Crs TB Paru Efusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report



Efusi Pleura Bilateral et causa TB Paru



Oleh :



Afnilia Rozana



1310311182



Fitri Indria Rahmi



1310312003



Meylin Purnama Sari



1310311028



Preseptor: dr. Irvan Medison, Sp.P (K) dr. Masrul Basyar, Sp. P (K)



BAGIAN PULMONOLOGI RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2017



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah



melimpahkan



nikmat



dan



karunia-Nya,



sehingga



penulis



dapat



menyelesaikan laporan kasus mengenai efusi pleura et causa tuberkulosis paru pada



pasien



imunokompromise.



Dalam



kesempatan



ini,



penulis



ingin



menyampaikan terimakasih kepada : 1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Dr.dr.Wirsma Arif Harahap, Sp.B(K)-Onk beserta Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2. dr. Irvan Medison, Sp. P (K) dan dr. Masrul Basyar, Sp. P (K) selaku preseptor yang telah mengorbankan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberi petunjuk serta saran kepada penulis. 3. Seluruh Dosen pengajar di bagian pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP dr. M. Djamil Padang, yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 4. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang penulis miliki. Untuk itu, dengan hati terbuka penulis menerima saran atau kritikan yang bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan tulisan ini. Padang, Juni 2017



Penulis



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculsosis. yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun SM, namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam 2 abad terakhir.1 Kemajuan pengendalian TB di dunia pada awalnya terkesan lambat. Pada 1882 Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacerium tuberculosis. Pada 1906 vaksin BCG berhasil ditemukan. Lama sesudah itu, mulai ditemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan Asam Paraaminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan Isoniazid (Isonicotinic Acid Hydrazide; INH), diikuti dengan penemuan Pirazinamid (1952) Cycloserine (1952), Ethionamide (1956), Rifampicin (1957), dan Ethambutol (1962). Namun kemajuan pengobatan TB mendapat tantangan dengan bermunculan strain M. Tuberculosis yang resisten terhadap OAT. Epidemi HIV AIDS yang terjadi sejak tahun 1980-an semakin memperberat kondisi epidemi TB. Pada akhir tahun 1980an dan awal 1990-an mulai dilaporkan adanya resistensi terhadap OAT.1 Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).



Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed Treatment Short-Course, DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional diseluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.1 TB masih merupakan beban bagi negara berkembang baik dalam segi diagnosis maupun tatalaksana. Diperlukan kerjasama antar sektor baik kesehatan maupun pemerintah sebagai pengatur kebijakan mengenai masalah TB. Tatalaksana yang baik dapat menghindari terjadinya resistensi dan komplikasi bagi pasien. 1.2 TUJUAN Tujuan penulisan case report ini adalah untuk memahami dan menambah pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar terjadi pada paru yyang mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar.2 2.2 EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.3 WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahu 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada anak diantara seluruh kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun), sedangkan kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun.4 Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa



penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun.4 2.3 FAKTOR RISIKO Faktor Risiko TB dibagi atas tiga, yaitu1 1. Faktor individu (host) •



Usia. Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB. Anak-anak hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak dengan usia antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap infeksi TB.







Jenis kelamin. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi penyebab pasti belum diketahui, apakah disebabkan karena perbedaan gen terkait atau faktor gaya hidup seperti merokok, atau kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan.







Daya tahan tubuh. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Beberapa faktor lain yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol, penggunaan narkoba suntik, merokok, diabetes melitus, orang-orang



dengan terapi kortikosteroid, gastrektomi, dan stadium akhir penyakit ginjal. 2. Faktor kuman (agent) Konsentrasi kuman yang terhirup dan lamanya waktu kontak seseorang dengan sumber penularan mempengaruhi kejadian tuberkulosis. 3. Faktor lingkungan (environment) Ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah berhubungan dengan kejadian tuberkulosis. 2.4 PATOGENESIS 1.TUBERKULOSIS PRIMER Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.3 Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut: a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) c. Menyebar dengan cara :



a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup



gawat



seperti



tuberkulosis



milier,



meningitis



tuberkulosa,



typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan cara yaitu sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer. 2. TUBERKULOSIS POST-PRIMER Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post



primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.3 Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini: • Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas • Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi



• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).



Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan penyembuhannya 2.5 KLASIFIKASI 1. TUBERKULOSIS PARU Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) 3 a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam: a) Tuberkulosis Paru BTA (+) • Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif



• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b) Tuberkulosis Paru BTA (-) • Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas • Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif • Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa b. Berdasarkan Tipe Penderita Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b) Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan berupa Infeksi sekunder, Infeksi jamur, TB paru kambuh



c) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah d) Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. e) Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan. f) Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik g) Kasus bekas TB • Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung • Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik



2. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu: a. TB di luar paru ringan Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. b. TB diluar paru berat Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. 2.6 MANIFESTASI KLINIS Pada pasien TB gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik. 4 1. Gejala respiratorik • Batuk ≥ 3 minggu • Batuk darah • Sesak napas • Nyeri dada



Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi yang mengenai paru pasien. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.4 2. Gejala Sistemik 



Demam







Malaise







Keringat malam







Anoreksia







Berat badan menurun



3. Gejala TB ekstra paru Gejala TB ekstra paru yang dialami pasien tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.4 2.7 DIAGNOSIS TB PARU Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan



fisik/jasmani,



pemeriksaan



penunjang



pemeriksaan



lainnya.



bakteriologik,



Diagnosis



TB



radiologik



ditegakkan



dan



berdasarkan



terdapatnya paling sedikit satu spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai TB.5 WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan atau isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:5 



Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada pasien dengan riwayat gagal terapi.







Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.







Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.







Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%. WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan



berlangsung pada situasi berikut ini:5  Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus dilakukan. 1. Gejala Klinis Gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik.4 • Batuk ≥ 3 minggu • Batuk darah • Sesak napas • Nyeri dada



• Demam • Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun 2. Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada TB ekstra paru, antara lain : 



Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.







Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadangkadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abses”4



3. Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk



pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).4 b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara: • Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan) • Dahak Pagi ( keesokan harinya ) • Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) Bahan



pemeriksaan/spesimen



yang



berbentuk



cairan



dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.4 Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.4 Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:4



• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya • Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml • Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak • Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus • Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil • Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi • Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan dahak • Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium. c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.4 Pemeriksaan mikroskopik:4 



Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett







Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan cara sebagai berikut : a) Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4% b) Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair sempurna • Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm c) Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenolmerahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah d) Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuningkuningan e) Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah



bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.4



Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :4 • Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) • Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul 4. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk (multiform).4 Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : • Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah • Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular • Bayangan bercak milier • Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif • Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau fibrotik



• Kompleks ranke • Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru (Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. • Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : a. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti. b. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.4 5. Pemeriksaan Penunjang Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu



yang



dibutuhkan



untuk



pembiakan



kuman



tuberkulosis



secara



konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.4 a. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan



ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat. b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:4 



Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.







Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah







Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang



mendeteksi



reaksi



serologi



yang



terjadi



d.



ICT



Uji



Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang



berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis



antigen.



Apabila



serum



mengandung



antibodi



IgG



terhadap



M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis c. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah



e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan



sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).



Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis, pertimbangan dokter dalam menetapkan pemberian pengobatan berdasarkan pada: 1. keluhan, gejala, dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung ke arah TB 2. kondisi yang memerlukan pengobatan segera seperti meningitis TB, TB milier, ko-infeksi TB/HIV, dsb. 2.8 PENGOBATAN TB PARU Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Obat harus diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi langsung oleh PMO (pengawas makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.6 Pada pengobatan tahap awal, OAT diberikan setiap hari untuk menurunkan jumlah kuman. Untuk semua pasien baru, pengobatan TB harus diberikan selama 2 bulan. Umumnya, pengobatan yang teratur dan tanpa penyulit, daya penularan pasien akan menurun secara signifikan dalam 2 minggu pengobatan. Pada tahap lanjutan, pengobatan bertujuan untuk membunuh sisa bakteri M.tb hingga pasien benar-benar sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.6 Tabel 1. OAT Lini I



Tabel 2. Dosis OAT



Panduan OAT menurut Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia adalah: Kategori 1



: 2(HRZE)/4(HR)3



Kategori 2



: 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3



Kategori Anak : (HRZ)/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien Tb resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisis, kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.6 OAT disediakan dalam dua bentuk yaitu KDT (kombinasi dosis tetap) dan kombipak. Pada OAT KDT, trdapat 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang disesuaikan dengan BB pasien. Pada paket OAT kombipak, terdiri atas obat leas isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. OAT kombipak digunakan pada pasien yang terbukti mengalami efek samping pada OAT KDT sebelumnya. Berikut table untuk masing masing OAT KDT dan kombipak pada kategori 1 maupun 2.6



Table 3.Panduan OAT KDT kategori 1



Table 4.OAT kombipak kategori 1



Table 5.Panduan OAT KDT kategori 2



Table 6. Panduan OAT Kombipak kategori 2



1. Hasil Pengobatan TB Hasil pengobatan TB dapat dilihat pada table berikut



2. Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB Pemantauan kemajuan dan hasil pengbatan pada dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir bulan ke-2 dan ke-5. Untuk pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemriksaan dahak dua kali yaitu sewaktu dan pagi, dinyatakan hasil dahak negatif bila keduanya menunjukkan hasil negatif. Bila pemeriksaan menunjukkan hasil negatif, maka pengobatan dapat dilanjutkan ke fase lanjutan dan kembali memeriksa dahak pada akhir bulan e-5 dan akhir pengobatan. Bila hasil dahak positif, tetap lanjutkan pengobatan tanpa pemberian sisipan seperti program sebelumnya. Pasien kemudian kembali memeriksakan dahak pada 1 bulan setelah fase lanjutan. Bila



hasil tetap masih positif, lakukan uji kepekaan obat. Bila fasilitas tidak mendukung untuk dilakukannya uji kepekaan obat, maka obat fase lanjutan tetap dilanjutkan dan kembali melakukan pemeriksaan pada akhir bulan ke-5.6 2.9 KOMPLIKASI Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah batuk darah, pneumotoraks, gagal napas, gagal jantung, efusi Pleura.7 Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa dengan beberapa cara: 1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB. 2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah



(empiema). Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah. 3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks. 2.10 PROGNOSIS Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat, ketersediaan obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien dengan tb paru tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8 



50% meninggal







25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi







25% manjadi kasus kronis yang tetap menular



BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama



: Tn. AF



No. RM



: 979067



Tanggal Masuk



: 19 Mei 2017



Tanggal Lahir



: 21 September 1994



Umur



: 22 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Pekerjaan



: Wiraswasta



Alamat



: Pua data Korong Padang Bukit, Lubuk Paandan, Enam Lingkung, Kab. Padang Pariaman



Agama



: Islam



Status



: Belum Menikah



Negeri Asal



: Indonesia



3.2 Anamnesis Seorang pasien laki-laki berumur 22 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 19 Mei dengan: Keluhan Utama Sesak napas yang meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang 



Sesak napas meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak menciut. Sesak napas terus-menerus meningkat karena aktivitas. Sesak napas tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan emosi. Sesak napas mulai



dirasakan sejak 3 minggu minggu yang lalu. Sesak berkurang dengan tidur miring ke kiri. 



Riwayat Batuk ada. Batuk mulai dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk hilang timbul. Batuk berdahak berwarna putih. Batuk darah tidak ada.







Riwayat batuk darah ada, 3 tahun yang lalu, 2 kali, lengket didahak.







Nyeri dada ada, sebelah kiri, kadang-kadang.







Demam ada, sejak 1 minggu yang lalu, tidak tinggi dan tidak menggigil, namun saat ini pasien sudah tidak demam.







Keringat malam ada sejak 1 bulan yang lalu.







Penuurunan BB ada, tidak tahu berapa Kg.







Penurunan nafsu makan ada.







Riwayat merokok ada, 10 batang per hari selama 5 tahun (IB=50, Ringan), berhenti sejak 3 tahun yang lalu.







Mual dan muntah tidak ada.







Riwayat DM tidak ada







Nyeri Ulu hati tidak ada







BAK dan BAB normal.



Riwayat Penyakit Dahulu 



Riwayat minum obat OAT sebelumnya tidak ada







Riwayat DM tidak ada







Riwayat Hipertensi tidak ada



Riwayat Keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.



Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan 



Pasien seorang penjual parfum isi ulang di jakarta, merokok 10 batang perhari selama 5 tahun dengan IB ringan dan sudah berhenti sejak 3 tahun terakhir.







Kosumsi alkohol disangkal







Riwayat Free Sex disangkal







Riwayat penggunaan narkoba suntik disangkal







Riwayat tatoo tidak ada



3.3 Pemeriksaan Fisik (Penilaian awal medis pasien rawat inap) 3.2.1 Status Generalis Keadaan Umum



: Sakit sedang



Kesadaran



: CMC



Tinggi Badan



: 180 cm



Berat Badan



: 60 kg



IMT



: 18,5 Kg/m2



Tekanan Darah



: 120/80 mmHg



Frekuensi Nadi



: 100 x/menit



Frekuensi Napas



: 24 x/menit



Suhu



: 36,5ºC



3.2.2 Status Lokalis Kepala



: normocepal, simetris



Mata



: Konjungtiva anemis ada dan sklera ikterik tidak ada



Mulut



: Tidak ada kelainan



Leher



: tidak ada kelainan



JVP



: 5-2 cmH20



Trakea



: tidak ada deviasi



KGB



: Tidak terdapat pembesaran KGB



Jantung Inspeksi



: iktus kordis tidak terlihat



Palpasi



: iktus kordis sukar teraba



Perkusi



: batas jantung sukar dinilai



Auskultasi



: suara jantung normal tidak ditemukan bising irama regular



Paru Depan Inspeksi



: paru kiri lebih cembung dari yang kanan (statis) paru kiri gerakannya lebih tertinggal dari yang kanan (dinamis)



Palpasi



: fremitus paru kiri melemah dari yang kanan



Perkusi



: - kiri : redup - kanan : atas – setinggi RIC V sonor, kebawah Redup



Auskultasi



: suara napas kiri melemah- menghilang Suara napas kanan : Atas – RIC V bronkovesikular, Ronkhi+, wheezing -, Kebawah melemah.



Paru Belakang Inspeksi



: paru kiri lebih cembung dari kanan (statis) paru kiri pergerakannya tertinggal dari yang kanan



(dinamis) Palpasi



: fremitus kiri melemah dari yang kanan



Perkusi



: kiri : redup Kanan : atas- setinggi VT VII sonor, kebawah Redup



Auskultasi



: suara napas kiri: melemah - menghilang suara napas kanan : atas- SVT VII bronkovesikuler, ronkhi (+), whezzing (-), Kebawah normal.



Abdomen Inspeksi



: tidak terdapat distensi



Palpasi



: hepar dan lien tidak teraba, nyeri epigastrium (-)



Perkusi



: timpani



Auskultasi



: bising usus positif



Genitalia: tidak diperiksa Ekstremitas: udem tidak ada, clubbing finger tidak ada



3.3 Pemeriksaan Laboratorium Hb



12,8 g/dl



Ureum



29



Leukosit



4880 /mm3



Kreatinin



0,9



Trombosit



386.000/mm3



Globulin



4,2 g/dL



Ht



39%



Bilirubin total



0,6 mg/dL



SGOT



24 u/L



Total Protein



7,0 g/dL



SGPT



31 u/L



Albumin



2,8 g/dL



Kesan labor



: Leukopenia, Albumin rendah, Globulin tinggi.



1.4 Gambaran Rontgen Toraks:



Rontgen thorak pria usia 22 tahun di RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 26 Mei 2017. Rontgen tampak simetris, sentris, densitas sedang, inspirasi cukup, trakea di tengah, diafragma kiri dan kanan terselubung, dengan sudut costo frenikus kanan dan kiri terselubung. Jantung CTR sulit dinilai, aorta dan mediastinum



superior



tidak



melebar,



tampak



perselubungan



homogen



dihemitoraks dextra dan sinistra dengan gambaran meniscus sign, dan infiltrat dikedua lapangan paru. Kesan : efusi pleura bilateral, dominan kiri dengan TB Paru milier. 3.5 Diagnosis Kerja Efusi pleura bilateral et causa Susp TB + Leukositopenia, Albumin rendah, Globulin tinggi 3.6 Diagnnosis Banding Susp Ca bronkogenik jenis belum diketahui



3.7 Rencana pengobatan dan pemeriksaan: •



Prednison 3x3 mg







Vit B6 1x10 mg







N asetil sistein







OAT kategori I mulai tanggal 27 Mei 2017 o Rifampisin 1x450 mg o INH 1x300 mg o Pirazinamid 1x1500 mg o Etambutol 1x1000mg







IVFD asering selama 12 jam/kolf







Punksi pleura







BTA Sputum SPS



3.8 Hasil Pemeriksaan Sputum SPS 



19 Mei 2017 I : Negatif







19 Mei 2017 II : Negatif







22 Mei 2017 III : Negatif



3.9 Follow Up Tabel 1. Follow up pasien tanggal 31 Mei hingga 1 Juni 2017 SOAP Tanggal dan jam 31 Mei 2017 16.00



(Subjective, Objective, Assesmen, Planing) S/ 



Sesak sudah mulai berkurang







Sesak terutama bila beraktifitas







Nafsu makan meningkat







Keringat malam (+)







Batuk berdahak







Batuk darah (-)







Demam (-)







Nyeri dada (-)







Mual muntah (-)



O/ KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 110/80, ND: 80, RR: 17, T: AF Paru depan 



Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan simetris







Palpasi: Fremitus kiri melemah







Perkusi: Kanan Sonor, Kiri sonor pekak pada RIC VVI







Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing (-/-)



A/ Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT Kategori I Fase Intensif H5



P/ R450/H300/Z1500/E1000 (H6) Prednison 3x2 tablet Vit B6 1x10 1 Juni 2017 09.00



S/ 



Sesak napas (-)







Nafsu makan meningkat







Keringat malam (+)







Batuk berdahak







Batuk darah (-)







Demam (-)







Nyeri dada (-)







Mual muntah (-)



O/ KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 110/70, ND: 80, RR: 20, T: AF Paru depan 



Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan simetris







Palpasi: Fremitus kiri melemah







Perkusi: Kanan Sonor, Kiri sonor pekak pada RIC VVI







Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing (-/-)



A/ Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT Kategori I Fase Intensif H6



P/ R450/H300/Z1500/E1000 (H6) Prednison 3x2 tablet Vit B6 1x10 1 Juni 2017 11.00



S/ 



Sesak nafas (-)







Nafsu makan meningkat







Keringat malam (+)







Batuk berdahak







Batuk darah (-)







Demam (-)







Nyeri dada (-)







Mual muntah (-)



O/ KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 120/80, ND: 100, RR: 24, T: AF Paru depan 



Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan simetris







Palpasi: Fremitus kiri = kana







Perkusi: Sonor







Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing (-/-)



A/ Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT Kategori I Fase Intensif H6



P/ R450/H300/Z1500/E1000 (H6) Prednison 3x2 tablet Vit B6 1x10



BAB IV DISKUSI Seorang pasien laki-laki berusia 22 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil Padang rujukan RSUD Pariaman dengan keluhan sesak nafas yang meningkat sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Sesak tidak menciut, sesak bertambah saat melakukan aktifitas. Pasien lebih nyaman tidur miring ke arah kiri. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk sudah dirasakan sejak satu bulan yang lalu, batuk disertai dahak berwarna putih kental. Batuk berdarah tidak ada. Riwayat batuk berdarah ada 3 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan adanya keringat malam semenjak 1 bulan yang lalu dan penurunan nafsu makan ada, disertai penurunan berat badan. Pasien mengeluhkan demam, terutama pada malam hari tidak tinggi. Tidak ada keluhan nyeri dada. Tidak ada keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati, dan keluhan buang air kecil dan besar. Dari keluhan diatas, dapat dicurigai pasien mengalami gangguan pada ruang interpleura akibat adanya cairan sehingga membuat pengembangan paru tidak maksimal dan muncul gejala sesak. Gangguan tersebut disebut efusi pleura yang diakibatkan karena penyakit sebelumnya yaitu TB paru. Efusi pleura sekunder bisa merupakan komplikasi dari TB paru karena akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap



kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB. Batuk merupakan reflex pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Rangsangan yang biasanya menyebabkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan salah satunya akibat infeksi bakteri. Proses perangsangan batuk ini dicetuskan oleh adanya benda asing oleh tubuh, seperti dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri inilah yang nantinya akan memicu batuk. Sedangkan dahak merupakan hasil dari reaksi inflamasi tubuh dimana terjadi perlawanan dari leukosit untuk melawan bakteri. Pada pasien ini terdapat riwayat keringat malam dan penurunan berat badan. Hal ini merupakan ciri khas dari pasien TB. Dari pemeriksaan fisik paru, gerak dinding dada kiri tertinggal. Pada palpasi, ditemukan fremitus di dada maupun punggung kiri melemah. Hal ini dikarenakan efusi yang menghambat getaran kepermukaan. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan dada dan punggung kiri redup. Redup pada perkusi diakibatkan adanya cairan di rongga pleura. Auskultasi didapatkan bahwa suara nafas kiri melemah sedangkan suara nafas kanan bronkovesikuler, terdapat ronki, tidak terdapat whezzing. Suara nafas melemah ini dikarenakan efusi pada rongga kiri menyebabkan suara nafas terhambat oleh cairan tersebut. Pada laboratorium, didapatkan hemoglobin 12,8 gr/dL, leukosit 4880/mm3, trombosit 386000/mm3, ureum 29, kreatinin 0,9, bilirubin total 0,6, SGOT 24,



SGPT 31. Kesan leukopenia dengan albumin rendah dan globulin tinggi. Hasil pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya perselubungan homogen di hemitoraks kiri dan kanan, dan juga infiltrate di kedua lapangan paru. Disimpulkan kesan foto adalah efusi pleura bilateral dominan kiri dan tuberculosis milier. Berdasarkan penjabaran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien adalah efusi pleura et causa tuberculosis.



DAFTAR PUSTAKA



1



Infodatin. Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh [serial online]. Jakarta: Pusadatin, 2014



2



Darmanto D. Respirologi, respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2009.



3



PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia. Jakarta: PDPI, 2014.



4



Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.



5



Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tatalaksana Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013.



6



Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.



7



PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia. Jakarta: PDPI, 2006.



8



Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005.