Farmakokinetik Dan Farmakodinamik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Farmakokinetik dan Farmakodinamik Mei 12, 2011 | Ragiel Notes Oleh Ragil Yuli Atmoko*, 1006672863 *



Mahasiswa S1 Reguler Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok.



Perawat menjalankan aktivitasnya sehari-hari tidak terlepas dari farmakologi. Farmakologi membantu perawat untuk memberikan obat-obatan yang benar kepada klien sehingga tidak terjadi kesalahan. Perawat professional, perlu mempelajari tentang farmakologi khususnya farmakokinetik dan farmakodinamik untuk membantu kesembuhan klien. Perawat professional dimana perawat bukan pesuruh dokter, dapat mengkaji apakah sudah benar pemberian obat yang diberikan oleh dokter merupakan obat yang benar sesuai dosis dan lain-lain ataukah tidak. Tulisan ini akan membahas tentang farmakokinetik dan farmakodinamik yang keduanya masih berhubungan erat dengan farmakologi. Sebelum kita membahas tentang farmakokinetik dan farmakodinamik, alangkah lebih baiknya mengetahui tentang farmakologi. Farmakologi merupakan suatu studi tentang obat dan pengaruhnya terhadap manusia (lehne, 1988 dalam Kuntarti). Dalam farmakologi dikenal dengan istilah farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik merupakan bagian ilmu farmakologi yang cenderung mempelajari tentang nasib dan perjalanan obat didalam tubuh dari obat itu diminum hingga mencapai tempat kerja obat itu. Sedangkan farmakodinamik ini merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya. Pengertian lain dari farmakokinetik menurut ilmu farmakologi sebenarnya dapat diartikan sebagai proses yang dilalui obat di dalam tubuh atau tahapan perjalanan obat tersebut di dalam tubuh. Proses farmakokinetik ini dalam ilmu farmakologi meliputi beberapa tahapan mulai dari proses absorpsi atau penyerapan obat, distribusi atau penyaluran obat ke seluruh tubuh, metabolisme obat hingga sampai kepada tahap ekskresi obat itu sendiri atau proses pengeluaran zat obat tersebut dari dalam tubuh. Fase-fase tersebut diantaranya adalah: 1. Absorpsi Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinalke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis.Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagain dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dariusus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein,seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan darikonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atauprotein dapat membawa obat-obat



menembus membran. Pinositosis berarti membawaobat menembus membran dengan proses menelan. Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres, kelaparan,makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, ataupenyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat, pedas,dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah denganmengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi kesaluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih cepat diotot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambatpada jaringan yang demikian. 2. Distribusi Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh danjaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatanpenggabungan) terhadap jaringan,dan efek pengikatan dengan protein. Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan denganprotein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-Obatyang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yangberikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi denganprotein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat.Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat.Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak,tulang, hati, mata, dan otot. 3. Biotransformasi Fase ini dikenal juga dengan metabolisme obat, diman terjadi proses perubahan struktur kimia obat yang dapat terjadi didalam tubuh dan dikatalisis olen enzim. 4. Ekskresi atau eliminasi Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paruparu, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal.Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obatdilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akandiekskresikan melalui urin. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin,suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorangmeminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapatmenurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.



Setiap orang mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada suatu kelompok orang, dapat menunjukkan gambaran kada dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas respon yang berbda-beda pula. Kemudian setelah farmakodinamik, ada satu bahasan lagi dalam ilmu farmakologi, yaitu farmakodinamik. Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dalam sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi. pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru. Farmakodinamik lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia. Farmakodinamik juga sering disebut dengan aksi atau efek obat. Efek Obat merupakan reaksi Fisiologis atau biokimia tubuh karena obat, misalnya suhu turun, tekanan darah turun, kadar gula darah turun. Kerja obat dapat dibagi menjadi onset (mulai kerja) merupakan waktu yang diperlukan oleh obat untuk menimbulkan efek terapi atau efek penyembuhan atau waktu yang diperlukan obat untuk mencapai maksimum terap. Peak (puncak), duration (lama kerja) merupakan lamanya obat menimbulkan efek terapi, dan waktu paruh. Mekanisme kerja obat dipengaruhi oleh reseptor, enzim, dan hormon. Dalam kasus Ny. Pamela, diberi suntikan tanpa diberitahu jenis suntikan. Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa respon individu terhadap obat yang dimasukkan lewat suntikan berbedabeda. Apabila Ny. Pamela mengetahui jenis obat yang akan disuntikkan, dan perawat tanggap terhadap respon pemberian suntikkan, sehingga dapat dicegah efek samping yang tidak diinginkan. Seharusnya perawat memberi penjelasan tentang obat yang akan diberikan oleh klien sehingga klien memahami dengan jelas obat yang diberi untuk klien. Pemahaman tentang obat dapat mencegah adanya kesalahan dalam pemberian obat yang dapa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan dan dapat berakibat fatal. Farmakokinetik dan farmakologi merupakan bagian dari armakologi. Farmakokinetik merupakan bagian ilmu farmakologi yang cenderung mempelajari tentang nasib dan perjalanan obat didalam tubuh dari obat itu diminum hingga mencapai tempat kerja obat itu. Dalam farmakokinetik terdapat empat fase, yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi atau eliminasi. Sedangkan farmakodinamik ini merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya. Daftar Pustaka: http://farmakoterapi.co.cc/pengantar-farmakologi-farmakodinamik (Diakses Pada Kamis, 28 April 2011) http://www.scribd.com/doc/48079119/FARMAKOKINETIK (Diakses Pada Kamis, 28 April 2011)



Nurdin, Faisal. (2010). Mengenal Farmakodinamik dan Farmakokinetik. Style Sheet. http://www.dhevai.co.cc/2010/02/mengenal-farmakodinamik-dan.html (Diakses Pada Kamis, 28 April 2011). Kuntarti. Pengantar Farmakologi. Style Sheet. staff.ui.ac.id/internal/139903001/material/pengantarfarmakologi.ppt (Diakses Pada Selasa, 3 Mei 2011 Pukul 18.30 WIB). Sapaa, Ahmad. Farmakodinamik. Style Sheet http://users.cjb.net/ahmadsapaafarma/farmakodinamik.html (Diakses Pada Kamis, 28 April 2011). Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC.



Ke 2



2.1. Farmakokinetik Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran. Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat



Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady state) di capai, kadar obat bentu non-ion di kedua sisi membran akan sama. Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atu basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi, derajat ionisasi ini tergantung dari pka obat dan PH larutan. Untuk obat asam, pka rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pka tinggi yang relatif kuat. Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap, kadar obat bentuk nonion saja yang sama di kedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan ph di kedua sisi membran. Membran sel merupakan membran semipermeabel,artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol, dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion natrium, kalium, kalsium. Transport obal melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antar sel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekul nya kurang dari 69000 (BM albumen), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absrofsi obat seltelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal. Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikal, misalnya untuk makro molekul seperti protein. Jumlah obat yang di angkut dengan cara ini sangat sedikit. Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara konpetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat



mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula di pengaruhi obat lain. Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) iyalah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor



pembawa ( carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa



menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transport nya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa kedalam sel perifel.



2.1.1 Absorpsi dan Bioavailabilitas Kedua istilah tersebut tidak sam artinya. Absorpsi yang m,erupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan di nyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sitemik dalam bentuk utuh/ aktif. Ini terjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang di absorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan di metabolisme oleh ezim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini di sebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai biovailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavalibilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat di hindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral ( misalnya lidokain ), sublingual ( misalnya nitrogliserin ), rektal, atau memberikannya bersama makanan. 1. Bioekuivalensi Ekuivalensi kimia merupakan kesataraan melalui obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang di sebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekivalensi kimia tetapi tidak berekivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorpsi nya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya di



goksin dan difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsi nya, misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperkihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya di goksin, difenilhidantoin, teofilin.



2. Pemberian Obat Per Oral Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukann karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat meniritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita tidak bisa dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secra difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat di bandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas di bandingka dengan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan klambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna boiasanya tidak mempengaruhi kjumlah obat yang di absorpsi atau yang mencapai sirkyulasi sistemik, kecuali pada tiga hal berikut ini.(1) obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya digoksin,difenilhidantoin, prednison) memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk absorpsinya. (2) sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan pelepasan obat di lingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meninggatkan jumlah yang di serap. (3) pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengutrangi jumlah obat yang di serap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi tidak dapat di capai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkuran.



Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama di usus halus untuk zat-zat makanan: glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat yang strukut kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.



Kecepatan absorpsi obat bentuk padat di tentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja di buat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustainet-release). Obat yang dirusal oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritas lambung sengaja di buat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan salut enterik (enteric coated). Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun permukaan absorpsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sanga poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke v.kava superior. Pemberian per rektal sering di perlukan pada penderita muntah-muntah, tidak sadar, dan pasca bedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit di bandingkan pemberian per oral karena hanya sekitar 50% obat yang di absorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum dan absorpsi di sana sering tidak lengkap dan tidak teratur. 3. Pemberian Secara Suntikan Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat di berikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah di butuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis. 1.



Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat di berikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila di suntikan perlahan-lahan, obat segera di encerkan oleh darah.



Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan.



Di samping itu, obat yang di suntikan IV tidak dapat di tarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis tidak boleh di berikan dengancara ini. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respon penderita. 2.



Suntikan subkutan (SK) hanya boleh di gunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi di serap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang di tanamkan di bawah kulit dapat di absorpsin selama beberapa minggu atau beberapa bulan.



3. suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat , dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada PH pisiologik misalnya digoksin, fenitoin dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air di serap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk suspensi akan di absorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk di suntikan secara SK kadang-kadang dapat di berikan secara IM. 4. Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut. Suntikan intratekal tidak dilakukan pada karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar. 4. Pemberian Melalui Paru-Paru Cara inhalasi ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap misalnya anestetik umum, dan untuk obat lain yang dapat di berikan dalam bentuk aerosal. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran nafas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan lansung pada



bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit di kerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.



5. Pemberian Topikal Pemberian topikal pada kulit.tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utih. Jumlah obat yang di serap bergantung pada luas permukaan kulit yang terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Demis permeabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit berkelupas atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak, misalnya inteksida organofosfat, dapat menimbulkan efek toksit akibat absorpsi melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran darah kulit juga akan memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat di tinggkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggunakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk penyakit kulit sebagai salep kulit ialah antibiotik, kortikostoroid, antihistamin, dan fungisid, tetapi beberapa obat sistemik di buat juga sebagai sediaan topikal, misalnya nitrogliserin dan skopolamin. Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimadsudkan untuk mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrikmal sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi disini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati, maka bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaikoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik. 2.1.2 Distribusi Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah,distribusi obat juga di tentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat



karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak.



Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairin ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. 2.1.3 Biotransformasi Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan di katalisis oleh enzim, pada proses ini molekul obat di ubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah di ekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolismenya sangat aktif, lebih aktif atau lebih toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug)justru



di



aktifkan



oleh



enzim



biotransformasi



ini.



Metabolit



aktif



akan



mengalamibiotransformasi lebih lanjut dan atau di ekskresi sehingga kerjanya berakhir.



Reaksi biokimia yang terjadi dapat di bedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, hidrolisis dan reduksi. Rekasi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II, yang di sebut juga fase sintetik, merupakan konyugasi obat vatau metabolik hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Hasil konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolik hasil konyugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat di metabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi kebanyakan obat di metabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.



Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat di bedakan berdasarkan letaknya di dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma.di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang di hasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuronoid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Edangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi hidrolisis dan reduksi. 2.1.4 Ekskresi Obat di keluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar di ekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi dari glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami



filtrasi



disana.



Di



tubuli



proksimal,



asam



organik



(penisilin,



probenesid,salisilat,konyugat glukurunoid dan asam urat) di sekresi aktif melalui sistem transport untuk asama organik, dan basa organik (neostigmin,kolin, histamin) diekskresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa organik dalam sistem transportnya nasing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi. Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion-ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada PH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya berkurang akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang.



Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini di gunakan untuk mengiobati keracunan obat yang ekskresinya dapat di percepat dengan pembasaan atau pengasaman urin misalnya salisilat, fenobarbital. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu di turunkan atau interval pemberian di perpanjang. Bersihan kreatinin dapat di jadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat di gunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat di gunakan untuk menemukan logam toksik misalnya arsen pada kedokteran forensik. 2.2 Farmakodinamik Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya (setaiwati dkk,1995) Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru. 2.2.1 Mekanisme Kerja Obat Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.



2.2.2 Reseptor Obat 1.Sifat Kimia



Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein ( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lam kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikina ikatan non kovalen yang aafinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen. 2.Hubungan Struktur-Aktivitas Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. 3. Reseptor Fisiologis Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secaraerat dengan protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lahyang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal. Berikut ini akan dibahas berbagai reseptor fisiologik tersebut. 2.2.3 Transmisi Sinyal Biologis Penghantaran sinyal biologis iyalah proses yang menyebabkan suatu substansi extra seluler ( extracellular chemikal ) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem



penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messengger ini bersifat polar. Contoh transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin D. Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor ) misalnay adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan efektor mensintesis, siklik-AMP. Yang merupakan second messenger. Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA (solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon peptida yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan akut juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi protein target pada residu tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin, epidermal growth factor, p[latelet-deri-ved growht dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa protein kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino hidrovobik yang menembus membran plasma. Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini bukan protein kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk neutrotransmitor tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin. Reseptor ini merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui. Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein



lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan respon terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula. Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG). Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami penyingkiran secara spesifik. Siklik-AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap respon terhadap aktivitas bermacam-macam reseptor.



2.2.4 Interaksi Obat – Reseptor Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, van der waals) dan jarang berupa ikatan kovalen 1. Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikat nya, dan intensitasnya efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka di sini berlaku persamaan michaelis-menten. Hubungan antara kadar atau dosis obat yaitu [D], dan besarnya efek E terlihat sebagai kurva dosis-intensistas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola. Tetapi kurva log dosis-intesitas efek ( Log DEC) akan berbentuk sigmoid.. Bila efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC dapat bermacam-macam , tetapi masingmasing berbentuk sigmoid.



Log DEC lebih sering digunakan karena mencakup rentang dosis yang luas dan mempunyai bagian yang linear, yakni pada besar efek = 16-8 % (= 50%± 1 SD ), sehingga lebih mudah untuk memperbandingkan beberapa DEC. 1/KD menunjukan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor, artintnya kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya (kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar KD (= dosis yang menimbulkan ½ efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya Emax menunjukan aktivitas intrinsik atau efektivitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks obatreseptor untuk menimbulkan aktivitas dan/atau efek farmakologik. 2. Variabel Hubungan Dosis-intensitas efek obat Hubungan dosis dan intesitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek. Efek antihipertensi, misalnya merupakan kombinasi efek terhadap jantung, vaskular,dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat diuraikan kedalam kurva-kurva sederhana untuk masing- masing komponennya. Kurva sedrhana ini, bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai 4 variabel yaitu potensi kecuramjan (slope), efek maksimal, dan variasi biologik. Potensi menunjukan rentang dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat, dan afinitas



obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik



digunakan dosis yang sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membayangkan bila obatnya mudah menguap atau di serap melalui kulit. Efek maksimal ialah respons yang maksimal yang ditimbulkan obat bila diberikan pada dosis yang tinggi. Ini di tentukan oleh akyivitas intrinsik obat dan di tunjukan oleh dataran (lpateau) pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosisi obat di batasi oleh timbulnya efek samping; dalam hal ini efek maksimal yand di capai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal yand sesunguhnya. Ini merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam efektivitasnya sebagai analgesik; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat, sedangkan aspirin tidak. Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya. Slopeatau lereng log DEC merupakan variabel yang penting karena menunjukan batas keamanan obat. Lereng yang curam, misalnnya untuk fenobarbital, menunjukan bahwa dosis



yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbulkan sedasi/tidur. Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Suatu graded DEEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi. Dalam hal yang berakhir ini, variasi biologik dapat di perhatikan sebagai garis horijontal atau vertikal. Garis horijontal menunjukkan bahwa untuk menunjukan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi di perlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada populasi akan menimbulkan suatu intensitas efek . 2.2.5 Kerja Obat yang Tidak Diperantai Reseptor Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion molekul kecil, atau masuk komponen sel. 1.Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran Perubahan sifat osmotik. Diueretik osmotik (urea manitol ), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomelurus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik. Dengan demikian juga katartik osmotik (MgSO4), gliserol yang mengurangi udem selebral, dan pegganti plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler Perubahan sifat asam/asam. Kerja ini diperlihatkan oleh antasid dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam mengasam kan urine, dan asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisid topikal dalam saluran vagina. Kerusakan Nonspesifik. Zat perusak nonspesofik digunakan sebagai antiseptik dan disenfektan, dan kontrasepsi,



contohnya, (1) detergen merusak



integritas



membran



lipoprotein;(2) halogen, peroksida, dan oksidator lain merusak zat organik (3) denaturan merusak integritas dan kapasitas sibseluler dan protein. Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga ektabilitasnya menurun 2. Interkasi dengan Molekul Kecil atau Ion



Kerja ini diperhatikan oleh kelator ( Chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada kercunan Pb. Demikian juga kerja penisilamin yang mengikat Cu2+ bebas pada penyakit wilson dan dimerkaprol ( BAL= British antilewisite) pada keracuanan logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi). Kelat yangf terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikelurkan melalui ginjal.



3. Masuk ke dalam Komponen Sel Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6merkaptopurinb, 5-fluorourasil, flusitosin dan anti kanker atau anti mokroba lain. 2.2.6 Terminologi 1. Spesifisitas dan Selektivitas Suatu obat dikatak spesifik bila kerjanya terbatas pada suatu jenis reseptor, dan dikatak selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif, tetapi obat yang tidak spesifik dengan sendirinya tidak selektif. Klorpromazin bukan obat yang spesifik karena ia bekerja pada berbagai jenis reseptor; kolinergik, adrenergik dan histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP. Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena reseptor ini terdapat di berbagai organ.salbutamol ialah agonis bheta-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif, obat ini memblok reseptor bheta2 dan pada dosis terapi hanya berefek di bronkus. Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara pemberian. Pemberian obat langsung di tempat kerjanya akan meningkatkan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selektivitas obat ini pada reseptor bheta2 di bronkus di tingkatkan bila di berikan sebagai obat semprot langsung ke saluran napas. 2. Istilah Lain Dosis rendah sekali cukup untuk penderita hipereaktif, sedangkan dosis tinggi sekali di butuhkan oleh penderita yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek yang berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif di gunakan untuk keadaan hiperaktif akibat denervasi atau akibat pemberian kronik suatu bliker reseptor yang merupakan denervasi



farmakologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat bersangkutan sebelumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa dosis obat di sebut toleransi akut atau takifilaksis. Bila toleransi timbul akibat pembentukan antibodi terhadap obat, digunakan istilah resisten misalnya terhadap insulin. Istilah idiosinkrasi di gunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak tergantung dari besarnya dosis dan sangat jarang terjadi. Istilah ini sering kali digunakan secara simpang siur maka sebaiknya istilah ini tidak di gunakan lagi



Ke 3 FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK



1.



Farmakokinetik Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat (Gunawan, 2009). 1.1 Absorpsi Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009). Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.



Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat a. Metode absorpsi -



Transport pasif Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.



-



Transport Aktif Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi



b. Kecepatan Absorpsi Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh. -



Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi



-



Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot



-



Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.



c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan 1. Aliran darah ke tempat absorpsi 2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi 3. Waktu kontak permukaan absorpsi d. Kecepatan Absorpsi 1. Diperlambat oleh nyeri dan stress Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster 2. Makanan tinggi lemak Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat 3. Faktor bentuk obat Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll) 4. Kombinasi dengan obat lain Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis obat Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek firstpass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak. 1.2 Distribusi Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan cairan tubuh.



Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor: a. Aliran darah Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat b. Permeabilitas kapiler Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat c. Ikatan protein Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein 1.3 Metabolisme Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara: a.



Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;



b.



Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme lanjutan. Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.



Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme: 1. Kondisi Khusus Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti sirosis. 2. Pengaruh Gen Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat. 3. Pengaruh Lingkungan Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera 4. Usia Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua. 1.4 Ekskresi Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal. Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009). Hal-hal lain terkait Farmakokinetik: a. Waktu Paruh



Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan. b. Onset, puncak, and durasi Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi 2.



Farmakodinamik Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).



2.2 Mekanisme Kerja Obat kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di sebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. 2.3 Reseptor Obat protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.



2.4 Transmisi Sinyal Biologis penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan efek perangsangan. 2.5 Interaksi Obat-Reseptor ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan antara subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen. 2.6 Antagonisme Farmakodinamik a. Antagonis fisiologik Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. b. Antagonisme pada reseptor Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu menimbulkan efek farmakologi secara instrinsik 2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor a. Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran b. Perubahan sifat osmotic c.



Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretic



d. Perubahan sifat asam/basa Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung. e. Kerusakan nonspesifik



Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein. f. Gangguan fungsi membrane Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun. g. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb. h. Masuk ke dalam komponen sel Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.



Daftar Pustaka Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.