Discharge Planning [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TESIS



EFEKTIFITAS PENERAPAN DISCHARGE PLANNING TERHADAP AVERAGE LENGTH OF STAY (AvLOS), HOSPITAL COSTS PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO



The Effectivity of Discharge Planning Implementation to Average Length of Stay (AvLOS) and Hospital Cost Patient with Congestive Heart Failure at Inpatient Room of Wahidin Sudirohusodo Hospital



OLEH WENY ANGGRAINI ADHISTY P4200214034



PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017



ABSTRAK



WENY ANGGRAINI ADHISTY. Efektifitas Penerapan Discharge Planning terhadap Average Length of Stay (AvLOS) dan Hospital Cost pada pasien dengan Congestive Heart Failure di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (dibimbing oleh Saldy Yusuf dan Cahyono Kaelan) Penelitian ini bertujuan mengetahui Efektifitas Penerapan Discharge Planning terhadap Average Length of Stay (AvLOS) dan Hospital Cost pada pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy eksperimen post test only non equivalent control group. Sampel penelitian sebanyak 36 responden yang terdiri dari 18 kelompok intervensi dan 18 kelompok kontrol. Data dianalisis dengan menggunakan 2 metode, yaitu uji statistik Mann Withney untuk data numerik dan uji Fisher’s Exact Test untuk data kategorik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat Efektifitas penerapan discharge planning secara signifikan terhadap AvLOS dan Hospital Cost pada pasien dengan CHF dengan nilai p < 0.05 dimana nilai Mean AvLOS kelompok intervensi yakni 4.83 hari jauh lebih singkat daripada Mean AvLOS kelompok kontrol memanjang hingga 8.28 hari dengan tingkat kemaknaan p= 0.015. Hal ini juga berimplikasi terhadap Hospital Cost dimana mean kelompok kontrol jauh lebih besar yakni Rp. 6.798.659,22 sedangkan pada kelompok intervensi sebesar Rp. 3.291.754 dengan tingkat kemaknaan p= 0.001.



Kata Kunci: Average Length Of Stay (AvLOS), Discharge Planning, Hospital Cost, Congestive Heart Failure



ABSTRACT WENY ANGGRAINI ADHISTY. The Effect of Discharge Planning Implementation to Average Length of Stay (AvLOS) and Hospital Cost patients with Congestive Heart Failure at Inpatient Room of Wahidin Sudirohusodo Hospital (Supervised by Saldy Yusuf and Cahyono Kaelan) The aim of the research was to determine the effect of Discharge Planning Implementation to Average Length of Stay (AvLOS) and Hospital Cost patients with Congestive Heart Failure (CHF). The research used quasy experiment post test only non equivalent control group design. The sample was 36 respondents consisting of 18 intervention groups and 18 control groups. Data were analyzed using two methods, Mann Withney statistical test for numerical data and Fisher's Exact Test for categorical. The results showed that there was significant effect of discharge planning implementation on AvLOS and Hospital Cost patients with CHF with p Value < 0.05 where the mean value of AvLOS group of intervention group 4.83 days was much shorter than the mean AvLOS control group extending up to 8.28 days with significance level = 0.015. This also has implications for Hospital Cost where the mean control group is much larger that is Rp. 6,798,659.22 while in the intervention group of Rp. 3,291,754 with significance level p = 0.001. Keywords: Average Length Of Stay (AvlOS), Discharge Planning, Hospital Cost, Congestive Heart Failure



BAB I PENDAHULUA N A. Latar Belakang Salah Satu indikator mutu pelayanan kesehatan adalah pemberian asuhan keperawatan termasuk di rumah sakit. Proses asuhan keperawatan itu sendiri secara



berkesinambungan



dimulai



dari



pengkajian



sampai



evaluasi



perkembangan pasien mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan (Sitorus, 2011). Salah satu aplikasi manajemen keperawatan guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan melalui penerapan discharge planning secara berkesinambungan sejak pasien dirawat pertama kali di ruang rawat inap sampai pasien rencana pulang (Abdullah, 2015). Dikutip dalam National Council of Social Service (NCSS) tahun 2006 bahwa perencanaan pulang merupakan suatu lembar pencatatan perencanaan pulang yang disusun oleh perawat meliputi intervensi keperawatan pasien yang melibatkan pasien dan keluarga serta lingkungan masyarakat. Dalam pemberian discharge planning peran perawat sangat berpengaruh dimana proses



pengobatan dan perawatan



pasien secara berkesinambungan



membutuhkan tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat yang baik (Rondhianto, 2008). Pemberian discharge planning yang dimaksud adalah sejak pasien baru masuk, menjalani perawatan dan persiapan kembali ke rumah, dimana kemampuan pasien dan keluarga dalam menanggulangi penyakitnya berpotensi mengurangi length of stay, resiko keparahan (severity) dan resiko dirawat kembali ke rumah sakit (readmission) dalam rentan waktu 30 hari



serta mengurangi biaya rumah sakit (Krantz et al., 2006). Hal senada ditunjukkan pada hasil penelitian Bowers & Cheyne (2016) bahwa pemberian discharge planning mampu memendekkan lama hari rawat/ length of stay (LOS) dari 36 jam menjadi 30 jam dan mampu menghemat biaya sebesar £117. Penelitian lain oleh Baghae, et.al (2016) menunjukkan bahwa melalui penerapan discharge planning berkesinambungan sejak pasien masuk di ruang rawat inap hingga persiapan pulang secara signifikan mampu mengurangi kecemasan pasien dan meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga terkait kondisi kesehatan pasien dengan masalah jantung sehingga mampu mempercepat proses perawatan di rumah sakit. Hasil penelitian Pemila (2011) juga menunjukkan bahwa pemberian discharge planning mampu memendekkan rata-rata lama hari rawat pasien (AvLOS) Dengan demikian, secara umum discharge planning mampu menurunkan AvLOS dan hospital cost, disisi lain pelayanan keperawatan di rumah sakit telah melakukan pemberian discharge planning, namun dalam penerapannya hanya bersifat seperti pendokumentasian keperawatan, dimana tidak dilakukan pengkajian awal sejak pasien baru masuk di ruang rawat inap sampai persiapan pulang hanya berupa pemberian lembar resume keperawatan yang berisi tentang jadwal kontrol selanjutnya (bila ada), intervensi medis dan non medis, serta gizi yang harus dipenuhi sejak pasien kembali ke rumah. Pemberian dengan cara tersebut dirasakan sangat tidak efektif sebab tidak sesuai dengan standar penerapan discharge planning sesungguhnya serta membuat pasien dan keluarga hanya sekedar tahu dan mengingatkan



saja (Abdullah, 2015). Hasil penelitian Liliana (2012) menunjukkan pemberian discharge planning belum sesuai dengan stadar operasional prosedur yang ada, dimana mayoritas perawat melakukan discharge planning/perencanaan pulang hanya pada tahapan akhir (Liliana, 2012). Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) (2013) mengatakan apabila discharge planning tidak dilakukan secara optimal maka dapat beresiko terhadap beratnya penyakit (severity), ancaman hidup dan disfungsi fisik. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 menunjukkan bahwa di dunia, sebanyak 17 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Penyakit gagal jantung atau dikenal dengan Congestive Heart Failure (CHF) tercatat sebagai salah satu penyakit yang menjadi perhatian dunia, dimana tercatat lebih dari 30% angka kematian pada tahun 2014 di Negara berkembang akibat penyakit jantung dan sebanyak 50% penderita CHF pernah menjalani hospitalisasi (WHO, 2015), dengan kisaran biaya langsung maupun tidak langsung $39,2 juta dimana biaya perawatan cenderung meningkat pada pasien geriatrik (Wang, 2010). Di Indonesia, sebanyak 36 juta jiwa atau sebesar 18% dari total penduduk Indonesia menderita penyakit jantung dan pembuluh darah dan sebagian besar meninggal secara mendadak dan sebagian kecil meninggal tanpa gejala penyakit jantung (RisKesDas, 2013). Hasil perolehan data awal dari pihak rekam medis RS DR. Wahidin Sudirohusodo bahwa peyakit CHF merupakan 10 penyakit terbanyak di RS tersebut dengan jumlah penderita yang semakin bertambah setiap tahunnya. Data awal rekam medis menunjukkan pada tahun 2014 (337 kasus), tahun



2015 (437 kasus) dan data triwulan pertama tahun 2016 (141 kasus) dengan AvLOS untuk NYHA I-II (5-6 hari), dan NYHA III-IV (23-24 hari) rawat inap berarti lebih lama dari masa clinical pathway 9-12 hari (NYHA III-IV). Sebagai salah satu sampel pasien dengan diagnosa CHF NYHA III telah dirawat selama 34 hari di kelas 2, klaim asuransi kesehatan pasien CHF NYHA III Rp. 9.790.300 namun Hospital Cost pasien selama 1 episode perawatan mencapai Rp. 49. 044.736 sehingga pihak RS harus menanggung selisih biaya sebesar Rp. 39.254.436 (Rekam Medis RS. DR. Wahidin Sudirohusodo). Adapun biaya rawat inap untuk pasien CHF beragam berdasarkan derajat NYHA dan tarif INA-CBGs (2014) dimana RS DR. Wahidin Sudirohusodo merupakan RS tipe A pada regional 3 maka besar tarif klaim asuransi terhadap kasus CHF NYHA I-II kelas 1 (Rp. 7.058.000), kelas 2 (Rp. 6.049.200), dan kelas 3 (Rp. 5.041.500). NYHA III, kelas 1 (Rp. 11.422.100), kelas 2 (Rp. 9.790.300), kelas 3(Rp. 8.157.800), sedangkan NYHA IV kelas 1 (Rp. 14.108.600), kelas 2 (Rp. 12.094.300), dan kelas 3 (Rp.10.007.600) (Rekam Medis RS DR. Wahidin Sudirohusodo). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah bahwa pelaksanaan discharge planning berupa pendokumentasian, tingginya angka prevalensi AvLOS serta tingginya biaya selisih yang harus dibayar pihak RS maka sangat perlu dilakukan peningkatan penanganan perawatan pasien termasuk perbaikan dalam pemberian discharge planning sehingga dapat menekan angka AvLOS dan hospital costs pada pasien CHF.



C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Berdasarkan fenomena tersebut diatas, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian terkait “efektivitas penerapan discharge planning terhadap Average length of stay (AvLOS), hospital costs pada pasien dengan congestive heart failure (CHF) di ruang rawat inap rumah sakit DR. Wahidin Sudirohusodo” 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya efektivitas discharge planning terhadap AvLOS pada pasien CHF di ruang rawat inap RS DR Wahidin Sudirohusodo b. Diketahuinya efektivitas discharge planning terhadap hospital costs pada pasien CHF di ruang rawat inap RS DR Wahidin Sudirohusodo D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Aplikatif Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar evidence bagi perawat terhadap pentingnya program discharge planning pada pasien CHF 2. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ataupun acuan bagi penelitian selanjutnya untuk mensintesis ilmu dan teori keperawatan E. Ruang Lingkup Penelitian



Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek AvLOS dan hospital cost pada pasien CHF yang menjalani rawat inap melalui penerapan



discharge



planning di ruang rawat inap RS DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar



BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan menguraikan tinjauan umum tentang average length of stay (AvLOS), hospital costs, efektivitas, discharge planning, dan congestive heart failure (CHF) serta tinjauan hasil penelitian dan konsep teori. A. Tinjauan Teori 1. Tinjauan Umum tentang rata-rata lama hari rawat (AvLOS) a. AvLOS sebagai indikator mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit Menurut Wartawan (2012) mengklasifikasikan indikator untuk menilai efisiensi pengelolaan rumah sakit ke dalam 4 bagian, yaitu: 1)



LOS/AvLOS. AvLOS adalah jumlah rata-rata lama hari rawat yang dibutuhkan oleh pasien menjalani perawatan terhitung sejak pasien baru masuk rumah sakit (admisi) hingga pasien kembali ke rumah (discharge) baik dalam kondisi hidup maupun meninggal. Adapun cara menghitung AvLos adalah sebagai berikut: AvLOS



= X:Y



X: Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan meninggal) di rumah sakit pada suatu periode tertentu Y: Jumlah pasien rawat inap yang keluar (hidup dan meninggal) di rumah sakit pada periode tertentu



Sebelum menghitung nilai AvLOS, terlebih dahulu harus diperoleh jumlah pasien yang keluar rumah sakit baik hidup ataupun meninggal dalam periode tertentu melalui catatan setiap hari pasien keluar/masuk rumah sakit dari masing-masing ruang rawat inap yang mencakup lama hari rawat inap masing-masing pasien (Depkes RI, 2005). Pada kasus akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang berbedabeda, sebagai contoh pada penyakit kronis akan membutuhkan masa perawatan lebih lama dibandingkan dengan penyakit yang bersifat akut (Krzysztof, 2011). 2) Turn Over Internal (TOI) Merupakan lama tempat tidur tidak terisi, hari kosong ini terhitung antara saat tempat tidur yang ditinggalkan oleh pasien sampai digunakan kembali oleh pasien berikutnya. Nilai ideal untuk TOI berkisar antara 1-3 hari 3) Bed Occupancy Rate (BOR) BOR adalah persentase hunian tempat tidur pada satu waktu tertentu di unit rawat inap. Standar nilai ideal BOR menurut Barber Johnson berkisar antara 70%-85% 4) Bed Turn Over (BTO) BTO adalah pasien rawat inap keluar dengan keadaan hidup dan meninggal per tempat tidur yang tersedia dalam satu periode tertentu. Nilai BTO sangat membantu dalam menilai tingkat penggunaan tempat tidur. Nilai ideal BTO per tahun adalah minimal 30 pasien dalam kurun waktu setahun yang artinya 1



tempat tidur hanya dihuni 30 pasien dalam setahun, dengan kata lain, 1 pasien dirawat maksimal selama 12 hari (ideal AvLOS). b. Faktor yang mempengaruhi AvLOS Secara singkat, penelitian Anggraini (2009) menunjukkan bahwa 5 faktor yang sangat berpengaruh terhadap AvLOS antara lain jumlah hari perawatan pasien (LOS) sebesar 17,3%, jenis penyakit yang diderita 9,2%, tarif rumah sakit 6,82%, tingkat pendapatan masyarakat sebesar 5,89%, serta jumlah pasien keluar sebesar 5,56%, (Anggraini, 2009). Sejalan dengan hasil penelitian Wartawan (2012) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi AvLOS antara lain severity, usia, jenis operasi, infeksi luka operasi, tenaga medis, hari masuk rumah sakit, hari pulang dari rumah sakit, jenis penanggung biaya, pekerjaan, alasan keluar dari RS, serta jenis pemeriksaan penunjang yang diperoleh pasien selama menjalani perawatan. 2.



Tinjauan teori tentang Hospital Cost a. Defenisi Biaya merupakan pengorbanan atau pengeluaran yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau peorangan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat lebih dari aktivitas yang dilakukan tersebut (Raharjaputra, 2009). Defenisi lain terkait biaya dikemukakan oleh Supriyono (2011) bahwa pengorbanan/pengeluaran yang dilakukan oleh uatu perusahaan atau individu yang berhubungan langsung dengan s utput/produk yang dihasilkan oleh perusahaan/perorangan tersebut. o



Misalnya: bahan baku dan pembantu, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya umum pabrik/biaya rawat inap Rumah Sakit. Dengan kata lain Riil Cost atau biasa disebut dengan Hospital Cost rumah sakit merupakan segala bentuk pengorbanan atau pengeluaran yang dikeluarkan oleh pasien selaku pihak yang terkait langsung dengan proses pelayanan keperawatan di Rumah Sakit. b. Rincian Hospital Cost rumah sakit pada pasien CHF Biaya yang dikeluarkan pasien CHF selama menjalani perawatan di rumah sakit sangat bervariasi bergantung pada kondisi dan tingkat kebutuhan pasien. Adapun beberapa rincian Hospital Cost rumah sakit pasien selama menjalani perawatan 1 episode adalah sebagai berikut: 1) Biaya langsung pasien dengan CHF terdiri dari: a) Biaya kamar rawat inap merupakan biaya kamar yang digunakan pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit b) Biaya jasa medis adalah biaya yang dikeluarkan dalam memperoleh jasa medis seperti visite dokter, perawat dan konsultasi medis lainnya c) Biaya instalasi gizi adalah biaya yang digunakan dalam pemenuhan nutrisi pasien selama dirawat di rumah sakit d) Biaya pemeriksaan penunjang/diagnostik merupakan biaya yang digunakan untuk pemeriksaan penunjang guna membantu dalam penentuan pengobatan pasien CHF seperti EKG, patologi klinik, radiologi, parasitologi dan mikrobiologi.



e) Biaya bahan habis pakai merupakan biaya seluruh bahan yang dipakai selama pasien menjalani perawatan seperti: kain kasa, plester, infus set, handskun, spoit, dll f) Biaya alat kesehatan (alkes) merupakan biaya penggunaan alat kesehatan tambahan selama menjalani pengobatan g) Biaya tindakan merupakan biaya untuk memperoleh tindakan ahli medis ketika pasien berada di unit gawat darurat (UGD) h) Biaya obat adalah biaya obat yang diterima pasien selama menjalani perawatan yang terdiri dari biaya obat gagal jantung kongestif (ACE inhibitor, Angiotensin Receptor Blockers, antagonis aldosteron dan Beta Blocker) dan biaya obat non gagal jantung kongestif (oksigen, cairan infus, dll) 2) Biaya tidak langsung pasien CHF terdiri dari biaya administrasi dan biaya ambulans (apabila pasien menggunakan ambulans). d. Faktor yang mempengaruhi Hospital Cost rumah sakit Berdasarkan



hasil



penelitian



Putra



(2013)



bahwa



faktor



yang



mempengaruhi tingginya Hospital Cost rumah sakit antara lain pengobatan, tingkat keparahan (severity) serta lama hari rawat inap. Sejalan dengan Wijayanti & Sugiarsi (2014) bahwa hal-hal yang melatarbelakangi selisih Hospital Cost antara lain sebagai berikut: a) Perbedaan standar Hospital Cost dengan tarif INA-CBG’s Sebagian besar Hospital Cost di tiap rumah sakit dihitung per rincian jenis pelayanan sedangkan tarif INA-CBG’s dihitung berdasarkan penggabungan kode diagnosa ke dalam kode CBG dimana masing-



masing diagnose telah memiliki standar tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat b) LOS/AvLOS Lama hari rawat juga diidentifikasi dapat menyebabkan selisih tarif riil dan tarif paket INA-CBG’s dimana perhitungan lama hari rawat pada tarif riil dihitung per hari sehingga semakin lama pasien dirawat maka semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh pasien, sedangkan pada tarif INA CBG’s standar lama hari rawat sudah ditentukan berdasarkan kode diagnosa sehingga panjang atau pendeknya lama rawat tidak berpengaruh terhadap biaya. Menurut Sudra (2009), apabila dipandang dari aspek medis, lama hari rawat menunjukkan mutu/ kualitas kinerja medis dan dari aspek ekonomi, semakin panjang lama hari rawat maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pasien c) Software Perhitungan tarif pada INA-CBG’s menggunakan alat bantu berupa software yang ditentukan sehingga tarif telah sesuai dengan database sedangkan pada perhitungan tarif riil belum menggunakan alat bantu software secara efektif sehingga dapat memungkinkan terjadinya human error. d) Ketepatan kode diagnosis Ketepatan pengkodean diagnosis dapat mempengaruhi ketepatan tarif pada software INA-CBG’s. penentuan tarif berdasarkan diagnosa dan penentuan diagnosa primer atau sekunder sesuai dengan derajat



keparahan (severity level) yang tepat pula. Apabila penentuan diagnosa tidak tepat sesuai biasa disebut dengan upcoding yang semakin memperbesar selisih/nilai hospital cost. e) Clinical pathway Clinical pathway sangat berperan dalam proses pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit agar tidak terjadi proses perawatan beragam untuk kasus/penyakit yang sama misalnya pada acuan lama hari rawat pasien yang berbeda-beda dengan diagnosa yang sama bergantung pada dokter yang menangani. e. Tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan Indonesian-Cased Based Groups (INA-CBG’s) Permenkes No 59 mengklasifikasikan biaya dalam 3 jenis yakni tarif kapitasi, tarif non kapitasi, serta tarif Indonesian-Cased Based Groups (INA-CBG’s). Tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim BPJS kesehatan yang dibayarkan kepada fasilitas kesehatan rujukan lanjutan (FKTL) dalam hal ini adalah rumah sakit (Permenkes No. 59 Pasal 1). Sistem pembiayaan yang digunakan oleh pemerintah saat ini adalah sistem pembiayaan INA-CBG’s yang bertujuan menjadi kendali biaya kesehatan dan mutu dalam memperoleh keuntungan (moral hazard) baik oleh pemberi layanan kesehatan maupun pengguna layanan kesehatan (Putra, 2013). Adapun daftar tarif INA-CBG’s khusus pasien CHF berdasarkan Permenkes No. 59 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:



Tabel 2.1. Tarif INA-CBG’s 2014 Regional 3 No Kode Deskripsi kode INA-CBG’s Rumah Sakit kelas A



3.



Tarif kelas 3



Tarif kelas 2



Tarif kelas 1



1



I-4-12-I



Kegagalan jantung ringan



5,041,500



6,049,200



7,058,000



2



I-4-12-II



Kegagalan jantung sedang



8,157,800



9,790,300



11,422,100



3



I-4-12-III



Kegagalan jantung berat



10,007,600



12,094,300



14,108,600



Tinjauan teori tentang Efektivitas a. Defenisi Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil dengan baik (Kamus Bahasa Indonesia). Kurniawan (2015) mendefinisikan efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi yang tidak memiliki tekanan dalam proses pelaksanaannya. Hidayat (2011) mengemukakan efektivitas sebagai suatu ukuran seberapa jauh target baik secara kualitas, kuantitas dan waktu yang telah tercapai. Efektivitas atau biasa juga disebut efektif merupakan unsur pokok dalam mencapai suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan (Hidayat, 2011). Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai efektivitas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kualitas, kuantitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen dimana target sebelumnya telah ditentukan, dimana semakin besar persentase target tercapai maka semakin tinggi pula tingkat efektivitasnya.



b.



Pendekatan dalam menilai efektivitas Muhidin (2009) mengemukakan terdapat beberapa pendekatan evaluasi dalam mengukur keberhasilan suatu program, antara lain dijelaskan sebagai berikut: 1) Pendekatan eksperimental (experimental approach), berasal dari kontrol eksperimen yang dilakukan dalam penelitian akademik dimana bertujuan memperoleh kesimpulan yang bersifat umum tentang dampak suatu program tertentu dengan mengontrol faktor dan mengisolasi pengaruh program 2) Pendekatan berorientasi terhadap tujuan (Goal oriented approach), dalam pendekatan ini menggunakan tujuan sebagai kriteria menentukan keberhasilan dimana memiliki desain pengembangan program yang mudah dan praktis. Pendekatan ini memberikan penjelasan terkait hubungan kegiatan khusus yang ditawarkan dengan hasil yang akan dicapai 3) Pendekatan yang berfokus pada keputusan (The decision focused approach), pendekatan ini menekankan peranan informasi yang sistematik untuk pengelola program dalam menjalankan tugas, dimana dalam pendekatan ini, informasi sangat berguna membantu pengelola program membuat suatu putusan sehingga evaluasi harus direncanakan sesuai dengan kebutuhan program tersebut 4) Pendekatan yang berorientasi pada pemakai (The user oriented approach), pendekatan ini berfokus pada masalah utilisasi evaluasi dengan penekanan pada perluasan pemakaian informasi. Dalam



pendekatan ini mementingkan teknik analisa data atau penjelasan tentang tujuan evaluasi, namun usaha pemakai dan cara pemakaian informasi jauh lebih penting. 5) Pendekatan yang responsive (The responsive approach), pada pendekatan ini menekankan bahwa evaluasi yang berarti adalah evaluasi yang mencari pengertian suatu isu dari berbagai sudut pandang seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap program. c.



Ukuran efektivitas Siagian (1978) dalam Soekanto (2010) mengatakan bahwa tingkat efektivitas dapat diukur dengan membandingkan rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Adapun criteria pencapaian efektif atau tidak dijabarkan sebagai berikut: 1) Kejelasan tujuan yang akan dicapai agar dalam pelaksanaan tugas staf lebih terarah sehingga memudahkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan 2) Kejelasan strategi pencapaian tujuan. Strategi merupakan “trik atau jalan” yang diikuti dalam melakukan upaya mencapai tujuan yang telah ditargetkan agar staf tidak tersesat dalam mencapai tujuan organisasi 3) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuan dengan usaha pelaksanaan kegiatan operasional



4) Perencanaan yang matang. Suatu perencanaan yang matang akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan pencapaian tujuan karena disusun dan dipikirkan sejak dini dengan menimbang strategi tebaik yang akan digunakan 5) Penyusunan program yang tepat. Suatu perencanaan yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat agar para pelaksana memiliki pedoman bertindak dan bekerja dengan tepat 6) Tersedianya sarana dan prasarana. Salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemampuan bekerja secara produktif yang disediakan oleh organisasi bersangkutan 7) Pelaksanaan



efektif



dan



efisien.



Suatu



program



sebaiknya



dilaksanakan secara efektif dan efisien agar semakin mendekatkan kepada keberhasilan pencapaian tujuan d.



Masalah pengukuran efektivitas Terdapat beberapa masalah yang dikemukakan oleh Muhidin (2009) terkait pengukuran atau penilaian efektivitas sebagai berikut: 1) Masalah kesahihan penyusunan Bahwa susunan yang dimaksud adalah suatu hipotesis yang abstrak mengenai



hubungan



antara



beberapa



variabel



yang



saling



berhubungan dimana dinyatakan bahwa variabel-variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh



2) Masalah stabilitas kriteria Bahwa terdapat beragam kriteria evaluasi yang digunakan dapat membuat suatu pengukuran efektivitas yang tidak stabil setelah beberapa waktu. 3) Masalah perspektif waktu Bahwa masalah yang dimaksud adalah masalah dalam mempelajari cara terbaik menciptakan keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang 4) Masalah kriteria ganda Keuntungan utama dari rancangan multivariasi dalam evaluasi efektivitas adalah bersifat komprehensif, memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka. 5) Masalah ketelitian pengukuran Dalam hal ini, peneliti harus mengenali criteria yang dapat diukur dengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh variabel yang menyesatkan dalam proses analisis 6) Masalah kemungkinan generalisasi Pada saat memilih kriteria, seseorang harus memperhatikan tingkat konsistensinya dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari 7) Masalah relevansi teoritis Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori dan model secara tepat. Dari sudut pandang a teoritis, pertanyaan yang diajukan



harus bersifat logis, karena pertanyaan yang logis memiliki nilai teoritis yang tinggi. 4.



Tinjauan teori tentang discharge planning Perencanaan pulang atau biasa juga disebut dengan discharge planning, merupakan rangkaian tindakan keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien dimanapun pasien tersebut berada. Berikut ini beberapa pendapat terkait pengertian, tujuan, manfaat serta prinsip-prinsip dalam pelaksanaan discharge planning/perencanaan pulang: a. Pengertian Discharge planning adalah suatu rangkaian kegiatan yang menghubungkan antara rumah sakit, pelayanan berbasis masyarakat, serta organisasi non pemerintah (Departemen Kesehatan, 2005). National Council of Social service (2009) bahwa sebuah discharge planning merupakan



tujuan



akhir



dari



suatu



rencana



perawatan



dengan



memberdayakan pasien dalam memanfaatkan dukungan sumber daya dalam keluarga maupun masyarakat. Rofi’I (2011) berpendapat discharge planning merupakan rangkaian perawatan sistematis diberikan sejak pasien baru masuk kemudian selama dirawat hingga pasien dalam persiapan pemulangan. Pada



dasarnya



discharge



planning



merupakan



program



pemberian informasi atau pendidikan kesehatan kepada pasien terkait nutrisi, aktivitas/latihan, obat-obatan, serta tanda dan gejala penyakit pasien agar pasien dan keluarga mengetahui manajemen perawatan pasien setelah kembali ke rumah serta batasan dan implikasi kesehatan secara



dinamis terdiri dari penilaian, persiapan, serta koordinasi dengan tujuan memudahkan pengawasan pelayanan kesehatan dan sosial sebelum maupun setelah kembali ke rumah (Nursalam, 2014). Dengan demikian, dapat disimpulkan discharge planning merupakan suatu tindakan secara berkesinambungan diberikan sejak pasien masuk hingga persiapan pulang mencakup pengkajian keperawatan berkelanjutan sesuai



dengan



kebutuhan pasien b. Tujuan Discharge planning World Health Organization (WHO) (2005) merumuskan tujuan dari pelaksanaan discharge planning adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga terkait kondisi kesehatan pasien serta hal-hal tertentu yang menjadi keterbatasan pasien selama berada di rumah 2) Meningkatkan kemampuan keluarga dalam memodifikasi kondisi lingkungan rumah agar dapat memandirikan pasien 3) Memastikan bahwa perawatan selanjutnya yang akan diperoleh pasien selama berada di rumah sudah tepat Menurut Nursalam (2014) tujuan discharge planning adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan sosial 2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga 3) Meningkatkan keperawatan yang berkelanjutan pada pasien 4) Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain



5) Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien 6) Melaksanakan rentang keperawatan antara rumah sakit dan masyarakat c. Manfaat Discharge planning Nursalam (2011) menjabarkan manfaat dari discharge planning adalah sebagai berikut: 1) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mendapatkan informasi terkait kesehatannya selama berada di rumah sakit, sehingga dapat berguna bila telah kembali ke rumah 2) Tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin kontinuitas keperawatan pasien 3) Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan pasien dan mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan keperawatan baru 4) Membantu



kemandirian



pasien



dalam



kesiapan



melakukan



keperawatan di rumah. Wulandari (2011) mengatakan bahwa manfaat dari pemberian discharge planning secara terstruktur sejak pasien masuk di ruang perawatan sampai rencana pemulangan adalah sebagai berikut: 1) Mengurangi pelayanan yang tidak terencana 2) Mengantisipasi terjadinya kegawatdaruratan selama berada di rumah 3) Mengurangi LOS/AvLos



4)



Meningkatkan kepuasan pasien



5)



Menghemat biaya perawatan



6)



Hasil kesehatan optimal dapat tercapai



d. Prinsip-prinsip pelaksanaan discharge planning Didalam proses pelaksanaannya, discharge planning memiliki beberapa prinsip yang dijelaskan oleh Nursalam (2014) sebagai berikut: 1) Pelaksanaan discharge planning berfokus kepada pasien seperti nilai keinginan dan kebutuhan pasien harus dikaji secara berkala 2) Mengidentifikasi kebutuhan pasien. Kebutuhan yang dimaksud adalah segala kebutuhan terkait dengan masalah yang kemungkinan akan timbul pada saat pasien berada di rumah/pulang, sehingga dapat diidentifikasi sejak dini. 3) Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif yang melibatkan multidisiplin dalam setiap tim. 4) Perencanaan pulang dilaksanakan pada setiap tatanan pelayanan kesehatan dimana setiap pasien masuk, maka perencanaan pulang harus dilakukan. Selain prinsip tersebut diatas, Depkes RI (2008) mengemukakan prinsip yang harus diperhatikan oleh seorang perawat dalam pembuatan discharge planning adalah sebagai berikut: 1) Dibuat pada saat pasien masuk Pelaksanaan pengkajian pada saat pasien masuk akan memudahkan proses mengidentifikasi kebutuhan pasien. Perencanaan pemulangan



pasien sejak awal dapat berpengaruh terhadap LOS dan biaya perawatan 2) Berfokus pada kebutuhan pasien Kebutuhan pasien yang dimaksud adalah kebutuhan pasien dan keluarga secara komprehensif 3) Melibatkan berbagai pihak yang terkait Dalam penyusunan perencanaan keperawatan, pasien dan keluarga turut



serta



terlibat



agar



sumber



pelayanan



kesehatan



dapat



dimanfaatkan secara optimal setelah pasien dipulangkan 4) Dokumentasi pelaksanaan discharge planning Pelaksanaan



discharge



planning



harus



didokumentasikan



dan



dikomunikasikan kepada pasien dan keluarga minima 24 jam sebelum pasien dipindahkan e. Pemberi Layanan discharge planning Proses penerapan discharge planning harus dilakukan secara komprehensif melibatkan multidisiplin ilmu dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien (Perry & Potter, 2006). Seorang petugas rumah sakit sebagai koordinator discharge planning dalam tim discharge planner



mempersiapkan



proses



persiapan



pulang,



menyiapkan



pendidikan kesehatan serta merencanakan dan mengimplementasikan perencanaan pulang tersebut. Adapun peran seorang perawat dalam tim discharge planner memegang peranan penting dimana perawat selama 1x24 jam berada bersama pasien sejak pasien menjalani perawatan di rumah sakit (Discharge Planning Association, 2008)



f. Komponen discharge planning Discharge Planning Association (2008) mengatakan bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam format discharge planning terdiri atas: 1) Pengobatan di rumah mencakup resep baru, pengobatan yang sangat dibutuhkan serta pengobatan yang dihentikan 2) Daftar nama obat harus mencakup nama, dosis, frekuensi serta efek samping secara umum 3) Hasil tes laboratorium yang dianjurkan serta pemeriksaan penunjang lain yang mendukung 4) Pola hidup mencakup aktivitas, latihan, diet yang dianjurkan dan pembatasannya 5) Petunjuk perawatan diri 6) Waktu serta bagaimana perawatan selanjutnya setelah dipulangkan, waktu kontrol selanjutnya dengan nama, tanggal dan lokasi yang jelas 7) Kontak yang dapat dihubungi ketika keadaan darurat g. Jenis-jenis discharge planning Nursalam (2014) mengklasifikasikan jenis pemulangan sebagai berikut: 1)



Conditioning discharge (pulang sementara), keadaan ini dilakukan apabila kondisi pasien baik dan tidak terdapat komplikasi. Pasien sementara dirawat di rumah namun tetap memperoleh pengawasan dari pihak rumah sakit atau puskesmas terdekat.



2)



Absolute discharge (pulang mutlak/selamanya), cara ini merupakan akhir dari perawatan pasien, namun apabila perlu dirawat kembali maka prosedur keperawatan dapat dilakukan kembali.



3)



Judicial discharge (pulang paksa), pasien diperbolehkan pulang walaupun kondisi kesehatan tidak memungkinkan untuk pulang, tetapi pasien tetap dipantau dengan melakukan kerjasama dengan pihak puskesmas terdekat.



h. Proses pelaksanaan discharge planning Potter dan Perry (2006) membagi pelaksanaan discharge planning kedalam tiga fase yaitu fase akut, transisional dan pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut, perhatian dititik beratkan pada usaha discharge planning, fase transisional, pasien sudah dipersiapkan untuk pulang dan kebutuhan pelayanan akut masih terlihat namun tingkat urgency telah berkurang, sedangkan pada fase pelayanan berkelanjutan, pasien ikut berpartisipasi dalam menyusun rencana pemulangan serta pelaksanaan perawatan berkelanjutan setelah berada di rumah. Selain itu, Potter dan Perry (2006) merumuskan pelaksanaan perencanaan pulang yang terdiri dari proses pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan dijelaskan sebagai berikut: 1) Pengkajian a)



Proses pengkajian dimulai sejak pasien masuk, dimana dalam mengkaji



kebutuhan



pemulangan



menggunakan



riwayat



keperawatan yang terdiri dari kesehatan fisik pasien, status fungsional, sistem pendukung sosial, sumber finansial, latar belakang budaya, serta tingkat pendidikan yang dilakukan secara terus menerus



b) Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga dalam penggunaan alat medis di rumah serta hal-hal yang berpotensi mengganggu kesehatan dan dapat menimbulkan komplikasi. c)



Mengkaji metode pembelajaran serta media yang diminati oleh pasien dan keluarga sehingga memudahkan dalam memahami informasi yang diberikan



d) Faktor



lingkungan.



mengidentifikasi



Bersama



faktor



pasien



penghambat



dan



proses



keluarga pelaksanaan



keperawatan di rumah seperti luas kamar, fasilitas kamar mandi, fasilitas pendukung motorik, dsb 2) Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul setelah pemulangan pasien bergantung kepada kondisi masing-masing individu yang kemudian dikembangkan guna mengetahui kondisi klien serta perawatan dirumah tepat sasaran. Dikutip dalam Carpenito (2009) standar perawatan lazimnya mengacu kepada resiko ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik dan resiko kelemahan pemeliharaan di rumah. 3) Perencanaan Potter



&



Perry



(2006)



menjelaskan



bahwa



proses



perencanaan dalam discharge planning berpusat pada kondisi pasien serta penetapan kriteria hasil dilakukan sebagai pedoman dalam mencapai tujuan perawatan. Adapun proses perencanaan pulang terdiri dari:



a)



Daftar kebutuhan pasien selama berada di lingkungan masyarakat



b) Melibatkan



stakeholder



yang



berperan



dalam



proses



pemulangan pasien c)



Mengidentifikasi fasilitas pendukung perawatan pasien selama berada di masyarakat



d) Mengimplementasikan perencanaan pemulangan yang dapat dicapai Apabila seluruh prosedur perencanaan telah lengkap, maka hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut: a)



Pasien atau keluarga pasien (sebagai care giver) mampu menjelaskan bagaimana keberlangsungan pelayanan kesehatan setelah pasien berada di rumah, terapi pengobatan yang harus diperoleh pasien setelah berada di rumah.



b) Pasien dan keluarga mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (atau anggota keluarga mampu melakukan aturan perawatan) c)



Rintangan terhadap ambulasi dan pergerakan pasien diubah sesuai kebutuhan dan tingkat keterbatasan pasien serta mengidentifikasi hal-hal yang beresiko membahayakan kondisi kesehatan pasien.



4) Implementasi Proses implementasi dalam discharge planning dibagi menjadi 2 bagian yang terdiri dari: penatalaksanaan sebelum hari pemulangan,



dan penatalaksanaan pada hari pemulangan yang dijelaskan sebagai berikut: a)



Persiapan sebelum hari pemulangan Pada tahap ini, pasien dan keluarga dipersiapkan dalam memperoleh informasi terkait sumber pelayanan setelah kembali ke masyarakat, memberikan health education tentang tanda dan gejala, komplikasi, kepatuhan pengobatan, diet, dan komunikasi dengan pihak RS terkait kepatuhan melaksanakan discharge planning. Selain hal tersebut diatas, pada tahap ini pasien dan keluarga dipersiapkan dalam mengidentifikasi hambatan untuk belajar serta kemauan untuk belajar, mengadakan sesi pengajaran dengan pasien dan keluarga menggunakan leaflet, buku-buku, atau rekaman video. Apabila aktivitas diatas dapat dilakukan sebelum hari pemulangan, maka proses perencanaan akan berjalan dengan efektif.



b) Persiapan setelah hari pemulangan Setelah melakukan persiapan sebelum proses pemulangan, maka pada saat hari pemulangan aktivitas yang dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada pasien dan keluarga mengajukan pertanyaan terkait kondisi kesehatan pasien, isu-isu terkait



perawatan



di



rumah,



serta



mendemonstrasikan



kemampuan keluarga sebagai care giver dalam merawat pasien di rumah. Pada tahap ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap



instruksi pemulangan dokter, resep pengobatan sesuai instruksi dokter, kebutuhan alat-alat medis baik selama perjalanan maupun setelah berada di rumah, persiapan transportasi, mengatur jadwal pertemuan follow up dengan dokter, serta tetap menjaga privasi pasien selama berada di perjalanan. 5) Evaluasi Pada tahap ini, pasien dan keluarga diberi kesempatan untuk menjelaskan kembali tentang penyakit, pengobatan, diet, tanda dan gejala yang harus dilaporkan ke pihak RS (dokter/perawat), mendemostrasikan setiap pengobatan yamg dilakukan di rumah, serta perawat yang bertugas melakukan home care/care giver agar mengidentifikasi segala faktor yang berpotensi dapat menghambat keberlangsungan dari proses perawatan dan pengobatan pasien selama berada di rumah. i.



Elemen discharge planning 1) Perencanaan pulang



harus dimulai sejak pasien baru masuk di



rumah sakit 2) Pengkajian



menggunakan instrumen



pengkajian pemulangan



khusus 3) Memilih perencanaan pulang yang paling sesuai dengan pasien j.



Penerima discharge planning Berdasarkan DPA (2008) mengatakan bahwa semua pasien yang dihospitalisasi memerlukan discharge planning, namun beberapa kondisi yang menyebabkan pasien beresiko tidak dapat



terdapat



memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan berkelanjutan setelah pasien pulang contohnya pasien dengan penyakit terminal atau dengan kecacatan permanen. k. Cara mengukur discharge planning Sebuah discharge planning dikatakan baik apabila pasien dipersiapkan untuk pulang, dan sebelum pulang pasien memperoleh informasi serta penjelasan yang penting terkait kondisi/pengobatan serta perawatannya di rumah (The Royal Marsden Hospital, 2004). Discharge planning yang berhasil adalah suatu proses yang terpusat dan terkordinir dari berbagai disiplin ilmu yang menyatakan bahwa pasien memiliki suatu rencana untuk memperoleh perawatan yang berkelanjutan setelah meninggalkan rumah sakit. Indicator keberhasilan discharge planning dapat dilihat dari: 1) Pasien dan keluarga mampu memahami diagnose, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan serta tindakan pengobatan untuk kepulangan, antisipasi tindakan keperawatan lanjutan serta respon pada saat kondisi gawat darurat 2) Pendidikan mendalam (deep learning) diberikan kepada pasien dan keluarga demi memastikan perawatan yang tepat setelah pasien dipulangkan ke rumah 3) Berkoordinasi dengan sistem pelayanan pendukung



l.



Faktor yang mempengaruhi discharge planning Melalui suatu penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Poglitsch, Emery & Darragh (2011) tentang faktor-faktor yang menentukan proses perencanaan pulang terdiri dari 6 faktor yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Karakteristik perawat Adapun karakteristik perawat dalam hal ini terdiri dari umur, jenis kelamin, jenjang pendidikan, masa kerja serta status pernikahan mampu mempengaruhi proses penerapan discharge planning di rumah sakit. 2) Umur Umur merupakan faktor penentu dalam kinerja seseorang, dimana semakin bertambahnya umur diyakini dapat menurunkan kemampuan kerja karyawan/staff, dan sebaliknya pada umur tertentu, produktivitas seseorang dapat meningkat. 3) Jenis Kelamin Robbins (2006) mengatakan bahwa penelitian-penelitian dalam bidang ilmu psikologi menunjukkan hasil bahwa pria lebih cenderung memiliki harapan besar dalam keberhasilan dibandingkan wanita walaupun perbedaan tersebut tidak signifikan, namun wanita lebih cenderung dapat mematuhi wewenang daripada pria. 4) Jenjang pendidikan Hasil



penelitian



Riyanti



(2015),



berpendapat



semakin



tinggi



pendidikan seseorang maka semakin besar pula keinginannya untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki.



5) Masa kerja Masa kerja seseorang juga berpengaruh terhadap pelaksanaan discharge planning dimana hanya seseorang dengan pengalaman kerja yang sudah cukup dapat berperan sebagai discharge planner. Dimana pendapat lain oleh Robbins (2006) mengatakan bahwa masa atau pengalaman kerja dapat menjadi dasar perkiraan yang baik terhadap produktivitas kinerja seorang karyawan. 6) Status pernikahan Seorang karyawan dengan status pernikahan akan berbeda cara memaknai suatu pekerjaan dibandingkan dengan karyawan yang belum menikah, dimana seseorang dengan keluarga akan jauh bertanggung jawab terhadap pekerjaan karena merasa telah memiliki beban hidup yang lebih dalam hal ini adalah keluarga. 7) Personil perencanaan pulang Orang-orang yang berkontribusi dalam proses penerapan discharge planning memiliki peranan dan pengaruh sangat penting. Faktor personil discharge planning terdiri dari perawat, dokter, petugas kesehatan di masyarakat, petugas gizi, pasien itu sendiri, beserta keluarga pasien (Poglits, Emery & Darragh, 2011). 8) Komunikasi Komunikasi yang dimaksud adalah sejauh mana petugas kesehatan memberikan informasi terkait kesehatan pasien serta informasi tersebut dapat dimengerti oleh pasien dan keluarga. Tugas seorang perawat sebagai discharge planner adalah menjelaskan tujuan, manfaat dan



proses perencanaan perawatan kepada pasien dan keluarga yang akan merawat di rumah. Informasi diberikan kepada pasien dan keluarga harus dengan cara dan tingkat kecepatan komunikasi yang sesuai dengan kondisi mereka. 9) Waktu Proses penerapan discharge planning membutuhkan waktu yang cukup agar berjalan



optimal.



Berdasarkan



Pengalaman



Implementasi



discharge planning menggunakan The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) strategy_4 tools IDEAL discharge planning bahwa penerapan yang optimal dilakukan sebanyak 4 kali tatap muka melibatkan pasien dan keluarga yang akan merawat pasien setelah kembali ke rumah (AHRQ Tools Ideal Discharge Planning) 10) Perjanjian dan konsensus Hasil panelitian Astuty dan Risqi (2015) menunjukkan hasil bahwa salah satu faktor penyebab perencanaan pulang tidak dilakukan secara optimal diakibatkan oleh beban kerja perawat yang cukup banyak sehingga perawat sebagai pemberi discharge planning tidak mampu melaksanakan, perawat hanya melakukan poin penting pada tiap subvariabel discharge planning. m. Alur pelaksanaan discharge planning Dalam melakukan suatu discharge planning dibutuhkan alur yang jelas agar proses pelaksanaannya dapat berjalan secara terus menerus sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku guna mencapai hasil pelayanan keperawatan yang optimal bagi pasien selama menjalani



perawatan. Berdasarkan Nursalam (2014), alur penerapan discharge planning digambarkan sebagai berikut: Dokterdantim kesehatan lainnya



Ners PP dibantu PA



Penentuan keadaan pasien Klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya Tingkat ketergantungan pasien



Perencanaan Pulang



Penyelesaian Administrasi



Program HE:



Lain-lain



Kontrol dan obat Nutrisi Aktivitas dan istirahat Perawatan diri



Monitor(sebagaiprogram service safety) oleh keluarga Sumber: Nursalam (2014) 5.



Tinjauan teori tentang congestive heart failure (CHF) a.



Pengertian Dikutip dalam Muttaqin (2009) congestive heart failure (CHF) merupakan suatu kondisi patologis jantung mengalami ketidakmampuan memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan



oksigen dalam jaringan. Brown, Diane & Edwards (2005) berpendapat CHF adalah keadaan dimana jantung mengalami gangguan yang mengakibatkan ketidakmampuan jantung memompa darah keluar ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh baik pada saat beristirahat maupun sedang beraktivitas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan CHF merupakan suatu kondisi jantung yang kehilangan kemampuan dalam memompa darah ke seluruh tubuh demi memenuhi kebutuhan suplai oksigen ke jaringan. b. Etiologi Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab CHF sebagai faktor resiko diantaranya adalah hipertensi, diabetes mellitus, kehamilan, anemia, gangguan pada paru, gangguan hormon tyroid, faktor usia, dan pola hidup (Udjianti, 2010). Adapun pendapat lain menurut Kasron (2012) terkait penyebab CHF sebagai berikut: 1) Kelainan otot jantung Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung yang disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeratif atau inflamasi 2) Aterosklerosis koroner Menyebabkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung yang disertai hipoksia dan asidosis 3) Hipertensi sistemik atau pulmonal



Meningkatnya



beban



kerja



jantung



dan



pada



gilirannya



mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung 4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif Sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. 5) Penyakit jantung lainnya Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,



yang



secara



langsung



mempengaruhi



jantung.



Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk ke jantung, ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah, serta peningkatan mendadak after load 6) Faktor sistemik Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal ginjal. Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. c.



Klasifikasi Dikutip dalam The American Health Association (AHA, 2011) bahwa penyakit congestive heart failure (CHF) merupakan suatu keadaan yang timbul secara progresif dan perlahan menjadi lebih berat bahkan semakin memburuk. Adapun stage CHF menurut AHA (2011) adalah: 1) Stage A (beresiko): pasien dengan kondisi medis yang dapat menyebabkan gagal jantung (DM, hipertensi, obesitas,dll)



2) Stage B (penyakit jantung): pasien yang didiagnosis dengan penyakit jantung (serangan jantung, penyakit katup) 3) Stage C (gejala): pasien dengan penyakit jantung dan beberapa keterbatasan aktivitas fisik karena sesak napas/kelelahan 4) Stage D (berat): stadium akhir gagal jantung dan butuh perawatan di rumah sakit Klasifikasi CHF menurut Herdman (2012) membagi kriteria CHF berdasarkan akut-kronik, gagal jantung kanan-kiri, serta gagal jantung sistolik dan diastolik yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Gagal jantung akut-kronik a)



Gagal jantung akut terjadi secara tiba-tiba, ditandai dengan penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan yang mengakibatkan edema paru dan perfusi jaringan.



b) Gagal jantung kronik ditandai dengan



penyakit



jantung



iskemik, penyakit paru kronik. Selain itu juga dapat terjadi retensi air dan sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan hipervolemia yang mengakibatkan ventrikel dilatasi dan hipertropi. 2) Gagal jantung kanan-kiri a)



Gagal jantung kiri Terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral



b) Gagal jantung kanan



Disebabkan oleh peningkatan tekanan pulmonal akibat gagal jantung kiri yang terjadi cukup lama. 3) Gagal jantung sistolik-diastolik a) Sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri sehingga ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang berakibat penurunan cardiac output dan ventrikel hipertropi b) Diastolik karena ketidakmampuan ventrikel dalam pengisisan darah akibatnya stroke volume cardiac output Berdasarkan



The



New



York



Heart



Association



(NYHA)



mengklasifikasikan batasan fungsional CHF adalah sebagai berikut: Tabel 2.4 Kelas



Definisi Penyakit ringan dan masih dapat melakukan aktivitas I biasa, tidak menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak napas dan angina pektoris Pasien telah mengalami keterbatasan aktifitas ringan seperti berjalan dan menaiki tangga yang mengalami II kelelahan, palpitasi, sesak napas atau angina tetapi akan merasa nyaman bila beristirahat Pasien mengalami gejala walau hanya dengan aktifitas minimal, dan mengalami kelelahan, palpitasi dan sesak III napas, namun pasien masih bisa merasa nyaman pada saat beristirahat Pasien mengalami keterbatasan aktifitas fisik berarti, IV gejala dapat dirasakan pada saat beristirahat dan dapat diperberat walau dengan aktifitas fisik ringan Dikutip dalam: European Society of cardiology (ESC, 2012) d. Patofisiologi Fungsi



jantung



sebagai



sebuah



pompa



diindikasikan



oleh



kemampuannya untuk memenuhi suplai darah yang adekuat ke seluruh



tubuh, baik dalam keadaan istirahat maupun saat mengalami stress secara fisiologis (Hatler, 2006) CHF kronik merupakan suatu keadaan dimana terjadi disfungsi antara satu atau kedua ventrikel. Secara normal, jantung memompa darah dari bagian kiri dan kanan sehingga menghasilkan aliran yang terus menerus, namun pada penderita CHF, salah satu sisi jantung mengalami kegagalan, sementara bagian lainnya masih berfungsi normal hingga periode beberapa waktu (Meng, 2013). Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan: 1) Preeload Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung 2) Kontraktilitas Perubahan



kekuatan



kontriksi



berkaitan



dengan



panjangnya



regangan serabut jantung 3) Afterload Besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan tekanan yang diperlukan oleh tekanan arteri e.



Pemeriksaan penunjang 1) Tes laboratorium 2) Sinar X dan Fluoroskopi Pemeriksaan ini tidak membantu diagnosa infark miokard akut namun dapat menguatkan adanya komplikasi tertentu.



3) Elektrokardiogram (EKG) 4) Kateterisasi jantung f. Penatalaksanaan CHF 1) Terapi non farmakologi a) Pemberian diet pasien CHF diberikan diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan Nacl dibatasi hingga 2-3 gr/hari untuk gagal jantung ringan, atau