Explorasi Laparatomy Cindy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Pembedahan atau operasi adalah segala tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani, umumnya dilakukan dengan membuat sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.1 Pembedahan dilakukan karena beberapa alasan, seperti diagnostik (biopsi, laparatomi eksplorasi), kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan apendiks yang mengalami inflamasi), reparatif (memperbaiki luka multipel), rekonstruksi dan paliatif. Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah (perdarahan, perforasi, kanker, dan obstruksi).1 Tindakan laparatomi dapat dilakukan dengan beberapa arah sayatan: (1) median untuk operasi perut luas, (2) paramedian (kanan) umpamanya untuk massa appendiks, (3) pararektal, (4) McBurney untuk appendektomi, (5) Pfannenstiel untuk operasi kandung kemih atau uterus, (6) transversal, (7) subkostal kanan umpamanya untuk kolesistektomi. Data World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh Haynes et al (2009) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad, perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 234 juta tindakan pembedahan yang dilakukan di seluruh dunia. Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009, tindakan pembedahan menempati urutan ke-11 dari 50 pertama pola penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan 12,8%, diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan laparatomi. Komplikasi Post Laparatomi diantaranya Stitch Abscess, Infeksi Luka Operasi, Gas Gangrene, Hematoma, Keloid Scar, Abdominal Wound Disruption and Evisceration. Stitch Abscess yang biasanya muncul pada hari ke-10 pasca operasi atau bisa juga sebelumnya, sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat superfisial atau lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan terasa nyeri jika diraba. Infeksi Luka Operasi biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema dan



proses inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul pada 36 jam sampai 46 jam pasca operasi. Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis, Bacteroides. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk l-hal yang berkaitan dengan post laparotomi eksplorasi



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi eksplorasi laparatomi? 2. Bagmaina peran perawat kritis pada pasien laparatomi? 3. Bagaimana perawatan pasien post eksplorasi laparatomi? 4. Bagaimana etik dan legal pada keperawatan di unit kritis? 5. Bagaimana issue and of life pada eksplorasi laparatomi? 6. Bagaimana pendidikan kesehatan dan psikososial pada pasien post eksplorasi lapararatomi? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi eksplorasi laparatomi 2. Untuk memahami peran perawat kritis pada pasien laparatomi? 3. Untuk memahami perawatan pasien post eksplorasi laparatomi? 4. Untuk memahami etik dan legal pada keperawatan di unit kritis? 5. Untuk memahami issue and of life pada eksplorasi laparatomi? 6. Untuk memahami pendidikan kesehatan dan psikososial pada pasien post eksplorasi lapararatomi?



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Laparotomi adalah tindakan insisi pembedahan melalui dinding perut atau peritoneum. Kata “laparotomi” pertama kali digunakan untuk merujuk operasi semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant. Kata tersebut terbentuk dari dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan. Operasi laparatomi di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Laparotomi merupakan tindakan bedah untuk membuka ruang abdomen, penyayatan bisa dilakukan secara medianus tepat di linea alba atau paramedianus dengan sayatan sejajar linea alba. Laparotomi biasa dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga abdomen pada aschites, penyumbatan atau adanya corpus alinea dalam usus, ataupun tindakan bedah terkait reproduksi.



Tindakan laparotomi biasanya dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami nyeri pada bagian abdomen, baik abdomen akut maupun abdomen kronik. Nyeri abdomen dapat diindikasikan pada penyakit apendisitis, hernia, kanker ovarium, kanker lambung, kanker kolon, kanker kandung kemih, peritonitis, dan pankreatis. Ada 4 cara laparotomi, yaitu midline incision, paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (±2,5 cm), panjang (12,5 cm), transverse upper abdomen incision yaitu insisi di bagian atas, misalnya pembedahan kolesistomi dan splenektomi, transverse lower abdomen incision yaitu insisi melintang di bagian bawah ±4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi 4edative4ive. Laparotomi eksplorasi adalah bedah terbuka yang dilakukan agar dapat menjangkau organ dan jaringan internal tubuh untuk keperluan 4edative4i. Prosedur ini bertujuan untuk mencari sumber kelainan yang menyerang organ perut, termasuk usus buntu, kandung kemih, usus, kantung empedu, hati, 4edative, ginjal, ureter, limpa, lambung, rahim, tuba fallopi, dan indung telur. Prosedur ini pun dapat dimanfaatkan untuk mengambil sampel jaringan untuk diagnosis lanjutan (4edati) dan sebagai prosedur terapeutik.



2.2 Peran Perawat di Unit Kritis pada Pasien Post Laparatomy 1. Sebagai Interpersonal Yaitu sebagai intervensi untuk proses pemulihan pasien . Dengan keefektifan hubungan interpersonal antara perawat-klien dapat m otivasi untuk mendapatkan kebutuhan pasien dalam melakukan setiap intervensi yang telah ditentukan guna mempercepat proses pemulihan serta mencegah terjadinya komplikasi, melalui empat fase hubungan perawatpasien yaitu fase orientasi, fase identifikasi, fase eksploitasi dan fas resolusi (Tomey&Alligood, 2006). 2. Bedsite nurse Yaitu merupakan peran dasar dari keperawatan kritis, hanya saja mereka yang selalu bersama pas 24 jam, dalam 7 hari seminggu 3. Pendidik critical care Yaitu merupakan peran perawat sebagai educator untuk member pendidikan kesehatan baik kesehatan fisik maupun psikososial pada pasien post laparatomi.



4. Manager unit Yaitu merupakan kepala bagian yang bertujuan sebagai pengarah untuk melakukan intervensi yang telah di tentukan guna kesembuhan pasien post laparatomi 5. Perawat praktisi Yaitu merupakan perawat yang bertujuan untuk mengelola setiap terapi dan pengobatan pada pasien laparatomi. 2.3 Perawatan Pasien Kritis Post Laparatomy Perawatan pasca laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. Perawatan pascaoperatif dilakukan dalam dua tahap, yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase pascaoperatif. Untuk pasien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnya terjadi hanya dalam satu sampai dua jam, dan penyembuhan dilakukan di rumah. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, pemulihan terjadi selama beberapa jam dan penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih, tergantung pada luasnya pembedahan dan respon pasien. Untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mengembalikan status kesehatan fungsional pasien dengan cepat, maka pada tahap pemulihan berkelanjutan, perawat membutuhkan informasi untuk membuat rencana perawatan pasien. Hal yang harus dilakukan ketika pasien sudah mencapai ruang perawatan, adalah memantau keadaan pasien, manajemen luka mati kondisi luka operasi dan jahitannya, mobilisasi dini, penanganan nyeri, posisi tempat tidur, penggantian cairan, rehabilitasi, discharge planning dan yang tidak kalah pentingnya adalah nutrisi. 1. Terapi Oksigenasi Konsentrasi Tinggi Proses penyembuhan luka operasi memerlukan penghantaran oksigen yang adekuat. Luka yang mengalami iskemia sering kali sulit sembuh dan memiliki risiko yang sangat tinggi untuk terjadi infeksi. Iskemia sendiri biasanya terjadi karena beberapa 5edati, antara lain penyakit penyumbatan pembuluh darah, vasokonstriksi, dan hipovolemia. Di samping itu, penjahitan luka yang terlalu tegang akan menyebabkan iskemia pada bagian luka dan terjadi gangguan penyembuhan luka. Sebaliknya, bila hantaran oksigen ke daerah luka meningkat akan merangsang proses penyembuhan luka yang lebih baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan perfusi jaringan memegang peranan



penting pada penyembuhan luka, sehingga untuk mendapatkan penyembuhan luka yang baik harus dihindari 6edati-faktor yang mengganggu perfusi jaringan. Suatu hipotesis menyatakan bahwa jikalau oksigenasi jaringan perioperatif baik maka dapat menurunkan angka infeksi luka operasi secara bermakna (angka kejadian infeksi luka operasi setelah oksigenasi dengan kadar lebih rendah 11,2%, sedangkan kadar yang lebih tinggi 5,2%. Dengan diketahuinya peranan oksigenasi pascaoperasi pada penderita peritonitis local dan umum yang menjalani laparotomi eksplorasi dapat dijadikan salah cara untuk menurunkan angka infeksi luka operasi. Hal ini dapat menambah efisiensi baik dari segi waktu maupun



biaya perawatan penderita



pascaoperasi. Pada penderita yang mengalami laparotomi eksplorasi, angka kejadian infeksi luka operasi lebih sedikit pada pemberian oksigen 80% bila dibandingkan dengan 30%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian oksigen 80% lebih baik untuk menurunkan angka kejadian infeksi luka operasi dibandingkan dengan 30% pada penderita yang mengalami laparotomi eksplorasi. Luka operasi akan mengalami kerusakan dari suplai darah 6edat sebagai hasil perlukaan dan 6edative6i pembuluh darah yang menyebabkan luka menjadi hipoksia bila dibandingkan dengan jaringan normal. Tekanan oksigen pada luka sering 38Oc), nyeri 19edat, nyeri tekan, kecuali bila hasil kultur hasilnya 19edative.







Suatu abses atau infeksi lainnya yang melibatkan insisi dalam ditemukan pada pemeriksaan langsung, selama operasi, atau oleh pemeriksa histopatologi atau radiologi.







Diagnosa SSI insisional dalam ditentukan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa. SSI organ / spasial melibatkan bagian anatomis, selain luka insisi, yang dibuka atau



dimanipulasi selama oprasi. Ada tempat-tempat spesifik yang digunakan untuk identifikasi SSI



organ/spasial



ditempat



tertentu.



Contohnya



appendektomi



dengan



abses



subdiafragmatika, harus dilaporkan sebagai SSI organ intraabdominal site. SSI organ/spasial harus memenuhi satu dari 19edative berikut ini: Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca-operasi tanpa insersi implant atau dalam satu tahun bila disertai insersi implant dan infeksi disebabkan oleh tindakan operasi dan infeksi melibatkan bagian anatomi manapun selain tempat yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi, dan setidaknya ditemukan satu dari hal berikut ini:







Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk melalui organ/spasium. (tanpa infeksi pada tempat tusukan)







Kuman yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan organ/spasium yang diambil secara 20edativ.







Suatu abses atau infeksi yang melibatkan organ/spasium pada pemeriksaan langsung, selama oprasi, atau melalui pemeriksaan histopatologi atau radiologi.







Diagnosa SSI organ/spasial ditegakkan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa. Definisi SSI lainnya yang paling sederhana adalah keluarnya discharge purulen



dari luka (Glenister dkk). Definisi ini membutuhkan dua kesimpulan yaitu apakah ada discharge yang keluar dari luka, dan apakah discharge itu purulen atau tidak. Namun demikian terdapat keterbatasan yaitu karena gejala dan tanda infeksi luka operasi yang lainnya yaitu eritema dan nyeri tekan dieksklusi. Selain itu definisi sederhana ini bersifat mendua, seperti adanya pus praktis untuk digunakan sehari-hari tetapi gagal untuk menghitung berat ringannya infeksi. Lebih jauh beberapa studi menemukan bahwa penggunaan discharge purulen sebagai 20edative tunggal hanya dapat menilai sebagian kecil dari infeksi luka.



Faktor Risiko SSI Banyak penelitian mencari hubungan yang paling signifikan antara beberapa 20edati yang dianggap merupakan 20edati risiko dengan kejadian SSI. Sekilas beberapa 20edati tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Pengaruh dokter bedah 1) Pemasangan Drain. 2) Lama Operasi 3) Insersi Implant Prostesis 4) Elektrokauter 2. Kasus Terkontaminasi 1) Prosedur abdomen 2) Kasus Trauma 3) Operasi Kotor dan Terinfeksi



b. Faktor Pasien 1) Perfusi local 2) Usia Tua 3) Faktor yang Berhubungan dengan Pembiusan



c. Trauma Abdomen Trauma abdomen merupakan penyebab yang cukup signifikan bagi angka kesakitan dan kematian. Diagnosis trauma abdomen sering kali terlewatkan akibat gejala fisik yang terkadang dikaburkan oleh adanya intoksikasi maupun trauma kepala. Trauma abdomen yang tidak diketahui masih menjadi momok penyebab kematian yang seharusnya dapat dicegah. Laparotomi baik laparotomi positif maupun 21edative bukan didasarkan pada jenis trauma tetapi pada hasil temuan intraoperatif. Laparotomi disebut positif jika pada saat laparotomi ditemukan adanya kerusakan organ visera dan harus diinterverensi bedah sedangkan laparotomi disebut 21edative jika pada saat laparotomi tidak ditemukan kerusakan organ visera sehingga tidak memerlukan tindakan interverensi bedah. Terdapat 2 jenis trauma abdomen yaitu trauma tajam abdomen dan trauma tumpul abdomen yang masing-masing memiliki algoritma penanganan yang berbeda. Trauma tajam abdomen terdiri dari 2 jenis yaitu luka tusuk dan luka tembak, dan dibagi lagi berdasarkan lokasi luka tembus anterior, posterior, dan lateral. Selama lebih dari 30 tahun ini, para ahli trauma berpendapat bahwa indikasi laparotomi untuk luka tusuk abdomen dapat dilakukan secara selektif; indikasi terutama berdasarkan pemeriksaan klinik. Laparotomi 21edative atau non terapeutik akan menimbulkan morbiditas yang cukup berarti. Shaftan et al. (1960) dan Nance et al. (1969) ialah para ahli bedah pertama yang menganjurkan untuk tidak melakukan laparotomi rutin pada semua luka tusuk abdomen.



2.6 Pendidikan Kesehatan Pemberian edukasi kesehatan yang tepat kepada pasien post laparotomi, diharapkan menjadi salah satu cara untuk mempercepat kesembuhan pasien, selain itu dapat



meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perawatan selama di rumah sakit. Tidak hanya merasa mendapatkan pelayanan yang baik, melainkan juga pengetahuan baru yang dapat dipergunakan oleh pasien saat menjalani pengobatan serta mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi kesehatan merupakan kegiatan upaya meningkatkan pengetahuan kesehatan perorangan. Paling sedikit mengenai pengelolaan 22edati risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya meningkatkan status kesehatan peserta, mencegah timbulnya kembali penyakit dan memulihkan penyakit (BPJS Kesehatan , 2011). 1. Pendidikan untuk melakukan Kepatuhan Pengobatan Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang ditentukan oleh lima dimensi yang saling terkait, yaitu 22edati pasien, terapi, 22edati kesehatan, lingkungan dan 22edati ekonomi sehingga diperlukan strategi khusus untuk meningkatkan kepatuhan pasien serta perlu mempertimbangkan semua 22edati-faktor yang mempengaruhinya (Asti, 2006). Ketidakpatuhan



merupakan



masalah



potensial



meningkatkan



morbiditas,



mortalitas serta memperbesar biaya pengobatan (Kjeldsen et al, 2011). Ketidakpatuhan dapat menyebabkan risiko kematian. Peningkatan mortalitas dikarenakan ketidakpatuha mencapai 6,8% (Riskesdas, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mazzaglia pada tahun 2009 bahwa, ketidakpatuhan dari pasien yang menjalankan terapi mencapai 20-80% (Kjeldsen et al, 2011). Menurut data WHO (2003) rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan ini dipengaruhi oleh beberapa 22edati diantaranya karakteristik pengobatan dan penyakit, 22edati intrapersonal, 22edati interpersonal, dan 22edati lingkungan. Selainitu, kurangnya hubungan dengan petugas kesehatan dan dosis yang diberikan tidak cukup kuat memiliki pengaruh terhadap ketidakpatuhan (Banning, 2009). Pasien yang tidak patuh terhadap aturan penggunaan obat sebesar 30-55% (WHO, 2003). Tidak sepenuhnya semua kesalahan ada pada pasien, namun diperlukan juga adanya pembenahan dalam 22edati kesehatan dan petugas pelayanan kesehatan (Asti, 2006). Oleh karena itu, diperlukan peran dari tenaga kesehatan 22edative22ive dalam proses perawatan pasien. Pemberian pelayanan yang berkualitas oleh tenaga kesehatan yang 22edative22ive akan mempercepat kesembuhan bagi pasien. Penelitian Effendy



(2015) telah menyebutkan bahwa lebih dari 54% pasien di Indonesia memerlukan perhatian pelayanan tenaga kesehatan 23edative23ive. Dengan demikian epatuhan pengobatan pasien laparotomi merupakan hal penting untuk mempercepat proses penyembuhan, dikarenakan laparotomi merupakan penyakit yang memerlukan waktu serta perawatan khusus. Kepatuhan pasien merupakan 23edati utama penentu keberhasilan terapi (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2. Pendidikan Mobilisasi Dini Pendidikan dan pemantauan pemberian mobilisasi dini sesegera mungkin memberikan penyembuhan luka operasi abdomen yang baik. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kozier,(1995) bahwa mobilisasi yang dilakukan akan memperlancar peredaran darah sekitar luka operasi sehingga sirkulasi nutrisi kearah luka terserap dengan baik dan proses penyembuhan luka cepat. Hal ini juga didukung oleh Rodt (2008) menggantiganti posisi di tempat tidur, berjalan dan melakukan gerakan-gerakan yang dianjurkan dokter atau perawat akan memperbaiki sirkulasi sehingga terhindar dari resiko pembekuan darah karena pembekuan darah ini dapat memperlambat penyembuhan luka. Seiring dengan pernyataan Rustam (1995) bahwa mobilisasi dapat mencegah terjadinya



23edative23i dan tromboemboli, dengan mobilisasi sirkulasi darah



normal/23edati sehingga resiko terjadinya 23edative23i dan tromboemboli dapat dihindarkan. Mobilisasi segera setahap demi setahap berguna untuk membantu penyembuhan luka opersi. Hasil penelitian senada dengan Syahlinda (2008). Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa penyembuhan luka pada kelompok yang diberi penyuluhan dan pemantauan mobilisasi waktu perkembangan penyembuhan luka pada kelompok bedah mayor (laparatomi) sama dimana pelepasan drain sudah dapat dilakukan pada hari ke 3 dan pengangkatan jahitan selang seling sudah bisa dilakukan pada hari ke 7 dan hari ke 14 jahitan sudah dapat dilepas semua walaupun dari indeks masa tubuh klien ada 2 orang yang kurus sedangkan pada kelompok minor rata-rata pasien sudah dapat pulang pada hari ke 4 sedangkan di kelompok kontrolnya pasien pulang pada hari ke 7.



Hal ini sesuai menurut Flanagan dan Mark-Maran,1997 yang menyatakan meningkatkan aktivitas fisik atau dilakukannya mobilisasi dini pasca bedah akan meningkatkan sirkulasi, nutrisi serta pengobatan yang adekuat pada luka pos operasi.



3. Pendidikan Psikososial Pembedahan menimbulkan reaksi emosional bagi klien, seperti kecemasan akan kematian, kecacatan, anastesi, dan rasa takut 24edative muncul komplikasi pasca operasi. Salah satu tindakan untuk mengurangi tingkat kecemasan adalah dengan cara pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kesiapan mental pasien. Keperawatan praoperatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik, biologis, dan psikologis sangat diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operatif. Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operatif karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun 24edati pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi 24edati psikologis maupun fisiologis. Fase 24edative24ive dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 menyatakan bahwa 25, 1% atau 8.922 jiwa klien post operasi yang dirawat di unit perawatan intensif mengalami gangguan kejiwaan dan 7% atau 2.473 orang klien mengalami kecemasan. Hasil penelitian lain di Civil Hospital Karachi, Pakistan, yang dilakukan oleh Masood (2006), mengatakan bahwa 57,65% pasien praoperasi mengalami kecemasan. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sebagian besar pasien praoperasi mengalami kecemasan karena takut dengan pembiusan dan anastesi13. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat di ruangan bedah RSUD Dr. Soedarso bahwa pada kasus pasien yang mengalami kecemasan dapat diketahui dari tekanan darah meningkat, nadi meningkat, dan akral dingin. Perawat biasanya menggunakan teknik relaksasi napas dalam dan distraksi untuk menurunkan kecemasan pasien karena relaksasi napas dalam adalah yang paling mudah dilakukan.



Pendidikan dapat menjadi salah satu 25edati predisposisi timbulnya kecemasan yang berlebih. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan semakin baik pula pengetahuan seseorang tentang kecemasan, sehingga dapat mengetahui risiko dari kecemasan. Akan tetapi pada tingkat perguruan tinggi tidak semua dapat memahami masalah kesehatan. Pendidikan kesehatan mampu mempengaruhi tingkat kecemasan pasien praoperasi bedah mayor. Pada responden kelompok intervensi secara umum menunjukkan adanya penurunan kecemasan setelah dilakukan intervensi dan mengalami peningkatan pendidikan kesehatan ringan yang berarti baik. Tingkat kecemasan berdasarkan analisis diketahui bahwa responden penelitian. Berikut ini Elemen pokok yang mempengaruhi kondisi psikososial pasien antara lain : 1) Hubungan pasien dan orang tua maupun keluarga 2) Keluarga dapat memberikan asuhan yang efektif baik di rumah sakit maupun di rumah 3) Kerja sama dalam model asuhan keperawatan adalah fleksibel dan 4) menggunakan konsep dasar pemberian asuhan keperawatan 5) Keberhasilan dari pendekatan ini bergantung pada kesepakatan antara tim 6) Kesehatan dan keluarga guna kondisi psikososial pasien yang lebih baik Intervensi dari 25edative diatas yaitu Lakukan komunikasi terapeutik untuk membangun kepercayaan pada klien (BHSP), Identifikasi tingkat rasa



yang



mengharuskan intervensi lebih tepat, Beri informasi tentang peran advokat perawat intraoperasi, Perkenalkan staf, perawat ataupun dokter yang akan melakukan operasi, Cegah pemajanan tubuh yang tidak diperlukan selama pemindahan ataupun pada ruang operasi, Kolaborasi : Rujuk pada perawatan oleh rohaniawan, psikiatri jika diperlukan, Beri obat sesuai petunjuk : zat-zat 25edative sesuai indikasi. Implementasi yang dilakukan yaitu Membangun interaksi melalui komunikasi terapeutik (BHSP), Memberi informasi tentang peran perawat, Memberitahu pasien rasa yang ditimbulkan saat dilakukan anastesi, Menjelaskan nama-nama tim bedah yang akan melakukan operasi, Memindahkan pasien dengan meminimalkan pemajanan tubuh. Evaluasi yang diperoleh adalah masalah teratasi dengan ditandai klien tampak aman.



BAB 3 PENUTUP



3.1 Kesimpulan Laparotomi merupakan tindakan bedah untuk membuka ruang abdomen, penyayatan bisa dilakukan secara medianus tepat di linea alba atau paramedianus dengan sayatan sejajar linea alba Jenis laparatomi menurut tekhnik pembedahan yakni insisi pada garis tengah abdomen (mid-line incision), Insisi pada garis tranversal abdomen (pfannenstiel incision), insisi cherney, paramedian dan transverse upper abdomen incision. Sedangkan menurut indikasi, jenis-jenis laparatomi meliputi Adrenalektomi, apendiktomi, gasterektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi, pankreatomi, seksiosesaria, siksetomi dan selfigo oofarektomi. Laparotomi eksplorasi adalah bedah terbuka yang dilakukan agar dapat menjangkau organ dan jaringan internal tubuh untuk keperluan diagnostik. Prosedur ini bertujuan untuk mencari sumber kelainan yang menyerang organ perut, termasuk usus buntu, kandung kemih, usus, kantung empedu, hati, pankreas, ginjal, ureter, limpa, lambung, rahim, tuba fallopi, dan indung telur. Prosedur ini pun dapat dimanfaatkan untuk mengambil sampel jaringan untuk diagnosis lanjutan (biopsi) dan sebagai prosedur terapeutik . 3.2 Saran Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Namun untuk meningkatkan pemahaman tentang eksplorasi laparatomi, maka penulis berkeinginan menyumbangkan beberapa pemikiran yang dituangkan dalam bentuk saran sebagai berikut : 1. Bagi Pembaca Dalam pembuatan makalah ini diharapkan pembaca dapat menambah pengetahuannya tentang eksplorasi laparatomi sebelum dan sesudah operasi. Sehingga, dapat dijadikan sebagai penambahan ilmu dalam bidang keperawatan. 2. Bagi Mahasiswa Dalam pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu untuk melakukan pengkajian secara langsung dan dapat mengaplikasikannya dengan baik dan benar di dunia kerja nantinya.



DAFTAR PUSTAKA



Anggraeni, R. (2018). Pengaruh Penyuluhan Manfaat Mobilisasi Dini Terhadap Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pada Pasien Pasca Pembedahan Laparotomi. Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 107-121. Barus, M., Simanullang, M. S., & Gea, E. C. (2018). Pengaruh Progresif Muscle Relaxation Terhadap Tingkat Kecemasan Pre Operasi Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2018. Jurnal Mutiara Ners, 1(2), 98-108. Dharma, K. K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Infomedi. Kemenkes RI. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Nisa, R., PH, L., & Arisdiani, T. (2018, November). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Ansietas Pasien Pre Operasi Mayor. Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6(2), 116-120. Notoatmodjo, S. (2015). Metodelogi penelitian kesehatan. Jakarta: Renika Cipta. Nursalam. (2017). Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktik. Jakarta: Salemba Medika. Rahmayati, E., Silaban, R. N., & Fatona, S. (2018). Pengaruh Dukungan Spritual terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre-Operasi. Jurnal Kesehatan, 9(1), 138-142. Romadoni, S., & Putri, M. (2018). Tingkat Kecemasan dengan Tanda Vital Pasien di Ruang Intensif Rumah Sakit . STIKes Muhammadiyah, 271-276. Widyastuti, Y. (2016). Efektivitas Aromaterapi Lavender Dalam Menurunkan Nyeri dan Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Fraktur Femur Di Rs Ortopedi Prof. Dr.R Soeharso Surakarta. Prosiding Konferensi Nasional PPNI Jawa Tengah 2013. 92-94.



WHO (2015). World Health Organization. Wijayanto, Tri & Abdullah, Farih . (2017). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terstruktur terhaap Tingkat Kecemasan pada pasien Preoperasi Elektif Mayor. 1-10.