Cogito Ergo Sum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

COGITO ERGO SUM MAKALAH FILSAFAT SAINS DAN TEKNOLOGI



Disusun oleh : Antonia Adega (100904145) Elise Dwi Ratnasari (100904155)



PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2010



PENDAHULUAN “Cogito Ergo Sum” merupakan suatu makalah bertemakan seorang tokoh filsafat ternama, Rene Descartes. Rene Descartes merupakan bapak filsuf besar pertama di era modern yang melakukan upaya serius mengalahkan skeptisisme. Penulis juga menyertakan tulisan tentang para tokoh yang terpengaruh pemikiran Descartes seperti Baruch de Spinoza, Leibneiz, dan Blaise Pascal. Penulis tertarik akan semboyan melegenda yang diungkapkan oleh tokoh tersebut. Penulis ingin mengkritisi Cogito Ergo Sum sekaligus mengaitkannya dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, tentang bagaimana jika semboyan tersebut sungguh-sungguh mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Makalah ini terbagi atas tiga bab. Bab II berisi tentang biografi Descartes dan tokohtokoh lain yang terkena pengaruh ajarannya, dari mereka lahir, menempuh pendidikan, hingga meninggalnya. Sedangkan Bab III berisi tentang analisis semboyan Cogito Ergo Sum, di mana penulis akan memaparkan analisis semboyan ini dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Yang terakhir adalah Bab IV yang merupakan bab penutup berisi kesimpulan.



BAB II



BIOGRAFI RENE DESCARTES Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye-Touraine (sekarang La HayeDescartes). Ayahnya merupakan seorang anggota Parlemen Bretagne yang berasal dari kalangan ningrat golongan bawah. Saat menginjak usia satu tahun, ibunya meninggal dunia. Kehilangan ini sangat membekas pada sifatnya yang selalu khawatir di kemudian hari. Pada tahun 1604 sampai 1612, ia memperoleh pendidikan pertamanya di Collège des Jèsuites de la Flèche. Saat itu Descartes menyukai guru-gurunya tetapi di sisi lain dia kecewa dengan sistem pengajaran yang diperolehnya dan ia merasa prihatin melihat keadaan ilmu pengetahuan waktu itu yang meliputi matematika, fisika, pengetahuan tentang manusia, dan lain-lain. Tema kewaspadaan, ketakutan ditipu, keragu-raguan, dan pencarian keyakinan merupakan pokok-pokok bahasan yang selalu menjadi topik utama dalam filsafat Descartes. Descartes mendapat ijazah Licence dari Fakultas Hukum Universitas Poitiers pada tahun 1616. Dua tahun berikutnya, Descartes mengikuti latihan kemiliteran di Belanda dan menjadi anggota pasukan Duc de Bavière hingga tahun 1628. Ia mulai mengembara di beberapa negara Eropa serta memanfaatkan pengembaraannya untuk belajar dari “buku besar alam raya” sambil berusaha berperan sebagai penonton dan bukan sebagai aktor dalam semua komedi kehidupan. Pengalaman “perangnya” tidak berarti, namun ia mendapat banyak kesempatan yntuk bertemu dengan para tokoh cendikiawan masa itu. Ia sedang berada di Jerman ketika Kaisar Ferdinand II dinobatkan. Musim dingin tahun itu dilewatkannya dekat Ulm, tempat ia merenungkan berbagai gagasan. Tahun 1621, Descartes berkelana ke Moravia, Silesia, Brandebourg, Belanda, Swiss, Tyrolia, Italia. Empat tahun kemudian ia tinggal di Prancis dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan ilmiah.



Kardinal Bèrulle memintanya untuk mengadakan reformasi di bidang filsafat. Karyanya yang berjudul Les Règles pour la Direction de l’Esprit atau dalam Bahasa Indonesia yaitu Kaidah-kaidah untuk Pengarahan Penalaran, ditulis pada tahun 1628 tetapi baru diterbitkan setelah ia meninggal dunia. Pada tahun yang sama, Descartes pindah ke Belanda untuk dapat bekerja dengan tenang. Ia berkorespondensi dengan ilmuwan masa itu. Tahun 1633, Descartes membatalkan penerbitan karyanya yang berjudul Traitè du Monde yang berisi hipotesis-hipotesis yang sama dengan karya Galileo Galilei, Dialodo sopra i Due Massimi Sistemi del mondo Ptolemaico e Copernico (Dialog tentang Dua Sistem Dunia Ptolomaian dan Copernican). Hal ini disebabkan karena Descartes mendengar kabar bahwa Galileo Galilei dijatuhi hukuman oleh gereja sehubungan dengan karyanya itu. Discours de la Mèthode atau dalam Bahasa Indonesia, Risalah tentang Metode, diterbitkan sebagai pengantar untuk ketiga eseinya, yaitu: (1) Dioptrique, (2) Mètèores, dan (3) Gèomètrie (bagian dari Traitè du Monde) pada tahun 1637. Tiga tahun setelah penerbitan pengantar tersebut, puterinya yang bernama Francine dan ayahnya, Joachim Descartes, meninggal dunia. Tahun 1641, ia menerbitkan suatu karya dalam bahasa latin, Mèditations Mètaphysiques, di Paris. Karya inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Duc de Luynes, dengan koreksi Descartes, pada tahun 1647. Penerbitan Principes de la Philosophie yang juga dalam bahasa latin pada tahun 1644, dipersembahkan untuk sahabat penanya Puteri Elizabeth de Bohème. Lima tahun kemudian, karyanya yang berjudul Traitè des Passions de l’Ame, diterbitkan dalam bahasa Prancis. Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1649, Descartes diundang oleh Ratu Christine dari Swedia, yang ingin mempelajari filsafat Descartes. Hal ini kemudian menimbulkan rasa iri hati di kalangan cendikiawan istana. Jam belajar dimulai pukul lima pagi.



Hal ini menyebabkan Descartes yang kesehatannya selalu jelek, jatuh sakit, namun ia menolak pertolongan yang datang dari dokter Swedia. 11 Februari 1650, Descartes meninggal dunia pada usianya yang ke-54 tahun. Jenazahnya dipindahkan ke Prancis pada tahun 1667 dan tengkoraknya kemudian disimpan di Museum d’Histoire Naturlle di Paris. Berikut merupakan tokoh-tokoh lain yang mendapat pengaruh Descartes... Baruch de Spinoza ”Apa yang kalian sebut kebenaran? Kesesatan yang berabad-abad usianya. Apa itu kesesatan? Kebenaran yang dialami hanya semenit.” Ketika memasuki abad ke-16, banyak keturunan Yahudi dari Portugal yang beremigrasi ke Belanda. Tidak sedikit dari mereka yang mengaku Kristen dengan tujuan agar tidak diusir dari negeri mereka. Tetapi di Belanda mereka bisa mengakui secara terang-terangan bahwa mereka adalah Yahudi. Baruch de Spinoza, filsuf yang akan penulis bicarakan pada bagian ini adalah juga merupakan keturunan Yahudi dari keluarga yang beremigrasi ke Belanda. Pikiran-pikirannya melekat dalam tradisi filsafat Yahudi yang dirintis sejak Philo yang menggabungkan agama Yahudi dengan Filsafat Yunani, Moses Maimonides (1135-1204) yang menyelaraskan ajaran Musa dengan Aristoteles. Ciri pokok pemikiran Yahudi adalah tentang usaha memadukan ilmu pengetahuan dan mistik. Usaha tersebut tidak jarang menemui rintangan terutama dari kalangan mereka sendiri. Spinoza hidup dalam sebuah masyarakat yang masih mempercayai takhayul dan tabutabu religius dan ia berusaha melepaskan diri dari teror mitologis tersebut dengan kebebasan berpikir. Demi kebebasan berpikir itu dia dikucilkan dari kalangannya sendiri. Filsafat Descartes ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam pemikirannya.



Baruch de Spinoza lahir di Amsterdam pada tanggal 24 Novenber 1632. Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya raya. Sejak kecil dia telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak rabinya yang berharap kelak Spinoza dapat menjadi seorang rabi. Yang ia pelajari tidak hanya Matematika dan Ilmu Alam saja tetapi juga bahasa Latin, Yunani, Belanda, Perancis, Spanyol, Jerman, Yahudi dan Italia. Spinoza seakan tidak puas dengan ajaran-ajaran kuno yang terdapat di dalam agamanya. Lambat laun dia memihak cara berpikir modern yang banyak dipengaruhi oleh Descartes. Dia mendiskusikan masalah-masalah agama secara terbuka dan gagasangagasannya benar-benar mengejutkan teman-teman dan para tokoh agama pada saat itu. Salah satu pendapatnya adalah tentang malaikat yang menurutnya hanyalah fiksi atau imajinasi belaka. Dia juga mengatakan bahwa Allah bersikap material. Pendapat lainnya adalah tentang Taurat. Ia mengatakan bahwa Taurat tidak mungkin ditulis oleh Musa dan mujizat hanyalah merupakan kesalahan dalam menafsirkan hukumhukum alam. Pandangan-pandangan semacam ini sudah banyak diterima secara ilmiah pada abad ke-20, tetapi di zaman Spinoza gagasan-gagsannya tersebut benarbenar menggoyahkan kemapanan dogma agama baik di kalangan Yahudi maupun Kristen. Para tokoh agama Yahudi saat itu menjadi gelisah dengan ajaran Spinoza. Mereka berusaha memakksanya untuk kembali ke ortodoksi agama dengan berbagai cara tetapi gagal. Di tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga. Dia dianggap mati oleh komunitasnnya dan keluarganya juga memutuskan hubungan dengannya. Kehidupannya mulai terasing mula-mula dekat Amsterdam lalu di sekitar Den Haag. Berikut merupakan teks kutukan atas Spinoza oleh Sinagoga, 27 Juli 1656: ”Sesuai dengan keputusan para malaikat dan pernyataan para kudus, kami mengucilkan, mengutuk, melaknatkan dan menghukum Baruch d’Espinosa... Terkutuklah dia di siang hari dan malam hari, terkutuklah saat dia berbaring maupun berjaga, ketika dia pergi maupun datang... Jagalah diri kalian sehingga tak seorang pun berhubungan dengannya baik secar tertulis maupun lisan, tak seorangpun menunjukkan itikad baik sedikit pun kepadanya, tak seorang pun tinggal satu atap dengannya,... tak seorang pun membaca tulisan-tulisannya.”



Dia menghadapi semua ini dengan tenang dan mengganti namanya menjadi Benedictus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.



Dia menghidupi dirinya dengan mengasah lensa sambil terus menulis pikiranpikirannya. Di tahun 1673, dia sempat diundang untuk mengajar di Universitas Heidelberg, namun dia menolak dan memilih terus hidup sebagai pengasah lensa. Suatu ketika dia mengatakan bahwa tak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas. Buku-bukunya banyak dilarang dan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, buku-buku itu malah terkenal di luar negeri. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Renati Descartes Principiorum Philosophiae (Prinsip Filsafat Descartes, 1663), Tractatus de intellectus emendatione (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman, 1677), Tractatus Theologico-Politicus (Traktat Politis-Teologis, 1670), dan yang paling penting adalah Ethica more geometrico demonstrata (Etika Dibuktikan secara Geometris, 1677). Karya-karyanya menimbulkan reaksi yang keras dari pada pendeta Belanda dan dengan cara ini Spinoza menjadi salah seorang pendobrak dogmatisme. Di abad ke-18 dan ke-19 para kritikus sastra seperti Lessing dan Goethe merehabilitasi nama baik Spinoza. Spinoza meninggal dalam kesepian pada tanggal 21 Februari 1677 pada usia 44 tahun setelah lama menderita TBC. Descartes cukup memberi pengaruh dalam pemikiran Spinoza yang tampak dalam hal penggunaan ilmu pasti sebagai contoh dalam demonstrasi filsafati. Namun Spinoza juga mempunyai perbedaan dengan Descartes. Ia berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Allah dan ini meliputi dunia maupun manusia. Itulah sebabnya pendirian Spinoza ini disebut panteisme: Allah disamakan dengan segala sesuatu yang ada (Bertens, 1976:46). Berdasarkan keyakinan ini, dunia dan segala isinya tidak dapat berdiri sendiri, namun bergantung pada substansi itu yaitu Allah. Bagi Descartes, Allah adalah pribadi yang menciptakan dunia. Bagi Spinoza, Allah adalah satu kesatuan umum, segala sesuatu yang ada adalah Allah, segala sesuatu ada karena Allah dan tidak ada sesuatupun yang tidak tercakup dalam Allah. Substansi ini



mempunyai ciri-ciri tak terhingga, namun kita hanya mengenal dua ciri-ciri yaitu, keluasan dan pemikiran, dan dua hal ini ada dalam diri manusia. Gottfried Wilhelm von Leibniz “Barangsiapa mencari kebenaran, janganlah menghitung suara.” Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli 1646 di Leipzig, dua tahun sebelum berakhirnya perang tiga puluh tahun antara golongan Protestan dan Katolik di Jerman. Ayahnya yang merupakan seorang profesor, meninggal ketika Leibniz masih kecil. Sejak muda Leibniz gemar membaca karya-karya klasik terutama filsafat skolasik dan puisi-puisi kuno. Kepalanya penuh dengan banyak ide dan cara berpikirnya rigorus. “Saat terjaga, aku telah memiliki banyak ilham, sehingga tidak cukup menulis semuanya dalam sehari.” Pada usianya yang kedua puluh tahun dia sudah meraih gelar doktor. Spinoza juga menaruh minatnya pada Matematika, Fisika, Astronomi dan Hukum. Dia juga menjalin relasi dengan beberapa tokoh penting. Suatu ketika dia mengunjungi Spinoza di Belanda. Pada awalnya, Spinoza mencurigai Leibniz tetapi kemudian tokoh yang terkucil ini malah menunjukkan manuskrip dari bukunya yang berjudul Ethica. Meskipun tidak pernah mengakui secara terang-terangan, karena tidak mau dicap subversif (merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara) sesungguhnya Leibniz banyak menimba inspirasi dari pemikiran Spinoza. Leibniz aktif dalam bidang politik. Pada usia dua puluh tahun dia ikut merevisi hukum kota Mainz. Di samping itu dia juga sempat diutus ke Paris sebagai diplomat untuk mengadakan wawancara dengan Raja Louis XIV. Leibniz juga memiliki kesempatan untuk menjalin kontak dengan dua orang fisikus termasyur yaitu Boyle dan Isaac Newton di kota London. Leibniz memiliki sumbangan yang besar dalam bidang Matematika dan Fisika, dia mendirikan Academy of Science, sebuah organisasi yang sama hebatnya dengan Royal Society di Inggris. Leibniz juga ikut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Rusia.



Karya-karya Leibniz dapat dilihat dari dua sisi. Ada karya-karya yang bersifat populer dan ada yang diperuntukkan bagi kalangan terbatas. Bukunya yang paling terkenal adalah La Monadologie (Monadologi 1714). Di samping itu dia juga menulis sebuah buku teologis dengan judul Discours de Metaphysique (Wacana tentang Metafisika 1686). Banyak karya-karya Leibniz yang diterbitkan anumerta. Tulisan-tulisannya di bidang keagamaan berusaha menemukan keselarasan antara ajaran Protestan dan Katolik. Di bidang ilmu dia berusaha mencari keselarasan antara teologi dan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Descartes maupun Spinoza, Leibniz berpendapat bahwa ada banyak substansi, jumlahnya pun tak terhingga. Ia menamakan substansi itu monade. Dengan ajarannya tentang monade, ia berhasil memecahkan masalah hubungan antara tubuh dan jiwa. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh merupakan banyak monade. Satu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain karena sifatnya yang tertutup. Lalu bagaimana tubuh dan jiwa dapat saling mempengaruhi? Jawabannya sederhana, yaitu Allah mengadakan suatu preestablished harmony antar monade, yaitu keselarasan yang ditentukan sebelumnya. Blaise Pascal ”Dalam cinta seringkali kebungkaman lebih berlaku daripada percakapan” Diantara para filsuf rasionalis, Pascal paling berbeda dari teman sezamannya, dia menekankan iman melebihi rasio. Di sini Pascal lebih tampil sebagai seorang apologet kristiani, daripada seorang pendobrak filosofis. Pascal merintis sebuah cara berfilsafat yang di kemudian hari juga dilakukan oleh Kierkegaard dan para filsuf eksisensialis abad ke-20. Pascal lahir pada tanggal 19 Juni 1623 di Clermont-Ferrand, Prancis. Ayahnya yang adalah seorang ketua Cour des Aides di Clermont, juga merupakan seorang penarik pajak di wilayah Auvergne, Prancis. Sejak kecil, dia sudah menunjukkan kecerdesannya. Walaupun dia tidak mengenyam bangku sekolah, dia dididik ayahnya secara ketat. Dia berminat pada Fisika dan Matematika. Di dua bidang hidup yang berlainan itu, dia tidak memandang kegiatan ilmiah sebagai kegiatan “duniawi”, melainkan sebagai pengabdian kepada Allah.



Saat dewasa, dia menjalin hubungan dengan biara Port Royal, tempat saudarinya, Jacqueline, menjadi seorang biarawati di sana. Biara tersebut terkenal sebagai pengikut Jansenisme, sebuah aliran yang dianggap bidaah dalam agama Katolik. Memang ada beberapa gagasannya yang bersimpati terhadap jansenisme, namun dia tetap berpihak pada gereja Katolik. Dalam kumpulan suratnya, Lettres Provinciales”, Pascal menyerang para Yesuit yang menurutnya terlalu longgar dalam moralitas sehingga membuat agama Kristen duniawi. Buku itu kemudian dimasukkan daftar buku subversif dalam gereja. Karyanya yang terkenal adalah Pensee sur la religion (Pemikiran-pemikiran tentang Agama). Pascal memang sepakat dengan Descates dalam mementingkan ilmu pasti, namun ia tidak setuju dengan Descartes dalam menempatkan ilmu sebagai model dalm filsafat. Dalam filsafat Pascal, manusia selalu dianggap sebagai misteri. Hati (coeur) lebih penting daripada rasio (raison). Rasio hanya menghasilkan pengetahuan yang dingin, sedangkan hati memberikan pengetahuan di mana cinta juga mempunyai peranan. Dengan rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam, namun dengan hati kita dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Allah. Pascal mengatakan: “The heart has its reasons which the reason does not understand.”



BAB III ANALISIS “COGITO ERGO SUM” Rene Descartes adalah seorang Bapak Filsafat Modern. Waktu itu ia mendapat wahyu ilahi, bahwa ilmu pengetahuan adalah satu, tidak ada pembandingnya dan hanya ada satu orang yang menyusunnya serta merupakan satu bangunan yang berdiri sendiri menurut suatu metode yang umum. Metode ilmiahlah yang dipandang lebih umum. Kebenaran memang ada asal jiwa kita membebaskan diri dari isinya yang semula. Dengan kata lain, sesuatu yang benar merupakan apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distincly), artinya gagasan-gagasan itu dapat dibedakan dari gagasan yang lain. Hadiwijono (1980:19) memberi contoh sebagai berikut, coba kita perhatikan lilin (Jawa: malam) dan sarang madu (Jawa: tala). Jikalau kita mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita merasakan madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya, jari kita merasakan keras dan dinginnya. Akan tetapi jikalau sarang madu itu kita letakkan di atas suatu wadah yang berada di atas api, sifat-sifatnya berubah, sekalipun lilinnya masih ada. Lilin tadi tidak dapat ketahui dari wahyu ataupun khayalan, melainkan dari rasio atau akal. Jadi, lilin tadi dipisahkan dari segala sesuatu yang melekat dengannya dengan cara dipanaskan, begitu pula gagasan-gagasan dapat dibedakan dari gagasangagasan yang lain. Pengetahuan yang berasal dari indera merupakan suatu kekaburan, dan atas kuasa rasio atau akal kita kita dapat mengetahui hal itu. Di sini Descartes menekankan bahwa kita seharusnya meragukan segala sesuatu, dengan kata lain bahwa kita menganggap segala sesuatu itu tidaklah pasti.



Di zaman Descartes, orang-orang masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan. Maka ia ingin membebaskan diri dari semuanya itu dan ingin memulai sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu haruslah berpangkal dari sesuatu yang pasti, dan pangkal yang pasti itu adalah melalui keragu-raguan. Ia bermaksud bahwa kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin (Bertens, 1976:43). Ia ingin menjalankan secara keseluruhan pada semua pengetahuan yang ia miliki, termasuk yang sudah pasti. Menurutnya, hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu. Aku ragu-ragu atau aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Apa yang dipikirkan mungkin suatu khayalan, namun bahwa aku berpikir bukanlah suatu kahyalan. Jadi yang dapat



dimengerti secara jelas dan terpilah-pilah merupakan hal yang benar. Ini adalah apa yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Pengamatan inderawi tidak memberikan keterangan kepada kita tentang hakekat dan sifat-sifat dunia di luar kita. Supaya hakekat segala sesuatu dapt ditentukan, digunakan penertian-pengertian tertentu, yaitu: substansi, atribut atau sifat dasar dan modus. Substansi merupakan apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerluka sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikiran sebenarnya hanya satu saja yaitu Allah. Atribut merupakan sifat asasi, dan tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri yang menentukan hakekat substansi tersebut. Sifat asasi ini mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan. Yang disebut modus adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah. Maka dalam hal ini, segala sesuatu yang duniawi itu pada hakekatnya adalah sama. Mengapa? Karena, segala substansi bendawi memiliki atribut yaitu keluasan (extentio) dan memiliki bentuk serta besar yang lahiriah. Substansi bendawi tidak memiliki ketentuan yang kualitatif yang menunjukkan kualitas dan mutunya. Roh atau jiwa juga memiliki sifat asasi yaitu pemikiran (cogitatio) dan memiliki pemikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala yang lain. Roh dapat dipikirkan secara jelas dan terpilah-pilah tanpa memerlukan sifat asasi benda. Jiwa adalah substansi yang tunggal, tidak bersifat duniawi dan tidak dapat mati. Jiwa memiliki pemikiran sebagai sifat asasinya. Pemikiran adalah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, kehendak. Sifat hakiki pemikiran adalah kesadaran. Tubuh adalah substansi bendawi, berarti tubuh memiliki sifat asasi keluasan. Tubuh dan jiwa adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak dapat dijembatani. Jiwa dapat mempengaruhi tubuh, namun keduanya bisa juga saling mempengaruhi. Jiwa berada dalam sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil (glandula pinealis). Dalam hal ini, maka subyek hanya dipandang sebagai jiwa semata. Pemikian merupaan perbuatan jiwa dan bebas dari pengaruh tubuh. Tubuh pada hakekatnya tidaklah bebas, pemiiranlah yang memilii kebebasan itu. Yang ditekankan Descartes dalam hal ini adalah penakhlukan diri pada pimpinan akal dan menganggap remeh kepad hidup duniawi dengan kebaikan dan kejahatannya.



Lalu bagaimana bila “Cogito Ergo Sum” benar-benar diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia? Pertanyaan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari tulisan ini. Dari sini kita bisa melihat dari dua sisi, yaitu apabila dipandang dari segi individual dan dari segi kehidupan bermasyarakat. Penulis berpendapat bila semboyan ini benar-benar diterapkan dan menjadi pedoman hidup bagi bangsa ini khususnya, maka setiap inividu akan memiliki kualitas diri yang tinggi, dengan kata lain memiliki sumber daya manusia yang baik dan berkualitas. Bagaimana tidak? Jika seseorang meragukan segala sesuatu, maka ia akan terus mencari dan benar-benar menggunakan akalnya untuk melihat segala sesuatu secara jelas dan terpilah-pilah seperti apa yang diajarkan Descartes, yaitu nantinya akan ditemukan suatu kebenaran. Orang akan berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dan tidak mudah terpengaruh oleh segaal sesuatu yang berada di luar diri kita. Seperti kita ketahui, masyarakat Indonesia masih memiliki gengsi yang tinggi. Dalam bidang ekonomi contohnya, Indonesia merupakan sasaran empuk bagi pemasaran produk-produk asing. Masyarakat cepat terpengaruh untuk memiliki produk tersebut tanpa memikirkan trelebih dahulu apakah barang atau produk tersebut benar-benar diperlukan. Belum lagi bila melihat penghasilan sehari-hari. Di sini, rasa gengsi yang tinggi mengalahkan rasio atau akal. Maka, semboyan “Cogito Ergo Sum” sangat penting dalam artian bahwa suatu hal memang perlu dipikirkan masak-masak dengan akal sehat jangan sampai termakan rasa gengsi. Dalam bidang lain misalnya bidang pendidikan. Ilmu yang diterima dalam bangku sekolah hendaknya tidak diterima begitu saja, namun setidaknya kita kembangkan agar benar-benar sesuai dengan penerapan dalam hidup sehari-hari. Walau ajaran Descartes adalah meragukan segala sesuatu, kita juga patut memilahmilah apa-apa saja yang perlu diragukan. “Cogito Ergo Sum” mengajarkan kita untuk benar-benar menggunakan akal sehat dalam melakukan segala sesuatu, jangan samapi kita terjerumus dalam hal-hal di luar rasio yang bisa menyesatkan pemikiran kita.



Bila “Cogito Ergo Sum” diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini akan menjadi sulit. Pasalnya, orang akan menjadi individualis, hanya memikirka diri sendiri dengan segala pemikiran dan akalnya tanpa mau mempertimbangkan apa yang menjadi saran atau pemikiran orang lain. Orang akan menjadi anti kritikan karena menganggap pemikirannya sudah benar karena seperti yang dikatakan di atas, bahwa hal tersebut sudah dipikirkan secara jelas dan terpilah-pilah. Bisa dibayangkan efeknya apabila hal ini terjadi. Indonesia dengan masyarakat majemuknya akan banyak menemui konflik karena perbedaan pemikiran. Sulit dibayangkan bila kerusuhan-kerusuhan akan makin marak dan korban pun berjatuhan.



BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah lahirnya filsafat modern berawal dari latar belakang kehidupan para tokoh filsuf yang penuh dengan khayalan dan takhayul. Mereka menjadi pendobrak hal-hal tabu itu dengan pemikiran rasionalismenya yaitu sumber pengetahuan yang terpercaya adalah rasio atau akal. Dengan akal sehat mereka mencoba menyadarkan orang akan realitas yang ada dan berusaha membebaskannya dari khayalan-khayalan yang ada. Dari para tokoh yang penulis bahas, hanya Pascal yang mengkritik rasionalisme Descartes, dan memang dialah awal dari kritik terhadap rasionalisme. Penerapan “Cogito Ergo Sum” memang baik dari segi individunya, namun tidak lebih baik bila dilihat dari segi kehidupan sosialnya. Di satu sisi orang akan semakin miningkat kualitas sumber daya manusianya, di sisi lain ia akan menjadi manusia individualis yang tidak peduli dengan pemikiran dan pendapat orang lain. Saran “Cogito Ergo Sum” hendaknya tidak diterpkan dalam segala aspek kehidupan. Ada kalanya kita mendengarkan saran, kritikan maupun pendapat orang lain demi kemajuan bersama.



DAFTAR PUSTAKA Bertens, K.1976.Ringkasan Sejarah Filsafat.Yogyakarta: Yayasan Kanisius Hadiwijono,Harun.1980.Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta:Yayasan Kanisius Sumber Internet http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en %7Cid&u=http://oregonstate.edu/instruct/phl302/philosophers/descartes.html