Diesel Blending - Alver [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Diesel merupakan salah satu bahan bakar yang digunakan untuk mesin kompresi. Mesin kompresi adalah sebuah mesin pembakaran internal yang menggunakan panas kompresi untuk memulai pengapian dan membakar bahan bakar yang disuntikkan ke dalam ruang pembakaran. Bahan bakar diesel merupakan salah satu fraksi minyak bumi dengan rentang atom karbon C8 – C18. Di indonesia, bahan bakar ini di sebut sebagai solar. Kebutuhan solar dalam negeri terus meningkat setiap tahun. Hal ini disebabkan karena adanya pertumbuhan kendaraan dan industri yang menggunakan diesel sebagai bahan bakar mesin diesel. Pada gambar berikut akan ditampilkan grafik peningkatan permintaan solar di Indonesia.



Gambar 5 Jumlah Pasokan dan Permintaan Diesel Oil di Indonesia (juta kiloliter) Sumber: Pertamina, 2012 Dari Gambar 5 dapat kita lihat bahwa permintaan diesel lebih banyak dari produksi dalam negeri. Defisit diesel tersebut akan di atasi dengan impor diesel dari luar negeri. Dan diprediksi bahwa defisit diesel akan mencapai 35 juta kilo liter pada tahun 2025 jika kapasitas produksi tetap seperti tahun 2012. Sama seperti gasoline, diesel juga perlu diblending agar meningkat kualitasnya. Kualitas diesel yang meningkat akan mengurangi polusi gas buang kendaraan, dan juga meningkatkan efisiensi mesin sehingga tidak boros bahan bakar. Tujuan dari blending adalah untuk meningkatkan performa, mematuhi peraturan, alasan ekonomi dan standar penyimpanan.



Spesifikasi Diesel Blending Sebagai bahan bakar yang banyak digunakan oleh masyarakat maupun industri diesel harus memenuhi beberapa spesifikasi. Diesel yang beredar di Indonesia harus memenuhi spesifikasi yang di tetapkan pemerintah melalui Keputusan Dirjen Migas Nomor 978.K/10/DJM.S/2013 mengenai Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar 48 yang Dipasarkan di Dalam Negeri dan Keputusan Dirjen Migas nomor 3675 K/24/DJM/2006 mengenai standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis solar yang dipasarkan dalam negeri untuk diesel dengan angka setana minimal 51. Spesifikasi diesel pada Keputusan Dirjen Migas Nomor 978.K/10/DJM.S/2013 yang berubah dari Keputusan Dirjen Migas nomor 3675 K/24/DJM/2006 adalah sebagai berikut : 



Penggunaan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) sebagai campuran mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No 25 Tahun 2013.







Kandungan Sulfur batasan 35% m/m setara dengan 3500 ppm, berlaku sampai tahun 2015.







Kandungan Sulfur batasan 0,30% m/m setara dengan 3000 ppm, berlaku mulai 1 Januari 2016.







Kandungan Sulfur batasan 0,25% m/m setara dengan 2500 ppm, berlaku mulai 1 Januari 2017.







Kandungan Sulfur batasan 0,05% m/m setara dengan 500 ppm, berlaku mulai 1 Januari 2021.







Kandungan Sulfur batasan 0,005% m/m setara dengan 50 ppm, berlaku mulai 1 Januari 2025







Distilasi 90% volume penguapan suhu maksimum 370 derajat celcius.



Beberapa karakteristik operasional akan mempengaruhi performa mesin. Karakteristik yang akan dibahas adalah: angka cetane, densitas, kandungan aromatik, volatilitas, dan kandungan sulfur.



1. Angka Cetane Angka cetane adalah parameter untuk mengukur waktu delay ignition dari suatu bahan bakar diesel. Semakin singkat waktu antara injeksi bahan bakar dan waktu saat terjadi pembakaran merepresentasikan angka setana yang tinggi. Hidrokarbon dengan kemampuan ignition yang cepat lebih diinginkan. Kecenderungan yang ada pada jenis hidrokarbon adalah angka setana akan berkurang dari hidrokarbon jenis paraffin, olefins, naphthenes, iso-parrafin and aromatics. Angka setana adalah ukuran dari kualitas pembakaran pada mesin diesel. Sama seperti angka oktan, angka setana mengukur kecenderungan bahan bakar untuk melakukan auto – ignition pada mesin tes standar. Semakin tinggi angka setananya maka semakin mudah mesin terbakar. Angka setana adalah perbandingan antara besarnya kadar volume cetana dalam campurannya dengan alphamethyl naphthalene. Berdasarkan ASTM D 613, Cetana murni mempunyai angka cetana sebesar 100, sedangkan alphamethyl naphthalene mempunyai angka cetana sebesar 0. Pada Gambar 2.14 berikut adalah angka setana dari beberapa senyawa. 2. Densitas Perubahan pada densitas bahan bakar akan berakibat pada kandungan energi yang dibawah oleh bahan bakar ke dalam mesin. Pada teknologi mesin yang sudah lama pengurangan densitas bahan bakar akan mengurangi emisi NOx. Sedangkan pada mesin yang modern dengan injeksi elektronik dan kontrol komputer, emisi tidak dipengaruhi oleh densitas dari bahan bakar.



3. Kandungan Aromatik Kandungan senyawa aromatik akan menaikkan temperatur dalam silinder mesin sehingga akan menaikkan emisi NOx. Kebanyakan studi mengindikasikan bahwa penurunan kandungan aromatik tidak mempunyai efek terhadap emisi dari hidrokarbon dan PM. Tetapi penurunan kandungan aromatik dari 30% ke 10% akan mengurangi emisi NOx.



4. Volatilitas Karakteristik distilasi dari bahan bakar di deskripsikan sebagai volatilitas. Design bahan bakar yang baik adalah bahan bakar yang memiliki komponen yang titik didihnya rendah untuk kemudahan start upmesin saat suhu dingin dan cepat dalam hal pemanasan. Selain komponen dengan titik didih rendah komponen dengan titik didih tinggi juga diperlukan untuk menyediakan tenaga dan efisiensi bahan bakar ketika mesin sudah mencapai suhu



operasinya. Jika volatilitas bahan bakar tinggi ataupun rendah maka akan menghasilkan asap dan deposit karbon. T95 adalah temperatur dimana 95 % dari senyawa diesel akan terevaporasi dengan metode standar pengujian ASTM D 86. Penurunan T95 akan mengurangi emisi NOx sedikit, tetapi meningkatkan emisi hidrokarbon dan CO. Sedangkan emisi PM tidak berpengaruh.



5. Kandungan Sulfur Kandungan sulfur pada diesel akan mengakibatkan emisi PM karena beberapa dari bahan bakar akan terkonversi menjadi partikulat sulfur pada gas buang. Fraksi yang terkonversi menjadi PM bervariasi dari satu mesin ke mesin yang lain. Penurunan kandungan sulfur akan menurunkan emisi PM secara linear. Karena alasan ini EPA (Environment Protection Agency) membatasi kandungan sulfur dalam bahan bakar diesel menjadi 15 ppm dimulai pada tahun 2006. Sedangkan Uni Eropa membatasi kandungan sulfur menjadi 50 ppm pada tahun 2005 dan lebih jauh pada tahun 2009 membatasi kandungan sulfur menjadi 10 ppm, jepang membatasi kandungan sulfur dalam diesel menjadi 10 ppm pada 2007. Di indonesia sendiri batasan maksimal untuk sulfur dalam bahan bakar solar sangat tinggi yaitu 3500 ppm untuk solar 48 dan 500 ppm untuk solar 51. Hal ini mengakibatkan beberapa kota besar di Indonesia memiliki kadar sulfur yang tinggi seperti yang terlihat pada gambar berikut.



Gambar 9 Grafik Kadar Sulfur di Indonesia



Aditif Diesel Blending Penggunaan solar sebagai bahan bakar mesin diesel menghasilkan gas buang dengan kandungan NOx, SOx, hidrokarbon dan partikulat-partikulat. Gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan di Indonesia masih berada di atas baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Emisi partikulat yang dikeluarkan oleh mesin diesel ini sangat berbahaya dibandingkan dengan emisi yang dikeluarkan oleh mesin berbahan bakar bensin. Hal ini



disebabkan karena partikulat yang dikeluarkan oleh mesin diesel mempunyai kadar toksisitas relative paling tinggi, yaitu 106,7 dibandingkan dengan emisi CO yang memiliki toksisitas relatif=1. Ukuran partikulat atau jelaga (PM-10) yang lebih kecil dari 10 μm yang menyebabkan mudah terhirup ke paru-paru bersama udara. Untuk mengurangi laju polusi udara ini maka perlu dilakukan perbaikan pada mesin diesel dan bahan bakar solar. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas buang seperti NOx, SOx, dan partikulat adalah dengan meningkatkan Cetane Number (CN) pada solar. CN yang tinggi berarti waktu tunda penyalaan lebih singkat. Bahan bakar diesel (solar) memiliki 3 jenis kategori, yaitu: 1. Solar kategori I: memiliki CN minimum 48 dengan kandungan sulfur maksimum adalah 5000 ppm. 2. Solar kategori II: memiliki CN minimum 52 dengan kandungan sulfur maksimum adalah 300 ppm. 3. Solar kategori III: memiliki CN minimum 54 serta bebas kandungan sulfur. .Ada beberapa cara untuk menaikkan cetane number solar : 1. "Upgrading Process" dari solar yang ada (hasilnya jadi Solar Plus) Pada dasarnya hydrocarbon penyusun solar dapat dibagi jadi 4 kategori : Paraffin (Iso Paraffin); Naphtana; Aromatics & Olefin. Paraffin & Napthana merupakan senyawa jenuh dan mempunyai cetane number tinggi sedangkan senyawa aromatik olefin merupakan senyawa hydrocarbon tak jenuh dan punya cetane number rendah. Senyawa tak jenuh ini dijenuhkan dalam suatu reaktor bertemperatur tinggi dgn menambahkan gas hydrogen (hydrotreating process). Senyawa aromatik akan jadi naphtana sedang senyawa olefin akan jadi paraffin. Hasilnya solar akan mempunyai cetane number lebih besar hal ini dikarenakan Cetane number Napthena 40-70, Aromatics 0-60, Parafin 80-110. 2. Mencampur dengan Biodiesel Biodiesel dari minyak kelapa (Coconut Methyl Ester) punya CN hingga 70, dari Sawit (Palm Methyl Ester) punya CN sampai 65; makin tinggi prosentase biodieselnya; makin tinggi kenaikan CN nya. 3. Menambahkan aditif



a. Nitrate dan turunannya: senyawa nitrete yang paling banyak dipakai untuk aditif adalah 2 Ethylhexylnitrate (2 EHN). 500-4000 ppm dari senyawa ini bisa menaikkan 3-8 angka CN. 2 EHN merupakan additive CN yang paling banyak dipakai saat ini. b. Peroxides dan turunannya: senyawa peroksida yang paling umum dipakai Ditertiary butyl peroxide (DTBP) namun penggunaannya masih belum sebanyak 2 EHN. c. Vegetable oil + chemical & derivatives : alternatif aditif termasuk BioAdd



Metode dalam Diesel Blending 1. Batch Blending



Gambar x. Batch Blending Pada batch blending, componemts dari produk ditambahkan bersama-sama dalam sebuah tangki, satu per satu atau dalam kombinasi parsial. Bahan-bahan tersebut dicampur sampai produk homolog diperoleh. Batch blending paling mudah untuk digunakan dalam kilang kecil, dimana jenis produk blending yang diproduksi masih terbatas. Di kilang, biaya tambahan seperti blending tank, pompa, dan peralatan yang berhubungan lainnya mungkin tidak sebesar seperti biaya instrumentasi dan peralatan yang dibutuhkan



untuk in-line blending, dan untuk alasan ini, banyak kilang besar masih terus menggunakan batch blending sistem karena kemudahan dan fleksibilitas operasi.



2. Partial In-Line Blending



Gambar x. Partial In-Line Blending Parsial in-line blending dilakukan dengan cara menambahkan secara bersama-sama komponen produk ke dalam suatu pipa dengan rasio yang diinginkan tanpa harus memperoleh spesifikasi akhir terlebih dahulu. Penyesuaian akhir dan penambahan aditif diperlukan, berdasarkan tes laboratorium tes, untuk mendapatkan spesifikasi final produk. Pada kasus ini, proses mixing hanya diperlukan untuk penyesuaian akhir. Aditif ditambahkan secara batch ke header blending selama tahap akhir dari campuran atau tahap penyesuaian akhir. Komponen yang diperlukan dipompa secara bersamaan dari masing-masing storage tank melalui pengontrol aliran yang tepat menuju blending header, sehingga masingmasing komponen membutuhkan pompa pada bagian keluaran storage tank nya. Kapasitas pompa harus disesuaikan agar rasio dari setiap komponen tepat. Selain itu, aliran dari setiap komponen juga diatur dengan flowmeter dan katup control.



3. Continous



Gambar x. Continous Blending Pada metode ini, semua komponen dari sebuah produk dan aditif dicampurkan dalam suatu pipa secara bersamaan, dengan akurasi yang tepat, pada saat tertentu spesifikasi akhir produk mungkin sudah dapat diperoleh langsung dari sini. Berbagai metode pengendalian laju aliran individu untuk masing-masing komponen dengan ketentuan interlock telah digunakan untuk memastikan hanya materi spesifik yang dimasukkan. Selain itu, pompa individu diperlukan untuk setiap komponen, dimana kuantitas dari masingmasing komponen dari campuran harus akurat didapatkan. Flowmeter dan control valve digunakan untuk mengatur proporsi komponen, sama halnya dengan yang digunakan untuk parsial in-line blending, namun tingkat akurasi yang lebih besar diperlukan untuk metode ini (akurasi 0,25% atau lebih baik yang diharapkan). Untuk memastikan akurasi lanjutan dari campuran pada berbagai kondisi operasi, peralatan pencampuran dirancang untuk menyediakan penyesuaian aliran komponen individu terhadap proporsi total aliran. Continuous in-line blending ini sangat tepat digunakan untuk kilang besar yang menghasilkan berbagai jenis produk.