Fiqih Nikah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NIKAH



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQIH Dosen Pengampu : Pendik Hanafi M.Pd.I



Oleh : Mukhlistian Nurul Fajri (06) Ach. Habibur Rohman R (14) Harjunadi (23) Khoirul Rudin (24)



PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI) SEMESTER I FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM (FDKI) INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO TAHUN 2022



i



KATA PENGANTAR



Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan berkah, rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Nikah” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih kepada Bapak Pendik Hanafi M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih yang telah memberikan tugas ini kepada penulis. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Aamiin.



Nganjuk, 26 Desember 2022



Penulis



ii



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL.......................................................................................... i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii DAFTAR ISI........................................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1 A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................1 C. Tujuan ..........................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3 A. Pengertian Nikah ..........................................................................................3 B. Sejarah Pensyariatan Nikah .........................................................................5 C. Syarat, Rukun & Batalnya Nikah.................................................................8 D. Pencatatan Nikah Di Indonesia ..................................................................12 E. Hikmah dan Filosofi Nikah ........................................................................14 BAB III PENUTUP .............................................................................................19 A . Kesimpulan .................................................................................................19 B. Saran ...........................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................20



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Menikah merupakan perintah dari Allah Swt.



B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian nikah? 2. Bagaimana sejarah pensyariatan nikah? 3. Apa syarat, ruku, dan batalnya nikah? 4. Bagaimana pencatatan nikah di Indonesia? 5. Apa hikmah dan filosofi nikah?



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian nikah 2. Untuk mengetahui sejarah pensyariatan nikah 3. Untuk mengetahui syarat, ruku, dan batalnya nikah 4. Untuk mengetahui pencatatan nikah di Indonesia 5. Untuk mengetahui hikmah dan filosofi nikah



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Nikah Kata nikah berasal dari bahasa Arab yakni nikaahun yang merupakan masdar dari kata kerja nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita gunakan sebab telah masuk ke dalam bahasa Indonesia.1 Secara bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh- dhammu waljam‟u (bertindih dan berkumpul).2 Pemakaian termasyhur untuk kata nikah adalah tertuju pada akad. Dan sesungguhnya inilah yang dimaksud pembuat Syari‟at. Didalam Al-Qur‟an pun kata nikah tidak dimaksudkan lain kecuali arti akad perkawinan. Adapun secara istilah ilmu Fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakikan hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafazh) nikah atau tazwij. Kemudian secara terminology para ulama mendefenisikan nikah dengan redaksi yang sangat beragam. Sekalipun berbeda namun intinya mereka memiliki suatu rumusan yang secara makna sama. Berikut dikemukakan beberapa rumusan para ulama tersebut. Ulama dari golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah dengan : “Akad yang memiliki kemanfaatan atas sesuatu yang menyenangkan yang dilakukan dengan sengaja”. Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan “Akad yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang dengan wanita yang sebelumnya tidak ditentukan maharnya secara jelas serta tidak ada keharamannya sebagaimana lazimnya diharamkan oleh Al-qur‟an atau oleh ijma”. Golongan Syafi‟iyah mendefenisikan nikah dengan ungkapan :



1



H. Muhammad Yunus, Kamus Bahsaa Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989). H. 467 2 Rahmat Hakim, Hukum perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11



3



“Akad yang mengandung pemilikan untuk melakukan persetubuhan yang diungkapkan dengan kata-kata ankaha atau tazwij atau dengan kata-kata lain yang semakna dengan keduanya”. Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah dengan ungkapan : “Akad yang diucapkan dengan lafaz ankaha atau tazwij untuk memperoleh manfaat bersenang-senang”.3 Dari defenisi yang telah di ungkapkan di atas sering terdapat kata akad. Dalam hal ini kata akad yang dipergunakan merupakan pokok pangkal kehidupan suami istri, karena akad merupakan hal yang mutlak dalam pernikahan. Menurut undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9 Dalam Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan yaitu “akad yang sangat kuat



atau



mitsaqan



Ghalizhan



untuk



mentaati



perintah



Allah



dan



melaksanakannya merupakan ibadah. Sekalipun ada perbedaan pendapat dalam merumuskan perkawinan namun masing-masing rumusan mengandung suatu unsur kesamaan yaitu perkawinan atau pernikahan merupakan perjanjian ikatan antara seorang laki- laki dengan perempuan. Dan suatu akad antara seorang laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilaksanakan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang ditentukan syara‟ untuk menghalalkan antara keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan sebagai teman hidup dalam rumah tangga. Perjanjian yang dimaksud bukan hanya seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa barang, melainkan perjanjian yang suci dan mempunyai implikasi hukum untuk membentuk suatu keluarga. Karena perkawinan atau pernikahan adalah “keberpasangan” dan merupakan ketetapan Illahi atas semua makhluknya supaya dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW untuk hidup berumah tangga dengan baik sesuai dengan syari‟at Islam. 3



Ibid



4



B. Sejarah Pensyariatan Nikah Perkawinan atau pernikahan dalam islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-dalil naqli. Terlihat dalam dalil Al-Qur‟an dan AsSunnah dan dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan. Ajaran ini disyariatkan mengingat kecenderungan manusia adalah mencintai lawan jenis dan memang Allah menciptakan makhluknya secara berpasangpasangan. Adapun dasar- dasar dalil naqli tersebut adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur‟an



َ‫س اًل ِ ّمه قَ ْبهِكَ َو َج َع ْهىَا نَ ُه ْم أ َ ْز َٰ َو اجا َوذُ ِ ّريَّتا ۚ َو َما َكان‬ ُ ‫س ْهىَا ُر‬ َ ‫َونَقَ ْد أ َ ْر‬ ْ َّ ‫ى بِـَٔايَ ٍت إِ ََّّل بِإِذْ ِن‬ ‫ٱَّللِ ۗ ِن ُك ِّم أ َ َج ٍم ِكت َاب‬ ُ ‫ِن َر‬ َ ِ‫سى ٍل أَن يَأت‬ Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (Q.S. Ar-Rad ayat 38) Pensyariatan pernikahan adalah sudah ada sejak ummat sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa Rasul sebelum Muhammad telah diutus dan mereka diberi isteri-isteri dan keturunan.



۟ ‫ىا فِى ْٱنيَ َٰت َ َم َٰى فَٱو ِك ُح‬ ۟ ‫ط‬ ُ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّّل ت ُ ْق ِس‬ َ ‫ىا َما‬ َ َ‫سا ٓ ِء َمثْى ََٰى َوث ُ َٰه‬ ‫ث َو ُر َٰ َب َع‬ َ ‫ط‬ َ ّ‫اب نَ ُكم ِ ّمهَ ٱن ِى‬ ۟ ُ‫ت أ َ ْي َٰ َمىُ ُك ْم ۚ َٰذَنِكَ أ َ ْدو َٰ َٓى أ َ ََّّل تَعُىن‬ ۟ ُ‫فَإ ِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّّل ت َ ْع ِدن‬ ْ ‫ىا فَ َٰ َى ِحدَة ا أ َ ْو َما َمهَ َك‬ ‫ىا‬ Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. AnNisa ayat 3) Ayat ini adalah perintah agar menikahi wanita-wanita yang baik untuk dijadikan pasangan hidupnya. Allah akan memberikan rizki



5



kepada mereka yang melaksanakan ajaran ini dan ini merupakan jaminan Allah bahwa mereka hidup berdua beserta keturunannya akan dicukupkan oleh Allah. 2. Hadist Nabi ”Dari Abdullah bin Mas'ud berkata; "Kami berangkat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Waktu itu kami masih muda. Kami belum mampu melakukan sesuatu. Beliau bersabda: "Wahai para pemuda, menikahlah! Karena (nikah) itu lebih bisa menjaga pandangan dan kemaluan kalian. Barangsiapa yang belum mampu, berpuasalah. Sebab, puasa itu adalah perisai baginya”.(H.R. Tirmidzi) Perintah kawin kepada anak muda dalam hadits ini karena mereka mempunyai kecenderungan tertarik atau punya sahwat terhadap lawan jenis, oleh karena itu kalau ia mampu baik dari segi fisik, materi, dan mental hendaklah ia kawin. Dan bagi yang tidak memenuhi syarat kemampuan tersebut (segi fisik, materi dan mental) hendaklah ia berpuasa, karena



dengan



puasa



tersebut



dapat



menghilangkan



bergejolaknya nafsu sahwat sehingga terhindar dari zina dan dibalik itu ada hikmat Allah. Hukum asal nikah adalah mubah (boleh). Akan tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain, yaitu: wajib, haram, sunnah, dan makruh, sesuai dengan kondisi seseorang yang akan melaksanakannya. Ketentuan ini berdasarkan dalil Firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 32 yang artinya : “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui.” Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukum asal nikah adalah mubah. Namun, hukum mubah ini bisa tetap mubah dan bisa pula berubah menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh, sesuai



6



dengan situasi serta kondisi. Namun, dalam hal ini, ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama dalam memberikan syarat dan kriteria lima hukum nikah. 3. Hukum Nikah Menurut Dua Mazhab a. Mazhab Hanafi 1) Wajib Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu: 1.



Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.



2.



Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak terjadinya zina.



3.



Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai gantidari isteri.



4.



Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.



2) Sunnah Muakkadah Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkadah apabila terpenuhi syarat-syarat berikut: 1. Ada keinginan menikah. 2. Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah. 3. Mampu untuk ijma‟ 3) Haram Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau setelah menikah akan memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan berbuat dzalim pada orang lain. 4) Makruh Tahrim Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikah ada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram. 5) Mubah Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir



7



akanmelakukan zina. b. Mazhab Maliki 1) Wajib Hukum menikah menjadi wajib apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: a) Khawatir melakukan zina b) Tidak mampu berpuasa atau mampu tapi puasanya tidak bisamencegah terjadinya zina. c) Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai d) pengganti isteri dalam istimta‟. 2) Haram Hukum menikah menjadi haram apabila tidak hawaatir zina dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau atau tidak mampu jima‟, sementara isterinya tidak ridho. 3) Sunnah Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin untuk menikah dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan halhal yang wajib baginya. 4) Mubah Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak ingin menikah dan tidak mengharap keturunan, sedangkan ia mampu menikah dan tetap bisa melakukan hal-hal sunnah.



C. Syarat, Rukun & Batalnya Nikah Nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.4 Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan 4



Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 13



8



tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. 1. Rukun Nikah Dalam memahami tentang rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas : a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan pernikahan. Yaitu orang yang tidak terhalang dan terlarang secara syar‟i untuk menikah. Di antara perkara syar‟i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddah dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.5 b. Adanya wali dari pihak calon pengantin perempuan. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut d. Shighat (ijab qabul) akad nikah. Yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki. Maksud ijab dalam 5



Ibid



9



akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata- kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya. 2. Syarat-syarat nikah Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. a. Syarat-syarat calon suami. 1) Beragama Islam 2) Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal nikah dengan calon istri 3) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki 4) Tidak sedang mempunyai istri empat 5) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri 6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan 7) Calon suami kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya 8) Tidak sedang melakukan ihrom, Seseorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah. b. Syarat-syarat calon istri 1) Beragama Islam 2) Tidak bersuami dan tidak dalam iddah 3) Bukan mahram calon suami 4) Terang (jelas) bahwa calon istri itu bukan khuntsa dan betulbetul perempuan 5) Belum pernah di li‟an (sumpah li‟an) oleh calon suami



10



6) Tidak sedang dalam ihram 7) Calon istri rela (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan 8) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya. 3. Batalnya Nikah Ternyata ada beberapa perkara dalam pernikahan yang dapat batal baik disengaja maupun tidak disengaja. Yang mengkhawatirkan, pembatalan pernikahan tersebut sering kali tidak disadari. Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa pembatal pernikahan yang sering tidak disadari itu, antara lain: 1) Ada syarat sah nikah yang tidak dipenuhi Bilamana ada salah satu syarat sah nikah ada yang tidak terpenuhi dan baru diketahui, maka saat itu juga pernikahannya batal dan tidak boleh dilanjutkan. Syarat sah menikah di antaranya: - Mempelai wanita harus benar-benar orang yang halal dinikahi. - Ada wali yang menikahkan. - Dihadiri dua orang saksi laki-laki muslim, baligh, berakal, serta mendengar dan memahami ucapan ijab-qabul. 2) Tidak ada izin dari pengantin wanita Pernikahan bisa batal, bila pernikahan itu tidak mendapat restu dari pengantin wanita atau saat dia dipaksa oleh walinya. Ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, ada seorang wanita pernah mengadu kepada Rasulullah ketika dirinya dipaksa menikah dengan seseorang laki-laki. Kemudian Rasulullah



memberikan



pilihan



untuk



melanjutkan



atau



menghentikan pernikahannya. 3) Ada hal-hal yang membatalkan akad nikah Pernikahan dianggap batal apabila ada hal-hal yang membatalkan



11



akadnya. Misalnya, baru diketahui bahwa antara suami dan istri tersebut ternyata memiliki ikatan saudara sepersusuan atau mahram. Kemudian juga ketika baru diketahui bahwa si perempuan masih memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain atau masih dalam masa idahnya. 4) Murtad (baik calon suami atau istri keluar dari agama Islam) Hal ini kerap kali berkaitan dengan unsur penipuan. Misalnya ketika, seorang suami yang semula beragama non-Islam kemudian masuk Islam hanya untuk menikahi istrinya. Lalu suami kembali memeluk agamnya lamanya, maka secara langsung perkawinan tersebut batal. Tanpa memerlukan persidangan,secara otomatis ikatan perkawinan antara keduanya batal. 5) Zihar Zihar adalah ketika seseorang suami menyamakan istri dengan ibunya sehingga haram atasnya. Dikatakan salah satunya contohnya ketika suami mengatakan, “Punggungmu seperti punggung ibuku.” Ketika suami mengatakan hal tersebut atau semacamnya, maka telah jatuh talak atas istrinya, sehingga ia wajib membayar kafarat zihar. 6) Khuluk (talak tebus) Khuluk atau talak tebus adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami disertai pembayaran dari pihak istri kepada suaminya. Talak ini biasanya merupakan permintaan dari pihak istri sehingga diperbolehkan ketika istri dalam keadaan haid sekalipun.6



D. Pencatatan Nikah Di Indonesia Konsep pencatatan pernikahan merupakan suatu bentuk pembaruan hukum yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak diungkapnya secara jelas keharusan pencatatan pernikahan di dalam sumber hukum Islam, baik di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Selain 6



Widaningsih. Perkara-perkara yang Dapat Membatalkan Pernikahan. https://kalam.sindonews.com/read/554264/72/perkara-perkara-yang-dapat-membatalkanpernikahan-



12



itu, para ulama fikih juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan pernikahan. Beberapa hal dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan pernikahan luput dari perhatian para ulama pada masa awal masuknya agama Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al-Quran, yang bertujuan untuk mencegah tercampurnya al-Quran dengan yang lain, sehingga kultur tulis-menulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan hafalan. Kedua, sangat mengandalkan hafalan, mengingat suatu peristiwa nikah bukan hal yang sulit untuk diingat. Ketiga, tradisi walimatul „ursy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, di samping saksi yang termasuk rukun dalam pernikahan. Terlihat pada masa awal Islam, pencatatan pernikahan sebagai alat bukti yang otentik belum dibutuhkan. Walaupun begitu, spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan pernikahan telah dimanifestasikan, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Dengan pertimbangan maslahah mursalah dalam hukum Islam, pencatatan pernikahan adalah suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Pencatatan pernikahan lebih banyak mendatangkan kebaikan dari pada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksanakan pencatatan pernikahan adalah suatu keharusan bagi mereka yang beragama Islam. Pencatatan pernikahan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan pernikahan sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai, karena buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah, dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-hak sebagai ahli waris. Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai warga negara yang baik, maka sebagai warga negara Indonesia harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk dalam hal pencatatan pernikahan. Hal tersebut mengingat pencatatan



13



merupakan suatu proses administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bagi semua warga negara. Disebutkan di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Di sis yang lain, bagi yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil. Di dalam Pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga dipertegas bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat. Pencatatan pernikahan bagi mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019.7



E. Hikmah dan Filosofi Nikah Anjuran menikah telah banyak disinggung oleh Allah dan RasulNya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia. Dari Al Quran, kita peroleh keterangan manfaat menikah;



َّ ‫صا ِن ِحيهَ ِم ْه ِع َبا ِد ُك ْم َو ِإ َمائِ ُك ْم ِإن َي ُكىوُىا فُقَ َراء يُ ْغىِ ِه ُم‬ ‫َّللاُ ِمه‬ َّ ‫َوأَو ِك ُحىا ْاْلَيَا َمى ِمى ُك ْم َوان‬ َّ ‫ض ِه ِه َو‬ ‫ع ِهيم‬ ْ َ‫ف‬ َ ‫َّللاُ َوا ِسع‬ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin,



7



PUSKUMHAM. Pencatatan Pernikahan . Diakses melalui https://puskumham.iainkediri.ac.id/2021/04/16/pencatatan-pernikahan/



14



Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur [24]: 32). Lewat lisan Nabi Muhammad kita dapati sabdanya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka sunnahku dia bukan dari golonganku.” (HR. Abu Ya`la). Dari Imam Ahmad bin Hanbal, kita peroleh kisah yang membawa semangat untuk menikah. Dua hari lepas kemangkatan sang istri, beliau melangsungkan pernikahan yang berikutnya. Oleh orang-orang di sekitarnya beliau ditanya tentang hal tersebut. Dengan tenang beliau memberikan jawaban sederhana, “Aku tidak ingin dikatakan duda tanpa istri karena hal itu berarti telah meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wassallam.” Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam. 1. Sebagai Wadah Birahi Manusia Yang Halal Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif. Manusia



yang



tidak



bisa



mengendalikan



nafsu



birahi



dan



menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi aspirasi nulari normal seorang anak keturunan Adam. Hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh Rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)



15



2. Meneguhkan Moralitas Yang Luhur Dengan menikah dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah. Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menunjukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan. Percintaan berujung pada hubungan intim di luar pernikahan, melahirkan bayi-bayi yang tidak berdosa tanpa diinginkan oleh mereka yang melahirkannya. Angka aborsi semakin tinggi. Akibatnya, kerusakan para pemuda dewasa ini semakin parah. Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim) 3. Membangun Rumah Tangga Islami Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu mapun sekarang, hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga Islami. Layaknya perahu, rumah tangga kadang terombang-ambing oleh ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan yang datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya. Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini. Diriwayatkan, Sayidina Umar pernah memperoleh cobaan dalam



16



membangun rumah tangga. Suatu hari, seorang laki-laki berjalan tergesagesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar. Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku,



mencuci



pakaian-pakaianku,



menunaikan



hajat-hajatku,



menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.” Oleh karena itu, pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesalehan dalam hari-harinya. 4. Memotivasi Semangat Dalam Beribadah Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan masing-masing. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya, shalat, mengajarkan Al Quran, dan sebagainya. 5. Melahirkan Keturunan/Generasi Yang Baik Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih, berkualitas dalam iman dan takwa, cerdas secara spiritual, emosianal, maupun intelektual. Sehingga dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahirkan generasi yang baik.



17



Lima hikmah menikah di atas merupakan satu sisi dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya.8



8



Hidayatullah.com. Hikmah Menikah. Diakses melalui https://hidayatullah.com/kajian/jendelakeluarga/read/2015/08/16/75932/lima-hikmah-menikah-2.html



18



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakikan hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafazh) nikah atau tazwij. Sesuai dengan penjelasan diatas, untuk melaksanakan pernikahan sebagai umat Islam kita harus mengetahui tentang hukum, rukun, syarat, batalnya nikah, pencatatan nikah di Indonesia dan hikmah nikah. Karena tujuan utama menikah adalah menyempurnakan agama, maka sejatinya agar setiap ibadah menjadi sempurna haruslah dilandasi oleh ilmu. Ilmu agama inilah yang akan menuntun manusia dan pasangannya dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. B. Saran Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pentingnya mengetahui bab fiqih bagian nikah.



19



DAFTAR PUSTAKA Hakim, Rahmat.2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hidayatullah.com. 2015. Hikmah Menikah. Diakses pada 27 Desember 2022 melalui https://hidayatullah.com/kajian/jendelakeluarga/read/2015/08/16/75932/lima-hikmah-menikah-2.html PUSKUMHAM. 2021. Pencatatan Pernikahan. Diakses pada 27 Desember 2022 melalui https://puskumham.iainkediri.ac.id/2021/04/16/pencatatanpernikahan/ Widaningsih. 2021. Perkara-perkara yang Dapat Membatalkan Pernikahan. Diakses pada 27 Desember 2022 melalui https://kalam.sindonews.com/read/554264/72/perkara-perkara-yangdapat-membatalkan-pernikahanYunus, Muhammad. 1989. Kamus Bahsaa Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.



20