Contoh Proposal Skripsi  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMA DENGAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH



PROPOSAL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Matematika



Oleh : KAYAN RUSDIANDRI NIM. 13510187 PENDIDIKAN MATEMATIKA



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) SILIWANGI BANDUNG 2017



i



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan baik. Salawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarganya, pada sahabat dan umatnya yang selalu mendambakan syafaatnya hingga akhir zaman.



Proposal dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah” bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa SMA dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Proposal skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada program S1 di jurusan Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi Bandung.



Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan proposal sekripsi ini sehingga dapat menjadi acuan tindak lanjut penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi kita semua terutama bagi ilmu pendidikan.



Cimahi, Oktober 2017



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………….



i



DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………..



ii



A.



Judul …………………………………………………………………………………………………………



1



B.



Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………………….



1



C.



Identifikasi dan Rumusan Masalah …………………………………………………………….



7



D.



Tujuan Penelitian ………………………………………………………………………………………



7



E.



Manfaat Penelitian/ Pentingnya masalah ………………………………………………….



8



F.



Definisi Operasional ………………………………………………………………………………….



9



G.



Kajian Teoritis/Studi Literatur …………………………………………………………………..



10



H.



Hipotesis ..…………………………………………………………………………………………………



17



I.



Metode dan Disain Penelitian ……………………………………………………………………



17



J.



Populasi dan Sampel …………………………………………………………………………………



18



K.



Instrumen Penelitian …………………………………………………………………………………



18



L.



Prosedur Penelitian …………………………………………………………………………………..



24



M. Prosedur Pengolahan Data ………………………………………………………………………..



25



N.



Jadwal Penelitian ………………………………………………………………………………………



29



DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………..



30



ii



1



PROPOSAL SKRIPSI



A.



Judul Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa SMA dengan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah.



B.



Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri karena persaingan dalam dunia pendidikan semakin ketat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia. Pendidikan merupakan komponen yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Pendidikan dalam upaya membangun suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh setiap negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan yang selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses



pembelajaran.



Berdasarkan



pengalaman riil



di



lapangan,



proses



pembelajaran di sekolah ini kurang meningkatkan kreativitas siswa. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam



1



2



kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru. Pendidikan merupakan salah satu proses penting yang harus dilalui manusia. Melalui proses pembelajaran dalam pendidikan, seseorang dibimbing untuk mengembangkan pola pikir serta kepribadiannya menjadi pribadi yang kompeten dan berakhlak mulia agar dapat memainkan berbagai peran di dalam lingkungan kehidupannya masing-masing. Oleh karena itu, setiap orang harus memperoleh pendidikan. Diantara pelajaran ilmu agama, sastra, sains, sosial dan lain-lain, matematika merupakan salah satu pelajaran yang penting. Matematika menjadi penunjang berbagai ilmu lain sehingga tidak sedikit ilmu dan pengetahuan yang penemuan dan perkembangannya bergantung pada matematika. Hal ini sesuai dengan Kline dalam Suherman (2003) yang menyatakan bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Hal ini sejalan dengan Hudoyo (2003) yang menyatakan bahwa matematika adalah alat untuk mengembangkan cara berfikir sehingga sangat diperlukan untuk kehidupan seharihari maupun dalam menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi. Melihat betapa pentingnya matematika terutama dalam kehidupan sehari-hari, maka matematika perlu diajarkan. Cockroft dalam Abdurrahman (2003) mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan karena : 1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, 2) semua bidang studi memerlukan keterampilan



3



matematika yang sesuai, 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Hal ini diwujudkan melalui terselenggaranya pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan KTSP dalam Depdiknas (2006) menyatakan bahwa belajar matematika bertujuan agar peserta didik mampu memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika, salah satu aspek yang harus dikuasai siswa adalah berpikir kritis matematik. Berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Berpikir kritis akan membantu siswa memiliki pemikiran mengenai hal-hal yang dapat dipercaya atau yang tidak dapat dipercaya. Masalah lain yang terjadi di sekolah adalah saat di sekolah siswa lebih banyak menerima begitu saja materi yang diberikan oleh guru. Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti & Pujiastuti (2014) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir logis merupakan kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika. Jadi, kemampuan berpikir kritis atau logis ini bukan merupakan hasil transfer ilmu dari seseorang ke orang lain dalam hal ini guru ke siswa, akan tetapi dibentuk sendiri oleh siswa melalui pengalaman nyata dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya.



4



Menurut Dede Rosyada (2004) kemampuan berpikir kritis tiada lain adalah kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut. Selanjutnya Alec Fisher (2009) mendefinisikan berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Berdasarkan pemaparan tersebut berpikir kritis matematik penting dimiliki oleh siswa. Selain kemampuan berpikir kritis matematik, ada aspek lain yang juga patut diperhatikan dalam pembelajaran yaitu affective siswa, salah satunya kepercayaan diri. Kepercayaan diri menurut Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) (2009) diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki individu dalam meraih kesuksesan dan kompetensi, mempercayai kemampuan mengenai diri sendiri dan dapat menghadapi situasi di sekelilingnya. Siswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan mempercayai dirinya mampu menyelesaikan masalah yang ada dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Namun hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dalam Mullis, Martin, Foy dan Arora (2011) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa Indonesia masih rendah. Salah satu hal yang perlu kita soroti untuk mengetahui penyebab rendahnya berpikir kritis dan kepercayaan diri siswa adalah proses pembelajaran. Sekolah di Indonesia umumnya masih menerapkan pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran langsung yang berpusat pada guru (teacher centered). Menurut Amir (2009) pada proses pembelajaran tersebut, pengetahuan cenderung dipindahkan dari guru ke siswa tanpa siswa membangun sendiri pengetahuan



5



tersebut. Dalam kondisi seperti ini tidak jarang guru hanya memberikan catatan pelajaran kemudian menjelaskannya sehingga siswa menjadi pasif karena hanya mendengarkan dan mencatat pelajaran yang diberikan oleh guru. Aktivitas pembelajaran



seperti



ini



mengakibatkan



sedikitnya



kesempatan



siswa



mengekspresikan ide matematika secara mandiri, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa rendah karena tidak distimulus oleh guru. Siswa menyelesaikan soal hanya mengikuti algoritma yang sudah ada. Oleh karena itu pembelajaran yang berpusat pada guru dianggap tidak cocok lagi digunakan, sebab siswa tidak kreatif dalam mengekspresikan ide-ide mereka, dan hanya diberi informasi yang berkenaan dengan materi. Siswa hendaknya dapat membangun sendiri konsep berpikirnya yang berkaitan dengan ide-ide dan konsep matematika. Peningkatan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran yang membiasakan siswa untuk mengkontruksi sendiri idenya serta memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis. Model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan melalui masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupannya sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan siswa menjadi lebih mudah untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan. Salah satu alternatif untuk mendukung hal tersebut menurut Amir (2009) adalah menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dimana peserta didik dilibatkan untuk memecahkan suatu masalah melalui fase-fase ilmiah. Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah adalah mengorientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing pengalaman individual/



6



kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Fase-fase pembelajaran berbasis masalah memberikan peluang siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan dirinya. Misalnya pada fase mengorganisasi siswa untuk belajar, siswa dituntut berpikir kritis dalam permasalahan yang disajikan ke dalam ekspresi matematika. Kemudian dalam mengevaluasi hasil pemecahan masalah, siswa juga dituntut berpikir objektif dan rasional. Pada fase menyajikan hasil karya, siswa dituntut memiliki kepercayaan diri dalam menyampaikan hasil karyanya. Selain itu pembelajaran berbasis masalah melatih siswa untuk bisa berpikir rasional dan percaya diri yang merupakan indikator kepercayaan diri. Pengetahuan yang diperoleh melalui tahap-tahap menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan komunikatif. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa SMA dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.



7



C.



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1.



Apakah



kemampuan



berpikir



kritis



matematik



siswa



SMA



yang



pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa? 2.



Apakah kepercayaan diri siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa?



3.



Bagaimana implementasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah di lapangan?



4.



Bagaimana kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berpikir kritis matematik?



D.



Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah: 1.



Kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran biasa.



2.



Kepercayaan diri siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran biasa.



3.



Implementasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah di lapangan.



8



4.



E.



Kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berpikir kritis matematik.



Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan: 1.



Bagi Guru Sebagai masukan bagi para pendidik untuk pendekatan pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat dipergunakan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa.



2.



Bagi Siswa Penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa untuk menguasai konsep-konsep pembelajaran, sehingga kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri dapat meningkat.



3.



Bagi Pembelajaran Matematika pada Umumnya Dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah diharapkan bisa



sedikit merubah sosok matematika sebagai mata pelajaran yang sulit, bahwa matematika itu dekat dengan masalah-masalah kita pada kehidupan sehari-hari, serta untuk perbaikan pembelajaran pada masa yang akan datang.



9



F.



Definisi Operasional 1.



Kemampuan berpikir kritis matematik adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan seseorang untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapatnya sendiri, Ennis (Baron, dan Sternberg, (Eds), 1987) mengelaborasi indikator berpikir kritis secara rinci sebagai berikut :



2.



a.



Memfokuskan diri pada pertanyaan



b.



Menganalisis dan menjelaskan pertanyaan, jawaban, dan argumen



c.



Mempertimbangkan sumber yang terpercaya



d.



Mendeduksi dan menganalisa deduksi



e.



Menginduksi dan menganalisa induksi



f.



Merumuskan penjelasan, hipotesis, dan kesimpulan



g.



Menyusun pertmbangan yang bernilai



h.



Berinteraksi dengan yang lain



Kepercayaan diri adalah rasa percaya terhadap kemampuan dan perasaan dirinya, dengan indikator sebagai berikut :



3.



a.



Percaya kepada kemampuan sendiri



b.



Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan



c.



Memiliki konsep diri yang positif



d.



Berani mengungkapkan pendapat



Menurut Kamdi (2007) pendekatan pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran



yang



didalamnya



melibatkan



siswa



untuk



berusaha



memecahkan masalah dengan melalui beberapa tahap metode ilmiah sehingga siswa diharapkan mampu mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan



10



masalah tersebut dan sekaligus siswa diharapkan akan memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dan memiliki 5 tahapan yaitu :



G.



a.



Orientasi siswa kepada masalah



b.



Mengorganisasikan siswa untuk belajar



c.



Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok



d.



Mengembangkan dan menyajikan hasil karya



e.



Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah



Studi Literatur 1.



Kemampuan berpikir kritis matematik Sekolah harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak. Salah satu bentuk berpikir adalah berpikir kritis (critical thinking). Dalam penelitian ini menekankan kemampuan dalam hal berpikir kritis. Elaine Johnson (2002) berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Indikator berpikir kritis menurut Ennis dalam Rante (2008) ada 12 indikator berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu: “1. Memberikan penjelasan sederhana, 2. Membangun keterampilan dasar, 3. Menyimpulkan, 4. Memberikan penjelasan lanjut, 5. Mengatur strategi dan taktik.” Cece Wijaya (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah “Suatu kegiatan atau suatu proses menganalisis, menjelaskan, mengembangkan atau menyeleksi ide, mencakup mengkategorisasikan, membandingkan dan



11



melawankan (contrasting), menguji argumentasi dan asumsi, menyelesaikan dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan prioritas dan membuat pilihan”. Dede Rosyada (2004) kemampuan berpikir kritis tiada lain adalah “Kemampuan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut”. Selanjutnya Alec Fisher (2009) mendefinisikan berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Watson dan Glaser (1980) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah : (1) sikap penyelidikan yang melibatkan kemampuan untuk mengenali keberadaan dan penerimaan kebutuhan umum untuk bukti dalam apa yang ditegaskan untuk menjadi kenyataan, (2) pengetahuan tentang alam dari kesimpulan yang valid, abstraksi dan generalisasi di mana bobot akurasi berbagai jenis bukti ditentukan secara logis, dan (3) keterampilan dalam menggunakan dan menerapkan di atas sikap dan pengetahuan”. Berpikir kritis juga dikonseptualisasikan sebagai berorientasi pada hasil, rasional, logis, dan reflektif berpikir evaluatif, dalam hal apa untuk menerima (atau menolak) dan apa yang harus percaya, diikuti oleh keputusan apa yang harus dilakukan (atau tidak melakukan), kemudian bertindak dengan sesuai sikap yang diambil dan bertanggung jawab baik keputusan yang dibuat dan konsekuensinya (Zoller, 1999 dalam Miri, David & Uri, 2007). Berpikir kritis penting bagi masa depan siswa, mengingat bahwa itu mempersiapkan siswa untuk menghadapi banyak tantangan yang akan muncul dalam hidup mereka, karier dan pada tingkat kewajiban dan tanggung jawab pribadi mereka (Tsui, 1999 dalam Vieira, Tenreiro-Vieira, Martins, 2011).



12



Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka berpikir kritis matematik adalah kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah dengan menggunakan istilah



matematika



dan



berbagai



representasi



yang



sesuai



serta



memperhatikan kaidah-kaidah matematika. 2.



Kepercayaan diri Kepercayaan diri diartikan sebagai kepercayaan yang dimiliki individu dalam meraih kesuksesan dan kompetensi, mempercayai kemampuan mengenai diri sendiri dan dapat menghadapi situasi di sekelilingnya (RMIT, 2009). Menurut Fishbein & Ajzen dalam Parson, Croft & Harrison (2011), “selfconfidence is a belief”, kepercayaan diri adalah sebuah keyakinan. Keyakinan menurut Scoenfeld dalam Hannula, Maijala, & Pehkonen (2004) adalah “Pemahaman dan perasaaan individu yang membentuk konsep individu dan terlibat dalam perilaku matematika”. Kepercayaan diri adalah unsur penting dalam meraih kesuksesan. Menurut Molloy dalam Hapsari (2011) kepercayaan diri adalah “Merasa mampu, nyaman dan puas dengan diri sendiri, dan pada akhirnya tanpa perlu persetujuan dari orang lain”. Menurut Lestari dan Yudhanegara (2015) yaitu: Self-confidence adalah suatu sikap yakin akan kemampuan diri sendiri dan memandang diri sendiri sebagai pribadi yang utuh dengan mengacu pada konsep diri. Indikator self-confidence adalah: a) Percaya pada kemampuan sendiri. b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan. c) Memiliki konsep diri yang positif. d) Berani mengemukakan pendapat. Sedangkan kepercayaan diri menurut Ghufron dan Risnawita (2011), adalah “Keyakinan untuk melakukan sesuatu pada diri subjek sebagai



13



karakteristik pribadi yang di dalamnya terdapat kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis”. Pembentuk utama dari kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika menurut Jurdak (2009) adalah interaksi siswa dengan guru juga siswa dengan sesama siswa. Guru dan metode pembelajaran yang diterapkannya di kelas akan berpengaruh langsung pada kepercayaan diri siswa, saat siswa dihadapkan pada situasi yang menantang dan perasaan yang menyenangkan maka kepercayaan diri siswa pun akan meningkat. Menurut Lauster dalam Ghufron & Risnawati (2011) yaitu : Aspek-aspek kepercayaan diri meliputi: 1) keyakinan kemampuan diri yaitu keyakinan diri untuk mampu secara sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya, 2) optimis yaitu selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri dan kemampuannya, 3) objektif yaitu memandang permasalahan sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut dirinya, 4) bertanggung jawab yaitu kesediaan untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya, dan 5) rasional dan realistis yaitu analisis terhadap suatu masalah, sesuatu hal, dan suatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan. Preston (2007) menyebutkan aspek-aspek pembangun kepercayaan diri adalah kesadaran diri, niat, berpikir positif dan rasional, berpikir kreatif pada saat akan bertindak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kepercayaan diri adalah kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan tugas dan memilih cara penyelesaian yang baik dan efektif serta kepercayaan diri atas kemampuan



14



yang dimiliki siswa dalam mengambil keputusan dilihat dari kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistis. 3. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah Pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning menurut Checkly dalam Apriono (2011) adalah suatu sarana yang relevan untuk pembelajaran, dimana masalah nyata menjadi kajiannya, mereka menyelidiki, sunguh-sunguh mendalami, apa yang mereka perlukan untuk mengetahui dan ingin mengetahui. Sedangkan menurut Lloyd- Jones, Margeston, dan Bligh dalam Huda (2013), problem based learning mempunyai 3 elemen dasar yang seharusnya muncul dalam pelaksanaannnya yaitu menginisiasi masalah awal, meneliti



isu-isu



yang



diidentifikasi



sebelumnya,



dan



memanfaatkan



pengetahuan dalam memahami lebih jauh situasi masalah. Amir (2009) menyatakan bahwa problem based learning banyak diadopsi untuk menunjang pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sanjaya (2009) mengidentifikasi beberapa kelebihan problem based learning salah satunya yaitu dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Menurut Sanjaya (2006) kelebihan dari Problem Based Learning adalah : (1) mengembangkan jawaban yang bermakna bagi suatu masalah yang akan membawa siswa mampu menuju pemahaman lebih dalam mengenai suatu materi; (2) memberikan tantangan pada siswa sehingga siswa bisa memperoleh kepuasan dengan menemukan pengetahuan baru bagi dirinya sendiri; (3) membuat siswa selalu aktif dalam pembelajaran; (4) dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis setiap siswa, serta kemampuannya beradaptasi untuk belajar dengan situasi yang baru; (5) menantang kemampuan siswa serta memberikan



15



kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (6) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa; dan (7) dapat membantu siswa bagaimana mentansfer pengetahuannya untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. Sugiyanto (2009) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada premis situasi bermasalah yang membingungkan atau tidak jelas akan membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga siswa tertarik untuk menyelidiki”. Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima kriteria penting, yang pertama yaitu situasi mestinya autentik yang berarti bahwa masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya tidak jelas/tidak sederhana sehingga menciptakan misteri atau teka-teki. Ketiga, masalah itu seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kemudian masalah itu mestinya cakupannya luas sehingga memberikan kesempatan kepada guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya, tetapi tetap dalam batas-batas yang layak bagi pelajarannya dilihat dari segi waktu, ruang, dan keterbatasan sumber daya. Dan yang terakhir masalah yang baik harus mendapatkan manfaat dari usaha kelompok, bukan justru dihalanginya. Ada 5 tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah dan perilaku yang dibutuhkan guru yang dinyatakan oleh Sugiyanto (2009) yaitu: Fase pertama dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa, guru membahas tujuan pelajaran, memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Pada fase mengorganisasikan siswa untuk meneliti, guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan



16



tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Selanjutnya pada fase memandu investigasi mandiri dan kelompok, guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari solusi. Pada fase mengembangkan dan mempresentasikan hasil, guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat, seperti laporan dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain. Terakhir guru mendampingi siswa pada fase menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Selcuk dalam Hastuti (2014) menyatakan bahwa problem based learning membuat siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan berpikir kritis matematis siswa. Selain itu problem based learning melatih siswa untuk bisa berpikir rasional dan percaya diri yang merupakan indikator self-confidence. Pengetahuan yang diperoleh melalui tahap-tahap menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan seharihari akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan komunikatif. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang menghadapkan siswa pada permasalahan permasalahan matematis yang kontekstual sebagai konteks bagi siswa untuk belajar dan memperoleh pengetahuan dan konsep dari materi pelajaran.



17



H.



Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan studi literatur, hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.



Kemampuan berpikir kritis matematik siswa SMA yang menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.



2. Kepercayaan diri siswa SMA yang menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.



I.



Metode dan Disain Penelitian Metode Penelitian ini adalah eksperimen / kuasi eksperimen dimana kemampuan berpikir kritis sebagai variabel terikat dan pendekatan pembelajaran berbasis masalah sebagai variabel bebasnya, dengan disainnya sebagai berikut O



X



O



X



---------------O



atau



O



----------------



O



O



Dimana: O



: Pretest/ postest kemampuan berpikir kritis matematik



X



: Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah



--------



: Pengambilan sampel tidak acak



18



J.



Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA. Dengan subjek sampelnya adalah dua kelas XI di salah satu SMA Negeri di Kota Cimahi. Alasan pemilihan subjek sampel karena kemampuan berpikir kritis matematik adalah salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga cocok pada usia siswa di kelas XI yang sudah mulai dewasa, sehingga kemampuan berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa sudah harus mereka miliki sebagai bekal mereka khususnya dalam pembelajaran matematika umumnya pada pembelajaran mereka di sekolah ataupun dalam kehidupan sehari-hari.



K.



Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini berupa : 1.



Tes Kemampuan Berpikir kritis matematik. Instrumen



tersebut



kemudian



dikonsultasikan



dengan



dosen



pembimbing agar memiliki validitas isi. Sedangkan agar memiliki validitas empiris maka instrumen tersebut diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukarannya. a.



Validitas Sebelum menghitung validitas setiap butir soal, dilakukan terlebih dahulu pengujian validitas isi yang dilakukan oleh dosen pembimbing. Validitas soal yang dinilai oleh validator adalah (1) kesesuaian antara indikator dan butir soal; (2) kejelasan bahasa dan gambar dalam soal; (3) kesesuaian soal dengan tingkat kemampuan siswa kelas XI SMA; dan (4) kebenaran materi atau konsep.



19



Untuk mengetahui validitas tiap butir soal, koefesien validitas dihitung dengan menggunakan rumus korelasi produk momen (Hendriana, H. 2014) sebagai berikut :



r=



𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥)(∑ 𝑦) √{𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑥)2 }{𝑛 ∑ 𝑦 2 −(∑ 𝑦)2 }



Keterangan : r



= koefisien korelasi



x



= skor siswa pada satu butir soal



y



= skor siswa pada seluruh butir soal



n



= banyaknya subjek Untuk menginterpretasikan derajat validitas digunakan kriteria



klasifikasi menurut Guilford (Ruseffendi, 1991) sebagai berikut: Tabel 1.1 Klasifikasi Validitas Butir Tes



b.



Nilai r



Interpretasi



0,00 < r ≤ 0,20



Validitas sangat rendah



0,20 < r ≤ 0,40



Validitas rendah



0,40 < r ≤ 0,70



Validitas sedang



0,70 < r ≤ 0,90



Validitas tinggi



0,90 < r ≤ 1,00



Validitas sangat tinggi



Reliabilitas Untuk mengetahui nilai reliabilitas digunakan rumus Cronbach Alpha (Hendriana, H. 2014) sebagai berikut :



20



r



2 2 k St   Si ( ) k 1 St2



Keterangan :



r



= koefisien reliabilitas



k



= banyaknya subjek



Si



= simpangan baku butir tes ke-1



St



= simpangan baku seluruh butir tes Untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas suatu instrumen



dapat menggunakan kriteria klasifikasi menurut Guilford (Ruseffendi, 1991) sebagai berikut : Tabel 1.2 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Nilai r



Interpretasi



0,00 < r ≤ 0,20



Reliabilitas sangat rendah



0,20 < r ≤ 0,40



Reliabilitas rendah



0,40 < r ≤ 0,70



Reliabilitas sedang



0,70 < r ≤ 0,90



Reliabilitas tinggi



0,90 < r ≤ 1,00



Reliabilitas sangat tinggi



21



c. Daya Pembeda Daya beda atau indeks diskriminasi menunjukan sejauh mana setiap butir soal dapat membedakan siswa yang mampu menguasai materi pembelajaran. Menurut Hendriana, H. (2014), untuk menghitung daya beda tiap butir soal digunakan rumus sebagai berikut :



DB 



S A  SB JA



Keterangan :



S A = jumlah skor kelompok atas suatu butir soal S B = jumlah skor kelompok bawah suatu butir soal J A = jumlah skor ideal suatu butir soal Selanjutnya dilakukan penginterpretasian nilai daya beda (DB) yang diperoleh. Interpretasi koefisien daya beda yang dikemukakan Hendriana, H. (2014) seperti tampak pada tabel berikut :



Tabel 1.3 Klasifikasi Nilai Daya Pembeda Nilai DB



Interpretasi



0,00 ≤ DB < 0,20



Jelek



0,20 ≤ DB < 0,40



Cukup



0,40 ≤ DB < 0,70



Baik



0,70 ≤ DB < 1,00



Baik Sekali



22



d. Indeks Kesukaran Indeks kesukaran (IK) suatu butir tes menunjukkan derajat proporsi jumlah skor jawaban benar pada butir tes yang bersangkutan terhadap jumlah skor idealnya. Perhitungan indeks kesukaran butir menggunakan rumus tertentu sesuai dengan bentuk tes yang bersangkutan. Menurut Hendriana, H. (2014), untuk menghitung indeks kesukaran tiap butir soal digunakan rumus sebagai berikut :



IK 



S A  SB 2J A



Keterangan : SA



= jumlah skor kelas atas suatu butir soal



SB



= jumlah skor kelas bawah suatu butir soal



JA



= jumlah skor ideal suatu butir soal



Selanjutnya melakukan interpretasi nilai indeks kesukaran yang diperoleh. Interpretasi koefesien indeks kesukaran menurut Hendriana, H. (2014) adalah sebagai berikut : Tabel 1.4 Klasifikasi Indeks Kesukaran Nilai IK



Interpretasi



0,00 ≤ IK < 0,20



Soal terlalu sukar



0,20 ≤ IK < 0,30



Soal sukar



0,30 ≤ IK < 0,70



Soal sedang



0,70 ≤ IK < 0,90



Soal mudah



0,90 ≤ IK < 1,00



Soal sangat mudah



23



2.



Instrument Non Tes a.



Skala Kepercayaan Diri Pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Angket yang diberikan dalam penelitian ini adalah suatu bentuk evaluasi siswa dalam pernyataan positif dan negatif terhadap suatu objek psikologis atau juga perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada suatu objek tertentu. Skala pandangan siswa terhadap pembelajaran diberikan kepada siswa sesudah kegiatan pembelajaran. Skala pandangan siswa mengenai Pembelajaran Berbasis Masalah terdiri dari 33 butir pernyataan dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat sering (SS), sering (S), jarang (JR) dan jarang sekali (JS). Untuk mendukung pernyataan pandangan positif masing-masing mempunyai nilai SS = 4, S = 3, JR = 2, JS = 1 dan sebaliknya, untuk mendukung pernyataan negatif masing-masing mempunyai nilai SS = 1, S = 2, JR = 3, dan JS = 4. Bobot penilaian dalam angket dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.5 Bobot Nilai Angket Kepercayaan Diri No



Pernyataan



1



Bobot Pernyataan Positif



Negatif



Sangat Sering



4



1



2



Sering



3



2



3



Jarang



2



3



4



Jarang Sekali



1



4



24



b.



Bahan Ajar Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Sementara itu, pada kelas kontrol diberikan LKS yang berbeda dan perangkat pembelajarannya mengacu kepada pembelajaran biasa. Bahan ajar dikembangkan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1.



Kememadaian materi soal-soal yang disajikan dalam bahan ajar didasarkan pada pertimbangan dosen pembimbing.



2.



Mengujicobakan bahan ajar dengan tujuan sebagai berikut : a. Mengukur berapa lama waktu yang diperlukan siswa untuk menyelesaikan satu bahan ajar b. Untuk melihat kesesuaian soal-soal yang disajikan dengan tujuan yang ingin dicapai



3.



Setelah uji coba dilakukan diadakan revisi seperlunya terhadap bahan ajar.



L.



Prosedur Penelitian Penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan



tahap evaluasi. penjelasan dari tahapan tahapan tersebut yaitu: 1.



Tahap persiapan meliputi : a. Studi perpustakaan b. Pengajuan judul c. Pembuatan proposal skripsi d. Seminar proposal skripsi



25



e. Pembuatan dan pengembangan instrumen f.



Memilih sempel, lalu menentukan kelas eksperimen dan kelas control



g. Melakukan uji coba tes kemampuan pemahaman matematis pada kelas yang satu tingkat lebih tinggi dengan kelas yang akan jadi eksperimen penelitian. 2.



Tahap Pelaksanaan a. Memberikan pre-tes dan postes pada kelas eksperimen dan control b. Melakukan pembelajaran matematika dengan pendekatan metaphorical tinking pada kelas eksperimen dan pembelajaran biasa pada kelas kontrol. c. Pada setiap pertemuan terdafat observer yang mengisi lembar observasi mengenai kegiatan pembelajaran. d. Mengadakan protes di hari terakhir



3.



Tahap Evaluasi a. Menganalis data yang tekumpul pretes, postes, lembar observasi, dan jurnal siswa b. Menysusun laporan dari hasil temuan-temuan dari peneliti



M. Prosedur Pengolahan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diolah dengan menggunakan beberapa software, yaitu Microsoft Excel 2010 digunakan untuk mengolah data hasil uji coba instrumen, rekapitulasi postes berpikir kritis matematik dan kepercayaan diri siswa SMA. Software SPSS digunakan untuk mengolah uji beda mean kemampuan berpikir kritis dengan prosedur pengolahan data (Sugiyono, 2007) sebagai berikut :



26



1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa data berdistribusi normal maka pengujian dilanjutkan dengan uji homogenitas. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Sedangkan jika hasil pengujian menunjukkan data tidak berdistribusi normal maka digunakan uji Mann-Whitney yang merupakan alat uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif (uji beda) bila datanya berskala ordinal (ranking) pada sampel independen. Sebuah sampel dikatakan bersifat independen, apabila dua kelompok atau lebih tidak saling berhubungan, masing-masing kelompok diberi perlakuan (treatment) sebanyak satu kali. 2. Uji Homogenitas Varians dari Dua Kelompok Uji homogenitas varians digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Apabila kedua kelompok data (sampel) tersebut berasal dari populasi-populasi dengan varians yang sama dinamakan populasi homogen. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : 𝜎12 = 𝜎22 : Varians skor kelas eksperimen dan kontrol sama H1 : 𝜎12 ≠ 𝜎22 : Varians skor kelas eksperimen dan kontrol tidak sama Keterangan: 𝜎12 = Varians skor kelas eksperimen 𝜎22 = Varians skor kelas kontrol



27



Uji statistikanya menggunakan uji homogenitas variansi dua buah peubah bebas yaitu uji-F. 3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata Untuk menguji apakah terdapat perbedaan peningkatan kelas kontrol dan eksperimen, maka dilakukan pengujian perbedaan dua rata-rata dengan taraf signifikansi 𝛼 = 0,05. Hipotesis yang diajukan adalah: H0 : Rerata pretes kelas eksperimen sama dengan rerata pretes kelas kontrol H1 : Rerata pretes kelas eksperimen tidak sama dengan rerata pretes kelas kontrol Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rerata untuk data postes serta peningkatan pretes dan postes pada kedua kelompok tersebut. Jika kedua rerata skor beristribusi normal dan homogen maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t dan apabila data tidak berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan adalah dengan pengujian non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Jika data berdistribusi normal tetapi varians tidak homogen, maka digunakan uji t’. 4. Uji Gain Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan kognitif siswa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran, dilakukan perhitungan gain ternormalisasi. Perhitungan gain ini dilakukan apabila pada pengolahan data pretes kemampuan kognitif siswa disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata. ternormalisasi dari Hake (Hidayat, 2011) sebagai berikut:



Gain (g) =



Skor tes akhir − skor tes awal skor maksimum ideal − skor tes awal



Perhitungan gain



28



Tabel 1.6 Klasifikasi Gain (g) Besarnya Gain (g)



Interpretasi



(g) > 0,70



Tinggi



0,30 ≤ (g) ≤ 0,70



Sedang



(g) < 0,30



Rendah



Uji Normalitas



Data Tidak Normal



Data Normal



Uji Homogenitas



Data Tidak Homogen Uji Non Parametrik Mann Whitney



Data Homogen Uji Perbedaan Dua Rata-rata Uji t’



Uji Perbedaan Dua Ratarata Uji t



Gambar 1.1 Prosedur Pengolahan Data



29



N.



Jadwal Penelitian Tabel 1.7 Jadwal Penelitian



Bulan No.



Langkah Penelitian 10 Membuat proposal



1 penelitian 2



Membuat instrument



3



Mengurus perijinan Uji coba Instrumen dan



4 penelitian Di lapangan 5



Pengumpulan data



6



Pengolahan data



7



Penulisan laporan penelitian



11



12



1



2



3



4



5



6



DAFTAR PUSTAKA



Arfin, Bambang Hudiono, Suratman, D. (2014) Pengaruh Problem Based Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis pada Materi Gradien Di SMP. Cahyaningsih, U dan Ghufron, A. (2016) “Pengaruh Penggunaan Model Problem-Based Learning terhadap Karakter Kreatif dan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika”. Program Pascasarjana. Yogyakarta : Jurnal Pendidikan Karakter Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas. 70 Fachrurazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Hapsari, M. J. (2011). Upaya Meningkatkan Self Confidence Siswa dalam Pembelajaran Matematika Melalui Model Inkuiri Terbimbing. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 3 Desember 2011. Prosiding. Hendriana, H., & Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung; Refika Aditama. Hendriana, H., dkk. (2017). Hard Skills dan Soft Skills Matematika Siswa. Bandung: Refika Aditama. Huda, M. (2013). Model Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hudoyo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.



30



NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: The NCTM. Ruseffendi, E.T. (1991). “Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika Guru dan Calon Guru”, Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1993). “Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi: tidak diterbitkan. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Sudarman. (2007). Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal Pendidikan Inovatif Vol. 02 No. 02. Sugiyanto. (2009). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Mata Padi Presindo. Sugiyarti, H. (2005). Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa SMPN 1 Tambakromo Kabupaten Pati Melalui Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.



31