Dilema Program Keluarga Berencana: Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Timur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dilema Program Keluarga Berencana: Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Timur



Lafi Munira Subhansyah Setia Pranata



Penerbit



Unesa University Press



Lafi Munira, dkk



Dilema Program Keluarga Berencana: Etnik Aceh - Kabupaten Aceh Timur



Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email: [email protected] [email protected] Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xiii, 147 hal., Illus, 15.5 x 23



ISBN: 978-979-028-941-3



copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit



ii



SUSUNAN TIM Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina



: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI



Penanggung Jawab



: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat



Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana



: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc



Ketua Tim Teknis



: drs. Setia Pranata, M.Si



Anggota Tim Teknis



: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK



Sekretariat



: Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE



iii



Koordinator Wilayah: 1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala 2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan 4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru 5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan 6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat 7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng 9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke 10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu Raijua, Kab. Tolikara 12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna



iv



KATA PENGANTAR Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.



v



Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI



Drg. Agus Suprapto, MKes



vi



DAFTAR ISI SUSUNAN TIM ............................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................ DAFTAR ISI ..................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................... DAFTAR GAMBAR .........................................................................



iii v vii xi xiii



BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................. 1.1 Gambaran Umum Studi ............................................... 1.1.1 Latar Belakang Studi ........................................ 1.1.2 Tujuan Studi ..................................................... 1.1.3 Batasan Studi ................................................... 1.1.4 Metode ............................................................ 1.1.5 Keterbatasan Studi .......................................... 1.2 Kajian Terdahulu .......................................................... 1.3 Sistematika Buku .........................................................



1 1 1 12 12 13 15 15 16



BAB 2 KONTEKS WILAYAH PENELITIAN ........................................ 2.1 Sejarah ......................................................................... 2.2 Geografis dan Kependudukan ..................................... 2.3 Kondisi Tempat Tinggal Penduduk .............................. 2.4 Solidaritas Sosial .......................................................... 2.5 Mata Pencaharian dan Teknologi ................................ 2.6 Bahasa.......................................................................... 2.7 Organisasi Sosial .......................................................... 2.8 Kekerabatan ................................................................. 2.9 Kesenian....................................................................... 2.9.1 Do Da Idi ............................................................ 2.9.2 Rapa’i Dabo ........................................................ 2.10 Religi .......................................................................... 2.10.1 Syariat Islam..................................................... 2.10.2 Animisme dan Dinamisme ...............................



18 18 22 23 27 32 34 36 38 40 40 43 46 46 49



vii



2.11 Pengetahuan Tentang Kesehatan ............................. 2.11.1 Sumber Pengetahuan Kesehatan .................... 2.11.2 Sehat Sebagai Karunia Tuhan .......................... 2.11.3 Makna Kesehatan Jasmani .............................. 2.11.4 Kebersihan ....................................................... 2.12 Penutup .....................................................................



52 52 53 53 57 57



BAB 3 MENENUN BENANG-BENANG PERMASALAHAN KESEHATAN DI BAGIAN TIMUR TANAH RENCONG ................................ 59 3.1 Pengantar .................................................................... 59 3.2 Kepercayaan Pada Sesuatu Yang Mempunyai Daya Penyembuh ....................................................... 60 3.3 Kejadian Kesakitan ...................................................... 62 3.4 Pelayanan Kesehatan Medis Moderen ....................... 66 3.4.1 Aksesibilitas .............................................................. 68 3.4.2 Pandangan Masyarakat Tentang Pelayanan Kesehatan Baik Sarana Maupun Petugas Kesehatan................. 70 3.5 Pelayanan Kesehatan Gigi ........................................... 71 3.6 Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat ...................... 72 3.6.1 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) ...................... 72 3.6.2 Puskesmas Keliling ............................................ 72 3.6.3 Posyandu Balita ................................................. 73 3.6.4 Senam Sehat Usila ............................................. 75 3.7 Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour) ..................................................... 76 3.8 Potret Kesehatan Ibu dan Anak .................................. 78 3.8.1 Masa Pra Hamil, Hamil, Melahirkan dan Nifas.. 78 3.8.2 Neonatus dan Bayi ............................................ 78 3.8.3 Imunisasi Lengkap ............................................. 80 3.9 Potret Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ...................... 85 3.9.1 Ketersediaan Jamban dan Perilaku Buang Air Besar ................................................. 85 3.9.2 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan



viii



di Fasilitas Kesehatan ........................................ 87 3.9.3 Penimbangan Bayi dan Balita ............................ 88 3.10 Potret Penyakit Tidak Menular .................................. 95 3.10.1 Hipertensi ...................................................... 95 3.10.2 Diabetes Melitus ........................................... 96 3.10.3 Gangguan Mental: Depresi dan Skizofrenia .. 96 3.10.4 Cedera: Studi Kasus di UGD 24 Jam Puskesmas Peudawa .................................... 100 3.11 Potret Penyakit Menular ........................................... 104 BAB 4 ANEUK BAK ALLAH: DILEMA PROGRAM KELUARGA BERENCANA................................................................ 4.1 Pengantar .................................................................... 4.2 Hak-Hak Reproduksi .................................................... 4.3 Kehamilan yang Tidak Diinginkan dan Aborsi ............. 4.4 Status Sosial Perempuan ............................................. 4.5 Kondisi Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Gender... 4.6 Unmet Need: Ketidakterpenuhinya Program KB: Studi Kasus di Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur ............................................... 4.7 Perspesi Tentang Keluarga Besar: Studi Kasus Keluarga S ................................................ 4.7.1. Aneuk Bak Allah (Anak itu Dari Allah) ............ 4.7.2 Hidup-Mati Adalah Takdir ............................... 4.7.3 Setiap Anak Ada Rejekinya Masing-Masing .... 4.7.4 Kondisi Tempat Tinggal Keluarga S ................. 4.7.5 Situasi Keseharian Keluarga S.......................... 4.7.6 Kakak Membantu Mengasuh Adik .................. 4.8 Penolakan Pada Program Keluarga Berencana (KB) .... 4.8.1 Alasan Menolak Program KB ........................... 4.9 Tentang Nilai Anak ....................................................... 4.9.1 Anak Sebagai Sumber Kebahagiaan ................ 4.9.2 Anak itu Penerus Agama,



105 105 107 108 109 110



111 112 112 116 118 119 122 124 127 127 129 129



ix



Untuk Memperbanyak Ummat ...................... Penutup: Komunitas Versus Struktur................................



130 132



BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI........................................ 5.1 Simpulan ...................................................................... 5.2 Rekomendasi ............................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... INDEKS .......................................................................................... GLOSARIUM ..................................................................................



135 135 138 140 143 146



x



DAFTAR TABEL



Tabel 2.1.



Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 3.5 Tabel 3.6. Tabel 3.7. Tabel 4.1. Tabel 4.2.



Demografi dan Jumlah PendudukKecamatan Peudawa,Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Aceh Tahun 2015 ............................................................ 22 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Januari, 2015. ............................................... 63 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Februari, 2015. ............................................. 63 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Maret, 2015. ................................................ 64 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan April, 2015. ....... 64 Cakupan Imunisasi di Puskesmas Peudawa, November, 2014. ................................................... 84 Cakupan Ketersediaan Jamban Per Desa, Dalam Wilayah Kerja Puskesmas Peudawa, 2014. 85 Rekapitulasi Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas,Januari-April 2015. 103 Laporan KB Bulan Januari Tahun 2015 .................. 106 Jumlah Anak di atas 5 per KK ................................. 107



xi



xii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1. Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 3.1 Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.2.



Rumah Panggung ................................................... 24 Rumah di tepi sawah.............................................. 24 Suasana warung kopi malam hari .......................... 25 Rumah, ternak, anak .............................................. 27 Sholat Jenazah........................................................ 31 Seorang ibu di lading.............................................. 32 Remaja belajar mengaji ......................................... 47 Puskesmas Peudawa .............................................. 67 Imunisasi Pada Bayi Pada Saat Posyandu .............. 82 Situasi Posyandu Bulanan di Desa Paya Dua ......... 89 Keluarga Pak S ........................................................ 113 Ayunan Putri di Panthe .......................................... 121 Anak-anak bermain di Panthe................................ 123



xiii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Studi 1.1.1 Latar Belakang Studi Dimensi budaya merupakan aspek amat penting dalam menentukan status kesehatan seseorang, masyarakat, dan bahkan suatu bangsa. Segala unsur dalam masyarakat termasuk perilaku kesehatan dipengaruhi oleh kebudayaan. Berbagai upaya dilakukan, namun masalah belum dapat diselesaikan dengan optimal karena masih ada faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan masyarakat belum disentuh. Mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (al. kearifan lokal) akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Hal ini akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Suatu penelitian kesehatan dalam perspektif kebudayaan yaitu Riset Etnografi Kesehatan bertujuan menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Informasi ini menjadi penting agar kita tidak menjadi “tuna budaya” kesehatan bangsa kita sendiri. Dengan mengetahui budaya setiap etnis diharapkan dapat membantu kelancaran dan keberlangsungan setiap program, karena sentuhan budaya sebagai katalisator atau pelumas intervensi atau perubahan. Semakin disadari budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Karena itu riset tentang budaya kesehatan masyarakat dalam upaya peningkatan status



1



kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan. Konsekuensi logis harus disadari bahwa beranekaragamnya budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah dengan etnis yang ada di wilayah tersebut. Pemahaman budaya secara spesifik, dengan menggali kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik. Secara obyektif setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang di deritanya. Pencarian pengobatan dengan self treatment maupun upaya mencari tenaga kesehatan merupakan upaya manusia mengatasi permasalahannya. Budaya masyarakat yang menjadi ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi turun temurun, memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi negatif maupun positif. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan budaya merupakan upaya salah satu upaya peningkatan status kesehatan itu sendiri. Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya antara lain kepercayaan, pengetahuan, praktek atau perilaku mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali. Survey Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359/100.000 kelahiran hidup dan AKB 32/1.000 kelahiran hidup. Lebih dari tiga perempat kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada



2



periode neonatus1. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goal/MDGs 2000) diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/1000 kelahiran hidup. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan 95, 4% kelahiran mendapat pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care (ANC). Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator K4. Cakupan K1 ideal secara nasional adalah 81,6%. Cakupan K4 secara nasional adalah 70,4%. Selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional terdapat 12% dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4)2. Data Riskesdas menunjukkan prevalensi nasional gizi kurang pada balita (BB/U25 terlihat prevalensi obesitas pada laki-laki 19,7% dan perempuan 32,9%3.



1



Badan Pusat Statistika. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas. 2012 2 Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014 3



Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010



3



Data tentang penyakit menular menurut Riskesdas menunjukkan penurunan angka period prevalence diare dari 9,0% tahun 2007 menjadi 3,5% pada 2013. Terjadi kecenderungan yang meningkat untuk period prevalence pneumonia semua umur dari 2,1% (2007) menjadi 2,7% (2013). Prevalensi TB paru masih di posisi yang sama untuk tahun 2007 dan 2013 yaitu 0,4%. Terjadi peningkatan prevalensi hepatitis semua umur dari 0,6% (2007) menjadi 1,2% tahun 20134. Data Riskesdas terkait penyakit tidak menular menunjukkan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah menunjukkan penurunan dari 31,7% tahun 2007 menjadi 25,8% tahun 2013. Prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) terjadi peningkatan dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5% tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke berdasarkan wawancara (pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga meningkat dari 8,3/1.000 (2007) menjadi 12,1/1.000 (2013). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 % (2007) menjadi 2,4% (2013)5. Indikator PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih, dan memberantas jentik nyamuk). Data Riskesdas 2010 menunjukkan setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Namun ada kesenjangan antara perdesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Namun hanya 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2% 4



Ibid. Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014 5



4



melahirkan di rumah. Persalinan di rumah sebanyak 51,9% ditolong bidan dan masih ada 40,2% yang ditolong dukun bersalin6. Hasil temuan Riset Etnografi Kesehatan 2012 dan 2014 di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan terkait budaya kesehatan. Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil. Disamping itu ibu hamil harus tetap bekerja ‘keras’ agar proses persalinannya lancar dan tidak bermasalah dan tidak bermasalah. Keharusan untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan di rumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui keluarga. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan. Sembilu (betop) masih digunakan untuk potongtali pusat di beberapa daerah penelitian antara lain Kab. Sampang, Manggarai, Murungraya, Gayo lues, Bantul, Seram Bagian Timur, Toraja Utara, Mamasa dan Pengunungan Bintang (Kemenkes 2012)7.



6



Kemenkes RI. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. 7 Kemenkes RI. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes. 2012.



5



Penggunaan ramuan yang berasal dari berbagai tumbuhan, baik yang diminum, dibalurkan ke badan maupun yang dimasukkan ke luang vagina, juga dipercaya dapat mempercepat kesembuhan dan mengeringkan vagina ibu setelah melahirkan. Selain itu kebiasaan pijat baik pada ibu paska melahirkan maupun pada bayi yang baru lahir dengan air dingin, di sungai, danau atau sumber air lain, akan menjadikan bayi lebih kuat baik fisik maupun mentalnya. Namun hal ini akan beresiko terhadap kesehatan bayi yaitu terjadinya hipotermi8. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni ratusan suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat khususnya masyarakat tradisional tercermin dari perilaku mereka memanfaatkan kekayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya. Praktek budaya terkait kesehatan tersebut sebagian diklaim oleh orang-orang dengan pengetahuan “modern” sebagai salah satu penyebab buruknya status kesehatan masyarakat setempat. Etnik Asmat menganggap penyakit kusta sebagai penyakit kulit biasa sehingga tidak berupaya melakukan pengobatan secara konvensional. Para penderita kusta hidup berbaur dengan masyarakat lain dan tidak ada pengucilan. Hal ini dapat menjadi sumber penularan kusta dalam masyarakat. Hal ini diperparah dengan kondisi sanitasi yang kurang baik9. Pencarian pengobatan pada dukun untuk penyakitpenyakit TB biasa dilakukan etnik Gorontalo di Kabupaten



8



Kemenkes RI. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes. 2012. 9



Tumaji, Arianto, N.T., Rizky, A., Soerachman, R., “Nomphoboas yang Mengganas di Mumugu. Etnik Asmat, Kabupaten Asmat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014.



6



Boalemo10,sedangkan kepercayaan masyarakat tentang penyakit TB berpengaruh pada keterlambatan pengobatan TB pada etnik Sumba di Kabupaten Sumba Timur11. Dukun bayi masih berperan dalam menolong persalinan pada etnik Aceh (Kab. Aceh Barat), Baduy Dalam (Kab. Lebak), Kaili Da’a (Kab. Mamuju Utara), dan Melayu Jambi (di Kab. Sarolangun)12. Anggapan darah persalinan perempuan membuat kotor dan membawa bala dipercaya oleh etnik Muyu di Kab. Boven Digul13. Pada etnik Jawa di Kab. Cirebon, terdapat tradisi oyog bagi ibu hamil yang menurut persepsi masyarakat setempat, tradisi ini bermanfaat untuk mengurangi berbagai keluhan pada kehamilan, memberikan keyakinan bahwa persalinan akan lancar, dan memberikan kenyamanan dan rasa tenang14. Pada Etnis Laut di Kab. Indragiri Hilir kasus kematian bayi yang tinggi disebabkan oleh kepercayaan bahwa penyakit yang menyerang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene yang disebabkan 10



Ningsi, Ngeolima, R., Hamzah, S., Handayani, L. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 11



Dwiningsih, S., Mulyani, S., Kawarakonda, S., Roosihermiatie, B. Belenggu Apung. Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 12



Afreni M., Amaliani, T., Rizaldi, Rahanto,S. Kesembuhan Mulia Mamoh Ranub. Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 13



Laksono, A.D., Faizi, K., Raunsay, E., Soerachman, R. Perempuan Muyu dalam Pengasingan. Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 14



Yuhandini, D.S., Karlina, Suratmi, Subarniati, R,. Suharmiati. Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi, Oyog. Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014.



7



mahluk gaib. Pengobatan dilakukan oleh dukun atau pengobat tradisional dengan cara-cara tradisional yang beresiko menambah parahnya penyakit15.Dewa Sangiang dipercaya oleh etnik Dayak Ngaju di Kab. Kapuas sebagai penolong masyarakat yang terkena sakit atau masalah yang lain. Ritual untuk memanggil roh Dewa Sangiang bertujuan untuk menyembuhkan pasien dilakukan oleh pengobat tradisional (lasang), dukun (yang menjadi perantara antara sangiang dan pasien)16. Hasil riset tersebut di atas menggambarkan bahwa banyak modal sosial yang dimiliki masyarakat dari berbagai suku yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesehatan. Menurut Bank Dunia (2011) dalam Rocco & Suhrcke (2012), modal sosial bukan hanya sejumlah gabungan dari institusi dalam masyarakat namun merupakan perekat yang mengikat keseluruhan tersebut yang dapat menghasilkan luaran sosial dan/atau ekonomi yang menguntungkan. Koordinasi akan muncul mengikuti keuntungan-keuntungan potensial yang ada, kemudian diikuti munculnya kepercayaan dalam interaksi sosial yang terwujud17. Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapai derajat kesehatan masyakarat setinggi-setingginya. 15



Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. Tangis Budak dari Negeri Seirbu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 16



Kurniawan, S.A., Hartatik, F.S., Jeniva, I., Putro, G. Tetesan Danum Tawar di Dusun Seribu Akar. Etnik Dayak Ngaju, Kabupaten Kapuas. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 17



Rocco L, Suhrcke M. Is social capital good for health? A European perspective. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe. 2012.



8



Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalam termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya. Strategi pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam rencana pengembangan jangka panjang bidang kesehatan tahun 2005 – 2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan perintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial)18. Masalah kesehatan terkait sosial budaya masyarakat menjadi permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan etnis tertentu. Wujud budaya dapat berupa suatu ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya, yang sering diistilahkan sebagai adat istiadat. Wujud budaya yang lain berupa sistem sosial yaitu aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud budaya bisa pula berupa bentuk benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan di foto yaitu hasil fisik dari aktifitas, perbuatan dan karya seperti alat sunat, alat penumbuk jamu, dan lain sebagainya. Wujud budaya tersebut merefleksikan budaya dan identitas sosial dari masyarakatnya. Pengembangan atau inovasi dengan pelibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat



18



Kemenkes RI, 2012. “Sistem Kesehatan Nasional”. Jakarta.



9



tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya. Mempersiapkan generasi penerus yang tangguh demi kesejahteraan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama, dan harus diprioritaskan pemeliharaan kesehatan sejak dalam kandungan sampai remaja. Permasalahan kesehatan seringkali merupakan masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat yang perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga dapat segera dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program-program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat. Masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga perlu dilakukan perbaikan atau diberdayakan bagi budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan dan dimanfaatkan secara lokal bahkan bila memungkinkan secara nasional. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.



10



Permasalahan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Peudawa, Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur cukup kompleks. Permasalahan tersebut meliputi; ketidakberjalanannya program KB (Keluarga Berencana yang berhubungan nantinya dengan kejadian status gizi bayi yang kurang hingga balita, ketidaktersediaan jamban sehat dan perilaku buang air besar sembarangan, ketidaktercapaian imunisasi lengkap bagi bayi dibawah usia 1 tahun, pelonjakan kekambuhan dan kasus baru penderita skizofrenia, serta permasalahan lain yang tercakup dalam empat aspek; kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku hidup bersih dan sehat. Tematik yang dipilih pada penelitian ini adalah ketidakberjalanannya program KB. Pemilihan tematik ini dikarenakan meratanya kasus PUS (Pasangan Usia Subur) yang tidak menjalankan program KB. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya jumlah anak diatas 5 anak yang merata di setiap desa19. Hal tersebut dikategorikan sebagai Pasangan Usia Subur yang beresiko tinggi atau PUS 4T (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, terlalu dekat). Hal tersebut beresiko berdampak pada status KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Hal ini dianggap penting untuk digali pada saat penelitian. Mengapa tematik ini dipilih?, dari survey awal penelitian ditemukan permasalahan keengganan WUS (Wanita Usia Subur) yang telah menikah untuk menggunakan jenis KB di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur. Sehingga saat ini telah terdapat kasus yaitu seorang ibu hamil 18 kali dengan status gizi yang dilahirkan dan balitanya berada di BGM (Bawah Garis Merah) yang kondisinya selalu dipantau oleh pihak Puskesmas. Studi tematik ini akan menjadi fokus studi tanpa mengenyampingkan topik kesehatan lainnya. Studi tematik ini akan terus digali secara mendalam selama penelitian yang ditinjau dari 19



Data KK (Kartu Keluarga) per Desa Tahun 2015



11



emik (perspektif subyek penelitian) dan etik (perspektif peneliti). Dengan adanya studi tematik ini diharanpkan dapat menjadi potret kesehatan yang dapat menjadi sorotan para pemangku kesehatan untuk nantinya diberikan intervensi kesehatan. Sehingga problematika kesehatan yang berasal dari kebudayaan ini dapat dicarikan solusi yang bermakna. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Etnik Aceh Timur yang menetap di wilayah Kecamatan Peudawa dipilih menjadi lokasi penelitian. Pertanyaan pada penelitian ini adalah 1) bagaimana konteks sosial budaya pada etnik Aceh Timur; 2) bagaimana konteks situasi kesehatan yang meliputi kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku bersih dan sehat; 3) bagaimana keterkaitan antara unsur budaya dengan permasalahan kesehatan yang ditemukan dan akan dijadikan tematik pada studi ini. 1.1.2 Tujuan Studi Tujuan dari studi ini adalah untuk 1)memperoleh gambaran tentang konteks sosial budaya pada etnik Aceh Timur; 2) memperoleh gambaran konteks situasi kesehatan yang meliputi kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta perilaku bersih dan sehat; 3) memperoleh gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat yang mempunyai keterkaitan denganketidakberjalanannya program keluarga berencana (KB) di wilayah kerja Puskesmas Peudawa, Kab. Aceh Timur; 4) menyusun rekomendasi berdasar kearifan lokal untuk menyelesaikan masalahmasalah kesehatan terkait program KB (Keluarga Berencana). 1.1.3 Batasan Studi Studi yang dilaksanakan dalam waktu 35 hari (27 April – 31 Mei 2015) ini mengambil subyek penelitian Etnik Aceh Timur yang tinggal atau menetap di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Banda Aceh.



12



Aceh Timur merupakan Kabupaten yang memiliki Indeks Pembangunan Kesehatan Masyakarat (IPKM) 2013 yang rendah yakni 42,15%, dengan ranking nasional 463/497 dan dalam ranking provinsi 23/2320. Wilayah kajian dari studi ini, sebagai dijelaskan dalam ruang lingkup masalah studi, yakni Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM), dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Hanya saja, keempat item yang dimaksud, tidak dijelaskan secara keseluruhan dan mendetail dalam buku ini. Hal ini dilakukan karena studi ini dikhususkan membaca secara spesifik dan utuh bagian-bagian tertentu dari keempat wilayah kajian dimaksud. 1.1.4 Metode Mengutip Koentjaraningrat dalam Bungin, istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi. Etnografi merupakan hasilhasil catatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah di Indonesia. Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut21. Barnard (2004) menyatakan bahwa rancangan penelitian etnografi memaparkan uraian terperinci dan mendalam tentang budaya sebuah komunitas atau masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Uraian tersebut berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang budaya dan mendefinisikan esensi sifat manusia yang terpengaruh oleh keberadaan budaya22. Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan dengan desain eksploratif menggunakan metode etnografi. Dalam metode etnografi, peneliti langsung terjun ke lapangan mencari data melalui 20



Kemenkes RI. “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta. Badan Litbang Kesehatan. 2014. 21 Bungin, B. “Analisis Data Penelitian Kualitatif” 22 Ahimsa Putra, S.H., “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya” dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press. 2005.



13



informan. Etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas23. Kerangka konsep disusun berdasar teori Blum tentang status kesehatan dan unsur-unsur budaya dari Koentjaraningrat. Kerangka konsep yang digunakan dalam mempelajari status kesehatan dipengaruhi oleh: perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya. Terkait dengan tujuan penelitian yang akan mengkaji budaya kesehatan, maka tujuh unsur budaya merupakan kajian pokok untuk menggali budaya setempat yaitu: 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi ; 4) sistem pengetahuan; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem religi; dan 7) kesenian24. Selain mengeksplorasi unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan kesehatan, akan dipelajari juga peran pelayanan kesehatan konvensional dalam mempengaruhi perilaku sehat untuk meningkatkan status kesehatan. Jenis data ada 2 macam, yakni data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi dari wawancara mendalam dengan informan kunci yang dipercaya informasinya untuk memperkaya data primer. Kemudian data sekunder berupa laporan bulanan Puskesmas terkait empat aspek kesehatan yakni kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Sumber informasi yakni informan yang meliputi masyarakat masyarakat yang terlibat secara budaya dan berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan informasi terkait dengan topik penelitian ini maupun petugas kesehatan. 23



Bungin, B. “Analisis Data Penelitian Kualitatif” Laksono, A.D., Faizi, K., Raunsay, E., Soerachman, R. Perempuan Muyu dalam Pengasingan. Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 24



14



Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam, dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder. Observasi partisipatoris akan dilakukan di lokasi yang telah ditentukan berdasar masukan dari informan utama. Selain itu ditetapkan keluarga yang akan menjadi sumber informasi lebih mendalam dan diharapkan peneliti bisa menumpang hidup di keluarga tersebut selama penelitian berlangsung. Cara analisa data menggunakan metode deskripsi, interpretasi fungsi dan makna emik dan etik, melakukan analisis keterkaitan dari data yang ditemukan, komparasi data sekunder dan data primer serta triangulasi data dengan diskusi temuan internal tim. 1.1.5 Keterbatasan Studi Pada penelitian ini tidak seluruh desa yang berada di Kecamatan Peudawa Kabupaten Aceh Timur diteliti oleh peneliti. Peneliti hanya meneliti lokasi penelitian yang direkomendasikan oleh pihak Puskesmas. Kemudian peneliti pun mengalami keterbatasan waktu pengumpulan data, sehingga terdapat paparan yang tidak begitu mendalam ataupun paparan yang tidak komprehensif, sedangkan banyak sekali permasalahan kesehatan di Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur. Keterbatasan internal peneliti pun ada, karena penelitian ini merupakan pengalaman pertama peneliti, sehingga peneliti masih meraba-raba pola pencarian data di lapangan. Namun hal positifnya, peneliti menjadi memahami kekurangan sehingga dapat menemukan dan menganalisis pola pengumpulan data yang efektif di lapangan. 1.2



Kajian Terdahulu Studi tentang Etnik Aceh telah dilakukan sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya :



15



Mufida Afreni25dengan judul Mamoh Ranub Kesembuhan Mulia Etnik Aceh Barat. Hasil penelitian yang diterbitkan oleh lembaga penerbitan Balitbangkes di tahun 2014 ini mengkaji tentang perilaku kesehatan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya dan bersalin di dukun bayi. Serta penggunaan daun sirih sebagai herbal untuk pengobatan tradisional di Etnik Aceh Barat. Tesis pada Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011 oleh Putri Santy26dengan judul KDRT yang diterima oleh wanita dan kebutuhan pada layanan KB yang belum terpenuhi di Kota Banda Aceh. Tentang kondisi sosial yang mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi pada wanita. Terjadi diskriminasi gender dan stigma yang buruk dari masyarakat apabila seorang ibu ingin memberi jeda waktu kelahiran dari anak pertama, kedua, dan seterusnya. Terdapat temuan pada 35 wanita (25,36%) tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi jeda kelahiran anak. Wanita tidak mendapatkan otonomi yang baik dalam urusan rumah tangga. Ketidakterpenuhinya program KB dikarenakan adanya tindak kekerasan pada wanita meliputi kekerasan psikologis, seksual, ekonomi, hingga fisik. Wanita mengaku tidak mempunyai kesempatan dalam pengambilan keputusan dalam penggunaan alat kontrasepsi, sehingga kehamilan yang tidak diinginkan pun terjadi. 1.3



Sistematika Buku Selanjutnya, di bagian ini pula akan dideskripsikan mengenai struktur/isi buku. Buku ini terdiri atas enam bab dengan beragam topik di masing-masing babnya. Meskipun demikian, deskripsi dan analisis yang dilakukan tetap dalam ruang lingkup kajian dan tidak 25



Afreni M., Amaliani, T., Rizaldi, Rahanto,S. Kesembuhan Mulia Mamoh Ranub. Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. 2014. 26



Santy, P. “KDRT yang diterima oleh wanita dan kebutuhan pada layanan KB yang belum terpenuhi di Kota Banda Aceh”. Thesis. Universitas Gadjah Mada. 2011.



16



sama sekali keluar dari wilayah studi yang direncanakan. Keenam bab atau bagian tersebut dideskripsikan secara umum sebagai berikut: Bab 1 menjelaskan tentang gambaran umum atas studi yang dilakukan, latar belakang, masalah dan tujuan studi, serta batasanbatasan studi. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan masalah desain studi, wilayah kajian, keterbatasan studi, kajian studi terdahulu serta sistematika buku. Bab 2 menjelaskan tentang sejarah, asal-usul, serta perkembangan yang terjadi pada masyarakat Etnik Aceh Timur. Pada bagian ini akan dijelaskan perihal genealogi, asal-usul, suku bangsa, bahasa, serta prinsip hidup yang menonjol bagi orang Aceh Timur. Bab 3 menjelaskan tentang potret dan dinamika budaya kesehatan yang berlaku pada masyarakat Etnik Aceh Timur. Pada bagian ini dijelaskan masalah konsep sehat-sakit Etnik Aceh Timur yang juga akan diperbandingkan dengan beberapa Etnik lain yang berada di wilayah Aceh. Selain dan itu dipaparkan juga tentang pengobatan tradisional serta modern, dan juga perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat Etnik Aceh Timur. Bab 4 menjelaskan secara lebih mengenai tematik yang diangkat yakni problematika KB yang ditinjau dari segi budaya dan emik (perspektif informan) dan etik (perspektif peneliti). Pengambilan data tematik ini menggunakan desain life history ibu dengan 18 kali kehamilan. Ibu sebagai informan kunci, dilanjutkan dengan pandangan suami, masyarakat setempat maupun tokoh adat dan tenaga kesehatan. Bab 5 menjelaskan tentang catatan peneliti terhadap keseluruhan isi buku yang dirangkum dalam beberapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut peneliti mencoba melemparkan rekomendasi yang disesuaikan dengan kondisi yang spesifik lokal untuk menjamin fisibilitas dari implementasi rekomendasi yang diajukan.



17



BAB 2 KONTEKS WILAYAH PENELITIAN 2.1 Sejarah Ada tiga peristiwa yang hampir selalu diceritakan masyarakat desa-desa di kecamatan Peudawa ketika kita bertanya tentang sejarah mereka, yakni;1) Sejarah perang Aceh melawan Belanda, 2) sejarah konflik dengan NKRI, 3) dan peristiwa tsunami. Ketiga peristiwa itu seperti sudah menjadi ingatan bersama yang menyertai identitas mereka sebagai orang Aceh. Banyak sejarawan sudah menulis tetang Perang Aceh, yakni perang antara Kesultanan Aceh melawan Belanda yang berlangsung pada tahun 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh digambarkan sebagai kekuatan yang didasari pada semangat jihad telah memberikan perlawanan yang sengit. Akan tetapi perang yang berlangsung sekitar 80 tahun itu kemudian dirasakan semakin merugikan kehidupan masyarakat, maka akhirnya Sultan Aceh secara resmi menyatakan menyerah kepada Belanda. Meski demikian, para tengku/ulama dari wilayah pantai timur Aceh (dengan demikian termasuk juga wilayah Peudawa) menolak untuk ikut menyerah, mereka melanjutkan perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya. Sejarawan Belanda Zentgraaff (1938) mengisahkan bawa pihak kesultanan, melaui Panglima Polim dan kawan-kawan, sudah berusaha menyurati para tengku dan ulama agar ikut meletakkan senjata, dan mulai membangun kembali tatanan masyarakat berdasarkan syariat. Pihak Belanda sendiri, atas saran dari antropolog Snuock Hurgronje sudah mengubah srategi mereka dalam menguasai Aceh. Belanda tidak akan melarang syariat islam, akan tetapi berupaya mengubah orientasi syariat itu: semula sebagai dasar perjuangan/jihad, menjadi sekedar sebagai alat kontrol internal masyarakat Aceh sendiri. Akan tetapi tetap saja ajakan menyerah itu ditolak, terutama oleh ulama-ulama di Tiro. Belanda kemudian memfokuskan



18



gempurannya pada gerakan rakyat ini, bukan lagi pada Kesultanan Aceh. Dengan begitu perlawanan terus berlanjut: laki-laki, perempuan, tua muda maju bersama ke medan laga. Wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda sepenuhnya, Situasi ini berlanjut sampai Belanda meninggalkan Nusantara seiring kedatangan penjajah baru yakni tentara Jepang. “Gampong-gampong di sini sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh, bahkan sudah sejak kerajaan Kerajaan Peureulak, lalu berkembang pada jaman Samudera Pasai”. Demikian disampaikan oleh pak Samanudin,



seorang Tuha Peut gampong Payadua. Masih menurut pak Samanudin, pada zaman kesultanan, wilayah Peudawa secara resmi dikuasakan pada Ulèëbalangyaitu golongan bangsawan dalam masyarakat yang memimpin sebuah kenegrian atau nangroe (wilayah setingkat kabupatendalam struktur pemerintahan sekarang). Ulee balang digelari dengan gelar teuku untuk laki-laki atau cutuntuk perempuan. Uleebalang, ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan. “Di kota Idi (7 km dari Peudawa) masih ada keturunan uleebalang, ada juga peninggalan berupa makam bangsawan. Beberapa tahun yang lalu di sana masih ada rumah besi yg berbentuk rumoh Aceh (rumah adat Aceh) yang besar, tapi sudah dibongkar waktu konflik awal tahun 2000.an”; terang



pak Samanudin. Pada masa kemerdekaan RI, akibat perlakuan pemerintah Ri yang dinilai tidak adil, maka perang rakyat Aceh melawan Belanda seolah bertranformasi menjadi semangat memisahkan diri dari NKRI. Pada tahun … Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah RI. Saat itu wilayah Peudawa dan Peurleuk adalah kawasan yang sangat rawan. Kedua kecamatan ini selalu diidentikan sebagai basis Gerakan Aceh Medeka (GAM), atau dalam bahasa Pemerintah Ordebaru: Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), sehingga mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pihak TNI. Kontak senjata sering terjadi di desa-desa di wilayah kecamatn



19



tersebut. Banyak orang yang tidak tahu apa-apa tetapi menjadi korban konflik. Seperti dituturkan oleh ibu Dariah berikut: “Suami saya waktu itu pekerjaannya berjualan buah-buahan. Waktu dia pulang dari kota Idi, di jalan dia dicegat oleh TNI, lalu KTPnya diminta. Di KTP itu tertulis alamatnya dari Pedawa dia langsung dipukul oleh TNI. Beberapa hari kemudian meninggal. Tidak lama setelah itu TNI mendatangi gampong kami untuk mencari GAM. Saya dibilang sebagai istri GAM, rumah saya dibakar, saya lari ketakutan sampai terjatuh. Sapi saya juga ikut lari, waktu saya jatuh mata saya diinjak-injak sapi, sampai sekarang mata saya buta sebelah. Setelah selamat dari TNI saya ditolong orang gampong. Sesudah itu saya ikut merantau ke Malaysia, sampai keadaan damai saya baru berani pulang ke Aceh”.



Banyak juga pemuda dari wilayah kecamatan Peudawa yang kemudian begabung dengan GAM. Mutaha, seorang pemuda dari desa Payadua mengaku bahwa dirinya dan 25 orang pemuda lain dari desa itu juga terdorong untuk menjadi tentara GAM. Mereka dilatih secara militer selama 9 bulan di perbukitan. Setelah itu mereka ikut dalam pasukan menghadapi TNI. Kepada kami, Mutaha sempat memperihatkan bekas luka tembak yang dialaminya pada punggung atas bagian kanan. Dari 26 orang pemuda yang terlibat GAM itu, 10 orang tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. “Itu belum termasuk pemuda-pemuda dari desa-desa lain, banyak yang mati di hutanhutan”, kenangan Mutahar yang sekarang berusia 30 tahun, sudah beristri dan memiliki dua anak laki-laki. Tanggal 26 Desember 2004 sebagian wilayah Aceh terkena gempa besar dan tsunami. Wilayah Peudawa tidak termasuk kawasan yang terampak serius, hanya beberapa rumah yg terletak di tepi pantai yang terimbas luapan air laut. Akan tetapi banyak moment pasca bencanan alam itu kemudian ikut mempengaruhi kehidupan warga desa-desa di Peudawa. Hal ini tergambar dari pernyataan pak Ilyas berikut:



20



“Waktu itu banyak bantuan yang masuk dari mana-mana, termasuk dari luar negeri. Warga desa sini juga ada yang ikut bekerja di LSM asing untuk program bantuan perumahan. Setiap hari ramai orang asing, apalagi wilayah Peudawa ini ada di lintasan jalan raya Medan-Banda Aceh”.



Peristiwa tsunami telah membuka era baru di Aceh. Banyak warga di desa percaya bahwa tsunami itu bersar hikmahnya bagi orang Aceh, seperti yang disampaikan oleh pak Rokib, seorang pemilik warung kopi di Paya Bili Dua: “Bertahun-tahun Aceh ini konflik, baru setelah ada tsunami-lah bisa berdamai. Memang bencana alam itu makan banyak korban, tapi semua kehendak Allah pasti ada hikmahnya. Bantuan juga datang dari mana-mana, kita juga jadi ketemu dan kenal banyak orang baru dari mana-mana itu”.



Pasca tsunami banyak warga yang merasa semakin yakin akan masa depan Aceh yang lebih baik. Keyakinan mereka pada kebesaran Allah semakin kuat. Bahwa segala sesuatu adalah takdir, hidup dan mati, bencana dan kurnia, semua harus diterima dengan sabar dan syukur. Sikap yang menyesali atau meratapi nasip dianggap sebagai sikap yang tidak mensyukuri rahmat Allah. Benarlah bahwa pasca tsunami, Aceh memasuki era damai, yang diawali dengan perjanjian Helsinki (tahun 2005). Banyak orang yang semula mengungsi ke berbagai tempat, termasuk Malaysia, kembali ke gampong masingmasing. Mereka berusaha membangun kembali kehidupan mereka yang sempat porak-poranda akibat konflik. Desa-desa di Peudawa kembali ramai, meski tidak semua orang bisa benar-benar kembali pada kehidupan semula. Banyak warga yang sudah kehilangan rumah dan harta benda akibat rumahnya terbakar. Akan tetapi secara umum keadaan berangsur-angasur membaik.



21



2.2 Geografis dan Kependudukan Wilayah kecamatan Peudawa pada sebelah timur berbatasan dengan Peureulak Barat, sebelah barat berbatasan dengan Idi Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Ranto Peureulak, dan sebelah utara berbatasan dengan Laut Selat malaka.Secara umum wilayah kecamatan Peudawa merupakan dataran rendah, perbukitan, sebagian berawa-rawa dan hutan mangrove, dengan ketinggian berada 0-308 m diatas permukaan laut. Wilayah ini dibelah oleh sungai Peudawa yang bermuara di desa Kuala Peudawa. Pada musim hujan, sungai ini kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan rumah-rumah di sekiratnya tergenang. Pada bulan desember tahun 2014 luapan sungai Peudawa sempat memakan korban, yakni seorang anak berusi 8 tahun warga Meunasah Krueng, hanyut terbawa arus. Kecamatan Peudawa dilintasi jalan raya yang menghubungkan kota Banda Aceh dengan kota Medan. Beberapa desa yang berada di kiri-kanan jalan ini, seperti Gampong Kude dan Meunasah Krueng, terlihat lebih ramai, terdapat pasar ikan, perkantoran pemerintah, kantor polisi, dan markas Koramil. Di sisi jalan raya itu terdapat pula banyak warung kopi yang biasa menjadi tempat nongkrong kaum lakilaki. Desabagiorang Aceh disebut gampong. Setiap gampongterdiri atas kelompok rumah yang letaknya saling berdekatan dan setiap desa mempunyai sekitar 100-200 buah rumah. Desa merupakan pusat kehidupan masyarakat, yang termasuk ke dalam masyarakat hukum territorial yang terkecil. Kecamatan Peudawa terdiri dari 17 gampong: Tabel 2.1 Demografi dan Jumlah Penduduk No 1. 2. 3.



22



Nama Gampong Gampong Keude Snb. Puenteut Meunasah Krueng



Laki-Laki 992 615 435



Perempuan 1029 660 423



Jumlah 2021 1275 858



4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17



Kuta Baro 176 168 Blang Buket 177 166 Snb. Teungoh 219 191 Asan Rampak 138 152 Kuala Peudawa 218 202 Alue Ie Itam 428 413 Matang Rayeuk 235 220 Sama Dua 219 226 Paya Dua 835 880 Paya Bili Sa 104 99 Paya Bili Dua 185 167 Alue Batee 113 112 Blang Kuta 326 321 Buket Kuta 670 607 Sumber: Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015



344 343 410 290 420 841 455 445 1715 203 352 225 647 1277



2.3. Kondisi Tempat Tinggal Penduduk Sebagian besar rumah penduduk terbuat dari kayu atau papan. Ada yang beratap seng ada juga yang terbuat dari daun rumbia yang dianyam dan kebanyakan mempunyai daya tahan sampai 20 tahun. Rumah itu biasanya berbentuk bujur sangkar dan menghadap ke jalan desa. Tiang-tiang rumah terbuat dari kayu yang telah dijadikan balokbalok, sementara lantai terbuat dari semen. Di tempat-tempat yang tidak jauh dari sungai atau pantai masih banyak dijumpai rumah panggung, yakni rumah yang didirikan di atas tiang kayu. Rumah panggung biasanya sudah terlihat tua tapi cukup artistik, sebagian besar adalah warisan dari keluarga terdahulu. Rumah panggung yang berlantaikan kayu itu dahulu tujuannya untuk menghindarkan diri dari gangguan binatang. Rumah-rumah yang berlokasi di pinggir jalan raya umunya sudah terbuat dari batu bata dan berdisain modern.



23



Gambar 2.1. Rumah Panggung Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



Rumah-rumah didirikan berjejer, dan bagi orang yang memiliki hubungan kekerabatan rumahnya dibangun bersebelahan, dan kadang-kadang dibatasi pagar dari bambu. Setiap rumah mempunyai halaman yang ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan berguna yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tanaman yang umum tumbuh di halaman depan dan belakang adalah kelapa, pisang, nanas, dan sayur-sayuran.



Gambar 2.2.Rumah di tepi sawah Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



Rumah-rumah di Peudawa kebanyakan hanya “ditempati” pada malam hari. Selama siang hari orang-orang lebih banyak berada di luar rumah. Pagi hari kaum laki-laki sebelum berkatifitas biasa nongkrong di warung kopi yang ada sekitar rumah mereka. Di sana



24



mereka menghabisakan waktu sekitar satu sampai dua jam untuk mengobrol dengan tetangga. Bagi warga yang sawahnya tidak jauh dari rumah, akan lebih sering menghabiskan watunya di warung kopi karena setelah satu-dua jam bekerja mereka akan beristirahat di warung itu untuk menghabiskan secangkir kopi dan beberapa batang rokok, setelah itu kembali berkatifitas, begitu seterusnya hingga sore atau malam hari. Hampir semua laki-laki adalah perokok dan minum kopi. Dengan demikian warung kopi hampir tidak pernah sepi. Selain itu dapat dikatakan warung kopi itu adalah pusat informasi dan komunikasi warga desa. Di sana mereka bertukar pikiran atau sekedar ngobrol tentang banyak hal, mulai dari yang remeh-temeh hingga yang agak serius, misalnya tentang pekerjaan sehari-hari, tantang batu akik yang sedang nge-trend, hingga tentang ilmu agama dan gosip-gosip politik. Jika ada orang yang akan mengadakan pesta atau hajatan, seperti perkawinan dan sunat rosul (khitan), surat undangan cukup dititipkan di warung kopi, nanti orang yang datang akan memilih sendiri surat undangan yang sesuai nama dirinya.



Gambar2.3.Suasana warung kopi malam hari Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



Sementara kaum ibu setelah menyelesaikan tugas rumah tangga biasanya akan kumpul-kumpul di panthe’, yakni semacam balebale bambu/kayu yang diberi atap (cakruk dalam bahasa jawa) yang biasa dibuat di depan rumah mereka. Anak-anak yang masih balita



25



juga bermain-main di sekitar tempat itu. Ibu-ibu yang memilik bayi biasa menyuapi makan anaknya di tempat itu. Tamu yang datang dari jauh pertama-taman juga akan diterima di panthe’. Umumnya tamu laki-laki akan diterima oleh laki-laki, tamu perempuan akan diterima oleh perempuan. Kadang-kadang tamu laki-laki akan diajak tuan rumah untuk ngopi di warung terdekat. Sebagian besar rumah di Peudawa memiliki halaman yang cukup luas. Banyak halaman itu terlihat bersih dan terawat. Ini berbeda dengan kondisi sebagian rumah yang terlihat kurang diperhatikan kerapihan dan kebersihannya. Hal ini terjadi karena rumah jarang ditempati, sementara halaman itu adalah “ruang’ utama tempat bertemu tetangga atau tamu. Bagian dalam rumah biasanya terdiri dari ruang depan, kamar tidur dan dapur. Akan tetapi tiap ruang tidak memiliki fungsi yang baku. Kadang-kadang orang bisa tidur di ruang depan sambil nonton televisi, sementra di kamar tidur banyak terdapat macam-macam barang atau peralatan yang campur baur dengan pakaian. Dapur selain sebagai tempat memasak, juga tempat menyimpan peralatan kerja seperti jala, pancing dan bubu, juga cangkul dan parang. Hampir setiap ruang memiliki jendela, kecuali dapur kadang-kadang tidak dilengkap jendela yang memadai. Kecuali di desa Samadua, banyak rumah di kecamatan Peudawa yang belum memilki kamar mandi dan jamban permanan. Kamar mandi yang ada biasanya berdindingkan daun kelapa beserta pelepahnya yang disusun secara vertikal, dan tidak memiliki daun pintu dan atap. Di dalamnya terdapat sebuah sumur dan aneka perlengkapan mandi dan mencuci. Untuk keperluan buang air besar, warga yang belum memiliki jamban biasa melakukannya di kebun, sungai atau pantai yang terletak beberapa puluh meter di belakang rumah masing-masing. Hampir semua warga memiliki hewan peliharaan berupa beberapa ekor ayam, itik, kambing atau sapi. Dengan alasan



26



jumlahnya tidak banyak, hewan-hewan itu seringkali tidak dikandangkan, melainkan dibiarkan berkeliaran di sekitar rumah atau jalan desa. Kadang-kadang ada kambing yang masuk ke kebun tetangga sehingga menimbulkan sedikit perselisihan. Akan tetapi masalah tersebut tidak pernah berlanjut menjadi konflik yang serius. Biasanya pemilik kambing akan lebih memperhatikan hewan piaraannya tersebut. Ada kalanya pada leher kambing itu dikalungkan kayu kecil berbentuk segi tiga dangan tujuan agar kambing itu tertahan ketika akan menerobos pagar kebun sayuran tetangga.



Gambar 2.4. Rumah, ternak, anak Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



2.4 Solidaritas Sosial Suatu hari rumah keluarga Mardi (53) terbakar. Peristiwa itu terjadi pada hari minggu 10 mei 2015, sekitar jam 13.00 siang. Waktu itu pak Mardi dan istrinya sedang menghadiri sebuah pesta pernikahan di gampong Paya Dua. Di rumah hanya ada 4 dari 10 anak pak Mardi. Anak-anak itu sedang bermain-main di halaman. Warga yang kebetulan berada di tempat itu segera melakukan tindakan pemadaman api. Mereka mengambil air dari selokan yang



27



ada di depan rumah tersebut dengan ember lalu menyiramkan ke kobaran api. Akan tetapi hal itu sama-sekali idak bisa menolong. Tidak diketahui apa penyebab kebakaran itu, yang pasti seluruh banguanan yang terbuat dari kayu itu ludes tanpa sisa dilahab api. Untunglah semua anggota keluarga pak Mardi baik-baik saja, meski tidak satupun barang-barang yang bisa diselamatkan. Hari itu hampir semua orang di Paya Dua datang untuk melihat keadaan keluarga yang sedang ditimpa kemalangan itu. Mereka membawa beras, bahan lauk-pauk, makan instan dan juga uang, untuk disumbangkan kepada keluarga tersebut. Ibu-ibu segera membuat dapur darurat, lalu mereka memasak bersama. Malam harinya keluarga itu ditampung di rumah tetangga kiri-kanan. Keesokan harinya orang-orang makin banyak berdatangan, bahkan dari gampong-gampong yang jauh juga berdatangan dengan membawa berbagai macam bentuk bantuan. Hari juga wagra membuat rumah darurat dari bahan anyaman bambu (gedhek) dan atap daun rumbia sebagai tempat tinggal sementara keluarga besar itu. Mujahar (34) salah serang tokoh pemuda desa Paya Dua terlihat sangat aktif dalam mengusahakan bantuan. Dia segera menghubungi pihak kepolisian, pihak kecamatan hingga kabupaten. Hasilnya berturut-turut kapolres Peudawa, camat Puedawa dan bupati Aceh Timur datang ke lokasi dan memberikann bantuan langsung. Bantuan itu berupa bahan makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, selimut, juga perlengkapan sekolah. Diperkirakan bantuan tersebut mencukupii untuk hidup selama 6 bulan ke depan. Bahkan pihak kabupaten menjanjikan akan membangun kembali rumah untuk keluarga tersebut. Dari kejadian di atas terasa sekali betapa tingginya solidaritas di antara warga gampung, bahkan hingga gampong tetangga. Pihak pemerintah pun hadir dengan cepat di tengah-tenangah warganya yang memerlukan perhatian. Solidaritas wagra juga bisa kita lihat



28



misalnya ketika ada warga yang dirawat di rumah sakit. Maka warga gamong akan datang beramai-ramai untuk menengok si sakit itu. Tidak jarang mereka datang dengan menumpang kendaraan bak terbuka (pick-up), termasuk kaum ibu-ibu. Mereka juga membawa berbagai bentuk sumbangan, baik berupa barang maupun uang. Setelah si pasien itu pulang ke rumah, maka para tetangga akan “merayakannya’ dengan mengadakan kenduri (peusejeuk). Kembali pada kisah kebakaran, seorang tetangga pak Mardi mengatakan kepada kami: “Pak Mardi itu orang yang sederhana, tidak ada pekerjaan yang tetap, anaknya banyak, tapi dia itu sholeh, tidak pernah ada masalah atau menyusahkan orang lain. Dia orang yang pasrah, tawakal. Kebakaran itu ada hikmahnya, sekarang banyak bantuan, rumah pun akan dibangun oleh pemerintah, itu malah lebih bagus dari sebelum terbakar, Allah menggantinya dengan yang lebih baik”. Demikianlah, tabiaat pak Mardi yang tidak pernah bermasalah dengan orang di gampong itu dinilai telah mendatangkan solidaritas yang besar dari warga. Dan tentu saja mendatangkan hikmah dan berkah dari Allah. Memahami solidaritas sosial di gampong juga bisa dilihat dari cara mereka menyikapi kematian. Pada saat orang yang sakit dengan mata terbuka telah melihat ke atas dan sudah menarik nafas satu demi satu, maka orang itu disebut sedang menghadapi maut atau sukreuet. Beberapa orang yang berkumpul di sekitar orang itu biasanya membantu orang itu untuk mengucapkan kalimah "Lailahaillallah"secara berulang-ulang, dengan maksud supaya orang yang sakit itu mati secara khusnul khatimah. Jika hal itu berhasil, maka dikatakan, bahwa orang itu telah selamat iman. Keselamatan iman seseorang sepertinya juga menjadi tangungjawab komunitas. Jika orang itu terlanjur mati sebelum sempat mengucapkan "Lailahaillallah" maka orang-orang yang hadir itu akan merasa



29



bersalah karena gagal mengatarkan rekannya menuju sisi Allah dengan sempurna. Orang Aceh, seperti umumnya umat islam lain, percaya bahwa orang yang meninggal itu nanti akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir didalam kuburnya. Pertanyaan itu antara lain: siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, apa Agamamu, siapa Imammu, manakah Qiblatmu dan siapa ikhwanmu. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan dalam bahasa Arab, dan dijawab dengan bahasa Arab pula. Orang Aceh yakin akan bisa berbahasa Arab sesudah ia hidup di akhirat, meskipun bahasa ini tidak diketahuinya semasa ia hidup didunia. Penyelenggaraan jenazah sesegera mungkin dilakukan menurut aturan agama islam, seperti: memandikan, mengafankan, mensholatkan, dan menguburkan. Sebelum kewajiban-kewajiban agama seperti diatas di kerjakan, mayat ditutupi dengan kain yang bagus, sambil menunggu dimandikan. Kalau meninggal pada malam hari, soal penguburan ditangguhkan sampai pagi hari. Orang-orang menjaga mayat itu dan menyalakan lampu serta meletakkan sebuah pisau kecil di bawah bantal untuk penangkal mahluk halus. Selalu banyak orang yang datang untuk melayat. Para pelayat itu bisa berasal dari desa-desa tetangga yang jaraknya cukup jauh. Mereka ada yang datang sendiri-sendiri, ada pula yang berkelompok, misalnya dengan menumpang kedaraan bak terbuka. Para pelayat akan memenuhi halaman rumah duka. Mereka akan memberikan sumbangan uang antara 5000 – 20.000 rupiah yang dimasukan ke tempat yang disediakan, biasanya berupa baskom yang ditutupi kain. Pelayat perempuan biasanya akan mengambil tempat di belakang rumah atau di samping rumah, pelayat laki-laki akan bekumpul di halaman depan. Jenazah yang akan disholatkan itu biasanya diletakkan di sebuah tenda yang dibangun di halaman depan rumah. Sholat jenazah diimami oleh seorang Tengku dan diikuti oleh sebagian dari kaum laki-laki. Sebagian dari kaum laki-laki yang tidak ikut sholat memilih duduk-duduk di tempat yang agak jauh dari



30



jenazah, sementata kaum perempuan berdiri menyaksikan dari bekakang dengan jarak beberapa meter dari shof orang yang sholat. Setelah selesai sholat, tengku berdoa dan memberikan ceramah singkat terkait hikmah kematian. Setelah itu barulah jenazah diangkut dengan keranda menuju pemakaman.



Gambar 2.5.Sholat Jenazah Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



Acara tahlil untuk mendoakan si mati biasanya berlangsung selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu rumah duka akan terusmenerus dikunjungi banyak orang. Demikianlah, solidaritas sosial ternyata bukan hanya urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat.



-



31



2.5 Mata Pencaharian Dan Teknologi Sebagian besar penduduk desa-desa di Peudawa adalah pentani dan nelayan. Ada juga yang menjadi buruh, pedagang dan pegawai negeri.Berdasarkan karakteristiknya rata-rata penduduk wilayah kerja Puskesmas Peudawa sebagai petani, nelayan dan wiraswasta dengan mata pecarian hasil panen ladang, tambak, melaut dan dagang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata adalah lulusan SD sederajat dan SMP sederajat. Masyarakat sudah mendapat sarana informasi dan komunikasi melalui TV, radio, surat kabar, telpon selular, maupun internet.Dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan matapencaharian penduduk wilayah kerja Puskesmas Peudawa memiliki status kemiskinan menengah kebawah yang masih tinggi27.



Gambar 2.6.Seorang ibu di ladang



Sistem pengairan di sawah-sawah belum teratur seperti di Jawa, karena belum ada irigasi. Sawah-sawah itu masih tergantung pada curah hujan. Dengan demikian penanaman padi dilakukan hanya 27



Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015



32



sekali dalam setahun dengan pengolahan yang masih sederhana. Dahulu, sebelum tahun 1980-an, masyarakat biasa membuka ladang (huma) di tepi-tepi hutan dengan sistem rotasi. Setelah ditanami selama beberapa tahun, mereka akan berpindah pada lahan lain, begitu seterusnya hingga lahan yang awal itu kembali menjadi hutan. Lalu lahan awal yang sudah menjadi hutan itu dibuka lagi dengan cara dibakar untuk ditanami kembali. Biasanya pohon-pohon yang besar tidak ikut ditebangi. Sejak akhir tahun 80-an, orang mulai jarang mempraktikkan paladangan berotasi. Hal ini terjadi karena banyak lahan yang kemudian dikuasai oleh orang luar Peudawa yang memiliki modal besar. Mereka menggunakan gergaji mesin (chain saw) untuk membabat pohon besar untuk dijadikan kebun kelapa sawit atau lainnya. Dengan adanya perkebunan besar tersebut, mulai ada warga Peudawa yang bekerja sebagai buruh. Nelayan Peudawa melaut setiap hari, kecuali pada musim barat. Mereka berangkat sore atau malam hari saat air mulai naik. Peralatan yang mereka gunakan seperti umumnya nalayan tradisional: perahu, jaring dan pancing. Mereka melaut secara berkelompok, ketika pulang mereka akan berkumpul di sebuah warung untuk membagi hasil tangkapan mereka. Pembeli ikan juga akan datang ke warung itu untuk, pembeli itu bisa tengkulak yang akan menjual kembali hasil laut itu, bisa juga warga sekitar untuk konsumsi sendiri. Pada beberapa desa, seperti Paya Dua dan Payabili Dua, sebagian warga juga bekerja di tambak bandeng atau udang. Akan tetapi sebagian dari tambak tersebut dimiliki oleh orang luar desa. Dengan demikian warga desa sebagian menjadi buruh di tambak tersebut.Selain bertani dan melaut, ada juga warga yang berdagang, terutama hasil bumi, hasil perkebunan dan hasil ikan laut. Mereka biasa menggunakan sepeda motor atau mobil pick-up untuk mengangkut dagangan tersebut. Penggunaan telepon selular termasuk smart phone juga sudah umum dilakukan untuk kepentingan



33



perdagangan tersebut. “Orang Aceh telah berdagang Sejak jaman kuno. Orang dulu itu sampai keluar negeri. Dari jaman Sultan Iskandar Muda perdangan sudah ramai, Aceh mampu bersaing dengan pedagang Eropa”, demikian kata pak Kohar (45 th), seorang pedagang hasil laut. 2.6. Bahasa Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat pedesaan di Peudawa berbicara dalam bahasa Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu Polinesia. Bahasa ini dipakai baik di dalam keluarga (di rumah) maupun di komunitas (ruang publik). Hampir tidak ada strata dalam bahasa sehari-hari mereka, hanya saja kepada orang yang dihormati mereka akan berbicara dengan intonasi yang rendah. Demikian pula terhadap anak-anaknya, orang tua biasanya akan berbicara dengan lembut. Mereka berharap anak-anak nantinya dapat berbudi-bahasa yang baik pula. Bahasa kasar ditunjukkan dengan intonasi tinggi, suara keras dan pilihan kata yang “tidak pantas”. Ini dilakukan oleh orang yang sedang marah. Suatu hari ada seorang ibu yang marah kepada petugas kesehatan yang menasehatinya supaya ikut KB. Si Ibu yang beranak 10 ini berkata dalam bahasa Aceh: “loen toh wak kah gabuek!”. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira adalah ”aku yang melahirkan kok kalian yang repot!”. Akan tetapi kata “toh” yang dipakai si ibu itu sebenarnya adalah kata yang hanya lazim untuk menyebut “melahirkan” dalam konteks binatang, bukan pada manusia. Misalnya: “kambeng toh.., artinya kambing beranak/brojol. Di beberapa tempat lain di Aceh, kata “toh” itu dipakai untuk menyebut buang air besar. Sebagian besar dari mereka juga bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipakai untuk keperluan formal, misalnya di kantorkantor pemerintah. Apabila kedatangan tamu yang tidak bisa



34



berbahasa Aceh, mereka juga akan berbicara dalam bahasa Indonesia. Suatu hari kami mampir di sebuah warung kopi yang di dalamnya ada lima orang bapak sedang ngobrol seru dalam bahasa Aceh tentang suatu topik. Begitu kami duduk dan bergabung, salah seorang dari mereka menerangkan kepada kami tentang topik pembicaraan mereka itu dalam bahasa Indonesia. Perbincangan dalam bahasa Aceh itu pun terus berlanjut, dan orang yang duduk dekat kami itu terusmenerus menyampaikan perkembangan obrolan merekan itu kepada kami dalam bahasa Indonesia. Kadang-kadang salah seorang yang lain juga nyeletuk dalam bahasa Indonesia untuk meminta pendapat kami tentang topik tersebut. Ketika kami menyampaikan pendapat kami, mereka pun lalu merespon balik dengan bahasa Indonesia. Mengenai penggunaan bahasa Indonesia, ada kisah yang cukup tragis yang terjadi pada masa konflik. Kisah ini dituturkan oleh pak Somad, seorang pemilik warung kopi yang menjadi saksi kejadian: Suatu ketika pasukan TNI datang ke desa Payadua dan bertanya pada beberapa orang yang kebetulan sedang berkumpul di sebuah warung kopi. Salah satu anggota TNI bertanya: “Apa di sini ada GPK?!” Semua orang diam. Lalu tentara itu mengulangi lagi pertanyaan itu hingga beberapa kali dengan intonasi yang makin meninggi. Sesaat kemudian seorang lelaki berusia 40-an tahun mengacungkan tangan sambil berkata: loen (saya). Sang tentara langsung menyeret orang itu lalu menembaknya hingga mati di tempat. Mengapa orang itu mengaku dirinya sebagai GPK? Padahal GPK yang adalah kependekan dari Gerombolan Pengacau Kemanan itu adalah sebutan versi TNI untuk pasukan GAM. Belakangan diketahui bahwa orang yang malang ini sebenarya sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud dengan GPK, bahkan orang ini tidak mengerti sama-sekali kata-kata dalam bahasa Indonesia. Entah apa yang dibayangkannya tentang GPK yang pasti kendala bahasa telah membuat nyawanya melayang.



35



Dari keajdian di atas, orang-orang di gampong itu menyadari bahwa kendala bahasa bukan masalah sepele. Orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia banyak yang memilih menghindar untuk bertemu pihak luar, terutama tentara. Bahkan ada yang memilih pindah ke gunung-gunung atau ke daerah lain di luar Aceh. Saat ini semakin banyak orang yang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Anak-anak dan remaja cenderung tidak ada masalah dalam berbahasa, karena di sekolah mereka biasa menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan di rumah atau di gampong mereka kembali menggungkan bahasa Aceh. 2.7. Organisasi Sosial Gampong merupakan bentuk tetorial atau wilayah yang terkecil dari susunan pemerintahan yang kalau dilihat dari sejarahnya terbentuk pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Sebuah Gampong terdiri dari beberapa rumah yang letaknya saling berdekatan antara satu dengan yang lain. Sebuah Gampong biasanya dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu masuk, suatu jalan yang melewati sawah atau kebun (lampoh) yang tembus ke kampung yang lain, dan di setiap Gampong tersebut terdapat sebuah Meunasah (Masjid atau Mushola). Pimpinan Gampong di sebut Geuchik, yang merupakan Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan pemerintah Gampong yang dibantu oleh perangkatnya yaitu sekretaris dan bendahara yang dipilih oleh Geuchik atas persetujuan Tuha Peut serta para perangkat lainnya seperti Keamanan Gampong, Badan Pembangunan Gampong, Peutua Duson, Peutua Meunasah, dan lain lain. Tugas dan kewajiban seorang Geuchik adalah memimpin pelaksanaan pemerintah Gampong, membina kehidupan beragama dan pelaksanaan syariat islam, menjaga dan melestarikan adat istiadat, memajukan ekonomi warga, memelihara ketenraman



36



Gampong, menjadi hakim perdamain, mengajukan rancangan reusam (Peraturan) Gampong, mengajukan rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong serta mewakili kampungnya baik didalam maupun diluar kampung. Seorang Geuchik dipilih secara musyawah oleh semua orang Gampong. Seseorang yang diangkat menjadi Geuchik adalah seorang tokoh masyarakat yang dianggap punya komitmen untuk membela kepentingan dan keinginan warga. Ia diharapkan bekerja melayani warga dengan ikhlas. Perangkat Pemerintah Gampong selain Geuchik terdapatImeumMeunasah dan Tuha Peut Gampong. Imum meunasah adalah seorang Tengku yang mahir dalam masalah agama. Tugas Imum Meunasah selain mengajarkan pendidikan agama kepada masyarakat juga orang yang menegakkan hukum yang sesuai dengan syariat islam dalam Gampong. Imum Meunasah punya kedudukan yang sejenjang dengan Geuchik, di mana dia bertanggungjawab pada pelaksanaan agama Tuha Peut Gampong adalah sebagai Badan Perwakilan Gampong, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintahan Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Tugas dan usaha Tuha Peut antara lain adalah meningkatkan upaya peningkatan pelaksanaan syariat islam dan adat, melestarikan adat dan budaya, melaksanakan fungsi legistlasi, melaksanakan fungsi anggaran, melaksanakan fungsi pengawasan, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Gampong. Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. setidaknya ada empat golongan masyarakat, yaitu keluarga sultan, uleebalang, alim ulama, dan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah



37



orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerahdaerah kecil di bawah kerajaan, biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku. 2.8. Kekerabatan Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya. Abdullah (27) menikah dengan Aminah (23) setahun yang lalu. Abdullah berasal dari kota Langsa tetapi sudah lama menetap di Medan, sedangkan Aminah dari gampong Snb.Peunteut.Kini mereka menetap sementara di rumah orang tua Aminah. Saat kisah ini diceritakan, Aminah baru saja melahirkan anak pertama mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sebenarnya ada sedikit masalah terkait tempat tinggal mereka saat ini, sebab Abdullah masih bekerja di Medan. Dengan demikian Abdullah terpaksa tidak dapat sepenuhnya hidup serumah dengan Aminah. Hanya pada akhir pekan dia bisa mengunjungi isitrinya. Abdulah pernah menyatakan keinginannya untuk memboyong Aminah ke Medan, tetapi mertuanya keberatan. Mertuanya beralasan kuatir tidak ada yang mengurus Aminah dan bayinya kalau mereka tinggal di Medan. Memang, sejak hamil hingga melahirkan ibunya Aminah-lah yang banyak mengurus segala sesuatu, misalnya ketika persalinan dialah yang memanggil Mak Nukasah sang dukun bayi (biden kampong) untuk menolon kelahiran. Sampai bayi itu berusi 40 hari peran si nenek dan dukun bayi memang cukup dominan, misalnya pada saat mengadakan peusejeukcukur rambut si bayi. Ibunya



38



Aminah pula yang memberikan nama untuk cucu pertamanya itu: Muhammad. Setiap hari Muhammad diurus oleh neneknya, mulai dari mandi, memberihkan ompol, hingga menyuapi makan. Di banyak desa di Peudawa, bayi sejak usia sehari sudah diberi makan berupa pisang yang dilumatkan. Selama masa nifas, kondisi Aminah dianggap masih lemah. Seperti kebiasaan masyarakat di Peudawa, Aminah harus melewati beberapa kali pemijatan atau kusuk oleh mak Nukasah agar kondisinya pulih seperti sedia kala. “Biar tulang-tulangnya rapat lagi”, begitu kata mereka. Umumnya setelah bayi berusia tiga bulan, barulah peran nenek dalam mengurus si bayi diserahkan kepada ibunya. Sejak saat itu si anak akan sangat dekat dengan ibunya hingga dewasa. Menurut cerita beberp informan, pada jaman dahulu, hubuangan anak dengan ayah tidaklah begitu dekat, terutama saat anak sudah menjelang remaja. Ini terjadi karena sang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dan di warung kopi bersama kaum bapak lainnya. Akan tetapi dari pengamatan kami pada keluarga-keluarga muda di Peudawa tampak bahwa hubungan ayah-anak cukup dekat. Ayah sering mengajak anaknya bepergian taua sekedar jalan-jalan di sekitar desa. Beberapa anak juga tampak akrab dengan pamanpaman mereka, terutama paman dari pihak ibu. Banyak keluarga yang memilik anak lebih dari lima orang, bahkan ada yang mencapai belasan. Pada masa kecil, anak-anak itu cukup akrab dengan saudara-saudarinya. Anak yang lebih besar akan mengasuh adik-adiknya. Akan tetapi setelah memasuki usia remaja menuju dewasa, keakraban secara fisik itu mulai berkurang. Anakanak muda mulai berkumpul dalam komunitasnya masing-masing (peer-group).



39



2.9. Kesenian Sudah lazim diketahi bahwa corak kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati,seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkanadalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagaiukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan islam seperti Hikayat Perang Sabil. Meski ada banyak kesenian di Aceh, akan tetapi tidak semua berkembang di wilayah Kecamatan Peudawa. Dalam riset ini kami menemukan dua hal yang dapat dianggap kesenian yang menjadi bagian dari hidup sehari-hari komunitas pedesaan, yakni nyanyian pengantar tidur dan kesenian rapa’i daboh. 2.9.1. Do Da idi Bu Ruminah (30 tahun) memiliki bayi laki-laki berusia 18 bulan. Bayi itu terlihat sehat dengan pipinya yang montok. “Gemuk”, kata bu Ruminah menyebut bayinya dengan gemas. Setiap menidurkan si Gemuk, bu Ruminah membacakan kalimah Laailahaillallah yang dilagukan beberapa kali, selanjutnya dia menyayikan syair Do Da idi: Allah hai dododaidi Boh gadung bie boh kayee uteun Raye'k sinyak hana peu ma brie aeb ngen keji ureung donya kheun Allah hai dododaidang Seulayang blang ka putoh talo Beurijang rayek muda seudang Tajak bantu prang ta bela Nanggroe



40



Wahe aneuk bek ta duek le Beudoh sare ta bela bangsa Bek ta takot keu darah ile Adak pih mate po ma ka rela Jak lon tateh, meujak lon tateh Beudoh hai aneuk ta jak u Aceh Meube bak on ka meube timphan Meubee badan bak sinyak Aceh Allah hai Po illa hon hak Gampong jarak han troh lon woe Adak na bulee ulon teureubang Mangat rijang troh u nanggroe Allah hai jak lon timang preuk Sayang riyeuk disipreuk pante’ O'h rayek sinyak yang puteh meupreuk Toh sinaleuk gata boh hate’ Do Do Idi adalah lagu rakyat (folklore) yang biasa dinyayikan oleh ibu-ibu ketika menina-bobokan anaknya. Biasanya sambil membuai sang buah hati diayunan yang terbuat dari kain sarung, sang ibu bernyanyi dengan suara lirih, dengan tempo lambat dan dengan penjiwaan yang tinggi. Kata “Do do Idi” itu sendiri tidak ada arti harafiahnya, hanya semacam senandung. Sebagai lagu rakyat tidak diketahui siapa yang menciptakan lagu ini. Konon lagu ini sudah ada sejak masa perang Aceh melawan kaum kompeni kaphee. Syair lagu itu memuat doa dan harapan dari seorang ibu yang penuh kasih terhadap masa depan anaknya yang lahir di masa sulit. Berikut arti dari syair tersebut:



41



Allah hai dododaidi Buah gadung buah-buahan dari hutan kalau anakku besar nanti, Ibu tidak bisa memberi apa-apa aib dan keji dikatakan orang-orang Layang-layang di sawah putus talinya cepatlah besar Anakku sayang & jadi seorang pemuda supaya bisa berperang membela Nanggroe (Aceh) Wahai anakku, janganlah duduk & berdiam diri lagi mari bangkit bersama membela bangsa janganlah takut jika darah mengalir walaupun engkau mati Nak, Ibu sudah relakan Ayo sini Nak Ibu bimbing, kemarilah Nak Ibu bimbing bangunlah anakku sayang, mari kita ke Aceh sudah tercium bau daun timphan seperti bau badan sinyak Aceh Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak jauhnya kampung tak tercapai untuk pulang andaikan punya sayap, Ibu akan terbang supaya cepat sampai ke negeri (Aceh) Kemarilah Ibu timang-timang Nak sayangnya ombak memecah pantai kalau sinyak yang berkulit putih udah besar di manakah engkau akan berada nanti buah hatiku Dari syair itu terasa sekali bagaimana seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, tetapi sekaligus merelakan anaknya untuk pergi



42



berjuang demi membela agama dan negara. Do da idi merupakan ikatan komunikasi awal seorang ibu kepada anaknya. Nyanyian ini dilantunkan sang ibu saat si anak belum memiliki kapasitas baku terhadap bahasa, tapi di situlah seninya. Si anak pelan-pelan memahani bahwa bahasa ibu adalah bahasa perjuangan. Peran seorang ibu (dan kaum perempuan ada umumnya) dalam perang Aceh sudah bukan hal yang asing. Banyak lieratur sejarah yang menggambarkan bagaimana perempuan-perempuan Aceh berjuang memimpin pasukan di garis depan. Seorang sejarawan Belanda menggambarkan tentang ini dengan sangat baik: “Dia menerima hak asasinya di medan juang, dengan melahirkan anak-anaknya, kadang-kadang di antara dua serbuan penyergapan, senantiasa mereka berada dalam periode ketegangan yang besar. Kemudain dia melanjutkan pengembaraan perangnya bersama gerombolannya. Dia berjuang seringkali bersama-sama suaminya, kadang-kadang di sampingnya, atau di depannya, dan dalam tangannya yang mungil itu klewang dan rencong dapat merupakan senjata yang berbahaya.“(HC. Zentgraaff, 1938)28



Dendang Do Da Idi adalah tradisi lisan yang ikut melestarikan semangat juang dari seorang ibu yang ikhlas dan gagah berani, yang rela kehilangan apapun, demi agama dan bangsa. Do Da Idi jelas adalah sebuah pesan perang. 2.9.2. Rapa’i Dabo Malam itu Kampong Alue Batee ramai sekali, maklum sedang ada pesta pernikahan. Di sebuah tanah lapang tidak jauh dari rumah mempelai tampak orang berkerumun menyaksikan permaian Rapa’I dabo.Ada 12 orang duduk dengan formasi melingkar, masing-masing memegang sebuah rapa’i, yakni alat musik tabuh seperti 28



ACEH, terjemahan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta 1982/1983



43



rebanaterbuat dari kayu dan kulit binatang. Kelompok ini dipimpin oleh seorang yang disebut “khalifah”. Sesaat terdengar lantuan sya’irsya’ir dalam bahasa Aceh dan Arab, salah seorang dari anggota dabo masuk ke dalam lingkaran tersebut dan menyalami anggota-anggota lain yang sedang menabuh rebana satu-persatu. Orang ini lalu mengambil sebilah belati, kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan-gerakan tari secara konsentrasi mengikuti irama tabuhan sembari melafalkan doa-doa. Suara rapa’i semakin membahana dan bergemuruh, anggota yang sedang memegang senjata tajam itu mulai meloncat-loncat dan meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha, tangan, perut dan kepalanya sendiri! Selanjutnya pemain itu memotong-motong lidahnya serta menggorok lehernya sendiri, lalu dengan tanpa terlihat takut dia mencongkel biji matanya dengan ujung belati di tangannya. Semua yang ia lakukan bisa terjadi dengan cepat dan terasa ajaib. Seluruh tubuh yang ditikamnya itu tidak terluka sama sekali. Bahkan belati tajam itu pun kemudian sengaja disayatkan ke leher anggota lain, tetapi mereka juga kebal. Tidak puas dengan itu, pemain ini kemudian mengambil rencong, parang dan senjata tajam lainnya, lalu beraksi secara menggila lebih dari sebelumnya. Akan tetapi tak seorang pun terluka, bahkan aneka senjata tajam itu tampak bengkok dan patah saat dihantamkan pada bagian-bagian tubuh mereka. Tabuhan Rapa’i terus begemuruh dalam ritme cepat. Para pemain mulai melilitkan rantai besi panas yang memerah ke leher, badan atau ke pinggang mereka. Ada juga permainan memukul diri dengan rantai secara beruntun ke kepala serta menari-nari dalam api unggun. Salah seorang pemain tampak membengkokkan sebatang besi per sampai patah dengan tangan kosong. Puncaknya, dari arah kerumunan penonton, seseorang membawa chain-saw yang menyala dengan suara menderu-deru masuk ke dalam lingkaran pemain. Alat pemotong pohon besar itu kemudian dipakai secara bergantian oleh



44



para pemain untuk mengergaji bagian-bagian tubuh mereka. Ajaib, tidak ada yang terluka!. Kesenian tradisional Rapa’I Dabo ini hampir dimiliki oleh setiap Kecamatan di pesisir timur Aceh. Kesenian ini merupakan gabungan antara seni, agama dan ilmu metafisik (ilmu kebal). Kelompok kesenian ini mempunyai pemain minimal 10 orang yang dipimpin oleh seorang yang biasa disebut khalifah. Kesenian ini menggunakan alat musik yang disebut dengan rapa’i (gendang rebana yang terbuat dari kulit kambing). Kesenian ini umumnya melagukan syair-syair dan zikir dan pujian kepada Allah Sang Pencipta dan solawat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Menurut pak Tuha Peut dari gampong Payadua, Rapa’i Dabo ini sudah ada sejak abad ke 7 hijriah. Syairnya berasal dari nyanyiannyanyian atau puisi yang berupa doa yang biasa dibacakan oleh seorang mursyid (pemimpin tarikat) dalam ajaran tasawuf-nya. Doa dan zikir dibacakan dengan suara lirih dan merdu dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan diri (fana billah). Fana billah inilah yang jadi tujuan untuk mencapai kepuasan batiniah. Dalam perkembangan berikutnya, sekitar awal abad 19 M, kesenian rapa’I dabo mulai dipakai juga untuk sarana hiburan dengan mempertunjukkan ilmu kebal kepada khalayak. Bahkan saat ini sudah ada yang dilombakan. Dikalangan anggota rapa’i dabo, sangat ditekankan agar mereka tidak menyombongkan diri kepada siapapun, serta jangan sampai ada niat-niat tertentu yang dapat merugikan orang lain. Jika pantangan ini dilanggar, maka mereka percaya akan terjadi mala petaka pada pemain dabo tersebut, misalnya akan terluka akibat tusukannya sendiri, atau akan celaka pada waktu tertentu, dan semua ilmu kebal yang dimikinya akan sirna dalam sekejap. “kita juga tidak boleh punya niat menguji ilmu orang lain, makanya sebelum bermain rapa’I dabo kita biasanya minta pengertian kepada penonton untuk tidak ada yang



45



bermaksud menge-tes (mencoba) ilmu orang lain”, kata Mutahayang juga



aktif ikut bermain Dabo bersama rekan-rekannya dari desa Payadua. Masih menurut Mutaha, pada jaman dahulu zikir dalam lagu Rapa’i Dabo itu digunakan untuk pengebalan diri oleh orang yang akan berperang. Leluhur orang Aceh dahulu banyak yang mengamalkan ilmu tarikat, tujuan hidup mereka adalah ridho Allah. Dengan demikian tidak sedikitpun ada rasa takut kepada Belanda, sebab mati syahid adalah cita-cita. Demikianlah, seperti dendang pengantar tidur Do da Idi, maka Rapa’i Dabo adalah juga bentuk kesenian yang berisi pewarisan semangat perang sahid. Kalau Do da Idi mengalun dari mulut seorang ibu dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, sedangkan Rapa’I Dabo adalah aksi kaum laki-laki yang hadir dalam pertunjukan kekerasan di luar batas nalar. Kedua bentuk seni yang bertolak belakang itu menyatu dalam alam pikiran rakyat Aceh, ikut membetuk semangat dan solidaritas mereka sebagai “bangsa” merdeka. 2.10. Religi 2.10.1. Syariat Islam Seperti wilayah Aceh pada umumnya, hampir semua penduduk desa-desa di wilayah kecamatan Peudawa beragama islam. Di setip desa terdapat sebuah meunasah, yakni tempat sholat dan mengaji yang merupakan salah satu institusi vital. dalam struktur pemeintahan di gampong. Menasah diasuh oleh imeum laki-laki dan imeum perempuan. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan berkesempatan untuk belajar agama di meunasah. Biasanya selepas Ashar anak-anak akan mendatangi meunasah, belajar mengaji sampai menjelang magrib. Sedangkan para remaja dan orang dewasa akan belajar di munasah setelah sholat isya hingga sekitar pukul 10.00 wib. Sedangkan setiap malam jumat diadakan pengajian berupa ceramah agama yang dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu.



46



Gambar 2.7. Remaja belajar mengaji



Sholat jumat, selain sebagai kewajiban agama, adalah juga kewajiban komunitas. Ada peraturan (qanun) gampung yang mewajibkan setiap kaum laki-laki untuk sholat jumat di masjid. Qanun juga melarang setiap orang untuk berangkat kerja ke sawah atau laut, serta berdagang pada hari jumat, khususnya pagi hingga usai sholat jumat. Warung-warung juga harus tutup pada jam saholat jumat dan sholat magrib. Para imeum dan tengku memiliki status sosial yang terhormat di dalam komunitas. Selain memimpin sholat dan mengajar agama, mereka juga menjadi orang penting ketika terjadi peristiwa kelahiran, pernikahan dan kematian. Tengku sering diminta untuk memberikan nama dan mengazankan anak yang baru lahir, menjadi penghulu, wali atau saksi dalam acara pernikahan dan memimpin sholat jenazah. Mereka memimpin doa dalam setiap acara kenduri yang dilakukan di desa. Beberapa tengku juga berperan sebagai tabib yang sering dipanggil untuk mengobati orang yang terkena meurampeut atau kesurupan. Metode pengobatan yang dilakukan adalah dengan memberikan air putih yang sudah dibacakan doa-doa. Sebagai bentuk penghargaan kepada para tengku ini, masyarakat dengan suka rela



47



akan memberikan uang atau hasil bumi sekedarnya. Seorang informan mengatakan bahwa para tengku itu walaupun misalnya tidak memiliki sawah ladang tetapi dia memiliki beras yang cukup banyak yang berasal dari sumbangan warga. Biasanya hasil bumi atau hasil laut yang akan diberikan itu, oleh warga langsung diletakan atau digantungkan begitu saja pada sepeda motor milik sang tengku yang sedang diparkir. Orang-orang di pedesaan di Peudawa melaksanakan agama sama seperti melaksanakan aktifitas sehari-hari yang lain. Masjid akan tampak penuh jika sholat jumat, dan lumayan banyak pada saat sholat magrib. Di luar jam-jam tersebut umumnya warga melakukan sholat di rumah atau di tempat aktifitas masing-masing. Tidak ada pakaian khusus untuk sholat, selain harus bersih dan biasanya mereka menggenakan sarung dan kopiah. Pakaian sehari-hari kaum perempuan tampak biasa saja, ketika berada di rumah mereka mengenakan baju lengan panjang atau pendek yang dipadukan dengan sarung, rok panjang hingga betis, atau celana panjang. Kerudung lebih sering dikenakan apabila berada di ruang publik atau ketika ada acara-acara yang melibatkan orang banyak. Interaksi antara laki-laki dengan perempuan meski tetap mengacu pada norma-norma syariah, akan tetapi tetap menyisakan ruang negosiasi. Orang memang tidak bisa pergi berdua dengan lawan jenis yang bukan muhrim, akan tetapi misalnya ada orang luar yang datang ke desa untuk suatu keperluan yang mendesak maka hal itu bisa saja dilakukan dengan tetap dapat menjaga norma-norma kepantasan. Syariat islam secara formal memang diberlakukan di seluruh provinsi Aceh. Akan tetapi kalau kita berkunjung ke desa-desa di Peudawa maka pelaksanaan syariat akan lebih kultural sifatnya. Ini Berbeda dengan pelaksanaan syariat di perkotaan (seperti di Banda Aceh) yang terasa sangat formal dan “struktural”. Hal itu juga tercermin dari pendapat tengku Abdullah berikut:



48



“Kalau di gampong ini orang sudah saling mengenal tabiat masingmasing, dalam menjalankan syariat juga sudah bukan barang baru, sudah berabad-abad. Sekarang ini memang ada undang-undang atau qanun syariat dari pemerintah, tetapi agama yang bagus itu bukan karena dipaksa-paksa, bukan juga karena razia. Agama selayaknya mulai dari hati masing-masing orang, dan dibina dalam adat sehari-hari, itulah gunanya orang belajar agama di meunasah.”



Seiring dengan pelaksaaan syariat yang cenderung bersifat kultural itu, komunitas pedesaan di Peudawa sebagian masih menyisakan kepercayaan-kepercayaan pra-islam. 2.10.2. Animisme dan Dinamisme SebelumAgama Islam masuk, di wilayah Aceh telah berkembang kepercayaan animisme dan dinamisme.Kepercayaan ini didasarkan pada keyakinan tentang adanya unsur nyawa atau roh di dalam tubuh manusia. Roh dipahami sebagai unsur gaib yang kekal sifatnya dan pemberi hidup pada badan. Pada peristiwa kematian maka roh tidak ikut mati, melainkan hanya lepas dari badan untuk berpindah ke tempat lain, misalnya pohon, batu besar atau benda lain, atau bisa juga melayang di alam gaib di sekitar manusia. Sebagaimana dengan badan atau jasmani, roh memiliki kekuatan yang dinamis. Roh dapat kuat (sehat) atau lemah (sakit), dan dipengaruhi atau mempengaruhi mahluk gaib yang lain, tentu saja dengan cara gaib pula. Konsep tradisional mengenal dinamika unsur rohani itu disebut seumangat atau roh seumangat. Menurut Tengku Abdullah, orang dapat kehilangan semangat jika mendapatkankabar yang mengejutkan. Kadang-kadang orang itu menjadi tidak sadar, tidak tahu apa yang harus dia kerjakan. Lebih parah lagi seseorang dapat kehilangan gairah hidup karena persoaln yang berat. Keadaan itu disebut hana (tidak ada) seumangat, yakni orang yang kehilangan hampir seluruhseumangatnya. Seumangat itu harus dipanggil kembali denga kru seumangat, karena kalau ketujuh



49



bagian seumangat itu pergimakaorang akan mati, sebab nyawa tidak mempunyai jalan untuk berhubungan dengan dunia luar. Hubungan antara roh dan badan bersifat timbal balik. Akan tetapi roh dianggap lebih penting karena sifatnya yang gaib dan abadi. Kuat-lemahnya jasmani akan tergantung pada kuat-lemahnya roh. Oleh karena itu orang cenderung berusaha untuk membuat dirinya kuat secara gaib, yakni dengan meminjam kekuatan yang dimiliki oleh mahluk gaib lain, bisa dari iblis, dari roh benda atau pun dari roh nenek moyang atau leluhur. Masuknya agama Islam kemudian melengkapi sumber kekuatan gaib ini dengan memperkenalkan sumber energi yang maha besar, yakni: Allah. Kekuatan gaib itu disebut eleumee, dan cara untuk memperoleh eleumee disebut amalan eleumee. Dari segi sember kekuatan gaib, dibedakan dua macam eleumee; pertama eleumee yang berasal dari hubungan dengan mahluk gaib di dunia. Eleumee jenis ini dapat dipergunakan untuk tujuan baik (seperti - membela diri dan menolong orang), tetapi juga dapat dipergunakan untuk tujuan jahat, tergantung kepada jenis eleumee, dan pribadi pemiliknya, bagaimana dia akan menjalani hidupnya di dunia. Karena itu eleumee ini disebut juga dengan nama eleumee donya. Jenis yang kedua ialah kekuatan yang berasal dari Allah. Eleumee jenis ini hanya dapat dipergunakan untuk tujuan baik. Pemiliknya orang yang saleh, yakni orang yang lebih mementingkan kehidupan akhirat, sehingga disebut eleumee akherat. Pada perkembangan lebih lanjut uleumee donya sering disebut dengan eleumee saja, sedang eleumee akhirat juga disebut juga kramat. Kepercayaan masyarakat terhadap mahluk halus sebagai penyebab penyakit masih cukup kuat , walaupun sudah berbeda dengan kepercayaan pada dua abad yang lalu. Menurut tengku Abdullah, zaman dahulu orang meyakini sifat jahat dari mahluk halus sudah menjadi alasan yang cukup bagi mahluk halus itu untuk



50



mencelakakan orang. Tetapi sekarang orang lebih cenderung menganggap mahluk halus itu baru berbahaya kalau ada orang yang mempergunakannya. Kalaupun ada hantu/mahluk halus yang mengganggu manusia atas kehendak hantu itu sendiri, seperti pada peristiwa meurampot atau kemasukan setan, biasanya tidak berbahaya, pengeruhnya hanya sementara, dan bisa disembuhkan, seperti disampaikan oleh pak Teuha Peut: “Hantu itu memang jahat, tetapi mereka sebenarnya takut kepada manusia, kalau tidak disuruh oleh orang jahat mereka tidak berani mengganggu manusia. Jadi pertama-tama hantu itu membisiki hati orang supaya menjadi jahat. Kalau orang sudah terhasut bisikan setan maka dia menjadi jahat juga. Orang jahat itulah yang kemjudian balik menyuruh hantu menggangu manusia”.



Penyakit karena hantu dibedakan menjadi dua; pertama meurampot, yakni penyakit kemasukan roh halus. Kalau yang masuk ke dalam tubuh hantu gentayangan disebut juga tamong burong. Roh halus itu mengganggu manusia tanpa ada yang menyuruh dan biasanya dapat lebih mudah diusir. Adapun jenis kedua, yakni gangguan mahluk halus yang sengaja disuruh orangadalah penyakit yang sukar disembuhkan. Penyakit ini disebut peunyaket donya, karena terkena oleh eleumee donya. Disebut juga peunyaket tekenong maksudnya sakit karena terkena serangan hantu dari seseorang. Sebenarnya tidak ada gejala yng menjadi penanda yang jelastentang orang yang kena penyakit dunia. Sering kali penyakit kronis, sukar disembuhkan, penyakit jiwa, dan penyakit yang dirasa aneh, dianggap sebagai penyakit dunia. Selain itu hantu itu juga dianggap bisa menumpang pada penyakit yang sebabnya jelas. Misalnya, luka kena kecelakaan yang tidak sembuh-sembuh lalu dikatakan penyakit karena ditunggangi hantu.



51



2.11. Pengetahuan Tentang Kesehatan 2.11.1. Sumber Pengetahuan Kesehatan Sebagaimana halnya dengan pengetahuan yang dimiliki masyarakat pada umumnya, sumber pengetahuan kesehatan di Aceh dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari hasil kreatifitaskomunitas itu sendiri secara turuntemurun, dan pengetahuan yang diperoleh dari luar, yakni hasil akulturasi kebudayaan sebagai akibat saling pengaruh dengan kebudayaan lain. Sumber tradisional pada dasarnya memang cukup kaya, walaupun dalam beberapa hal pengaruh dari luar tidak dapat dielakkan. Sampai saat ini pun pengetahuan tradisional masih jelas jejaknya dalam kehidupan sehari-hari di desa. Sumber tradisional secara umum dihubungkan dengan bentuk-bentuk supernatural. Dasarnya kepercayaan animisme dan dinamisme yang membentuk konsep masyarakat tentang mahluk halus sebagai pemilik kekuatan gaib. Di mana-mana terdapat banyak sekali mahluk halus yang mengancam kehidupan manusia. Karena itu mereka harus dijaga, dihindari, atau bahkan dipelihara sebagimana layaknya kawan. Konsep di atas dalam perkembangan lebih lanjut berpadu dengan ajaran Agama Islam. Di dalam kitab suci Al-Quran banyak sekali diterangkan eksistensi dari mahluk halus ini. Bahwasanya Tuhan menciptakan pula jin, setan, dan malaikat, di samping menciptakan manusia. Allah menurunkan Setan ke bumi memang untuk mengganggu dan menjadi musuh manusia sepanjang jaman. Di bidang obat-obatan, secara tradisional masyarakat mengenal bermacam-macam benda, tumbuhan, atau hewan yang berkhasiat. Banyak ibu di desa yang dapat menyebutkan nama-nama tanaman obat beserta khasiatnya. Banyak juga dari mereka yang memiliki tanaman itu di halaman rumah mereka. Akhirnya, Pengetahuan Barat cukup banyak pengaruhnya pada konsep kesehatan masyarakat. Masyarakat sedikit-demi sedikit



52



menambah jenis penyakit baru lewat interaksi mereka dengan petugas kesehatan, bidan dan dokter. Pengetahuan modern dianggap juga mampu memberi penjelasan baru mengenai sebab dan gejala penyakit yang selama ini didominasi mahluk ghaib. 2.11.2. Sehat Sebagai Karunia Tuhan Masyarakat pedesaan Peudawa, seperti umumnya orang Aceh mempunyai ikatan yang kuat dengan ajaran Islam. Wajarlah kalau mereka menghubungkan kesehatan dengan takdir Allah. Seperti yang dikatakan oleh pak Tuha Peut: “kita lahir karena kodrat dan iradat Allah. Apakah orang itu akan lahir sempurna atau cacat sepanjang hidupnya itu rahasia Ilahi yang jawabannya nanti sesudah semua terjadi. Semua yang kita alami: sehat, sakit, dan mati, itu sudah menjadi ketentuan Allah.”



Orang yang mengeluh dan putus asa karena dirinya dikadar (ditakdirkan) sakit oleh Tuhan ialah orang yang tidak yakin pada sifat rahman dan rahim dari Allah. Dia tidak memahami bahwa sakitnya membawa rahmat baginya. Sakit itu pada dasarnya telah menjauhkannya dari kemungkinan perbuatan dosa yang bisa dilakukan kalau dia sehat. Orang harus mengambil hikmah dari sakitnya itu, artinya orang harus menggunakan akalnya, sehingga dia sembuh, sehat, dan berbahagia. 2.11.3 Makna Kesehatan Jasmani “Kalau rasa badan kita tidak sakit, itulah sehat namanya”, begitu kata bu Martini (42) saat ditanya tentang arti sehat. Di sini ada kecenderungan untuk lebih menekankan pada "perasaan" dan bukan pada ada atau tidaknya penyakit itu. Ini sesuai dengan pandangan masyarakat tentang kekuatan roh yang lebih dipentingkan daripada kekuatan fisik. Selama seseorang tidak merasa terganggu oleh sesuatu perasaan sakit, dia tidak menganggap dirinya sakit. Sehat jasmaniah



53



secara umum diartikan sebagai tidak adanya rasa sakit dari seluruh tubuh. Kesehatan jasmani juga mengandung arti kelengkapan dan kesempurnaan anggota tubuh. Ada anggapan bahwa kecacatan anggota tubuh, baik bawaan maupun karena kecelakaan adalah suatu bentuk penyakit jasmaniah. Oleh karena itu lumpuh, bisu atau buta tidak dianggap cacat permanen, melainkan semua itu dianggap penyakit yang bisa dan harus diusahakan pengobatannya. Pandangan terhadap cacat fisik ini mungkin dilatarbelakangi oleh suasana pedesaan yang sangat memerlukan tenaga tangan dan kaki untuk mencari nafkah. Namun pengaruh pengetahuan modern sedikit banyak telah mengubah pandangan ini. Rumah sakit dan dokter dapat memberikan keyakinan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukan dengan kekurangan anggota badan tertentu. Penderita sendiri, terutama penderita cacat sesudah ia dewasa secara sadar berusaha menerima keadaannya dan tidak lagi menganggap cacatnya sebagai penyakit. Sehat selain tidak merasa sakit dan tidak cacat juga menuntut adanya tubuh yang segar-bugar. Jika kita bertanya tentang siapa yang menurut mereka paling sehat, makakita akan ditunjukkan pada orang yang kuat tenaganya dalam mengangkut beban, mampu kerja berat, dan tidak pernah mengeluhkan kesehatannya. Mengukur sehat dari tenaga dan daya tahan ini nampak jelas dari pengamatan kami selama berada di lapangan. Ada seorang nelayan yang sudah tua, usianya sekitar 60 tahun, tapi masih pergi melaut dalam cuaca buruk. Nelayan itu tubuhnya tinggi-kurus, dan matanya dalam. Tetapi orang yang bersamanya dalam rombongan sangat membanggakan kehebatan tenaga dan keberanian nelayan itu dan mempercayainya sebagai pemilik ilmu gaib. Nelayan itu, kononmenurut orang-orang, mampu berenang selama berjam-jam tanpa menunjukkan kelelahan secara fisik.



54



Erat hubungannya dengan unsur tenaga ini ialah makanan atau gizi sebagai sumber tenaga jasmani. Di desa sebelum bekerja para petani atau nelayan akan makan banyak terlebih dahulu. Sebaliknya pada masa istirahat panjang (karena pekerjaan sawah sudah selesai atau sedang musim barat bagi nelayan) mereka cenderung mengurangi makan, frekuensinya maupun kwantitasnya. Sejak masa kanak-kanak kebiasaan makan lebih menekankan pada segi banyaksedikitnya nasi yang dimakan, bukan pada nilai keseluruhan dari makanan. Ada kalanya bumbu penyedap MSG dan makanan instan seperti mi dan ikan sarden digunakan sebagai pembangkit selera makan. Ada jenis-jenis penyakit yang dianggap sebagai penyakit keturunan, misalnya TB dan pungo (gangguan jiwa). Baik ayah maupun ibu, salah satu atau keduanya dapatmenurunkan penyakit tersebut pada anaknya. Sebagian orang berpendapat penyakit itu menurun karena ditularkan sejak dari kandungan, tetapi ada juga yang mengatakan penyakit itu merupakan akibat dari dosa orang tua, misalnya karena perbuatan mesum yang dilakukan ayah atau ibu pada waktu hamil. Kelengahan dalam menjaga diri dari serangan burong(hantu) juga dapat mengakibatkan hal yang buruk terjadi pada bayi. Terkait dengan cara berobat, masyarakat di Peudawa mengelompokkan penyakit dalam tiga: sakit biasa, sakit rumah sakit, dan sakit bukan sakit rumah sakit. Sakit biasa adalah penyakit yang dianggap bisa sembuh dengan sendirinya. Orang hanya perlu beristirahat sejenak, kalaupun perlu obat maka cukup dengan obatan-obatan herbal yan ada disekitar rumah. Yang termasuk Jenis penyakit biasa, misalnya masuk angin, pening, meriang, pegal-pegal, letih, batuk dan flu. Sebagian orang malah menganggap sakit biasa ini bukanlah penyakit. Apabila sakit biasa itu tidak sembuh dalam beberapa hari maka akan masuk dalam katagori sakit rumah sakit, artinya penyakit



55



yang harus dibawa ke layanan kesehatan. Umumnya masyarakat setempat menyebut Puskesmas juga sebagai “rumah sakit”. Penyakit akibat kecelakaan juga termasuk kategori ini. Sementara itu, penyakit yang diduga adalah berasal dari mahluk gaib, seperti meurapeut, disebut sebagai sakit bukan sakit rumah sakit. Pengobatannya harus ke dukun atau tengku. Sering kali pada awalnya penyakit itu dianggap sebagai sakit rumah sakit, tetapi karena tidak kunjung sembuh maka dianggap sebagai bukan sakit rumah sakit, begitu pula sebaliknya. Usaha untuk mendapatkan kesembuhan juga dilandasi keyakinan bahwa penyakit itu dari Allah. Oleh karena itu tugas manusia adalah berihtiar. Ihtiar itu bisa mulai dari meramu obat herbal, ke layanan kesehatan, atau ke orang pintar. Akan tetapi kesembuhan bukanlah berasal dari obat-obatan itu, melainkan anugerah Allah. Berobat adalah bagian dari pelaksanaan syariat, sedangkan kesembuhan ada di level hakikat. Syariat dan Hakikat bukanlah hal yang dipertentangkan., melainkan selaras pada level masing-masing. Secara praktik, ada empat hal yang dituntunkan dalam menghadapi penyakit sesuai ajaran Islam, yaitu: berdoa, berusaha, sabar, dan tawakal. Berdoa, memohon kepada Tuhan agar dirinya selalu mendapat kesehatan. Sesuai dengan Firman Allah: "Aku perkenankan doa orang yang mendoa kepada-Ku" (Al Quran 2; 186). Allah juga mewajibkan manusia untuk berusaha, dalam firman yang artinya: "Dan bahwa setiap orang akan menerima balasan menurut usahanya, dan orang itu akan mendapat keadilan" (Al Quran 45: 22). Oleh karena itu orang harus berusaha dengan akal dan perbuatannya, belajar dari pengalamannya sehingga selalu terhindar dari sakit dan berusaha menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Doa dan usaha haruslah dilakukan dengan penuh kesabaran karena "sesungguhnya Tuhan beserta orang yang sabar" (Al Quran2; 153).



56



Sesudah ketiga hal di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh maka orang kembali kepada tawakkal; berserahdiri kepada Allah yang bersifat rahman dan rahim. Bahwa takdirlah yang akan terjadi, sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan manusia. “Tapi sekarang banyak orang yang salah mengartikan pokok-pokok itu. Orang berusaha berobat ke manamana, mencoba kemampuan tengku dan dokter. Mereka sabar denganpenyakit, tetapi tidak sabar menunggu proses pengobatan yang kadang-kadang lama”, kata pak Tuha Peut, yang sering juga dimintai tolong oleh warga untuk mengobati berbagai penyakit dan kesurupan. 2.11.4 Kebersihan “Kalau soal kebersihan, pegangan kita hadis nabi: kebersihan itu sebgian dari iman”, kata pak Tuha Peut. Sikap terhadap kebersihan jelas dipandang debagai bagian dari pengamalan ajaran Islam. Di dalam ilmu fikih terdapat bagian yang menerangkan cara memelihara kebersihan dan kesucian. Suci dan bersih yaitu dasar dan sendi segala peraturan Agama Islam dan dibagi atas: kebersihan rumah dan pekarangan, kebersihan pakaian, dan badan, kebersihan makanan dan minuman, kesucian berpikir, kesucian jiwa, kesucian kelakuan, dan kesucian perasaan. Inilah sari pengertian thaharah, yang berarti menjauhi segala yang kotor dan cemar dan mendekati kebersihan dan kesucian dari semua aspek. “Tapi banyak orang yang belum mengamalkan hadis nabi itu, misalnya rumah-rumah bayak yang kotor”, kata pak Tuha Peut. 2.12. PENUTUP ACEH itu adalah singkatan: Arab, Cina, Eropa, Hindu. Demikian dikatakan pak Geuchik gampong Payadua, ketika kami ngobrolngobrol santai tentang asal usul orang Aceh. Menurutnya orang Aceh



57



adalah keturunan empat “ras” tersebut, yang sudah bercampur-baur dan membentuk suku Aceh sekarang. Terlepas dari benar-tidaknya pernyataan di atas, tetapi yang menarik adalah di situ secara tegas tercetus kesadaran akan keberagaman. Kalau kita menilik sejarah, masyarakat Aceh sejak berabad-abad memang sudah terhubung dengan berbagai suku atau bangsa-bangsa lain. Hubungan itu dapat berupa hubungan damai, seperti perdagangan dan keagamaan, maupun hubungan yang sifatnya konflik dan perang. Jika kita berjalan-jalan di desa-desa di Peudawa, maka kita dapat merasakan sifat keberagaman orang Aceh itu yang terekspresikan dalam keterbukaan mereka terhadap orang baru. Kita cukup mampir di salah satu warung kopi, lalu memperkenalkan diri, maka mereka langsung akan mengajak kita ngobrol panjang lebar. Misalnya kita mengatakan berasal dari Jogja, maka mereka akan banyak bertanya tentang Sultan HB IX, tentang Maloboro dan tentang Universitas Gadjah Mada. Kemudian mereka mungkin akan mengatakan bahwa ada kenalan atau saudara mereka yang kuliah di univeritas beken tersebut. Begitulah seterusnya, perbincangan hampir tidak pernah putus. Mereka juga akan sangat terbuka ketika kita bertanya tentang lingkungan dan budaya mereka. Menelusuri budaya masyarakat Aceh di Peudawa mengantar kita pada kesan bahwa mereka adalah masyarakat terbuka yang terus berjalan ke depan, namun berpegang kuat pada simpul-simpul sejarah. Simpul-simpul sejarah masa lalu itu antara lain: perang Aceh, konflik dengan NKRI, dan bencana tsunami. Dalam kehidupan seharihari, banyak hal yang sengaja atau tidak telah secara terus-menerus menguatkan ikatan tersebut. Hal itu bisa kita rasakan dari dengang Do da idi yang dialunkan ibu-ibu sebagai pengantar tidur anaknya, sang generasi penerus.



58



BAB 3 MENENUN BENANG-BENANG PERMASALAHAN KESEHATAN DI BAGIAN TIMUR TANAH RENCONG 3.1. Pengantar IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) memberikan informasi bahwa kesenjangan terjadi bukan saja antara Wilayah Indonesia Bagian Barat dengan Wilayah Indonesia Bagian Timur, antara daerah di Jawa dengan daerah di Luar Jawa, antara daerah non miskin dengan daerah miskin, daerah yang memiliki tenaga kesehatan yang cukup dengan daerah yang memiliki tenaga kesehatan terbatas. Kesenjangan juga terjadi di daerah sesama Jawa, sesama Wilayah Indonesia Bagian Timur atau Barat, sesama daerag non miskin, sesama daerah miskin, sesama daerah yang memiliki tenaga kesehatan relatif baik, bahkan dengan kabupaten/kota yang berdekatan29. Secara umum Kabupaten Aceh Timur merupakan wilayah yang masuk dalam kategori Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Hal tersebut termaktub dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Tahun 2013 yaitu Kabupaten Aceh Timur menempati ranking 463 dari 497 kabupaten yang terdapat di seluruh kota maupun kabupaten yang ada di Indonesia. Sedangkan dalam provinsi menempati ranking 23 dari 23 kabupaten yang terdapat di Provinsi Banda Aceh30. Satu kabupaten lainnya yang berada di wilayah Provinsi Banda Aceh yaitu Kabupaten Aceh Utara pun termasuk ke dalam Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) dengan ranking 424 dari 497 kabupaten yang terdapat di seluruh kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. 29



Permenkes Nomor 027 Tahun 2012. Tentang Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan. 30 Kemenkes RI. “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta. Badan Litbang Kesehatan. 2014.



59



Kemudian Kabupaten Aceh Utara menempati ranking 20 dari 23 kabupaten yang terdapat di wilayah Provinsi Banda Aceh. Sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Timur, Kecamatan Peudawa yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat Etnik Aceh Timur tentu saja turut andil dalam keterpurukannya di bidang kesehatan tersebut. Hal inilah yang didiskusikan peneliti dalam pokok bahasan ini sebagai bagian dalam praktek keseharian masyarakat Etnik Aceh Timur31. Selanjutnya pembahasan akan diarahkan pada diskusi tentang beberapa bahasan. Beberapa bahasan tersebut terdiri dari Konsep Sehat-Sakit, Kepercayaan pada Sesuatu yang Mempunyai Daya Penyembuh, Kejadian Kesakitan, Pelayanan Kesehatan Medis Moderen, Pelayanan Kesehatan Gigi, Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat, Pelayanan Pengobatan Tradisional, Perilaku Pencarian Pengobatan, Potret Kesehatan Ibu danAnak, Potret Hidup Bersih dan Sehat, Potret Penyakit Menular, Potret Penyakit Tidak Menular. 3.2 Kepercayaan pada Sesuatu yang Mempunyai Daya Penyembuh Masyarakat Etnik Aceh secara tradisional mengenal tanaman yang diyakini memiliki khasiat bagi penyembuhan suatu penyakit tertentu. Peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa diantaranya menurut paparan pak geucik dan tuhapeut, sebagai berikut: 1) Buah kelapa hijau yang masih berukuran kecil “Buah kelapa hijau yang berukuran kecil dipercaya dapat mengobati penyakit gula atau Diabetes Melitus. Cara membuatnya sebagai berikut; buah kelapa hijau yang berukuran kecil diiris-iris lalu diblender dengan memberi



31



Ibid.



60



sedikit air. Setelah selesai diblender, airnya ditiriskan dan lalu diminum.”



2) Rumbia atau Salak Aceh “Rumbia atau salak Aceh dipercaya dapat menyembuhkan penyakit diare. Rumbia dikupas, dan lalu dimakan buahnya. Buah rumbia terasa sepat-sepat. Menurut informasi dari asisten peneliti, Rumbia merupakan buah dari pohon sagu, yang panen setiap 5 tahun sekali”.



3) Buah Lipah, daun lipah, dan kulit batang pohon lipah “Buah lipah, daun lipah, dan kulit batang pohon lipah dipercaya sebagai obat penyakit gula juga, atau Diabetes Melitus. Cara penyajiannya yakni buah lipah, daun lipah, dan kulit batang lipah yang dikelupas dari batangnya direbus semua secara bersamaan. Setelah direbus, air sisa rebusan kira-kira setengah cangkir teh diminum 2 kali sehari selama 15 hari berturutturut”.



4) Daun Buah Belimbing “Daun buah belimbing dipercaya dapat digunakan sebagai obat darah tinggi atau Hipertensi. Cara penyajiannya yakni daun buah belimbing ditumbuk dengan air lalu diperas untuk diambil air sisa perasannya kemudian diminum.”



5) Timun Tikus “Timun tikus sama halnya dengan timun yang biasa dikonsumsi orang setiap hari, namun timun tikus ini mempunyai perbedaan pada ukurannya yakni kecil-kecil. Cara penyajiannya cukup dimakan saja timun tikus tersebut untuk mengatasi hipertensi”.



61



6) Daun Sop atau Daun Seledri “Daun seledri dipercaya dapat mengatasi Hipertensi juga”.



3.3 Kejadian Kesakitan Terdapat 10 penyakit terbanyak kasusnya di wilayah kerja Puskesmas Peudawa selama empat bulan terakhir. Dimulai dari bulan Januari hingga April tahun 2015. Pada bulan Januari, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menempati peringkat pertama yakni sebanyak 221 kasus. Pada bulan Februari, Rheumatoid Artritis menempati peringkat pertama yakni sebanyak 144 kasus. Pada bulan Maret, Rheumatoid Artritis kembali menduduki peringkat pertama dengan 111 kasus. Pada bulan April, Rheumatoid Artritis kembali menduduki peringkat pertama dengan 100 kasus32. ISPA selalu menduduki peringkat pertama ataupun kedua ditinjau dari banyaknya kasus yang ditemukan. Menurut petugas kesehatan yang bertugas di poli umum Puskesmas Peudawa kejadian ISPA ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, bila memasuki musim hujan kejadian ISPA akan meningkat, “Apabila memasuki bulan Desember atau musim hujan, maka banyak yang terkena ISPA, anak-anak maupun dewasa”.



Sedangkan menurut paparan dokter internship yang bertugas di Puskesmas Peudawa menyatakan bahwa ISPA yang terjadi diakibatkan oleh karena faktor cuaca, apabila cuaca sedang panas atau kemarau, “ISPA tu dia kalau musim panas banyak terjadi, karena banyak debu..”.



Rheumatoid Artritis (RA) pun selalu menduduki peringkat pertama atau kedua tiap bulannya. Penyakit peradangan pada sendi ini diberikan obat anti inflamasi oleh dokter internshipPuskesmas Peudawa ini. Tidak diberikan intervensi pengambilan cairan pada daerah yang bengkak maupun tidak ada penyuntikan obat pelumas 32



Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa Tahun 2015.



62



sendi karena biayanya yang relatif mahal, seperti yang dikatakan dokter Ririn Juli Anggraini, 26 tahun, “.. kami beri obat anti inflamasi saja kak.. gak kami kasih obat suntik, tidak ada di Puskesmas,mahal kali harganya kalau disuntik..”.



Gambaran tentang sepuluh penyakit terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Peudawadipaparkan pada tabel dibawah. Tabel 3.1. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Januari, 2015 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Rheumatoid Artritis (RA) Dispepsia Hipertensi Febris Dermatitis Alergi Gastritis Cefalgia Common Cold Hipotensi



Jumlah Kasus 221 100 55 42 41 37 34 33 21 19



Sumber: Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa Tabel 3.2. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Februari, 2015 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Penyakit Rheumatoid Artritis (RA) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Dispepsia Gastritis Febris Hipertensi Dermatitis Alergi Hipotensi Common Cold Cefalgia



Jumlah Kasus 144 119 47 44 43 40 34 26 24 23



Sumber: Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa



63



Tabel 3.3. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan Maret, 2015 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Penyakit



Jumlah Kasus



Rheumatoid Artritis (RA) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Gastritis Hipertensi Dispepsia Cefalgia Dermatitis Alergi Febris Hipotensi Gastro Enteritis



111 101 50 34 29 28 27 24 19 10



Sumber: Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa Tabel 3.4. Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Bulan April, 2015 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Penyakit



Jumlah Kasus



Rheumatoid Artritis (RA) Dispepsia Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Dermatitis Alergi Hipertensi Febris Common Cold Cefalgia Gastro Enteritis Diabetes Melitus



100 86 79 54 38 36 33 18 17 16



Sumber: Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa



Dari tabel kesatu sampai tabel keempat terdapat variasi baru yakni adanya kasus Diabetes Melitus yang masuk dalam kategori 10 kejadian terbanyak berjumlah 16 orang, yang jika ditinjau dari laporan bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Maret 2015. Puskesmas Peudawa telah memiliki peralatan pendeteksi gula dalam darah. Menurut dokter Ririn, kejadian Diabetes Melitus dikarenakan pola minum kopi manis dengan takaran minimal 4 kali dalam waktu sehari.



64



“bapak-bapak tu suka pergi ke warung kopi mulai dari pagi setelah bangun tidur sudah mengkonsumsi kopi... ada 4x sehari atau lebih minum kopi, teh manis juga”.



Kasus lain yang menarik adalah kejadian Hipertensi, menurut hasil pengamatan berulang kali pada pola memasak ibu-ibu menaburkan garam berulang kali ke masakan hingga terasa asin. Menurut pengakuan petugas-petugas kesehatan yang memasak di rumah dinas Puskesmas, orang Aceh memang suka makan yang asinasin. “tu makanya jadi hipertensi, orang aceh suka makanan yang asin-asin, banyak ikan, apalagi ikan asin... suka sekali kami..apalagi kalau dimakan pakai sambal terasi”.



Kasus lain yang banyak terjadi setiap bulannya adalah Dispepsia. Dispepsia yang merupakan kondisi dimana perut bagian atas atau ulu hati terasa sakit atau tidak nyaman hingga ke bagian perut sebelah kiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian Dispepsia, antara lain konsumsi kopi, stress, makan-makanan pedas, atau pengaruh penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama. Menurut pemaparan dokter Ririn keluhan dispepsia ada hubungannya dengan konsumsi kopi serta makanan pedas, “itu.. orang Aceh kan suka sekali kopi ya kak, bisa beberapa kali dalam sehari minum kopi.. makan pedas-pedas juga..”.



Menurut paparan penanggungjawab poli umum yang tercatat mulai awal bulan April 2015 hingga 6 Mei 2015 jumlah kunjungan di poli umum sejumlah 748 pasien rawat jalan maupun pasien dengan keluhan lain. Total pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tercatat 309 pasien dan pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) sebanyak 240 orang.



65



3.4. Pelayanan Kesehatan Medis Moderen Berawal dari tahun 2007, dimana Kecamatan Peudawa tidak lagi menjadi satu bagian dengan Kecamatan Idi Rauyeuk, dibangunlah sebuah balai pengobatan (BP) dan balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) serta unit Rumah Dinas Bertempat di Kecamatan Peudawa. Beriring pesatnya perkembangan penduduk dan pembangunan yang mayoritasnya petani dan pada tahun itu pula Puskesmas Peudawa diresmikan33. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan tujuan nasional, karena kesehatan menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Berbagai upaya di bidang kesehatan terus dilakukan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dan tercapainya program Pemerintah MDGs 2015 (Millennium Development Goals)34. Dalam perkembangannya upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan telah mengalami pergeseran orientasi sejalan dengan perkembangan pemikiran, teknologi, sosial, ekonomi dan budaya. Upaya kesehatan yang semula lebih terfokus pada penyembuhan dan pemulihan penderita (kuaratif-rehabilitatif), secara berangsur-angsur telah bergeser dan berkembang kearah keterpaduan supaya kesehatan seluruh penduduk dengan peranan aktif masyarakat menuju upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif35. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) merupakan pusat pengembangan, pembinaan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang sekaligus merupakan pos terdepan dalam pembangunan 33



Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015



34



Ibid Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015



35



66



kesehatan masyarakat, yang berfungsi melaksanakan tugas teknis dan administratif pelayanan kesehatan.Di Indonesia Puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan tingkat pertama, yang berperan penting dalam melaksanakan upaya-upaya promotif dan preventif36. Berawal dari tahun 2007, dimana Kecamatan Peudawa tidak lagi menjadi satu kesatuan dengan Kecamatan Idi Rauyeuk, dibangunlah sebuah BP dan BKIA serta unit Rumah Dinas Bertempat di Kecamatan Peudawa.Beriring pesatnya perkembangan penduduk dan pembangunan yang mayoritasnya petani dan pada tahun itu pula Puskesmas Peudawa diresmikan37. Seiring perjalanan Puskesmas Peudawa yang semakin berkembang baik dari sisi petugas Tenaga Dokter, Perawat, Bidan, tenaga Honorer, dan Bakti yang telah mengabdi dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan semaksimal mungkin, walaupun masih ada kekurangan baik sarana dan prasarana tetapi Puskesmas Peudawa tetap eksis memberikan pelayanan kesehatan kapada masyarakat Peudawa dan dalam suasana Konflik bersenjata yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).



Gambar 3.1: Puskesmas Peudawa Sumber: Dokumentasi PKM Peudawa, Mei, 2015 36



Profil Puskesmas Peudawa Tahun 2015



37



Ibid



67



Pasca Tsunami 2004 dan MoU Helsinki 2005 kondisi Aceh saat itu sangat memprihatinkan, bantuan dari negara mulai berdatangan, salah satunya adalah tahun 2007 diberikan bantuan MobilerPuskesmas Peudawa oleh bantuan Americares. Seiring meningkatnya bangunan fisik Puskesmas Peudawa, diikuti juga dengan peningkatan peralatan, sumber daya manusia dan teknologi. Dalam rangka pemenuhan pelayanan kesehatan gawat darurat, kamar bersalin, pelayanan kesehatan gigi, administrasi dan manajemen, dan program-program kesehatan pokok lainnya, tenaga profesional di bidang kesehatan juga perlahan-lahan mulai terpenuhi seperti dokter umum, dokter gigi, tenaga perawat, bidan dan tenaga administrasi.Puskesmas Peudawa bertanggung jawab terhadap 17 Desa yang dipenuhi oleh masing-masing bidan desa. Puskesmas Peudawa merupakan puskesmas baru di kecamatan Peudawa yang merupakan pemekaran dari kecamatan Idi Rayeuk, Puskesmas Peudawa terletak di Desa Seuneubok Peunteut Kecamatan Peudawa.Jarak antara PKM Peudawa dengan ibukota kabupaten Aceh Timur ± 10 km. 3.4.1 Aksesibilitas Aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan modern yakni Puskesmas dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor ataupun mobil ambulance sekitar 7-10 menit. Sehingga jumlah kunjungan perbulan di puskesmas mencapai 748 pasien rawat jalan maupun rujukan. Namun beberapa desa sudah dilengkapi dengan Polindes maupun Pustu yang dilengkapi dengan beberapa peralatan hingga obat-obatan. Sehingga apabila ada masyarakat yang terkena diare ataupun sakit kepala dan demam biasa mereka akan datang ke Polindes atau Pustu untuk minta obat. Namun tidak jarang peneliti mendapatkan informasi dari beberapa dokter maupun petugas puskesmas bahwa terdapat pasien yang datang ke puskesmas untuk meminta rujukan ke rumah sakit



68



umum daerah walaupun diagnosa pasien masih dapat ditangani di puskesmas. Desa yang paling jauh aksesnya dari pelayanan kesehatan modern, yakni daerah Buket Kuta, dusun Lepon, di Buket Kuta sendiri telah memiliki Pustu. Namun medan yang harus dilalui menuju Dusun Lepon cukup sulit dijangkau, sehingga Dusun Lepon hanya mendapatkan Pusling saja. “pasien tu sakit dikit mau minta rujuk, padahal masih bisa diobati di puskesmas, kalau tidak di kasih rujukan mereka marah, kami bingung juga mau tulis diagnosa apa ke rumah sakit, jangan sampai pihak rumah sakit menganggap kami bodoh karena penyakit yang ringan-ringan kok dirujuk ke rumah sakit” (I-1) “di era JKN ini ada peraturan baru yang memuat banyak penyakit yang hanya bisa di tangani di puskesmas. Ya kan mungkin sudah ahli-ahlinya yang buat peraturan baru itu di Jakarta, kami cuma menjalankan sesuai prosedur. Tapi ya itu kalau ga dirujuk, pasien ni dan keluarganya marah-marah ke kami” (I-2)



Selain itu UGD 24 jam jarang sepi, dikala sore atau malam, terdapat beberapa pasien yang dibawa dari desa menuju puskesmas menggunakan mobil ambulance, maupun diantar keluarga. Ada yang cedera, ada yang sesak nafas, hingga hipotensi dan kanker. Apabila dokter UGD tidak dapat menangani maka akan dirujuk ke rumah sakit umum daerah di Kota Idi.Selain adanya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan yang ada, tak jarang masyarakat pun mendatangi pengobatan tradisional yang cukup terkenal di Kecamatan Peudawa ini, mak dukun/mak nukasah.



69



3.4.2 Pandangan Masyarakat tentang Pelayanan Kesehatan baik Sarana maupun Petugas Kesehatan Persepsi masyarakat tentang petugas kesehatan yang sering diberikan penyuluhan oleh petugas puskesmas di desa-desa di Kecamatan Peudawa menganggap bahwa petugas kesehatan sebagai tenaga profesional. Masyarakat mengira bahwa setiap orang yang kerja di puskesmas adalah dokter. Seperti peneliti yang sedang melewati depan rumah seorang warga, ibu tersebut menjegat peneliti dan meminta tolong bahwa anaknya sedang sakit dan minta tolong diperiksakan oleh peneliti. Kemudian setelah itu anak gadis ibu tersebut diberikan obat oleh bidan desa. Kasus lain adalah ketika petugas kesling (kesehatan lingkungan) puskesmas dipanggil dengan “ibu wc” oleh masyarakat karena sering memeriksa ketersediaan jamban di desa. “saya dipanggil bu wc” tutur bu Aminah selaku pemegang program kesling puskesmas. Terdapat pola pikir di masyarakat yang sudah terbiasa diberikan bantuan pasca tsunami bahwa petugas kesehatan yang memberikan “pemicu” untuk pembuatan jamban misalnya petugas kesling mengupayakan agar dapat dibuat jamban cemplung38 sederhana dulu agar dapat terbangun kebiasaan masyarakat sehingga mau membuat jamban leher angsa. “Pemicu” tersebut difahami oleh masyarakat bahwa kelak ketika mereka telah membuat percontohan 1 buah jamban cemplung maka petugas puskesmas ini akan dibuatkan jamban leher angsa. Seperti yang dikatakan oleh bu Aminah, “mereka fikir kami kasih pemicu agar nanti bisa dibuatkan jamban leher angsa juga di rumah mereka”.



Tidak dapat dipungkiri memang “jarak” itu ada sepengamatan peneliti petugas kesehatan belum bisa membaur dengan masyarakat, belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat, karena anggapan petugas bukan bagian dari masyarakat. Beda halnya ketika berbicara 38



Jamban cemplung adalah jamban yang dibuat dengan penggalian di tanah, tanpa bantuan air, yang hanya ditutup begitu saja setelah melakukan buang air besar.



70



tentang dukun bayi atau tengku yang bisa menyembur. Masyarakat percaya akan kemampuan menyembuhkan yang dilakukan oleh 2 tokoh tersebut. 3.5 Pelayanan Kesehatan Gigi Pada Puskesmas Peudawa, terdapat pelayanan kesehatan gigi, dengan 1 orang dokter gigi bernama Rasiman, dan 1 orang perawat gigi bernama Yuli. Menurut paparan drg. Rasiman, jumlah kunjungan per hari untuk poli gigi sebanyak 4-5 orang pasien. Pasien-pasien tersebut berobat dengan keluhan sakit gigi, cabut gigi, peradangan pada saraf gigi, hingga gigi berlubang. “menurut asumsi saya.. kondisi kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari tingkat pengetahuan masyarakat di Peudawa masih rendah, diakibatkan kurangnya penyuluhan ke masyarakat.. hanya sedikit yang sadar akan kesehatan gigi dan mulut.. kembali lagi ke konteks promotif dan preventifnya, terkendala dalam hal pendanaan untuk program kesehatan gigi dan mulut”.



Menurut drg. Rasiman, penyuluhan yang ideal dilakukan yakni ketika upaya peningkatan preventif dan promotif berjalan dengan baik. Upaya yang dilakukan selama ini yakni memberikan pengetahuan tentang membersihkan gigi dan mulut pada siswa sekolah dasar atau program yang disebut dengan UKGS (Usaha Kegiatan Gigi Sekolah). UKGS tersebut merupakan bentuk kegiatan penyuluhan yang dilakukan 1 kali per minggu untuk 1 sekolah dasar. Dalam 1 bulan ada 4 SD yang diberikan penyuluhan kesehatan gigi, “biasanya kalau UKGS itu ada pembagian sikat gigi, nah ini juga terkendala pendanaan.”.



Menurut drg. Rasiman, upaya memberikan penyuluhan kepada masyarakat (dental education) pun dilakukan pada saat Pusling (Puskesmas Keliling). Terdapat satu buah dusun yang belum pernah dikunjungi yakni Dusun Lepon, “Dusun Lepon itu yang sampai saat ini belum pernah kami kunjungi saat ini karena akses yang jauh..”. 71



3.6 Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat Selain melakukan pelayanan kesehatan dan rujukan di Pusat pelayanan kesehatan masyarakat Peudawa, adapun upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang dilakukan pemerintah, tetapi Secara Operasional pengawasan dan bimbingan Puskesmas kegiatan yang dilakukan didesa mencangkup beberapa kegiatan, terdapat empat jenis kegiatan yang dilakukan dibawah bimbingan Puskesmas yaitu, Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Puskesmas Keliling (Pusling), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Posyandu Lansia. 3.6.1 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Pos kesehatan desa (Poskesdes), yang biasa disingkat (Poskesdes) masing-masing memiliki Bidan desanya, bidan desa yang dikontrak pusat atau biasa disebut Bidan PTT, Puskesmas Peudawa Memiliki Tujuh Belas desa Dengan Tujuh Belas Keberadaan Bidan desa disetiap desanya. Dengan adanya bidan desa dan Poskesdes ini masyarakat banyak terbantu dalam hal pelayanan kesehatan dari anak-anak sampai dengan orang tua, terutama Ibu hamil sampai dengan ibu nifas. Puskesdes ini masih aktif sampai dengan saat ini disetiap desanya, walaupun ada bidan desa yang cuti atau berhalangan untuk tinggal di desa, Bidan desa akan digantikan sesaat oleh yang lain agar Desa tidak kosong dari tenaga kesehatan. Sehingga setiap saat masyarakat butuh tenaga kesehatan yang selalu ada di tempat (desa). 3.6.2 Puskesmas keliling Puskesmas keliling, atau sering disebut Pusling merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan berupa pengobatan gratis dan pemeriksaan kesehatan lainnya, biasanya dilakukan pada jarak tempuh desa yang jauh dari Puskesmas, pusling dilakukan untuk mempermuda akses masyarakat yang ingin berobat tapi terhalang dengan jarak dan transportasi yang ada. Hanya beberapa desa saja yang dapat di



72



dilakukan pusling, bagi desa yang menyediakan Poskesdes dan bidan desanya tidak dilayani dengan kegiatan pusling. 3.6.3 Posyandu Balita Secara umum definisi Posyandu adalah wadah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibimbing petugas terkait. Hal tersebut bertujuan menurunkan angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), melahirkan dan nifas dan meningkatkan peran serta msyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB serta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera. Pelayanan posyandu di setiap desa dilaksanakan awal bulan hingga pertengahan bulan, Puskesmas Peudawa memiliki 17 desa diwilayah kerjanya, dan masing masing memiliki posyandu yang dilengkapi dengan bidan desanya, juga di lengkapi dengan tenaga kader masing-masing setiap desa memiliki 5 orang kader yang membantu setiap proses pelaksanaan posyandu. Setiap kegiatan posyandu yang dilaksanakan di desa, masing masing di dampingi oleh Tenaga Gizi dan Tim Promkes dari Puskesmas Peudawa untuk mempromosikan kesehatan dan membantu melakukan pelayanan terpadu diposyandu. Pelayanan posyandu didesa di lakukan di gedung posyandu dan Meunasah gampong (Balai kampung), yang dilengkapi dengan gedung posyandu melaksanakannya di gedung posyandu, yang tidak memiliki gedung posyandu melakukan kegiatan posyandunya di Meunasah (Balai Kampung), dikarenakan belum semua desa memiliki Gedung Posyandu dan bidan desa menetap di rumah Geuchik atau menyewa rumah sendiri. Pembangunan Polindes/Poskesdes sendiri ada yang didanai oleh PNPM mandiri dan Dinas Kesehatan sendiri. Pelayanan posyandu di wilayah kerja Puskesmas Peudawa berjalan sangat baik, bidan desa dan kader sudah sangat terampil melayani masyarakat dan memberikan penyuluhan tentang manfaat



73



Posyandu. Antusiasme masyarakatnya sendiri untuk ikut menghadiri kegiatan posyandu cukup baik. Menurut pengamatan peneliti kehadiran ibu di posyandu sekitar 10 – 15 orang dengan membawa bayi dan balitanya masing-masing. Hal tersebut dapat dikatakan cukup baik, karena telah ada pola kesadaran untuk kesehatan ibu dan anak yang terbentuk secara perlahan. Hal tersebut dapat dikarenakan petugas gizi dan promkes puskesmas selalu memberikan pengertian dan penyuluhan tentang pentingnya untuk mengikuti setiap posyandu yang diadakan, karena bisa melihat tumbuh kembang anak, kesehatan ibu hamil dan kesehatan untuk pribadi masing masing. Petugas gizi puskesmas sendiri aktif dalam memberikan penyuluhan dan konseling kepada masyarakat, untuk meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat tentang betapa pentingnya posyandu dan pengetahuan tentang kesehatan.Menurut petugas gizi puskesmas yang bertanggung jawab tentang kegiatan posyandu di Puskesmas: “Disini masyarakatnya sendiri sudah sadar kesehatan dan sudah tau fungsi utama kegiatan posyandu itu seperti apa, kita juga menjelaskan bahwasanya disini kita bisa melihat tumbuh kembang anak secara bertahap, apakah dia naik berat badannya tau tidak, dan pemeriksaan ibu dan pemantauan kesehatan ibu hamilnya sendiri, tetapi masih ada beberapa juga yang tidak mau ke posyandu dengan alasan, jauh, tidak ada yang jaga rumah, keladang dan ada yang hanya menitipkan anaknya ketetangga untuk membawa anaknya keposyandu.”



Saat ini petugas gizi Puskesmas Peudawa sedang aktif mempromosikan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan Asi Eksklusif di setiap kegiatan posyandu, untuk mencapai target nasional, dikarenakan capaian ASI Ekslusif di Puskesmas Peudawa sendiri sangat kurang.



74



3.6.4 Senam sehat Usila Senam sehat Usila salah satu kegiatan yang rutin dilaksanakan di Puskesmas Peudawa, kegiatan tersebut dilakukan setiap hari jumat, dimulai dengan senam sehat yang di pandu oleh petugas Usila dan pegawai pegawai Puskesmas Peudawa. Kegiatan selanjutnya setelah habis senam dilanjutkan dengn pemeriksaan kesehatan oleh dokter, ada beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu : 1. Pemeriksaan kesehatan 2. Pengobatan sesuai keluhan 3. Penimbangan dan pengukuran berat badan 4. Cek tekanan darah, cek kolesterol dan cek gula darah 5. Pemberian materi tentang penyakit yang mereka derita dan sesi tanya jawab 6. Konseling langsung dengan dokter pemberi materi. 7. Dan pemberian PMT Lansia Dari hasil pengamatan, antusiasme lansia mengikuti kegiatan dan melihat sesi tanya jawab sangat tinggi, mereka sangat peduli tentang kesehatan diri mereka, kebanyakan orang tua sekarang menyepelekan kesehatan dengan mengulur-ngulur waktu untuk mengobati sakit yang mereka alami, tapi tidak dengan mereka, mereka sangat mengerti tentang pemahaman kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas Peudawa untuk membantu mereka dalam mengecek dan menjaga kesehatan mereka selama masa tua mereka, nenek Apsah salah satu dari Lansia ini pernah berkata; “Suka sekali kalau sudah hari jumat...bisa berkumpul dan bisa senam bersama-sama,, dan bisa langsung tanya-tanya sama dokternya,, sekarang saya bisa tau kalau sakit saya ini tidak boleh makan makanan yang asin-asin, di sini juga bisa periksa darah,, periksa gula,, dokternya juga ramah,, gratis gak bayar,, kalau kita ke mantri berobatnya, cek darah saja bayar.”



75



Dalam pengamatan peneliti secara kasat mata, mereka terlihat bahagia ketika bisa berkumpul bersama-sama dan melakukan kegiatan bersama – sama (seumuran) lansia, banyak pembahasan yang merekabicarakan dan banyak juga yang hanya sekedar bercanda membahas tentang kebun dan kegiatan yang sedang mereka kerjakan saat ini, disini kita bisa melihat bahwa mereka perlu untuk menghibur diri dengan melakukan kegiatan bersama – sama meninggalkan kejenuhan yang mereka lakukan setiap harinya dirumah. 3.7.Perilaku Pencarian Pengobatan(Health Seeking Behaviour) Perilaku pencarian pengobatan masyarakat mempunyai keterkaitan dengan konsep sehat-sakit yang dipersepsikan oleh masyarakat. Hal tersebut bersesuaian dengan temuan Setyawan pada penelitiannya di Klaten39. Faktor yang diduga terkait dengan perilaku pencarian pengobatan antara lain biaya pengobatan, hasil pengobatan, kepercayaan kepada sarana pengobatan, kondisi waktu berobat, keberadaan sarana, pelayanan pengobatan dan situasi di sarana pengobatan40. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya mengenai konsep sakit yang difahami masyarakat maka pola pencarian pengobatan pun terbagi menjadi tiga. Pertama ketika masyarakat merasa mengalami sakit biasa seperti flu, atau demam maka masyarakat akan membeli atau mencari obat-obatan herbal ataupun obat yang dijual di warungwarung yang sesuai dengan gejala yang dirasakan masyarakat. Kedua ketika masyarakat merasa perlu datang ke faskes apabila tidak kunjung sembuh. Pola ketiga apabila setelah berobat ke faskes kondisi tidak kunjung membaik, maka si penderita sakit akan beralih ke pengobatan tradisional dengan meminta masukan dan 39



Setyawan, E.F, Perilaku Pencarian Pengobatan Pada Kelompok Ibu Rumah Tangga di Desa Tirtomarto Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten, Skripsi, Universitas Diponegoro, 2004. eprints.undip.ac.id/25573/1/2081 40 Ibid



76



obat-obatan tradisional oleh mak dukun (mak nukasah) serta untuk pengobatan sakit karena diguna-guna maupun kesurupan, biasanya di rukyah41 oleh Kiai atau tokoh agama yang dipercaya bisa mengobati, namun apabila tidak kunjung membaik akan “disembur”. Sama seperti temuan Setyawan tentang faktor-faktor yang terkait dengan perilaku pencarian pengobatan bahwa apabila hasil pengobatan di fasilitas kesehatan modern tidak memuaskan, maka masyarakat akan beralih kepada pengobatan tradisional oleh mak nukasah yang dipercaya masyarakat untuk memberikan ramuanramuan tertentu maupun informasi tentang herbal apa yang sesuai untuk mengobati penyakit yang dirasakan oleh masyarakat. Untuk konteks pelayanan pengobatan, sepengamatan peneliti, bidan desa ketika melakukan pusling ketika ada orang yang sakit, hanya melihat kondisi pasien tanpa komunikasi yang hangat, dan lalu memberikan obat-obat tertentu dan kemudian pulang begitu saja. Kurangnya komunikasi yang hangat dan terbuka membuat masyarakat merasa “tidak dekat” dengan petugas kesehatan. Untuk konteks biaya kesehatan dari temuan yang ditemukan peneliti, pengobatan di fasilitas kesehatan gratis atau tidak dipungut biaya asalkan masyarakat datang membawa KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Biaya tersebut diklaim oleh JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), hingga rujukan pun akan diklaim oleh JKN. Terkait JKN ada hal yang menarik di Aceh Timur. Sebelum adanya JKN di Aceh sudah terdapat JKRA (Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh), dimana seluruh penduduk Aceh akan diklaim oleh pemerintah Aceh biaya pengobatannya. Sejak adanya JKN, maka seluruh peserta JKRA, yakni seluruh masyarakat Aceh secara otomatis menjadi peserta JKN. Namun ketika ditanyakan tentang kepemilikan kartu JKN/BPJS, masyarakat tidak mempunyainya, dan tidak membayar iuran BPJS secara mandiri tiap 41



Rukyah adalah pengobatan dengan menggunakan doa-doa dan ayat-ayat Al Qur’an.



77



bulannya, berbeda dengan masyarakat di daerah lain contohnya Banjarmasin yang status kepesertaan BPJS harus terlebih dahulu mendaftarkan diri, dan membayar iuran tiap bulannya ke bank. 3.8 Potret Kesehatan Ibu dan Anak 3.8.1 Masa Pra Hamil, Hamil, Melahirkan dan Nifas Menurut pemaparan Kepala Puskesmas, sebelum seseorang menikah, calon mempelai wanita diwajibkan untuk imunisasi tetanus. Telah terjalin kemitraan antara pihak KUA (Kantor Urusan Agama) dengan Puskesmas Peudawa. Sehingga imunisasi sebelum menikah pun menjadi syarat sebelum menikah. Saat hamil pun, ibu tidak menjalani ritual tertentu. Tidak terdapat pantangan-pantangan makan-makanan tertentu saat kehamilan. Saat bersalin, ibu ditolong oleh bidan desa dan melahirkan di rumah. Alasan bersalin di rumah yakni terdapat rasa nyaman dan aman bagi ibu ketika melahirkan di rumah, karena terdapat keluarga yang menemani. Saat masa nifas ibu mendapat pantangan agar tidak memakan gulai dan makanan pedas agar bayi tidak sakit perut apabila disusui oleh ibunya. 3.8.2 Neonatus dan Bayi Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti, pada saat berbincang-bincang dengan petugas kesehatan yang biasa mengurus manajemen terpadu balita sakit (MTBS) dari pantauan posyandu bulanan, didapatkan hasil bahwa mayoritas bayi tidak mendapatkan asi eksklusif selama 6 bulan, “bayi disini rata-rata tidak mendapatkan asi selama 6 bulan, belum sampai 6 bulan sudah dikasih makan nasi pisang42”. “rata-rata pemberian makan nasi pisang pada hari ke-4, karena menurut persepsi masyarakat apabila bayi menangis karena 42



Nasi Pisang adalah nasi yang dilumatkan lalu ditambah dengan pisang yang dilumatkan lalu diberikan kepada bayi. Hal ini telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat.



78



lapar, oleh karena itu diberikan makan nasi pisang yang ditambah air, dan diberi minum air gula atau air tajin..”.



Hal ini diperkuat oleh keterangan ibu nifas di desa paya dua pada saat kami kunjungi ke rumahnya, “air susu yang baru keluar itu berwarna kuning kayak basi (colostrum) dibuang, air susu pun susah keluar, jadi pakai susu formula”. “saya cesar, karena perdarahan, bayi saya masih ditinggal di rumah sakit karena prematur, dan berat badan 18 ons, minum susu formula sejak awal dilahirkan” (I-2) “iya saya sudah diberitahu bahwa tak boleh kasih makan bayi sampai 6 bulan oleh petugas Puskesmas setiap posyandu... tapi saya tetap kasih makan nasi pisang... (kemudian hening)” (I-3)



Terkait pemberian nasi pisang yang dilumatkan ini, terdapat kasus kematian bayi pada bulan Mei 2015 di salah satu desa di Kecamatan Peudawa. Bayi tersebut berusia 4 hari, pada saat bayi dimandikan oleh bidan desa, bidan desa tersebut menemukan bahwa feses bayi keras, lalu 5 hari kemudian bayi terus-menerus menangis, kemudian keluarga menghubungi bidan desa dan melaporkan bahwa perut bayi kembung, setelah bidan desa sampai ke rumah tersebut, bayi ditemukan telah meninggal. Pemberian nasi pisang ini sudah membudaya di wilayah kerja Kecamatan Peudawa. Hal tersebut merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang yang telah terbentuk pada pola pikir masyarakat sejak jaman peraang atau konflik dimana ibu tidak dapat sepenuhnya memberikan ASI kepada bayinya karena ikut berperang, maka bayi pun diberi makanan pada usia dini. Peran serta nenek dari bayi pun besar karena pada zaman dahulu nenek pun memberi makan nasi pisang pada ibunya si bayi ketika masih bayi. Pola pikir yang terbentuk lainnya adalah ketika bayi



79



tidak diberi makan maka nanti bayi tersebut akan kelaparan dan meninggal. Selain itu pemberian ASI eksklusif tidak berjalan karena pemberian ASI selama 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan pun tidak membudaya di kalangan masyarakat. Diperlukan edukasi dengan pendekatan budaya untuk mengatasi masalah nasi pisang dan ASI eksklusif ini. 3.8.3 Imunisasi Lengkap Kegiatan Imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Milenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)43. PD3I adalah penyakit-penyakit menular yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah dan kematian terutama pada balita. Sebelum kegiatan imunisasi dipergunakan secara luas di dunia, banyak anak yang terinfeksi penyakit seperti: penyakit polio, campak, pertusis, dan difteri yang dapat berakibat kematian dan kecacatan. Keadaan tersebut akan diperberat bila disertai dengan gizi buruk dan menyebabkan peningkatan case fatality rate (CFR) penyakit PD3I tersebut44. Universal Child Immunization (UCI) adalah suatu keadaan tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada semua bayi (anak dibawah umur 1 tahun). Universal Child Immunization (UCI) juga merupakan cakupan imunisasi lengkap pada minimal 80% bayi pada suatu desa45.



43



KMK No 482 Tahun 2010 Tentang Gerakan Imunisasi Nasional GAIN UCI



44



Ibid



45



Ibid



80



Pada cakupan wilayah kerja Puskesmas Peudawa tidak semua desa yang memenuhi UCI. Tidak semua bayi dibawah 1 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap. Hal ini ditunjukkan pada capaian hingga bulan November 2014 bahwa mayoritas desa tidak mencapai UCI. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktercapaian imunisasi lengkap minimal 80% dari jumlah keseluruhan bayi per desa selama peneliti mengobservasi di lapangan maupun wawancara. Faktor-faktor tersebut diantaranya 1) kurangnya pengetahuan ibu akan kebutuhan imunisasi; 2) kurangnya pengetahuan tentang kelengkapan imunisasi; 3) kurangnya pengetahuan tentang jadwal imunisasi; 4) ketakutan akan efek samping; 5) kurangnya kepercayaan tentang manfaat imunisasi; 6) adanya rumor yang buruk tentang imunisasi. Keenam poin yang dijabarkan sebelumnya linier dengan temuan pada penjabaran KMK Nomor 482 Tahun 2010. Menurut pengamatan peneliti selama pemberian imunisasi baik tetes maupun suntik, sang ibu ditanyakan oleh petugas imunisasi sudah berapa kali disuntik dan tidak memaparkan mengapa harus imunisasi. Sang ibu tidak sepenuhnya diberikan “rasa percaya dan keyakinan” agar bayinya perlu diimunisasi. Dalam hal ini masih terdapat “jarak” antara petugas imunisasi maupun petugas kesehatan yang diberikan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi. Para ibu tidak sepenuhnya percaya dan yakin akan pentingnya imunisasi.



81



Gambar 3.2. Imunisasi Pada Bayi Pada Saat Posyandu Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015



Hal lain yang sedang menjadi “trend topik” di kalangan masyarakat desa SNB. Peuntet misalnya banyak terpapar informasi dari mulut ke mulut warga, bahkan ulama di desa tersebut pun menyatakan bahwa imunisasi itu haram, contohnya pada imunisasi polio yang dinyatakan pembuatannya memakai enzym babi. Hal ini seharusnya sudah terselesaikan pada tahun 2014 lalu karena beberapa ulama di Aceh Timur sebanyak 15 orang sudah diberangkatkan ke Bandung untuk melihat proses pembuatan vaksin polio di Biofarma. Namun sampai saat ini isu enzym babi tersebut masih menjadi pro kontra di benak masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan tidak lancarnya proses pemberian imunisasi lengkap pada bayi. Hal serupa terjadi di desa SNB. Peunteut, masyarakat dibagikan selebaran bahwa imunisasi merupakan salah satu bagian dari program kristenisasi. Hal tersebut membuat ayah dari bayi dan balita melarang anaknya diimunisasi. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pun menjadi masalah terhambatnya pemberian imunisasi berikutnya. Bayi/balita menjadi



82



demam, dan rewel. Persepsi masyarakat terutama ayah dan ibu yang memiliki bayi dan balita terhadap imunisasi menjadi buruk, karena membuat anak mereka menjadi sakit. Setelah KIPI terjadi, orangtua menjadi enggan untuk imunisasi berikutnya. Menurut pengamatan peneliti selama mengikuti posyandu di beberapa desa, petugas imunisasi tidak pernah memberikan penjelasan mengenai KIPI. Petugas imunisasi hanya menghampiri ibu dan bayinya, menanyakan sudah berapa kali diimunisasi, dan langsung mengimunisasi bayi maupun balita dengan mendapatkan informasi dari bidan desa jika posyandu dilaksanakan di polindes. Apabila posyandu dilakukan bukan di polindes, seperti biasa, petugas imunisasi langsung memberikan imunisasi. Sejalan dengan penelitian Mandowa dan Kasim (2014)46 tentang faktor yang berhubungan dengan kepatuhan akan imunisasi bahwa jarak rumah yang jauh dari tempat posyandu pun mempengaruhi pemberian imunisasi. Hal tersebut pun terjadi di wilayah kerja Puskesmas Peudawa.



4646



Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 4 Tahun 2014. ISSN: 23021721. STIKES Nani Hasanuddin Makassar.



83



Tabel3.5. Cakupan Imunisasi di Puskesmas Peudawa November 2014 N o.



Desa



Sasaran Bayi



BCG 1



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17



Gp. Keude SNB. Peunteut Sama Dua MTG Rayeuk Alu Ie Itam Kuala Peudawa Blang Beuket Alu Bate SNB. Teugoh MNS Kreung Kuta Baro Paya Dua Paya Bili Sa Paya Bili Dua Asan Rampak Blang Kuta Buket Kuta Jumlah



42 29 10 10 18 9 7 5 9 21 7 37 5 7 6 14 31 267



66,66 72,41 20 50 61,11 77,77 100 20 44,44 52,38 85,71 29,72 80 85,71 83,33 85,71 64,28 54,68



1 66,66 72,41 20 50 61,11 77,77 100 20 44,44 52,38 100 59,45 100 85,71 100 85,71 64,28 61,79



HASIL IMUNISASI KUMULATIF SAMPAI DENGAN BULAN NOVEMBER 2014 Polio Camp HB-1 DPT HB ak 2 3 4 1 0-7 hr >7 1 2 hr 47,61 33,33 28,57 50 71,42 47,61 38,09 82,75 82,75 55,17 37,93 75,86 75,86 75,86 20 40 20 20 60 20 30 30 20 40 40 100 20 30 55,55 38,88 27,77 22,22 83,33 55,55 16,66 77,77 44,44 33,33 22,22 55,55 55,55 33,33 100 14,28 14,28 28,57 42,85 100 14,28 40 60 20 40 55,55 55,55 11,11 22,22 100 66,66 33,33 71,42 66,46 71,42 66,66 66,66 76,19 71,42 100 71,42 85,71 42,85 57,14 85,71 100 64,86 81,08 62,16 35,13 51,35 35,13 43,24 100 100 80 60 40 100 60 85,71 85,71 71,42 14,28 85,71 85,71 33,33 100 83,33 100 83,33 66,66 100 100 92,85 64,28 37,71 37,71 100 92,85 57,14 19,35 22,58 25,80 22,58 16,12 22,58 19,35 58,80 50,56 64,04 38,57 64,04 56,65 47,19



Sumber: Laporan Hasil Cakupan Imunisasi Bayi di Puskesmas Peudawa, November 2014 84



3 28,57 55,17 20 20 16,66 33,33 14,28 40 22,22 42,85 100 48,64 20 71,42 83,33 28,57 22,58 38,20



3.9. Potret Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.9.1. Ketersediaan Jambandan Perilaku Buang Air Besar Tabel 3.6 Cakupan Ketersediaan Jamban Per Desa Dalam Wilayah Kerja Puskesmas Peudawa 2014 No. Nama Desa



Jumlah Keluarga Keluarga Diperiksa 1 Gp. Keude 462 370 2 Snb. Peunteut 315 292 3 Mns. Krueng 211 136 4 Kuta Baro 79 67 5 Blang Buket 84 73 6 Snb. Teungoh 86 82 7 Asan Rampak 75 60 8 Kuala Peudawa 86 75 9 Alue Ie Itam 183 159 10 Mtg. Rayeuk 103 94 11 Sama Dua 94 88 12 Paya Dua 364 262 13 Paya Bili Sa 42 36 14 Paya Bili Dua 74 68 15 Alue Batee 44 41 16 Blang Kuta 149 140 17 Buket Kuta 309 214 Jumlah 2760 2257 Sumber: Data Kesling Puskesmas Peudawa Tahun 2014



Keluarga Memiliki 156 99 104 43 6 18 13 46 66 15 37 29 40 47 19 21 28 767



Berdasarkan data kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Peudawa Tahun 2014 dari 2760 KK terdapat 767 KK yang mempunyai jamban, diluar daripada itu jumlah KK yang tersisa tidak mempunyai jamban di rumahnya. Sedangkan pada bulan Mei tahun 2015 dari 2862 KK terdapat 844 KK yang mempunyai jamban47.



47



Laporan Trimester Kesehatan Lingkungan Puskesmas Peudawa, April 2015



85



Hal tersebut di atas, berhubungan dengan perilaku buang air besar masyarakat. Menurut petugas kesling, sebagian besar masyarakat yang belum mempunyai jamban akan menumpang buang air besar di rumah tetangganya, namun ada juga yang buang air besar sembarangan di pantai sebelum matahari terbit atau buang air besar di hutan-hutan dengan menggunakan plastik lalu dibuang begitu saja. “ya yang tidak punya jamban akan BAB di rumah tetangganya, namun masih ada yang BAB sembarangan, di rumput-rumput hutan,... di pantai setelah shubuh.. perubahan itu saya yakin akan ada namun perlahan, ada juga inisiasi arisan jamban di desa-desa, tapi ya itulah warganya pakai uang itu untuk acara kendurian..”.



Telah terdapat inisiasi arisan jamban untuk membuat wc umum, namun pada akhirnya warga menggunakan uang arisan jamban tersebut untuk keperluan lain seperti kenduri atau acara selamatan. Sehingga keberlangsungan arisan jamban pun tidak berjalan secara efektif. Selain itu terdapat program pemicuan pembuatan wc umum yang dilakukan oleh pihak puskesmas pada salah satu desa, namun hal tersebut justru membuat warga merasa “ah nanti juga di rumah kami akan dibuatkan wc oleh ibu wc ini”, ujar masyarakat. Tujuan pemicuan tersebut menurut petugas kesling adalah untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat untuk mau membuat jamban serupa di rumahnya masing-masing daripada buang air besar sembarangan. Hal ini berkaitan dengan adanya salah satu desa, yakni Desa Sama Dua yang mendapatkan bantuan dari UNICEF pada tahun 2014 untuk melakukan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Pada kasus Desa Sama Dua pemicuan yang dilakukan dapat menumbuhkan kesadaran pada masyarakat untuk mempunyai jamban masing-masing, dan membuat jamban secara bergotongroyong.



86



3.9.2 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Definisi persalinan, persalinan biasanya adalah proses kelahiran janin pada kelahiran cukup bulan (aterm 40 minggu), seharusnya persalinan dilakukan di faskes yang telah disediakan dengan kelengkapan yang ada, dan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, tapi di wilayah kerja Puskesmas Peudawa sendiri, masih kurang kesadaran mereka untuk melakukan persalinan di faskes yang telah disediakan oleh pemerintah di setiap desa. Dalam hal ini Puskesmas Peudawa sendiri harus bekerja ekstra untuk memberikan pengertian dan promosi kesehatan tentang pentingnya pelayanan kelahiran di faskes yang telah disediakan dilengkapi dengan alat-alat yang memadai dan di sediakan bidan desa yang menetap 24 jam untuk memantau seluruh masyarakat di desa terutama ibu hamil, bayi balita dan Usia lanjut, untuk mencegah dan mengurangi angka kematian ibu dan anak. Karena masih banyaknya ibu yang melahirkan lebih memilih dirumah dari pada difaskes dengan alasan yang sama. “Lebih enak melahirkan dirumah dari pada di polindes, kalau dipolindes tidak enak karena bukan rumah sendiri, terus capek harus bolak balik, mau melahirkan kerumah bidan setelah melahirkan pulang lagi, capek kayak gitu buk.”



Petugas kesehatan kembali memberikan penjelasan untuk memberikan pemahaman dan pengertian tentang pentingnya persalinan di faskes, “Jika kita melahirkan di polindes (faskes) alat kesehatan lengkap, semua yang dibutuhkan saat kelahiran ada”.



Masih minimnya persalinan di faskes yang disediakan di setiap desa diwilayah kerja Puskesmas, membuat bidan desa dan pihak Puskesmas Peudawa bekerja lebih ekstra, usaha yang dilakukan Puskesmas cukup kuat setiap harinya, ketika mereka turun lapangan,



87



mereka selalu menyempatkan dan selalu memberikan informasi tentang pentingnya persalinan di faskes,dan menjelaskan lebih dalam manfaat dan kerugian persalinan di faskes. 3.9.3 Penimbangan Bayi dan Balita Dalam istilah penimbangan ada SKDN yang berarti S adalah jumlah seluruh bayi dan balita yang ada, K merupakan jumlah yang memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat), D merupakan jumlah balita yang datang/yang ditimbang, N sendiri berarti jumlah bayi dan balita yang naik berat badannya. Untuk menghitung jumlah yang ditimbang dengan jumlah seluruh balita yang ada disetiap bulannya, tenaga petugas gizi mengambil data D/S untuk melakukan perbandingan antara yang hadir/menimbang dengan jumlah seluruh balita yang ada di setiap desa/Posyandu yang diadakan. Hasil D/S dari awal tahun 2015 dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan April 2015 mencapai rata-rata di atas 80% kehadiran dan penimbangan di posyandu. Tetapi tidak jarang juga bidan desa melakukan sweeping48 penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak kerumah-rumah bagi yang berhalangan datang ke posyandu dengan alasan tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai target penimbangan, karena diharuskan setiap anak wajib mendapatkan penimbangan untuk melihat tumbuh kembangnya secara berkelanjutan.



48



Sweeping adalah mendatangi ibu-ibu ke rumah masing-masing untuk penimbangan dan posyandu



88



Gambar 3.3. Situasi Posyandu Bulanan di Desa Paya Dua Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015.



Pelaksanaan penimbangan dilakukan pada saat posyandu, jadwal sudah tersusun rapih sampai jangka waktu setahun, setiap posyandunya sudah ada bidan desa masing-masing yang bertanggung jawab dan di dampingi oleh tenaga petugas gizi dan petugas puskesmas, berhubung petugas gizi hanya satu orang di Puskesmas Peudawa, petugas gizi tersebut bekerja dengan bidan bidan yang ada di puskesmas untuk membantu menangani setiap kegiatan yang dilakukan di posyandu saat ada posyandu yang tidak dapat dikunjungi akibat jadwal posyandu yang berbenturan. “di Puskesmas Peudawa sendiri ada 17 desa dan jadwal posyandunya ada yang bentrok di tanggal yang sama, 1 hari bisa 3 atau 2 desa yang posyandu, sehingga kami membuat tim untuk mendampingi semua kegiatan posyandu yang ada.”



Penimbangan merupakan suatu kegiatan dimana berat badan seseorang dapat terukur. Ditimbang merupakan kewajiban untuk setiap anak, karena dengan ditimbang kita bisa melihat pertumbuhan 89



dan tumbuh kembangnya. Termasuk pada orang tua bisa mengetahui perbedaan berat badan bulan lalu dengan yang sekarang, bertambahkah atau berkurangkah. Sehingga orang tua bisa melihat tumbuh kembang anaknya secara bertahap, dan juga petugas gizi sendiri bisa memantau pertumbuhan kesehatan dan berat badan balita untuk mencegah terjadinya BGM, Gizi Kurang dan Gizi buruk. Penimbangan sendiri dilakukan oleh kader di desa yang dipantau dan dibantu oleh petugas puskemas. Penimbangan sangat penting dan perlu dilakukan secara rutin setiap bulannya agar masyarakat bisa melihat pertumbuhan anaknya secara berkala dan bisa memantau secara rutin.Banyak manfaat dari penimbangan itu sendiri, setiap penimbangan ibu wajib membawa KMS (Kartu Menuju Sehat) anaknya, karena dari itu ibu bisa melihat naik atau turunnya berat badan anaknya. Setiap balita yang berat badannya tidak naik, petugas sendiri menanyakan kepada si ibu apakah anaknya ada sakit atau ada hal lain.Jika memang anak tersebut sakit, petugas bisa memberikan penjelasan bahwa anak si ibu berat badannya tidak naik bulan ini dikeranakan dia sakit. Petugas sering melakukan wawancara tentang pola asuh dan keaadan bayi/balita pada ibu, untuk bisa mendapatkan informasi kenapa berat badan anaknya bisa turun, sehingga orang tua juga mendapatkan penjelasan atas berat badan anaknya yang turun. Pelaksanaan penimbangan itu sendiri dilaksanakan di awal bulan sampai dengan batas tanggal 25 dimana ada dilaksanakan posyandu, karena diatas tanggal 25 pemegang program/pegawai puskesmas sudah menerima laporan dari bidan desa, untuk direkap dan dikumpulkan ke dinas kesehatan setempat. Pada Puskesmas Peudawa sendiri sistem 5 meja belum berjalan, tingkat posyandu di Puskesmas Peudawa sendiri masih pratama, sekarang tim dan petugas gizi sendiri berusaha untuk meningkatkat tingkat posyandu yang ada agar naik tingkat, sehingga posyandu bisa berjalan dengan lebih baik lagi.



90



Persiapan pelaksanaan penimbangan: 1. Menyebarkan kabar hari posyandu/penimbangan melalui kader dan diumumkan dari mesjid/meunasah 2. Mempersiapkan tempat 3. Melakukan pembagian tugas kader 4. Mempersiapkan bahan PMT penyuluhan Kegiatan penimbangan sendiri tidak hanya di lakukan di polindes atau poskesdes, penimbangan dilaksanakan di banyak tempat, tergantung desa karena ada beberapa desa yang tidak memiliki polindes/poskesdes, sehingga kegiatan penimbangan itu sendiri sering dilaksanakan di Meunasah (balai pengajian) dan PAUD, ada beberapa desa yang melaksanakan penimbangan di Meunasah dan di PAUD, dari 17 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Peudawa, ada 6 desa yang melakukan kegiatan penimbangan di meunasah/paud, berikut datanya: 1. Desa Seuneubok Puenteut (Meunasah) 2. Desa Gampong Keude (Meunasah) 3. Desa Sama Dua (Meunasah) 4. Desa Alue Ie Itam (Meunasah) 5. Desa Paya Bili Dua (Paud) 6. Desa Alue Batee (Meunasah) Di Puskesmas Peudawa sendiri kegiatan penimbangan tidak hanya di lakukan di polindes, poskesdes, meunasah ataupun paud, karena setiap penimbangan atau posyandu tim yang mendampingi kedesa seperti petugas gizinya, selalu membawa timbangan, sehingga dimanapun dia menemukan anak yang tidak datang saat penimbangan atau posyandu, balita atau bayi tersebut langsung ditimbang ditempat.Dimana ia jumpai keberadaan bayi/balita tersebut, baik dijalan ataupun di kios-kios, dan yang sedang bermainpun atau digendong oleh ibu atau neneknya tidak luput dari pandangannya:



91



“Timbangan ini sudah seperti teman, saya bawa kemanapun saya pergi saat posyandu,,,karena saya mau semua bayi/balita tertimbang, sudah seperti polisi sweeping,,bedanya polisi merazia yg tidak lengkap suratnya, kalo saya merazia siapa yang tidak datang saat penimbangan..”.



Baginya balita sangat penting untuk ditimbang, karena dengan kelengkapan data penimbangan setiap bulan akan menjadi pegangan baginya untuk memantau status gizi bayi/balita, sehingga semua bayi/balita bisa selalu dengan keadaan sehat dan berat badan yang normal. Namun disini masih ada beberapa ibu yang tidak membawa anaknya saat penimbangan. Oleh karena itu mereka akan diberikan konseling yang berulang ulang dalam upaya untuk membujuk dan memberikan dorongan tentang pentingnya penimbangan dan posyandu.Karena masih adanya orang tua/masyarakat yang masih berfikir awam bahwasanya penimbangan itu untuk kepentingan Petugas kesehatan, alasan yang sering digunakan adalah dengan membandingan jarak perjalanannya dengan pemberian makanan tambahan yang diberikan pada saat Posyandu, “Capek aja pergi posyandu,udah pergi pulang lagi, paling Cuma dikasih bubur kacang ijo.”.



Masih ada beberapa ibu yang tidak paham akan pentingnya kegiatan penimbangan/posyandu, sehingga tidak jarang hanya “ibuibu itu” saja yg tidak hadir pada saat penimbangan sehingga ini membuat petugas bekerja lebih ekstra untuk memberikan pemahaman –pemahaman sesering mungkin untuk mengubah pola pikir ibu, tentang pentingnya penimbangan untuk anak mereka. Bukan hanya sekedar ditimbang, tetapi juga di kegiatan poyandu ini, kita bisa melihat pertumbuhan kesehatan dan tingkat kelincahan anak. Dengan beberapa keaadan yang seperti ini tidak jarang petugas sendiri yang datang kerumah –rumah untuk melakukan penimbangan.



92



Penimbangan dilakukan dengan menggunakan dacin, dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan microtoice (pengukuran tinggi badan) yang diberikan oleh dinas kesehatan,untuk didistribusikan ke masing masing desa. Setiap desa mendapatkan masing-masing 1 dacin 1 desa, dan pengukuran tinggi badan (microtoice) masing-masing 1 desa 1 microtoice, untuk melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan, masing masing alat sangat berperan penting agar mudah memantau tumbuh kembang anak. Penggunaan dacin sendiri harus dilakukan dengan baik dan benar, pasir harus dipasang untuk menyeimbangkan dacin agar mendapat hasil penimbangan yang akurat, hal-hal yang di lakukan untuk mempersiapkan dacin: 1. Gantung dacin pada tempat yang kokoh seperti pelana atau kusen pintu atau dahan pohon atau penyangga kaki tiga yang kuat. 2. Atur posisi angka pada batang dacin sejajar dengan mata penimbang. 3. Letakkan bandul geser pada angka nol 4. Pastikan bandul geser pada angka nol. 5. Pasang sarung timbang atau celana timbang/kotak timbangan yang kosong pada dacin 6. Seimbangkan dacin ynag telah dibebani dengan sarung timbang/celana timbang dengan memberi kantung plastik yang berisikan pasir/batu diujung batang dacin, sampai kedua jarum di atas tegak lurus. 7. Dacin siap digunakan. Peran serta masyarakat sangat mendukung dengan rutinya menghadiri kegiatan penimbangan/posyandu, disini juga menjadi tempat sarana bagi meraka untuk berkumpul dan bercengkrama antar satu dan yang lain, dan tidak jarang juga banyak yang membawa makanan atau hasil kebun mereka untuk dimakan atau diberikan



93



kepada petugas kesehatan yang ada, banyak juga yang mengkonsulkan diri tentang kesehatan balitanya, yang susah makan, berat badan yang tidak naik. Kegiatan posyandu/penimbangan ini sendiri sudah menjadi tempat kedua mereka untuk berkumpul dan temu ramah dengan petugas kesehatan dari puskesmas. Ada satu desa dan 1 keluarga yang sangat dekat dengansalah satu petugas Puskesmas, ibu M ini sangat dekat dengan petugas gizi Puskesmas Peudawa, saat dikunjungi oleh petugas gizi ini ibu M selalu terlihat bahagia dan selalu menyediakan buah tangan untuknya, dia bangga dengan kunjungan yang dilakukan petugas gizi puskesmas setiap minggunya. Petugas gizi sendiri turun untuk melakukan pemantauan terhadap anaknya yang masuk ke daftar gizi kurang,untuk melihat pertumbuhan dan kesehatan balita ibu M sendiri. Bu M ini merupakan informan kunci yang telah mengalami 18 kali kehamilan dengan berat badan bayi lahir maupun balitanya termasuk dalam kategori BGM (Bawah Garis Merah).Pemantauan ini dilakukan 2 minggu sekali, tapi petugas gizi Puskesmas Peudawa menyempatkan diri untuk bisa turun sesering mungkin kerumah ibu M, untuk melihat keaadan balita gizi kurang agar tidak luput dari pemantauan dan pemberian makanan tambahan agar tepat sasaran. Ibu Mmerasa senang dengan kunjungan dari petugas kesehataan yang mengunjungi rumahnya, dia mengatakan bahwa: “Ibu desi ini (petugas gizi puskesmas) sayang sekali dengan anak-anak saya,dia selalu mengunjungi saya setiap seminggu sekali untuk melihat keadaan anak saya dan selalu membawakan saya roti dan susu”.



Petugas gizi sendiri memang wajib melakukan pemantauan bagi balita gizi kurang agar dapat mencegah hingga terjadinya gizi buruk. Sehingga petugas gizi sendiri rutin mengunjungi rumah balita



94



yang statusnya gizi kurang untuk melakukan pemantauan berat badan dan kesehatan balita tersebut, untuk dicatat dan dilakukan pemantauan rutin tumbuh kembang dan mengurangi angka gizi kurang. Usaha dari petugas kesehatan sendiri sudah baik untuk memberikan penyuluhan dan konseling kepada orang tua yang untuk mencegah anaknya masuk ke gizi kurang bahkan gizi buruk. Namun orang tua yang ada masih tidak peduli dengan konseling atau pengetahuan yang diberikan oleh petugas kesehatan, seakan anak mereka yang sakit itu adalah tanggung jawab petugas kesehatan itu sendiri. Pola pikir masyarakat terhadap kesehatan anak dan keluarga masih di bebankan ke petugas kesehatan. Sampai hal pemberian makanan untuk anaknya orang tua masih menyerahkan sepenuhnya kepada petugas kesehatan, saat susu habis mereka datang ke puskesmas untuk memberi tahu bahwa susunya habis. Tidak jarang mereka memintasusu kepada petugas gizi. PMT (Pemberian Makanan Tambahan) disiapkan oleh kader untuk dibagikan saat kegiatan penimbangan/posyandu, kader membuat PMT dengan bahan makanan yang di peroleh didaerah setempat yang beraneka ragam dan bergizi, dari bubur kacang hijau, telur rebus, sop daging, tergantung dana desa yang mencukupi, karena pendanaan PMT dibebankan kepada anggaran desa. 3.10Potret Penyakit Tidak Menular 3.10.1 Hipertensi Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berlanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke, hipertensi



95



menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi49 Jumlah kejadian hipertensi di Puskesmas Peudawa pada bulan Januari 2015 sebanyak 20 orang. Sedangkan pada bulan Februari terdapat sebanyak 20 orang. Kemudian pada bulan April meningkat menjadi 23 orang50. 3.10.2. Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) atau disingkat Diabetes adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal, terutama di kalangan keluarga “berbadan besar” (kegemukan) bersama dengan gaya hidup “tinggi”. Kenyataannya kemudian, DM menjadi penyakit masyarakat umum, menjadi beban kesehatan masyarakat, meluas dan membawa banyak kematian51. Jumlah kejadian diabetes melitus di Puskesmas Peudawa pada bulan Januari 2015 sebanyak 26 orang. Sedangkan pada bulan Februari terdapat jumlah kunjungan menurun sebanyak 11 orang. Kemudian pada bulan April pun sama dengan bulan Februari yakni sebanyak 11 orang52. 3.10.3 Gangguan Mental: Depresi, dan Skizofrenia Terdapat 8 pasien dengan riwayat depresi, serta 12 pasien dengan riwayat Skizofrenia sampai dengan bulan April 2015 di wilayah kerja Puskesmas Peudawa dan terdapat 2 orang pasien baru 49



Bustan M.N, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. 2007, Hal 60. 50 Laporan Bulanan Penyakit Tidak Menular Puskesmas Peudawa Tahun 2015. 51 Bustan M.N, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. 2007, Hal 100. 52 Laporan Bulanan Penyakit Tidak Menular Puskesmas Peudawa Tahun 2015.



96



skizofrenia yang dirujuk ke RSJ Banda Aceh karena mengamuk. Pengobatan pasien dengan gangguan mental membutuhkan pengobatan dengan tempo waktu yang tidak singkat, bisa bertahuntahun karena terganggunya atau ketidakseimbangan hormon di dalam otak pasien. Menurut paparan Junaedi selaku petugas yang menangani kasus gangguan mental di Puskesmas Peudawa. “itu yang depresi dan skizo satu keluarga ada 2 orang, kakak dan adik, dua-duanya perempuan Yusra dan Mursida.. kakaknya Mursida skizofrenia, dan adiknya Yusra depresi,.. suka menyendiri, kakaknya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Banda Aceh karena mengamukmengamuk, melempar batu ke rumah-rumah masyarakat, mengambil barang-barang.. depresinya karena keluarga “broken home53”, persoalan ekonomi keluarga, tidak cocok dengan orang tua”.



Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kejadian Skizofrenia. Dari 12 pasien yang tercatat ada pasien yang tidak konsul kembali sebanyak 6 orang pada bulan februari dan terdapat 8 pasien yang konsul pada bulan Maret, lalu terdapat 6 pasien yang konsul pada bulan April. Peneliti kemudian menelusuri mengapa jumlah pasien tidak sama pada setiap bulannya. Menurut Junaedi ada pasien yang putus obat, kemudian sebagian ada juga yang kambuh dan merepotkan warga sehingga di rujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Banda Aceh. Terdapat hal lain yang menarik yang berkaitan dengan BPJS. Menurut paparan Junaedi sebagai penanggungjawab gangguan mental Puskesmas Peudawa.



53



Broken home adalah istilah yang digunakan untuk keluarga yang tidak harmonis maupun bercerai.



97



“jumlah obat dibatasi selama ada BPJS ga jelas lah pengobatan pasien dengan gangguan jiwa ni. Dulu bisa setiap seminggu persediaan obat diberikan kepada pasien.. sekarang hanya dapat 3 hari saja yang dapat diberikan kepada pasien..”.



Dari penelusuran ini, peneliti menggali lebih dalam tentang pemberian obat, jenis obat, hingga dukungan keluarga. Pendeknya jarak waktu pemberian obat ini beresiko membuat keluarga pasien maupun pasien itu sendiri menjadi “malas berobat” ke Puskesmas. Dalam hal ketersediaan obat selama sistem BPJS ini Puskesmas mendapatkan obat yang terbatas dari Dinkes Aceh Timur. Obat yang diberikan untuk pasien depresi dan skizofrenia nyatanya sama yakni Chlorpromazine (CPZ), Haloperidol, Triheksiperidil (THP). “disini obat cuma tiga macam.. CPZ, Haloperidol, dan THP. Skizo dan depresi obatnya sama.. sejak ada BPJS ni kadang haloperidol ada eh CPZnya nda ada.. atau sebaliknya CPZnya ada haloperidolnya yang tidak ada.. jadi kek (kayak) mana (gimana)..”.



Hal tersebut diperkuat oleh orangtua dengan anaknya yang menderita skizofrenia. Sutriah, 58 tahun, bersama dengan suaminya membawa Khairunnas, 34 tahun, minta dirujuk ke RSJ Banda Aceh, karena pasien merasa sedang kambuh, ditandai dengan tingkat emosi yang tinggi dan mengamuk-ngamuk. “Anak saya.. sudah sakit 2 tahun, sejak tahun 2014 pernah dibawa sekali ke Banda Aceh. Lalu minum obat setiap hari dengan 3 macam obat.. setelah membaik ga diminum lagi obat.. ini anaknya sendiri yang minta dirujuk ke Banda Aceh, karena sakit sekali kepalanya, serasa ingin dicopot, dan dipukulpukulnya terus kepalanya... kalau di RSU Idi.. anak saya dikasih 6 macam obat... anak saya tu pintar mengaji, bagus suaranya



98



ketika mengaji, hafal surat-surat, tapi entahlah sakitnya tu.. mana ada yang mau menikah sama anak saya”.



Menurut keterangan dari Junaedi penyebab terjadinya skizofrenia diantaranya karena ikut-ikut pengajian, belajar-belajar kitab, hingga penggunaan ganja. “yaa itulah, orang tu ada ikut-ikut pengajian aliran apa entah, belajar-belajar kitab,.. terus pakai ganja juga diluar sepengetahuan orang tua.. ada juga yang anak orang kaya skizo karena minta belikan motor sama orangtuanya tapi tidak kesampaian..”.



Tentang lamanya pengobatan, petugas program gangguan mental menyatakan bahwa: “ada yang sudah 10 tahun berobat, ada yang sudah mandiri berobat sendiri ke Puskesmas, ada yang sudah mampu bekerja sambil rawat jalan, ada yang sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak”. “kalau pasien sudah kambuh, dan lari-lari.. nanti ditangkap oleh polsek, lalu kami suntikkan diazepam atau CPZ, lalu malam langsung kami bawa ke Banda...”.



Dalam pandangan peneliti, penderita depresi maupun skizofrenia selayaknya tidak dilayani di tingkat puskesmas. Minimal pengobatan dirujuk ke RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) di poli jiwa. Hal tersebut karena pasien dengan gangguan mental sepatutnya ditangani oleh psikiater, bukan petugas puskesmas yang penanggungjawabnya adalah seorang perawat. Terdapat kebiasaan merujuk pasien yang kambuh langsung dibawa ke rumah sakit jiwa di Banda Aceh, dan hal tersebut dalam



99



pandangan peneliti tidak efektif maupun efisien. Setiap kali dirujuk ke Banda Aceh membutuhkan waktu pulang pergi 18 jam, dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit yakni minimal Rp. 500.000,00. Skizofrenia tampaknya menjadi suatu hal yang biasa saja di wilayah kerja Puskesmas Peudawa. Pola minum obat yang tidak rutin pun atau putus obat sudah biasa terjadi sehingga dalam kurun waktu 6 bulan, selalu saja ada yang kambuh dan mengamuk. Menurut penelusuran peneliti, penanggungjawab gangguan mental di puskesmas tidak memberikan edukasi mengenai keteraturan minum obat maupun tidak memberikan edukasi mengenai efek samping obat-obatan tersebut. Penanggungjawab gangguan mental yang seorang perawat disini menurut peneliti tidak memahami sepenuhnya mengenai gangguan mental secara komprehensif. Hal tersebutlah yang membuat peneliti berfikir bahwa, hal ini menjadi penting. Mengapa penting?, hal ini perlu menjadi sorotan, dan diubah pola pengobatannya untuk ke depan. Semua penderita skizofrenia patut dirujuk ke RSUD dan ditangani langsung oleh psikiater, karena dalam hal ini penyakit skizofrenia tidak dapat diatasi di level pelayanan primer, namun sekunder yakni RSUD. Akses menuju RSUD pun tidak jauh di Ibukota Kabupaten yakni Kota Idi. Hal tersebut pun jauh lebih efektif dan efisien, selain gratis, obatnya pun beragam dan diberikan per 2 minggu.Hal tersebut dalam pandangan peneliti dapat membuat kondisi pasien dapat membaik. 3.10.4 Cedera: Studi Kasus di UGD 24 jam Puskesmas Peudawa Cedera atau luka adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh karena suatu paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi. Cedera terdiri dari berbagai macam jenis yaitu 1) luka bakar yang merupakan cedera yang diakibatkan oleh sesuatu yang panas; 2) patah tulang atau fraktur yakni cedera pada tulang; 3) luka pada kulit



100



yang dapat mengakibatkan pendarahan atau hanya lecet; 4) memar yakni pendarahan di dalam tubuh, di kulit terlihat warna kebiruan; 5) luka fisik serius yakni luka pada tubuh (fisik) yang dapat berakibat kematian pada korban54. Pada tanggal 1 Mei 2015, tepatnya pukul 15.30 WIB, datanglah pasien wanita, cedera dengan kondisi kaki berdarah-darah, ibu tersebut diantarkan oleh adik laki-lakinya dengan menggunakan kendaraan bermotor atau kereta55. Tihadanah, 45 tahun mengalami luka sobek yang luas dan lebar pada permukaan atas kulit kaki akibat terkena parang seperti yang dikatakan oleh bidan UGD Puskesmas Peudawa, “ibu ni luka terkena parang kakinya buk...”. Dokter Ririn langsung keluar menuju ruang UGD untuk memeriksa kondisi bu Tihadanah. Dokter tersebut setelah melihat luka di kaki ibu tersebut langsung mengambil keputusan untuk menjahit permukaan atas kulit bu Tihadanah dengan sebelumnya disuntikkan obat penghilang rasa nyeri. Ibu Tihadanah diberi infus pada tangan kanannya. Peneliti menunggu waktu yang tepat untuk dapat berbincang dengan bu Tihadanah, dan kembali ke rumah dinas Puskesmas. Setelah 30 menit berlalu, dokter Ririn kembali ke rumah dinas dan mengatakan bahwa ibu tersebut harus dirujuk ke RSU di Idi56, “sampai tendon sudah itu lukanya, dirujuk saja..”.



Sambil menunggu mobil ambulance datang ke Puskesmas, peneliti menjenguk pasien tersebut sambil berbincang-bincang ringan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Peneliti menanyakan kronologi mengapa ibu tersebut bisa terkena parang. Ditengah perbincangan beliau bercerita kalau beliau sedang hamil. 54



Diakses pada tanggal 3 Mei 2015, id.wikipedia.org/wiki/cedera



55



Kereta adalah sebutan orang Aceh yang bermakna sama dengan sepeda motor.



56



Idi adalah ibukota kabupaten Aceh Timur.



101



“saya taruh parang untuk memotong kayu di bawah meja, saat saya sedang berjalan saya tersepak (tidak sengaja menendang) parang.. saya takut lihat kaki saya, lalu saya terjatuh, lutut saya pun ikut kena (lecet).. saya hamil ini.. baru masuk 8 bulan.. suami dan anak pergi ke ladang sawit.. ada adik di rumah, antarkan saya ke Puskesmas.. saya tinggal jauh dari sini, lebih jauh dari bukit blang kuta (nama desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Peudawa)... saya tinggal di bukit.. jauh setengah jam dari bukit ke sini”.



Setelah mengetahui bahwa pasien sedang hamil, peneliti langsung menginformasikan kepada dokter Ririn, dokter langsung menanyakan ibu tersebut apakah sudah pernah di imunisasi selama masa kehamilan. Ibu tersebut mengatakan selama hamil empat orang anak tidak pernah satu kali pun disuntik. Baru sekali ini disuntik seumur hidup, yakni suntikan untuk penahan rasa nyeri. Tidak lama kemudian suami datang ke UGD Puskesmas membawa kartu keluarga (KK), karena kartu tanda penduduk (KTP) bu Tihadanah tidak ditemukan. Kemudian mobil ambulance pun datang dan lalu sang ibu dibawa ke RSU Idi. Pada hari berikutnya terdapat temuan cedera lagi di UGD Puskesmas Peudawa. Seorang balita, Zahratul Dahwah, 19 bulan terjatuh dan kulit kepala tepatnya di dekat alis mata mengalami luka terbuka seukuran 2 x 0,3 cm yang cukup dalam. Saat itu dokter sedang tidak di tempat, dan bidan serta perawat yang berjaga saat itu juga tidak berani menjahit luka tersebut. Permasalahan berikutnya yakni nama dan status Zahra belum dimasukkan ke dalam KK, sehingga UGD tidak bisa memberikan pelayanan gratis kepada balita tersebut. Zahra diberikan beberapa macam obat untuk persediaan 3 hari, dan hari Senin tanggal 4 Mei 2015 seharusnya Zahra dibawa lagi ke Puskesmasuntuk mengganti kasa dan diperiksa apakah terdapat infeksi karena luka belum dijahit. Namun hingga hari Selasa tanggal 5 102



Mei 2015, orang tua Zahra belum juga membawa Zahra ke Puskesmas untuk diperiksakan kembali kondisi lukanya. Selain kasus cedera yang dialami oleh Zahra, terdapat beberapa kejadian cedera yang dibawa ke UGD Puskesmas Peudawa yang tidak dapat peneliti deskripsikan satu-persatu. Kejadian cedera lainnya yakni balita yang tulang jari jempolnya patah karena terjepit pintu besi. Lalu kejadian berikutnya yakni kaki yang tertusuk paku, tangan yang terluka karena terkena pisau. Cedera akibat kecelakaan lalu lintas pun terdapat beberapa kasus yang menyebabkan luka pada kepala, tangan, maupun kaki, baik luka sobek maupun lecet. Pada tabel di bawah akan dijabarkan rekapitulasi kejadian per bulan. No.



Kecelakaan Lalu Lintas



Jumlah Kasus



1 2 3 4



Januari Februari Maret April



15 16 22 22



Tabel 3.7. Rekapitulasi Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Sumber: Laporan Penyakit Tidak Menular Puskesmas Peudawa 2015



Menurut pengamatan peneliti di sepanjang jalan Banda Aceh – Medan, para pengguna kendaraan bermotor roda dua, hampir seluruhnya tidak menggunakan helm57. Petugas Puskesmas pun mayoritas tidak menggunakan helm. Kebiasaan tidak menggunakan helm dapat beresiko terkena cedera pada kepala akibat kecelakaan lalu lintas. “kebanyakan itu laki-laki kak yang cedera karena membawa keretanya ngebut” ujar dokter Ririn.



57



Helm adalah alat pelindung kepala yang digunakan saat menggunakan kendaraan roda dua.



103



3.11. Potret Penyakit Menular Pada poin penyakit menular ini peneliti tidak mendapatkan banyak data di lapangan. Temuan yang didapatkan adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada bulan Januari, Februari, Maret tahun 2015 berturut-turut pada balita yakni 52 kasus pada bulan Januari, 46 kasus pada bulan Februari, dan 69 kasus pada bulan Maret. Pada penelitian Elyana58 dipaparkan bahwa status gizi merupakan faktor penting terjadinya ISPA, karena status gizi yang buruk biasanya disertai dengan status imun yang buruk sehingga meningkatkan risiko terjadinya ISPA. Menambahkan dari temuan Nasution dkk59 bahwa faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan kejadian ISPA adalah pajanan asap rokok dan riwayat imunisasi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Kecamatan Peudawa, Kabupaten Aceh Timur mengalami ketidaktercapaian imunisasi lengkap pada bayi serta adanya perilaku merokok di dalam rumah. Hal tersebut dapat beresiko untuk kejadian ISPA pada balita.



58



Elyana, M,. Candra A,. Hubungan Frekuensi Ispa Dengan Status Gizi Balita. Journal of Nutrition and Health. Vol 1, No.1 .2013. Universitas Diponegoro. 59



Nasution K, dkk, Infeksi Saluran Napas Akut Pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri Vol 11 No 4, Desember 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



104



BAB 4 DILEMA PROGRAM KELUARGA BERENCANA



Ketika kita berbicara tentang KB (Keluarga Berencana) maka ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yakni: 1) aspek kesehatan, 2) penambahan penduduk, dan 3) kualitas60. Ketika berbicara mengenai aspek kesehatan maka akan berkaitan dengan kesehatan neonatus dan balita apabila termasuk dalam PUS 4T (pasangan usia subur 4T) 4T disini merupakan singkatan dari “terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, terlalu dekat”. Dari pengamatan peneliti ada hubungan antara 4T dengan kesehatan anak khususnya. Bayi ataupun balita dengan kasus PUS 4T lebih banyak yang mengalami gizi kurang maupun BGM (Bawah Garis Merah). Hal tersebut dikarenakan dekatnya jarak kelahiran anak sehingga tidak mendapatkan asi eksklusif, kekurangan nutrisi karena ibu tidak fokus dalam pengasuhan anak, serta pemberian makanan nasi pisang yang dihaluskan pada bayi. Keluarga berencana merupakan suatu cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan risiko tinggi. Keluarga berencana tidak dapat menjamin kesehatan ibu dan anak, tetapi dengan melindungi keluarga terhadap kehamilan risiko tinggi, KB dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi angka kesakitan. Kehamilan risiko tinggi dapat timbul pada; kehamilan < usia 18 tahun, kehamilan > usia 35 tahun, kehamilan setelah 4 kelahiran, kehamilan dengan interval/jarak < 2 tahun61. Hartanto dalam bukunya menyebutkan 60



Paparan KIA, Workshop Pengumpulan Data Riset Etnografi Kesehatan. Surabaya. April 2015. 61



Hartanto, H. KB:Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 2004.



105



bahwa kehamilan > 4 anak/spacing< 2 tahun beresiko: berat badan lahir rendah, nutrisi kurang, waktu/lama menyusui berkurang, lebih sering terkena penyakit, kompetisi dalam sumber-sumber keluarga, tumbuh kembang lebih lambat, pendidikan/intelegensia dan pendidikan akademis lebih rendah62. Tabel dibawah berikut merupakan sampel data yang peneliti ambil, tidak terlalu banyak variasi antara bulan yang satu ke bulan yang lain. Tabel 4.1 Laporan KB Bulan Januari Tahun 2015 No.



Desa



1 Gp. Keude 2 Snb. Peunteut 3 Meunasah Krueng 4 Kuta Baro 5 Blang Buket 6 Seunebok Tengoh 7 Asan Rampak 8 Kuala Peudawa 9 Alue Ie Itam 10 Matang Rayeuk 11 Sama Dua 12 Paya Dua 13 Paya Bili Sa 14 Paya Bili Dua 15 Alue Batee 16 Blang Kuta 17 Buket Kuta Jumlah



Jumlah PUS 343 217 146 58 58 69 49 71 143 77 76 291 34 60 38 109 217 2.056



Sasaran Jumlah PUS Miskin 180 211 153 57 39 38 51 35 142 30 49 155 5 40 24 80 200 1.489



Jumlah PUS 4T 50 89 32 10 11 8 4 0 45 30 10 166 4 10 0 10 0 479



KB Aktif (%) 5,25 9,22 7,53 3,45 22,41 14,49 20,41 21,13 10,49 10,39 6,58 12,37 5,88 10,00 18,42 1,83 0 -



Sumber: Laporan Bulanan KB Puskesmas Peudawa Tahun 2015



62



Hartanto, H. KB:Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 2004.



106



Hal yang menarik disini adalah tentang kisah nyata seorang ibu yang hamil sebanyak 18 kali. Dari 18 kehamilan, terdapat 10 anaknya hidup dengan menyumbang BGM (Bayi Garis Merah) setiap tahunnya. Lalu kami ingin menelusuri lagi, ternyata ada banyak keluarga yang anaknya berjumlah 5 ke atas. Tabel 4.2 Jumlah anak di atas 5 per KK No. Nama Desa Jumlah anak > 5 orang per KK 1 Asan Rampak 5 2 Sinebeuk Punteut 17 3 Matang Rayeuk 10 4 Alue Batee 8 5 Blang Buket 4 6 Kuala Peudawa 10 7 Gampong Keude 32 8 Kuta Baro 7 9 Snb Teungoh 10 10 Paya Dua 31 11 Alue Itam 34 Sumber: Data KK per Desa di Wilayah Kerja Kecamatan Peudawa



Dengan ketidakberjalanannya program keluarga berencana, maka Kecamatan Peudawa turut berkontribusi dalam penambahan dan pelonjakan jumlah penduduk di tahun 2035. Kemudian dari segi kualitas, dari penelusuran peneliti, mayoritas anak bersekolah sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), tidak banyak yang sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada pula anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD) karena ikut membantu ayahnya untuk berkebun sawit. 4.2. Hak-Hak Reproduksi Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan mempunyai anak, dan jarak antara anak yang



107



dikehendaki. Salah satu indikator terpenuhi atau tidak terpenuhinya hak reproduksi digambarkan dalam derajat kesehatan reproduksi masyarakat, seperti rangka cakupan pelayanan KB dan partisipasi lakilaki dalam keluarga berencana (makin rendah angka cakupan layanan KB, makin rendah derajat kesehatan reproduksi). Kemudian dilanjutkan dengan jumlah ibu hamil dengan 4T atau 4 Terlalu – terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak (makin tinggi jumlah ibu hamil dengan 4T, semakin rendah derajat kesehatan reproduksi)63. Berkaca dari paparan tentang hak reproduksi serta derajat kesehatan reproduksi, Kecamatan Peudawa Aceh Timur termasuk dalam 2 kategori yang dijelaskan tentang cakupan layanan KB, dan kasus hamil dengan 4T. Dari kedua hal tersebut dapat dikatakan derajat kesehatan reproduksi rendah. Karena kurangnya cakupan layanan KB, serta banyaknya kasus 4T. 4.3. Kehamilan yang Tidak Diinginkan dan Aborsi Unwanted pregnancy atau dikenal dengan kehamilan yang tidak diharapkan merupakan suatu kondisi ketika pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran dari suatu kehamilan. Kehamilan ini bisa merupakan akibat dari suatu perilaku seksual, baik yang disengaja atau pun tidak disengaja64. Salah satu faktor mengapa kehamilan ini tidak diinginkan, yakni tidak menggunakan alat kontrasepsi terutama untuk perempuan yang sudah menikah. Dari 18 kali kehamilan Ibu M, terdapat 5 kasus keguguran, dan 3 balitanya meninggal. Dari salah satu anaknya yang masih hidup, terdapat 1 orang anak yang tetap hidup walaupun ada usaha menggugurkan kandungan menurut pengakuan Ibu M. Menurut 63



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 3-4. 64



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 60-61.



108



pemaparan petugas kesehatan, “itu yang 5 kali keguguran kami curiga sengaja digugurkan”. Namun ketika ditanyakan kepada bu M, beliau mengakui tentang salah seorang anaknya yang sudah ada upaya digugurkan namun tetap hidup. 4.4. Status Sosial Perempuan Status sosial adalah kedudukan seseorang di dalam keluarga dan masyarakat. Menurut Sukanto Soerjono (1990), status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, yang bisa diartikan sebagai lingkungan pergaulan, prestise, serta hak-hak dan kewajibankewajibannya. Status sosial akan mempengaruhi perlakuan terhadap seseorang, penghargaan terhadap seseorang, dan tindakan yang boleh dilakukan seseorang65. Salah satu faktor yang mempengaruhi status perempuan adalah rendahnya kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan sering dinomorduakan dalam kehidupan terutama budaya yang menganut paham patriarki di mana seorang laki-laki dianggap orang yang berkuasa dalam rumah tangga. Sehingga tidak jarang perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusankeputusan penting, bahkan untuk dirinya sendiri, lebih diserahkan kepada laki-laki (suami), bapak dan keluarga. Dampak status sosial yang rendah akan berdampak kepada kesehatan perempuan yakni ancaman kesehatan reproduksi tinggi dan akses yang rendah ke fasilitas pelayanan kesehatan karena sering dibatasi dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan dirinya sendiri misalnya dalam ber-KB66.



65



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 101. 66 Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 101-103.



109



Paparan tentang status sosial perempuan di kultur patriarki dan dampak kesehatan dalam ber-KB merupakan temuan di Kecamatan Peudawa, Aceh Timur. Mayoritas perempuan disini dilarang untuk ber-KB oleh suami dengan alasan nanti libido istri akan berkurang. Desas-desus yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang menggunakan pil, IUD atau suntikan akan berkurang gairah seksnya dan akan kehilangan hasrat untuk mengadakan hubungan seks, tersebar di kalangan kaum pria. Desas-desus semacam itu merupakan salah satu dasar kecurigaan yang menyebabkan sebagian kaum pria menentang pemakaian metode-metode ini67. “banyak yang istrinya pergi diam-diam ke bidan atau puskesmas tanpa sepengetahuan suaminya untuk KB suntik setiap 3 bulan, kalau pil KB tidak berani mereka, karena khawatir ketahuan suami”.



4.5. Kondisi Sosial Budaya Yang Memengaruhi Gender Kondisi sosial budaya adalah keadaan atau kondisi yang sengaja dan/atau tidak disengaja dicipta atau dikreasi oleh orangorang yang tinggal dalam teritorial tertentu, kemudian menjadi sebuah kelaziman, lalu dengan sendirinya terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bahkan menjadi identitas atau ciri khas daerah/wilayah tersebut68. Terdapat beberapa gambaran kondisi sosial budaya patriarkat yaitu suatu budaya di mana yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga di pihak ayah. Budaya ini menjadikan perempuan sebagai subordinasi perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki yang selayaknya ditempatkan di wilayah 67



Bogue, D.J, Rintangan Komunikasi dalam Keluarga Berencana. Aquarista Offiset. Jakarta. 1978. Hal 16. 68



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 141.



110



domestik – dapur, sumur, dan kasur. Parahnya budaya patriarkat juga memenjarakan pikiran perempuan itu sendiri, sehingga, mereka pun meyakini bahwa tempat mereka memang di ranah domestik69. Kemudian patrial control. Dalam rumah tangga, perempuan tidak diberi peran dalam pengambilan keputusan bahkan untuk kepentingan pribadi. Segalanya tetap didominasi suami. Istri kerap menjadi korban dari keputusan salah yang diambil oleh suami. Misalnya, suami menyerahkan urusan anak kepada istri, sementara pengetahuan istri tentang hal tersebut tidak ada70.



71



72



. Pada penelitian terdahulu, beberapa faktor yang mempengaruhi unmet need ini adalah takut efek samping dan dilarang pasangan73. Kasus ini pun terjadi di Kecamatan Peudawa, Kabupaten 69



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 142. 70



Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 2012. Hal 142. 71



Hasil Riskesdas 2013, Hal 202.



72



Bushan I. 1997. Understanding unmet need. The John Hopkins School of Public Health. Center for communication program. Working paper no 4. November 1997. 73



Sopacua, E., Widjiartini,. Profil Kesehatan Perempuan 15-49 tahun Berstatus Kawin dengan Unmet Need Pemakaian Kontrasepsi di Indonesia. Balitbangkes. Surabaya. 2010.



111



Aceh Timur. Para ibu merasa dadanya sakit dan tidak enak badan ketika menggunakan metode kontrasepsi pil maupun suntik. Sehingga mereka tidak melanjutkan pemakaian alat kontrasepsi. Mereka pun enggan memakai metode kontrasepsi yang lain. Lantas apa yang terjadi?, jumlah anak menjadi banyak dan jarak kelahiran anak begitu dekat. Sebagian dari mereka, Rufasah, 42 tahun, sudah merasa “capek” ketika diwawancarai oleh peneliti saat posyandu, sehingga muncul keinginan untuk melakukan tubektomi. Ibu Rufasah ini memiliki 9 orang anak. Lalu tidak jauh dari polindes, terdapat keluarga yang memiliki 10 orang anak dengan usia bapak dan ibunya sudah menua, namun masih ada balita yang digendong. Faktor lain pun ada yakni dilarang oleh suami menggunakan alat kontrasepsi, dengan alasan nanti kalau pakai KB sama juga seperti membunuh anak yang merupakan titipan dari Allah. Selain itu efek samping menurunnya libido sang istri jika menggunakan alat kontrasepsi membuat suami melarang istrinya ber-KB. Sehingga seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, istri sembunyi-sembunyi pergi ke bidan desa maupun puskesmas untuk ber-KB tanpa sepengetahuan suami. Aneuk Bak Allah



112



Gambar 4.1. Keluarga Pak S Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei, 2015



-



“Anak itu dari Allah”



113



“Waktu itu orang rumah sakit (maksudnya petugas Puskesmas) bilang kehamilan saya berisiko, katanya harus melahirkan di Rumah Sakit Idi. Tapi saya tidak mau, takut dioperasi. Lalu saya minta didoakan oleh Tengku. Alhamdulilah anak saya si Putri ini lahir sendiri, belum sempat dibawa ke mana-mana dia keluar sendiri (bu M kemudian tertawa). Setelah lahir, bapaknya (maksudanya pak S, suami bu M) meminta tolong Mak Nukasah untuk memandikan bayi”.



-



“Kalau ada mak Nukasah kita rasanya aman, tidak kuatir. Mak Nukasah seperti keluarga sendiri, seperti orang tua sendiri”, kata bu M. “Semua orang di sini pasti memanggil mak Nukasah, biarpun sudah ada bidan desa. Bidan desa itu masih muda-muda dan kurang akrab dengan kita, jadi kita kadang-kadang masih was-was”



Selama ini peranan seorang Biden atau Bidan kampong sangatlah besar dalam proses persalian di pedesaanAceh. Ketika bayi keluar



114



dari rahim seorang ibu, maka bayi tersebut disambut oleh Sang biden. Sang biden akan mengikat pangkal pusarnya (pusatnya) si bayi. Jumlah ikatan bergantung pada jenis kelamin sang jabang bayi. Jika jenis kelaminnya laki-laki, maka jumlah ikatannya ada 7 ikat. Sedangkan, jika jenis kelaminnya perempuan, maka jumlah ikatannya ada 5 ikat. Selanjutnya, tali pusar dipotong dengan sebilah bambu (sembilu), lalu ditempeli (diobati) dengan ramuan yang terbuat dari arang, kunyit, dan air ludah, kemudian sang bayi dimandikan(Hidayah, Z. 1996)74. Ketika bayi sudah bersih, maka diserahkan kepada ayahnya atau kakeknya. Jika bayi itu laki-laki, maka ayah atau kakeknya akan memperdengarkan adzan ke telinganya. Akan tetapi, jika bayi itu perempuan, maka cukup dengan memperdengarkan iqamah. Makna simbolik yang ada di balik adzan dan iqamah itu adalah penyambutan atas hadirnya seorang muslim atau muslimat. Sedangkan, pesan yang terselubung di dalamnya adalah agar kelak menjadi seorang penganut agama Islam yang taqwa (menjalani aturan-aturan agama (Islam) dan menghindari larangan-larangannya). Setelah itu, bayi dibaringkan di samping ibunya. Sementara itu, adoi (teman bayi/ari-ari) dimasukkan pada sebuah periuk, kemudian diberi bebungaan dan wewangian, lalu ditanam di halaman rumah. Makna simbolik yang terkandung dalam bebungaan dan wewangian tersebut adalah kebersihan dan kecantikan. Jadi, pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar bagi kelak dapat menghargai kebersihan dan kecantikan75.



74



Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. ibid



75



115



-



-



-



“Sembilan bulan di dalam perut, si bayi tidak makan apa-apa, masak sekarang setelah lahir juga tidak dikasih makan? Bisa mati dia”



“Hidup dan Mati itu sudah takdir”



. “ini sakit rumah sakit, jadi kemudian kami mau bawa ke Puskesmas, tapi terlambat, si bayi meninggal di rumah, ya itulah takdir Allah”



116



Terkait kematian anak Ibu M, bidan desa yang sebelumnya memantau perkembangan anak bu M beberapa tahun yang lalu. Bidan desa tersebut lupa balitanya Ibu M yang keberapa yang meninggal menyatakan bahwa; “aduh saya lupa sudah lama sekali sejak saya jadi bidan desa di desa paya bili dua, itu anaknya balita, sakit diare, sebelumsebelumnya sudah dibawa ke mantri sana-sini, disemburlah apalah, akhirnya di rujuk ke rumah sakit di Langsa sebelum adanya pemekaran daerah.. setelah 2 hari di rumah sakit di Langsa, bu M itu minta anaknya dipulangkan saja dengan alasan di rumah tidak ada yang mengurus rumah, padahal belum sembuh betul itu anaknya, setelah dibawa pulang ke rumah... anaknya tu meninggal, itu saja yang bisa saya ingat”



Anggota keluarga atau kerabat tidak akan meratapi kematian. Mereka percaya bahwa ratapan akan menyulitkan orang yang mati di akhirat. Anggota keluarga terdekat biasanya hanya menangis pelan dan terahan-tahan.



117



-



“Kita ini hanya berikhtiar, mencari rejeki untuk keluarga, kalau saya ihtiarnya dengan berjualan ikan keliling kampong”



-



-



-



“Alhamdulillah, biar sedikit ada-lah rejeki anak-anak. Anak saya yang pertama sudah lulus SMK sekarang merantau ke Banda Aceh, cari kerja. Adiknya si Nurjannah juga baru lulus SMA. Adikadiknya yang lain juga sekolah…”



118



76



-



-



-



76



Laporan Pemegang Program Gizi Puskesmas Peudawa



119



-



-



-



-



120



-



-



-



-



-



-



-



-



Gambar 4.2. Ayunan Putri di Panthe Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015.



121



-



-



-



-



122



Gambar 4.3. Anak-anak bermain di Panthe Sumber: Dokumentasi Peneliti, Mei 2015.



-



-



-



-



-



123



-



-



-



-



meurampot atau kemasukan setan. Meurampot biasanya dianggap tidak berbahaya dan sifatnya sementara, dan bisa disembuhkan. Bu M kemudian memanggil seorang Tengku yang biasa mengobati orang yg terkenameurampot. Metode yang digunakan tengku untuk mengobati Nurjanah adalah dengan memberikan segelas air putih yang sudah dijampi-jampi. Sakit Nurjannah mereda, tapi hanya sebentar. Dua hari kemudian Nurjannah mengeluh sakit pada lambungnya. Kali ini Nurjannah dibawa ke Puskesmas Peudawa. Bu M meminta Nur dirujuk ke RSUD Idi. Nurjanah akhirnya di bawa ke Idi dan dia didiagnosa mengidap typus sehingga harus beristirahat total selama beberapa hari.



124



Selama Nurjannah sakit, banyak pekerjaan rumah tangga menjadi makin terbengkalai. Pakaian kotor berhari hari tidak dicuci, begitu pula dengan peralatan dapur. Adik-adik Nurjanah juga semakin jarang mandi, makan juga semakin tidak teratur. Sofi dan Nanda yang sedikit lebih besar secara begantian mengasuh Putri, mereka belum bisa memandikan adik bayinya itu. Sebelumnya, kami pernah bertanya kepada bu M apakah dia merasa kerepotan mengurus anak-anak yang banyak itu. Bu M mengatakan bahwa dia tidak merasa repot karena anak-anaknya bisa saling membantu. Si kakak bisa mengasuh si adik. Hal seperti ini memang sudah menjadi tradisi di desa ini. Akan tetapi dalam pengamatan kami tampak bahwa anak-anak bu M sering merasa kerepotan juga ketika tanggungjawab pengasuhan itu dibebankan pada mereka. Nurjannah sampai mengalami sakit akibat kelelahan, Sofi yang saat ini sedang menghadapi ujian SD juga terganggu aktifitas belajarnya. Dia hampir tidak punya waktu untuk belajar di rumah, pulang sekolah langsung mengasuh Putri dan dua adiknya yang lain, setelah itu sehabis Ashar dia harus berangkat mengaji di meunasah/balai. Padahal Sofi sudah pernah dua kali tinggal kelas selama sekolah di SD itu. “Sofi itu agak bodoh, dia sebenarnya sudah di kelas dua SMP tapi waktu kelas 2 dia tidak naik ke kelas 3, terus waktu 4 dia tidak naik ke kelas 5”, kata bu M. “Dia jadi begitu karena waktu hamil dulu dia mau saya gugurkan, tapi ternyata tetap lahir juga. Ya sudah takdir dia lahir”, kata bu M kemudian. Kami terkejut mendengar penjelasan bu



M tentang pengguguran tersebut. “Waktu itu saya dikasih obat sama dokter (dia menyebutkan satu nama) untuk menggugurkan, mungkin supaya akan kami tidak banyak-banyak, tapi sekarang dokternya sudah meninggal”.



125



Wacana “kakak membantu adik” memang sering kita dengar ketika berbicara tentang keluarga yang memiliki banyak anak. Biasanya mereka mengemukakan pengalaman-pengalaman dari masa lalu. “Waktu saya kecil, kami 14 bersaudara. Tidak ada masalah di dalam keluarga. Semua anak-anak akur, saling menolong. Kakak yang besar mengasuh adik. Kalau kakak sudah berkerja dan punya uang, dia ikut membiayai keperluan keluarga”.



Demikian disampaikan oleh pak Kohar, seorang guru senior berusia 52 tahun pada sebuah obrolan di warung kopi. “Iya, tapi itu jaman dulu, pak, sekarang sudah berbeda”, bantah pak Iiyas sang pemilik warung. Pak Kohar menambahkan; “Ya, benar juga, mungkin dunia sudah berubah, apalagi jam sekolah anak-anak sekarang lebih banyak, beban pelajaran juga makin berat, mungkin tidak sempat lagi mengasuh adikadiknya”.



Selain soal kakak membantu adik, peran keluarga luas seperti kakek, nenek, bibi atau paman, oleh sebagian orang masih dianggap penting dalam pengasuhan anak-anak. Akan tetapi tetap saja acuannya adalah masa lalu, yakni era satu generasi yang lalu. Kenyataan hari ini kita sering menyaksikan bahwa tiap orang semakin sibuk dengan urusan masing-masing. Meskipun demikian, dalam beberapa hal si nenek masih berperan juga misalnya membantu dalam menyiapkan segala sesuatu sebelum dan sesudah cucunya lahir. Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor risiko tinggi yang mempunyai pengaruh dengan status gizi anak. Faktor-faktor itu berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi, dan tingkat



126



pendidikan, beberapanya mencakup berat bayi lahir rendah, banyak anak-anak dalam keluarga, serta jarak kelahiran yang pendek, serta sering kena infeksi77. Ketika kami hampir meninggalkan lokasi penelitian ini, ada kabar si bungsu Putri sakit panas lagi. Dari petugas Puskesmas kami mendapatkan informasi bahwa Putri memang rentan sakit karena dia termasuk katagori gizi-kurang. Beberapa bulan sebelumnya bahkan dia masuk katagori gizi-buruk. Selain itu faktor kebersihan badan, kebersihan makanan dan tempat tinggal juga sangat mempengaruhi kesehatan Putri. 4.8Penolakan Pada Program Keluarga Berencana (KB) 4.8.1 Alasan menolak program KB. “Saya ini tidak bisa KB, tidak cocok di badan. Pernah pakai pil saya jadi sesak nafas. Pernah juga pakai suntik, badan saya jadi lemas tidak bisa apa-apa, berdiri saja susah. Lalu saya coba cara kampong, kata orang makan buah jarak sehari satu bisa untuk KB, tapi saya juga tidak cocok, badan jadi lemah juga. Pernah juga pakai sepiral, tapi malah sepiralnya lepas waktu saya kerja di sawah”.



Itulah alasan bu M ketika ditanya mengapa dia tidak menjadi akseptor KB. Alasan “tidak cocok” dengan alat kontrasepsi seperti itu ternyata juga dirasakan oleh beberapa ibu lain di desa Paya Bili Dua dan Paya Dua. Bu Rufasah, 42 tahun dengan pengalaman hamil 9 kali berkisah; “Saya tidak cocok pakai suntik dan pil KB, dada saya terasa sakit, saya sudah capek juga melahirkan dan mengurus anak saya, sampai anak saya yang terakhir ini berbibir sumbing dan mengalami gizi kurang. Saya ingin di tubektomi saja nanti, tapisaya mau minta izin suami dulu. Saya takut kena marah 77



Suhardjo. 1992. Pemberian Makanan Pada Bayi. Kanisius. Yogyakarta. Hal 56.



127



suami”



Banyak perempuan mengaku dilarang untuk ber-KB oleh suami dengan alasan nanti libido istri akan berkurang. Desas-desus yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang menggunakan pil, IUD atau suntikan akan berkurang gairah seksnya dan akan kehilangan hasrat untuk mengadakan hubungan seks, tersebar di kalangan kaum pria. Desas-desus semacam itu merupakan salah satu dasar kecurigaan yang menyebabkan sebagian kaum pria menentang pemakaian metode-metode ini. Menurut petugas dari Puskesmas Peudawa, alasan seperti di atas sebenarnya hanya mengada-ada. “Itu alasan yang dibuat-buat, mereka memang tidak ada kemauan untuk ikut program KB, tetapi kami sendiri tidak jelas apa sebab-musebab sebenarnya”.



Pendapat dari kaum suami ternyata berbeda lagi. Pak Rohman, seorang yang termasuk cukup berada di kampong Paya Bili Dua berkata; “Aceh ini masih luas, tidak seperti di jawa, di sini jarak dari satu rumah ke rumah yang lain masih berjauhan, jadi masih cukup untuk ditambah penduduk.. Waktu tsunami dulu, ratusan ribu orang Aceh meninggal, sebelum itu juga di Aceh ada konflik yang banyak memakan korban, jadi kita masih perlu menambah generasi”.



Ada juga warga yang meragukan apakah alat-alat kontrasepsi itu diperbolehkan atau tidak oleh aturan agama. “Memang tidak ada larangan yang jelas, tapi kita tidak tahu obat-obat itu dari mana dan dari bahan apa. Obat itu masuk ke badan, kita juga tidak tahu macam mana reaksi yang terjadi, macam mana efek sampingnya itu”



128



Berbagai alasan bisa saja bermunculan, yang pasti banyak orang yang tidak merasa memerlukan dan tidak merasa membutuhkan KB. Dengan kata lain, KB bagi mereka belum menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Bagi masyarakat Aceh, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari antara individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok, maupun antara golongan dengan golongan mempunyai norma tertentu atau etiket-etiket pergaulan. Masing-masing pihak memelihara norma-norma tersebut meskipun di sana-sini terjadi penyesuaian sebagai strategi mengadapi perubahan jaman. Dalam masyarakat Aceh terungkap kata adat ngon hukum lagee zat ngon sifeut, yang artinya adat dengan 'hukum' seperti zat dengan sifat yang tidak bisa dipisahkan. Berdasarkan ungkapan ini, maka masyarakat Aceh, termasuk masyarakat di Kecamatan Peudawa masih ada ikatan dengan adat istiadat. Adat istiadat Aceh dalam hal ini bisa dilihat dari peristiwa kelahiran, adat upacara sebelum dewasa, adat pergaulan muda mudi, adat upacara perkawinan dan upacara kematian. Adat istiadat memberi arahan pada komunitas untuk bertahan atau berubah. Adat istiadat itu sendiri pada dasarnya adalah dialog yang terus menerus tentang keberlanjutan sebuah komunitas. Hukum-hukum atau sanksi adat ditetapkan sesuai keadaan, dan akan berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi. 4.9. Tentang Nilai Anak 4.9.1 Anak sebagai sumber kebahagiaan. Anak adalah pelengkap hidup dan sumber kebahagiaan. Umumnya masyarakat di Peudawa tidak terlalu mempersoalkan anaklaki atau perempuan. Akan tapi beberapa pasangan muda menyatakan bahwa mereka mengidealkan memiliki anak “dua pasang”, dalam arti dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mengapa dua pasang? Jumlah itu dianggap tidak terlalu banyak dan



129



tidak juga terlalu sedikit. Jika ternyata ada yang meninggal maka masih ada “cadangan” dengan jenis kelamin yang lengkap. Anak laki-laki penting karena dianggap akan dapat menjadi kebanggaan keluarga dan penerus keturunan. Selain itu anak laki-laki juga dianggap dapat membantu dalam urusan sehari-hari yang sifatnya fisik, seperti mengerjakan pekerjaan di sawah atau pekerjaan bertukang. Sementara itu anak perempuan dianggap lebih bisa membahagiakan hati orang tuanya. Anak perempuan yang cantik akan membawa kebangaan tersendiri bagi keluarga. Selain itu anak perempuan dianggap lebih bisa merawat ibu-ayah-nya di hari tua. pendapat Mutaha, seorang ayah (30 tahun) yang memiliki dua anak laki-laki yang masing-masing berusia 7 dan 4 tahun. “Kalau kita sudah tua maka anak perempuan yang bisa merawat kita, sedangkan anak laki-kali biasanya dia akan lebih memperdulikan anak-istrinya sendiri, anak laki-kali juga biasanya pergi entah kemana”.



Umumnya orang-orang di Peudawa memiliki hubungan yang akrab dengan anak-anak mereka. Banyak ayah yang suka sekali mengajak anaknya yang berusia di bawah 7 tahun untuk sekedar berjalan-jalan dengan menggunakan sepeda motor berkeliling desa. Kadang-kadang mereka pergi ke pantai yang tidak jauh dari desa itu, lalu mampir ke warung untuk membeli jajanan. Kadang-kadang bukan hanya anak kandung yang ikut jalan-jalan, keponakan atau anak tetangga sebelah juga ikut dibenceng dengan sepeda motor. Satu sepeda motor bisa membonceng tiga orang anak. 4.9.2. Anak itu penerus agama, untuk memperbanyak ummat. “Memang kami orang Aceh ini maunya punya anak yang banyak. Dalam masalah ini ada dalil yang mengajurkan umat Islam untuk mempunyai anak banyak. Nabi bersabda: nikahilah



130



perempuan yang pecinta dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan umat-umat yang terdahulu”.



Demikian yang dikatakan pak Ilyasa (52 tahun) seorang pemilik warung Kopi. Alasan berdasarkan syariat untuk memperbanyak anak ini memang sangat terkait dengan sejarah panjang rakyat Aceh yang penuh gejolak. Pada masa Perang melawan Belanda syariaat telah digunakan sebagai dasar perjuangan melawan Belanda yang biasa disebut kaum Kaphe (kafir). Mereka merasakan bahwa anjuran untuk memperbanyak anak sangat relevan dengan kebutuhan personil pasukan untuk perang sabil tersebut. Pada jaman Indonesia medeka, semangat perang Aceh bertranformasi menjadi gerakan untuk memerdekakan dan memisahkan diri dari NKRI. Landasan syariah masih digunakan untuk meneruskan perjuangan. Upaya untuk terus “memproduksi” banyak anak pun masih diperlukan sebagai cadangan pasukan melawan TNI. Bahkan setelah masa damai sekarang ini pun ingatan akan konflik masih mempengaruhi masyarakat dalam mengambil keputusan. “Ada orang yang menolak KB karena kuatir akan terjadi lagi konflik seperti dulu. Mereka bilang: kalau kita KB, anak kita habis, cemana kalau terjadi konflik lagi, kita tidak punya pasukan lagi”, demikian



keterangan yang disampaikan oleh Pak Mahlel, kepala Puskesmas Peudawa. Selain tentang perang dan konflik, peristiwa tsunami yang terjadi pada tahun 2004 juga menjadi wacana yang mempengarui warga dalam mengambil keputusan. Secara fisik wilayah Peudawa memang tidak begitu terdampak, mengingat posisi wilayah ini ada di pantai timur Sumatra yang tidak terkena langsung glombang dahsyat itu. Hanya ada beberapa rumah yang berlokasi di pinggir pantai yang rusak akibat limpahan air laut.



131



Akan tetapi tsunami sudah menjadi wacana baru yang menyatukan seluruh Aceh yang pada saat itu sedang berkonflik. Isu tsunami sudah menjadi ingatan bersama rakyat Aceh, termasuk warga Peudawa. Seorang tokoh masyarakat di Paya Bili Dua mengatakan bahwa akibat tsunami, Aceh telah kehilangan ratusan ribu orang, itu belum tergantikan hingga saat ini. “KB belum cocok dijalankan di daerah Aceh, kita malah perlu memperbanyak generasi”, katanya. PENUTUP: Komunitas versus Struktur Program Keluarga Berencana (KB) dalam perbincangan di Peudawa lebih banyak diartikan hanya pada pembatasan kelahiran. Membatasi kelahiran bagi kebanyakan orang di Peudawa adalah hal yang tidak cocok dengan budaya dan keadaan lingkungan mereka. Komunitas di pedesaan yang sebagian masih menekankan pada adat sebagai pedoman hidup menganggap kelahiran, seperti juga kematian, adalah peristiwa yang sangat penting. Itulah sebabnya berbagai upacara dilakukan dalam rangkan memberi tekanan pada pentingya peristiwa kelahiran. Program KB, dan mungkin program-program lain dari pemerintah, dianggap berada di luar wilayah komunitas. Lantas di mana posisi program KB dalam peta kognisi warga Peudawa? Sebagai masyarakat transisi, selain hidup di arena komunitas yang tradisional, warga juga dihadapkan pada wilayah “baru” di mana modernisasi bekerja. Melalui wilayah baru inilah segala program pemerintah masuk dan bekerja. Kalau wilayah komunitas cenderung terjadi hubungan yang bersifat kultural, maka pada wilayah baru ini yang terjadi adalah hubungan yang bersifat stuktural. Struktur bersifat formal, atau cenderung mengarah pada formalisasi. Hal ini seringkali tidak bisa masuk dalam kehidupan sehari-hari di dalam komunitas yang cair. Ada fakta yang menarik bahwa banyak program dari Puskesmas yang sifatnya promotif (seperti penyuluhan tentang gizi,



132



ASI ekslusif, dan termasuk juga KB) tidak berhasil membuat masyarakat percaya. Seorang ibu dari desa Snb Peuntuet mengatakan. “orang rumah sakit (petugas kesehatan) itu bilang, bayi baru lahir tidak boleh diberi pisang, cukup ASI saja. Mana kami percaya. Mereka bilang bayi itu ususnya kecil, iya memang kecil namanya juga bayi, tapi tetap perlu diberi makan. Pisang itu kalau sudah dilumatkan tidak apa-apa untuk usus kecil…”



Petugas kesehatan, yang dalam hal ini adalah bagian dari struktur, sering dipandang oleh komunitas sebagai pihak luar yang punya kepentingan sendiri. “mereka ngomong begitu (penyuluhan) karena mereka makan gaji”, begitu pendapat banyak orang di desa. Petugas kesehatan dianggap hanya datang sebagai petugas semata, bukan datang untuk menjadi bagian dari komunitas mereka. Sering kali orang-orang sepertinya mendengar apa yang disampaikan petugas kesehatan, tetapi mereka enggan untuk menuruti apa-apa yang disampaikan. Kalaupun ada orang yang mau menerima saran dari petugas maka biasanya mereka meminta kompensasi tertentu. “kalau mereka menyuruh kami memberi makanan bergizi pada anak-anak, harusnya mereka juga memberikan makanan itu, bukan hanya ngomong saja”, begitu kata banyak orang. Dengan demikian seolah-olah pihak



penyuluh harus “bertanggungjawab” dengan apa yang dikatakannya, sebab hal itu semata-mata adalah kepentingan pihak penyuluh yang sudah digaji itu. Logika di atas juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa bidan kampong lebih dipercaya dari pada bidan desa/pemeritah. Bidan kampong ketika menolong persalinan bukanlah sedang menjalankan “tugas”, melainkan sedang menjalankan perannya di komunitas. Bidan kampong adalah bagian dari komunitas itu, selain sebagai dukun dia juga sebagai ibu, nenek,



133



atau orang biasa saja. Dengan kata lain, bidan kampong tidak sekedar orang yang menjalankan profesi penolong persalinan, melainkan juga menjalani hidupnya sehari-hari sebagai anggota masyarakat.



134



BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Simpulan Terdapat tiga peristiwa yang hampir selalu diceritakan masyarakat desa-desa di kecamatan Peudawa ketika kita bertanya tentang sejarah mereka, yakni;1) Sejarah perang Aceh melawan Belanda, 2) sejarah konflik dengan NKRI, 3) dan peristiwa tsunami. Ketiga peristiwa itu seperti sudah menjadi ingatan bersama yang menyertai identitas mereka sebagai orang Aceh.Pasca tsunami banyak warga yang merasa semakin yakin akan masa depan Aceh yang lebih baik. Keyakinan mereka pada kebesaran Allah semakin kuat. Bahwa segala sesuatu adalah takdir, hidup dan mati, bencana dan kurnia, semua harus diterima dengan sabar dan syukur. Sebagian besar penduduk desa-desa di Peudawa adalah pentani dan nelayan. Ada juga yang menjadi buruh, pedagang dan pegawai negeri.Berdasarkan karakteristiknya rata-rata penduduk wilayah kerja Puskesmas Peudawa sebagai petani, nelayan dan wiraswasta dengan mata pecarian hasil panen ladang, tambak, melaut dan dagang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam. Tingkat pendidikan penduduk rata-rata adalah lulusan SD sederajat dan SMP sederajat. Masyarakat sudah mendapat sarana informasi dan komunikasi melalui TV, radio, surat kabar, telpon selular, maupun internet. Pada saat peneliti di lapangan, peneliti menemukan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada saat di lapangan belum “merakyat”, belum bisa membaur dengan masyarakat yang rata-rata mengenyam pendidikan sampai SD maupun SMP ini. Selain itu terdapat keterkaitan antara sejarah konflik, dan kejadian tsunami yang melanda Aceh, yang mana pada waktu itu banyak orang maupun LSM hingga pemerintah yang memberikan “bantuan” berupa “materi”. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi mental



135



masyarakat menjadi mental “yang menanti bantuan”. Sehingga penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan dianggap sebagai “angin lalu” bagi mayoritas masyarakat pada umumnya. Pada umumnya seperti di bagian Aceh lainnya, masyarakat di Kecamatan Peudawa pun kental dengan religinya. Ulama merupakan tokoh yang amat dihormati masyarakat, selalu didengar perkataannya. Para imeum dan tengku pun memiliki status sosial yang terhormat di dalam komunitas. Selain memimpin sholat dan mengajar agama, mereka juga menjadi orang penting ketika terjadi peristiwa kelahiran, pernikahan dan kematian dan pengobatan tradisional untuk kejadian meurampeut atau kesurupan Pengobatan tradisional pada dasarnya tidak membahayakan masyarakat. Pengobatan tradisional biasanya menggunakan tumbuhtumbuhan alami, air yang didoa-doakan untuk diminum atau disembur. Namun pemilihan cara kuratif ke pengobatan tradisional ini beresiko membuat penyakit yang harusnya dianggap serius dan harusnya dibawa ke puskesmas menjadi “terkatung-katung” status kesakitannya, dan beresiko memperparah kondisi pasien karena tidak langsung ditanggulangi oleh petugas kesehatan. Banyak KK yang belum mempunyai jamban di rumahnya. Masyarakat yang belum mempunyai jamban tersebut melakukan buang air besar sembarangan, seperti di pantai sebelum matahari terbit, dan dihutan-hutan. Telah terdapat inisiasi arisan jamban untuk membuat wc umum, namun pada akhirnya warga menggunakan uang arisan jamban tersebut untuk keperluan lain seperti kenduri atau acara selamatan. Sehingga keberlangsungan arisan jamban pun tidak berjalan secara efektif. Imunisasi sebelum menikah pun menjadi syarat sebelum menikah. Saat hamil pun, ibu tidak menjalani ritual tertentu. Tidak terdapat pantangan-pantangan makan-makanan tertentu saat kehamilan. Saat bersalin, ibu ditolong oleh bidan desa dan melahirkan di rumah. Saat masa nifas ibu mendapat pantangan agar tidak



136



memakan gulai dan makanan pedas agar bayi tidak sakit perut apabila disusui oleh ibunya. Pola pikir yang terbentuk lainnya adalah ketika bayi tidak diberi makan maka nanti bayi tersebut akan kelaparan dan meninggal. Selain itu pemberian ASI eksklusif tidak berjalan karena pemberian ASI selama 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan pun tidak membudaya di kalangan masyarakat.Pada cakupan wilayah kerja Puskesmas Peudawa tidak semua desa yang memenuhi UCI. Tidak semua bayi dibawah 1 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap. Terkait penyakit tidak menular peneliti mendapatkan temuan jumlah kejadian hipertensi di Puskesmas Peudawa pada bulan Januari 2015 sebanyak 20 orang. Sedangkan pada bulan Februari terdapat sebanyak 20 orang. Kemudian pada bulan April meningkat menjadi 23 orang. Kemudian jumlah kejadian diabetes melitus di Puskesmas Peudawa pada bulan Januari 2015 sebanyak 26 orang. Sedangkan pada bulan Februari terdapat jumlah kunjungan menurun sebanyak 11 orang. Kemudian pada bulan April pun sama dengan bulan Februari yakni sebanyak 11 orang. Terdapat 8 pasien dengan riwayat depresi, serta 12 pasien dengan riwayat Skizofrenia sampai dengan bulan April 2015 di wilayah kerja Puskesmas Peudawa dan terdapat 2 orang pasien baru skizofrenia yang dirujuk ke RSJ Banda Aceh karena mengamuk. Pengobatan pasien dengan gangguan mental membutuhkan pengobatan dengan tempo waktu yang tidak singkat, bisa bertahun-tahun karena terganggunya atau ketidakseimbangan hormon di dalam otak pasien. Pada kasus skizofrenia, mayoritas pasien mengalami putus obat jika dirasa sudah “baik-baik” saja. Kejadian cedera juga kerap terjadi, menimpa anak-anak maupun dewasa. Pada poin penyakit menular peneliti tidak mendapatkan banyak data di lapangan. Temuan yang didapatkan adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada bulan Januari, Februari, Maret



137



tahun 2015 berturut-turut pada balita yakni 52 kasus pada bulan Januari, 46 kasus pada bulan Februari, dan 69 kasus pada bulan Maret. Terkait dengan topik inti penelitian mengenai dilema program keluarga berencana. Dari pengamatan peneliti ada hubungan antara 4T dengan kesehatan anak khususnya. Bayi ataupun balita dengan kasus PUS 4T lebih banyak yang mengalami gizi kurang maupun BGM (Bawah Garis Merah). Hal tersebut dikarenakan dekatnya jarak kelahiran anak sehingga tidak mendapatkan asi eksklusif, kekurangan nutrisi karena ibu tidak fokus dalam pengasuhan anak, serta pemberian makanan nasi pisang yang dihaluskan pada bayi. Dari segi kualitas, dari penelusuran peneliti, mayoritas anak bersekolah sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), tidak banyak yang sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada pula anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD) karena ikut membantu ayahnya untuk berkebun sawit. Kecamatan Peudawa Aceh Timur termasuk dalam 2 kategori yang dijelaskan tentang cakupan layanan KB, dan kasus hamil dengan 4T. Dari kedua hal tersebut dapat dikatakan derajat kesehatan reproduksi rendah. Karena kurangnya cakupan layanan KB, serta banyaknya kasus 4T. Mayoritas perempuan disini dilarang untuk berKB oleh suami dengan alasan nanti libido istri akan berkurang. Akhirnya, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Program Puskesmasdan petugas kesehatan, khususnya yang bersifat promotif, adalah masalah yang paling penting untuk diperhatikan. Kondisi inilah yang sebenarnya telah munculkan berbagai permasalah lain seperti yang diuraikan di atas. Berdasarkan hal di atas maka tim peneliti merekomendasikan hal-hal berikut ini: (1). Terkait rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Program Puskesmas, khusunya promosi kesehatan, maka diperlukan metode



138



baru yang lebih partisipatif, yang memungkinkan masyarakat untuk dapat merefleksikan pengalaman sehari-hari dan sejarah mereka. Di sini mereka diajak untuk memberi semacam penilalain, mana kebiasaan yang masih relevan dengan situasi terkini, dan mana yang harus diubah atau disesuaikan. Mereka dilibatkan dalam membuat keputusan yang lebih baik bagi komunitas mereka. Diperlukan pelatihan tersendiri bagi petugas kesehatan agar memiliki kemampuan menjadi fasilitor di masyarakat. (2). Mengenai gagalnya peogram KB. Perlu diadakan pendidikan bagi calon mempelai dalam mengelola keluarga. Saat ini di Aceh sudah ada semacam pendidikan bagi calon pengantin, tetapi hanya sebatas pendidikan agama. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah menambah materi pendidikan itu sesuai dengan misi Keluarga Berencana. (3). Diketahui bahwa kepercayaan masyarakat kepada bidan desa dan petugas kesehatan masih rendah bila dibanding dengan kepercayaan mereka kepada dukun atau biden kampong. Perlunya mengubah strategi dengan belajar dari apa yang dilakukan oleh biden kampong. Bidan desa dan petugas kesehatan perlu tampil di dalam komunitas bukan sekedar sebagai petugas semata. Mereka harus mampu menjadi bagian dari komunitas itu, dengan cara terlibat dalam aktifitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. (4). Perlunya memaksimalkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat mengingat mereka masih menjadi pihak yang punya posisi penting dalam komunitas. Selain itu dari riset ini diketahui bahwa solidaritas sosial masyarakat masih cukup tinggi, hal ini dapat menjadi modal sosial yang baik untuk mengembangkan program-program yang sifatnya partisipatoris (berbasis masyarakat).



139



DAFTAR PUSTAKA Kemenkes RI. 2014.“Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kemenkes RI. 2012. “Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012”. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes. Tumaji, Arianto, N.T., Rizky, A., Soerachman, R.. 2014. “Nomphoboas yang Mengganas di Mumugu. Etnik Asmat, Kabupaten Asmat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Ningsi, Ngeolima, R., Hamzah, S., Handayani, L.. 2014. Rekam Jejak Terengi. Etnik Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Dwiningsih, S., Mulyani, S., Kawarakonda, S., Roosihermiatie, B. 2014. Belenggu Apung. Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Afreni M., Amaliani, T., Rizaldi, Rahanto,S. 2014. Kesembuhan Mulia Mamoh Ranub. Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Laksono, A.D., Faizi, K., Raunsay, E., Soerachman, R. 2014. Perempuan Muyu dalam Pengasingan. Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Yuhandini, D.S., Karlina, Suratmi, Subarniati, R,. Suharmiati. 2014. Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi, Oyog. Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Nuraini, S., Syahputra, A., Saputra, F., Budisuari, M.A. 2014. Tangis Budak dari Negeri Seribu Jembatan. Etnik Laut, Kabupaten Indragiri Hilir. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Kurniawan, S.A., Hartatik, F.S., Jeniva, I., Putro, G. 2014. Tetesan Danum Tawar di Dusun Seribu Akar. Etnik Dayak Ngaju,



140



Kabupaten Kapuas. Buku Seri Etnografi Kesehatan 2014. Jakarta: LPB. Rocco L, Suhrcke M. 2012. Is social capital good for health? A European perspective. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe. Kemenkes RI, 2012. “Sistem Kesehatan Nasional”. Jakarta. Data KK (Kartu Keluarga) Per Desa. 2015. Kecamatan Peudawa. Kabupaten Aceh Timur. Kemenkes RI. 2014. “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta. Badan Litbang Kesehatan. Ahimsa Putra, S.H.,. 2015. “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya” dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press. Bungin, B. 2003 “Analisis Data Penelitian Kualitatif”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Santy, P. 2011. “KDRT yang diterima oleh wanita dan kebutuhan pada layanan KB yang belum terpenuhi di Kota Banda Aceh”. Thesis. Universitas Gadjah Mada. Profil Puskesmas Peudawa. 2015. Permenkes Nomor 027 Tahun 2012. Tentang Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan. Laporan Bulanan Poli Umum Puskesmas Peudawa. 2015. Setyawan, E.F. 2014. Perilaku Pencarian Pengobatan Pada Kelompok Ibu Rumah Tangga di Desa Tirtomarto Kecamatan Cawas Kabupaten Klaten. Skripsi. Universitas Diponegoro. eprints.undip.ac.id/25573/1/2081. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 482 Tahun 2010 Tentang Gerakan Imunisasi Nasional GAIN UCI. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 4 Tahun 2014. ISSN: 2302-1721. STIKES Nani Hasanuddin Makassar.



141



Laporan Trimester Kesehatan Lingkungan Puskesmas Peudawa, April 2015. Bustan M.N,. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 100. Laporan Bulanan Penyakit Tidak Menular Puskesmas Peudawa Tahun 2015 Diakses pada tanggal 3 Mei 2015, id.wikipedia.org/wiki/cedera Elyana, M,. Candra A,.2013. Hubungan Frekuensi Ispa Dengan Status Gizi Balita. Journal of Nutrition and Health. Vol 1, No.1. Universitas Diponegoro. Nasution K, dkk. 2009. Infeksi Saluran Napas Akut Pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri Vol 11 No 4, Desember. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Paparan KIA, Workshop Pengumpulan Data Riset Etnografi Kesehatan. Surabaya. April 2015. Hartanto, H. 2004. KB:Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kumalasari ,I., Andhyantoro, I. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. Bogue, D.J,. 1978. Rintangan Komunikasi dalam Keluarga Berencana. Aquarista Offiset. Jakarta. Hal 16. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, Hal 202. Bushan I. 1997. Understanding unmet need. The John Hopkins School of Public Health. Center for communication program. Working paper no 4. November 1997. Sopacua, E., Widjiartini,. 2010. Profil Kesehatan Perempuan 15-49 tahun Berstatus Kawin dengan Unmet Need Pemakaian Kontrasepsi di Indonesia. Balitbangkes. Surabaya.



142



INDEKS A Anak ASI



L Lahir Lingkungan



B Bahasa Balita Bayi Bertani Bidan Desa Budaya



M Mati Medis Melahirkan Melaut Mengalami Meninggal Merawat Meurapeut



C Cedera D Depresi Diabetes Melitus Dilema Dispepsia Dukun E Ekonomi Enggan F Faktor G



N Neonatus Norma Namun O Organisasi P Pandangan Pantangan Persepsi Penyakit Penyebab Persalinan Perilaku 143



Gampong Gejala Gender Geografis Geuchik Gizi Guna-guna H Hamil Hipertensi I Imunisasi Infeksi Informan J Jamban Jampi-jampi Jarak Jimat K Kandungan Kasus Keluarga Kematian Kendala Kepercayaan Kesehatan Keturunan



144



Posyandu Puskesmas Q Qanun R Ramuan Reproduksi Resiko Ritual S Sanitasi Sumber Seks Seksual Skizofrenia Suami T Tanaman Tradisional Tuha Peut U Umum Usia W Wanita



GLOSARIUM



Biden kampong Burong DOM Do Da idi GAM GPK



: : : : : :



Geuchik Gampong Tuha Peut Meurampot Tengku Kaphe Ulèëbalang Rapa’i Dabo Rumoh Sunat rosul panthe’



: : : : : : : : : : :



Meunasah Imeum Peusejeuk



: : :



Pungo Qanun Eleumee akherat Uleumee donya



: : : :



Dukun Bayi Hantu Daerah Operasi Militer Judul lagu rakyat Aceh sebagai pengantar tidur Gerakan Aceh Merdeka Gelombolan Pengacau Keamanan, sebutan Pemerintah RI untuk GAM Kepala Kampung Kampung Parlemen Desa Kesurupan Gelar untuk Alim Ulama Kafir, sebutan untuk Penjajah Belanda Penguasa lokal pada jaman Kesultanan Aceh Kesenian yang menampilkan ilmu kebal Rumah Khitan Pondok terbuka seperti bale-bale yang diberi atap Tempat sholat dan mengaji Imam Upacara permohonan keselamatan, disebut juga tepung tawari Gangguan jiwa Undang-undang Ilmu Putihdisebut juga kramat ilmu Hitam



145



Ucapan Terimakasih Seperti kelahiran dan kematian, pertemuan adalah juga takdir Allah. Demikian dikatakan pak Cahamudin, tuha peut gampong Paya Dua, ketika menerima kedatangan kami di sebuah warung kopi. Demikianlah Riset Etnografi Kesehatan (REK) 2015 telah mempertemukan kami dengan warga pedesaan di kecamatan Peudawa, Aceh timur dalam suasana yang asik dan penuh persudaraan. Sungguh semua itu tak akan terlupakan. Seperti kata pak Cahamudin, ini adalah takdir Tuhan yang wajib disyukuri. Dalam perjumpaan itu banyak hal yang semula samar menjadi jelas, semula praduga kini menjadi fakta. Kami merasa mendapat pengayaan batin telah berinteraksi dengan mereka selama kuranglebih sebulan di lapangan. Buku ini adalah bentuk pertanggungjawaban kami kepada masyarakat atas semua yang telah kami lakukan selama di lapangan. Kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan Riset ini, baik pada masa persiapan, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya penulisan buku ini, kami tim penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya: 1. Masyarakat di semua desa di kecamatan Peudawa, kabupaten Aceh Timur. 2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI. 3. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan RI 4. Ketua Pelaksana, Tim Teknis dan Tim Admin Riset Etnografi Kesehatan 2015 5. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur 6. Kepala & staf Puskesmas Kecamatan Peudawa, Aceh Timur. 7. Camat Peudawa, Aceh Timur



146



8. Geuchik dan jajarnya dari seuruh Gampong di kecamatan Peudawa, Aceh Timur. 9. Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat seluruh desa di kecamatan Peudawa. 10.Keluarga peneliti yang telah rela dengan kepergian peneliti meninggalkan mereka selama sebulan 11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu di dalam buku ini. Sampai di sini buku ini sudah kami anggap selesai. Akan tetapi kami tetap mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan bagi kerja-kerja serupa di masa yang akan datang. Akhirnya semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-pihak terkait.



Tim Penulis



147