Dwifungsi ABRI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

Dwifungsi ABRI [PDF]

DWI FUNGSI ABRI MAKALAH

diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV

Dosen Pengam

6 0 206 KB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

DWI FUNGSI ABRI MAKALAH



diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia IV



Dosen Pengampu : Dr. Nurul Umamah M.Pd



oleh : Riski Warisatul Hikmah (160210302014)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER 2018



i



KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, tugas makalah yang berjudul “Dwi Fungsi ABRI” ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam tugas proses pembelajaran Sejarah Nasional Indonesia IV yang telah ditentukan oleh dosen pengampu. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan tentang Dwi Fungsi ABRI. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun selalu penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembacanya.



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1 1.1



Latar Belakang..........................................................................................1



1.2



Rumusan Masalah.....................................................................................2



1.3



Tujuan........................................................................................................2



BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................................3 2.1



Definisi Dwi Fungsi ABRI........................................................................3



2.2



Latar Belakang Terbentuknya Dan Munculnya Dwi Fungsi ABRI..........5



2.2.1



Latar Belakang Terbentuknya Dwifungsi ABRI...............................5



2.2.2



Munculnya Dwi Fungsi ABRI...........................................................9



2.3



Kronologi Dwi Fungsi ABRI..................................................................11



2.4



Dampak Dari Adanya Dwifungsi ABRI.................................................12



BAB 3. PENUTUP................................................................................................17 3.1



Simpulan..................................................................................................17



DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18



iii



BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan militer di Indonesia bisa di anggap fluktuatif dari mulai zaman orde lama, baru sampai zaman reformasi. Dari awal militer masuk ke perkancahan dunia politik dan memegang peranan, dapat diprediksi bahwa militer pada saat itu untuk memegang pengaruh besar dalam perumusan serta pengambilan kebijakan di Indonesia. Pada awalnya militer di Indonesia dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, entah dari Belanda yang masih mau menguasai Indonesia atau gerakan-gerakan pemberontak dari bawah seperti PKI atau Partai Komunis Indonesia. Peran tentara memang tidak bisa terlepas dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia karena pada faktanya merekalah yang merupakan ujung tombak kedaulatan dan memperjuangkan kebebasan dan penindasan penjajah dimasa lampau (barisan dalam perang). Transformasi lembaga militer di Indonesia pada era pasca kemerdekaan sangat dinamis. Sejak awal berdirinya Republik Indonsia sendiri sebenarnya para perwira militer sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner. Pada bulan Juli 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik dan tidak sedikit dari mereka yang mampu menempati singgasana-singgasana birokrat dan terjun daalm politik kenegaraan. Dimulai pada tahun 1958, AH Nasution mencanangkan adanya Dwifungsi ABRI yang menjelaskan bahwa militer tidak hanya bergerak di bidang keamanan tetapi juga berfungsi dalam kehidupan sipil atau pemerintahan. Pada saat PKI pula militer mulai masuk kedalam percaturan politik karena saat itu militer sipil dibawah sudah tidak bisa lagi menahan pemberontakan PKI. Lalu militer yang terlalu ikut campur dalam politik juga tidak bisa dijauhkan dari pengaruh Soeharto yang merupakan orang militer dan juga presiden Indonesia saat itu. Hampir  semua kebijakan pemerintah pun mempunyai unsur militer, pemberontakan Mei ’98 pun ditengarai ada unsur militer yang membantu.



1



1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa definisi dari Dwi Fungsi ABRI? 1.2.2 Apa yang menjadi latar belakang dan munculnya Dwi Fungsi ABRI? 1.2.3 Bagaimana kronologi dari Dwi Fungsi? 1.2.4 Bagaimana dampak dari adanya Dwi Fungsi ABRI? 1.3 Tujuan 1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Dwi Fungsi ABRI, 1.3.2 Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang dan Munculnya Dwi Fungsi ABRI 1.3.3 Untuk mengetahui kronologis dari Dwi Fungsi 1.3.4 Untuk mengetahui dampak dari adanya Dwi Fungsi ABRI



2



BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Dwi Fungsi ABRI Dwi Fungsi ABRI adalah suatu doktrin dilingkungan militer Indonesia, yang menyebutkan bahwa ABRI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban Negara, dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur Negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. ABRI berawal dari lahirnya Badan Keamanan Rakyat (BKR) tanggal 22 Agustus 1945. Konsep Dwi Fungsi ABRI yang berawal dari konsep "jalan tengah" yang di kemukakan oleh Jendral A.H.Nasution. Konsepsi “jalan tengah” itu telah pula digunakan untuk menembus jalan buntu politik yang disebabkan oleh gagalnya konstituante hasil pemilihan umum pertama tahun 1955 dalam menyusun konstituante baru. Untuk mencegah berlarut-larutnya keadaan, pada tahun 1958 KSAD Letnan Jenderal A.H. Nasution selaku anggota Dewan Nasional mengajukan usul supaya UUD 1945 diberlakukan kembali, yang kemudian dilaksanakan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam buku memoirnya, Soeharto mengemukakan ABRI bukan sematamata angkatan bersenjata bayaran. ABRI adalah juga pengisi kemerdekaan, berhak dan merasa juga wajib ikut menentukn haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok ABRI mempunyai dua fungsi (dwifungsi), yakni sebagai alat negara dan sebagai kekuatan sosial politik. Soeharto juga menegaskan ABRI sebagai kekuatan sosial politik telah menjadi bagian yang hidup dan tumbuh dalam sistem dan bertanggungjawab, ABRI menempatkan diri duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan ketiga organisasi politik lainnya yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Dwi Fungsi ABRI sendiri mengenai konsep jalan tengah sebelumnya sudah direncanakan oleh presiden Ir. Soekarno berserta kabinet dan pimpinan Angkatan Perang pada saat itu, dimana akan diberi kesempatan yang luas kepada pewira-pewira tentara atas dasar perorangan tetapi sebagai eksponen tentara untuk



3



berpartisipasi secara aktif dalam bidang non militer dalam menentukan kebijakan Nasional pada tingkat Tinggi, termasuk dalam bidang keuangan, ekonomi, politik dan sebagainya. Pernyataan diatas berdasarkan beberapa pidato Soeharto, yang mengatakan bahwa sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan Negara dan keamaan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial dan politik. Sedangkan dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memliki dua buah fungsi yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. a. ABRI sebagai fungsi dinamisator 1). Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat, dan untuk memahami serta merasakan aspirasi serta kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat, melakukan partisipasi dalam pembangunan. 2). Kemampuan tersebut dapat mengarahkan kepada dua jurusan. Disatu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan ABRI juga berfungsi sebagai penyalur aspirasi masyarakat. 3). Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran Nasional dan untuk mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin sosial dan dispiln nasional yang mantap. Oleh karena itu disiplin ABRI bersumber dari pada saptamaga dan sumpah prajurit. 4). Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta peralatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga melopori usaha usaha moderinisasi. b. ABRI sebagai fungsi Stabilisator 1). Kemampuan ABRI untuk berkomunkasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat, dan untuk memahami aspirasi



4



aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI sebagai jalur penting dalam rangka pengawasan sosial. 2). Kesadaran Nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan penangkal yang efektif terhadap pegaruh sosial yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakt Indonesia. 3). Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilih yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan. 4). Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembanguanan. 2.2 Latar Belakang Terbentuknya Dan Munculnya Dwi Fungsi ABRI Sebelum terbentuknya apa yang dimaksud Dwifungsi ABRI, ada sebab yang melatar belakangi terbentuknya. Yaitu integrasi Angkatan Negara yang di lakukan dalam satu naungan komando khusus. 2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya Dwifungsi ABRI Dwi fungsi ABRI awalnya diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada  saat itu, Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diungkapkan Jendral AH Nasution oleh kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah pada 11 November 1958 yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia) memang dikenal dengan kemampuan manajemen yang sangat baik dan diakui masyarakat Indonesia karena sistem hierarkinya yang sangat kental. Pada bulan juni 1962,



5



soekarno mengintegrasikan TNI dan Polisi dalam organisasi ABRI, dengan sentralilasi komando pada Panglima Tertinggi (Pangti). Jabatan para Kepala Staf Angkatan dan Kepala Kepolisian RI, diubah menjadi Panglima Angkatan (Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak). Usaha integrasi ABRI pada era demokrasi terpimpin ini menemui banyak hambatan. Hambatan utama adalah divergensi dan rivalitas antara angkatan. Masalahmasalah pembinaan teritorial, doktrin, kekaryaan, organisasi, dan intelijen merupakan sumber timbulnya divergensi dan persaingan. Pada masa awal Orde Baru, pimpinan ABRI berusaha menghilangkannya melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan pendidikan, pendekatan doktrin, dan pendekatan organisasi. Khusus pendekatan pendidikan, penekanan diletakkan pada bidang pendidikan yang terintegrasi dan gabungan secara fisik. Pendidikan yang integrasi dimulai pada tingkat pembentukan perwira dan diteruskan pada tingkat lanjut perwira. Pendidikan yang terintegrasi secara mental dan fisik pada tingkat pembentukan perwira adalah dasar untuk membentuk kader penerus ABRI. Untuk pelaksanaan itu, pada tahun 1966 dibentuk wadah pendidikan baru, yakni Akademi Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Pada upacara Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965 di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, presiden Soekarno menyatakan dengan resmi berdirinya Akabri dan melantik Komandan Jendral Akabri yang pertama Laksamana Muda (Angkatan Laut) Rachamat Sumengkar dan Wakil Komandan Jendral Akabri Laksamana Muda (Angkatan Udara) atau Marsekal Muda TNI Suharnoko Harbani. Nilai hakiki yang digunakan untuk mengembangkan pendidikan Sesko ABRI bersumber pada sasaran pendidikan, yaitu mendidik calon pemimpin-pemimpin ABRI yang tangguh, terampil dan memiliki sikap mental yang baik, serta dilandasi falsafah “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Pendekatan yang kedua dalam mencapai integrasi ABRI ialah pendekatan doktrin, melalui penyususan dan penyempurnaan doktrin-doktrin dasar Angkatan dan Polisi menjadi satu doktrin ABRI. Pada sebelumnya doktrin-doktrin ini



6



berdiri sendiri dengan wawasan yang berbeda-beda dan bersaing satu dengan yang lain itu, dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat dan dindoktrinasikan kepada jajajaran angkatan masing-masing. Hal ini sangat membahayakan keutuhan ABRI dan kesatuan bangsa, sebab pada hakikatnya wawasan adalah aspek dari falsafah hidup sustu angkatan yang berisi dorongan dan rangsangan untuk mencari jalan dan cara guna mencapai tujuan hidup. Oleh karena itu, setelah pemberontakan G30-S/PKI, pimpinan Angaktan Bersenjata menyadari maslah doktrin dan wawasan antar-Angkatan atau Polri menjadi salah satu sumber persaingan diusahakan untuk mengintergrasikannya melalui seminar. Atas prakarsa pimpinan Hankam, pada tanggal 21 September sampai 17 Oktober 1966 diadakan Pra Seminar hankam sebagai langkah persiapan menuju ke Seminar Hankam. Seminar Hankam diselenggarakan dari tanggal 12 hingga 21 November 1966, dipimpin oleh Kepala Staf



Hankam Mayor Jendral M.M



Rachmat Kartakusuma sebagai ketua seminar dan Laksamana Muda Subijakto, Deputi Strategi Hankam, sebagai wakil ketua. Berkat jiwa integrasi di kalangan ABRI, seminar berhasil merumuskan Doktrin Pertahanan Keamanan Nasioanal dan Doktrin Perjuangan ABRI yang bernama Tjatur Darma Eka Karma serta Wawasan Nusantara Bahari. Doktrin Tjatur



Darma



Eka



Karma



(Tjadek)



merupakan



hasil



penelitian



dan



penyempurnaan hasil diskusi pada pra-seminar Hankam, diskusi pada integrasi konsepsi dan doktrin dari Departemen Veteran, Lemhanas, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Dengan berhasilnya Seminar Hankam menyususn doktrin Tjadek ini. Perbedaan-perbedaan yang tajam antar doktrin-doktrin Angkatan berhasil ditumpulkan, khususnya mengenai perbedaan wawasan. Rumusan tentang wawasan hasil seminar disempurnakan dalam Rapat Kerja Hankam pada bulan November 1967. Rapat kerja menentukan bahwa kita menganut Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional. Pendekatan yang ketiga ialah pendekatan organisasi. Organisasi adalah suatu alat, suatu wahana untuk melaksanakan tugas pokok yang telah ditentukan.



7



Organisasi meliputi unsur fungsi, faktor fisik personel, dan hubungan-hubungan yang setepat-tepatnya anatara ketiga unsur tersebut. Landasan pengorganisasian dan penstrukturan Departemen Hankam pada awal Orde Baru berbeda pada surat keputusan Presiden No. 132 tahun 1967. Sejak tahun 1963 angakatan-angkatan berkembang menjadi departemen-departemen dari kepala-kepala staf angkatan menjadi panglima-panglima angkatan yang kemudian menjadi menteri atau panglima angkatan. Akibatnya banyak pembagian dan penentuan fungsi yang rancu. Terdapat enam badan hankam yang masing-masing menjalankan fungsi serupa atau hampir serupa sehingga pikiran, tenaga, dana, dan daya yang ada dihamburkan secara percuma. Kesimpangsiuran, kekacauan, dan kemelut yang luar biasa, sehingga semakin lama semakin banyak pimpinan nasional memutuskan kebijakan-kebijakan yang keliru. Keenam badan-badan itu adalah Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Kompartemen Hankam, Departemen Angkatan Udara, Departemen Angkatan Laut, Departemen Angkatan Darat, Departeman Angkatan Kepolisian. Karena fungsi-fungsi ini dikerjakan secara melebar, tidak secara mendalam, semakin lama nilai-nilai kemiliteran, nilai-nilai keahlian,



dan



keterampilan



kemiliteran



semakin



merosot.



Kompensasi



pengembangan kekuatan Hankam manjadi kekuatan politik. Dikeluarkannya keputusan Presiden No. 132 tahun 1967 adalah untuk menertibkan pembagian fungsional angkatan. Pemegang kekuasaan tertinggi ABRI dan pucuk pimpinan Hankamnas adalah Presiden dan dibantu Menteri Pertahanan Keamanan atau panglima Angkatan Bersenjata. Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 132/1967, ABRI terdiri atas: a. Angkatan Darat disingkat AD, b. Angkatan Laut disingkat AL, c. Angkatan Udara disingkat AU, dan d. Angkatan Kepolisian disingkat AK. Keputusan Presiden No. 132/1967 kemudian disempurnakan dengan keputusan Presiden No. 79 tahun 1969. Tujuan penyempurnaan ini adalah agar



8



pada akhir Repelita tahun 1973 telah didapat landasan dan pangkal tolak pembangunan suatu sistem Hankamnas yang modern, baik doktrin maupun aparaturnya Dengan tercapainya kemantapan integrasi antara fungsi-fungsi pertahanan keamanan, baik dalam segi organisasi maupun segi prosedur kerjanya, diadakan penyempurnaan kembali. Keputusan Presiden No. 7 tahun 1974 tanggal 18 Februari 1974 mengantikan dan menyempurnakan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1969. Penyempurnaan dilakukan terutama pada tingkat departemental, eselon, pimpinan yang terdiri dari pimpinan dan pembantu pimpinan, serta beberapa badan pada eselon pelaksaan pusat. 2.2.2 Munculnya Dwi Fungsi ABRI Dwi Fungsi ABRI seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya dibidang politik. Dalam proses kemunculannya, Dwifungsi ABRI muncul karena dua faktor yaitu melalui Seminar Hankam dan Doktrin. 2.1 Seminar Hankam Seminar Hankam yang dipimpin leh Kepala Staf Hankam Mayjen M.M. Rachmat Kartakusuma yang berlangsung selama sembilan hari (1221 November 1966), menghasilkan dokumen penting yaitu Doktrin Pertahanan dan Keamanan Nasional dan Doktrin Perjuangan ABRI Tjatur Dharma Eka Karma. Ada tiga pokok isi doktrin ini yang meliputi landasan idiil, asas-asas dan pedoman pelaksanaan. Dalam landasan idiil disebutkan bahwa Pancasila galingan Bung Karno menjiwai revolusi Indonesia yang melahirkan kekuatan pertahanan keamanan nasional pada era revolusi yang berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat, Kepolisian Negara, dan kemudia menjadi ABRI. Oleh karena itu, ABRI sejak awalnya merupakan alat negara dibidang Hankam dan kekuatan sosial Revolusi Indonesia dengan Pancasila sebagai doktrinnya. Hakikat



9



ABRI merupakan salahsatu kekuatan sosial Revolusi Indonesia sekaligus menjadi angkatan bersenjata Revolusi, yang memilki fungsi sosial yang melaksanakan tugas serta fungsi kekayaan dibidang politik, sosial, ekonomi, ilmu dan teknologi, serta Wawasan Nusantara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Bagian asas-asas berisikan dua bagian utama yang menjelaskan makna Pertahanan Keamanan Nasional tugas serta fungsi ABRI dalam menghadapi hakikat ancaman, sengketa, dan strateginya. 2.2 Doktrin Kekayaan Doktrin kekayaan, yaitu doktrin perjuaangan ABRI, sebagai Golongan Karya (Golkar), penegak demokrasi yang berjiwa Orde Baru yang secara konstitusional tercantum didalam UUD 1945, dilaksanakan melalui kekaryaan yaitu semua kegiatan dilakukan diluar di bidang Hankam. Pada tahun 1975, lahir Doktrin Kekayaan, ABRI, sebagai doktrin pelaksanaan kegiatan-kegiatan kekayaan ABRI. Dalam doktrin ini dinyatakan secara tegas istilah Dwifungsi ABRI. Sebagai kekuatan Hankam, ABRI merupakan aparatur pemerintah, dan sebagai kekuatan sosial ABRI merupakan salah satu golongan karya yang ikut aktif dalam segala usaha dan kegiatan negara dan bangsa, ditinjau dari beberapa pendekatan. Kehadiran Dwifungsi ABRI didalam sistem politik Indonesia merupakan suatu kenyataan dan kebenararan. Melalui kekaryaannya, ABRI secara aktif ikut serta dalam menentukan haluan dan politik negara. Kedua doktrin itulah yang dijadikan landasan pelaksanaan peran ABRI dibidang politik praktis, yang pelakunya disebut karyawan ABRI. Sekalipun istilah dwifungsi ABRI baru dikenal pada masa Orde Baru, peran militer dalam politik telah diciptkan oleh Presiden Sukarno. Melalui Konsepsi Presiden pada Februari 1957, Angkatan Perang pada saat itu diposisikan sebagai salah satu golongan fungsional lainnya, bertujuan membangun kekuatan politik baru sebagai pengimbang kekuatan partaipartai politik. Sejak itu, ABRI mulai terlibat dalam aktivitas politik praktis.



10



2.3 Kronologi Dwi Fungsi ABRI Pada awalnya, munculnya dwifungsi ABRI merupakan konsep yang diajukan oleh Jenderal A.H. Nasution pada tanggal 11 November 1958. A.H. Nasution dalam pidatonya berjudul “Jalan Tengah” menyatakan bahwa tentara juga merupakan kekuatan sosial politik yang berperan di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada bulan juni 1962, Soekarno mengintegrasikan TNI dan Polisi dalam organisasi ABRI, dengan sentralilasi komando pada Panglima Tertinggi (Pangti). Sejak tahun 1963 angakatan-angkatan berkembang menjadi departemen-departemen dari kepala-kepala staf angkatan menjadi panglimapanglima angkatan yang kemudian menjadi menteri atau panglima angkatan. Pada upacara Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965 di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, presiden Soekarno menyatakan dengan resmi berdirinya Akabri dan melantik Komandan Jendral Akabri yang pertama Laksamana Muda (Angkatan Laut) Rachamat Sumengkar dan Wakil Komandan Jendral Akabri Laksamana Muda (Angkatan Udara) atau Marsekal Muda TNI Suharnoko Harbani. Pada tahun 1966 terjadi perdebatan di DPR GR mengenai tiga Rancangan Undang-Undang (RUU tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan, RUU tentang pemilu dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD) terutama yang berkaitan dengan imbangan kekuatan anatar golongan plitik dan golongan karya apad MPR dan jumlah anggota DPRD 1 dan DPRD II yang diangkat. Atas prakarsa pimpinan Hankam, pada tanggal 21 September sampai 17 Oktober 1966 diadakan Pra Seminar hankam sebagai langkah persiapan menuju ke Seminar Hankam. Seminar Hankam diselenggarakan dari tanggal 12 hingga 21 November 1966, dipimpin oleh Kepala Staf



Hankam Mayor Jendral M.M



Rachmat Kartakusuma sebagai ketua seminar dan Laksamana Muda Subijakto, Deputi Strategi Hankam, sebagai wakil ketua yang berlangsung selama sembilan hari, dan menghasilkan sebuah dokumen penting yaitu Doktrin Pertahanan dan Keamanan Nasional dan Doktrin Perjuangan ABRI Tjatur Dharma Eka Karma.. Pada bulan November 1967 mengadakan rumusan tentang wawasan hasil seminar yang disempurnakan dalam Rapat Kerja Hankam. Rapat kerja menentukan bahwa



11



kita menganut Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional. Pada tanggal 22 November 1969 partai-partai politik menyetujui 20% anggota badan legislatif yang diangkat. Persetujuan partai-partai politik ini sebagai pembuka kunci pelaksaan fungsi kedua ABRI dalam politik praktis sebagai golongan karya pada pada badan legislatif. Pada tahun 1975, lahir Doktrin Kekayaan, ABRI, sebagai doktrin pelaksanaan kegiatan-kegiatan kekayaan ABRI. Adanya peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 menyulut sikap antipati masyarakat akan eksistensi militer kala itu, bahkan salah satu isi agenda reformasi adalah menuntut penghapusan dwifungsi ABRI. Menanggapi hal tersebut B.J. Habibie menerapkan berbagai kebijakan, seperti memisahkan kepolisian Republik Indonesia dari tubuh ABRI. Kebijakan ini mulai diterapkan tanggal 5 Mei 1999. Angkatan Laut, Angkatan Darat dan Angkatan Udara di bawah ABRI, sedangkan ABRI dirubah menjadi TNI. 2.4 Dampak Dari Adanya Dwifungsi ABRI Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Sebagaimana dampak negatif yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi sistem politik di Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat. Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai



12



politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya. Hal ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dalam menjalankan



pemerintahannya.



Sebagaimana



kita



ketahui,



pada



awal



pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif. Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis atau otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak



13



oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya. Lebih dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masingmasing. Dengan pengaruh yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya. Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan



posisi



penting



dalam



pemerintahan,



bahkan



mengalahkan



masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki kesejahteraan



14



yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu. Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang yang ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam militer Indonesia lebih kompetitif. Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai



macam



program



pembangunannya



menjadi



dampak



positif



diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong



bagi



keberhasilan



program-program



yang



dicanangkan



oleh



pemerintah.



15



BAB 3. PENUTUP 3.1 Simpulan Dwi Fungsi ABRI adalah suatu doktrin dilingkungan militer Indonesia, yang menyebutkan bahwa ABRI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban Negara, dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur Negara. Dalam pelaksanaannya terdapat dampak negatif serta positifnya. Dalam proses kemunculannya, Dwifungsi ABRI muncul karena dua faktor yaitu melalui Seminar Hankam dan Doktrin. Dampak negatif diantaranya yaitu berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat, kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis atau otoriter, ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan, dan tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi tersebut adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Sedangkan dampak positifnya yaitu kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah, dengan adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan.



16



DAFTAR PUSTAKA Djoned Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 2009. Sejarah Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka Abdullah, T. & Lapian, A.B. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. https://mirfana.wordpress.com/2012/06/05/dwifungsi-abri-dalam-sistem-politikindonesia-pada-masa-pemerintahan-soeharto/ [diakses tanggal 21 April 2018] http://www.landasanteori.com/2015/10/dwi-fungsi-abri-demokrasi-masaorde.html [diakses tanggal 21 April 2018]



17