42] Di sisi lain Descartes menjelaskan bahwa kekeliruan (error) disebabkan kurangnya pengetahuan yang ada dalam dirinya. Hal ini jauh berbeda dengan kemampuan Tuhan yang maha tahu. Lebih lanjut Descrates menjelaskan perbedaan antara dirinya dan Tuhan:



―For since I now know that my own nature is very weak and limited, whereas the nature of God is immense, incomprehensible and infinite. I also know without more ado that he is capable of countless things whose cause are beyond my knowledge.‖[43] Hal itulah yang menjadi alasan bagi Descrates untuk mencari tahu sebab yang tidak bisa diungkap dalam ilmu fisika dengan pertimbangan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk mengetahui tujuan Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah ciptaan Tuhan itu sempurna sesuai dengan diri-Nya yang sempurna, jangan hanya melihat pada satu ciptaan-Nya saja, akan tetapi lihat seluruh dunia secara luas.



Langkah berikutnya yang digunakan Descartes adalah dengan melihat jauh ke dalam dirinya sendiri dan menyelidiki kekurangan atau ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya yang menyebabkan ia bisa melakukan kekeliruan. Ia menyadari ada dua pengetahuan yang terdapat dalam dirinya, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada pilihan dan pengetahuan yang didasarkan pada kebebasan berkehendak, yang mana kedua pengetahuan tersebut bergantung pada kemampuan berpikir (intelektual) dan kehendak secara bersamaan. [44] Intelektual membuat ia mampu untuk menyadari dimana subjek dimungkinkan untuk memberikan penilaian yang tidak ada celah kekeliruannya. Akan tetapi ada hal-hal dimana ia tidak mempunyai atau kurang pengetahuan sehingga bisa mengarahkan



penilaiannya pada kesalahan. Hal ini disebabkan karena ia tidak mempunyai alasan untuk membuktikan bahwa Tuhan seharusnya memberikan ia pengetahuan yang luas daripada yang ia miliki. Disamping itu, ia tidak bisa mengeluh atas kebebasan berkehendak dan memilih yang diberikan Tuhan kepadanya yang bisa mengantarkan ia kepada kekeliruan dan ketidaksempurnaan. Ia juga tidak bisa mengeluh kenapa Tuhan memberikan keinginan (kebebasan) yang jauh lebih besar daripada intelektualnya.[45] Sebagai kesimpulan dari meditasi keempat ini, Descartes menyadari bahwa semua kebenaran itu datang dari Tuhan yang memberikan pengetahuan untuk mencapai kebenaran tersebut, dan segala kekeliruan yang ada adalah akibat dari keinginan manusia yang banyak serta kebebasan yang ia miliki yang diberikan Tuhan melebihi pengetahuan, karena manusia itu tidak sempurna dan kurang pengetahuannya sehingga wajar jika mereka berbuat salah.



Meditasi Kelima: Inti dari Benda Materi dan Keberadaan Tuhan.[46] Descartes menyatakan bahwa setelah ia mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari untuk memperoleh kebenaran, ia anggap sebagai cara untuk lepas dari keraguan yang menjadi pondasi metodenya dan bisa mencapai beberapa kepastian yang berkaitan dengan objek material.[47] Sebelum melakukan penyelidikan tentang benda-benda lain yang eksis di luar dirinya, Descartes memikirkan kembali gagasangagasan tentang benda-benda yang eksis dalam pikirannya yang mana yang berbeda (distinct) dan yang mana yang membingungkan (confused).[48] Hal pertama yang ingin dijelaskan oleh Descartes adalah jumlah (quantity). Hal-hal yang bisa dijumlahkan atau bisa dihitung adalah hal yang bisa dibedakan (distinctly) menurut Descartes meliputi panjang, lebar dan kedalaman. Ia juga memasukkan beberapa bagian dalam hal tersebut yang meliputi ukuran, bentuk, posisi dan gerak tetap, dan pada gerak tersebut ia menentukan durasinya. Selain itu, ia juga membedakan benda-benda yang tidak terhingga seperti bentuk, angka dan gerakan. Kebenaran dari benda-benda tersebut adalah mereka selalu seimbang dengan alam dan tidak memerlukan kajian lebih dalam karena mereka akan tetap seperti itu.[49] Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian, Descartes menemukan banyak gagasan tentang benda-benda yang mungkin saja tidak eksis di luar dirinya dan tidak bisa dikatakan tidak ada (nothing). Ia kemudian memberikan contoh dalam bentuk segitiga yang mana sering digunakan dalam rumus-rumus matematika. Segitiga tersebut merupakan sebuah benda luar yang masuk dalam pikirannya hingga ia bisa memastikan bahwa segitiga itu ada dan nyata. Berbeda ketika membicarakan tentang Tuhan. Tuhan ditemukan dari hasil perenungan jauh ke dalam hati (diri) dan pikiran yang mana Tuhan akan selalu ada dan mempunyai alamNya sendiri seperti halnya bentuk dan angka yang mengikuti sifat alaminya.[50] Lebih lanjut ia menjelaskan dua bagian penting dari alam, yaitu esensi (inti) dan eksistensi (keberadaan). Manusia merupakan esensi dari bukti eksistensi Tuhan. Ada pernyataan menarik dari Descartes ketika membahas eksistensi Tuhan, yaitu:



―However, even granted that I cannot think of God except as existing, just as I cannot think of a mountain without a valley, it certainly does not follow from the fact that i think from mountain with a valley that there is mountain in the world, and similiarly, it does not seem to follow from the fact that i think of God as existing that he does exist. For my tought does not impose any necessity on things, and just as I imagine a winged horse even though no horse has wings, so i may be able to attach existence to God even though no God exist.‖[51] Dari pernyataan diatas, Descartes dengan rasionalitasnya tidak terlalu yakin dengan keberadaan Tuhan, tetapi ia yakin bahwa apa yang eksis dalam pikirannya adalah eksis menurut pemikirannya walaupun tidak ada bukti nyata akan keberadaan hal tersebut.



Descartes menyimpulkan meditasi ini dengan menyatakan bahwa ia telah menyadari akan keberadaan Tuhan dan mengerti bahwa semua hal bergantung pada-Nya, dan Tuhan bukan seorang penipu. Ia juga membuat kesimpulan bahwa semua hal yang sudah jelas baginya dan bisa dibedakan dengan benar merupakan komponen yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran. Ia juga menyatakan, selama ia masih bisa mengingat dengan jelas dan menyadari dengan nyata tentang sesuatu, maka tidak ada argumen atau alasan lain yang bisa membuat ia ragu akan hal tersebut, bahkan ia memiliki kebenaran dan pengetahuan yang pasti akan hal tersebut.[52] Meditasi Keenam: Keberadaan Benda Material dan Perbedaan Jelas Antara Pikiran dan Tubuh.[53] Sebelum menjelaskan tentang benda material, Descartes menanamkan dalam pikirannya bahwa ada kemungkinan benda material itu ada dan tidak ada keraguan lagi bahwa Tuhan memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun yang mana ia memiliki kemampuan untuk menyadari ciptaan Tuhan tersebut. Selain itu ia juga menyatakan bahwa keberadaan benda material itu dinyatakan oleh bakat imajinasi yang mana ia menyadari penggunaannya ketika mengarahkan pikirannya kepada benda material. Descartes berkata: ―For when I give more attentive consideration to what imagination is, it seems to be nothing else but an application of the cognitive faculty to a body which is intimately present to it, and which therefore exist‖.[54] Langkah awal yang digunakan Descartes untuk menjelaskan benda material adalah menjelaskan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar (pure understanding). Ia memberikan contoh ketika ia membayangkan sebuah segitiga. Ia tidak sekedar memahami bahwa itu bentuk yang terbuat dari tiga garis, akan tetapi pada saat yang sama ia juga melihat tiga garis tersebut dengan mata pikirannya (mind‘s eye) seperti yang diperlihatkan padanya. Hal ini ia sebut sebagai imajinasi. Ia menyadari imajinasi memerlukan cara yang khas dan unik dari pikiran yang mana tidak membutuhkan pemahaman dalam mengetahuinya. Cara berpikir yang khas ini secara jelas menunjukkan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar.[55] Dari kemampuan berimajinasinya, Descartes meyakini ada sesuatu yang memberikan pengetahuan padanya tentang hal-hal yang belum bisa dicapai oleh inderanya sehingga ia bisa membayangkan sesuatu sekalipun sesuatu itu belum ada. Kemudian ia membedakan dengan jelas perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar, yaitu: ―Ketika pikiran memahami sesuatu, ia akan menggali pengetahuan yang ada di dalam pikiran tersebut dan mencari gagasan yang ada di dalamnya. Sedangkan ketika berimajinasi, pikiran akan menjelajahi seluruh tubuh dan mencari sesuatu pada tubuh tersebut yang sesuai dengan gagasan yang dipahami oleh pikiran atau disadari oleh perasaan‖.[56] Disamping menggunakan teori matematika yang bersifat exact seperti contoh diatas, ada kebiasaan imajinasi lain yang digunakan oleh Descartes. Seperti membayangkan tentang warna, suara, rasa, sakit dan yang lain sejenisnya.



―Now i perceive this thing much better by means of the senses, which is how, with the assistance of memory, they appear to have reached the imagination. So in order to deal with them more fully, I must pay equal attention to the senses, and see whether the things which are perceived by means of that mode of thinking which i call ‗sensory perception‘ provide me with any sure argument for the existence of corporeal things.‖[57] Dalam pernyataan diatas ia mengenalkan sebuah istilah baru yang disebut dengansensory perception (tanggapan pancaindera) yang merupakan sebuah cara berpikir baru untuk hal-hal yang abstrak yang memberikan argumen pasti terhadap eksistensi benda-benda jasmani.



Kemudian ia menjelaskan metode yang dipakai untuk membedakan antara pikiran dan tubuh. Metode ini dimulai dengan mengembalikan semua hal yang disadari atau dipahami oleh panca indera dan menganggap bahwa hal-hal tersebut adalah benar, menemukan alasan untuk memikirkan hal ini (perbedaan tubuh dan pikiran). Kemudian menetapkan alasannya dan menempatkan



hal-hal tersebut dalam keraguan. Langkah terakhir adalah mempertimbangkan satu-persatu yang mana yang harus diyakini kebenarannya.[58] Langkah paling awal adalah kesadaran dengan menggunakan panca indera bahwa ia memiliki kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain yang merupakan bagian dari dirinya. Ia juga menyadari bahwa ia bisa merasakan sesuatu yang menyenangkan seperti kebahagiaan dan yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit. Ia juga menyadari bahwa dirinya memiliki rasa yang bermacam-macam seperti rasa lapar, haus, maupun hal-hal lain kecewa, sedih, marah dan lain sebagainya. Selain itu ia juga bisa mengetahui adanya cahaya, warna, bau dan rasa. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia harus makan, merasa kering ketika kehausan dan dengan refleks pikirannya mengatakan ia harus minum, kecuali karena hal tersebut terjadi secara alami.[59] Descartes berpendapat bahwa tubuh manusia seperti sebuah mesin yang tersusun dari tulang, saraf, otot, urat, darah dan kulit. Sekalipun dalam tubuh tersebut tidak terdapat pikiran, ia tetap melaksanakan semua gerakan dengan alami yang mana gerakan tersebut tidak disertai dengan kehendak atau keinginan sebagai akibat ketiadaan pikiran.[60] Selanjutnya Descartes mengemukakan hasil observasi pertamanya. Disini ia menyatakan ada perbedaan besar antar pikiran dan tubuh, tubuh dengan alaminya bisa dibagi (terpisah) sedangkan pikiran tidak dapat dipisahkan. Ketika ia memikirkan tentang pikirannya, ia tidak bisa membedakan bagian-bagian dari dirinya, ia memahami dengan jelas bahwa pikiran adalah sesuatu yang menyatu (single) dan lengkap.[61] Walaupun pikiran sepertinya menyatu dengan tubuh, akan tetapi jika ada bagian tubuh yang terlepas (cut off), tidak ada bagian dari pikiran yang ikut terlepas.[62] Pengamatan berikutnya Descartes menyatakan bahwa pikiran dipengaruhi secara langsung oleh bagian tubuh kecuali otak, atau mungkin bagian kecil dari otak yang mana mengandung nalar (common sense). Ketika bagian kecil tersebut dalam keadaan memberitahukan, ia membuat sebuah sinyal ke dalam pikiran, sekalipun bagian lain yang ada di tubuh berada dalam kondisi yang berbeda.[63] Pengamatan terakhir Descartes menjelaskan bahwa gerakan apapun yang terjadi dalam bagian kecil otak secara langsung mempengaruhi pikiran yang menciptakan hanya satu sensasi yang keterkaitan. Pengalaman menunjukkan bahwa perasaan itu terjadi secara alami dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, tidak ditemukan hal apapun yang menyalahi kekuasaan dan rahmat Tuhan.[64] Sebagai kesimpulan dari meditasi terakhir ini, Descartes menyatakan bahwa pikiran memiliki alurnya sendiri yang bergerak bebas untuk menemukan pengetahuan dan membuktikan kebenaran sebagai akibat adanya keraguan dalam pengetahuan tersebut. Sedangkan tubuh adalah sebuah mekanisme yang bergerak secara alami dan terpisah dari pikiran walaupun pada dasarnya adalah satu kesatuan. Tubuh juga berfungsi sebagai proyeksi dari pikiran dan menangkap hal-hal yang kemudian diolah oleh pikiran untuk menjadi sebuah pengetahuan. Kombinasi dari tubuh dan pikiran merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada dan menjadi salah satu masterpiece ciptaan-Nya yang paling sempurna dari sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya.[65] E.



Rasionalisme dalam Filsafat



Rasionalisme muncul sebagai aliran filsafat ketika Descartes mulai berfilosofi dan menyampaikan hasil pemikirannya kepada khalayak umum. Rasionalisme klasik era Descartes merupakan awal dari terbentuknya pemikiran filsafat yang menyandarkan pengetahuan dari hasil berpikir. Aliran filsafat ini juga disebut dengan rasionalisme kontinental.



Menurut Lorens Bagus, ada beberapa ajaran pokok aliran rasionalisme[66], yaitu: 1.



Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal, tentang apa yang ada dan mengenai strukturnya serta tentang alam semesta pada umumnya.



2.



Realitas atau kebenaran tentang realitas dapat diketahui secara tidak tergantung dari pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris.



3.



Pikiran dapat mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang mendahului pengalaman apapun juga (selain kebenaran analitis). Kebenaran-kebenaran ini adalah gagasan bawaan dan secara isomorfis cocok dengan realitas.



4.



Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman inderawi ini.



5.



Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-inderawi tetapi dengan kriteria konsistensi logis.



6.



Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni.



7.



Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri, yang timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar, nyata dan pasti.



8.



Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas (bentuk) logika. Ia adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional yang aturannya cocok dengan logika.



9.



Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap deduksi dari prinsip-prinsip atau hukumhukumnya.



Rasionalisme sebagai filsafat ilmu merupakan lawan langsung dari positivisme. Menurut rasionalisme, semua ilmu berasal dari pemahaman intelektual kita yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik.[67] Rasionalisme merupakan sebuah filsafat yang menekankan pada penggunaan akal pikiran. Pikiran merupakan satu-satunya makhluk yang bisa menemukan kebenaran dari proses interaksi dengan alam, baik objeknya real dan dapat dilihat secara langsung maupun objek yang hanya bisa diketahui dengan mengetahui objek yang berkaitan sebagai alasan keberadaan dari objek tersebut.



F.



Epistimologi Pemikiran



Epistimologi pemikiran Descartes tentang rasionalisme terbagi pada beberapa pengertian, yaitu:



Sumber dan Hakikat Pengetahuan Sumber pengetahuan adalah rasio atau akal budi. Semua pengetahuan berasal dari akal. Dengan berpikir, manusia bisa menjelaskan semua fenomena yang terjadi di sekitarnya serta bisa menunjukkan eksistensi dan menguji setiap pengetahuan yang ia terima selama ini sehingga kemudian ia bisa mendapatkan sebuah pengetahuan baru yang ia yakini kebenarannya.



Sedangkan hakikat pengetahuan adalah apriori, yaitu setiap manusia memiliki landasan pengetahuan dasar tanpa harus mengalami secara langsung atau pengetahuan sebelum pengalaman. Pengetahuan yang dimiliki dan diberikan sejak lahir harus diragukan kebenarannya. Dengan meragukan pengetahuan tersebut, manusia bisa menguji kembali pengetahuan itu satu persatu hingga didapatkan pengetahuan yang benar dan tidak bisa diragukan kembali.



Alat Pengetahuan. Alat pengetahuan yang digunakan adalah akal pikiran. Akal pikiran manusia adalah ciptaan dari Tuhan yang maha sempurna dan sebagai bukti dari kesempurnaan Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, ia membedakan antara imajinasi dan pemahaman dasar. Imajinasi adalah perluasan dari pemahaman dasar terhadap suatu objek yang diolah oleh pikiran sehingga menemukan sebuah pengetahuan baru.



Metode Memperoleh Pengetahuan. Langkah dasar yang dilakukan Descartes dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan berpikir. Setelah ia menyadari akan proses berpikirnya, kemudian ia meragukan semua pengetahuan yang ia miliki dan mulai menyelidiki pengetahuan itu satu persatu dalam pikirannya. Dalam menentukan mana pengetahuan yang bisa dan tidak bisa diterima, ia menggunakan alasan untuk memutuskannya hingga mendapatkan sebuah pengetahuan yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya.



Teori Kebenaran.[68] Teori yang digunakan adalah teori koherensi, yaitu suatu pernyataan dinilai benar jika tidak bertentangan dengan pernyataanpernyataan lain yang telah dipastikan kebenarannya sebelumnya, atau ada urutan logis antar kebenaran pernyataan yang ada dengan kebenaran pernyataan berikutnya.



Pengujian atau Validasi kebenaran Pengetahuan. Dari penjelasan pada pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa Descartes cenderung mengumpulkan seluruh pengetahuan yang ia miliki, kemudian mengujinya satu persatu hingga diperoleh pengetahuan pasti yang tidak bisa diragukan kembali. Metode ini lebih dikenal dengan metode deduksi, yaitu mengumpulkan semua pengetahuan umum yang kemudian ditarik satu kesimpulan dalam sebuah pengetahuan yang pasti.



Descartes berpendapat bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan yang diterima dari Tuhan sudah terjamin kebenarannya. Disamping itu, manusia memiliki akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan yang maha sempurna, sehingga segala pikiran yang diberikan oleh Tuhan tersebut adalah benar dan pengetahuan yang diberikan juga pasti benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang diyakini berasal dari Tuhan adalah pengetahuan yang benar, sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia masih bisa diragukan kebenarannya. Dengan cara berpikir seperti ini, maka pengetahuan yang muncul adalah benar.



Sebagai contoh, panas. Panas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat, melainkan hanya dirasakan. Pengetahuan akan panas ini sudah terdapat dalam pikiran manusia sejak mereka lahir. Begitu indera mereka merasakan panas baik dari api maupun cuaca, pikiran langsung merespon dan mengatakan bahwa ini adalah panas. Ini adalah kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada dan tidak bisa diragukan kembali.



G.



Kesimpulan



Berdasarkan pengalaman penulis, pemikiran Descartes merupakan sesuatu yang alami dan bisa dijadikan landasan dalam memperoleh serta menguji pengetahuan. Seringkali manusia terjebak pada pengetahuan (doktrin) yang mereka peroleh sejak mereka lahir. Mereka menyangka bahwa pengetahuan itu absolut dan tidak bisa diragukan kembali. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang absolut kecuali Tuhan dan segala aturan-Nya.



Metode meragukan yang dilakukan oleh Descartes adalah sebuah metode yang bagus dalam menguji pengetahuan, karena tanpa meragukan sesuatu manusia cenderung puas dengan apa yang ada dan menjadi idealistik terhadap pengetahuan yang ia miliki. Akan tetapi dibalik itu semua, pengetahuan tidak semua berasal dari pikiran saja. Ada pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman.



Contohnya, untuk menjadi seorang yang perasa, kita harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Untuk itu, manusia harus mengalami sendiri apa yang disebut dengan merasakan, baik itu suka maupun duka, bahagia maupun menderita. Pengetahuan seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari proses berpikir, tapi juga melalui pengalaman.



Adapun kelebihan dari pemikiran Descartes ini yang tertangkap dalam pikiran penulis antara lain:



1.



Descartes menyampaikan cara berfilosofi baru yang menggunakan pikiran murni untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Pikiran yang juga ia sebut sebagai esensi dirinya adalah sebuah makhluk yang bebas dan bisa melakukan apa saja dan bisa mengungkap apa saja. Dalam hal ini Descartes mengungkapkan berbagai macam kelebihan pikiran.



2.



Descartes ingin menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa pengetahuan tidak boleh langsung diterima begitu saja. Pengetahuan harus diragukan dulu, kemudian dikaji ulang hingga ia tidak bisa lagi diragukan.



3.



Descartes mengajarkan kita untuk mencapai tingkat kesadaran diatas tingkat kesadaran manusia kebanyakan. Tingkat kesadaran ini tidak akan bisa dicapai jika kita menerima secara mutlak sebuah pengetahuan yang disampaikan kepada kita tanpa meragukan kebenarannya. Disamping itu, dengan kesadaran ini kita menjadi berbeda dan terlepas dari dunia (alam pemikiran) manusia sehingga kita bisa dengan mudah menghadapi mereka.



Sedangkan kekurangan dari pemikiran Descartes yang bisa dilihat oleh pikiran penulis antara lain:



1.



Descartes menganggap pikirannya adalah sumber kehidupan dan keberadaannya di dunia ini. Hal ini berimplikasi dia tidak mempercayai roh-roh, jin dan makhluk yang tak bisa dijangkau oleh pikirannya.



2.



Descartes terkesan tidak percaya kepada wahyu. Baginya wahyu hanyalah proses imajinasi dari pikiran sebagai akibat dari pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya.



3.



Descartes terkesan tidak mempercayai keberadaan makhluk yang tidak memiliki pikiran. Baginya tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah benda material yang dijadikan bukti eksisitensi Tuhan.



4.



Descartes mengakui bahwa pikirannya tidak mungkin selalu benar. Ada kalanya ia terjebak dalam kekeliruan sebagai akibat dari kebebasan memilih dan berkehendak yang diberikan Tuhan kepadanya, dan juga ia terjebak kepada kekeliruan jika ia berhenti berpikir tentang Tuhan.



5.



Descartes terkesan menganggap tubuh manusia tidak lebih sebagai mekanisme alami yang bergerak sendiri dan terpisah dari pikirannya. Walaupun dia mengakui bahwa pikiran dan tubuh itu menyatu, tapi dia tetap membedakan dua hal tersebut. DAFTAR PUSTAKA



Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002)



Descartes, Rene, Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge University Press, 1986)



Muhadjir, Prof. Dr. Noeng, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996)



Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein(Canada: Routledge, 1996)



The Encyclopedia of Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers, 1967)



http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme, diakses tanggal 10-10-2012 jam 22.30 [2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 928-929.



[3] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge University Press, 1986), hlm. xix [4] The Encyclopedia of Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers, 1967), Vol. 1-2, hal. 344. Dikatakan juga sebagai vision dari sistem baru dalam ilmu matematika dan ilmu alam (scientific system). Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hlm. xix. [5] The Encyclopedia of Philosophy, hlm. 344. [6] Kemungkinan besar tentang klaim bahwa bumi mengelilingi matahari. [7] Sikap ini tidak disetujui oleh para pengikutnya termasuk oleh Leibniz dan Bossuet. [8] Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai model pembahasaan yang tepat dan akurat dalam menjelaskan pemikiran yang abstrak. [9] Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge University Press, 1986). [10] Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (Canada: Routledge, 1996), hal. 28. [11] Untuk lebih jelas, silahkan baca The Philosophical Works of Descartes. [12] The Encyclopedia of Philosophy, hal. 345. [13] http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes, diakses tanggal 11-10-2012 jam 01.14. [14] Ini adalah judul bab dari rangkaian meditasi Descartes. Lihat Rene Descartes,Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge University Press, 1986). [15] Terjemahan sekaligus analisis dari penulis terhadap meditasi Descartes yang pertama. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12-15. [16] Dalam bahasa Descartes disebut meditasi. [17] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12. [18] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12. [19] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 13. [20] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 13. [21] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 14. [22] Terjemahan dan analisis dari meditasi yang kedua. Lihat Rene Descartes,Meditations on First Philosophy, hal. 16-23. [23] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 16. [24] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 16-17. [25] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 142-143. [26] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 17-19. [27] Terjemahan dan analisis dari meditasi ketiga. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 24-36. [28] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 24. [29] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25. [30] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25. [31] Dalam terjemahan bahasa Perancis disebutkan ―pengetahuan yang asing bagiku dan berasal dari luar pemikiranku‖. [32] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25-26. [33] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 27. [34] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 28. [35] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 27. [36] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 28.



[37] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25. [38] Penulis tidak berani menterjemahkan karena belum mengerti makna sebenarnya dari kata ―falsity‖ sesuai yang disampaikan oleh Descartes. Dalam kamus, falsity diartikan sebagai kepalsuan. Ada juga yang mengartikan sebagai penipuan. Selain itu, jika melihat konteksnya falsity bisa juga diartikan sebagai kesalahan. Tapi dalam pikiran penulis, yang dimaksudkan dengan falsity disini adalah kebalikan dari truth (kebenaran) atau hal yang bertentangan dengan kebenaran itu. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37-43. [39] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37. [40] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37. [41] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 38. [42] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 38. [43] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39. [44] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39. [45] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39. [46] Terjemah dan analisis dari meditasi kelima. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44-49. [47] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44. [48] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44. [49] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44. [50] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 45. [51] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 46. [52] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 48. [53] Terjemahan dan analisis dari meditasi keenam. Lihat Rene Descartes,Meditations on First Philosophy, hal. 50-62. [54] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 50. [55] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 50. [56] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51. [57] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51. [58] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51. [59] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 52. [60] Mungkin gambaran tentang zombie berawal dari pemikiran Descartes ini. [61] Penulis memahami kata single disini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. [62] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 59. [63] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 59-60. [64] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 60. [65] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 61-62. [66] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 929-930. [67] Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal. 55. [68] Diambil dari perkuliahan Filsafat Ilmu: Epistimologi oleh Pak Alim Roswantoro.



COGITO ERGO SUM AKU BERFIKIR KARENA AKU ADA Kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab yakni orang berpikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir.



Selasa, 15 Maret 2011



Definisi, Pengertian, Tugas & Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia / SDM Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Bagian atau unit yang biasanya mengurusi sdm adalah departemen sumber daya manusia atau dalam bahasa inggris disebut HRD atau human resource department. Menurut A.F. Stoner manajemen sumber daya manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orangorang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya. Departemen Sumber Daya Manusia Memiliki Peran, Fungsi, Tugas dan Tanggung Jawab : 1. Melakukan persiapan dan seleksi tenaga kerja / Preparation and selection a. Persiapan Dalam proses persiapan dilakukan perencanaan kebutuhan akan sumber daya manusia dengan menentukan berbagai pekerjaan yang mungkin timbul. Yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perkiraan / forecast akan pekerjaan yang lowong, jumlahnya, waktu, dan lain



sebagainya. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan persiapan, yaitu faktor internal seperti jumlah kebutuhan karyawan baru, struktur organisasi, departemen yang ada, dan lain-lain. Faktor eksternal seperti hukum ketenagakerjaan, kondisi pasa tenaga kerja, dan lain sebagainya. b. Rekrutmen tenaga kerja / Recruitment Rekrutmen adalah suatu proses untuk mencari calon atau kandidat pegawai, karyawan, buruh, manajer, atau tenaga kerja baru untuk memenuhi kebutuhan sdm oraganisasi atau perusahaan. Dalam tahapan ini diperluka analisis jabatan yang ada untuk membuat deskripsi pekerjaan / job description dan juga spesifikasi pekerjaan / job specification.



c. Seleksi tenaga kerja / Selection Seleksi tenaga kerja adalah suatu proses menemukan tenaga kerja yang tepat dari sekian banyak kandidat atau calon yang ada. Tahap awal yang perlu dilakukan setelah menerima berkas lamaran adalah melihat daftar riwayat hidup / cv / curriculum vittae milik pelamar. Kemudian dari cv pelamar dilakukan penyortiran antara pelamar yang akan dipanggil dengan yang gagal memenuhi standar suatu pekerjaan. Lalu berikutnya adalah memanggil kandidat terpilih untuk dilakukan ujian test tertulis, wawancara kerja / interview dan proses seleksi lainnya.



2. Pengembangan dan evaluasi karyawan / Development and evaluation Tenaga kerja yang bekerja pada organisasi atau perusahaan harus menguasai pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Untuk itu diperlukan suatu pembekalan agar tenaga kerja yang ada dapat lebih menguasai dan ahli di bidangnya masing-masing serta meningkatkan kinerja yang ada. Dengan begitu proses pengembangan dan evaluasi karyawan menjadi sangat penting mulai dari karyawan pada tingkat rendah maupun yang tinggi. 3. Memberikan kompensasi dan proteksi pada pegawai / Compensation and protection kompensasi adalah imbalan atas kontribusi kerja pegawai secara teratur dari organisasi atau perusahaan. Kompensasi yang tepat sangat penting dan disesuaikan dengan kondisi pasar tenaga kerja yang ada pada lingkungan eksternal. Kompensasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada dapat menyebabkan masalah ketenaga kerjaan di kemudian hari atau pun dapat menimbulkan kerugian pada organisasi atau perusahaan. Proteksi juga perlu diberikan kepada pekerja agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusi perkerja tersebut dapat tetap maksimal dari waktu ke waktu. Kompensasi atau imbalan yang diberikan bermacam-macam jenisnya yang telah diterangkan pada artikel lain pada situs organisasi.org ini



Manajemen sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatuilmu atau cara bagaimana mengatur sumber daya yang dimiliki oleh individudapat digunakan secara maksimal sehingga tujuan (goal) menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan



adalah manusia - bukan mesin - dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Kajian MSDM menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi, sosiologi, dll. Menurut Henry Simamora dalam Manajemen Sumber Daya Manusia : Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi secara lansung sumber daya manusianya (2006:5).



Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen Sumber Daya Manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sumber daya manusia dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Untuk mencapai tujuan ini, studi tentang manajemen personalia akan menunjukkan bagaimana seharusnya perusahaan mendapatkan, mengembangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memelihara karyawan dalam jumlah (kuantitas) dan tipe (kualitas) yang tepat.



Diposkan oleh MAHENDRA MIDOEN di 08.09



MAKALAH HADITS MAUDHU' BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Makalah ini dibuat semata untuk membahas tentang hadits maudhu’. Hadits maudhu’ salah satu dari pembagian hadits. Semua hadits seperti hadits hasan, hadits dhoif, semuanya bersandarkan kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits maudhu` yang semua isinya dari seorang pendusta dan mengatasnamakan Rasulullah SAW. B. Rumusan Masalah Agar pembahasan tepat dan benar sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi masalah yaitu sebagai berikut. 1. Apakah pengertian hadits maudhu’? 2. Bagaimanakah awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya? 3. Apa kriteria kepalsuan dari hadits maudhu’? 4. Seperti apakah pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’? 5. Bagaimana upaya menanggulangi hadits maudhu’?



C. Tujuan Dibuatnya makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu. 1. Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu’. 2. Untuk mengetahui awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya. 3. Untuk mengetahui kriteria kepalsuan dari Hadits Maudhu’. 4. Untuk mengetahui pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’. 5. Untuk mengetahui upaya menanggulangi hadits maudhu’.



BAB II PEMBAHASAN HADITS MAUDHU` Hadits baru dibukukan dan ditulis pada masa Kekholifahan Umar ibn ‘Abd Al Aziz abad ke 2 H melalui perintahnya kepada Gubernur Abu Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dan bahkan kepada tabi’in wanita ‘Amrah binti ‘Abd Al Rahman. Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rasulullah SAW dengan waktu pembukukan hadits hampir 1 abad merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulluh SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah seperti inilah yang selanjutnya di kenal dengan hadis palsu atau hadits maudhu’. A. Pengertian Hadits Maudhu`



Apabila ditinjau secara bahasa, hadits maudhu` merupakan bentuk dari isim maf`ul dari wado`ayado`u.kata wado`a memiliki beberapa makana antara lain: menggugurkan, misalnya kalimat wado`al jinan yata anhu (hakim menggugurkan hukuman dari seseorang). Juga bermakna attarku (meninggalkan), misalnya ungkapan ibilun maudu`atun (unta yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya). Selain itu juga bermakana al iftiroo`u wal ikhtilaaqu (mengada ada dan membuat buat), misalnya kaliamatwado`a fulaanun haadzihil qissota (fulan membuat buat dan mengada ada kisah itu).[1] Adapun pengertian hadits maudhu` menurut istilah para muhaddisin adalah : Sesuatu yang dinisbatkan kepada rasulullah SAW.secara mengada ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan,beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.[2] Dari pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu` adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi secara rekaan atau dusta semata mata. Dalam penggunaan masyarakat islam, hadits maudhu` disebut juga hadits palsu.[3] Kata kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu` adalah al-mukhtalaqu, al-muhtala`u,almashnu, dan al-makdzub.Kata tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta`kid) bahwa hadits semacam ini semata mata dusta atas nama Rasul SAW.[4] B. Awal muncul dan faktor – faktor yang melatarbelakangi munculnya hadits hadits maudhu` 1. Awal muncul hadits maudhu’ Awal munculnya hadits maudhu` yaitu pada masa pemerintahan sayyidina utsman bin affan (w. 35 H). golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama.[5] Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan islam pada masa utsman bin affan adalah Abdullah bin Saba`, seorang penganut yahudi yang menyatakan telah memeluk islam.



Dengan bertopengkan pembelaan kepada Sayyina Ali dan ahli Bait, ia menjelajah kesegenap pelosok untuk menabur fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali (w. 40 H) lebih berhak menjadi khalifah dari pada utsman, bahkan lebih berhak dari pada Abu Bakar (w. 13 H) dan Umar (w. 23 H). Hal itu karena, menurut abdullah bin Saba` sesuai dengan wasiat dari Nabi SAW. Lalu untuk mendukung prropaganda tersebut ,ia membuat satu hadits maudhu` (palsu) yang artinya,: “setiap nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali”[6] Namun penyebaran hadits maudhu` pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadits. Sebagai contoh, Sayyina Utsman, ketika beliau mengetahui hadits maudhu` yang dibuat oleh Ibnu Saba`,



beliau dengan mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba` dari Madinah. Begitu juga yang dilakukan oleh Sayyina Ali setelah beliau menjadi khalifah. Para sahabat mengetahui banyak dari hadits maudhu` karena ada ancaman yang kerasa yang di keluarkan oleh Nabi SAW.terhadap orang yang memalsukan hadits, sebagaimana sabda Nabi SAW.,”Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja diya telah menempati tempatnya didalam neraka”[7] Walaupun begitu, golongan ini terus mencari cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan utsman. Kemudian muncul golongan golongan seperti golongan yang ingin menuntut bela atas kematian utsman , golongan yang mendukung Ali, dan golongan yang tidak mmemihak kepada golongan pertama dan golongan kedua. Kemudian untuk memngaruhi orang banyak supaya memihak kepada golongannya masing masing, orang orang munafik dari masing masing golongan tersebut membuat hadits-hadits palsu yang menunjukkan kelebihan dan keunggulannya.[8] Imam Az-Zahabi (w. 748 H) meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, katanya, “Aku mendengar Ali berkata di Siffin, mudah mudahan allah melaknati mereka (yaitu golongan yang putih yang telah menghitamkan) karena telah merusakkan hadits-hadits Rasulullah”[9] Menyadari hal itu, para sahabat awal tidak akan mudah percaya dan menerima begittu aja sekiranya mereka meragukan kesasihan hadits itu. Walaupun begitu, tahap penyebaran hadits-hadits maudhu` pada masa ini masih lebih kecil dibandingkan dengan zaman-zaman berikutnya. Hal ini karena masih banyaknya tabi`in yang menjaga hadits-hadits dan menjelaskan diantara yang lemah dan yang sahih. Dan juga karena zaman ini masih dianggap masih sezaman dengan Nabi SAW.dan disebut oleh Nabi sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran- pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan mereka yang menyebabkan mereka dapat menganalisis kepalsuan-kepalsuan suatu hadits.[10] 2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Hadits Maudhu` a. Pertentangn Politik Dalm Soal Pemilihan Kholifah Pertentangan diantara umat islam timbul setelh terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Umar bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.[11] Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan agama masuk kedalamnya dan membawa pengaruh juga pada madzhab-madzhab keaamaan. Karena persaingan untuk menonjolkan kelompok mereka masing-masing, maka ketika mencari dalil dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada, mereka membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah Hadits palsu berkembang. Materi Hadits pertama tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.



Orang-orang syiah membuat hadits maudhu` tentang keutamaan-keutamaan `Ali dan Ahli Bait. Disamping itu mereka membuat hadits maudhu` dengan maksud mencela cela dan menjelek jelekkan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.[12] Gerakan- gerakan orang syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak taua akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat hadits-hadits palsu.[13] Golongan yang fanatik kepada muawiyah membuat pula hadits palsu yang menerangkan keutamaan muawiyah ,diantaranya:”orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu aku, jibril, dan muawiyah”. Perlu diketaui bahwa walaupun kaum khawarij merupakan kaum yang keluar dari golongan ahlussunnah waljamaah.mereka tidak pernah mengeluarkan hadits maudhu` untuk menguatkan madzhabnya. Jadi tidak benar jika ada ulama` yang mengatakan bahwa kaum khawarij itu memperkuat madzhabnya dengan mambuat hadits maudhu`.[14] Mereka tidak melakukan pemalsuan hadits dikarenakan oleh doktrin mereka yang mengafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta merupakn dosa besar, apalagi berdusta atas nama Nabi SAW.[15] b. Adanya kesenjangan dari pihjak lain untk merusak ajaran islam Golongan ini adalah terdiri dari golongan zindiq, yahudi, Majusi, dan nasrani yang senantiasa menyimpan dendam tehadap agama islam. Faktur ini merupakan awal munculnya hadits maudhu`. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba` yang mencoba memecah belah umat islam dengan bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seorang yahudi yang berpura pura memeluk agama islam. Oleh karena itu, ia berani menciptakan hadits maudhu` pada saat masih banyak sahabat utama masih hidup.[16] Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang zingiq ini adalah khalifah Al-Mahdy dari dinasti abbasiyah.[17]



c. Mempertahankan madzhab dalam masalah fiqih dan kalam Para pengikut madzhab fiqih dan pengikut ulama` kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan paham pendirian imannya. Mereka yang fanatik terhadap madzhab Abu Hanifah yang menganggap tidak sah shalat mengangkat kedua tangan dikala sholat membuat hadits maudhu` sbb: Barang siapa mengangkat kedua tangannya didlam sholat,tidak sah sholatnya.[18] d. Membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada allah



Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan amalan yang meraka ciptakan,melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan mengerjakan yang di pandangnya baik) dengan cara berlabih lebihan. Seperti hadits hadits yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan al-qur`an. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu ia menjawab,”saya dapati manusia telah berpaling dari membaca alqur`an maka saya membuat hadits hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada al-qur`an”.[19] e. Menjilat para penguasa untuk mencari kedudukan atau hadiah Ulama` ulama` su` membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuiatan perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An nakha`I yang datang kepada amirul mu`minin Al-Mahdi yang sedang bermain merpati.lalu ia menyebut hadits dengan sanadnya secara berturut turut sampai kepada Nabi SAW.bahwasanya beliau bersabda, laa sbaqa illa fiinaslin aukhuffin auhaafirin aw janaahin, “tidak ada perlombaan kecualai dalam anak panah, ketangkasan,menunggang kuda atau burung yang bersayap". Ia menambahkan kata, atau burung yang bersayap, untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu AlMahdi memberinya 10.000 dirham. Setelah ia berpaling, sang amir berkata,”aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelimbelih merpati itu.[20]



C. Kriteria kepalsuan suatu hadits Para ulama` muhadditsin, disamping membuat kaidah-aidah untuk mengetahui sahih,hasan, atau dhaif suatu hadits, mereka juga menentukan ciri ciri untuk mengetahui ke-maudhu`-an suatu hadits. Kepalsuan suatau hadits dapat dilihat pada kriteria yang terdapat pada sanad dan matan. 1. Yang terdapat pada sanad Terdapat banyak ciri ciri kapalsuan hadits yang terdapat pada sanad. Ciri ciri tersebut adalah : a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari diya.[21] b. Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pangakuan seorang guru taswwuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat ayat al-qur`an, yang serentak menjawab, “tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi, serentak kami melihat manusia sama membenci al-qur`an,



kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat ayat al-qur`an ), agar mereka menaruh perhatian untuk mencuntai al-qur`an.” c. Kenyatan sejrah, mereka tidak mungkin bertemu,misalnya ada pengakuan dari seorang Rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika ma`mun ibn Ahmad As-sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam ibn Amar kepada ibn Hibban, maka ibn Hibban bertanya,”kapan engkau pergi ke syam? . ” ma`mun menjawab,”pada tahun 250 H.” mendengar itu, ibn Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”[22] d. Keadaan rawi dan faktor faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhi`. 2. Yang terdapat pada matan Terdapat banyak pula ciri ciri hadits maudhu` yang terdapat dalam matan, diantaranya sbb. a. Keburukan susunan lafazhnya Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW. b. Kerusakan maknanya 1. Karena berlawanan dengan akal sehat 2. Kerena berlawanan dengan hukum akhlak 3. Kerena bertentangan dengan ilmu kedokteran 4. Kerena menyalahi UU (ketentuan ketentuan) yang ditetapkan akal terhadap Allah 5. Kerena menyalahi hukum hukum Allah dalam mencipatakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa; `Auj ibn `unuq mempunyai panjang 300 hasta. 6. Kerena mengandung dongeng dongeng yang tidak masuk akal sama sekali 7. Bertentangan dengan keterangan al-qur`an hadits mutawakil,dan kaidah kaidah kulmiyah. 8. Menerangkan suatu pahala yang sangant besar trehadap perbuatan perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.[23]



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak sengaja. Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”. Faktor-faktor yang melatarbelakangi hadits maudhu, yaitu: (1) Polemik politik, (2) kaum zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. (3) Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan. Mereka membuat hadits palsu karena



didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. B. SARAN Ada berbagai saran yang disampaikan oleh penulis, yaitu. 1. Para pembaca disarankan agar memberikan kritik atas isi dan penulisan makalah. 2. Bagi para pembaca disarankan untuk memiliki kriteria yang telah dipapar dalam makalah. 3. Jika memiliki hambatan dalam membaca maka seyogyanya membaca makalah ini, karena didalam makalah ini dipaparkan mengenai solusi untuk mengatasi hal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA  M.solahuddin. 2009.ulumul hadits.bandung: cv Pustaka Setia,



[1] Lihat al-Qamus aal-muhits.hlm.94.juz III.pokok kata W-DH-`A [2] Muhamad `ajjaj Al-khsthib. Ushul al-hadits.terj.H.M. Qadirun dan Ahmad Musyafiq.Jakarta: Gaya



media pratama.hlm.352.



[3] Abdul Fatah Abu Ghuddah. Lamhat Min Tarikh As-Sunnah wa `ulum Al-Hadits.hlm.41. [4] Utang Ranu Wijaya. Ilmu Hadits . Jakarta: Gaya media pratama.1996.hlm.189. [5] Ibid. [6] Ibid. [7] Al-Imam An-Nawawi. Muqaddimah shahih muslim bi Syarh An-Nawawi. Bab Taghliz Al-Kidzb ala



Rasulullah Hadits no.3. [8] Abdul Fatah Abu Ghudah. Lamhaat Min Tarikh As-sunnah Wa Ulum Al-



Hadits. Hlm.45;Syahbah. Op.cit. hlm. 20-21 [9] Syahbah. Hlm.22. [10] Al-khatib. Op.cip. hlm.353-354 [11] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.176. [12] ibid [13] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.177. [14] Ibid.hlm.248. [15] AL-Qaththan. Syaikh Manna. Mubahits fi ulum al-hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta:



pustaka al-kautsar. 2005.hlm.147. [16] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.179. [17] Ash-shiddieqy.op.cit.hlm.250. [18] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.180. [19] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.181. [20] Al-Qaththan. Op.cip. hlm. 149 [21] Ash-shiddieqy.op.cit.hlm.237. [22] Ibid.hlm. 238. [23] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.186.



MAKALAH HADITS MAUDHU' BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang masalah Makalah ini dibuat semata untuk membahas tentang hadits maudhu’. Hadits maudhu’ salah satu dari pembagian hadits. Semua hadits seperti hadits hasan, hadits dhoif, semuanya bersandarkan kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits maudhu` yang semua isinya dari seorang pendusta dan mengatasnamakan Rasulullah SAW. B. Rumusan Masalah Agar pembahasan tepat dan benar sesuai yang diinginkan oleh penulis, maka penulis membatasi masalah yaitu sebagai berikut. 1. Apakah pengertian hadits maudhu’? 2. Bagaimanakah awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya? 3. Apa kriteria kepalsuan dari hadits maudhu’? 4. Seperti apakah pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’? 5. Bagaimana upaya menanggulangi hadits maudhu’? C. Tujuan Dibuatnya makalah ini, memiliki tujuan pokok yang ingin dicapai, yaitu. 1. Untuk mengetahui pengertian hadits maudhu’. 2. Untuk mengetahui awal muncul dan faktor yang melatarbelakanginya. 3. Untuk mengetahui kriteria kepalsuan dari Hadits Maudhu’. 4. Untuk mengetahui pengaruh dan dampak buruk tersebarnya hadits maudhu’. 5. Untuk mengetahui upaya menanggulangi hadits maudhu’.



BAB II PEMBAHASAN HADITS MAUDHU` Hadits baru dibukukan dan ditulis pada masa Kekholifahan Umar ibn ‘Abd Al Aziz abad ke 2 H melalui perintahnya kepada Gubernur Abu Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dan bahkan kepada tabi’in wanita ‘Amrah binti ‘Abd Al Rahman. Kesenjangan waktu antara sepeninggalan Rasulullah SAW dengan waktu pembukukan hadits hampir 1 abad merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulluh SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah seperti inilah yang selanjutnya di kenal dengan hadis palsu atau hadits maudhu’. A. Pengertian Hadits Maudhu` Apabila ditinjau secara bahasa, hadits maudhu` merupakan bentuk dari isim maf`ul dari wado`ayado`u.kata wado`a memiliki beberapa makana antara lain: menggugurkan, misalnya kalimat wado`al jinan yata anhu (hakim menggugurkan hukuman dari seseorang). Juga bermakna attarku (meninggalkan), misalnya ungkapan ibilun maudu`atun (unta yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya). Selain itu juga bermakana al iftiroo`u wal ikhtilaaqu (mengada ada dan membuat buat), misalnya kaliamatwado`a fulaanun haadzihil qissota (fulan membuat buat dan mengada ada kisah itu).[1] Adapun pengertian hadits maudhu` menurut istilah para muhaddisin adalah : Sesuatu yang dinisbatkan kepada rasulullah SAW.secara mengada ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan,beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.[2] Dari pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu` adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi secara rekaan atau dusta semata mata. Dalam penggunaan masyarakat islam, hadits maudhu` disebut juga hadits palsu.[3] Kata kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu` adalah al-mukhtalaqu, al-muhtala`u,almashnu, dan al-makdzub.Kata tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta`kid) bahwa hadits semacam ini semata mata dusta atas nama Rasul SAW.[4] B. Awal muncul dan faktor – faktor yang melatarbelakangi munculnya hadits hadits maudhu` 1. Awal muncul hadits maudhu’



Awal munculnya hadits maudhu` yaitu pada masa pemerintahan sayyidina utsman bin affan (w. 35 H). golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama.[5] Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan islam pada masa utsman bin affan adalah Abdullah bin Saba`, seorang penganut yahudi yang menyatakan telah memeluk islam.



Dengan bertopengkan pembelaan kepada Sayyina Ali dan ahli Bait, ia menjelajah kesegenap pelosok untuk menabur fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali (w. 40 H) lebih berhak menjadi khalifah dari pada utsman, bahkan lebih berhak dari pada Abu Bakar (w. 13 H) dan Umar (w. 23 H). Hal itu karena, menurut abdullah bin Saba` sesuai dengan wasiat dari Nabi SAW. Lalu untuk mendukung prropaganda tersebut ,ia membuat satu hadits maudhu` (palsu) yang artinya,: “setiap nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali”[6] Namun penyebaran hadits maudhu` pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadits. Sebagai contoh, Sayyina Utsman, ketika beliau mengetahui hadits maudhu` yang dibuat oleh Ibnu Saba`, beliau dengan mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba` dari Madinah. Begitu juga yang dilakukan oleh Sayyina Ali setelah beliau menjadi khalifah. Para sahabat mengetahui banyak dari hadits maudhu` karena ada ancaman yang kerasa yang di keluarkan oleh Nabi SAW.terhadap orang yang memalsukan hadits, sebagaimana sabda Nabi SAW.,”Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja diya telah menempati tempatnya didalam neraka”[7] Walaupun begitu, golongan ini terus mencari cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan utsman. Kemudian muncul golongan golongan seperti golongan yang ingin menuntut bela atas kematian utsman , golongan yang mendukung Ali, dan golongan yang tidak mmemihak kepada golongan pertama dan golongan kedua. Kemudian untuk memngaruhi orang banyak supaya memihak kepada golongannya masing masing, orang orang munafik dari masing masing golongan tersebut membuat hadits-hadits palsu yang menunjukkan kelebihan dan keunggulannya.[8] Imam Az-Zahabi (w. 748 H) meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, katanya, “Aku mendengar Ali berkata di Siffin, mudah mudahan allah melaknati mereka (yaitu golongan yang putih yang telah menghitamkan) karena telah merusakkan hadits-hadits Rasulullah”[9] Menyadari hal itu, para sahabat awal tidak akan mudah percaya dan menerima begittu aja sekiranya mereka meragukan kesasihan hadits itu. Walaupun begitu, tahap penyebaran hadits-hadits maudhu` pada masa ini masih lebih kecil dibandingkan dengan zaman-zaman berikutnya. Hal ini karena masih banyaknya tabi`in yang menjaga hadits-hadits dan menjelaskan diantara yang lemah dan yang sahih. Dan juga karena zaman ini masih dianggap masih sezaman dengan Nabi SAW.dan disebut oleh Nabi sebagai diantara sebaik-baik zaman.



Pengajaran- pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan mereka yang menyebabkan mereka dapat menganalisis kepalsuan-kepalsuan suatu hadits.[10] 2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Hadits Maudhu` a. Pertentangn Politik Dalm Soal Pemilihan Kholifah Pertentangan diantara umat islam timbul setelh terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Umar bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.[11] Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan agama masuk kedalamnya dan membawa pengaruh juga pada madzhab-madzhab keaamaan. Karena persaingan untuk menonjolkan kelompok mereka masing-masing, maka ketika mencari dalil dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada, mereka membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah Hadits palsu berkembang. Materi Hadits pertama tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya. Orang-orang syiah membuat hadits maudhu` tentang keutamaan-keutamaan `Ali dan Ahli Bait. Disamping itu mereka membuat hadits maudhu` dengan maksud mencela cela dan menjelek jelekkan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.[12] Gerakan- gerakan orang syiah tersebut diimbangi oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak taua akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat hadits-hadits palsu.[13] Golongan yang fanatik kepada muawiyah membuat pula hadits palsu yang menerangkan keutamaan muawiyah ,diantaranya:”orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu aku, jibril, dan muawiyah”. Perlu diketaui bahwa walaupun kaum khawarij merupakan kaum yang keluar dari golongan ahlussunnah waljamaah.mereka tidak pernah mengeluarkan hadits maudhu` untuk menguatkan madzhabnya. Jadi tidak benar jika ada ulama` yang mengatakan bahwa kaum khawarij itu memperkuat madzhabnya dengan mambuat hadits maudhu`.[14] Mereka tidak melakukan pemalsuan hadits dikarenakan oleh doktrin mereka yang mengafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta merupakn dosa besar, apalagi berdusta atas nama Nabi SAW.[15] b. Adanya kesenjangan dari pihjak lain untk merusak ajaran islam Golongan ini adalah terdiri dari golongan zindiq, yahudi, Majusi, dan nasrani yang senantiasa menyimpan dendam tehadap agama islam. Faktur ini merupakan awal munculnya hadits maudhu`. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba` yang mencoba memecah belah umat islam dengan bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seorang yahudi yang berpura pura memeluk agama islam. Oleh karena itu, ia berani menciptakan hadits maudhu` pada saat masih banyak sahabat utama masih hidup.[16]



Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang zingiq ini adalah khalifah Al-Mahdy dari dinasti abbasiyah.[17]



c. Mempertahankan madzhab dalam masalah fiqih dan kalam Para pengikut madzhab fiqih dan pengikut ulama` kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan paham pendirian imannya. Mereka yang fanatik terhadap madzhab Abu Hanifah yang menganggap tidak sah shalat mengangkat kedua tangan dikala sholat membuat hadits maudhu` sbb: Barang siapa mengangkat kedua tangannya didlam sholat,tidak sah sholatnya.[18] d. Membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada allah Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan amalan yang meraka ciptakan,melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan mengerjakan yang di pandangnya baik) dengan cara berlabih lebihan. Seperti hadits hadits yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan al-qur`an. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu ia menjawab,”saya dapati manusia telah berpaling dari membaca alqur`an maka saya membuat hadits hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada al-qur`an”.[19] e. Menjilat para penguasa untuk mencari kedudukan atau hadiah Ulama` ulama` su` membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuiatan perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An nakha`I yang datang kepada amirul mu`minin Al-Mahdi yang sedang bermain merpati.lalu ia menyebut hadits dengan sanadnya secara berturut turut sampai kepada Nabi SAW.bahwasanya beliau bersabda, laa sbaqa illa fiinaslin aukhuffin auhaafirin aw janaahin, “tidak ada perlombaan kecualai dalam anak panah, ketangkasan,menunggang kuda atau burung yang bersayap". Ia menambahkan kata, atau burung yang bersayap, untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu AlMahdi memberinya 10.000 dirham. Setelah ia berpaling, sang amir berkata,”aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelimbelih merpati itu.[20]



C. Kriteria kepalsuan suatu hadits



Para ulama` muhadditsin, disamping membuat kaidah-aidah untuk mengetahui sahih,hasan, atau dhaif suatu hadits, mereka juga menentukan ciri ciri untuk mengetahui ke-maudhu`-an suatu hadits. Kepalsuan suatau hadits dapat dilihat pada kriteria yang terdapat pada sanad dan matan. 1. Yang terdapat pada sanad Terdapat banyak ciri ciri kapalsuan hadits yang terdapat pada sanad. Ciri ciri tersebut adalah : a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari diya.[21] b. Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pangakuan seorang guru taswwuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat ayat al-qur`an, yang serentak menjawab, “tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi, serentak kami melihat manusia sama membenci al-qur`an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat ayat al-qur`an ), agar mereka menaruh perhatian untuk mencuntai al-qur`an.” c. Kenyatan sejrah, mereka tidak mungkin bertemu,misalnya ada pengakuan dari seorang Rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika ma`mun ibn Ahmad As-sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam ibn Amar kepada ibn Hibban, maka ibn Hibban bertanya,”kapan engkau pergi ke syam? . ” ma`mun menjawab,”pada tahun 250 H.” mendengar itu, ibn Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”[22] d. Keadaan rawi dan faktor faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhi`. 2. Yang terdapat pada matan Terdapat banyak pula ciri ciri hadits maudhu` yang terdapat dalam matan, diantaranya sbb. a. Keburukan susunan lafazhnya Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW. b. Kerusakan maknanya 1. Karena berlawanan dengan akal sehat 2. Kerena berlawanan dengan hukum akhlak 3. Kerena bertentangan dengan ilmu kedokteran 4. Kerena menyalahi UU (ketentuan ketentuan) yang ditetapkan akal terhadap Allah



5. Kerena menyalahi hukum hukum Allah dalam mencipatakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa; `Auj ibn `unuq mempunyai panjang 300 hasta. 6. Kerena mengandung dongeng dongeng yang tidak masuk akal sama sekali 7. Bertentangan dengan keterangan al-qur`an hadits mutawakil,dan kaidah kaidah kulmiyah. 8. Menerangkan suatu pahala yang sangant besar trehadap perbuatan perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.[23]



BAB III PENUTUP



A. KESIMPULAN Hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja atau pun tidak sengaja. Sebagian ulama mendefinisikan Hadits Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan sebagai kata-kata atau perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”. Faktor-faktor yang melatarbelakangi hadits maudhu, yaitu: (1) Polemik politik, (2) kaum zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. (3) Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan Pimpinan. Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap egois dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. B. SARAN Ada berbagai saran yang disampaikan oleh penulis, yaitu. 1. Para pembaca disarankan agar memberikan kritik atas isi dan penulisan makalah. 2. Bagi para pembaca disarankan untuk memiliki kriteria yang telah dipapar dalam makalah. 3. Jika memiliki hambatan dalam membaca maka seyogyanya membaca makalah ini, karena didalam makalah ini dipaparkan mengenai solusi untuk mengatasi hal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA  M.solahuddin. 2009.ulumul hadits.bandung: cv Pustaka Setia,



[1] Lihat al-Qamus aal-muhits.hlm.94.juz III.pokok kata W-DH-`A [2] Muhamad `ajjaj Al-khsthib. Ushul al-hadits.terj.H.M. Qadirun dan Ahmad Musyafiq.Jakarta: Gaya



media pratama.hlm.352. [3] Abdul Fatah Abu Ghuddah. Lamhat Min Tarikh As-Sunnah wa `ulum Al-Hadits.hlm.41. [4] Utang Ranu Wijaya. Ilmu Hadits . Jakarta: Gaya media pratama.1996.hlm.189. [5] Ibid. [6] Ibid. [7] Al-Imam An-Nawawi. Muqaddimah shahih muslim bi Syarh An-Nawawi. Bab Taghliz Al-Kidzb ala



Rasulullah Hadits no.3. [8] Abdul Fatah Abu Ghudah. Lamhaat Min Tarikh As-sunnah Wa Ulum Al-



Hadits. Hlm.45;Syahbah. Op.cit. hlm. 20-21 [9] Syahbah. Hlm.22. [10] Al-khatib. Op.cip. hlm.353-354 [11] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.176. [12] ibid [13] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.177. [14] Ibid.hlm.248. [15] AL-Qaththan. Syaikh Manna. Mubahits fi ulum al-hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta:



pustaka al-kautsar. 2005.hlm.147. [16] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.179. [17] Ash-shiddieqy.op.cit.hlm.250. [18] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.180. [19] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.181.



[20] Al-Qaththan. Op.cip. hlm. 149 [21] Ash-shiddieqy.op.cit.hlm.237. [22] Ibid.hlm. 238. [23] M.solahuddin.ulumul hadits.bandung: cv pustaka setia,2009.hlm.186.