Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Obat Pada Lansia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK OBAT PADA LANSIA Setiap memberikan obat kepada penderita lanjut usia, diharapkan timbulnya respons yang tentunya merupakan suatu respons terapeutik yang menguntungkan. Namun untuk mencapai efek terapeutik ini, ada banyak hal yang berpengaruh. Secara ringkas, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi respons penderita lanjut usia terhadap obat dapat dilihat pada gambar berikut:



Faktor-faktor farmakokinetik menentukan dari jumlah obat yang diminum berapa yang dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.



Faktor-faktor



farmakodinamik



menentukan



intensitas



efek



farmakologi yang ditimbulkan oleh kadar obat di reseptor. Sedangkan faktorfaktor lain yang turut berpengaruh mencakup kondisi fisiologis dan patologis, interaksi obat, keadaan gizi dan diet, serta kepatuhan penderita. Farmakokinetik mempelajari apa yang terjadi terhadap obat di dalam tubuh



yaitu



absorpsi,



distribusi,



metabolisme



(biotransformasi)



dan



ekskresinya. Dari keempat faktor farmakokinetik pada lanjut usia, yang terpenting adalah faktor ekskresi oleh ginjal.



a. Absorbsi Absorbsi menentukan bioavailabilitas atau availabilitas sistemik (F). Bila obat diberikan secara intravena maka F=1, bila diberikan secara oral maka F biasanya kurang dari 1. Penyerapan obat per oral terjadi terutama di lambung dan usus halus. Kecepatan dan tingkat absorbsi obat dari lambung dan usus praktis secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti, kecuali pada beberapa obat seperti Fenitoin, Barbiturat, dan Prazosin. Perubahan ini tidak bermakna secara klinis, terutama selama pengobatan jangka panjang. Kadang malah dapat terjadi keadaan sebaliknya yaitu meningkatnya bioavailabilitas Levodopa dan Propanolol akibat menurunnya inaktivasi di saluran cerna. Peningkatan pH lambung mempengaruhi proses ionisasi dan daya kelarutan beberara jenis obat. Penurunan aliran darah usus mengurangi kecepatan absorbsi aktif obat-obat seperti Fe, Ca, Tiamin, Levodopa dan obat-obat antineoplastik. Penurunan motilitas tidak memberikan banyak pengaruh. Absorpsi melalui otot dengan pemberian obat intramuskular cenderung sedikit melambat dikarenakan turunnya aliran darah pada otot, seperti pada obat Lidokain dan Klordiazepoksid. b. Distribusi Parameter distribusi disebut volume distribusi (Vd) yang menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi



tubuh,



fungsi



kardiovaskular,



kemampuan



obat



memasuki kompartemen tubuh dan derajat ikatan protein plasma. Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar plasma rendah memiliki Vd yang besar, seperti digoksin. Sebaliknya, obat yang terikat kuat pada protein plasma mempunyai Vd yang kecil seperti warfarin. Vd dapat dirumuskan sebagai berikut:



Vd = X C



X = jumlah obat dalam tubuh C = kadar obat dalam plasma



Hal terpenting dalam distribusi obat berhubungan dengan penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, atau pada beberapa obat lain α 1 glikoprotein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh, termasuk dengan organ target. Pada lanjut usia, terdapat penurunan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh, penurunan albumin plasma. Volume distribusi obat yang larut air seperti Furosemid dan Paracetamol mungkin menurun pada lanjut usia dengan akibat meningkatnya konsentrasi dalam darah dan jaringan. Contoh obat-obat lain yang dapat mengalami hal yang sama ialah antibiotika Aminoglikosida dan Digoxin. Sedangkan untuk obat yang larut lemak (lipofilik) seperti Lidokain, Amitriptilin, dan Diazepam distribusi terjadi lebih luas dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang. Penurunan albumin plasma sedikit saja pada lanjut usia yang sehat dapat menjadi lebih berarti bila terjadi pada lanjut usia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu, juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi dengan eliminasi yang lebih cepat. Kadar obat-obat terutama dari jenis asam lemah yang meningkat karena penurunan albumin plasma misalnya Fenitoin, Digitoxin, Warfarin, Klorpropamid, Klofibrat dan Furosemid. Perubahan fisiologis yang terjadi seiring dengan proses menua memang tidak banyak berpengaruh pada distribusi obat, tetapi untuk obat-obat yang disebutkan di atas, hendaknya faktor distribusi obat menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan dalam farmakoterapi lanjut usia.



c. Metabolisme Kapasitas fungsi hepar sebagai tempat metabolisme utama obat-obatan pada lanjut usia menurun banyak oleh karena faktorfaktor penurunan aktivitas intrinsik enzim mikrosomal hati, berkurangnya massa hepar dan penurunan aliran darah hepar. Aktivitas enzim-enzimnya dapat dirangsang (induced)



misalnya



rifampisin, luminal dan diazepam, maupun dihambat (inhibited) misalnya oleh Simetidin, Eritromisin, Allopurinol, Kalsium antagonis



dan



Siprofloksasin.



Obat-obat



yang



mengalami



metabolisme di hepar misalnya Parasetamol, Salisilat, Diazepam, Prokain, Propanolol, dan Warfarin, eliminasinya akan menurun sejalan dengan kemunduran kapasitas fungsional hepar. Penurunan massa hati konstan sesuai dengan berat badan (massa hepar 2,5% dari berat badan total). Mulai usia pertengahan, massa hati mengalami penurunan sebesar 0,2% per tahun. Aliran darah hati juga berkurang 0,3-1,5% pertahun. Hal ini menyebabkan kecepatan metabolisme hati menjadi bekurang, sehingga waktu paruh eliminasi obat dalam plasma juga meningkat. Obat-obat yang terpengaruh



adalah:



Propranolol,



Imipramin,



Desipramin,



Amitriptilin, Nortriptilin. D. Ekskresi Perubahan fisiologis yang mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi penurunan massa ginjal, penurunan aliran darah ginjal (laju filtrasi glomerulus menurun 30% pada usia 65 tahun dan tinggal ± 35% pada usia 90 tahun), penurunan fungsi sekretorik. Pemberian dosis obat pada pasien lanjut usia memerlukan acuan nilai bersihan/klirens kreatinin (creatinine clearance). Nilai ini bisa diperoleh dengan rumus Cockroft-Gault, yaitu: Kl kreatinin = (140-umur ) x berat badan 72 x kreatinin serum



Untuk wanita, nilai ini dikalikan lagi dengan 0,85. Selain dengan rumus Cockroft-Gault, perkiraan klirens kreatinin bisa didapatkan dengan normogram Sierbaek-Nielsen. Selanjutnya, hasil bersihan kreatinin ini dimasukkan ke dalam formula Giusti Hayton. Formula ini sebenarnya dipakai pada pasien gagal ginjal, namun karena pada pasien lanjut usia juga terjadi penurunan fungsi ginjal maka formula ini dapat dipakai. G = ( 1-fR ) x ( 1 - Kl kreatinin pasien ) Kl kreatinin normal G = Faktor penyesuaian dosis. fR = fraksi obat yang diekskresi utuh oleh urin dari dosis yang



bioavailabel



Dosis yang ingin diberikan bisa dihitung dengan cara:  Dosis per kali pemberian tetap, interval diperpanjang T = TN x 1/G  Dosis per kali pemberian diperkecil, interval tetap D = DN x G  Cara gabungan kedua cara diatas, yaitu dosis per kali pemberian diperkecil dan interval diperpanjang, asalkan dosis per satuan waktu sama dengan nilai tersebut pada ginjal normal dikali dengan G. Perhitungan ini bisa membantu dalam memperkirakan dosis, namun pemeriksaan kadar obat plasma beberapa obat yang relatif toksik



perlu



dilakukan



seperti



digoksin



dan



antibiotik



aminoglikosida. Selain itu, harus diingat bahwa perhitungan tersebut hanya didasarkan atas penurunan fungsi ginjal penderita yang bersangkutan (berlaku untuk obat-obat yang ekskresinya melalui filtrasi glomerulus maupun yang melalui sekresi tubulus) dan belum memperhitungkan berbagai perubahan lainnya yang terjadi pada lanjut usia. Oleh karena itu, perhitungan ini hanya berguna sebagai perkiraan awal yang harus diikuti penyesuaian



lebih lanjut sesuai respons klinik penderita dan/atau kadar plasma obatnya. Fungsi ginjal adalah suatu kerja yang dinamis, sehingga dosis rumatan perlu diubah sesuai kondisi patologis yang terjadi pada pasien. Pasien lanjut usia mudah mengalami kerusakan ginjal akibat dehidrasi, gagal jantung kongestif, hipotensi, retensi urin, dan nefropati diabetikum. Beberapa obat yang terutama mengalami ekskresi utama di ginjal adalah simetidin, penisilin, litium, obat anti diabetik oral, pankuronium dan tetrasiklin. Paru-paru penting dalam ekskresi obat berupa gas. Sebagai akibat berkurangnya kapasitas respiratori dan peningkatan penyakit paru aktif pada lanjut usia, pemakaian anestesi inhalasi menjadi pertimbangan tersendiri dan bisa diganti dengan anestesi parenteral. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut tetapi dalam jumlah kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Table 1 Hal-hal yang Mempengaruhi Farmakokinetik Obat pada Lanjut Usia Parameter farmakokinetik Absorpsi



Distribusi



Metabolisme



Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan penuaan Peningkatan pH lambung Penurunan permukaan absorbsi Penurunan aliran darah spanknik Penurunan motilitas saluran cerna Penurunan output jantung Penurunan jumlah air tubuh Penurunan lean mass body Penurunan albumin serum



Peningkatan



-1



Kondisi/penyakit terkait Akloridia Diare Gastrektomi Sindrom malabsorpsi Pankreatitis



Gagal jantung kongestif Dehidrasi Edem atau asites Gagal hati Malnutrisi Gagal ginjal



glikoprotein Peningkatan lemak tubuh Penurunan massa hati Penurunan aktivitas enzim



Ekskresi



Penurunan aliran darah hati Penurunan aliran darah ginjal Penurunan laju filtrasi glomerulus Penurunan sekresi tubulus



Gagal jantung kongestif Demam Insufisiensi hepar Keganasan Malnutrisi Penyakit tiroid Infeksi virus atau imunisasi Hipovolemia Insufisiensi ginjal



Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Perubahanperubahan dari aspek farmakodinamik lanjut usia meliputi penurunan maupun peningkatan sensitivitas obat dengan reseptor (interaksi obat-reseptor), penurunan jumlah reseptor, kejadian pasca penangkapan oleh reseptor, serta perubahan mekanisme homeostatis. Obat menimbulkan serentetan reaksi biokimiawi dari reseptor sampai efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respons selular. Respons ini pada lanjut usia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti yang terjadi pada farmakokinetik. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi selular intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis β untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal dengan dosis yang besar, efek samping akan lebih besar pula. Sebaliknya obat-obat yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi selular, pengaruhnya akan menjadi lebih nyata sekali terlebih-lebih dengan mekanisme regulasi homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol sehingga toksik, misalnya obat-obat antagonis β dan antikolinergik.



Secara umum, didapatkan peningkatan kepekaan sistem saraf pusat usia lanjut terhadap psikotropika seperti Morfin, Benzodiazepin, sebagian besar antipsikotik dan analgesik. Sebaliknya didapatkan penurunan efek obat kardiovaskular terutama Propanolol karena penurunan sensitivitas reseptor yang terjadi. Berkurangnya efisiensi mekanisme homeostatik merupakan bagian dari proses menua dengan akibat berkurangnya kemampuan lanjut usia menetralkan berbagai efek obat sehingga lebih rentan terhadap efek sampingnya. Akibat mundurnya fungsi baroreseptor, hipotensi postural akibat obat sering terjadi, seperti pada penggunaan diuretika tiazid. Kemampuan termoregulasi juga berkurang nyata dan hipotermia akibat obat yang disebabkan oleh efek farmakologi langsung atau tak langsung melalui berkurangnya mobilitas, adalah masalah utama pada usia lanjut. Fenotiazin menimbulkan kesukaran yang nyata dalam hal ini. Jatuh pada lanjut usia juga dapat disebabkan oleh efek obat pada mekanisme pengendalian sikap tubuh, misalnya kejadian aritmia oleh obat. Pemeliharaan fungsi intelektual yang normal, pengaturan kadar gula darah dan pengendalian saraf atas fungsi berkemih dan buang air besar juga menjadi kurang efisien. Akibatnya, meningkatlah kepekaan terhadap efek farmakologi atau efek samping obat. Prinsip Peresepan Dan Pemberian Obat Pada Lansia Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam proses pembuatan preskripsi (peresepan obat): 1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit. 2. Kondisi dan konstitusi tubuh/organ. 3. Farmakologi klinik obat. Setelah diagnosis ditegakkan perlu dibuat pemetaan proses patofisiologis yang sedang berlangsung. Dan dengan peta ini ditentukan titik-titik sasaran obat dengan cermat. Secara farmakologik dipilih obat-obat yang sesuai/pas dengan kondisi/konstitusi organ pasien. Dengan kaidah-kaidah farmakologi klinik



(farmakokinetik dan farmakodinamik), ditentukan dosis, cara, frekwensi dan lama pemakaian serta cara penghentian obat. Lima kriteria pokok pemakaian obat secara rasional adalah: 1. Tepat indikasi. 2. Tepat pasien. 3. Tepat obat. 4. Tepat dosis (cara dan lama pemberian). 5. Waspada efek samping obat. Adapun prinsip-prinsip pemberian obat pada lanjut usia pada hakekatnya sama dengan pada penderita muda, dengan beberapa modifikasi berdasarkan adanya perubahan-perubahan yang khusus terdapat pada lanjut usia sebagaimana telah diuraikan di atas. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut: 1.



Tinjau apakah perlu dimulainya suatu terapi farmakologis. a.



Tidak semua penyakit yang dialami oleh pasien lanjut usia perlu penanganan secara medis.



b.



Jika mungkin, hendaknya penggunaan obat dihindarkan, tetapi jangan pula menunda suatu terapi farmakologis bila penyakit pasien memerlukan penatalaksanaan farmakologis dengan segera, untuk meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut.



c.



Terapi hendaknya disesuaikan dengan diagnosa dan hindari sedapat mungkin pengobatan atas dasar simptom.



2.



Perhatikan riwayat dan kebiasaan penggunaan obat pasien. a.



Pasien sering kali berobat pada dokter yang berbeda-beda.



b.



Pengetahuan tentang terapi yang sering dan sudah diterima pasien, baik yang diresepkan oleh dokter maupun yang tidak diresepkan sangat membantu dalam mengantisipasi terjadinya interaksi obat.



c.



Kebiasaan merokok, minum alkohol, dan kafein dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.



3.



Pengetahuan tentang farmakologi obat yang akan diresepkan.



a.



Gunaakan sesedikit mungkin obat, dengan tujuan yang jelas tetapi efektif daripada mengunakan banyak macam obat tetapi tidak efektif.



4.



b.



Hati-hati pada perubahan fisiologis yang terkait usia.



c.



Perhatikan kemungkinan efek samping obat dan interaksi obat.



d.



Hati-hati pada perubahan fisiologis yang terkait usia.



e.



Bila terdapat keragu-raguan, lebih baik tidak memberikan obat.



Berikan dosis obat yang rendah. a.



Dosis standar sering terlalu besar untuk pasien lanjut usia.



b.



Metabolisme obat oleh hati kurang dapat diprediksi, sedangkan ekskresi obat melalui ginjual cenderung menurun pada pasien lanjut usia.



5.



Titrasi obat berdasarkan respons pasien terhadap terapi. a.



Mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan sampai dosis yang adekuat tercapai, misalya dengan ½ lebih sedikit dosis biasa pada penderita dewasa muda.



b.



Efek samping obat yang tidak diinginkan membatasi peningkatan dosis.



c.



Gunakan dosis yang cukup. Hal ini penting pada pasien-pasien yang mengalami rasa nyeri yang hebat terkait dengan keganasan.



d.



Kadang kala terapi kombinasi lebih efektif daripada terapi dengan satu macam obat.



6.



Sederhanakan regimen pemberian obat dan kepatuhan berobat. a.



Hindari regimen pemberian obat yang rumit. Sekali sehari atau dua kali sehari adalah regimen pemberian yang ideal. Upayakan bersaman dengan kegiatan rutin harian, misalnya makan.



b.



Pilih bentuk obat yang tepat untuk pasien.



c.



Berikan label obat dengan jelas atau jika perlu berikan tempat khusus yang mudah diingat untuk tiap macam obat.



d.



Berikan penjelasan yang cukup kepada pasien mengenai obat yang diberikan.



e.



Sarankan penggunaan kalender obat atau diari/catatan harian.



f.



Sarankan pasien untuk membuang obat-obatan yang sudah lama. Jangan sampai pasien mencari dan memakai obat yang telah lama dibuka meskipun tanggal kadaluarsa belum dilampaui.



g.



Sarankan adanya pengawasan pemantauan minum obat oleh tetangga, keluarga, teman atau tenaga medis.



7. Periode pengobatan jangan terlalu lama, tinjau secara teratur rencana pengobatan, hentikan obat-obat yang sudah tidak diperlukan. 8.



Ingat bahwa suatu penyakit mungkin merupakan efek samping obat.