Deskripsi Pengertian Sistem Transportasi Makro Dan Contohnya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DESKRIPSI PENGERTIAN SISTEM TRANSPORTASI MAKRO DAN CONTOHNYA Sistem transportasi makro adalah penggambaran suatu sistem transportasi yang terdiri dari sistem-sistem transportasi mikro yakni sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pegerakan yang bergerak secara sinergis dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Sedikit perubahan pada sistem transportasi mikro akan mempengaruhi sistem mikro lainnya yang ada dalam satu sistem makro tersebut. Sistem transportasi makro terdiri dari beberapa sistem transportasi mikro, yaitu sistem kegiatan (transport demand), sistem jaringan (transport supply), sistem pergerakan (traffic), dan sistem kelembagaan (goverment). Sistem-sistem tersebut saling berinteraksi dan diatur oleh sistem kelembagaan. Sistem kegiatan adalah sistem yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna lahan tersebut. Besarnya pergerakan sangat terkait dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh dari sistem kegiatan adalah pergerakan orang yang berpergian dari rumah ke kantor. Kegiatan ini memerlukan sistem jaringan agar orang dapat mencapai tempat yang dituju. Sistem jaringan yang biasanya digunakan adalah berupa jaringan jalan raya, kereta api, terminal, bus, bandara dan pelabuhan laut. Sistem jaringan adalah sistem yang berfungsi untuk mendukung pergerakan manusia dan atau barang, moda ini berupa moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana transportasi ini dikenal dengan sistem jaringan yang meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal, bus, bandara dan pelabuhan laut. Contoh dari sistem jaringan adalah jaringan jalan dan moda yang ada pada jaringan jalan tersebut. Untuk jaringan jalan, kita ambil contoh Jalan Gatot Subroto yang merupakan salah satu jalan-raya yang terletak di Kota Denpasar. Jalan Gatot Subroto disini adalah sebagai media (prasarana) sedangkan kendaraan 2 yang melalui Jalan Gatot Subroto baik itu sepeda motor, mobil, dan moda lainnya adalah sebagai moda transportasi (sarana). Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia/kendaraan, sistem ini disebut dengan sistem pergerakan. Sistem pergerakan berperan penting dalam menampung pergerakan penduduk/ orang dan/ atau barang agar tercipta pergerakan yang lancar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kembali sistem sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada, dalam bentuk aksesibilitas dan mobilitas. Contoh dari sistem pergerakan adalah Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). Sistranas adalah tatanan transportasi yang terorganisasi secara kesisteman terdiri dari transportasi jalan, transportasi kereta api, transportasi sungai, danau, dan penyeberangan, transportasi laut serta transportasi pipa, yang masing-masing terdiri dari sarana dan prasarana, kecuali pipa, yang saling berinteraksi dengan dukungan perangkat lunak dan perangkat pikir membentuk suatu sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi melayani perpindahan orang dan atau barang, yang terus berkembang secara dinamis. Tujuan Sistranas adalah terwujudnya transportasi yang efektif dan efisien dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan peningkatan hubungan internasional. Untuk menjamin terjadinya pergerakanyang aman, nyaman, lancar, mudah dan handal dan sesuai dengan lingkungan. Maka diperlukan suatu sistem yang mengatur tiga sistem diatas. Sistem ini disebut sistem kelembagaan. Contoh sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah Bappeda, Bina Marga, dan Polantas. Beberapa contoh tersebut merupakan institusi-institusi yang mengatur sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan. Koordinasi diantara instansi-instasi yang termasuk



dalam sistem kelembagaan sangat diharapkan untuk mencapai tujuan dari sistem transportasi makro Indonesia.



PERMASALAHAN TRANSPORTASI DKI JAKARTA



PERMASALAHAN TRANSPORTASI DKI JAKARTA



TUGAS PERENCANAAN DAN PEMODELAN TRANSPORTASI



Oleh : Ni Putu Emmy Oktariani 1291561024



JURUSAN TEKNIK SIPIL PROGRAM PASCASARJANAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk negara sedang berkembang, permasalahan yang ada di negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan negara-negara maju, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, kesenjangan sosial, hingga kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pembangunan itu sendiri. Diantara banyak permasalahan itu adalah permasalahan transportasi yang mencerminkan suatu kota. Permasalahan transportasi banyak terjadi di kotakota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk. Kemacetan menjadi permasalahan sehari-hari di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar dan kotakota besar lainnya di Indonesia. Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia dan merupakan kota terbesar di Asia Tenggara. Jakarta terdiri dari bermacam-macam suku etnik, budaya, bahasa dan agama. Meraka datang ke kota Jakarta untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Luas Jakarta banyak berkembang dari sekitar 180 km2 pada tahun 1960 dan 661,52 km2 pada tahun 2000. Sekarang Jakarta dengan kota lain sekitar Jakarta –Tanggerang, Bekasi, depok dan Bogor menjadi kota megapolitan yang dikenal Jabodetabek. Jabodetabek merupakan suatu region besar metropolitan yang mempunyai jumlah penduduk 10.187.595 jiwa pada tahun 2011 (Disdukcapil DKI Jakarta).



Pesatnya pertambahan jumlah penduduk DKI Jakarta semakin meningkatkan masalah mobilitas perkotaan. Tingginya jumlah penduduk berimplikasi terhadap pemanfaatan sumber daya kota yang terbatas. Ketidak seimbanagn antara infrastruktur publik yang tersedia dengan jumlah penduduk yang membutuhkannya menyebabkan kurangnya pelayanan kota termasuk di sektor transportasi. Kondisi ini menyebabkan tingginya jumlah kendaraan pribadi yang tidak seimbang dengan ketersediaan ruas jalan, sehingga permasalahan kemacetan lalu lintas semakin di perparah. Jakarta merupakan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Sudah banyak teori yang diterapkan untuk mengatasi permasalahan transportasi, namun tetap saja tidak memberikan solusi yang efektif. Bahkan, sampai ada gagasan memindahkan Ibu Kota Jakarta ke tempat lain. Hal ini sebagai akibat pembangunan di Indonesia yang terpusat di Jakarta atau di Pulau Jawa saja. Beberapa hal yang sulit dicari jalan keluar dalam mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta, antara lain, pertumbuhan kendaraan yang sangat tinggi, rendahnya disiplin pengguna jalan, buruknya perencanaan dan penataan kota, kondisi sarana kendaraan umum yang buruk, keamanan dan kenyamanan di jalanan (pengamen, penjaja, pengemis, dan lain-lain). Penerapan sistem Retribusi Pengendalian Lalu Lintas di DKI Jakarta merupakan suatu langkah yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan harus di kendalikan dengan baik, untuk bisa mengatasi semua permasalahan yang timbul dalam proses penetapan kebijakan, perencanaan dan pembangunan yang membutuhkan sosialisasi yang mencakup sektor politisi, masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Berbagai permasalahan harus segera dipecahkan dan perlu sosialisasi yang benar-benar bisa merubah cara berpikir dan untuk itu perlu dilaksanakan oleh sosiolog yang memahami perubahan karakter masyarakat. Permasalahan transportasi memang sudah sedemikian kompleksnya, semakin lama semakin banyak jalan yang mengalami kemacetan lalu lintas yang pada gilirannya akan mengakibatkan waktu perjalanan semakin lama. Permasalahan transportasi bukan dominasi dari sarana dan prasarana jalan saja, tetapi juga sebagai akibat dari alih fungsi tata guna lahan serta jumlah penduduk yang memiliki sistem aktivitas yang beragam. Permasalahan transportasi biasanya tumbuh lebih cepat dari upaya untuk melakukan pemecahan permasalahan transportasi sehingga mengakibatkan permasalahan menjadi bertambah parah dengan berjalannya waktu. Selain itu timbul dampak-dampak negatif dari permaslaahan lalu lintas yang berkaitan dengan lingkungan.



Untuk bisa memecahkan permasalahan lalu lintas perlu diambil langkah-langkah yang berani atas dasar kajian dan langkah-langkah yang pernah dilakukan dikota-kota lain. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang diatas adalah : 1. Bagaimana permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta saat ini ? 2. Bagaimana keterkaitan antara sistem transportasi makro terhadap permasalahan transportasi DKI Jakarta ? 3. Bagaimana solusi serta realisasi yang telah dilakukan dalam memecahkan permasalahan sistem transportasi DKI Jakarta ? 4. Apa dampak negatif serta solusi dari permasalahan transportasi DKI Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui permasalahan sistem transportasi di DKI Jakarta saat ini. 2. Untuk mengetahui keterkaitan antara sistem transportasi makro terhadap permasalahan transportasi DKI Jakarta. 3. Untuk mengetahui solusi serta realisasi yang telah dilakukan dalam memecahkan permasalahan sistem transportasi DKI Jakarta. 4. Untuk mengetahui dampak negatif serta solusi dari permasalahan transportasi DKI Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Sebagai tambahan informasi bagi mahasiswa mengenai permasalahan yang sedang dihadapi DKI Jakarta saat ini. 2. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menemukan akar permasalahan transportasi sehingga dapat diperoleh solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan transportasi DKI Jakarta. 3.



Sebagai sumbangan fikiran bagi perencana untuk meningkatkan kinerja serta pemahaman mengenai permasalahan transportasi yang terjadi di DKI Jakarta.



BAB II KAJIAN PUSTAKA Secara umum, transportasi dibedakan dalam beberpa jenis yaitu, transportasi udara, transportasi laut dan transportasi darat. Menurut Abbas Salim (1993), transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dimana dalam transportasi terdapat dua unsur penting yaitu, pemindahan/pergerakan serta secara fisik tempat dari barang (komoditi) dan penumpang ke tempat lain. Dalam transportasi terdapat dua kategori penting : 1. Pemindahan bahan-bahan dan hasil produksi dengan menggunakan alat angkut 2. Mengangkut penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rustian Kamaludin (1986), bahwa transportasi adalah mengangkut atau membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lainnya atau dengan kata lain yaitu merupakan suatu pergerakan pemindahan barang–barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu menurut Rustian Kamaludin (1986), manfaat dari adanya transportasi dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: 1. Nilai guna tempat (Place Utility) Yaitu kenaikan atau tambahan nilai ekonomi atau nilai guna dari suatu barang atau komoditi yang diciptakan dan mengangkutnya dari suatu tempat ke tempat lainnya yang mempunyai nilai kegunaan yang lebih kecil, ke tempat atau daerah dimanabarang tersebut mempunyainilai kegunaan yang lebih besara yang biasanya diukur dengan uang (interens of money). 2. Nilai guna waktu (Time Utility) Yaitu kesanggupan dari barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang-barang, tidak hanya dimana mereka membutuhkan, tetapi dimana mereka perlukan.



Moda transportasi terbagi atas tiga jenis moda, yaitu: 1. Transportasi darat: kendaraan bermotor, kereta api, gerobak yang ditarik oleh hewan (kuda, sapi, kerbau), atau manusia. Moda transportasi darat dipilih berdasarkan faktor-faktor:



Jenis dan spesifikasi kendaraan Jarak perjalanan Tujuan perjalanan Ketersediaan modal Ukuran kota dan kerapatan permukiman Faktor sosial-ekonomi 2. Transportasi air (sungai, danau, laut): kapal, tongkang, perahu, rakit. 3. Transportasi udara: pesawat terbang. Transportasi udara dapat menjangkau tempat tempat yang tidak dapat ditempuh dengan moda darat atau aut, di samping mampu bergerak lebih cepat dan mempunyai lintasan yang lurus, serta praktis bebas hambatan. Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini terlihat bahwa : Adanya muatan yang diangkut. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut. Adanya jalan yang dapat dilalui oleh alat angkut tersebut. Pemindahan barang dan manusia dengan angkutan adalah untuk bertujuan menaikkan atau menciptakan nilai ekonomi dari suatu barang, dengan demikian pengangkutan dilakukan karena nilai suatu barang lebih tinggi di tempat tujuan dari pada tempat asalnya. 2.1 Sejarah Transportasi DKI Jakarta Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar dan terpadat di Asia Tenggara. Kota yang dihuni



oleh



sekitar



10



juta



jiwa



penduduknya



dengan



segala



permasalahan



dan



kesemerawutannya. Kota dengan sejarah masa lalu yang kompleks dan kondisi sosial budaya yang sangat beragam tentu dengan sederet permasalahannya. Salah satu masalah yang cukup krusial dan penting adalah masalah transportasi kota. Selama ini Jakarta dikenal sebagai metropolitan terburuk dalam mengatur transportasi warganya yang mencapai 10 juta jiwa. Kemacetan selalu terjadi dimana-mana. Bahkan menurut situs ensiklopedia terkenal, Wikipedia, Jakarta memiliki lebih dari 100 titik rawan kemacetan yang tersebar merata diseluruh wilayah kota. Fasilitas dan Infrastrukur transportasi yang kurang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kemacetan tersebut. Jakarta belum mempunyai sistem serta infrasturktur transportasi



massal yang terpadu. Transportasi yang bisa melayani kebutuhan perpindahan warganya dengan cepat, aman, murah, nyaman dan massal. Disamping itu keberadaan kantong-kantong penduduk di kota-kota satelit Jakarta yang setiap harinya melakukan perjalanan menuju Jakarta ikut memperparah kondisi transportasi di kota Jakarta. Komuter yang berasal dari Depok, Tanggerang, Bogor serta Bekasi tersebut semakin menambah arus kendaraan di dalam kota Jakarta yang sudah sedemikian padat. Sebagai akibatnya, kemacetan yang parah tak terhindarkan di jalan-jalan utama menuju kota-kota tersebut. Masalah transportasi Jakarta selanjutnya adalah tata ruang Jakarta yang sedemikan rumit dan kompleks. Tata ruang yang tidak mengindahkan tata guna lahan menyebakan semakin banyaknya transportasi atau perpindahan yang harus dilakukan warga ibu kota. Pada dasarnya, kebutuhan akan transportasi adalah kebutuhan sekunder manusia untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Baik itu berupa barang maupun orang. Tata ruang yang buruk juga bisa menjadi titik pangkal kemacetan. Seperti misalnya tempat keluar parkir dari sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang membuat macet jalanan atau kawasan disekitarnya. Selain itu masalah transportasi yang sangat krusial adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang mencapai 11% per tahun. Angka yang cukup fantastis bagi Jakarta yang hanya mempunyai 5000 km jalan raya (sudah termasuk jalan-jalan kecil dan jalan tol). Bahkan jika semua kendaraan yang ada di kota Jakarta keluar pada saat yang bersamaan maka bisa dipastikan seluruh jalan yang ada di Jakarta akan ditutupi oleh kendaraan tersebut. Untuk mencari solusi atas masalah transportasi Jakarta yang ada, disamping pendekatan pada kondisi saat ini juga diperlukan pendekatan sejarah transportasi kota. Kondisi transportasi Jakata yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari kebijakan-kebijakan transportasi di masa lampau. Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dahulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dahulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini. Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah tanjung priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan



sunda kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia-Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya seperti pada gambar 2.1 berikut.



Gambar 2.1 Trem berkuda Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dahulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api. Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan, Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS) seperti pada gambar 2.2 berikut.



Gambar 2.2 Angkutan massal Zidosha Sokyoku (ZS)



Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena perang sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu Jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga kampung melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bisa dilihat diantaranya di museum fatahillah serta di Jembatan bekas trem yang milintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulkan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota. Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak tahun 1960an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapusan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan di Jakarta. Pada saat itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari. Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat masyarakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program pembelian kendaraan pribadi ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akmumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah



tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya sementara pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi. Sebenarnya kebijakan transportasi Jakarta, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah memasuki tahapan baru. Pemerintah mulai menyadari bahwa untuk kota seperti Jakarta, penggunaan transportasi yang bersifat massal lebih menguntungkan dibandingkan transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan-kebijakan transportasi Jakarta dalam satu dasawarsa terakhir ini yang mulai menunjukkan tren untuk mengurangi jumlah kendaran pribadi dan memperbaiki sistem angkutan umum di kota Jakarta. Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Kepala DLLAJ DKI Jakarta J. P. Sepang diperintahkan untuk memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Langkah ini meniru sistem di Singapura. Pemda DKI Jakarta di masa itu juga membuat jalur khusus bagi bus kota dengan cat warna kuning, termasuk membangun sejumlah halte bus dengan sarana telepon umum (Halte 2000). Namun, hal tersebut akhirnya juga diiringi dengan antrean kendaraan yang makin panjang di jalan-jalan raya dan bus kota yang tidak juga tertib dalam menaik-turunkan penumpang. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta saat itu juga mempraktekkan sistem pengaturan lampu lalu-lintas kawasan (Area Traffic Control System-ATSC) pada 110 persimpangan yang bisa disaksikan setiap sore melalui tayangan Metro TV. Tapi sistem adopsi Jerman itu tidak efektif untuk mengatasi persoalan transportasi di Jakarta, sistem ini kalah oleh hujan lebat yang turun dan berhasil mematikan lampu lalu lintas secara tiba-tiba. Terakhir, di akhir masa kepemimpinan Sutiyoso, wajah Ibukota dihiasi dengan bus Trans Jakarta (busway) yang menjadi tulang punggung konsep sistem transportasi makro atau massal. Dengan 7 koridor efektif dan 329 armada bus, busway justru menjadi masalah baru. Beberapa catatan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah diidentifikasi, seperti pembangunan koridor di bahu jalan umum tanpa penambahan luas, panjang dan jaringan jalan, serta jumlah armada yang hanya mampu menyerap 210.000 penumpang per hari (berbanding 8,96 juta penduduk) dengan tingkat kepadatan yang tinggi (berdesakan), apalagi dengan kebijakan Fauzi Bowo yang memperbolehkan kendaraan lain melintasi jalur busway. Busway yang diklaim sebagai sarana transportasi massal-cepat itupun semakin minim sanjungan. Terbukti, hasil riset tim Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan bahwa perpindahan pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna busway hanya mencapai 14%. Di sisi lain, Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mentargetkan mampu menjual sekiar 420



ribu unit kendaraan setahunnya. Ini berarti masyarakat Ibukota tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap busway sebagai tawaran para pengurus Ibukota (Pemprov DKI Jakarta). Melihat dari sejarahnya pun, pola transportasi yang paling tepat untuk diterapkan di kota seperti Jakarta adalah transportasi yang bersiafat massal, yang mampu mengmindahkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang relatif singkat, cepat, dan aman. Namun, hal ini tidak disadari oleh pengambil kebijakan ibukota di masa lampau. Peran pemerintah saat ini muali kembali ke arah kebjikan yang sesuai. Tren yang berkembang akhir-akhir ini adalah pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu di DKI Jakarta. Hal ini sudah dimulai sejak diluncurkannya program Busway oleh gubernur Sutiyoso beberapa tahun yang lalu. Sesungguhnya pembangunan infrasturktur transportasi tidak dapat dilakukan dalam setahun dua tahun. Perlu kebijakan yang berkesinambungan agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Pembangunan mass rapid transit (MRT) beserta sistem yang mendukungnya adalah solusi jangka panjang yang harus terus diupayakan. Jakarta dalam hal ini sudah memiliki master plan untuk mengintegrasikan sistem busway, monorel, shelter bus, serta kereta listrik, sebagai MRT andalannya dimasa yang akan datang. Dengan berbagai kekurangannya, program busway dan kereta listrik telah menjadi pelopor MRT yang harus terus didukung dan diperjuangkan. Disamping itu, dalam tanggungjawabnya melayani kebutuhan publik Ibukota Negara. Dalam keseriusan membangun sistem transportasi masal, pengelola transportasi Ibukota juga harus menguasai teknologi transportasi. Konsekuensinya adalah pengembangan industri transportasi yang mandiri. Untuk pengembangan sistem transportasi jangka panjang, hal ini akan lebih efisien daripada terus menerus melakukan impor teknologi dan pemeliharaannya yang sangat mahal. Namun, tersedianya sarana transportasi massal tidak bisa berdiri sendiri dalam menjamin efek yang diharapkan. Dibutuhkan strategi untuk mengarahkan pilihan masyarakat menggunakan sarana transportasi massal. Strategi ini akan berusaha melepaskan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi, sehingga sistem transportasi massal dapat berjalan efektif. Secara garis besar, aplikasi kebijakan insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan dan kuota kepemilikan adalah strategi yang tegas bagi para pengguna kendaraan pribadi. Selain dapat memaksimalkan penggunaan sarana transportasi massal oleh sebanyak-banyaknya penduduk, dana yang terkumpul dari strategi ini juga dapat dialokasikan untuk terus membangun sistem transportasi massal yang telah diproyeksikan.



Ada beberapa kebijakan terkait insentif-disinsentifikasi pajak kendaraan adalah “Congestion Charging” atau pajak kemacetan adalah pengenaan pajak pada kendaraan yang melewati wilayah-wilayah tertentu di dalam sebuah kota, dengan klasifikasi jenis kendaraan tertentu dan pada waktu tertentu. London, Trondheim, Durham dan beberapa kota lainnya di Eropa menggunakan strategi ini. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui account khusus atau tempat lainnya. Kendaraan yang melewati zona tersebut dimonitor oleh kamera khusus yang merekam plat mobil yang lewat. Semua uang yang terkumpul dari congestion charging diinvestasikan untuk membangun fasilitas sistem transportasi kota. Kemudian juga ada strategi penerapan peraturan pembatasan usia kendaraan dan kelaikan operasional kendaraan bermotor. Dengan begitu, pertumbuhan jumlah kendaraan dalam kurun waktu tertentu dapat dikontrol. Cara ini juga bisa diparalelkan dengan pembebanan pajak tinggi kepada para pemilik kendaraan lebih dari satu. Strategi selanjutnya adalah sistem kuota (Vehicles Quota System-VQS). Dengan sistem kuota maka tingkat pertumbuhan kendaraan dapat ditekan sekecil mungkin. Di Singapura, cara ini mampu menekan pertumbuhan kendaraan sebesar 3% per tahun. Selain itu dapat diberlakukan pola Mobil Liburan (Weekend Car-WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya pada akhir pekan atau di luar jam sibuk (peak hours). Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak. Strategi tersebut merupakan pilihan bagi pengelola Ibukota untuk mengatasi masalah transportasi. Di samping itu, dalam mengambil keputusan kebijkan transportasi, analisis yang tidak boleh dilupakan adalah analisi permintaan terhadap transportasi itu sendiri. Bisa saja Jakarta sudah mempunyai MRT dan sistem transportasi yang terpadu. Busway, monorel, Kereta Listrik serta sistem shelter yang memadai, akan tetapi permintaan akan transportasi tetap saja besar. MRT tetap saja penuh dan tidak nyaman, Jakarta tetap macet karena masih banyak kendaraan-kenadraan pribadi yang tidak mampu diakomodir oleh sistem MRT. Masyarakat masih tetap saja mengeluh bahwa persoalan transportasi belum selesai sehingga pengurangan permintaan transportasi adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Salah satu caranya adalah dengan memeratakan pertumbuhan ekonomi di Jakarta ke daerah sekitarnya. Sehingga orang tidak perlu berbondong-bondong mendatangi Jakarta hanya untuk mencari sesuap nasi. Alternatif lainnya adalah dengan membuat kawasan-kawasan terpadu di Jakarta. Dimana, tempat-tempat seperti pasar, tempat rekreasi, rumah sakit di satukan dalam



satu kawasan yang dekat dengan warga sehingga untuk mencapai tampat itu masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh. 2.2 Sistem Transportasi Makro Untuk mendapatkan pemecahan masalah terbaik, di lakukan pendekatan sistem. Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau obyek yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dimana perubahan pada suatu komponen sistem akan menyebabkan perubahan pada komponen yang lainnya. (Tamin, 2000). Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat di bagi menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro), yang masing – masing saling terkait dan saling mempengaruhi (Gambar 2.3).



Gambar 2.3 Sistem Transpormasi Makro Sistem transpormasi dapat di bagi menjadi 4 yaitu : 1. Sistem kegiatan Sistem kegiatan adalah tata guna lahan yang mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan menarik pergerakan lalu lintas dalam proses pemenuhan kebutuhan. Sistem tersebut merupakan pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan.



2. Sistem jaringan Perjalanan yang di timbulkan oleh suatu tata guna lahan tidak selalu bergerak langsung menuju tujuan akhir. Perjalannan ini harus melalui lintas perjalanan untuk mencapai tujuan dari suatu perjalanan tersebut. Oleh karena itu di perlukan sarana transportasi yang meliputi moda transportasi dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana yang di perlukan ini yang di sebut sistem jaringan yang meliputi jalan raya, kereta api, terminal bus, bandara dan pebuhan laut. 3. Sistem pergerakan Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan pergerakan. Pergerakan tersebut bisa merupakan pergerakan manusia maupun barang dalam bentuk pergerakan pejalan kaki maupun kendaraan. Sistem pergerakan yang aman, cepat, murah dan handal sesuai lingkungannya dapat tercipta jika pergerakan tersebut di atur oleh sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Sistem ini memegang peranan yang penting dalam menampung pergerakan sehingga tercipta pergerakan yang lancar yang akhirnya mempengaruhi sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada dalam bentuk mobilitas dan aksesibilitas. 4. Sistem kelembagaan Sistem ini meliputi individu, lembaga dan instansi pemerintah atau swasta yang terlibat dalam setiap sistem mikro tersebut, untuk menjamin terwujudnya suatu pergerakan yang aman, nyaman, murah, lancar dan sesuai dengan lingkungan. Sistem kelembagaan yang berkaitan dalam masalah transportasi antara lain : Sistem kegiatan : Bappeda, Bappenas, pemda Sistem Jaringan : Dephub ( darat, laut, dan udara ) dan bina marga Sistem Pergerakan : Polantas 2.3 Sistem Tata Guna Lahan dan Transportasi dalam Pembangunan yang Berkelanjutan Terdapat kecenderungan bahwa berkembangnya suatu kota bersamaan pula dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi, sehingga masalah ini akan selalu membayangi perkembangan suatu wilayah perkotaan. Permasalahan ini bukan saja menyangkut pada kenyamanan sistem transportasi yang terganggu (kepadatan, kemacetan, keterlambatan serta



parkir), namun juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan melalui meningkatnya gas buang dari kendaraan bermotor serta merupakan suatu bentuk pemborosan energi yang sia-sia. Jadi dapat dilhat, bahwa permasalahan transportasi ini merupakan suatu permasalahan kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dan sistem yang terkait sehingga dalam pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan aktor dalam pembangunan kota. Transportasi selalu dikaitan dengan tujuan dari kegiatan perpindahan yaitu sistem kegiatan yang dipengaruhi oleh tata guna lahan, misalnya pusat kegiatan yang terpisah memerlukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja, ke pasar, ke tempat rekreasi atau untuk mengangkut barang dari lokasi industri ke pelabuhan, toko, dan sebagainya. Makin jauh lokasi satu dengan lokasi lain, maka semakin panjang pula trasportasi yang harus dilakukan. Sebaliknya, makin dekat lokasi satu kegiatan dengan kegiatan lain, makin pendek pula transportasi yang harus dilakukan. Pendekatan terhadap sistem kegiatan ini sebenarnya sangat banyak macam dan faktornya, namun yang lebih terkait pada aspek pola tata guna lahan dalam suatu kota. Dengan konsep di atas, maka transportasi penduduk dapat diperpendek melalui suatu penataan tata guna lahan yang memungkinkan percampuran, sehingga masyarakat tidak harus melakukan perjalanan jarak jauh untuk berbagai maksud dan tujuan seperti bekerja, belajar, belanja, rekreasi, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan dengan pembangunan unit permukiman yang tidak saja dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial seperti pendidikan, perbelanjaan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya, tetapi juga berdekatan dengan lokasi tempat kerja (lokasi perkantoran, industri, dan lain-lain). Konsep ini akan memberikan suatu bentuk unit-unit permukiman yang mandiri. Dalam skala kota, unit-unit mandiri tersebut akan menimbulkan kota dengan pusat majemuk. Kota dengan pusat-pusat yang majemuk ini memungkinkan pengurangan perjalanan jarak jauh, dimana penghuni unit mandiri telah tercukupi dengan fasilitas sosial ekonomi dalam jarak jangkauan yang dekat. Kota-kota dengan multi pusat tersebut juga memungkinkan pelayanan angkutan umum serta pelayanan umum lainnya lebih efisien. Konsep-konsep ini sebenarnya telah diterapkan dalam perencanaan kota-kota di Indonesia yang tertuang dalam bentuk RTRW, RUTRK, RDTRK, RTRK dan lainlain, mulai dari tingkat SWP,BWK, Blok, sub blok, sampai hirarki pelayanan yang lebih kecil. Perencanaan ini telah memperhatikan hirarki pelayanan umum yang tentunya dengan memperhatikan faktor kegiatan pergerakan penduduknya secara minimal pula.



Untuk meninjau sistem kegiatan yang ada dalan suatu kota seperti Jakarta, maka harus ditinjau dalam skala yang lebih luas, dalam hal ini Jabotabek. Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia memiliki luas mencapai 651 km 2 dengan penduduk 8,2 juta, serta Jabotabek dengan luas wilayah 6.812 km2 dan penduduk 17,1 juta jiwa. Pada tahun 2015, jumlah penduduk diperkirakan mencapai 12,1 juta jiwa untuk Jakarta dan 32 juta untuk wilayah Jabotabek (lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 Penduduk wilayah Jabotabek



Sumber : BPPT-GTZ, JMTSS (1993)



Dengan melihat pada beberapa data di atas, maka peran kota-kota di luar Jakarta sangat menentukan kondisi transportasi di Jakarta karena akan adanya arus yang sangat besar dari wilayah-wilayah itu ke pusat kota Jakarta pada tahun 2015. Pusat kota (Central Bussines District) akan menjadi tempat yang tidak nyaman lagi untuk tempat tinggal karena faktor mahal, bising dan lain-lain, sehingga banyak penduduk yang tinggal luar kota (sub urban) dan menjadi commuter. Konsep lain yang cukup menarik dalam kaitan dengan sistem kegiatan ini adalah mix use planning dalam penggunaan lahan seperti konsep superblock, redevelopment, urban renewal dan lain-lain. Konsep pembangunan yang terpadu antara hunian, tempat bekerja, fasilitas kebutuhan skala lokal ini bila dapat diterapkan dengan baik juga akan mampu mengurangi jumlah pergerakan penduduk, karena untuk kegiatan-kegiatan dalam skala kebutuhan lokal akan dapat di penuhi di lokasi setempat.



2.4 Konsep Perencanaan Transportasi Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang sampai dengan saat ini. Konsep yang paling populer adalah model perencanaan transportasi empat tahap. Model perencanaan ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masing-masing harus dilakkan secara terpisah dan berurutan (Tamin, 2000). Beberapa konsep yang digunakan dalam perencanaan transportasi yaitu : 1. Aksesibilitas Aksesibilitas yaitu suatu ukuran kemudahan atau kesempatan untuk melakukan perjalanan



Gambar 2.4 Aksesibilitas dari zona i ke zona d 2. Bangkitan Perjalanan Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) yaitu bagaimana perjalanan dapat dibangkitkan oleh tata guna lahan. Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) menghasilkan lalu lintas yang masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan lalu lintas yang meninggalkan suatu zona (Trip Production)



Gambar 2.5 Bangkitan perjalanan 2. Distribusi Perjalanan (Trip Distribution) yaitu bagaimana perjalanan tersebut didistribusikan dari satu zona ke zona yang lain.



Gambar 2.6 Distribusi perjalanan 3.



Pemilihan Moda Transportasi (Moda choice) yaitu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk satu tujuan perjalanan tertentu.



Gambar 2.7 Pemilihan moda transportasi 4.



Pemilihan Rute (Trip Assignment) yaitu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan rute antara zona tujuan. Hal ini diperuntukan khusus untuk kendaraan pribadi.



Gambar 2.8 Pemilihan rute 5. Arus lalu lintas pada jaringan jalan



Gambar 2.9 Arus lalu lintas pada jaringan jalan Konsep kedua sampai dengan konsep kelima merupakan bagian utama dari keenam konsep yang harus dilakukan berurutan. Urutan tersebut bervariasi. Beberapa alternative variasi adalah yaitu :



Gambar 2.10 Alternatif variasi perjalanan lalu lintas Keterangan : G



:



Bangkitan perjalanan



D



:



Distribusi perjalanan



MS :



Pemilihan Moda



A



Pemilihan Rute



:



Analisis pemilihan moda dapat dilakukan pada tahap yang berbeda – beda dalam proses perencanaan dan pemodelan transportasi. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar 2.8. Pendekatan model pemilihan moda yang sangat bervariasi, tergantung pada tujuan perencanaan transportasi. Tipe pertama mengatakan bahwa proses pemilihan moda dilakukan pada tahap menghitung bangkitan perjalanan. Tipe kedua mempertimbangkan proses pemilihan moda yang terjadi setelah bangkitan perjalanan dan sebelum distribusi perjalanan. Tipe ketiga mempertimbangkan



BABIV PEMBAHASAN 4.1 Permasalahan Sistem Transportasi DKIJakarta Saat Ini Kemacetan di daerah ibu kota telah menjadi penyakit kronissejak awal tahun 1990-an, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan.Berbagai solusi ditawarkan, namun tidak satupun berjalan efektif untukmengatasinya, karena solusi yang ditawarkan (misal: jalur 3-in-1, jalur khususbus, perbaikan jalan, dan pembangunan jalan tol) cenderung terpilah-pilah(parsial), tidak sistematis, dan tidak kontinu. Departemen Pekerjaan Umum (PU)sebagai pembina urusan jalan merupakan salah satu pihak yang menjadi sasarancomplainmasyarakat yang bertubi-tubitentang persoalan kemacetan tersebut. Fakta ini dapat dipahami mengingat saatini 90% angkutan penumpang maupun barang bertumpu pada jaringan jalan yangada.Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sejauh ini merupakan harapan terbesarmasyarakat ibu kota, daerah sekitarnya, bahkan nasional, untuk mendukungkegiatan sosial ekonominya. Kemacetan digambarkan secara teoritik, oleh arus yang tidakstabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yangpanjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosialekonomi ataupada persimpangan lalu lintas di pusat-pusat perkotaan. Kemacetan yang parahsebagaimana terjadi di Jakarta dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yakni sisisupply (penyediaan) dan sisi demand (kebutuhan). Anatomi kemacetandiperlihatkan secara skematik pada Gambar 4.1 berikut :



proses yang



pemilihan terjadi



moda



bersamaan



dengan



distribusi



perjalanan. Tipe keempat mempertimbangkan proses pemilihan terjadi



moda



yang



dipengaruhi



karakteristik



oleh zona



tujuandan



perubahan



kebijakan angkutan umum dan parkir. Dalam tipe keempat moda



ini



pemilihan



dilakukan



distribusi



setelah



perjalanan.



Alternatif ini berbeda-beda tergantung (step)



letak



tahap



pemilihan



moda.



Urutan yang paling sering digunakan adalah tipe IV.



Gambar4.1 Kemacetan pada aglomerasi Jakarta ditinjau dari sisi supplay dan deman Sebagian dari faktor-faktor penyebab tersebut (box warna kuning)berada dalam lingkup tugas, tanggung jawab, dan kompetensi Departemen PekerjaanUmum, yang meliputi peningkatan laju pertambahan jalan (termasuk jalan tol) diJabodetabek adalah 1% per tahun, tidak sebanding dengan laju pertambahankendaraan yang mencapai 11% per tahun. Volume yang