10 0 1 MB
REFERENSI ARTIKEL
TELAAH MARAH DITINJAU DARI SEGI PSIKONEUROIMUNOLOGI
DISUSUN OLEH : Ida Bagus Ananta W G99142090 Egtheastraqita C G99141091 Mugi Tri Sutikno G99141092 Wahyu Pamungkas G99141093 Bima Kusuma Jati G99151038
Andyka Prima P G99151039 Safitri Dwi M G99151040 Norma Mukti B G99151041 Desvian Adi N G99151042
PEMBIMBING Istar Yuliadi,dr., M.Si., FIAS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan refrat yang berjudul : “Telaah Marah dari Segi Psikoneuroimunologi”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan
maupun
nasihat,
oleh
karena
itu
penulis
mengucapkan terima kasih kepada: 1 Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K) 2 Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K) 3 Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) 4 Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K) 5 Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K) 6 Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ 7 Djoko Suwito, dr., Sp.KJ 8 I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ 9 Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ (K) 10 Machmuroch, Dra., MS 11 Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes 12 Istar Yuliadi, dr., M.Si., FIAS 13 Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
2
Penulis
menyadari
bahwa
referat
ini
masih
belum
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua. November 2015 Penulis
3
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................. i KATA PENGANTAR............................................................................. ii DAFTAR ISI......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR..............................................................................iv DAFTAR ISTILAH...............................................................................v BAB I. PENDAHULUAN...................................................................... 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................4 A. Definisi Marah..............................................................................4 B. Emosi.............................................................................................7 C. Pendekatan Emosi Dilihat Dari Sisi Budaya............................ 8 D. Teori Dasar Marah.......................................................................11 1 Teori Perkembangan Freud....................................................11 2 Teori Erik Erikson...................................................................21 3 Teori Kepribadian Jean Piaget................................................ 27 4 Teori Hubungan Kepribadian Dengan Marah.........................31 5 Teori Hubungan Kognisi Dengan Marah................................. 37 6 Teori Hubungan Pengalaman Seksual Dengan Marah............ 41 E. Mekanisme Marah.......................................................................43 1 Teori Psikoneuroimunologi.....................................................43 2
Teori Neurologis.....................................................................54
F. Manifestasi Marah.......................................................................57 1 Waktu yang Tepat untuk Marah.............................................60 2 Manfaat Marah......................................................................61 G. Anger Management.....................................................................62 1. Teori Coping...................................................64 2. Manajemen Marah.........................................71 BAB III PENUTUP ..............................................................................76 A SIMPULAN ...............................................................................76
4
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................77
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3.
Jalur HPA Axis Hubungan Antara Psikis dan Sistem Neuroendokrin Konektivitas Analisis Fungsional Selama Reappraisal, Analytical Rumination, dan Angry
Gambar 4.
Rumination Model Mediasi
DAFTAR ISTILAH
AC-O
: Anger Control - Out
ACTH
: Adenocorticotropin Hormone 5
AM ANS
: Anger Management : Autonomic Nervous System
AVP
: Arginin Vasopressin
BBAQ
: Brief Anger- Agression Questionaire
BOLD
: Blood Oxygen Level Dependent
CBT
: Cognitive Behaviour Therapy
CNS
: Central Nervous System
CR
: Cognitive Restructuring
CRF
: Corticotropin Releasing Factor
DACC
: Dorsal Anterior Cingulate Cortex
DLPFC
: Dorsal Altteral Prefrontral Cortex
EQ
: Emotional Quotient
GABA
: Gamma Aminobutynic Acid
HPA
: Hipothalamio-pituitary-adrenal
IFN
: Interveron
IL
: Interleukin
MAOA: Monoamine Oxiase A MRI
: Magnetic Resonance Imaging
PNI
: Psikoneuroimunologi
PVN
: Paraventricular Nucleus
RAS
: Renun Angiotensin System
SAM
: Sumphatetic Adrenal Medullary
STAXI
: State- Trait Anger Expression Inventory
TNF
: Tumor Necrosis Factor
6
7
BAB I PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk yang unik. Segala kemampuan diberikan Tuhan kepada manusia, baik kemampuan positif maupun kemampuan negatif, salah satu kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah emosi. Ada tiga emosi dasar yang dimiliki manusia sejak bayi hingga wafat yaitu emosi marah, senang dan takut. Manifestasi masing-masing emosi tersebut berbeda-beda tergantung dengan usianya, tahap perkembangan dan situasi serta kondisi saat emosi tersebut muncul (Yadi, 2006: 13). Setiap orang pernah merasakan marah. Menurut Harry Mills (2005), kemarahan bukan emosi yang dilahirkan dan bukan sesuatu yang dipelajari pada sebagian besar perilaku. Fenomena marah menjadi bagian penting yang membentuk respon emosional perilaku tindakan yang kurang baik. Apalagi di tengah masa serba krisis seperti ini, dimana semakin banyaknya pengangguran, kenaikan harga barang yang meresahkan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Adakalanya pula seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya merasa terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, ditambah lagi saat ini banyak moralitas yang tidak baik, orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk, atau sering berbuat kejahatan biasanya akan membuat orang tersebut mudah marah. Hal itupun merupakan reaksi yang wajar. Akan tetapi marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang itu menjadi tidak sabar sehingga bersikap impulsif dan melakukan agresivitas (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002). Mengekspresikan marah, bukan berarti seseorang harus menjadi agresivitas. Justru faktanya, dengan mengekspresikan marah dapat mencegah terjadinya agresivitas dan membuat orang lain menjadi meminta maaf (Izard dalam Thomas, 2001). Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif, dapat membuat orang lain menjadi tersadar akan kesalahannya dan dapat membantu seseorang pula agar bisa bertahan dalam mengatasi permasalahannya
1
di berbagai situasi (Averil & Novaco dalam Bhave & Saini, 2009). Sebagai contoh dalam hal kepemimpinan yang dimiliki seorang Ahok, Gubernur DKI Jakarta, pemimpin dalam meyakinkan masyarakat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan dengan cara marah yang tegas, dan cara yang dilakukan Ahok ini terbukti berhasil dalam mengatur warga Jakarta. Salah satu kejadian marah yang dimuat dalam portal berita nasional pada tanggal 4 September 2014. Saat itu Ahok meluapkan kemarahan karena kecewa dengan kartu virtual account produksi Bank DKI, Direktur Utama Bank DKI Eko Budiwiyono yang duduk di hadapannya terlihat pucat. Ia tertunduk, mengangguk, dan akan memperbaiki menjadi lebih baik (Wijayanti, 2014). Dalam hal ini antara marah dan agresivitas, jelas berbeda. Dimana marah merupakan
emosi,
sedangkan
agresivitas
adalah
perilaku
yang
dapat
menyebabkan kerugian bagi orang lain atau merusak barang dan kekerasan lisan (Reilly & Shopshire, 2002). Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi penentu bagi dirinya sendiri dalam mengekspresikan marahnya. Cara seseorang dalam mengekspresikan marahnya bisa digolongkan menjadi tiga: (1) agresivitas ke orang lain (directed toward others) yaitu ekspresi marah yang merusak dengan cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan, seperti berteriak, menjerit, memukul, menghancurkan barang, melempar buku atau kursi; (2) mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan (supressed), akibatnya juga dapat merusak pada diri seseorang, karena dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, depresi, bunuh diri, penyakit pernapasan, membuat seseorang menjadi lebih banyak merokok, minum alkohol, gagal di sekolah dan sebagainya; (3) mengontrol dengan baik (well controlled) yaitu dengan mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009). Mengekspresikan marah secara positif atau terkontrol merupakan emosi yang menyehatkan dan menjadi tujuan setiap orang. Sebenarnya marah merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang salah, sehingga akan memberikan energi pada tubuh berupa adrenalin untuk memperbaiki situasi yang terjadi. Saat keadaan marah terjadi, seseorang dapat
2
memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: (1) dengan mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya dapat mengancam; (2) langsung berjuang menghadapinya; dan (3) mencoba lari untuk menghindarinya (Bhave & Saini, 2009; Provenzana, 2004). Ketika kita mengelola kemarahan dengan baik, ia meminta kita untuk membuat perubahan positif dalam hidup dan situasi kita. Pengendalian emosi marah (Anger management) dengan tindakan yang mengatur pikiran, perasaan, nafsu marah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk terjadi baik pada diri sendiri maupun orang lain. Seseorang tidak bisa melepaskan atau menghindari sesuatu atau orang lain yang membuat mereka marah, juga tidak bisa mengubahnya, tapi seseorang tersebut dapat belajar untuk mengontrol reaksi yang akan diberikan terhadap hal-hal tersebut (Holloway, 2003). Penelitian tentang marah sudah banyak dilakukan dan para ahli sepakat bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah begitu tinggi atau dikelola tidak efektif. Intervensi psikoedukasi seperti anger management training (AMT) bukanlah terapi, melainkan dapat menghasilkan potensi
untuk
perubahan
perilaku
dengan
meningkatkan
pengetahuan,
menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar, serta berlatih dengan cara khusus dan strategis (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001). Oleh karena itu, menarik diulas kembali melalui berbagai referensi artikel terkhusus tentang marah dan pengendalian marah.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Marah Menurut American Psychological Association (2015), marah adalah emosi yang ditandai dengan antagonisme terhadap seseorang atau sesuatu yang dirasakan telah sengaja melakukan kesalahan. Kemarahan adalah respon alami dan sebagian besar otomatis untuk rasa sakit suatu bentuk atau yang lainnya (fisik atau emosional). Kemarahan bisa terjadi ketika orang tidak merasa baik, merasa ditolak, merasa terancam, atau mengalami beberapa kerugian. Kemarahan adalah emosi yang normal dengan berbagai intensitas, dari iritasi ringan dan frustrasi mengamuk.Ini adalah reaksi terhadap ancaman untuk diri kita sendiri, orang yang kita cintai, property kita, citra diri kita, atau beberapa bagian dari identitas kita.Kemarahan adalah lonceng peringatan yang memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah. Berikut adalah istilah tentang marah, yaitu: 1. Sering dikenal sebagai "flight or fight" respon. 2. Pengalaman kognitif kemarahan, atau bagaimana kita memandang dan berpikir tentang apa yang membuat kita marah. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir sesuatu yang terjadi pada kita adalah salah, tidak adil, dan tidak layak. 3. Perilaku, atau cara kita mengekspresikan kemarahan kita. Ada berbagai macam perilaku untuk memberikan sinyal kemarahan. Kita mungkin terlihat dan terdengar marah, berubah menjadi merah, meningkatkan volume suara kita, bungkam, membanting pintu, atau memberi sinyal kepada orang lain bahwa kita marah. Kita juga mungkin menyatakan bahwa kita marah dan mengapa, meminta waktu menyendiri, meminta maaf, atau meminta sesuatu untuk berubah.
4
Setiap orang pernah mengalami kemarahan, dan itu bisa menjadi sehat.Hal ini dapat memotivasi kita untuk berdiri untuk diri kita sendiri dan ketidakadilan yang benar.Ketika kita mengelola kemarahan dengan baik, ia meminta kita untuk membuat perubahan positif dalam hidup dan situasi kita. Kemarahan yang tidak terarah dengan baik adalah kontraproduktif dan bisa tidak sehat.Ketika kemarahan terlalu kuat, di luar kendali, salah arah, dan terlalu agresif, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk dan pemecahan masalah, menciptakan masalah dengan hubungan dan kerja, dan bahkan dapat mempengaruhi kesehatan kita. (American Psychological Association, 2015) B. Emosi Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu tidak lepas dari hubungan sosial dengan orang lain. Berbagai kejadian (event) yang terjadi memunculkan emosi dalam setiap individu, dari emosi tersebut kemudian individu dapat menentukan sikap dan pikiran sehingga mampu bertindak sesuai dengan dirinya (Lewis & Jones, 2000). Seperti putus dengan pacar pada remaja memunculkan emosi sedih sehingga berperilaku menarik diri atau murung. Menurut Goleman (dalam Sundari, 2005) pada prinsipnya emosi dasar meliputi takut, marah, sedih dan senang. Perkembangan emosi yang lain merupakan hasil campuran diantara emosi-emosi dasar tersebut. Sedangkan marah
sendiri merupakan reaksi
terhadap
sesuatu hambatan yang
menyebabkan gagalnya suatu usaha atau perbuatan. Marah yang timbul seringkali diiringi oleh berbagai ekspresi perilaku. Banyak dari anak, remaja bahkan orang dewasa sulit mengungkapkan secara lisan tentang marah yang dirasakan. Mereka mungkin sadar setiap kali mereka mengekspresikan marah dengan perilaku yang kurang bisa diterima secara sosial, namun mereka tidak mampu mencegahnya untuk terjadi. Hal ini disebut sebagai emotionally illiterate atau kebutaan emosi yang diiringi dengan kurangnya kemampuan untuk memahami perasaan dan kurang
5
mampu memahami bagaimana mengekspresikan marah yang dapat diterima secara norma sosial (Duffy, 2012) Lebih lanjut Duffy (2012) menambahkan bahwa marah adalah sesuatu yang sangat normal dan merupakan perasaan yang sehat. Namun sangatlah penting untuk membedakan antara marah, agresif dan kekerasan yang sering kali disama artikan. Marah merupakan perasaan atau emosi sedangkan agresif dan kekerasan adalah perilaku yang dalam hal ini sering kali tidak diijinkan oleh norma dan muncul sesuai dengan kemampuan mengontrol marah. Dalam penelitian Cautin dkk (2001) terhadap 92 remaja menunjukkan bahwa marah mempunyai peran yang sangat penting bagi timbulnya depresi dan menjadi salah satu faktor yang menyumbangkan resiko bunuh diri bagi remaja. Mereka menggolongkan ekspresi marah yaitu diinternalisasi atau dipendam sendiri dan dieksternalisasi atau diekspresikan pada lingkungannya. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang menginternalisasi marahnya mempunyai kecenderungan terhadap depresi dan terlebih lagi mengarah pada kemungkinan bunuh diri. Sedangkan remaja yang mengekspresikan marahnya secara eksternal mempunyai kecenderungan terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol. Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stres dan fluktuasi emosional secara lebih efektif, banyak remaja yang tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya, mereka rentan untuk mengalami depresi, kemarahan (anger), kurang mampu meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah seperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, atau gangguan makan (Santrock, 2007). Perilaku yang dapat merugikan seperti melakukan tindakan agresif hingga bunuh diri pada remaja menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam mengelola marah atau anger management yang rendah. Hal ini terlihat saat emosi, terutama emosi marah yang dirasakan oleh remaja tidak mampu terwujud sebagai perilaku yang diterima oleh lingkungan atau masyarakat.
6
Remaja akhir mempunyai tugas perkembangan yang tidak mudah, yakni ingin menemukan kenyamanan dalam berperilaku yang ditandai dengan keinginan untuk didengarkan dan dimengerti sebagai individu yang mandiri (Ericson dalam Crain tahun 1992). Ketika keinginannya sering berbenturan dengan
norma
sosial
dan
keinginan
lingkungannya
maka
sering
memunculkan emosi yang kurang nyaman seperti marah dan sedih. Namun hal itu sesungguhnya bisa diarahkan pada kegiatan yang positif seperti olahraga atau musik. Tentu saja hal itu tidak mudah jika seorang remaja tidak mempunyaimanajemen
marah
yang
baik.
Sehingga
dapat
mengekspresikannya secara wajar dan positif seperti mengungkapkan pada objek marah dengan komunikasi yang efektif. Uraian diatas menunjukkan bahwa banyak sekali masalah yang dapat ditimbulkan karena kurangnya kemampuan seseorang terutama remaja untuk mengatur ekspresi marahnya, sehingga untuk membantu remaja mengontrol ekspresi marah yang dirasakan, seorang peneliti pernah menggunakan satu teknik terapi yaitu terapi kelompok. Terapi kelompok dipilih karena terapi ini memberikan wadah bagi remaja untuk mengekspresikan perasaan, menggali keraguan yang ada dalam diri serta menyedari masalah mereka dengan berbagi dengan sesama peserta. Dalam masyarakat luas, banyak berkembang pemikiran yang salah mengenai
marah,
salah
satunya
adalah
bahwa
cara
seseorang
mengekspresikan marah merupakan hasil dari keturunan (heredity) yang diturunkan oleh orang tua dan hal itu tidak bisa diubah. Salah satu jenis terapi yang
bisa
digunakan
adalah
pendekatan
cognitive-behavior
yang
mengedepankan bahwa proses berpikir dan emosi berpengaruh pada perilaku yang muncul (apakah sesuai harapan sosial atau tidak). Ketika ada suatu peristiwa maka pikiran dan emosi akan merespon dan menentukan perilaku apa yang akan ia munculkan (Beck dalam Duffy, 2012). Ekspresi marah merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga ekspresi marah yang baik juga bisa dipelajari (Reilly & Shopshire, 2002).
7
Kebanyakan perilaku seseorang merupakan hasil dari pembelajaran, yakni dengan memperhatikan orang lain, terutama orang-orang yang berpengaruh. Orang-orang tersebut adalah orang tua, anggota keluarga yang lain dan teman. Jika seorang anak memperhatikan orang tuanya mengekspresikan marah dengan perilaku agresif, seperti mencaci-maki dan tindak kekerasan, sangat mungkin bahwa anak tersebut akan melakukan hal yang sama ketika mengekspresikan marah karena ia telah belajar perilaku yang demikian. Untungnya, perilakuini dapat diubah dengan cara mempelajari perilaku baru dalam mengekspresikan marah, sehingga tidak perlu lagi mengekspresikan marah dengan cara-cara agresif dan juga keras (Reilly & Shopshire, 2002). C. Pendekatan Emosi Dilihat Dari Sisi Budaya Manusia secara universal lahir dengan emosi sama, namun budaya mempengaruhi sejumlah aspek emosi. Cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi merupakan suatu aturan cultural, sesuatu yang dipelajari, yang
membentuk
bagaimana
orang
di
suatu
budaya
memandang dan menginterpretasi ekspresi-ekspresi emosi orang lain. Seperti aturan pengungkapan,aturan dekode di pelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan di pelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya.
Dengan
demikian,
aturan
dekode
adalah
seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi orang lain. Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal yang amat kental, barangkali karena psikologi Amerika memandang perasaan batin (inner feeling) yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefisinikan emosi. Ekspresi wajah dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas-budaya 8
mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama kajian-kajian emosi di psikologi Amerika. Dengan demikian, meskipun ekspresi wajah universal itu secara biologis bersifat bawaan sebagai prototype raut wajah pada semua orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan pengungkapan yang di pelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, Kita harus memahami bahwa perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan setiap kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat, dan memang, mengekspresikan emosi secara berbeda. Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Ada yang dinamakan cultural differences in emotion antecedents yakni jenis-jenis antecedent yang sama secara umum membawa jenis emosi yang sama secara lintas budaya. Namun, perbedaan budaya tetap ada pada berbagai kejadian antecedent yang membawa emosi. Contohnya adalah
kematian
pada
satu
budaya
diartikan
sebagai
kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai, tetapi pada budaya lain diartikan sebagai kebahagiaan karena dipandang merupakan tujuan spiritual tertinggi. Ada juga yang disebut cultural differences in emotion appraisal seperti di Amerika, atribut kesedihan dimunculkan pada orang lain, sedangkan di Jepang ditampilkan pada diri sendiri. Selain itu di Amerika juga lebih mengatribusi penyebab kegembiraan, ketakutan, dan
malu
pada
orang
lain,
sedangkan
orang
Jepang
memandangnya sebagai kesempatan atau takdir. Cara satu budaya memahami dan mendefinisikan emosi tidak selalu sama dengan budaya lain. Juga tidak
9
semua budaya mempunyai kata emosi misalnya suku Tahiti tidak mempunyai kata emosi. Jadi emosi dipahami secara berbeda. Di negara AS emosi dipandang sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dibagi. Budaya lain yang menganggap emosi di luar tubuh (seperti dalam hubungan sosial dengan orang lain), adalah berbeda dengan budaya individualisme Amerika yang sangat personal. Pada dasarnya sebagian kelompok yang terdiri dari berbagai kalangan masyarakat mempunyai kebudayaannya masing-masing
serta
berbeda
antara
satu
kebudayaan
dengan kebudayaan yang lain. Sebagian dari kelompok masyarakat tersebut memiliki sebuah kepercayaan luhur yang meyakini bahwa kebudayaan yang mereka miliki merupakan
kebudayaan
yang
adiluhung.
Kebudayaan
adiluhung diartikan sebagai kebudayaan yang bernilai tinggi, luhur, menjadi pedoman hidup, dan tidak boleh diabaikan apalagi ditentang (Rahyono, 2009). Di
Indonesia
sendiri
terdapat
begitu
banyak
kebudayaan dan etnis yang tentunya banyak pula perbedaan stereotip emosinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota – anggotanya yang kemudian
mempengaruhi
semua
aspek-aspek
lain
dari
perilaku individu. Juga menambahkan bahwa kekhasan suatu budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya
kemarahan,
dan
cara
mengekspresikan
kemarahannya (Matsumoto dan Juang, 2004 dalam David,
10
Stephen F, 2008 21st Century Psychology: A Reference Handbook. United States of America:Sage Publication Ltd). Pemahaman melalui unsur kebudayaan sebagaimana yang telah kita ketahui, kebudayaan selain memiliki tujuh unsur kebudayaan juga mempunyai tiga aspek kebudayaan, yakni: (1) kebudayaan sebagai tata kelakukan manusia; (2) kebudayaan sebagai kelakukan manusia; dan (3) kebudayaan sebagai hasil kelakukan manusia. Berdasarkan pemahaman ilmu tersebut, pembahasan mengenai sikap atau cara orang Jawa dalam menyampaikan kemarahannya menempatkan diri pada aspek pertama dari aspek kebudayaan tersebut. Selanjutnya,
secara
kongkrit
kelakukan kebudayaan
tersebut
pandangan,
hukum,
aturan,
sebagainya,
yang
akan
berupa
aspek tata cita-cita,
kepercayaan,
mendorong,
norma,
sikap
dan
mengarahkan, dan
mengendalikan kelakukan pendukungnya. Secara
teoritis,
pandangan
hidup
masyarakat
khususnya masyarakat Jawa, dalam menyampaikan suatu tindakan kekecewaan seperti mengungkapkan rasa “marah” cenderung
lebih
terkonsep
rapi
dibandingkan
dengan
masyarakat lainnya, proses penyampaian yang dilakukan secara
halus
dan
bersifat
tidak
langsung
dalam
mengungkapkan kemarahan. (Franz Magnis Suseno, 1988 : 46).
Sehingga
dalam
kalangan
tertentu
bisa
saja
menganggap bahwa sikap yang disampaikan tersebut bukan bentuk rasa “marah”. Proses penyampain yang dilakukan secara halus dan bersifat tidak langsung, ternyata membuka satu pemahaman baru mengenai sikap orang Jawa dalam mengungkapkan kemarahan. Disebutkan juga bahwa sistem emosi yang dimiliki manusia pada dasarnya terbentuk
11
berdasarkan pengaruh lingkungan di sekitarnya. Masyarakat atau kelomopok-kelompok tersebut dalam hal ini masyarakat Jawa, memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa kebudayaan yang mereka anut merupakan kebudayaan adiluhung yang direpresentasikan kedalam berbagai macam bentuk hasil kebudayaan. Dapat disimpulkan emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam interaksi sosial. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Budaya memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi. Kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia begitu pula pendekatan yang harus dilakukan juga sangat bergantung pada budaya masing – masing. D. Teori Dasar marah 1. Teori Perkembangan Freud a.
Pandangan Teori Perkembangan Psikoanalisis menurut Freuds Sigmund Freud mengemukakan bahwa kehidupan jiwa memiliki tiga
tingkat
kesadaran,
yakni
sadar
(conscious),
prasadar
(preconscious), dan taksadar(unconscious). Topografi atau peta kesadaran
ini
dipakai
untuk
mendiskripsi
unsur
kewaspadaan(awareness) dalan setiapmental event seperti berfikir dan berfantasi. Sampai dengan tahun 1920an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur kesadaran itu. Baru pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yakni id, ego, dan superego. Struktur baru ini tidak mengganti struktur lama, tetapi melengkapi/menyempurnakan gambaran mental terutama dalam fungsi
12
atau tujuannya. Tiga elemen pendukung struktur kepribadian itu adalah sebagai berikut: 1) Sadar (Conscious) Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (fikiran, persepsi, perasaan dan ingatan) yang masuk
kekesadaran
(consciousness).
Isi
daerah
sadar
itu
merupakan basil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus atau cue-external. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu yang singkat di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah perconscious
atau
unconscious,
begitu
orang
memindah
perhatiannya ke yang lain. 2) Prasadar (Preconscious) Disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan taksadar. Isi preconscious
berasal
dari
conscious
dan
clanunconscious.
Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar. Di sisi lain, isi materi daerah taksadar dapat muncul ke daerah prasadar. Kalau sensor sadar menangkap bahaya yang bisa timbul akibat kemunculan materi taksadar, materi itu akan ditekan kembali ke ketidaksadaran. Materi taksadar yang sudah berada di daerah prasadar itu bisa muncul kesadaran dalam bentuk simbolik, seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahanan diri. 3) Taksadar(Unconscious) Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah
13
kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls dan drives yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran
dipindah
ke
daerah
taksadar.
Isi
atau
materi
ketidaksadaran itu memiliki kecenderungan kuat untuk bertahan terus
dalam
ketidaksadaran,
pengaruhnya
dalam
mengatur
tingkahlaku sangat kuat namun tetap tidak disadari. Model perkembangan psikoanalisis dasar, yang terus-menerus dimodifikasi oleh Freud selama 50 tahun terakhir hidupnya, terdiri atas tiga komponen pokok: (1) satu komponen dinamik atau ekonomik yang menggambarkan pikiran manusia sebagai sistem energi yang cair; (2) satu komponen struktural atau topografik berupa sebuah sistem yang memiliki tiga struktur psikologis berbeda tetapi saling berhubungan dalam menghasilkan perilaku; dan (3) satu komponen sekuensial (urutan) atau tahapan yang memastikan langkah maju dari satu tahap perkembangan menuju tahap lainnya, yang terpusat pada daerah-daerah tubuh yang sensitif, tugas-tugas perkembangan, dan konflik-konflik psikologis tertentu. b.
Komponen Struktural 1) Id (Das Es) Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subjektivitas yang tidak pemah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.
14
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle),
yaitu:
berusaha
memperoleh
kenikmatan
dan
menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relatif inaktif atau tingkat energi yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimuli yang memicu energi untuk bekerja – timbul tegangan energi – id beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha
mengurangi
atau
menghilangkan
tegangan
itu;
mengembalikan din ke tingkat energi yang rendah. Pleasure principle diproses dengan dua cara, tindakan refleks (reflex actions) dan proses primer (primaryprocess). Tindakan refleks adalah
reaksi
otomatis
yang
dibawa
sejak
lahir
seperti
mengejapkan mata dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan. Proses primer adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi menangani
atau
menghilangkan
stimulus
kompleks,
tegangan seperti
dipakai
bayi
yang
untuk lapar
membayangkan makanan atau puting ibunya. Proses membentuk gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan, disebut pemenuhan hasrat (nosh fullment), misalnya mimpi, lamunan, dan halusinasi psikotik. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-salah, tidak tabu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang memberi kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat Id memunculkan ego. 2)
Ego (Das Ich)
15
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle), yaituusaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan melalui proses sekunder (secondary process), yakni berfikir realistik menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud. Proses pengujian itu disebut uji realita (reality testing ; melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah dipikirkan secara realistik). Dari cara kerjanya dapat dipahami sebagian besar daerah operasi ego berada di daerah kesadaran, namun ada sebagian kecil ego beroperasi di daerah prasadar dan daerah taksadar. Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang akan direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yangresikonya minimal. Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembangmencapai kesempurnaan dan superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan Id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh enegi dari Id. 3)
Superego (Das Ueber Ich) Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang
beroperasi
memakai
prinsip
idealistik
(idealistic
principle),sebagai lawan dari prinsip kepuasan Id dan prinsip
16
realistik dari Ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego dia tidak mempunyai energi sendiri. Sama dengan ego, superego beroperasi di tiga daerah kesadaran. Namun berbeda dengan ego, dia tidak mempunyai kontak dengan dunia luar (sama dengan Id) sehingga kebutuhan kesempurnaan yang diperjuangkannya tidak realistik (Id tidak realistik dalam memperjuangkan kenikmatan). Prinsip
idealistik
mempunyai
dua
subprinsip,
yakni
consciencedan ego-ideal. Superego pada hakekatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai orang tua atau interpretasi orang tua mengenai standar sosial, yang diajarkan kepada anak melalui berbagai larangan dan perintah. Apapun tingkahlaku yang dilarang, dianggap salah, dan dihukum oleh orang tua, akan diterima anak menjadi suara hati (conscience),yang berisi apa saja yang tidak boleh dilakukan. Apapun yang disetujui, dihadiahi dan dipuji orang tua akan diterima menjadi standar kesempurnaan atau ego ideal, yang berisi apa saja yang seharusnya dilakukan. Proses mengembangkan konsensia dan ego ideal, yang berarti menerima standar salah dan benar itu disebut introyeksi (introjection). Sesudah terjadi introyeksi, kontrol pribadi akan mengganti kontrol orang tua. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Super-ego juga seperti ego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tetapi merintangi pemenuhannya. Paling tidak, ada 3 fungsi superego; (1) mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik, (2) merintangi impuls id, terutama impuls seksual dan agresif yang bertentangan dengan standar nilai masyarakat, dan (3) mengejar kesempurnaan.
17
Struktur kepribadian id-ego-superego itu bukan bagian-bagian yang menjalankan kepribadian, tetapi itu adalah nama dalam sistem struktur dan proses psikologik yang mengikuti prinsipprinsip tertentu. Biasanya sistem-sistem itu bekerja bersama sebagai tim di bawah arahan ego. Baru kalau timbul konflik diantara ketiga struktur itu, mungkin sekali muncul tingkah laku abnormal.
c.Komponen Sekuensial Bagian ketiga dan terakhir dari model Freud adalah komponen tahapan atau komponen sekuensial (sequential or stage component). Bagian ini menekankan pola atau gerak maju organisme melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berbeda dan semakin lama semakin adaptif. Menurut Freud, pintu pertama menuju kematangan adalah tahapan perkembangan genital, dimana terbentuk hubungan yang berarti berlangsung terus menerus.
d.
Komponen Dinamik Semangat (atau arah) perkembangan ilmiah dan intelektual pada
akhir abad ke-19 terpusat di sekitar kajian tentang energi dan Freud menerapkan konsep energi tersebut terhadap perilaku manusia. Ia menyebut energi ini sebagai energi psikis (psychic energy) atau energi yang mengoperasikan berbagai komponen sistem psikologis. Freud berpendapat bahwa insting (instincts) atau dorongandorongan psikologis yang muncul tanpa dipelajari adalah sumber utama energi psikis. Insting memiliki dua ciri khas yang sangat penting, yakni: ciri konservatif (pelestarian) dan ciri repetitif (perulangan). Maksudnya, insting selalu menggunakan sesedikit mungkin jumlah 18
energi yang di perlukan untuk melaksanakan aktivitas tertentu dan kemudian mengembalikan organisme kepada keadaannya yang semula, dan hal itu terjadi secara berulang-ulang. Dalam sistem Freud, insting bertindak sebagai perangsang pikiran mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Insting juga bisa dipandang sebagai gambaran psikologis dari proses biologis yang berlangsung.
e.Teori Freud Sebagai Teori Psikoseksual Menurut Freud, para bayi terlahir dengan kemampuan untuk merasakan kenikmatan apabila terjadi kontak kulit, dan para bayi itu memiliki semacam ketegangan di permukaan kulit mereka yang perlu diredakan melalui kontak kulit secara langsung dengan orang lain. Freud menyerupakan kenikmatan ini dengan rangsangan seksual tetapi ia memberi catatan bahwa hal ini berbeda secara kualitatif dari tipe rangsangan seksual yang dialami oleh orang dewasa karena kejadian yang dialami bayi ini lebih bersifat umum dan belum terdiferensiasi. Freud menyebut kemampuan untuk mengalami kenikmatan ini dan kebutuhan untuk meredakannya dengan nama seksualitas bayi, yang berbeda dari seksualitas orang dewasa. Pandangan mengenai seksualitas bayi dan anak-anak ini memicu protes luas orang-orang menentang Freud pada masa-masa akhir era Victorian dan awal abad ke-20. Tetapi Freud dan para pengikutnya, yang mendasarkan pendirian mereka pada pengalaman-pengalaman klinis, bersikukuh pada teori tersebut. Mereka tetap berpegang pada pandangan bahwa kornponen-komponen psikologis-eksperiensial saling terkait dengan disertai pergantian zona-zona erogen secara biologis melalui urutan (sekuen) tertentu. Dengan demikian tahapan-tahapan perkembangan ini disebut sebagai tahapan-tahapan psikoseksual (psychosexual stages). Teori Freud. memandang bahwa tahapan-
19
tahapan ini bersifat urniversal, berlaku pada sernua anak-anak dimana saja. Menurut Freud, kemunculan setiap tahapan psikoseksual dan sebagian bentuk perilaku yang terjadi di setiap tahapan dikendalikan oleh faktor-faktor genetik atau kematangan sedangkan isi tahapantahapan tersebut berbeda-beda bergantung pada kultur tempat terjadinya perkembangan. Sekali lagi ini memperlihatkan contoh mengenai pentingnya interaksi antara kekuatan keturunan dan kekuatan lingkungan bagi proses perkembangan. Freud berpendapat bahwa dalam perkembangan manusia terdapat dua hal pokok yaitu: (1) bahwa tahun-tahun awal kehidupan memegang peranan penting bagi pembentukan kepribadian; dan (2) bahwa perkembangan manusia meliputi tahap-tahap psikoseksual seperti berikut ini, yaitu: 1) Tahap oral ( sejak lahir hingga 1tahun ) Sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah makan. Dua macam aktivitas oral ini, yaitu menelan makanan dan mengigit, merupakan prototipe bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian hari. Karena tahap oral ini berlangsung pada saat bayi sama sekali tergantung pada ibunya untuk memdapatkan makanan, pada saat dibuai, dirawat dan dilindungi dari perasaan yang tidak menyenangkan, maka timbul perasaanperasaan tergantung pada masa ini. Frued berpendapat bahwa simtom ketergantungan yang paling ekstrem adalah keinginan kembali ke dalam rahim. 2) Tahap anal ( usia 1-3 tahun ) Setelah makanan dicernakan, maka sisa makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara refleks akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf tertentu. Pada umur dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan tentang pengaturan atas suatu impuls instingtual oleh
20
pihak luar. Pembiasaan akan kebersihan ini dapat mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan nilai-nilai khusus. Sifat-sifat kepribadian lain yang tak terbilang jumlahnya konon sumber akarnya terbentuk dalam tahap anal. 3) Tahap phalik ( usia 3-5 tahun) Selama tahap perkembangan kepribadian ini yang menjadi pusat dinamika adalah perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genetikal. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya kompleks
Oedipus.
Freud
memandang
keberhasilan
mengidentifikasikan kompleks Oedipus sebagai salah satu temuan besarnya. Freud mengasumsikan bahwa setiap orang secara inheren adalah biseksual, setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun pada anggota lawan jenis. Asumsi tentang biseksualitas ini disokong oleh penelitian terhadap kelenjar-kelenjar endokrin yang secara agak konklusif menunjukkan bahwa baik hormon seks perempuan terdapat pada masing-masing jenis. Timbul dan berkembangnya
kompleks
Oedipus
dan
kompleks
kastrasi
merupakan peristiwa-peristiwa pokok selama masa phalik dan meninggalkan serangkaian bekas dalam kepribadian. 4) Tahap laten ( usia 5 – awal pubertas) Masa ini adlah periode tertahannya dorongan-dorongan seks agresif. Selama masa ini anak mengembangkan kemampuannya bersublimasi ( seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain olah raga, dan kegiatan lainya). Tahapan latensi ini antara usia 6-12 tahun (masa sekolah dasar) 5) Tahap genital/kelamin ( masa remaja) Kateksis-kateksis
dari
masa-masa
pragenital
bersifat
narsisistik. Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan
21
dari stimulasi dan manipulasi tubuhnya sendiri sedangkan orangorang lain dikateksis hanya karena membantu memberikan bentukbentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama masa adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisisme ini disalurkan ke pilihan-pilihan objek yang sebenarnya. Kateksis-kateksis pada tahap-tahap oral, anal, dan phalik lebur dan di sistensiskan dengan impuls-impuls genital. Fungsi biologis pokok dari tahap genital tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu. 2. Teori Erik Erikson a. Struktur Kepribadian Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Ego Kreatif Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan hambatan atau konflik pada suatu fase, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas dan aktualitas. a) Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode yang dapat dicocokkan atau diverifikasi dengan metode yang sedang digunakan pada suatu peristiwa. Dalam hal ini, ego berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang dikemas dalam bentuk data dan fakta. b) Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang dikemukakan oleh Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of reality yang menggabungkan pandangan semesta/alam dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan praktis. c) Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk berhubungan dengan orang lain demi mencapai tujuan
22
bersama. Dalam hal ini, ego merupakan realitas masa kini yang berusaha
mengembangankan
cara
baru
untuk
dapat
memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif, progresif, dan prospektif. Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada individu bersifat tak sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan pengalaman yang akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu body ego, ego ideal dan ego identity, yang umumnya akan mengalami perkembangan pesat pada masa dewasa meskipun ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan. a) Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh atau fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain. b) Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna. Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal dibanding dengan orang lain. c) Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri yang melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu. 2) Ego Otonomi Fungsional Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap realita. Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun Erikson sependapat dengan Freud mengenai hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson (Alwisol, 2009:86)
23
menganggap bahwa proses pemberian makanan pada bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan sosialnya. Lapar adalah menifestasi biologis, dan konsekuensinya akan menimbulkan kesan terhadap dunia luar bayi ketika mendapat pemuasan id yang dilakukan oleh ibu. Bayi belajar untuk mengantisipasi interaksi dalam bentuk basic trust pada saat diberi makan oleh ibunya. Basic trust yang dimaksud yaitu suatu kepercayaan dasar anak yang memandang kontak dengan manusia dan dunia luar adalah hal yang sangat menyenangkan karena pada masa lalu (bayi) hubungan tersebut menimbulkan rasa aman dan menyenangkan terhadap dirinya. 3) Pengaruh Masyarakat Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian tersebesar ego, mesikipun kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu juga penting dalam perkembangan kepribadian. Erikson mengemukakan faktor yang memengaruhi kepribadian yang berbeda dengan Freud. Meskipun Freud menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh biologikal, Erikson memandang kepribadian dipengaruhi oleh faktor
sosial
dan
historikal.
Erikson
(Alwisol,
2009:88)
menyatakan bahwa potensi yang dimiliki individu adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus ditegakkan dalam lingkungan budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat berbeda, cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilainilai dan kebutuhan budaya sendiri. b.
Dinamika Kepribadian Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan
dinamika kepribadian adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan pengungkapannya melalui tindakan-tindakan
24
sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang baik secara fisik maupun secara psikologis. Erikson (Alwisol, 2009:87) menyatakan bahwa ego adalah sumber kesadaran diri indvidu. Ego mengembangkan perasaan yang berkelanjutan diri antara masa lalu dengan masa yang akan datang selama proses penyesuaian diri dengan realita. Friedman dan Schustack (2006, 156) mengemukakan bahwa ego berkembang mengikuti tahap epigenik, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentang waktu tertentu. Menurutnya, semua yg berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian mempunya waktu khusus utk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi. c.Tahap Perkembangan Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah pentingnya bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi
tiap
tuntutan
penyesuaian
dari
masyarakat
(Berk,
2003).Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson (Berk, 2003): 1) Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun) Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan
25
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya. 2) Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun) Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impulsimpulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya. 3) Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun) Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya. 4) Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun) Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Keterampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu
26
untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior. 5) Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun) Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis
seperti
orang
dewasa
sehingga
tampak
adanya
kontraindikasi bahwa di lain pihak anak dianggap dewasa tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun sebaliknya. 6) Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun) Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi
dengan
orang
lain
secara
lebih
mendalam.
Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta. 7) Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah, 30-65 tahun) Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu tidak sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti. 8) Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas)
27
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase ini maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila mengalami
kegagalan
dalam
melewati
tahapan
ini
akan
menyebabkan munculnya rasa putus asa. 3. Teori Kepribadian Piaget Piaget menyatakan bahwa interaksi dari kematangan organisme
dan
pengaruh
lingkungan,
keduanya
berpengaruh terhadap perkembangan kognitif seseorang. Perkembangan kognitif sendiri mempunyai empat aspek, yaitu:
1)
kematangan,
sebagai
hasil
perkembangan
susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi sosial, yaitu
pengaruh-pengaruh
yang
diperoleh
dalam
hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri
organisme
keseimbangan
agar dan
mampu
mempertahankan
penyesuaian
diri
terhadap
lingkungannya (Santrock, 2002). Empat
periode
perkembangan
kepribadian
dan
kognitif menurut Jean Piaget (1896-1980), yaitu : a. b. c. d.
Periode Periode Periode Periode
sensorik-motorik ( 0 – 2 tahun ) pra-operasional (2 – 7 tahun ) operasional konkret ( 7 – 11 tahun ) opersional formal ( 11 – dewasa )
Perlu
diingat,
sebelum
tuntasnya
suatu
tahap,
seseorang tidak dapat berlanjut (melompat) ke tahap berikutnya,
atau
mengalami
berikutnya.
Proses
dalam
gangguan setiap
dalam
tahap
tahap
melibatkan
28
pengaruh lingkungan yang cukup besar, hal itu dapat mempengaruhi lamanya seseorang berada dalam tahap tersebut. Bisa saja seorang anak akan mengalami tahap praoperasional lebih lama dari pada anak yang lainnya sehingga umur bukanlah patokan utama (Boeree, 2008). a. Tahap Sensorik-Motorik ( 0-2 tahun ) Bayi beranjak dari tindakan refleks naruliah sejak kelahiran hingga permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor dan tindakan fisik. Di usia antara 1 sampai 4 bulan, seorang bayi mengandalkan reaksi sirkular primer, tindakan atau gerakan yang ia buat sebagai respon dari tindakan sebelumnya dengan bentuk yang sama (Santrock, 2002). Di usia 4 sampai 12 bulan, bayi beralih pada rekasi sirkular sekunder, yang berisi tindakan-tindakan yang berusaha terlibat dengan lingkungan sekitar. Dia akan
berusaha
meniup-niup
boneka
bebeknya.
Kejadian ini sangat menyenangkannya, lalu dia akan mengulanginya lagi dan lagi. Selanjutnya, di usia 12 sampai 24 bulan, anakanak mempergunakan sirkular tersier. Reksi ini masih berisi
lingkaran
“mempertahankan
hal-hal
yang
menarik”, akan tetapi dengan variasi yang relative lebih tetap (Boeree, 2008). Ketika
seorang
bayi
berusia
satu
setengah
tahun, maka dia sedang mengalami perkembangan representasi mempertahankan
mental, citraan
yaitu dalam
kemampuan pikirannya
untuk
29
jangka waktu yang lebih lama daripada sekedar periode
pengalaman
langsung
ketika
mencerap
sesuatu yang ada di depannya. b. Tahap Pra-Operasional ( 2 - 7 tahun ) Pada
tahap
pra-operasional,
anak
mulai
melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambargambar;
kata-kata
dan
gambar-gambar
ini
mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. Di tahap ini, dia telah memilki representasirepresentasi mental dan memiliki pertimbangan yang lebih baik (Santrock, 2002). Simbol adalah sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain. Sebuah gambar, sebuah kata yang tertulis atau kata yang diucapkan akan dipahami sebagai representasi dari sesuatu yang lain. Seiring dengan
kemampuan
mempergunakan
simbol
ini,
pemahaman tentang masa lalu dan masa yang akan datang pun semakin jelas. Perlu diingat bahwa pada tahap
ini,
anak-anak
bersifat
sangat
egosentris,
artinya dia cenderung hanya melihat sesuatu dari satu sudut
pandang,
yaitu
sudut
pandangnya
sendiri
(Boeree, 2008). c. Tahap Oprasional Konkret ( 7 – 11 tahun ) Kata
oprasi merujuk pada cara kerja
prinsip-prinsip
logika
yang
kita
gunakan
atau dalam
memecahkan sebuah persoalan. Pada tahap ini anak dapat berfikir seara logis tentang peristiwa yang konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda (Santrock, 2002).
30
Saat berusia 6 atau 7 tahun, sebagian besar anak
telah
memiliki
kemampuan
untuk
mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau
jumlah
benda
cair.
Maksud
ingatan
yang
dipertahankan disini adalah gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah (Boeree, 2008). Diusia 7 atau 8 tahun, seorang anak akan mengembangkan
kemampuan
mempertahankan
ingatan tentang substansi. Diusia 9 atau 10 tahun, kemampuan
terkahir
dalam
mempertahankan
kemampuan mulai diasah yaitu ingatan tentang ruang. Dalam tahap ini seorang anak juga belajar melakukan pemilahan (classification) dan pengurutan (seriation) (Boeree, 2008).Proses-proses penting selama tahapan operasional konkrit yang terjadi adalah : 1) Pengurutan Pengurutan
merupakan
kemampuan
untuk
mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil. 2) Klasifikasi Klasifikasi
merupakan
kemampuan
untuk
memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda
menurut
tampilannya,
karakteristik
lain,
termasuk
serangkaian
benda-benda
ukurannya, gagasan
dapat
atau
bahwa
menyertakan
benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. 3) Decentering
31
Anak aspek
mulai
dari
mempertimbangkan
suatu
permasalahan
beberapa
untuk
bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi. 4) Reversibility Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, dan 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya. 5) Konservasi Anak memahami bahwa kuantitas, panjang, atau
jumlah
benda-benda
tidak
berhubungan
dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir berisi air, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir sebelumnya. 6) Penghilangan sifat Egosentrisme Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan
ruangan,
kemudian
Ujang
memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak
32
walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang. d. Tahap Oprasional Formal ( 11 tahun - dewasa ) Anak telah memasuki masa remaja dan berfikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealis. Pada tahap sebelumnya, anak-anak yang berada dalam tahap oprasi konkret masih mengalami kesulitan menerapkan kemampuan logika yang baru dikuasainya terhadap peristiwa-peristiwa yang abstrak atau tidak konkret. Di tahap operasional formal, seorang anak semakin memiliki kemampuan untuk berpikir seperti orang dewasa. Tahap ini mencakup kematangan menggunakannya
prinsip-prinsip untuk
logika
menyelesaikan
dan
persoalan-
persoalan abstrak. Kita sering menyebutnya dengan pemikiran hipotetik (Boeree, 2008). 4. Teori Hubungan Kepribadian Dengan Marah Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan-bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil kita dan juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir. Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik. a.
Tipe Kepribadian Dalam ilmu psikologi, dikenal teori 4 tipe kepribadian. Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Galen, seorang ahli fisiologi yang hidup pada abad ke-2 Masehi. Walaupun tipe ini dianggap kuno, tetapi masih digunakan oleh psikolog-psikolog di jaman modern ini. Tipe-tipe
33
tersebut adalah Kholeris, Sanguinis, Melankolis dan Plegmatis. Dari 4 tipe kepribadin ini, tiap orang mempunyai kombinasi dari dua kepribadian. Umumnya salah satunya lebih dominan, kadang juga keduanya seimbang. Bila hanya 1 dari tipe kepribadian, maka dapat dikatakan tipe kepribadian sejati. Misalnya Sanguinis sejati. Sanguin dan koleris bisa berkombinasi secara alami karena keduanya ekstrovert, optimis dan terus terang. Kombinasi ini menghasilkan individu. 1) Kholeris Kekuatan: Tipe ini berbakat menjadi pemimpin. Suka berprestasi dan mengorganisasikan. Hidupnya berorientasi pada tujuan, aktif dan dinamis.. Berkemauan keras dan tidak mudah putus asa. Tidak menyukai air mata dan emosi. Bebas dan mandiri. Dalam bekerja, suka yang serba teratur dan mencari pemecahan praktis. Mau melakukan
tugas
yang
sulit
dan
suka
ditantang.
Bisa
mendelagasikan pekerjaan dan mau bekerja untuk kegiatan kelompok . Bergerak cepat untuk
bertindak sehingga unggul
dalam keadaan darurat. Kelemahan: Orang bertipe koleris terlalu bersemangat, suka memerintah dan tidak sabaran, keras kepala dan kaku. Menyukai kontroversi dan pertengkaran, tidak mau menyerah kalau kalah. Tidak simpatik/kurang peka terhadap perasaan orang lain. Suka merasa benar sendiri. Mendominasi orang lain Dalam bekerja, termasuk pecandu kerja, menuntut loyalitas dan penghargaan bawahan. Bisa kasar atau taktis. Mngharapkan pengakuan atas prestasinya. 2) Sanguinis Kekuatan: Kepribadian yang menyenangkan, ceria, supel, suka bicara dan bercerita. Punya selera humor yang baik. Emosional dan demonstratif. Antusias dan ekspresif. Optimis, Penuh rasa ingin tahu. Berhati tulus, tidak menyimpan dendam dan cepat meminta
34
maaf. Menyukai kegiatan spontan. Dalam bekerja, mengajukan diri secara sukarela untuk bekerja, mengilhami orang lain untuk bergabung dan dapat mempesona orang lain untuk bekerja. Kelemahan: Mendominasi percakapan dan suka membesarbesarkan, egoistis, suka mengeluh, kekanak-kanakan, tidak pernah dewasa. Mudah marah/emosional. Sensitif terhadap yang dikatakan orang tentang dirinya. Melupakan kewajiban. Keyakinan cepat luntur, tidak disiplin, mudah teralihkan perhatiannya. Benci sendirian. Tidak tetap/mudah berubah dan pelupa. Pandai berdalih. Suka mencari perhatian, sorotan dan kasih sayang, dukungan dan penerimaan orang di sekelilingnya. Memutuskan dengan perasaan. 3) Melankolis (Perfeksionis) Kekuatan: Perfeksionis, standar tinggi. Cenderung diam dan pemikir sehingga membutuhkan ruang dan ketenangan supaya bisa berpikir dan melakukan sesuatu. Serius dan bertujuan. Analitis. Berbakat dan kreatif. Berfilsafat dan puitis. Bijaksana, Idealis. Menghargai keindahan. Sensitif kepada orang lain. Berteman dengan hati-hati. Puas ada di belakang layar. Menghindari perhatian. Setia dan mengabdi. Mau mendengarkan keluhan dan mudah terharu. Dalam bekerja: suka keteraturan. Serba tertib dan hati-hati. Rapi dalam perencanaan, hemat. Kelemahan: Mengingat yang negatif dan menikmati sakit hati. Citra diri rendah dan merendahkan diri sendiri. Standar suka terlalu tinggi. Sangat memerlukan persetujuan. Mementingkan diri sendiri. Terlalu instropektif. Tertekan karena ketidaksempurnaan. Tidak aman secara sosial. Menarik diri dan menjauh. Suka mengkritik orang lain. Tidak menyukai yang menentang. Mencurigai orang lain, pendendam. Tidak mudah memaafkan danpenuh kontradiksi. Dalam kerjaan : suka memilih pekerjaan sulit. suka ragu-ragu danmelewatkan banyak waktu.
35
4) Phlegmatis Kekuatan: Kadang tipe ini dipandang sebagai orang yang lamban. Sebenarnya bukan karena ia kurang cerdas, tapi justru karena ia lebih cerdas dari yang lain. Mudah bergaul dan santai. Mudah diajak rukun dan menyenangkan. Tenang, teguh, sabar dan seimbang. Hidup konsisten. Tidak banyak cakap tetapi bijaksana. Simpatik dan baik hati. Menyembunyikan emosi. Hidupnya penuh tujuan. Tidak suka mempersoalkan hal sepele. Punya banyak akal dan bisa mengucapkan kata-kata yang tepat di saat yang tepat. Pendengar yang baik, memiliki rasa humor yang tajam. Suka mengawasi orang lain. Berbelas kasihan dan peduli. Dalam bekerja: cakap dan mantap, dapat menengahimasalah. Menghindari pertikaian. Menemukan cara yang mudah. Baik dibawah tekanan. Kelemahan: Terlalu pemalu dan tidak banyak bicara. Tidak suka keramaian. Suka takut dan kawatir. Mementingkan diri sendiri dan suka merasa benar sendiri. Tidak antusias. Suka menilai orang lain. Suka menunda-nunda sesuatu. Kurang disiplin dan motivasi diri. Malas dan tidak peduli. Membuat orang lain merosot semangatnya. Lebih suka menonton. Tidak suka tantangan/resiko. Terlalu suka kompromi. Perlu waktu untuk menerima perubahan. Tidak suka didesak-desak. Kemudian
Ernst
Kretschmer
(1888-1964)
dalam
bukunya
"Physique and Character" membagi kepribadian atau tempramen atas 4 tipe: 1) Tipe astenik. Tipe ini mempunyai ciri kurus, lurus, tubuh lemah, sulit bertumbuh, dan cenderungkepada schizophrenia. 2) Tipe atletis.
36
Ciri-ciri tipe ini, orangnya tinggi, besar, dadanya bidang, kekar, dan postur tubuhyang meruncing ke bawah. Secara kejiwaan, orang ini mempunyai potensischizothymic. 3) Tipe piknik. Tubuhnya cenderung melebar, lembut, gemuk bulat dan berlemak. Kretschmermengidentifikasikan tipe dengan cycloid atau manicdepressive, suatu temperamenyang berubah-ubah, kadang senang, kadang murung. 4) Tipe displastik. Tipe yang lain dari ketiga tipe di atas. William Sheldon yang menulis buku "The Varieties of Temperament" (1942), juga memberi perhatian kepada bentuk tubuh.Ia memusatkan perhatian pada penelitiannya tentang meticulous yang disebutnya sebagai somatotyping. Sikap dan tingkah lakunya diduga menyesuaikan diri dengan bentuk tubuhnya. Ia membagi tipekepribadian menjadi tiga bagian: a) Endomorphy. Dari segi fisik, pencernaannya baik, namun otot-ototnya lemah. Karena itu tubuhnya cenderung gemuk. Tipe ini lamban, senang memanjakan tubuhnya, suka makan (apalagi kalau bersama kawankawan), orangnya mudah dan sangat bersahabat, dan merasa puas selalu. b) Mesontorphy. Orang tipe ini memiliki tubuh yang kekar, langkahnya tegap, senang menguasai karena memang dia punya kekuatan, suka terhadap hal-hal yang beresiko berbahaya. Ia mempunyai arah yang tegas dan jelas, punya keberanian untuk bertempur. Sifat ekstrovertnya sangat menonjol. c) Ectomorphy. Tipe ini ditandai dengan ketenangan. Postur tubuh dan gerak yang kaku. Perasaannya sangat peka. Sifatnya sangat tertutup. Pada tahun 1971, C.G. Jung menulis sebuah buku yang berjudul "Psychological Types". Ia membagi kepribadian itu atas introvert dan extrovert. Kedua tipe itu ditandai dengan sikap seseorang terhadap 37
obyek. Seorang yang introvert pada dasarnya selalu ingin melarikan diri dari obyek, seakan-akan obyek itu harus dicegah agar tidak menguasainya. Sebaliknya, orang yang ekstrovert mempunyai sikap yang positif terhadap obyek. Dialah yang menguasai obyek itu. Kelihatannya pembagian Jung itu terlalu sederhana. Tetapi sebetulnya Jung mengklasifikasikan kedua tipe itu ke dalam delapan subtipe, sehingga terkesan rumit. Tipe tersebut adalah : 1) Tipe pemikir ekstrovert. Setiap aktivitas orang tipe ini tidak lepas dari kesimpulankesimpulan yang bersifat intelektual yang didasarkan pada data obyektif. 2) Tipe perasa ekstrovert. Orang ini sebelum bertindak, perasaannya itu harus pas dulu. Jung memasukkan kaum wanita ke dalam tipe ini. 3) Tipe sensasi ekstrovert. Bagi dia, segala sesuatu harus benar dan berorientasi pada kesenangan yang konkrit, tidak berlebihan, hukum itu harus dipatuhi. Orang tipe ini tidak mementingkan diri sendiri, dan rela berkorban demi kepentingan orang lain. 4) Tipe intuitif ekstrovert. Orang ini tidak akan ditemukan dalam dunia yang memiliki nilai realitas yang dapat diterima. Ia tidak puas dengan apa yang ada. Ia selalu menyelidiki sesuatu dan berbuat sesuatu yang baru. 5) Tipe pemikir introvert. Orang ini terlalu membatasi diri dengan pikiran dan pendapatnya sendiri. Ia bisa berpikir kritis, tetapi sering subyektif. 6) Tipe perasa introvert. Orangnya tenang, sulit didekati, sukar mengerti dan kurang tanggap terhadap perasaan orang lain. 7) Tipe sensasi introvert. Dia selalu berorientasi pada peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan bukan pada penilaian yang masuk akal. 8) Tipe intuitif introvert. Tipe ini sangat senang dengan hal-hal yang berbau mistik, bahkan ia bisa menjadi peramal atau seniman yang aneh.
38
Pembagian Jung ini disempurnakan lebih lanjut oleh Isabel Briggs Myers dalam bukunya "Gifts Differing". Dia membagi ke delapan tipe Jung menjadi dua sub tipe yang menyangkut penilaian dan pemahaman. Dialah yang menemukan tipe Myers. 5. Teori Hubungan Kognitif dan Marah a. Proses Kognitif Kognitif/kognisi adalah proses yang meliputi memori, perhatian, bahasa, problem solving, dan perencanaan. Hubungan antara emosi dengan kognisi telah menjadi hal yang menarik para psikolog untuk diselidiki lebih lanjut. Selama lebih dari dua dekade, para psikolog mempercayai adanya hubungan antara emosi dengan kognisi (Artini dkk, 2013). Intelegensi emosional adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi yang dialami oleh diri sendiri dan orang lain dengan akurat, atau kemampuan mengekspresikan emosi dengan tepat, dan kemampuan mengatur emosi pada diri sendiri dan orang lain (Chaplin, 1981). Orang yang memiliki intelegensi emosional (EQ) yang tinggi
mampu
menggunakan
emosi
mereka
untuk
meningkatkan motivasi mereka, menstimulasi pemikiran yang kreatif, dan mengembangkan empati terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki intelegensi emosi yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
emosi
pada
diri
mereka
sendiri
(Goleman, 2009). b.
Kognitif dan Emosi Hal yang dapat didiskusikan adalah mengeai studi-
studi tentang penelitian interaksi antara kognisi dan emosi
yang
dikenal
dengan
cognitive
emotion 39
regulation
(Ochsner
pengaturan
dan
informasi
Gross,
yang
2008).
disebut
Strategi “cognitive
reappraisal”, yang meliputi proses memikirkan kembali, muncul berdasarkan pada interaksi antara prefrontal dan
daerah
cingulate
yang
sering
terlibat
pada
pengontrolan kognitif dan sistem seperti amygdala dan insula yang terlibat pada peresponan stimuli. Cognitive reappraisal yang mengatur dan mengurangi emosi dapat menekan aktivitas amygdala sehingga emosi menjadi
berkurang.
Lebih
jauh
lagi,
perubahan
pengalaman emosi dan respon autonomic mungkin berkorelasi dengan seiring naik atau turunnya prefrontal dan/atau aktivitas amygdala (Yingxu Wang,2007). Beberapa contoh pengaruh emosi dan proses kognitif adalah: 1) Pengaruh emosi terhadap pemilihan dan penggalianinformasi 2) Pengaruh emosi terhadap memori 3) Pengaruh emosi terhadap proses transformasi informasi 4) Pengaruh emosi terhadap kinerja 5) Pengaruh emosi terhadap kreativitas pemecahan masalah 6) Pengaruh emosi terhadap pembuatan keputusan c. Emosi dan Persepsi Meningkatnya aktivasi penglihatan ketika melihat stimuli emosi berbanding lurus dengan meningkatnya perilaku pada beberapa tugas visual. Contoh, wajah marah, senang dan stimuli emosi lainnya terdeteksi dengan cepat dibandingkan dengan stimuli yang netral (Eastwood et al., 2001). d.
Emosi dan Memori
40
Emosi dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan mengingat kejadian masa lampau, yang ditemukan pada manusia dan hewan. Dibandingkan hal-hal yang bersifat netral, manusia lebih baik dalam hal mengingat informasi dengan melibatkan emosinya. Contohnya halhal yang bisa membantu ingatan adalah cerita, film, gambar, dan untaian kata-kata yang melibatkan emosi (Luiz, 2009). Sebagai contoh, penelitian dengan subyek penelitian yang diperlihatkan dua video, yang satu berisi konten netral dan yang lainnya
berisi konten emosional.
Meskipun kedua tipe video tersebut diambil dari sumber dan level pemahaman yang sama, subjek mengingat lebih baik dari video yang berisi konten emosional dibandingkan dengan yang netral setelah dilakukan tes kurang lebih 3 minggu setelah
subjek melihat video
tersebut (Cahill et al., 1996). Hal-hal
yang
menyebabkan
emosional,
daya
simpan
termasuk
marah
akan
memori
semakin
kuat
terhadap hal tersebut (Luiz, 2009). e.
Behavioral Inhibition Salah satu dimensi yang penting dalam kognisi
meliputi behavioral inhibition (hambatan perilaku), yaitu proses yang diperlukan untuk membatalkan tindakan yang ingin dilakukan. Respon ini dipercaya dikontrol pada daerah di prefrontal cortex (e.g., dorsolateral prefrontal cortex, anterior cingulate cortex, dan inferior frontal cortex) (Aron et al., 2004). Respon ini sering diistilahkan sebagai go/no-go stimulus. Jika subjek diminta
untuk
mengesekusi
respon
motorik
maka
41
menunjukkan stimulus go. Dan ketika menahan respon maka menunjukkan stimulus no-go (Goldstein et al., 2007). Respon emosi dapat saling terpengaruh dengan fungsi kognisi bagian ini. Hal inilah yang menimbulkan reaksi dari rangsangan emosi yang didapatkan. Salah satunya adalah respon marah terhadap rangsangan, apakah seseorang akan meneruskan berbuat sesuatu atau tidak (Luiz, 2009). f.
Emosi Marah dalam Mengambil keputusan Suasana
hati
pengambilan tentang
sangat
keputusan.
suasana
ditemukan
hati
bahwa
berpengaruh
terhadap
Dalam
sebuah
penelitian
dalam
proses
berusaha,
seseorang
yang
mengalami
kecemasan, stress, depresi, dan marah akan cenderung lemah dalam berusaha karena tindakan yang dilakukan dapat bersifat irasional (Goleman, 2009). Pada aspek pemilihan informasi, orang yang dalam keadaan bahagia cenderung mengingat informasi yang berisikan hal-hal yang menenangkan, begitu pula ketika seseorang yang dalam keadaan sedih lebih cenderung mengingat
informasi
yang
mengandung
kesedihan
daripada kesenangan. Bila dikaitkan dengan emosi marah dalam mengambil keputusan, seseorang yang sedang marah bila dihadapkan dengan suatu masalah maka
emosinya
akan
mempengaruhi
tindakannya
(Sternberg, 2008). Ada beberapa teori mengenai emosi dalam proses kognisi yang terkait dengan emosi marah dengan pengambilan keputuisan (Suharman, 2005):
42
1) Teori Skema Teori
ini
berpandangan
bahwa
orang
yang
mengalami emosi/suasana hati tertentu memiliki suatu pola kerja yang digenerelasikan yang disebut skema yang serupa dengan suasana hati tersebut. Contoh, orang-orang yang sedih biasanya menerima dan mengingat pengalaman yang negatif, episode duka, dan cenderung mengintrepretasi dunia dari prespektif yang negative. Skema sedih membuat individu lebih siap mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang menyedihkan. 2) Teori Arousal Arousal adalah keadaan emosi seseorang yang berkitan dengan semangat, termotivasi, gairah dll. Emosi-emosi
seperti
kinerja
seseorang
kognitif
misalnya
keputuasn
dan
ini
sangat
mempengaruhi
menyelesaikan mengingat,
memecahkan
tugas-tugas
belajar,
membuat
masalah
(Chaplin,
1981). Yerkes dan Dodson menghasilkan sebuah prinsip umum (Yerkes Dodson), isinya adalah: a) Hubungan antara tingkat tekanan, semangat atau keadaan termotivasi dalam bentuk kurva “U” terbalik. Kinerja yang optimal dapat terjadi apabila semangat (arousal) berada pada tingkat yang sedang atau moderat. b) Tingkat optimal dari berhubungan
secara
semangat terbalik
atau
gairah
dengan
tingkat
kesulitan tugas. 3) Tingkat Arousal
43
Apabila seseorang berada pada tingkat arousal atau semangat yang sangat tinggi, atau sebaliknya sangat rendah, ia cendeerung menunjukkan kinerja yang kurang efektif. Kognisi manusia tidak selalu bersifat rasional karena melibatkan banyak bias dalam
persepsi
dan
dalam
ingatan
manusia
(Sternberg, 2008). Sebaliknya, emosi juga tidak selalu bersifat rasional, emosi dapat menyatukan manusia, mengatur jalannya sebuah hubungan dan memotivasi orang dalam mencapai suatu sasaran. Tanpa kemampuan merasakan emosi, manusia akan mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan atau
dalam
merencanakan
masa
depannya
(Suharnan, 2005). 6. Teori Hubungan Pengalaman Seksual Dengan Marah Pengalaman stress yang negatif atau tidak disukai dihubungkan dengan kerusakan terhadap otak dan perilaku. Stress yang tidak disukai dan trauma ini merupakan faktor predisposisi mayor terhadap perkembangan psikopatologi. Hippokampus secara khusus, sensitif terhadap stress yang tidak disukai, merespon dengan mengurangi adult neurogenesis, kempleksitas dendrit dan kekenyalan sinap. Stress negatif meningkatkan kecemasan, yang mekanismenya dihubungkan dengan hippokampus. Peningkatan kadar glukokortikoid telah dikaitkan dengan dampak-dampak di atas (Leuner et al, 2010). Blocking stress memicu peningkatan kadar kortikosteron yang dapat mecegah dampak kerusakan pada adult neurogenesis, kompleksitas dendrit dan kecemasan. Hal tersebut bisa terjadi pada pengalaman stress yang menguntungkan seperti proses learning, berlari, latihan fisik, dan pengalaman seksual. Meskipun bukti tentang peningkatan hormon stress
44
dengan struktur kekenyalan yang terganggu, fungsi hippokampus, latihan fisik meningkatkan kadar glukokortikoid, tetapi secara umum bermanfaat terhadap kesehatan. Berlari meningkatkan kadar glukokortikoid pada tikus dan manusia, yang secara berlawanan ternyata menguatkan kekenyalan struktur, termasuk adult neurogenesis, densitas dendrit dan kompleksitas dendrit pada hippokampus. Lebih jauh latihan fisik mengurangi kecemasan dan memperbaiki fungsi learning dan memori pada hippokampus. Berlari juga meningkatkan aliran darah ke otak, memperbaiki kekuatan kardiovaskuler dan memicu angiogenesis, semua faktor-faktor tersebut yang dapat memicu perbaikan perkembangan saraf dan akhirnya meningkatkan fungsi otak.Pengalaman seksusal juga meningkatkan kadar glukokortikoid dalam darah. Pengalaman seksual yang akut meningkatkan proliferasi sel pada gyrus dentate pada tikus dewasa. Pengalaman seksual yang kronik meningkatkan proliferasi sel di gyrus dentate dan adult neurogenesis di gyrus dentate. Pembelajaran juga menunjukan dapat meningkatkan kadar glukokortikoid dan beberapa penelitian menunjukan latihan pada hal pembelajaran meningkatkan adult neurogenesis. (Leuner et al, 2010) Banyak penelitian telah mengkaitkan neurogenesis dengan regulasi kecemasan dan umpan balik respon stress. Manipulasi penelitian dihubungkan dengan berkurangnya jumlah neuron baru pada gyrus dentate yang berhubungan dengan meningkatnya perilaku cemas. Demikian juga, adult neurogenesis yang berkurang dikaitkan dengan modulasi yang terganggu dari HPA axis-kadar kortikosteron , menunjukkan pengembalian yang terlambat ke awal mula setelah stress pada tikus dengan sedikit saraf yang baru. Lebih jauh lagi ternyata neurogenesis yang berkurang dikaitkan dengan respon terganggu dari HPA axis pada dexamethasone suppresion test. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa neuron baru berperan penting tidak hanya pada fungsi kognitif pada
45
hippokampus, tetapi juga pada kecemasan dan fungsi regulasi stress (Timothy Schoenfeld danElizabeth Gould, 2011). Sehingga bisa disimpulkan bahwa, pengalaman seksual yang kurang secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku seperti kecemasan dan juga mempengaruhi fungsi regulasi stress pada HPA axis, dimana HPA axis ini berperan terhadap anger management.
E. Mekanisme marah 1. Teori Psikoneuroimunologi Psikoneuroimunologi
(PNI)
merupakan
pembelajaran
tentang
interaksi antara proses psikologis, sistem saraf, dan kekebalan tubuh. PNI mengambil pendekatan anterdisiplin menggabungkan antara psikologi, neuroscience,
imunologi,
fisiologi,
anatomi,
farmakologi,
biologi
molekuler, psikiatri, dan endokrinologi (Michael, 2005). Penelitian oleh Candace (1985) seorang neurofarmakologis mengungkapkan bahwa terdapat reseptor neuropeptida spesifik pada permukaan sel enchepalon dan sel-sel terkait imun (Pert, 2005). Penemuan tersebut menunjukkan bahwa neuropeptida dan neurotransmitter selain bertindak pada psikis juga bertindak
langsung
pada
sistem
kekebalan
tubuh.
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa kondisi psikis seperti stres, emosi, dan kondisi psikis lain memiliki efek langsung pada sistem imun tubuh (Price, 2006). Terdapat peningkatan dalam hubungan antara stress psikologi dan berbagai macam kondisi kesehatan. Suatu bukti mengesankan adanya hubungan antara sistem imun, sistem limbik, sistem saraf pusat (central nervous system) dan sistem endokrin, di mana sistem ini dapat dipengaruhi oleh
faktor
sosial
dan
psikologi.
Pada
1964,
Solomon
dkk
mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Emotion, Immunity and Disease: A Speculative Theoretical Integration” yang menjadi dasar perkembangan penelitian tentang psikoneuroimunologi (Ho, et al., 2010). a
Proses Kerja Psikoneuroimunologi
46
Gambar1. Jalur HPAAxis (Arder, 2000). Menurut Cohen (2001), hubungan otak dengan psikis dan endokrin terjadi melalui (1) sel di aksis hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA), yang melibatkan hormon sitokin, dan (2) sel yang terdapat di jalur automic nerve system (ANS). Sistem saraf pusat (otak) mempengaruhi sistem endokrin melalui kelenjar pituitari, yang nantinya akan mengontrol sekresi hormon dan akan berpengaruh pada modulasi sistem imun. Sekresi hormon tersebut akibat adanya reseptor sel imun yang berikatan dengan molekul HPA dan menyebabkan perubahan jumlah, fungsi, dan distribusi sel imun. Sedangkan, pengaruh langsung dari sistem saraf otonom (ANS) diperankan oleh kelenjar timus, limpa, dan sumsum tulang (Arder, 2000).
47
Gambar 2. Hubungan
antara Psikis
dan Sistem
Neuroendokrin HPA axis terdiri atas rangkaian aktivitas hormon yang terlibat dalam respon stres, yang terdiri dari corticotropin releasing hormone (CRH), hormon yang diproduksi oleh hipotalamus; adenocorticotropic hormon (ACTH), hormon yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis dan kortisol, hormon perifer yang dikeluarkan oleh cortex adrenal (Arder, 2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011). Pelepasan CRH dipicu oleh berbagai stresor baik psikologis maupun fisiologis (lapar, inflamasi). Stresor juga menstimulir pelepasan arginine vasopressine (AVP) oleh neuron paraventricular nucleus (PVN) hipotalamus. Nucleus paraventrikular hipotalamus adalah penggerak utama dari respon glukokortikoid terhadap stres. Stimulasi saraf neurosekretori hipofisiotropik di medial parvoselular PVN menginisiasi aktivasi HPA axis. Selanjutnya corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressine (AVP) dilepaskan dari terminal saraf neurosekretori di eminentia median dan diangkut ke hipofisis anterior melalui sistem pembuluh darah portal dari tangkai hipofiseal. CRH dan vasopressin bertindak sinergis untuk merangsang
48
sekresi ACTH yang tersimpan dari sel corticotrope. ACTH diangkut oleh darah ke korteks adrenal kelenjar adrenal, di mana ia cepat merangsang
biosintesis
kortikosteroid
dari
kolesterol
untuk
memproduksi kortisol (Arder, 2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011). Pelepasan kortisol secara simultan memiliki efek, termasuk diantaranya peningkatan glukosa darah untuk mempertahankan regulasi metabolisme. Pelepasan kortisol yang terus menerus akan menimbulkan umpan balik negative pada hipotalamus maupun glandula hipofisis anterior untuk menghentikan produksi CRH dan ACTH. Fungsi kortisol secara umum adalah sebagai pengatur metabolisme glukosa, regulasi tekanan darah, respon inflamasi, dan berperan dalam sistem imun. Peningkatan kortisol dalam jumlah sedikit memiliki beberapa efek positif seperti pemaksimalan fungsi memori, peningkatan sistem imun,
menurunkan
sensitivitas
terhadap
sakit,
membantu
menyeimbangkan dan mempertahankan homeostasis dalam tubuh. Akan tetapi, paparan kortisol yang terlalu lama dan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menimbulkan efek negatif seperti penurunan fungsi kognitif, penekanan fungsi glandula tiroid, ketidakseimbangan gula darah, penurunan kepadatan tulang dan massa otot, serta penurunan respon inflamasi dan sistem imun (Arder, 2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011). b
Hubungan Psikoneuroimmunologi dengan Kondisi Afektif Otak, sistem imunitas, dan sistem endokrin adalah sistem adaptif utama tubuh. Dua jalur utama yang terlibat dalam interaksi tersebut adalah hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA axis) dan sistem saraf simpatik (SAM axis). HPA axis merespon tekanan fisik dan mental untuk mempertahankan homeostasis sebagai salah satu cara untuk mengontrol tingkat kortisol tubuh. Disregulasi HPA axis akan berakibat ke berbagai penyakit akibat stres. Aktivitas HPA axis berhubungan
49
secara intrinsik dengan sitokin. Telah diketahui bahwa sitokin inflamasi mampu merangsang hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan sekresi kortisol. Sebaliknya glukokortikoid akan menghambat sintesis sitokin proinflamasi (Price, 2006). Dalam sebuah studi epidemiologis, semua penyebab morbiditas akan bertambah berat ketika diikuti dengan stresor berat. Teori menyatakan bahwa peristiwa stres memicu respon afektif yang akan menstimulus sistem saraf simpatik dan perubahan endokrin. Hal tersebut berpotensi untuk menggangu fungsi sistem imun. Stres diduga mempengaruhi fungsi afektif tubuh akibat manifestasi emosional dan tingkah laku seperti gelisah, takut, marah ketegangan, kesedihan, serta perubahan fisiologis seperti denyut jantung, tekanan darah, dan berkeringat. Para peneliti juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut memiliki efek positif ketika dalam batas-batas tertentu. Sebaliknya, ketika kondisi tersebut tidak stabil dan berlangsung secara kontinyu akan berakibat negatif (Chrousos, 2005). Stres psikologi mengaktivasi SAM aksis yang mengatur denyut jantung dan pelepasan katekolamin serta HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK (Ho, et al., 2010). Pada stress psikologi ringan, CD62L sel NK dengan L-selectin (CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan reseptor molekul adhesi. Pada stres psikologi berat, L-selectin dari sel NK tidak berperan menggerakkan dan CD62 sel NK akan ditahan di tepi pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh darah. CD62 sel NK tanpa L-selectin akan dimobilisasi. Konsentrasi molekul adhesi seperti ICAM 1 dan CD11a akan meningkat pada stres psikologi berat. Peningkatan konsentrasi molekul adhesi menyebabkan CD62 sel NK menghentikan gerakannya dan menempel pada tempat berkumpulnya molekul adhesi. Disfungsi endotel juga menyebabkan perekrutan dan
50
penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya menghasilkan sitokin proinflamasi, seperti faktor nekrosis tumor-alfa (TNF alfa), interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang menstimulasi makrofag dan sel endotel pembuluh darah untuk meningkatkan proses inflamasi. Pada akhirnya hal ini akan merangsang kondisi atherosclerosis dini di mana makrofag dan sel imunokompeten lainnya menyebabkan inflamasi lokal dan pembentukan plak. Pembentukan trombus lokal menrunkan neurotransmiter serotonin. Disregulasi kadar serotonin dalam tubuh mengakibatkan perubahan afek. Selain itu, sebuah stresor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi, termasuk sel mononuklear ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Sitokin tersebut mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Ketika terjadi inflamasi, sirkulasi sel-sel imunokompeten mengalami peningkatan. Makrofag dan sel glial (mikroglia dan astrosit) akan memicu sekresi sitokin proinflamasi. Molekul sitokin proinflamasi termasuk IL-1, IL-2, IL-6, IL-12, IFN-Gamma dan TNF-alfa selain meningkatkan sekresi hormon stres juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel otak dan fungsi sel saraf (Covelli, 2005). Selain penyakit autoimun, hipersensitivitas dan infeksi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel-sel imunokompeten mengalami penurunan selama stres dan depresi (Elenkov, 2005). Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu, gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan
konsekuensi
kesehatan.
Misalnya,
gejala
depresi
berkaitan dengan rendahnya jumlah limfosit T CD8 dan tingginya rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan. Gejala depresi pada pasien HIV positif berhubungan dengan rendahnya CD4, tingginya jumlah sel B dan meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR) bahkan bila perilaku kesehatan dan stadium penyakit terkontrol (Kiecolt-Glaser, et
51
al., 2002). Hormon kortisol merupakan tolak ukur untuk mengetahui kondisi seseorang apakah jiwanya stres, depresi atau tidak. Pada keadaan stres, terdapat substansi yang menyerupai beta carboline yaitu antagonis GABA yang menyebabkan penurunan jumlah reseptor
GABA.
Berkurangnya
reseptor
GABA
menyebabkan
berkurangnya hambatan terhadap kecemasan dan memudahkan reaksi stres. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam kondisi tenang, senang, optimistis, penuh mengakibatkan sintesis
GABA dan
pengaturan sekresi antagonis GABA serta kortisol dalam batas normal (Fawzy IF, 2005). Telah diketahui bahwa susunan syaraf pusat mentransmisikan informasi neurologi menjadi respon biologi dan fisiologis melalui berbagai hormon, neuropeptida, dan neurotransmitter. Susunan tersebut terbukti merupakan alur yang sangat berperan dalam reaksi emosional, depresi, manik, dan stres (Carr DB and Gaudas LC, 2009). Berbagai kondisi emosional baik possitif maupun stres dapat menyebakan terjadinya aktivitas HPA. Aktivitas HPA tersebut dapat berasal
dari
jalur
neurotransmiter
persyarafan
yang
berbeda.
biasa Aktivitas
yang
diperantai
tersebut
juga
oleh bisa
mengakibatkan terjadinya perubahan suasana emosional menjadi positif maupun negatif, yaitu tenang, manik, optimis, cemas, susah, depresi, dan stres. Hal serupa juga terjadi dalam dinamika rangsangan psikis yang ditransmisikan melalui sistem limbik dan korteks frontal, sedangkan respon stres biologis terjadi lewat RAS. Rangsangan stres yang tiba di hipotalamus akan menyebabkan sekresi CRF yang berperan sentral dalam reaksi stres. Sekresi
CRF
oleh
neuron
hipotalamus
bergantung
pada
keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang menghambat sintesis dan sekresi. Neurotransmiter yang diketahui meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin. Sebaliknya GABA bersifat menghambat sekresi CRF (Dunn AJ, 2005).
52
Berikut adalah penjelasan masing-masing neurotransmitter yang berpengaruh terhadap kondisi afektif seseorang. (1) Serotonin (5hidroxytryptamine) adalah suatu neurotransmitter inhibitor yang disintesis di neuron serotonergic di sistem saraf pusat dan sel enterochromaffin di sistem gastrointestinal. Di sistem saraf pusat, serotonin
dinyatakan
mempunyai
fungsi
penting
sebagai
neurotransmitter dalam regulasi marah, nafsu makan, suhu tubuh, mood, seksualitas dan tidur. Level yang rendah dari serotonin berhubungan dengan terjadinya agresifitas, ansietas, depresi, gangguan makan, impulsifitas, iritabilitas dan gangguan tidur. (Nutripath.com.au , Extensive
Neurotransmitter
Profile).
(2)Dopamine
adalah
neurotransmitter excitator dan inhibitor yang disintesis di banyak area otak. Dopamine adalah precursor untuk adrenaline dan noradrenaline. Dopamine juga berfungsi sebagai hormon ketika ia dikeluarkan dari hypothalamus, menghambat produksi prolactin dari kelenjar pituitary. Di sistem saraf pusat, dopamine terlibat dalam regulasi rasa senang, memory, kontrol motorik, tidur, mood, atensi dan kemampuan belajar. Kadar Dopamine yang rendah
berhubungan dengan hilangnya
kepuasan, penarikan diri dari kehidupan sosial, apatis, berkurangnya motivasi dan atensi. Dalam bentuk yang lain, kadar dopamine yang rendah juga berhubungan dengan gangguan kontrol motorik, seperti pada penyakit Parkinson. Sedangkan dopamine dalam kadar yang tinggi berhubungan dengan agresifitas, schizophrenia, hiperaktivitas dan sindrom Tourette. (Nutripath.com.au , Extensive Neurotransmitter Profile). (3) Noradrenaline (norepinephineprine) dan adrenaline (epinephrine) adalah neurotransmitter excitator dan juga sebagai hormon. Neurotransmitter ini berperan penting pada respon fight & flight, yang mana dalam respon ini akan terjadi peningkatan denyut jantung, memicu pelepasan glukosa ke seluruh tubuh untuk energi dan meningkatan aliran darah ke otot. Kondisi adrenaline dan noradrenaline yang rendah menyebabkan penurunan mood, energi, fokus, motivasi
53
dan memory. Sedangkan dalam kadar yang tinggi, neurotransmitter ini berhubungan hiperaktivitas,
dengan mania,
agresifitas, stress
dan
ansietas, supresi
kelabilan sistem
emosi, imun.
.
(Nutripath.com.au , Extensive Neurotransmitter Profile) c
Hubungan Marah dengan Psikoneuroimunologi Dalam beberapa teori, marah adalah hasil adaptasi yang salah dalam proses coping terhadap stressor, sehingga menimbulkan konflik/masalah
yang
lebih
besar
dan
ketidaknyamanan
personal/pribadi. Konsep yang dipakai pada masa sekarang, konsep marah lebih difokuskan pada mekanisme adaptif dalam menghadapi tujuan yang terhambat dan perasaan terancam. Marah yang sehat dan marah yang tidak sehat dibedakan dari sisi sejauh mana keberhasilan emosi dalam memenuhi kebutuhan dasar dari seorang pribadi. Sebagai contoh, jika seseorang memberikan perkataan yang bijak sebagai ekspresi marah untuk merespon rekan kerjanya yang berkata tidak sopan sehingga bisa mengatasi masalah yang ada, maka hal ini adalah marah yang sehat. Sedangkan jika seseorang itu memukul rekan kerjanya yang berkata tidak sopan itu sehingga membahayakan rekan tersebut, maka ini adalah marah yang tidak sehat. (Lench, 2004) Banyak penelitian yang telah mengungkapkan bahwa kemarahan bisa mempengaruhi kondisi tubuh kita baik secara fisiologis maupun psikologis. Penelitian mengungkapkan bahwa sebelum marah itu mempengaruhi banyak bagian lain dari tubuh kita, maka otak adalah yang terpengaruh pertama kali. Otak berfungsi sebagai internal alarm system. Otak memberikan sinyal ke bagian lain tubuh ketika kita merasakan senang, sedih, marah, nyeri dan lain sebagainya. Sistem ini juga memacu pelepasan adrenalin yang menyebabkan peningkatan kewaspadaan dan responsibilitas tubuh. Hal ini menyebabkan penyebaran glukosa ke dalam aliran darah dan otot sehingga memberikan kemampuan untuk merespon lebih cepat, berlari lebih
54
cepat dan pengambilan keputusan yang lebih cepat. (Hendrick et al, 2013) Otak memproses semua stress emosional. Ketika otak menerima rangsang/stresstor berupa hal-hal yang mengancam/membahayakan, jutaaan serabut syaraf otak merangsang pelepasan hormon stress, adrenalin dan noradrenalin. Hormon ini membantu tubuh untuk mengontrol denyut jantung dan tekanan darah. Pelepasan hormon ini juga membantu pankreas untuk mengatur keseimbangan gula darah. (Hendrick et al, 2013) Penelitian yang diadakan oleh Hotchkiss Brain Institute di Calgary menemukan bahwa kemarahan mempengaruhi otak melalui jalur mekanisme neuron di hypothalamus sebagai pusat respon stress. Kemarahan menyebabkan pelepasan neurotransmitter otak, yaitu katekolamin ke tubuh sehingga menimbulkan efek “ledakan” energi dalam beberapa menit. Mekanisme ini juga menimbulkan efek lain dalam tubuh, seperti peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah dan juga pernafasan. (Hendrick et al, 2013) Menurut Addotta (2006) kemarahan berasal dari amygdala. Kita memiliki
sepasang
amygdala
yang
terletah
di
atas
hypothalamus.Amygdala tersusun dari beberapa persyarafan yang menghubungkan dengan berbagai bagian dari otak, seperti neocortex dan visual cortex. Ketika amygdala menginisiasi kemarahan, prefrontal cortex bisa menghasilkan perilaku kekerasan. Studi dari Society for Neuroscience University of California (2007) memberikan pandangan baru tentang apa yang terjadi pada otak para remaja dewasa yang sedang dalam kemarahan dan agresifitas ketika mereka merasa terancam. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku agresif berhubungan dengan respon hiperaktif dalam amygdala dan penurunan aktivitas di prefrontal cortex otak. (Hendrick et al, 2013) Science News (2007) memberikan gambaran yang terjadi pada seorang wanita yang mengalami operasi pengangkatan amygdala untuk
55
mengontrol kejang epilepsi. Dalam masa penyembuhan, ditemukan bahwa memang pengangkatan
amygdala bisa mengatasi masalah
kejang. Akan tetapi, di sisi lain ditemukan bahwa dengan pengangkatan amygdala menimbulkan kehilangan kemampuan untuk menerima sinyal rasa marah dan ketakutan. Beberapa studi yang dilakukan pada wanita yang mengalami pengangkatan amygdala menunjukkan bahwa pasien mengalami kesulitan untuk mengerti perubahan intonasi seperti yang diekspresikan oleh orang yang sedang marah dan takut. Sedangkan pasien masih mampu mengenali dan mengerti ekspresi dari sedih, senang, jijik dan terkejut. (Hendrick et al, 2013) Amygdala adalah perespon yang sempurna terhadap ancaman (stressor). Amygdala menjadi pemeran utama dalam proses emosional dan sosial. Amygdala membuat kita mampu bereaksi terhadap ancaman sebelum reaksi dari prefrontal cortex, yang bertanggung jawab dalam hal berpikir dan pertimbangan. Dengan kata lain, amygdala membuat otak berekasi lebih cepat terhadap ancaman atau ketakutan sebelum prefrontal cortex menyadari segala konsekuensinya. Orang-orang tabah, yang mampu dengan cepat melakukan recovery dari stress, berarti prefrontal
cortex
mereka
mampu
“menenangkan”
amygdala
(merupakan bagian otak pusat emosi, yang akan merangsang pelepasan cortisol/hormon stress ketika terjadi peristiwa emosional). (Hendrick et al, 2013) Pada beberapa orang, bisa timbul marah dengan cepat dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menurunkan tensi marahnya. Di sisi lain, iritasi (emosional) yang kecil bisa membuat beberapa orang tertentu meledak kemarahannya. Fakta sains dan medis menunjukkan bahwa neurotransmitter otak, yaitu serotonin berperan dalam regulasi marah dan agresi. Ditemukan bahwa pada orang-orang yang sedang berperilaku agresif, kadar serotonin yang lebih rendah dibanding dengan orang yang berperilaku non-agresif. Defisiensi serotonin berhubungan dengan perilaku agresif yang patologis dalam
56
bentuk kekerasan, tetapi bukan pada perilaku agresif normal yang digunakan hewan dan manusia untuk beradaptasi dalam bertahan hidup. (Hendrick et al, 2013) 2. Teori Neurologis Perilaku
marah
dapat
disebabkan
faktor
lingkungan/eksternal yang kuat. Meskipun dipengaruhi oleh lingkungan, beberapa bukti penelitian menyatakan adanya faktor genetik yang berkaitan dengan kecenderungan agresivitas, yaitu adanya varian alel monoamin oxidase A (MAOA), yang mengkode monoamine oxidase A, suatu enzim yang memecah neurotransmitter, seperti serotonin, menjadi senyawa molekul dirinya (Buckholtz dan MeyerLindenberg, 2008).Produk gen Monoamine Oxidase A (MAOA)
dipercaya
berperan
dalam
mengatur
metabolismeenzimatikneurotransmitterserotonin, dopamine,
dan
norepinephrine,
memodulasiregulasi
sehingga
emosidanfungsi
otaksecara
umum.Kepercayaan sekarang ini, individudengangenotipe MAOA
fungsional
aktivitaspadaamigdala,
rendahmenunjukkan
hipokampus,
daninsula
dalam
menanggapiparadigmaemosinegatif. Penelitianneuroimaging Lawrence
Murphy,
(2003)
Nimmo-Smith,
&
menunjukkan
bahwarangsanganterkaitkemarahanmelibatkancorticolimbi cdengan emosinegatif (yaitu daerahkorteks prefrontal, amygdala,
hipokampus,
insula,
danthalamus).
Pada
pencitraan amygdala teraktivasi dengan paparan wajah saat marah.
Hal
ini
menunjukkan adanya
hubungan
aktivitas enzimatis MAOA terhadap amigdala. Alia-Klein et 57
al. (2007), menunjukkan bahwa perilaku dan blood oxygen level-dependent (BOLD) terpengaruh saat terjadi paparan marah. Hasil penelitian menunjukkan adanya kemungkinan resiko agresivitas dari pengontrolan marah yang kurang. Perilaku
agresif
tidak
selalau
diterjemahkan
sebagai
tindakan atau perilaku kekerasan. Namun, agresif sebagai tindakan fenomena
yang yang
menyakiti menjadi
orang
lain
perhatian
dapat
dalam
menjadi
komunitas.
Pengaruh genotip MAOA yang rendah dapat menjadi fator resiko agresivitas, namun hal tersebut juga didukung karena adanya faktor eksternal seperti pengalaman tidak menyenangkan di saat kecil, yang menyebabkan adanya interaksi gen-lingkungan. Individu dengan alel genotip MAOA rendah diperkirakan terdapat pada 40% populasi pria, yang menunjukkan adanya perilaku agresif (Alia-klein et al., 2009). a Mechanisms
underlying
the
MAOA-aggression
link
Reactive Sejumlah rendahnya
penelitian
fungsional
menyatakan
gen
MAOA
bahwa
memiliki
tinggi-
hubungan
terhadap respon dari tubuh. Gen MAOA fungsional rendah memiliki
reaktivitas
marah
yang
lebih
tinggi
dan
digambarkan pada respon talamus, amigdala kiri dan thalamus posterior, sedangkan pada MAOA fungsional tinggi lebih pada respon insula kiri dan AHF kanan, serta menekan thalamus secara bilateral (Alia-klein et al., 2009).
58
Individu dengan genotipe MAOA fungsional rendah membentuk reaksi neurologis dengan reaktivitas emosional yang tinggi dan gangguan penghambatan. Genotipe MAOA fungsional rendah mengurangi level monoamine oxidase A yang akan menjadikan disregulasi serotonin pusat lebih besar.
Kadar
mempengaruhi memproduksi
serotonin daerah dan
yang
meningkat
rangsangan
mengatur
respon
neurologis afektif
akan yang
terhadap
rangsangan sosial untuk berperilaku yang tidak teratur dan labil (Cases et al., 1995). Ekspresi varian alel MAOA yang rendah berkaitan dengan hiperreaktivitas dari amygdala dan hiporeaktivitas dari dorsal lateral prefrontal cortex (DLPFC) selama emosi terbangkitkan. Efek dari genotipe fungsional MAOA terhadap pengendalian marah juga terjadi pada dorsal anterior cingulate cortex (dACC), yaitu daerah syaraf yang terlibat dalam menanggapi kejadian yang ditandai dengan dampak negatif (Denson et al., 2014). Hingga
saat
ini
penelitian
yang
menerangkan
mengenai genotipe fungsional rendah MAOA memiliki kaitan dengan agresivitas yang lebih besar. Jika mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai hubungan MAOAagresif, gen MAOA meningkatkan perilaku agresif jika ada pemaparan atau pancingan negatif dari
luar seperti
provokasi dan penolakan sosial (Chester et al, 2015). Gambaran MRI terhadap respon stimulus marah
59
60
Sumber : Fabiansson, 2011 Gambar3 : Konektivitas Analisis Fungsional Selama Reappraisal, Analytical Rumination, dan Angry Rumination. Ketiga gambaran pencitraan tersebut menunjukkan (A) hubungan positif yang signifikan antara gyrus frontalis inferior (BA 44) dan amygdala selama analytical rumination dan angry rumination; (B) hubungan positif yang signifikan antara gyrus frontalis inferior (BA 45) dan thalamus lateralis posterior selama analytical rumination; (C) hubungan positi yang signifikan antara gyrus frontalis inferior (BA 45) dan thalamus lateralis ventral selama analytical rumination dan angry rumination.
61
F. Manifestasi Marah Fungsi umum dari agresif terbagi menjadi dua, yaitu khususnya sebagai kompetisisosial danpemangsa/predator. Kompetisi sosialmelibatkanindividu sejenis, yang berjuang untukakses ke sumber daya(misalnya makanan, wilayah, peringkatsosial,
dll).
Bentukagresiberhubungan
denganrangsanganfisiologisyang
tinggi,
dan
mencakupkomunikasi sosial (Tulogdi et al., 2015) Koping
individu
merupakan
konseptualisasi
upaya
perilaku individu intrapsikis untuk menanganituntutaninternal dan eksternalyang menantangatau melampaui batas dirinya.
Gambar4. Model Mediasi Koping individu berkaitan dengan stres, marah, dan agresivitas verbal. Respon marah dan stres dapat memivu adanya agresivitas verbal. Pada
ketiga
aspek
tersebut
diperlukan adanya coping sebagai moderator agar perilaku agresif
tidak
menjadi
buruk.
(Bodenmann,
Meuwly,
&
Bradbury, 2010)
62
Marah dan permusuhan menjadi perhatian khusus yang berkaitan
dengan
perilaku
individu.
Permusuhan
dideskripsikan sebagai perilaku atu kognitif negatif yang diarahkan kepada orang lain, sedangkan marah merupakan keadaan emosionalyang terdiri dariperasaanyang bervariasi pada
intensitas
mulai
dari
iritasiringan
ataujengkeluntukkemarahanintens, agresivitassebagaipola dalamberteriak,
dan
perilakuverbal
atau
intimidasiatauserangan
fisikterwujud
fisik
(Bucharest,
2010). Pengukuran
temperamen
dan
marah
yang
paling
banyak digunakan adalah:
Mengukur tingkat komponen kegiatan, yaitu : seberapa cepat
atau kuat aktivitas seseorang. Kemudahan untuk tersinggung/merasa
kejadian negatif. Tingkat ketenganan,
menjadi tenang setelah terganggu. Tingkat ketakutan terhadap stimulus yang tidak biasa. Sosiabilitas, yaitu kemampuan penerimaan terhadap stimulus
yaitu
seberapa
terganggu mudah
oleh
seseorang
sosial.(Hasan, 2006) Menurut Hasan (2006), temperamen dibagi menjadi tiga, yaitu:
Temperamen muda, yaitu mereka yang memiliki pembawaan sikap
positf,
mudah
bergaul,
terbuka,
dan
mudah
menyesuaikan diri dengan situasi baru. Temperamen sulit, yaitu mereka yang mudah tersinggung dan memiliki kebiasaan yang tidak teratur, mudah aktif. Reaksi yang ditampakkan sangat keras terhadap perubahan rutinitas, dan lambat dalam beradaptasi pada lingkungan baru.
63
Temperamen lambat panas, yaitu mereka yang kurang aktif, dengan emosi yang berubah-ubah, dan lambat beradaptasi terhadap lungkungan baru. Marah mempengaruhi kinerja tubuh melalui otak yang dirangsang oleh sikap agresivitas. Saat keadaan marah terjadi
peningkatan
adrenalin
yang
menyebabkan
peningkatan kesadaran dan kewaspadaan. Respon yang diberikan tubuh akan lebih cepat, dan pergerakan tubuh juga lebih cepat, seperti berjalan, berbicara, dan mengambil keputusan. Penelitian di Hotchkiss Brain Institute di Calgary mengemukakan, salah satu cara pengaruh dari marah terhadap otak adalah mengurangi neuron di hipotalamus sebagai pengendali terhadap respon stres. Saat marah, otototot akan menegang, aliran darah lebih cepat, pernapasan lenih cepat, peningkatan denyut jantung, ekskresi keringat, dan sebagainya (Wigati, 2013). Kontrol Masalah
atau
pengelolaan
kekerasan
marah
merupakan
sangat
masalah
penting.
bersama
di
masyarakat, yang pada mulanya merupakan keterbatasan individu
dalam
mengontrol
kemarahan.
Pengaturankemarahanterdiridariinteraksi kognitif, afektif, dan prosesrelasionalyang manusiadapat
berpengaruh
membangunmakna
terhadapbagaimana katarelasi
(Murphy,
Nimmo-Smith, & Lawrence, 2003). Pengendalian marah, selain genetik, dapat dipengaruhi oleh adanya trauma, depresi, adanya kontak sosial yang kurang
baik
seperti
masalah
keluarga,
isolasi
sosial,
kehilangan pekerjaan, dan sebagainya (Hart, Ann, Fann, Maiuro, & Vaccaro, 2014).
64
Pengukuran marah dapat dilakukan dengan: 1) StateTrait Anger Expression Inventory (STAXI-2), yaitu kuesioner yang berisi 57-item yang menilai sifat marah; 2) Skala Anger Control-Out
(AC-O),
yang
mengukurseberapa
seringseseorangmengontrolekspresidarikemarahan
mereka;
3) BriefAnger-Aggression Questionnaire (BAAQ) (Alia-klein et al., 2009; Deffenbacher, 2010). 1. Waktu yang tepat untuk marah Aspek asertivitas memegang peranan penting dalam hal marah. Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengungkapkan pikirkan, perasaan, dan keinginan kepada orang
lain
secara
langsung,
dilakukan
dengan
jujur,
terbuka, mengekspresikannya dengan tegas, bebas, dan tetap menghargai orang lain. Pengungkapan emosi marah merupakan upaya mengkomunikasikan status perasaan ketika dalam kondisi marah, mengungkapkan kepada orang lain dan menentukan bagaimana pereasaan orang lain (Falentina, 2012). Orang yang cerdas emosinya adalah orang yang mampu mengelola emosinya dalam posisi seimbang dengan pikirannya, ia mampu mempertimbangkan secara cermat untung ruginya sebelum berbuat sesuatu. Aristoteles, dalam The Nicomacean Ethies, memberi pelajaran bahwa “orang menjadi marah itu mudah, tetapi marah dengan orang lain yang tepat, waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, maksud yang jelas itulah yang sangat sulit”. Berbagai layanan konseling seperti yang sudah diselenggarakan di sekolah, dimaksudkan agar para siswa mampu mengatasi masalah yang dihadapinya secara mandiri, terutama masalah emosinya sendiri, baik yang bersifat pribadi maupun dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menentukan waktu yang tepat
65
untuk marah ini kita harus senantiasa mengasah diri dan meningkatkan kepekaan. 2. Manfaat marah Otak merupakan pusat kontrol untuk tubuh kita (Addotta, 2006). Kemarahan berasal dari bagian dari tubuh kita dikenal sebagai amigdala. Dalam
jurnal
tersebut dijelaskan bagaimana kemarahan berdampak
terhadap tubuh. Rata-rata detak jantung seseorang adalah 80 kali permenit. Namun, marah dapat meningkatkan detak jantung sampai 180 kali
permenit.
Kemarahan
juga
memberikan
dampak
terhadap
peningkatan tekanan darah dari 120/80 mmHg meningkat menjadi 220/130 mmHg atau bahkan lebih tinggi dari itu. Sejumlah
penelitian
telah
dilakukan
bagaimana
kemarahan
mempengaruhi fisiologis dan psikologis. Studi ini mengungkapkan bahwa sebelum kemarahan mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, ia mempengaruhi otak kita terlebih dahulu. Otak adalah sistem alarm internal. Sinyal ini dikirimkan ke seluruh tubuh kita saat kita bahagia, sedih, marah, sakit, dan lain-lain. Sistem alarm di dalam otak kita memicu
pelepasan
adrenalin
yang
menyebabkan
kita
untuk
meningkatkan kesadaran dan cepat tanggap. Hal ini menyebabkan glukosa menyembur melalui aliran darah dan
otot memberikan kemampuan
berjalan
lebih
cepat,
untuk
merespon
lebih
cepat,
dan membuat keputusan lebih cepat. Otak
memproses semua stres emosional. Ketika indera mengenali adanya ancaman atau bahaya, jutaan serabut saraf di dalam otak kita melepaskan bahan kimia ke seluruh tubuh untuk setiap organ. Ketika seseorang
mengalami
adrenalin
dan
sistem
kemarahan kelenjar
otak lain
memerintahkan dalam
tubuh
kelenjar untuk
mensekresi/melepaskan hormon stres, adrenalin dan noradrenalin. Hormon ini membantu tubuh mengontrol detak jantung dan tekanan
66
darah. Pelepasan bahan kimia ini juga membantu mengatur pankreas yang mengontrol keseimbangan gula dalam darah (Boerma, 2007). Marah
adalah
suatu
pola
perilaku
yang
dirancang
untuk
mengingatkan pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Kontak fisik jarang terjadi tanpa ekspresi kemarahan paling tidak oleh salah seorang partisipan (Morris, 1967: 55). Meskipun sebagian besar pelaku menjelaskan bahwa rasa marah timbul karena "apa yang telah terjadi pada mereka", ahli psikologi menunjukkan bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian diri dan penilaian objektif (Raymond, 2000). G. Anger Management Setiap orang pernah merasakan marah karena marah itu adalah reaksi yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin
akan
kebutuhan,
marah
keinginan
ketika dan
sedang tujuannya
frustrasi tidak
karena tercapai.
Adakalanya seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya merasa terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang wajar. Akan tetapi marah harus dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Seseorang yang mengekspresikan marah akan berada dalam dua kemungkinan yakni depresi atau agresi. Depresi apabila orang tersebut memilih untuk menyimpan atau memendam marahnya. Ini berbahaya karena bisa saja marahnya akan menjadi “bom waktu” pada suatu saat. Namun
ketika
orang
tersebut
memilih
untuk
mengekspresikan atau meluapkan marahnya maka akan mengarah pada agresi. Agresi yang tidak terkendali juga akan membahayakan orang lain maupun lingkungannya. Adapun sikap yang paling baik adalah berada di antara depresi dan 67
agresi yakni orang bisa mengendalikan marahnya tanpa harus menimbulkan kerusakan pada diri, orang lain dan lingkungannya. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif Anger management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari ekspresi marah yang tidak sesuai. Secara ekstrim, marah memungkinkan sekali dapat mengarah pada kekerasan atau agresivitas secara fisik. Akibatnya yang terjadi setelah itu, seseorang bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002). Terapi kelompok berbasis cognitive-behavior menjadi sangat efektif untuk mengatasi gangguan ekspresi marah, karena dalam terapi ini anggota kelompok mempelajari strategi dan teknik untuk membantu mengatur kemarahan, mengekspresikan marah dengan jalan alternatif, mengubah sikap permusuhan, dan mencegah perilaku agresi seperti makian verbal dan kekerasan (Reilly & Shopshire, 2002). Tujuan-tujuan tersebut dilakukan dengan mengubah pemikiran (cognition) mengenai marah dan juga mempelajari perilaku (behavior) yang baru untuk mengekspresikan marah. Penanganancognitive behavior therapy (CBT) telah ditemukan sebagai tretmen yang efektif, sebagai treatmen yang dibatasi waktu (timelimited treatment) untuk mengatasi masalah marah (Beck & Fernandes; Deffenbacher; Trafate dalam Reilly & Shopshire, 2002). Teori belajar sosial sering kali digunakan sebagai dasar penyusunan manual terapi kelompok berbasis CBT untuk mengatasi masalah dengan kemarahan atau anger management (Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002). Dalam terapi kelompok, remaja juga diberi kesempatan untuk bertanya tentang nilai- nilai yang mereka pahami sehingga jika tidak sesuai dengan teman-temannya dapat di ubah dengan pemahaman yang benar akan nilai. Partisipan mampu belajar berkomunikasi dengan daik dan mendapat
68
kesempatan untuk meniru perilaku leader sebagai model (Correy, 2012). Terapi kelompok juga efektif dikarenakan dalam terapi ini anggotanya mempunyai masalah yang sama sehingga dapat saling mendukung (Nevid, Rathus, Greene, 2005). Terapi ini mencakup beberapa karakteristik diantaranya, (1) Intervensi relaksasi, targetnya yaitu komponen emosi dan fisiologi dari marah, (2) Intervensi kognitif, targetnya yaitu proses kognitif seperti pandangan mengenai permusuhan dan atribusi, keyakinan yang irasional(irrational beliefs), dan pemikiran yang menghasut, (3) Intervensi keterampilan komunikaasi, targetnya yaitu mengurangi keasesrtivitasan dan keterampilan
resolusi
konflik,
(4)
Intervensi
kombinasi,
yaitu
menggabungkan dua atau lebih intervensi CBT dengan target respon yang bermacam (Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002). 1. Teori Coping Management Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses kesenjangan
dimana
persepsi
individu
mencoba
untuk
mengatur
antara tuntutan situasi yang menekan dengan
kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping didefenisikan digunakan untuk
sebagai
pikiran
dan
perilaku yang
mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari
situasi yang menekan. Menurut Baron & Byrne (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa
yang dirasakan
dan
dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Menurut Stone & Neale (dalam Taylor, 2009)) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan cara menghadapi stres dan bereaksi terhadap tekanan yang berfungsi untuk mencoba memecahkan masalah dengan mengatur keadaan penuh stres secara dimanis dengan
69
menggunakan sumber- sumber daya mereka sebagai respon menghadapi situasi yang mengancam. (Prayascitta, 2010) a. Strategi Coping Menurut MacArthur
&
MacArthur
(1999) mendefinisikan
strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lebih lanjut, strategi coping merupakan upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dihasilkan dari sumber stres. Dodds (1993) mengemukakan bahwa pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya. Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan sumbersumber lingkungan seperti dukungan sosial dan
keluarga atau
sumber finansial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (1998) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman. b. Bentuk-Bentuk dan Indikator dari Coping Stress 1) Problem Focus Coping Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku individu untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah
kesulitan
hubungan
dengan
lingkungan
yang
memerlukan adaptasi atau dapat disebut pula perubahan eksternal (Lazarus dalam Effendi, 1999). Strategi ini membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan pengetahuan individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampakdampak dari masalah tersebut, sehingga individu mengetahui masalah
dan
konsekuensi
yang
dihadapinya.
Problem focus coping merupakan respon yang berusaha 70
memodifikasi
sumber
stres
dengan
menghadapi
situasi
sebenarnya (Pramadi, 2003). Problemfocus coping merupakan coping stress yang orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-kererampilan baru dalam rangka mengurangi stresor yang dihadapi dan dirasakan. Lebih lanjut menurut Lazarus (dalam Hapsari, 2002) coping stress yang berpusat pada masalah, individu mengatasi stres dengan mempelajari cara- cara atau keterampilan-keterampilan baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Menurut Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada problem focus coping yaitu: a. Instrumental action (tindakan secara langsung). Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya. b. Cautiousness (kehati-hatian). Individu berfikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah diterapkan sebelumnya. c. Negotiation Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta mencari cara penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di dalamnya dengan harapan masalah dapat terselesaikan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat seseorang, melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu yang positif dari situasi. Bentuk-bentuk problem focus coping menurut Lazarus (dalam Effendi, 1999) yaitu preparing focus coping, agression or attack, avoidance, dan apathy orinaction.
71
Lebih lanjut menurut Aldwin dan Revenson (1987) problem focuscoping meliputi tindakan instrumental yaitu tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun rencana-rencana yang dilakukan. Sedangkan negosiasi yaitu usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya. Indikatorindikator problem focus coping yang peneliti gunakan adalah dari Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) yaitu instrumental action,cautiousness, negotiation. 2) Emotion focus coping Emotion focus coping adalah upaya untuk mencari dan memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan, yang diarahkan untuk mengubah faktor dalam diri sendiri dalam cara memandang atau mengartikan situasi lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut pula perubahan internal. Emotion focus coping berusaha untuk mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban pikiran individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya (Lazarus dalam Effendi, 1999). Emotion focus coping lebih sesuai dilakukan oleh subjek yang memiliki usia berkisar antara 17 sampai 20 tahun karena mereka belum mencapai tahap perkembangan yang matang untuk bisa menggunakan problem focus coping (Tanumidjojo, 2004). Menurut Pramadi (2003) Emotion focus coping merupakan respon yang mengendalikan penyebab stressyang berhubungan dengan emosi dan usaha memelihara keseimbangan yang efektif. Perilaku koping yang berpusat pada emosi yang digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Sementara emotion focus coping menurut Hapsari (2002) merupakan pelarian dari masalah yaitu individu menghindari masalah dengan cara berkhayal atau membayangkan
seandainyadia
berada
pada
situasi
yang
menyenangkan.
72
Menurut Lazarus dkk (dalam Aldwin dan Revenson 1987) indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada emotion focus coping yaitu: a. Escapism (Pelarian diri dari masalah). Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan cara berkhayal atau membayangkan hasil yang akan terjadi atau mengkhayalkan seandainya ia berada dalam situasi yang lebih baik dari situasi yang
dialaminya
sekarang.
Cara
yang
dilakukan
untuk
menghindari masalah dengan tidur lebih banyak, minum minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan menolak kehadiran orang lain. b. Minimalization (meringankan beban masalah). Usaha yang dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan cara menolak memikirkan masalah dan menganggap seakan-akan masalah tersebut tidak ada dan menekan masalah menjadi seringan mungkin. c. Self blame (menyalahkan diri sendiri). Perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif dan intropunitif yang ditujukan ke dalam diri sendiri. d. Seeking meaning (mencari arti). Usaha individu untuk mencari makna atau mencari hikmah dari kegagalan yang dialami dan melihat hal- hal lain yang penting dalam kehidupan. Bentuk-bentuk Emotion focus coping oleh Lazarus (dalam Effendi, 1999) yaitu, identifikasi,
represi,
denial,
proyeksi,
reaksi
formasi,
displacement, rasionalisasi. Carver (dalam Hapsari, 2002) membagi aspek-aspek coping stress menjadi empat pertama keaktifan diri yaitu suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stress atau memperbaiki akibatnya dengan cara bertindak langsung, religiusitas yaitu sikap individu untuk menenangkan dan menyelesaikan masalah-masalah secara keagamaan. 73
Lebih lanjut Ebata (dalam Herdiansyah, 2007) menjelaskan macam-macam strategi coping stress, yaitu strategi mendekat (approach strategy) adalah suatu usaha atau cara kognitif untuk memahami sumber penyebab kecemasan dan berusaha untuk menghadapi masalah penyebab kecemasan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung dan strategi menghindar (avoidance strategy) adalah meminimalisasi sumber penyebab, kemudian memunculkan usaha dalam bentuk tingkah laku untuk menarik atau menghindarkan diri dari sumber penyebab tersebut. Indikator-indikator emotion focus coping yang peneliti gunakan adalah dari Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) adalah escapism,minimalization, self blame, dan seeking meaning. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Coping Stress 1) Jenis Kelamin Laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan kedua bentuk koping yaitu problem focus coping dan emotion focus coping. Menurut Billings dan Moos (dalam Pramadi, 2003), wanita lebih cenderung berorientasi pada emosi sedangkan pria lebih berorientasi pada masalah. Secara umum respon coping stress antara pria dan wanita hampir sama, tetapi wanita lebih lemah atau lebih sering menggunakan penyaluran emosi daripada pria (Hapsari, 2002). 2) Tingkat Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan seesorang akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih realistis dan aktif dalam memecahkan masalah. 3) Perkembangan Usia Struktur psikologis seseorang dan sumber-sumber untuk melakukan coping akan berubah menurut perkembangan usia dan akan membedakan seseorang dalam merespons tekanan. 74
Menurut Garmezy (dalam Hapsari, 2002) coping stress akan berbeda untuk setiap tingkat usia. Pada usia muda akan menggunakan problem focus coping sedangkan pada usia yang lebih tua akan menggunakan emotion focus coping. Hal ini disebabkan pada orang yang lebih tua memiliki anggapan bahwa dirinya tidak mampu melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi sehingga akan bereaksi dengan mengatur emosinya daripada pemecahan masalah. 4) Status Sosial Ekonomi Seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan menampilkan koping yang kurang aktif, kurang realistis, dan lebih fatal atau menampilkan respon menolak, dibandingkan dengan seseorang yang status ekonominya lebih tinggi. Menurut Tanumidjojo
(2004)
copingstress
antara
bagaimana
subjek
faktor-faktor lain berpikir
yang
perkembangan dan
mempengaruhi kognitif,
memahami
yaitu
kondisinya,
kemudian kematangan usia yaitu bagaimana subjek mengelola emosi, pikiran, dan perilakunya saat menghadapi masalah. Hal lainnya adalah urutan kelahiran yaitu posisi subjek diantara saudara-saudaranya yang berpengaruh terhadap karakteristik subjek dalam menilai dirinya sendiri, serta moral yaitu bagaimana subjek memandang aturan tentang masalah yang sedang dihadapi, Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan, perkembangan usia, konteks lingkungan dan sumber individual serta status sosial ekonomi. Sementara faktor-faktor lain yang mempengaruhi coping stress adalah perkembangan kognitif, kematangan usia, urutan kelahiran, moral, pola asuh orang tua, peran orang tua, habit, religi, nilai dan pemahaman subjek tentang masalah yang dihadapi.
75
2. Manajemen marah Pengendalian emosi marah (Anger management) adalah suatu tindakan yang mengatur pikiran, perasaan, nafsu marah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk terjadi baik pada diri sendiri maupun orang lain. Seseorang tidak bisa melepaskan atau menghindari sesuatu atau orang lain yang membuat mereka marah, juga tidak bisa mengubahnya, tapi seseorang tersebut dapat belajar untuk mengontrol reaksi yang akan diberikan terhadap hal-hal tersebut (Holloway, 2003). Menurut American Psychological Association (Bast, 2011) ada beberapa cara untuk mengendalikan emosi marah pada saat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan, yaitu: a. Relaksasi Melakukan relaksasi sederhana, bernafas dengan dalam namun santai, dapat membantu menenangkan perasaan marah. Melakukan relaksasi ini dapat dilakukan dengan menarik nafas dalam-dalam dari diafragma, bayangkan nafas datang dari dalam diri. Perlahan-lahan ulangi kata atau frase menenangkan seperti, "santai" atau "tenang saja", terus ulangi sambil mengambil nafas yang dalam. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara memvisualisasikan pengalaman santai dari memori atau imajinasi, yoga dan kegiatan serupa juga dapat
mengendurkan
otot
dan
menenangkan
diri.
Dengan
mempraktekkan teknik tersebut sehari-hari maka jika kita berada dalam situasi tegang atau marah kita juga dapat menggunakan teknik ini. Berikut ini adalah macam-macam teknik relaksasi menurut Miltenberger (2004), yaitu, Relaksasi otot progresif (Progressive muscle relaxation), Pernafasan (Diaphragmatic Breathing), Meditasi (Attention-focusing Exercises), Relaksasi Perilaku (Behavioral relaxation Training). b. Cognitive Restructuring
76
Sederhananya, cognitive restructuring berarti mengubah cara berpikir. Bila sedang marah, pikiran bisa terlalu dramatis. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, seseorang mungkin mengatakan pada dirinya, "Semuanya hancur!", dengan cognitive restructuring, seseorang dapat mengganti pikiran-pikiran negatif dengan yang lebih masuk akal atau positif. Mungkin seseorang dapat mengatakan kepada diri sendiri sebagai gantinya, "Ini membuat frustrasi, tapi itu bukan akhir dari dunia.". Salah satu strategi untuk melakukan cognitive restructuring adalah dengan menghindari kata-kata seperti "tidak pernah" atau "selalu" ketika berbicara tentang diri sendiri atau orang lain. c. Problem Solving Kadang-kadang kemarahan dan frustrasi adalah hasil dari masalah yang sangat nyata dan tak terhindarkan dalam hidup kita. Kemarahan dapat menjadi respon, sehat dan alami dari kesulitan ini. Beberapa orang memiliki keyakinan budaya bahwa setiap masalah ada solusinya. Keyakinan yang menambah frustrasi mereka ketika mereka tahu bahwa hal ini tidak selalu benar. Jika tidak dapat menemukan solusi, fokus pada bagaimana menangani dan menghadapi masalah dengan membuat rencana dan memeriksa kemajuan sepanjang jalan menggunakan panduan untuk manajemen pengorganisasian atau waktu jika diperlukan. Berikan yang terbaik, tapi tidak menghukum diri sendiri jika tidak menemukan jawaban dengan segera akan membantu menemukan solusi. d. Komunikasi yang lebih baik Orang yang marah cenderung untuk menarik kesimpulan yang terlalu megada-ada. Jika seseorang berada dalam diskusi panas, hal yang tepat adalah mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan orang lain, kemudian mengambil waktu sebelum menjawab. Selain itu dengan tidak langsung mengatakan hal pertama yang ada dalam pikiran juga harus dilakukan. Menurut Uripni, dkk (2003), ada dua
77
jenis
komunikasi,
yaitu
komunikasi
verbal
dan
nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai alat sehingga komunikasi verbal ini sama artinya dengan komunikasi kebahasaan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang tidak meggunakan bahasa lisan maupun tulisan, tetapi menggunakan bahasa kial, bahasa gambar, dan bahasa tubuh. e. Humor Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat orang tertawa. Dalam Ensiklopedia Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Setiawan (Rahmanadji, 2007), humor itu kualitas untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan, paduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik. Humor dibagi menjadi dua macam, yaitu humor verbal dan humor konseptual. Humor verbal adalah humor yang memakai aspek bahasa, baik secara lisan maupun tulisan untuk memberikan efek lucu terhadap sesuatu. Sedangkan humor konseptual adalah humor yang melibatkan konsep atau ide yang dianggap
lucu
tanpa
menggunakan
aspek
bahasa
untuk
menyampaikan kesan lucu (Jensen,2009). Ada beberapa terapi yang dapat digunakan sebagai salah satu teknik mengelola emosi seseorang, yaitu: a. Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang bertujuan mengubah suasana hati (mood) dan perilaku dengan mempengaruhi pola berpikirnya. Bentuk dari terapi kognitif berupa catatan harian pemikiran disfungsional. Pada dasarnya terapi kognitif bertujuan untuk: 1) Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.
78
2) Mengenali dan memonitor distorsi-distorsi kognitif yang muncul dalam suatu peristiwa atau kejadian. Kemudian berusaha mencari kebenarannya, yaitu dengan cara mencari hubungan antara kognisi dan afeksi. 3) Mengubah cara berpikir dalam
menginterpretasi
dan
mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat. Distorsi kognitif bersifat otomatis dan tidak disadari, maka dalam terapi kognitif seseorang diajak untuk mengevaluasi kembali
cara
berpikirnya
dalam
menginterpretasi
dan
mengevaluasi suatu kejadian. Jadi seseorang dilatih untuk mengenali dan menguji apakah cara berpikirnya terhadap suatu kejadian benar dan realistis. Ada beberapa bentuk distorsi kognitif yang biasanya dialami oleh individu, yaitu: 4) Over generalization (terlalu menggeneralisasi) Mengambil kesimpulan umum dari satu atau sedikit kejadian. Kesimpulan ini kemudian diterapkan secara luas pada kondisi yang sama atau tidak sama. Contoh: seorang suami yang memanggil istrinya untuk membawakan obat dari lantai bawah ke lantai atas tetapi tidak dijawab. Lalu ia mengambil kesimpulan bahwa istrinya tidak mempedulikan dia lagi. 5) Pembesaran (magnification) Melebih-lebihkan arti atau pentingnya sesuatu hal. Biasanya terjadi bila melihat kesalahan diri sendiri atau kesalahan orang lain. Contoh: suatu kali ada seseorang yang melupakan janjinya, lalu temannya menganggap bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan besar yang tidak dapat dimaafkan. 6) In Exact Labeling (memberi cap secara keliru) Memberi cap pribadi atau menciptakan suatu gambaran diri yang negatif dan didasarkan pada kesalahan diri sendiri. Ini merupakan suatu bentuk ekstrem dari overgeneralisasi. Pernyataan Harus Mencoba menggerakkan diri sendiri atau orang lain dengan pernyataan “harus” serta “seharusnya tidak”, seolah-olah diri sendiri atau orang lain harus bertindak sesuai daftar aturan yang tidak fleksibel. 79
b. Assertivity Asertivitas adalah perilaku interpersonal yang mengandung pengungkapan pikiran dan perasaan secara jujur dan relatif langsung yang dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Seseorang dapat dikatakan berperilaku asertif jika ia mempertahankan dirinya sendiri, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, dan tidak membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari dirinya. Pada saat yang bersamaan, ia juga
mempertimbangkan
bagaimana
perasaan
orang
lain.
Keuntungan berperilaku asertif, yaitu mendapatkan apa yang diinginkan dan biasanya tanpa membuat orang lain marah.
BAB III PENUTUP A. SIMPULAN 1. Marah adalah emosi yang ditandai dengan antagonisme terhadap seseorang atau sesuatu yang dirasakan telah sengaja melakukan kesalahan.
80
2. Fakta sains dan medis menunjukkan bahwa neurotransmitter otak, yaitu serotonin berperan dalam regulasi marah dan agresi. 3. Produk gen Monoamine Oxidase A (MAOA) dipercaya berperan
dalam
mengatur
metabolismeenzimatikneurotransmitterserotonin, dopamin, dan
norepinephrine,
sehingga
memodulasiregulasi
emosidanfungsi otaksecara umum. 4. Pengaruh genotip MAOA yang rendah dapat menjadi faktor resiko agresivitas.
81
DAFTAR PUSTAKA A.J Dunn. 2005. Interaction Between The Nervous System and Immune System In Psychoneuroimmunology. New York: Raven Press. hh.31,719-721. Addotta, K (2006). Anger!www.kipaddotta.com/mental-health/anger.html diakses pada Oktober 2015 Ader R (2000). On the development of psychoimmunoneurology. Eur Journal of Pharmacol, 405 Alia-Klein N, Goldstein RZ, Tomasi D, Zhang L, Fagin-Jones S, Telang F, et al. What is in a word? No versus Yes differentially engage the lateral orbitofrontal cortex. Emotion 2007;7:649–659. [PubMed: 17683220] Alia-klein, N., Goldstein, R. Z., Tomasi, D., Woicik, P. A., Moeller, S. J., Williams, B., Volkow, N. D., et al. (2009). Neural Mechanisms of Anger Regulation as a Function of Genetic Risk for Violence. National Instituites of Health, 9(3), 385–396. doi:10.1037/a0015904.Neural Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian (edisi revisi). Malang: UMM Press.Feist, J. Artini, N. P. J., dkk, 2013, Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa, e-Journal Program Pascasarjana : Universitas Pendidikan Ganesha Aron AR, Robbins TW, Poldrack RA. 2004. Inhibition and the right inferior frontal cortex. Trends Cogn Sci 8:170-177. Bast, Mary R. (2011). Controlling Anger - Before It Controls You (On-Line). Diambil dari http://www.apa.org. Berk, L. (2003). Child Development. Berlin: Pearson Education, Inc. Bhave, Swati. Y., & Saini, Sunil. (2009). Anger Management. New Delhi: SAGE publications India Pvt Ltd. 82
Blake, Christie S., & Hamrin, Vanya. (2007).
Current Approaches to the
Assessment and Management of Anger and Aggression in Youth: A Review.Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing; Nov; 20, 4; Proquest pg 209. Bodenmann, G., Meuwly, N., & Bradbury, T. N. (2010). Stress , anger , and verbal aggression in intimate relationships : Moderating effects of individual and dyadic coping. Journal of Social and Personal Relationships, 27(3), 408– 424. doi:10.1177/0265407510361616 Boerma, C (2007). Physiology of anger. http://healthmad.com/mentalhealth/physiology-of-anger/ diakses pada Oktober 2015 Boeree,
C.
George.
2008.
Personality
Theories:
Melacak
Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia. Jogjakarta: Prismasophie
Bucharest, P. (2010). Anger and health risk behaviors. Journal of Medicine and Life, 3(4), 372–375. Buckholtz JW, Meyer-Lindenberg A. MAOA and the neurogenetic architecture of human aggression. Trends Neurosci 2008;31(3):120–9. Cahill L, Haier RJ, Fallon J, Alkire MT, Tang C, Keator D, Wu J, McGaugh JL. 1996. Amygdala activity at encoding correlated with long-term, free recall of emotional information. Proc Natl Acad Sci U S A 93:8016-8021. Chaplin J.P. 1981. Kamus Lengkap PSIKOLOGI. Terjemah. Jakarta: Rajawali Press. Carr DB and Gaudas LC. 2009. Acute Pain. Lancet. Hh. 2052-2058.
83
Cases O, Seif I, Grimsby J, Gaspar P, Chen K, Pournin S, et al. Aggressive behavior and altered amounts of brain serotonin and norepinephrine in mice lacking MAOA. Science 1995;268(5218):1763–6. Cautin, Robin L., Overholser, James C. & Goetz Patricia. 2001. Assesment of Mode of Anger Expression In Adolescent Psychiatric Inpatients. Proquest Chester, D. S., Dewall, C. N., Derefinko, K. J., Estus, S., Peters, J. R., Lynam, D. R., & Jiang, Y. (2015). Monoamine oxidase A ( MAOA ) genotype predicts greater aggression through impulsive reactivity to negative affect. Behavioural Brain Research, 283(2015), 97–101. doi:10.1016/j.bbr.2015.01.034 Chrousos GP and Gold PW. 2002. The Concepts of Stress And Stress System Disorders. Overview of Physical And Behavioral Homeostasis. JAMA. 267. 1244-52. Cohen N, Kinney KS (2001). Exploring the phylogenetic history of neuralimmune system interaction. In psychoneuroimmunology 3rd ed, edited by Robert Ader, David LF, Nicholas Cohen, volume 1, pp: 21-54. Correy, Gerald. 2012. Theory and Practice of Group Counseling Eighth Edition. Belmonth CA: Brooks/ Cole. David, Stephen F (2008). 21st Century Psychology: A Reference Handbook. United States of America:Sage Publication Ltd Deffenbacher, J. L. (2010). Cognitive-Behavioral Conceptualization and Treatment of Anger. Cognitive and Behavioral Practice, 18(2), 212–221. doi:10.1016/j.cbpra.2009.12.004 Denson TF, Dobson-Stone C, Ronay R, von Hippel W, Schira MM. A functional polymorphism of the MAOA gene is associated with neu- ral responses to induced anger control. J Cogn Neurosci 2014;26(7): 1418–27. Dodds, A. (1993). Rehabilitating blind and visually impaired people: A psychological approach.
84
Duffy, Joe. 2012. Managing Anger and Aggression : Practical Guidance for Schools. South Eastern Education and Library Board: Psychology/ Behavior Support Section. Eastwood JD, Smilek D, Merikle PM. 2001. Differential attentional guidance by unattended faces expressing positive and negative emotion. Percept Psychophys 63:1004-1013. Elenkov IJ, Iezzoni DG, Daly A, Harris AG, and Chrousos GP. 2005. Cytokine Dysregulation, Inflammation And Well being. Neuroimmunomodulation.12(5):255-69.
Fabiansson, E. C., Denson, T. F., Moulds, M. L., Grisham, J. R., & Schira, M. M. (2011). NeuroImage Don ’ t look back in anger : Neural correlates of reappraisal , analytical rumination , and angry rumination during recall of an anger-inducing autobiographical memory. NeuroImage, 59(2012), 2974– 2981. doi:10.1016/j.neuroimage.2011.09.078 Falentina, Febie Ola (2012) Asertivitas Terhadap Pengungkapan Emosi Marah Pada Remaja. Riau : UIN Suaka Fawzy IF. 2005. Behavior and Immunity. In Comprehensive Texbooks of Psychiatry VI, Baltimore Tokyo: William and Wilkins. Feist, J. & Feist, G. (2008). Theories of Personality (Edisi keenam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Friedman, M. Marilyn. (1998). Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Jakarta : EGC. Friedman, H. S. & Schuctack M. W. (2006). Kepribadian: Teori klasik dan riset modern (edisi ketiga). Jakarta: Erlangga. Goldstein M, Brendel G, Tuescher O, Pan H, Epstein J, Beutel M, Yang Y, Thomas K, Levy K, Silverman M, Clarkin J, Posner M, Kernberg O, Stern E, Silbersweig D. 2007. Neural substrates 85
of the interaction of emotional stimulus processing and motor inhibitory control: an emotional linguistic go/no-go fMRI study. Neuroimage 36:1026-1040. Goleman, Daniel. 2009. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Harrington, R. G. & Mcdermott, D. 1993. “A Model for the Interpretation of Hart, T., Ann, J., Fann, J. R., Maiuro, R. D., & Vaccaro, M. J. (2014). Anger selfmanagement in chronic traumatic brain injury : protocol for a psychoeducational treatment with a structurally equivalent control and an evaluation of treatment enactment. Contemporary Clinical Trials, 40(2015), 180–192. doi:10.1016/j.cct.2014.12.005 Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hendricks L, Bore S, Aslinia D, and Morriss G. 2013. The Effects of Anger on the Brain and Body. National Forum Journal Of Counseling And Addiction Volume 2 Ho, RCM, Neo, LF, Chua, ANC, Cheak, AAC, Mak, A. 2010. “Research on Psychoneuroimmunology: Does Stress Influence Immunity and Cause Coronary Artery Disease?” Ann Acad Med Singapore (39): 191-196.Lench, Heather C. (2004).
Anger Management: Diagnostic Differences and
Treatment Implications. Journal of Social and Clinical Psychology; Aug; 23, 4; Proquest pg. 512. Holloway, B. W. (2003). Stat Fact: the Clinical Pocket Reference For Nurses.F.A Philadelphia: Davis Company. Holloway, B. W. (2003). Stat Fact: the Clinical Pocket Reference For Nurses.F.A Philadelphia: Davis Company.
86
Jensen, K. E. (2009). Humor. Denmark: Modern World. Lench, Heather C. 2004. Anger Management: Diagnostic Differences And Treatment Implications. Journal Of Social And Clinical Psychology, Vol. 23, No. 4, Pp. 512-531 Leuner et al.(2010). Sexual Experience Promotes Adult Neurogenesis in the Hippocampus Despite an Initial Elevation in Stress Hormones. Plos One. London: Chapman & Hall.Dunbar Berthenya. (2004). Anger Management: A Holistic Approach. Journal of the American Psychiatric Nurses Association, Vol. 10, No.1. Luiz, Pessoa. 2009. Scholarpedia,cognition and emotion dalam http://www.scholarpedia.org/article/Cognition_and_emotion (diakses November 2015) MacArthur, J.D., and MacArthur, C.T. (1999). Coping Strategies. UCSF. (Online): http://www.macses.ucsf.edu/research/psychosocial/coping.php Miltenberger, R. G. (2004). Behavior modification principle and procedures. Wadsworth: USA. Morris, Desmond (1967). Primate Ethology. London: Weidenfeld & Nicolson Publishers. Murphy FC, Nimmo-Smith I, Lawrence AD. Functional neuroanatomy of emotions: A meta-analysis. Cognitive Affective Behavior Neuroscience 2003;3:207–233. Ochsner KN, Gross JJ. 2008. Cognitive emotion regulation. Curr Dir Psych Sci 17:153-158. Personality Assessments of Individuals with Visual Impairments”. The Journal of Rehabilitation, 59 (4).
87
Prayascitta, Putri. 2010. Hubungan Antara Coping Stress Dan Dukungan SosialDengan Motivasi Belajar Remaja Yang OrangtuanyaBercerai. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran UNS:2010 Price SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jilid II, 6thed. EGC: Jakarta. Rahmanadji, D. (2007). Sejarah, Teori, Jenis, Dan Fungsi Humor. Jurnal Bahasa Dan Seni Volume 35, Nomor 2: 213-221. Rahyono, F.X (2009) Kearifan Budaya Dalam Kata, Cetakan Pertama. Wedatama Widya Sastra: Jakarta. Raymond, W. Novaco (2000). Anger. Encyclopedia of Psychology. Oxford University Press. Reilly, P.M.; Shopshire, M.S.; Durazzo, T.C.; and Campbell, T.A. (2002). Anger Management for Substance Abuse and Mental Health Clients: Participant Workbook. Rockville, MD: Center for Substance Abuse Treatment. Reilly, Patrick M., & Shopshire, Michael S. (2002). Anger Management –for substanceabuse and mental health clients. USA: US. Department of Health and Human Services (DHHS). Riley, Patrick M. & Shopshire, Michael S. 2002. Anger Management for Substance Abuse and Mental Health Clients: A Cognitive Behavior Theraphy Manual. Washington: U.S. Department of Health and Human Service. Salkind, Neil J. (2004). An Introduction to Theories of Human Development. Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta: Erlangga. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development-Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Jakarta Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.
88
Sociology, (Online), 36 (141): 163-170, (http://www.search.proquest.com), diakses pada 10 November 2012. Sternberg, Robrt J. 2008. Psikologi Kognitif. Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suharnan, MS. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Citra. Suseno , Franz Magnis (1997) Javanese Ethics and World-View (The Javanese Idea Of The Good Life). Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears, D.O., (2009) . Psikologi Sosial (edisi ke dua belas). Jakarta :Kencana Prenada Media Group Thomas, Sandra P. (2001). Teaching Healthy Anger Management. Perspective in Psychiatric Care Vol.37, No.2, April-June; 37,2; Proquest pg. 41. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International Education and Publisher Timothy Schoenfeld dan Elizabeth Gould (2011). Stress, Stress Hormones, and Adult Neurogenesis. Exp Neurol, 233(1): 12–21. Tulogdi, A., Biro, L., Barsvari, B., Stankovic, M., Haller, J., & Toth, M. (2015). Neural mechanisms of predatory aggression in rats — Implications for abnormal intraspecific aggression. Behavioural Brain Research, 283(2015), 108–115. doi:10.1016/j.bbr.2015.01.030 Uripni, C. L., Sujianto, U., & Indrawati, T. (2003). Komunikasi Kebidanan. Buku Kedokteran EGC: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan RI. Wigati, Indah. 2013. Teori Kompensasi Marah dalam Perspektif Psikologi Islam. Ta’dib Vol. 28 No. 02. Palembang : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah
89
Wingenfield K, Wolf OT (2011). HPA Axis Alterations in Mental Disorders: Impact on Memory and its Relevance for Therapeutic Interventions. CNS Neuroscience and Therapeutics, 17: 714-22 Yingxu Wang.2007.On the Cognitive Processes of Human Perception
with
Emotions,
Motivations,
and
Attitudes.Journal of Cognitive Informatics and Natural Intelligence, University of Calgary, Canada
90