Dwi Rahayu Suciati - Absorbsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II “ABSORPSI”



Nama Penyusun



: Dwi Rahayu Suciati



Kelompok



:3



Nama Kelompok



: 1. Ayu Sindini



Dosen Pengampu



(066118034)



(066118001)



2. Hadi Apriansyah



(066118015)



3. Resti Aryonah H



(066118022)



:



1. Nisa Najwa, M.Farm., Apt.



6. Oktavia Zunita, M.Farm., Apt



2. Emy Oktaviani, M.Clin.Pharm., Apt



7. Nina Herlina, M.Si.



3. Dewi Oktavia Gunawan, M.Farm., Apt. 8. Lusi Indriani, M.Farm., Apt. 4. Lusi Agus Setiani, M.Farm., Apt.



9. Ir. E. Mulyati Effendi, MS



5. Ema Nilafita Putri K, M.Farm., Apt.



10. Sara Nurmala, M.Farm



Asisten Dosen : 1. Claudia Rafi. A



5. Zahara Youlanda. U



2. Rd. Ajeng Sinta Anita



6. Arief Rachman H



3. Yohana Yulistianita S



7. Asrul Febrianto



4. Nadya Amalia



8. Ujang Mamudin



LABORATORIUM FARMASI PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR 2020



BAB I PENDAHULUAN 1.I Tujuan Praktikum 



Mempelajari faktor yang mempengaruhi absorbs obat yang mempengaruhi intensitas efek obat yang timbul







Memahami bahwa media yang mempengaruhi absorbs obat, mempunyai peran penting dalam menentukan potensi suatu sedian obat







Mempelajari pengaruh pH media terhadap kecepatan absorbs lambung



1.2 Latar Belakang Obat adalah bentuk sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada organisme hidup dan dapat menimbulkan respon pada pemakaina. Disini kita mempelajari tentang farmakologi yang dapat didefinisikan secara sempit sebagai ilmu tentang interaksi antara senyawa kimia dan system biologi. Jalur pemakaian obat tersebut harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorpsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dn bioavailabilitas, cepat atau lambatnya obat mulai bekerja, lamanya obat bekerja, intensitas kerja obat, respon farmakologinya yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respon tertentu.Peran organ dalam tubuh seseorang merupakan hal terpenting dalam prosesekresi obat. Obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami absorsi, distribusi,metabolisme dan yang terakhir ekresi. Dalam proses tersebut dibutuhkan organ yangsehat dan kuat jika tidak obat dapat menjadi racun dalam tubuh kita.Peran seorang farmasis dalam pemberian obat dan pengobatan telah berkembangdengan cepat dan luas seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Obat merupakan salah satu kebutuhan yang digunakan dalam upaya menunjang upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Banyak bentuk sedian farmasi yang beredar di masyarakat diantaranya sediaan padat dan cair, terdapat sediaan yang mengandung bahan aktif yang kelarutannya kecil dalam air. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu.



Farmasis diharapkan terampil dan tepat saat melakukan pemberian obat. Pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting dimiliki oleh seorang farmasis. Keberhasilan promosi kesehatan sangat tergantung pada cara pandang klien atau pasiensebagai bagian dari pelayanan kesehatan, yang juga bertanggung jawab terhadapmenetapkan pilihan perawatan dan pengobatan, baik itu berbentuk obat alternatif,diresepkan oleh dokter, atau obat bebas tanpa resep dokter. Sehingga, tenaga kesehatanterutama seorang farmasis harus dapat membagi pengetahuan tentang obat-obatan sesuai dengan kebutuhan klien atau pasien. Rute pemberian obat “Routes of Administration” merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbedakarena jumlah suplai darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan menyediakan obat (Ditjen POM, 1976) Absorbsi atau penyerapan obat adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran tubuh setelah melewati sawar biologi. Absorbsi obat berperan penting untuk akhirnya menentukan efektiftas obat agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja. Absorpsi adalah transport elektron suatu obat dimana tempat pemberian mengalirkan kealiran darah proses absorpsi terjadi diberbagai tempat pemberian obat,seperti saluran cerna,otot, rangka, paru-paru kulit dan sebagainya. Faktor yang dipengaruhi absorpsi obat.kelarutan obat,kemampuan difusi melalui sel membran, kemampuan difusi melalui sel membran, konsentrasi obat, sirkulasi pada letak absorpsi, dan luas permukaan kontak obat. Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suply darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989). Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: 1. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik 2. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama 3. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus 4. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute 5. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter 6. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam- macam rute 7. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral. Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik



diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990). Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah di bidang kedokteran atau biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002) Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989).



BAB III METODE KERJA 3.1 Alat Dan Bahan 3.1.1 Alat 1. Alat bedah 2. Kertas saring 3. Selang karet 4. Spuit 5. Tabung reaksi



3.1.2 Bahan 1. Asam salisilat dalam HCl 0.1 N 2. Asam salisilat dalam NaHCO3 0.3 M 3. Deret konsentrasi asam salisilat 4. Larutan FeCl3 dalam HNO3 0.1% 5. NaCl fisiologis 6. Tikus



3.2 Cara Kerja 1. Preparasi  Dibuat deret konsentrasi asam salisilat dari konsentrasi 0-100ppm (0, 20, 40, 60, 80, 100)  Dipuasakan tikus selama 24 jam



 Dianestesikan tikus dengan pentotal 40mg/KgBB (IP)  Dicukur bulu pada bagian abdomen kemudian bedah tikus secara vertical  Dicari bagian lambung pada tikus, diikat pada bagian dekat dengan esofagus  Disayat kemudian masukan pipa + spuit  Dibersihkan lambung dengan menggunakan cairan NaCl fiiologis, setelah bersih masukan asam salisilat 4-6ml  Dicatat waktu mulai asam salisilat dimasukkan. Tarik kembali cairan sebanyak lebih kurang 2ml sebagai konsetrasi awal (Ct0)  Dimasukkan kembali cairan setelah 1 jam, cairan yag tersisa dalam lambug diambil kembali (Ct1)



2. Cara menetukan konsentrasi asam salisilat  Disedot semua cairan yang tersisa dalam lambung  Disaring menggunakan kertas saring, filtrat disimpan dalam tabung reaksi  Ditambahkan 5 ml reagen FeCl3 1% dalam HNO3 0.1 N dalam 1 ml filtrat  Diamati warna yang dihasilkan kemudian bandingkan dengan deret standar yang telah disediakan. Catat untuk data  Presentase absorbansi = 𝐶𝑡0−𝐶𝑡1 𝑥 100% 𝐶𝑡0



Ct1



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Pengamatan 4.1.1 Data Biologis Hewan Coba Data Biologis



Sebelum



Sesudah



Bobot Badan Frekuensi Jantung Laju napas Reflex Tonus Otot Rasa Nyeri Kesadaran Gejala lain



130 gram 197/menit 188/menit +++ +++ +++ +++ -



130 gram 160/menit 120/menit -



4.1.2 Data Absorbansi Kel. 2 4 6 8 10 1 3 5 7 9



Asam salisilat dalam Basa (NaHC03 0,3 M)



Asam (HCl 0,1 N)



Ct0 (ppm)



Ct1 (ppm)



% Absorbansi



X



SD



100 100 100 100 100 100 100 100 100 100



40 60 60 40 60 20 0 40 0 20



60% 40% 40% 60% 40% 80% 100% 60% 100% 80%



48%



10,95



84%



16,73



4.2 Perhitungan Diketahui : Ditanya :



Ct0 = 100 ppm Ct1 = 0 ppm % Absorbansi % Absorbansi = =



x 100 %



x 100 %



= 100 % 4.3 Pembahasan Pada praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Sekedar informasi, selanjutnya mencit hanya disebut sebagai hewan uji. Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Berikut ini merupakan mekanisme penyerapan obat didalam tubuh berdasarkan rute pemberiannya : 1. Rute Oral Rute ini paling sering digunakan karena paling nyaman dan biasanya yang paling aman dan tidak mahal. Namun, rute ini memiliki keterbatasan karena jalannya obat biasanya bergerak melalui saluran pencernaan. Untuk obat diberikan secara oral, penyerapan (absorpsi) bisa terjadi mulai di mulut dan lambung. Namun, sebagian besar obat biasanya diserap di usus kecil. Obat melewati dinding usus dan perjalanan ke hati sebelum diangkut melalui aliran darah ke situs target. Dinding usus dan hati secara kimiawi mengubah (memetabolisme) banyak obat, mengurangi jumlah obat yang mencapai aliran darah. Akibatnya, ketika obat yang sama diberikan secara suntikan (intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil untuk menghasilkan efek yang sama.



2. Rute Sublingual Obat ditempatkan di bawah lidah (secara sublingual) atau antara gusi dan gigi (secara bucal) sehingga mereka dapat larut dan diserap langsung ke dalam pembuluh darah kecil yang terletak di bawah lidah. Obat ini tidak tertelan. Rute sublingual sangat baik untuk nitrogliserin, yang digunakan untuk meredakan angina, karena penyerapan yang cepat dan obat segera memasuki aliran darah tanpa terlebih dahulu melewati dinding usus dan hati. Namun, sebagian besar obat tidak bisa digunakan dengan cara ini karena obat dapat diserap tidak lengkap atau tidak teratur. 3. Rute Okular Obat yang digunakan untuk mengobati gangguan mata (seperti glaukoma, konjungtivitis, dan luka) dapat dicampur dengan zat aktif untuk membuat cairan, gel, atau salep sehingga mereka dapat diberikan pada mata. Obat diserap melalui kornea dan konjungtiva, beberapa obat ini akan memasuki aliran darah dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lainnya. 4. Rute Nasal Untuk pemberian obat melalui rute ini, obat harus diubah menjadi tetesan kecil di udara (dikabutkan, aerosol) supaya bisa dihirup dan diserap melalui membran mukosa tipis yang melapisi saluran hidung. Setelah diserap, obat memasuki aliran darah. Obat yang diberikan dengan rute ini umumnya bekerja dengan cepat. Beberapa dari obat mengiritasi saluran hidung. Obat-obatan yang dapat diberikan melalui rute hidung termasuk nikotin (untuk berhenti merokok), kalsitonin (osteoporosis), sumatriptan (untuk sakit kepala migrain), dan kortikosteroid (untuk alergi). 5. Rute Inhalasi Obat diberikan dengan inhalasi melalui mulut harus dikabutkan menjadi tetesan lebih kecil dibanding pada rute hidung, sehingga obat dapat melewati tenggorokan (trakea) dan ke paru-paru. Seberapa dalam obat bisa ke paru-paru tergantung pada ukuran tetesan. Tetesan kecil pergi lebih dalam, yang meningkatkan jumlah obat yang diserap. Di dalam paru-paru, mereka diserap ke dalam aliran darah. 6. Rute Transdermal Beberapa obat dihantarkan ke seluruh tubuh melalui patch pada kulit. Obat ini kadang-kadang dicampur dengan bahan kimia (seperti alkohol) yang meningkatkan



penetrasi melalui kulit ke dalam aliran darah tanpa injeksi apapun. Melalui patch, obat dapat dihantarkan secara perlahan dan terus menerus selama berjam-jam atau hari atau bahkan lebih lama. Akibatnya, kadar obat dalam darah dapat disimpan relatif konstan. 7. Rute Injeksi a. Subkutan Jarum dimasukkan ke dalam jaringan lemak tepat di bawah kulit. Setelah obat disuntikkan, kemudian bergerak ke pembuluh darah kecil (kapiler) dan terbawa oleh aliran darah. Atau, obat mencapai aliran darah melalui pembuluh limfatik. Obat protein yang berukuran besar seperti insulin, biasanya mencapai aliran darah melalui pembuluh limfatik karena obat ini bergerak perlahan dari jaringan ke kapiler. b. Intramuskular Obat biasanya disuntikkan ke dalam otot lengan atas, paha, atau pantat. Seberapa cepat obat ini diserap ke dalam aliran darah tergantung, sebagian, pada pasokan darah ke otot: Semakin kecil suplai darah, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk obat yang akan diserap. c. Intravena Jarum dimasukkan langsung ke pembuluh darah. Suatu larutan yang mengandung obat dapat diberikan dalam dosis tunggal atau dengan infus kontinu. Untuk infus, larutan digerakkan oleh gravitasi (dari kantong plastik dilipat) atau, lebih umum, dengan pompa infus melalui pipa fleksibel tipis ke tabung (kateter) dimasukkan ke dalam pembuluh darah, biasanya di lengan bawah. d. Intratekal Jarum dimasukkan antara dua tulang di tulang punggung bagian bawah dan ke dalam ruang di sekitar sumsum tulang belakang. Obat ini kemudian disuntikkan ke kanal tulang belakang. Penyerapan obat didalam tubuh dipengaruhi juga oleh sifat zat tersebut, ada zat yang bersifat asam dan basa. Zat yang bersifat asam akan lebih mudah terserap dalam suasana asam pada lambung karena di pH lambung adalah asam sehingga obat tersebut



akan banyak dalam bentuk molekul yang mudah untuk di absorpsi oleh dinding lambung. Untuk obat basa lemah diabsorpsinya di usus. Kebanyakan obat merupakan electrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa lemah, pH yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis. Pada data pengamatan kali ini perhitngan % absorbansi didapatkan nilai absorbansi asam salisilat lebih tinggi dalam suasana asam dibanding suasana basa karena pada obat basa lemah yang masuk ke dalam tubuh, begitu obat tersebut masuk ke dalam lambung, maka obat tersebut akan terionisasi karena lambung mempunyai suasana asam. Didapatkan nilai SD pada data pengamatan NaHCO3 dalam suasana basa adalah 10,95 dan HCl pada suasana asam adalah 16,73.



BAB V KESIMPULAN Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :  Didapatkan nilai SD pada data pengamatan NaHCO3 dalam suasana basa adalah 10,95 dan HCl pada suasana asam adalah 16,73.  Pemberian obat pada hewan coba mencit dan tikus dilakukan dengan cara per oral, intra peritonial, intra vena, subkutan, dan intra muscular.  Praktikum penanganan hewan percobaan ini faktor yang berpengaruh adalah faktor dari lingkungan sekitar



DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh., 1990. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Gadjah Mada University Press, D.I Yogayakarta. Dirjen POM. 1976. Farmakope Indonesia, Edisi Ke-III. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Katzung, Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta. Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja., 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta. Utama,