FixKelompok 2 (Gizi Darurat) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Mata Kuliah Gizi Darurat



MANAGEMENT OF EMERGENCY SITUATION & MEETING NUTRITIONAL REQUIREMENT



Oleh: Kelompok 2 DEVIEKA RHAMA DHANNY



(1706093725)



ERNA RAHMAWATI



(1706093813)



EVI HERYANTI



(1706093832)



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK 2018



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terjadinya keadaan darurat baik yang disebabkan oleh alam maupun buatan manusia telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini yang mengakibatkan sejumlah besar masyarakat terkena dampak. Keadaan darurat sering mengakibatkan kekurangan pangan, mengganggu status gizi penduduk, dan menyebabkan kematian di hampir semua kelompok umur. Terganggunya status gizi penduduk berupa malnutrisi (baik protein-energi atau mikronutrien). Defisiensi mikronutrien dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian, morbiditas dan kerentanan terhadap infeksi, kebutaan, kecacatan, stunting, kapasitas kerja yang rendah, penurunan kapasitas kognitif dan keterbelakangan mental. Dalam situasi darurat, populasi yang terkena dampak mungkin mengalami kekurangan mikronutrien endemik, dan sering diperburuk oleh penurunan status gizi secara umum, terbatasnya akses memperoleh makanan segar, hilangnya akses memperoleh makanan lokal dan kurangnya keragaman pangan. Oleh karena itu nutrisi menjadi perhatian utama dari kesehatan masyarakat dalam manajemen darurat. Dalam keadaan darurat besar, salah satu tindakan yang paling dibutuhkan untuk mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi adalah memastikan penyediaan dan asupan makanan yang cukup. Kebutuhan energi dan protein dasar adalah perhatian utama, tetapi mikronutrien dan kebutuhan nutrisi spesifik lainnya juga harus dipenuhi untuk mencegah kebutaan, kecacatan, dan kematian. Penilaian kebutuhan gizi penduduk adalah alat manajemen mendasar untuk menghitung kebutuhan makanan, memantau kecukupan akses dan asupan makanan, dan memastikan pengadaan makanan yang memadai bagi masyarakat. Pemantauan asupan makanan di masyarakat yang terkena dampak sangat penting, salah satunya untuk memungkinkan otoritas nasional untuk menilai kecukupan distribusi makanan.



1.2 Tujuan Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memahami manajemen keadaan darurat dan pemenuhan kebutuhan gizi dalam keadaan darurat. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Mitigation, Preparedness, Response, and Recovery Mitigasi Gizi/ Kegiatan Gizi pada Fase Pra Bencana Mitigasi gizi adalah suatu rangkaian kegiatan penanganan gizi bersifat antisipatif guna mengurangi dan memperkecil risiko bahaya sebelum bencana terjadi.



Dalam



prakteknya,



langkah-langkah



mitigasi



cenderung



mahal,



mengganggu, memakan waktu, dan tidak menyenangkan secara sosial (Coppola dan Maloney, 2009). Kegiatan ini merupakan kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana tahap pertama yang dilakukan sebagai antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi dampak risiko bencana (Kemenkes, 2012). Kegiatan umum yang dilakukan yaitu sosialisasi dan pelatihan petugas dan masyarakat, antara lain pembinaan dan pendampingan terkait manajemen gizi bencana, penyusunan rencana kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling MP-ASI, penyediaan bufferstock MP-ASI, pengumpulan peta wilayah rentan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penghijauan hutan, dan penanaman pohon tembakau guna meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan gempa (Kemenkes, 2012). Kegiatan mitigasi gizi adalah sebagai berikut: 1. Analisis dan Pengurangan Risiko Masalah Gizi Memiliki data yang mencakup jenis, besaran masalah gizi, dan status gizi pada kelompok rentan yang tinggal di daerah rawan bencana, antara lain bayi, balita, bumil, ibu menyusui, dan lansia. Sumber data diperoleh melalui surveilens gizi rutin di Puskesmas Kabupaten/Kota, data Pemantauan Status Gizi, dan Riskesdas (WHO, 2000). Data tersebut digunakan untuk mengetahui besarnya risiko masalah gizi yang terjadi pasca bencana agar intervensi dapat dilakukan, seperti surveilens gizi secara aktif, konseling ASI, konseling PMBA, pemantauan



pertumbuhan, pemberian MP ASI, pemberian kapsul vitamin A, pemberian makanan bagi balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia (WHO, 2000). 2. Sosialisasi dan Orientasi Kegiatan sosialisasi dan orientasi yang dilakukan dalam penanganan gizi pra bencana, berupa pelatihan konseling ASI, MP-ASI, PMBA, dan pemberian makanan banyak, pembinaan teknis kepada petugas kesehatan dan penyelenggara makanan yang terlibat pada penanganan gizi pra bencana, dan melakukan simulasi penanganan gizi bencana sesuai susunan renkon kegiatan gizi (WHO, 2000). 3. Penyiapan Standar Sarana dan Prasarana Kegiatan Gizi Sarana dan prasarana dalam kegiatan pelayanan gizi, antara lain tenda laktasi, konseling ASI kit dan PMBA kit, peralatan penyelenggaraan makanan khusus (Kemenkes, 2012). PRA BENCANA (Pengumpulan data awal, Sosialisasi, pelatihan, dan orientasi, Pembinaan teknis, Rencana kontijensi, Penyiapan standar sarpras) Siaga Darurat (Kesiapsiagaan): penyusunan renkon bidang gizi, penyediaan PMT dan Obat Gizi, pergerakan sumber daya, perencanaan makanan banyak, penyediaan nakes berkompeten, simulasi renkon



Fase I Tanggap Darurat Awal: Pengkajian cepat/RHA, pemenuhan kebutuhan dasar, penyelenggaraan makanan banyak, pengumpulan data antropometri balita Fase II Tanggap Darurat Lanjut : Analisis hasil pengukuran antropometri dan faktor penyulit



Situasi Serius



Ransum, PMT untuk semua kelompok



Situasi Berisiko PMT untuk kelompok rentan kurang gizi terutama untuk balita kurus dan bumil risiko KEK



Situasi Normal



Tidak ada intervensi khusus (pelayanan rutin)



PASCA BENCANA Pemantauan dan Evaluasi



Bagan1. Kegiatan Gizi dalam Penanggulangan Bencana Sumber: Diadopsi dari The Management of Nutrition in Major Emergencies: WHO, 2000. p.75-77



Kesiapsiagaan/ Kegiatan Gizi pada Fase Siaga Darurat Siklus manajamen bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat (Kemenkes, 2012). Potensi terjadinya bencana berada pada kategori siaga darurat (kesiapsiagaan) (Gambar 1). Siaga darurat merupakan suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya. Rentang kegiatan yang merupakan fungsi kesiapan bersifat ekspansif, dan tindakan ini sering menjadi faktor utama yang menentukan apakah respons tersebut berhasil. Tujuan dari kesiapan adalah: (1) mengetahui apa yang harus dilakukan setelah bencana; (2) tahu cara melakukannya; dan (3) dilengkapi dengan alat yang tepat untuk melakukannya secara efektif. Kesiapsiagaan meminimalkan efek bahaya dari bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif yang memastikan organisasi yang tepat waktu, tepat, dan efisien serta pengiriman respons dan tindakan pemulihan (Coppola dan Maloney, 2009). Kegiatan penanganan gizi pada situasi siaga darurat disesuaikain oleh situasi dan kondisi yang ada untuk dapat dilaksanakan kegiatan gizi, seperti pada tanggap darurat. Perencanaan dan cara merespon pada situasi ini berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin terjadi (Coppola dan Maloney, 2009). Penanganan masalah gizi bertujuan untuk meminimalkan risiko masalah gizi yang terjadi dan pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penanganan gizi (Kemenkes, 2012). Kegiatan gizi pada tahap siaga darurat adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Rencana Kontinjensi Bidang Gizi Perencanaan ini melibatkan pihak pemerintah yang rawan bencana, wirausaha, dan organisasi masyarakat. Rencana kontinjensi terkait penanganan gizi disusun secara partisipatif oleh lintas sector, mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, juga melibatkan LSM, wirausaha dan masyarakat yang difasilitasi oleh tim teknis (WHO, 2004). 2. Penyediaan Buffer Stock dan Obat Gizi Penyediaan Buffer stock makanan tambahan pabrikan, antara lain MP-ASI (balita 6 sd 59 bulan dengan pemberian maksimal 3 hari pertama bencana terjadi setelah itu pemberian pangan lokal sesuai PMBA), PMT-AS, PMT-BUMIL (ibu



hamil dengan pemberian maksimal 3 hari pertama bencana terjadi setelah itu pemberian pangan lokal), Tablet Tambah Darah, Kapsul Vitamin A dan Taburia melalui Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2012) 3. Penyediaan tenaga kesehatan berkompeten di bidang gizi bencana dan penggerakan sumber daya Memfasilitasi tenaga konselor dan motivator gizi untuk melakukan konseling ASI, MP-ASI, dan PMBA, penyediaan makanan bayi dan anak, dan membentuk tim pedukung PMBA, antara lain tenaga gizi, dokter, perawat, bidan, tagana, ibu PKK, kader, dan karang taruna. Maka, perlu adanya pendataan jumlah konselor dan motivator ASI dan MP-ASI/PMBA, penyediaan konseling Kit Menyusui, dan penyediaan sarana prasarana (Kemenkes, 2012). 4. Perencanaan Penyelenggaraan Makanan Banyak Tenaga gizi diharapkan memiliki kemampuan untuk menerjemahkan ke standar kebutuhan gizi dan standar pengolahan makanan pada menu makanan. Kegiatan perencanaan situasi siaga darurat antara lain, pembuatan SOP, pembuatan kebutuhan peralatan, peralatan bahan makanan basah, kering dan air minum, dan pembuatan kebutuhan tenaga (Kemenkes, 2012). 5. Simulasi Penanganan Gizi Bencana Sesuai Rencana Kontinjensi Kegiatan Gizi Melakukan



simulasi



terpadu



berdasarkan



dokumen



perencanaan



kontinjensi kegiatan gizi yang sudah disahkan (WHO, 2005). Respon/ Kegiatan Gizi pada Fase Tanggap Darurat Tahap ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana, membatasi cedera, korban jiwa, pertolongan korban bencana, dan antisipasi kerusakan properti dan lingkungan yang terjadi akibat bencana. Fungsi ini memfasilitasi kembalinya infrastruktur kritis secara cepat, salah satunya memastikan distribusi makanan dan air bersih untuk memungkinkan pemulihan terjadi, mengurangi cedera lebih lanjut dan kehilangan nyawa, dan mempercepat pengembalian ke masyarakat yang berfungsi normal. Proses tanggapan dimulai segera setelah jelas bahwa peristiwa bahaya sudah dekat dan berlangsung hingga



keadaan darurat dinyatakan selesai. Penanggung jawab diwewenangkan oleh instansi terhadap jenis bencana yang terjadi (Coppola dan Maloney, 2009). Kegiatan gizi pada situasi ini, antara lain: 1. Pengkajian Kesehatan Secara Cepat (Rapid Health Assesment)  Rapid Nutrition Assesment (RNA) Rapid Asessment merupakan pengukuran yang cepat (kurang dari satu minggu setelah kejadian) sehingga dapat melakukan tindakan segera. Kelompok bidang kesehatan melakukan Rapid Health Assessment (RHA) saat bencana terjadi sehingga memperoleh data perhitungan jumlah korban yang meninggal dunia, luka parah, luka ringan, sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan yang akan digunakan sebagai respon dalam suatu kejadian bencana (WHO, 2000 dan WHO, 2004). Berdasarkan hasil RHA, sub klaster gizi dapat mengetahui jumlah dan lokasi masyarakat kelompok rawan (bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia) sehingga dapat menentukan jenis pelayanan gizi yang dibutuhkan (Kemenkes, 2012). RHA bersifat pengkajian detail dan berkelanjutan selama keadaan darurat (siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat). Penilaian gizi melalui Rapid Nutrition Assessment (RNA), antara lain data profil masyarakat terutama kelompok rawan dan anak yang kehilangan keluarga, kebiasaan masyarakat terkait PMBA termasuk ASI eksklusif, MP-ASI, dan bayi piatu, keberadaan susu formula, botol dan dot, data ASI eksklusif dan MP-ASI sebelum bencana, pola asuh dan pola kebiasaan makan Ibu hamil KEK (WHO, 2004). 2. Pemenuhan Kebutuhan Dasar dengan Penyelenggaraan Makanan Banyak Pemenuhan kebutuhan gizi pengungsi selama di pengungsian agar terpenuhi kebutuhan gizinya perlu dilakukannya penyelenggaraan makanan. Kondisi yang terjadi pada fase tanggap darurat awal yaitu korban bencana bisa atau belum dalam pengungsian sehingga RHA terus berlangsung agar ada pembaharuan data dan bantuan pangan mulai berdatangan (WHO, 2004). 3. Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan dengan materi sesuai dengan kondisi saat itu, antara lain konseling menyusui, MP-ASI, PMBA. 4. Memantau perkembangan status gizi balita melalui surveilans gizi.



Kegiatan penanganan gizi pada situasi tanggap darurat dibagi menjadi dua, yaitu tahap tanggap darurat awal dan tahap tanggap darurat lanjut. a. Tahap tanggap darurat awal Kondisi ini dapat dilihat berdasarkan korban bencana bisa dalam pengungsian



atau



mengidentifikasi



belum



dalam



korban secara



pengungsian,



petugas



lengkap, bantuan



belum



pangan



sempat



sudah



mulai



berdatangan, dan adanya penyelenggaraan dapur umum apabila diperlukan. Lamanya fase 1 ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana (Kemenkes, 2012). Kegiatan gizi yang dilakukan pada fase I, antara lain: 1. Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya. 2. Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan. 3. Mengumpulkan dan menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) (Kemenkes, 2012). Pada



fase



ini,



penyelenggaraan



makanan



bagi



korban



bencana



mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration). Dalam perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan garam beriodium dan minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A (Kemenkes, 2012). Kegiatan gizi yang dilakukan pada fase II, antara lain: 1. Menghitung kebutuhan gizi 2. Pengololaan penyelenggaraan makanan di dapur umum, meliputi tempat pengolahan, sumber bahan makanan, petugas pelaksana, penyimpanan bahan makanan basah, penyimpanan bahan makanan kering, cara mengolah, cara distribusi, peralatan makan dan pengolahan, tempat pembuangan sampah sementara, pengawasan penyelenggaraan makanan, mendistribusikan makanan siap saji, dan pengawasan bantuan bahan makanan (Kemenkes, 2012).



b. Tahap Tanggap Darurat Lanjut Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana. Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan keadaan penyakit (Kemenkes, 2012). Kegiatan gizi yang dilakukan pada tanggap darurat lanjut adalah sebagai berikut: 1. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health Assessment (RHA). 2. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi badan, umur), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar Lengan Atas). 3. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB