Referat Psikiatri Militer [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Agustus 2020



REFERAT PSIKIATRI MILITER



Disusun Oleh: Tri Utami Wahyuningsih N 111 19 048 Pembimbing Klinik dr. Soraya Tenri Uleng, M. Kes, Sp.KJ



BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RSU ANUTAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2020



1



BAB I PENDAHULUAN Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan individu secara menyeluruh. WHO mendefinisikan sehat sebagai keseluruhan sehat secara fisik, mental dan sosial. Sedangkan kesehatan jiwa militer adalah upaya-upaya kesehatan jiwa yang dilakukan di lingkungan militer. Terdapat perbedaan antara komunitas militer dengan masyarakat pada umumnya. Lingkungan militer memiliki dinamika yang tinggi dan tuntutan profesi yang berat sehingga kerap terjadi masalah kesehatan jiwa yang khas militer (Thong D, 2011). Riwayat Psikiatri Militer pada umumnya kita dapati dari perpustakaan Negara barat setelah Perang Dunia I dan II. Pada umumnya masalah yang disoroti adalah tentang “non effectiveness” para prajurit tempur di medan perang akibat gangguan/kelainan jiwa tanpa terdapat luka korban pertempuran. Hal ini perlu di utarakan, mengingat luka merupakan suatu peluang emas bagi korbannya untuk mengundurkan diri dari pertempuran tanpa kehilangan kehormatan sebagai prajurit tempur (Thong D, 2011). Dalam Perang Dunia I, didapatkan kasus-kasus prajurit yang sama sekali tidak terluka namun menunjukkan gejala ketakutan, keringat dingin, bahkan kadang-kadang dalam keadaan stupor akibat letusan-letusan meriam yang tidak henti-hentinya. Gangguan ini disebut sebagai Shell- Shock. Setiap kasus Shell Shock dikirim kebelakang jauh dari daerah pertempuran. Mereka yang dikirim kegaris belakang tidak dapat lagi kembali ke daerah pertempuran karena timbulnya secondary gain of illness atau keuntungan sekunder dari keadaan sakitnya (Thong D, 2011).



2



BAB II PEMBAHASAN 1.



Sejarah Psikiatri Militer Riwayat Psikiatri Militer pada umumnya kita dapati dari perpustakaan Negara barat setelah Perang Dunia I dan II. Pada umumnya masalah yang disoroti adalah tentang “non effectiveness” para prajurit tempur di medan perang akibat gangguan/kelainan jiwa tanpa terdapat luka korban pertempuran. Hal ini perlu di utarakan, mengingat luka merupakan suatu peluang emas bagi korbannya untuk mengundurkan diri dari pertempuran tanpa kehilangan kehormatan sebagai prajurit tempur (Thong D, 2011). Riwayat Psikiatri Militer pada umumnya kita dapati dari perpustakaan Negara barat setelah Perang Dunia I dan II. Pada umumnya masalah yang disoroti adalah tentang “non effectiveness” para prajurit tempur di medan perang akibat gangguan/kelainan jiwa tanpa terdapat luka korban pertempuran. Hal ini perlu di utarakan, mengingat luka merupakan suatu peluang emas bagi korbannya untuk mengundurkan diri dari pertempuran tanpa kehilangan kehormatan sebagai prajurit tempur (Thong, 2011). Sejarah kesehatan jiwa militer banyak bersumber pada Negara-negara Barat khususnya Inggris dan Amerika, karena mereka banyak menulis pengalaman-pengalaman mereka pada Perang Dunia I dan II. Di Amerika kasus gangguan jiwa pada militer sudah ditemukan pada perang saudara namun tidak sebagai gangguan jiwa, melainkan dimasukkan kedalam kondisi yang disebut ”Irritable Heart of Soldiers” atau Soldiers Hearts (da Costa syndrome) (Thong D, 2011). Dalam Perang Dunia I, didapatkan kasus-kasus prajurit yang sama sekali tidak terluka namun menunjukkan gejala ketakutan, keringat dingin, bahkan kadang-kadang dalam keadaan stupor akibat letusan-letusan meriam yang tidak henti-hentinya. Gangguan ini disebut sebagai ShellShock. Setiap kasus Shell Shock dikirim kebelakang jauh dari daerah 3



pertempuran. Mereka yang dikirim kegaris belakang tidak dapat lagi kembali ke daerah pertempuran karena timbulnya secondary gain of illness atau keuntungan sekunder dari keadaan sakitnya (Thong D, 2011). Pada Perang Dunia II, karena pengalaman dari PD I dan juga sifat pertempuran sendiri berlainan dengan PD I, kesehatan jiwa militer mengalami banyak perubahan: a. Kasus psikiatri tidak lagi langsung dikirim kegaris belakang melainkan ditangani sejauh mungkin didepan misalnya di Pos Long Yon dibawah desingan peluru. b. Ditempat ini prajurit dibiarkan istirahat dengan makan/minum yang hangat, disuruh mandi diberi pakaian dinas yang bersih namun diharuskan tetap memegang teguh disiplin, serta diharuskan untuk melakukan latihan-latihan ringan. c. Obat-obatan yang diberikan berupa obat sedatif ringan agar dapat tidur nyenyak, disamping dapat diberikan psikoterapi berupa dorongan agar dapat bertugas kembali (Thong D, 2011). Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan individu secara menyeluruh. WHO mendefinisikan sehat sebagai keseluruhan sehat secara fisik, mental dan sosial. Sedangkan kesehatan jiwa militer adalah upaya-upaya kesehatan jiwa yang dilakukan di lingkungan militer. Terdapat perbedaan antara komunitas militer dengan masyarakat pada umumnya. Lingkungan militer memiliki dinamika yang tinggi dan tuntutan profesi yang berat sehingga kerap terjadi masalah kesehatan jiwa yang khas militer (Thong D, 2011). Sebagai negara dengan angkatan bersenjata yang masih muda belia, tentu membutuhkan prajurit yang berkualitas baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini amat dipahami oleh Kusumanto. Maka sejak 1965, beliau aktif mendidik beberapa orang psikiater militer untuk bersama-sama mengembangkan psikiatri militer, seperti Prof. Dr, dr. Arrohman Prayitno, 4



SpKJ dari Angkatan Laut (AL) dan Prof. dr. Suharko Kasran, SpKJ dari Angkatan Darat (AD). "Prajurit yang terganggu jiwanya tidak akan mampu menjalankan fungsinya secara optimal," tutur Prof. Prayitno. Dr. Ketut Tirka Nandaka, SPKJ, yang bekerja di RSAL Dr. Ramelan Surabaya, dalam ulasannya yang berjudul 'Gangguan Jiwa Prajurit' menyebut bahwa gangguan jiwa di lingkungan militer umumnya didahului oleh adanya stressor psikososial, yang diikuti perubahan perilaku, pola pikir, cara berkomunikasi dan perubahan emosi. Gangguan jiwa pada prajurit umumnya timbul akibat keterkaitan dua hal penting yaitu faktor daya tahan mental dan faktor stressor. Artinya, seseorang tidak terganggu jiwanya walaupun terpapar stressor yang berat, bila daya tahan mentalnya kuat. Sebaliknya bila daya tahan mental seseorang rendah maka stressor yang ringan pun dapat menimbulkan gangguan jiwa (Thong D, 2011) Gangguan jiwa di lingkungan militer meliputi 7 kelompok yaitu: 1. Gangguan jiwa yang diakibatkan penyakit otak dan kondisi medik umum, misalnya: cedera otak, penyakit pembuluh darah otak, infeksi temasuk HIV/AIDS, malaria otak atau kondisi heat stroke/dehidrasi. 2. Penyalahgunaan NARKOBA/NAPZA terutama golongan amfetamin yang dapat menimbulkan gangguan paranoid. 3. Gangguan jiwa psikotik misalnya skizofrenia, reaksi psikotik akut. 4. Gangguan emosi misalnya depresi, bipolar, amok. 5. Gangguan neurotik, gangguan somatoform, gangguan panik, histeria, stres pasca trauma, fobia, "Dasmil Shock", " Barack Shock' (gangguan penyesuaian). 6. Gangguan-gangguan psikosomatik dan faktor fisiologik misalnya insomnia, disfungsi seksual, terror tidur (ketindihan) mimpi buruk (night mares), somnambulisme (tidur jalan). 7. Gangguan kepribadian dan perilaku misalnya antisosial, impulsif, judi patologis, mengutil (kleptomanía), homoseksual, pedofilia, sadisme. (Thong D, 2011) 5



Jenis gangguan jiwa di atas yang menimbulkan masalah kompleks di lingkungan militer adalah skizofrenia, yaitu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan yang fundamental dalam fungsi pikiran, perasaan, perilaku dan persepsi. Biasanya gangguan ini muncul setelah penugasan. Berbeda dengan gangguan jiwa reaksi psikotik akut maupun gangguan beradaptasi (Dasmil Shock/Barack Shock) yang timbul ketika DIKSARIT atau masa orientasi di kesatuan (Thong D, 2011). Gejala skizoftenia antara lain adanya waham paranoid, halusinasi pendengaran yang memerintah penderita melakukan sesuatu (hal ini paling berbahaya), emosi yang labil dan tidak serasi serta perilaku yang tidak wajar. kambuhan, tetapi dapat dikendalikan dengan obat dalam jangka waktu yang lama. Dalam perjalanan penyakitnya bisa timbul depresi berat sehingga cenderung muncul keinginan bunuh diri. Sebanyak 50% penderita skizofrenia cenderung mempunyai ide bunuh diri. Dari angka tersebut, 10% di antaranya berhasil melakukan bunuh diri dengan cara- cara yang tidak lazim (Thong D, 2011). Dampak gangguan jiwa ini sangat luas antara lain, rumah tangga kacau, hampir 100% bercerai, di lingkungan kedinasan sering menimbulkan masalah, perilaku di masyarakat yang sering menimbulkan konflik sehingga mencoreng institusi. Beberapa anggota militer yang menderita skizofrenia pernah dirawat di RSAL dr. Ramelan dengan masalah antara lain: Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), merusak fasilitas umum, dikeroyok massa, melawan atasan, membunuh istri, bunuh diri, mangkir/ desersi, melakukan hubungan seksual di luar perkawinan (Thong D, 2011). Yang menarik, paparan Ketut juga menyebut, pada 2007 tercatat sebanyak 188 orang anggota TNI-AL aktif di wilayah Indonesia Timur, 95 % berasal dari golongan bintara dan tamtama, menjalani perawatan karena gangguan jiwa. Dengan sendirinya anggota sebanyak itu tidak produktif lagi di militer (Thong D, 2011).



6



Ulasan dr. Ketut dibenarkan Prof. Dr. dr. H.A. Prayitno, SpKJ (K). Menurutnya, keberadaan psikiatri di kalangan militer memang dirasakan sudah mendesak. Tingginya stresor di kalangan militer, terutama para prajurit TNI AL kerap dialami oleh awak kapal perang dan kapal selam, pasukan marinir, penyelam, penerbang, pasukan katak dan pasukan khusus TNI AL. Menurut Prayitno, banyak terjadi kasus anggota militer yang mengalami gangguan jiwa dan kemudian melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya dan orang lain. Misalnya saja menembak atasan, melanggar disiplin, desersi dan masalah prilaku lainnya. Kenyataan tersebut menunjukkan betapa penting peran seorang psikiater dalam setiap medan pertempuran. TNI sendiri sudah menyertakan psikiater dalam setiap operasi militernya. Misalkan saja operasi tempur di Trikora, Dwikora, dan Timor Timur. Sejarah mencatat, dr. Amino Gondhokusumo, perwira yang juga psikiater (brevet 1959) ikut terlibat dalam penumpasan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, Dialah psikiater pertama yang terlibat langsung dalam lingkup militer. Psikiatri militer dirintis oleh Prof. Dr. dr. Sumantri Hardjoprakoso, sahabat Kusumanto. (Thong D, 2011) 2.



Teori Perkembangan dan Mekanisme Ego Strength Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah pentingnya bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat (Berk, 2003). Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson (Berk, 2003): -



Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun) Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi 7



kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya. -



Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impulsimpulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.



-



Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun) Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.



-



Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)



8



Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Keterampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior. -



Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun) Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak anak dianggap dewasa tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun sebaliknya.



-



Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun) Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi



dengan



orang



lain



secara



lebih



mendalam.



Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta. -



Tahap



VII: Generativity



versus



Stagnation (masa



dewasa



menengah, 30-65 tahun) Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, 9



juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu tidak sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti. -



Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas) Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase ini maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila mengalami



kegagalan



dalam



melewati



tahapan



ini



akan



menyebabkan munculnya rasa putus asa. Ego strength adalah kualitas yang ektif melekat membawa berbagai bentuk energi dan getaran pada orang selama kehidupan (Sadock, 2010). Ego strength ini mencerminkan inti dari jiwa dan akhirnya membangun komitmen yang solid menuju ideal, kepercayaan, orang lain yang signifikan dan masyarakat yang lebih luas (Sadock, 2009). Menurut prinsip epigenetik, menyatakan bahwa ego strength ada selama masa kehidupan, namun beberapa meningkat dalam hubungan untuk resolusi positif yang berhubungan dengan krisis psikososial, khususnya harapan dari dasar kepercayaan versus ketidakpercayaan (masa kanak-kanak), kepercayaan dari otonomi versus malu atau ragu (anak usia dini),tujuan dari inisiatif versus rasa bersalah (masa kanak awal), kompetensi dari industri versus rendah diri (masa kanak), kesetiaan dari fase identitas versus kebingungan identitas (masa remaja), cinta dari 10



keintiman versus isolasi (dewasa awal), perawatan pada fase generativitas versus stagnasi (dewasa), kebijaksanaan dari integritas versus putus asa (dewasa tua). Komponen hirarki Erikson juga sesuai dengan kemungkinan ego strength selanjutnya ditingkatkan melaluui resolusi positif dari krisis psikososial sebelumnya. Ego dibentuk menurut kebutuhan psikososial (Sadock, 2009; Schneider, 2005). Ego strength terdiri dari kemampuan untuk mengerti, mengartikan dan melakukan hubungan langsung, kontrol diri dan apa yang akan dilakukan, konsistensi, koheren dan harmoni, rekognisi dari potensi. Pada teori Erikson, terdapat delapan krisis perkembangan yang harus dinegosiasikan seseorang untuk perkembangan yang sehat dan ego yang kuat (Sadock, 2009). Catatan tentang suatu krisis menyiratkan bahwa perkembangan normal tidak berlangsung secara mulus, tetapi lebih cenderung menyatakan bahwa ego hanya dapat berkembang melalui pemecahan serangkaian konflik (Schneider, 2005). Meskipun terdapat beberapa titik pada siklus kehidupan di mana krisis tertentu akan menjadi lebih signifikan dibanding yang lain, semua krisis ada di sepanjang kehidupan seseorang (Sadock, 2009). Yang penting untuk Erikson, konflik-konflik ini ditentukan oleh masyarakat dan budaya tempat orang itu tinggal (Schneider, 2005). Namun sementara tantangan sosial ini bersamaan dengan aspek tertentu perkembangan psikologis, mereka lebih tepat dipahami sebagai konflik emosional (Schneider, 2005). Jika dinegosiasikan dengan baik, konflik akan menghasilkan pencapaian ego strength tertentu, yang dapat dipahami sebagai kualitas adaptif primer yang mengarahkan pada peningkatkan sensasi kekuatan internal dan koherensi dalam diri seseorang. Jika suatu krisis gagal dinegosiasikan, antipati ego strength tersebut akan terjadi, dan akan tidak produktif terhadap perkembangan. Namun, sementara tingkat antipati yang tinggi akan menghasilkan derajat ego strength yang lebih rendah, sejumlah antipati akan diperlukan untuk bertahan hidup, karena baik hal-hal positif 11



dan negatif secara bersamaan akan berkontribusi pada kapasitas adaptif seseorang (Sadock, 2009). Ego strength lebih berorientasi ke sifat feminin, misalnya care dan love, sementara will, purpose dan competence terkait dengan stereotipik karakteristik maskulin. Ego strength yang lebih tinggi berhubungan dengan konsolidasi ide yang lebih kuat, riset ini mengantisipasi bahwa kesepakatan yang lebih kuat untuk identitas gender yang lebih kuat berupa maskulin, feminin, dan androgen akan berhubungan dengan ego strength yang lebih tinggi. (Schneider, 2005) Dominansi merupakan salah satu nilai yang dibutuhkan agar berwibawa dalam tatap muka, mampu mempengaruhi orang lain, tidak mudah diintimidasi, merasa aman dan percaya diri. Pada dominansi ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Selain itu dominansi juga dipengaruhi oleh lingkungan dan pola asuh (Schneider, 2005). 3.



Prinsip Umum Pemberian Perawatan pada Psikiatri Militer Bencana, serangan teroris yang diatur, dan konflik militer menghancurkan harapanan dunia yang adil dan aman dalam populasi di mana gagasan seperti dasar keselamatan dan keadilan merupakan normanorma budaya. Karena kurangnya kesiapan emosional membuat kekacauan dan gangguan yang lebih mungkin setelah kejadian tersebut, pencegahan primer harus dimulai dengan pengakuan kebutuhan untuk penyebaran informasi yang cepat mengenai ancaman (misalnya, peringatan dini untuk tornado dan badai atau pelaporan serangan teroris diantisipasi yang diperoleh dari sumber-sumber intelijen yang handal), diikuti oleh perkembangan respon yang direncanakan, praktek respon itu, dan penyediaan dana dan fasilitas untuk mendukung rencana tersebut. Semua langkah-langkah ini mengurangi rasa ketidakberdayaan masyarakat sebelum peristiwa semacam itu terjadi dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memberikan dukungan sosial kepada para korban (Benedek, 2002). 12



Pencegahan sekunder (intervensi dini) dimulai dengan triase awal dan pengobatan para korban. Responden pertama, petugas perawatan medis, dan penyedia perawatan kesehatan jiwa harus siap untuk memberikan beberapa tingkat psikoedukasi dan mengurangi gejala-gejala untuk individu dengan disorganisasi (dan sering sementara) emosional atau perilaku akut atau gejala lainnya. Penciptaan lingkungan penahanan lokasi di mana gejala tersebut dapat diamati dan monitor – menjadi penting. Daerah ini harus cukup terpencil agar tidak mengganggu triase yang sedang berlangsung dan stabilisasi luka fisik yang mengancam jiwa, tetapi harus cukup dekat untuk memungkinkan evaluasi ulang dan intervensi medis lebih lanjut jika gejala memburuk. Sebuah lingkungan penahanan juga mungkin terbukti menjadi lokasi yang mempengaruhi individu untuk kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kebersihan pribadi, yang penting untuk memulihkan rasa normal setelah bencana atau peristiwa traumatik (Benedek, 2002). Awalnya, membangun lingkungan yang aman dan mengelola cedera fisik yang mengancam kehidupan dan kemungkinan penyakit yang segudang yang dihasilkan dari kekurangan makanan, air minum, atau infeksi merupakan intervensi psikiatri yang paling penting. Selanjutnya, mengidentifikasi populasi berisiko tinggi, seperti pekerja bencana, orang di zona dampak, anak-anak, dan sakit kronis, bisa fokus intervensi lebih lanjut. Strategi penjangkauan dan pendidikan masyarakat sangat penting, karena korban bencana dan trauma jarang mencari perawatan kesehatan jiwa. Hal ini penting untuk mendidik kelompok medis dan masyarakat tentang respon normal dan diprediksi akan peristiwa abnormal, serta kapan harus



merujuk



untuk



perawatan



kesehatan



jiwa



tambahan.



Menginformasikan masyarakat dan pemimpin pemerintahan tentang gejala sisa perilaku dan emosional yang terkait dengan bencana, memastikan alokasi dana dan sumber daya untuk fenomena ini dalam rencana pemulihan bencana (Bleich dkk, 2002). 13



Tanggung jawab untuk tindakan pencegahan dan pengenalan dini dan pengobatan konsekuensi psikologis bencana tidak terbatas pada psikiater yang tersedia. Dokter umum, psikolog, dan ilmuwan sosial lainnya harus menggunakan keterampilan mereka yang beragam untuk merawat para korban bencana dan perang. Mungkin perlu juga sekutu profesional terlatih untuk membuat diagnosis awal dan memberikan psikoedukasi awal dan konsultasi kepada rekan-rekan medis dan bedah dan responden pertama lainnya. Psikiater selalu mencurahkan perhatian pada orang-orang dengan presentasi awal yang lebih parah dan mereka yang mengembangkan kondisi yang lebih kronis meskipun diberikan intervensi pencegahan (Chamey, 2010). Di luar intervensi farmakologis, intervensi psikososial segudang telah digambarkan sebagai membantu untuk pencegahan PTSD atau tanggapan neurobehavioral bencana lainnya, sering, bagaimanapun, tanpa dukungan berbukti. Teknik pembekalan kelompok dan brifing stres insiden telah digunakan pasca penembakan di sekolah, bencana alam, dan kejadian teroris, meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa brifing tersebut mengurangi kejadian PTSD, dan setidaknya satu studi menunjukkan bahwa intervensi tersebut dapat berbahaya. Di sisi lain, untuk tim tanggap, diskusi yang sedang berlangsung dan kejujuran antara penyedia layanan dan responden



darurat



dapat



membuka



jalur



komunikasi



untuk



mengkoordinasikan dan mengevaluasi efektivitas respon dan untuk mendorong kohesi dan kelompok pemahaman tentang peristiwa yang sedang berlangsung. Hal ini dapat berfungsi untuk mempertahankan kinerja orang untuk pengelolaan bencana, untuk mengurangi isolasi individu, dan untuk



membantu



mengidentifikasi



anggota



tim



yang



mungkin



membutuhkan perhatian kesehatan jiwa lainnya. Sama seperti obat analgesik, pembekalan mungkin memiliki efek untuk menghilangkan rasa sakit, untuk mengembalikan fungsi, dan membatasi kecacatan tetapi tidak untuk mencegah penyakit atau gangguan. Pertemuan kelompok individu 14



dengan eksposur sangat berbeda mungkin benar-benar meningkatkan eksposur dan, oleh karena itu, meningkatkan gejala. Selanjutnya yang dirancang dengan baik, studi empiris yang diperlukan. Uji klinis menunjukkan bahwa psikoterapi kognitif-perilaku pendekatan kecemasan, penarikan sosial, simtomatologi depresi, dan hyperarousal dapat efektif. Uji klinis menunjukkan bahwa bahkan intervensi singkat dapat mengurangi gejala langsung depresi, kecemasan, dan PTSD dan dapat mengurangi perkembangan morbiditas jangka panjang. Karena sumber daya medis dapat dengan cepat kewalahan dalam situasi bencana berskala besar atau pertempuran, bukan dokter, asalkan terlatih dalam pemberian terapi ini, memungkinkan untuk pemberian perawatan yang lebih efektif. Pendekatan dan obat perawatan lainnya menjadi lebih penting karena gangguan kejiwaan menjadi lebih jelas dan lebih kronis dan mempengaruhi makna peristiwa kehidupan biasa untuk tiap korban (Chamey, 2010). 2.1 Pelayanan Kesehatan Jiwa Militer di Masa Damai Ketika tidak terlibat langsung dalam operasi tempur, perdamaian, atau bantuan kemanusiaan, praktek psikiatri militer, dalam banyak hal, mirip dengan praktek sipil kecuali fakta bahwa psikiater militer pergi bekerja di seragam militer. Departemen Pertahanan memiliki rumah sakit perawatan tersier di seluruh Amerika Serikat, Eropa, dan Asia, dan lembaga-lembaga ini semua memiliki psikiatri rawat jalan atau klinik kesehatan perilaku interdisipliner, atau keduanya, dan bangsal rawat inap bagi anggota militer sangat sakit jiwa, serta anggota keluarga mereka. Beberapa psikiater militer menerima pelatihan sarjana medis dan tinggal di lembaga sipil. Namun, Kongres AS pada tahun 1975 meresmikan Uniformed Services University of the Health Science (USUHS) untuk memberikan pendidikan kedokteran dan untuk memproduksi dokter untuk layanan militer. USUHS menyediakan program gelar dokter 4 tahun dan sejumlah program gelar sarjana di ilmu-ilmu dasar dan klinis. Pusat Studi 15



Stres Trauma USUHS melakukan penelitian dan konsultasi masyarakat, federal, dan lembaga internasional tentang hal-hal di sekitar respon individu dan masyarakat trauma, bencana, dan perang. Jepang, Inggris, dan Rusia adalah antara negara-negara dengan institusi yang mengajarkan kurikulum-militer khusus untuk penyedia layanan medis militer. Seperti di negara-negara lain, negara-negara ini juga meminta untuk dokter tugas nasional tidak secara khusus dilatih dalam institusi militer selama masa perang atau krisis (Cohen, 2009). Departemen Pertahanan memiliki program residensi di psikiatri di perawatan tersier Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Pusat Medis di Amerika Serikat. Lembaga ini diberi mandat oleh Kongres untuk menyediakan kurikulum militer unik untuk memastikan bahwa dokter dalam pelatihan akan mampu memberikan perawatan dalam pertempuran atau bencana lingkungan. Jenis pelatihan tidak selalu diberikan



dalam



program



sipil.



Program



pelatihan



militer



juga



memperkenalkan dokter dari aspek gaya hidup militer (misalnya, bergerak sering dan pemisahan dari keluarga, hidup dan bekerja di luar negeri, dan persyaratan untuk menjaga keamanan atas informasi rahasia) yang mempengaruhi anggota militer dan keluarga, bahkan ketika anggota layanan tidak digunakan (Cohen, 2009). Militer AS telah berusaha untuk mengurangi insiden dan keparahan tempur dan operasional yang menyebebkan gangguan kejiwaan melalui sejumlah mekanisme. Tim kesehatan jiwa sekarang secara rutin ditugaskan untuk pasukan AS dalam pertempuran dan dikerahkan dalam operasi selain perang. Setiap cabang layanan militer AS memiliki spesialisasi tim intervensi cepat untuk memberikan bantuan konsultasi dan pengobatan akut yang diperlukan untuk unit yang telah mengalami peristiwa traumatis. Timtim ini mendidik komandan satuan di respon perilaku akan kemungkinan peristiwa stres dan merekomendasikan intervensi kepemimpinan yang dapat mengurangi respon stres negatif. Unit kesehatan jiwa militer telah 16



dikerahkan bersama dengan pasukan penjaga perdamaian ke Balkan dan Kosovo dan setelah serangan teroris pada Pentagon dan World Trade Center. Meskipun brifing telah ditawarkan kepada unit terkena yang meminta intervensi tersebut, semakin, focus di psikoedukasi, psikologis pertolongan pertama, dan teman perawatan. Selain itu, melalui yang terlihat, perhatian telah difokuskan pada peningkatan akses untuk merawat orang-orang yang mungkin tidak meminta bantuan dan destigmatisasi dari mereka yang mencari bantuan kesehatan mental. Pimpinan militer telah sangat mendukung peningkatan penggunaan unit-unit ini dalam upaya tidak hanya untuk membangun akses langsung ke perawatan, tetapi juga untuk mempelajari efektivitas potensi intervensi dalam mengurangi kejadian fenomena seperti sindrom Perang Teluk lainnya kyang urang jelas dan tidak konsisten menunjukkan kelompok gejala yang mungkin terkait dengan respon psikologis untuk perang. Tim ini juga telah memberikan konsultasi dan intervensi dalam upaya bantuan kemanusiaan militer setelah angin topan, banjir, dan bencana alam lainnya di Amerika Serikat dan luar negeri (Galea, 2008). Berbagai jenis misi, pola penyebaran, dan sistem pendukung medis di antara berbagai cabang militer AS menimbulkan kesulitan besar untuk pengembangan pendekatan triservice terpadu untuk pengelolaan stres operasional. Tentara biasanya menyebarkan unit besar untuk jangka waktu yang luas dan mengalokasikan sejumlah besar aset medis untuk mendukung unit-unit ini. Dukungan medis ini termasuk layanan khusus. Angkatan Laut dan Korps Marinir mengerahkan unit yang lebih kecil di laut dan darat. Petugas medis umum dan nondokter memberikan dukungan medis, dan perawatan khusus tidak tersedia secara rutin di teater operasional. Angkatan Udara memiliki misi jangka pendek dan jangka panjang. Selain langsung merawat pasien, psikiater militer berkonsultasi dengantokoh masyarakat dan dokter sipil yang tidak terbiasa menanggapi trauma fisik dan emosional skala besar (Greiger, 2009) 17



Di Amerika Serikat, pengobatan definitif penyakit jiwa sering disediakan dalam sistem militer dari rumah sakit. Perawatan medis diberikan kepada personil tugas aktif dan keluarga mereka. Spesialis kesehatan jiwa lainnya, perawat, pekerja sosial, dan psikolog meningkatkan perawatan ini. Anggota militer yang mengembangkan gangguan kejiwaan saat bertugas aktif yang memenuhi syarat untuk pensiun cacat medis membayar dan terus berobat melalui sistem rumah sakit Administrasi Veteran. Individu dapat dipisahkan dari pelayanan karena masalah kepribadian tanpa pembayaran cacat atau perawatan medis yang sedang berlangsung dari militer (Greiger, 2009). Negara-negara lain dengan pengalaman perang baru-baru ini, seperti Israel dan Kroasia, telah mengembangkan program untuk mengevaluasi dan memperlakukan tentara dan warga sipil yang terkena pertempuran. Pengalaman mereka agak berbeda dari pengalaman di Amerika Serikat, karena mereka bergantung jauh lebih berat pada pasukan cadangan. Negara-negara ini memiliki infrastruktur sosial medis yang lebih inklusif; Oleh karena itu, program pengobatan yang kurang bergantung pada sistem medis militer. Negara-negara lain semakin dihadapkan dengan manajemen stres operasional dalam pemeliharaan perdamaian dan misi kemanusiaan. Negara-negara Asia yang baru-baru ini mengalami bencana alam dan peristiwa teroris juga mempelajari pendekatan untuk mengevaluasi dan mengobati orang yang terkena trauma (Holloway, 2012) 2.2 Tantangan Masa Depan dan Masalah Yang Berkembang Sebagaimana



faktor



politik,



sosial,



ilmiah,



dan



teknologi



berkembang, masyarakat akan mengubah tanggapan mereka terhadap konsekuensi dari bencana dan perang. Praktek psikiatri yang berhubungan dengan perang dan bencana telah berubah dengan evolusi pemahaman ilmiah penyakit. Di masa depan, sumber daya untuk berurusan dengan konsekuensi bencana atau perang dan kepentingan relatif ditugaskan untuk 18



berurusan dengan cedera yang dihasilkan dan cacat yang kemungkinan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik dan sosial budaya, serta kemajuan dalam pengetahuan tentang proses penyakit dan paradigma pengobatan. Psikiatri militer harus mengantisipasi perubahan ini untuk memastikan bahwa peserta pelatihan saat ini siap untuk memberikan perawatan dalam lingkungan yang berubah (Mollica, 2009). Teknologi baru dalam pertempuran akan mengubah cara memilah dan mengobati orang dengan cedera medis dan psikiatris. Militer masa depan di negara berteknologi maju cenderung menjadi jauh lebih kecil, bergerak cepat di medan perang, untuk menggunakan sensor canggih, dan untuk mengarahkan api intens di jarak yang cukup jauh. Kemampuan ini, ditambah dengan penggunaan senjata pemusnah massal, kemungkinan akan membuat medan perang lebih kacau dan tidak ramah bagi kehidupan manusia. Perawatan darurat dan evakuasi orang-orang dengan penyakit dan cedera



dapat



menjadi



semakin



sulit.



Ketidakmampuan



untuk



mempertahankan kontak dengan unit bergerak cepat dapat menghalangi kembali individu untuk unit aslinya. Korban militer di masa depan mungkin semakin bergantung pada perawatan oleh teman-teman satuan, petugas medis, dan pemimpin garis depan, daripada unit medis khusus atau spesialis di rumah sakit di belakang. Negara-negara terbelakang mungkin memiliki akses terbatas ke teknologi canggih, cara sehingga lebih tradisional mengatur praktek medis dan psikiatris mungkin tetap relevan dalam situasi tertentu (Mollica, 2009). Evolusi unit yang sangat mobile di medan perang tersebar luas akan mengurangi kesempatan untuk bertukar beristirahat pasukan dari daerah belakang bagi mereka habis oleh garis depan pertempuran. Penyediaan jangka pendek untuk pasukan yang lelah - ciri manajemen kelelahan pertempuran - dapat menjadi tidak mungkin, karena setiap individu dapat melakukan tugas khusus yang kritis. Unit medis kecil yang beroperasi dalam wilayah pertempuran kemungkinan akan dihilangkan dari teknologi19



intensif medan perang. Walaupun pengobatan dapat, dengan kebutuhan, pindah ke medan perang, dokter spesialis di bagian belakang dapat membuat keputusan triase dan diagnosa melalui penggunaan teknologi komunikasi telemedicine. Pengalaman menunjukkan bahwa lini depan penyedia kesehatan mental mengambil pandangan pragmatis gejala kejiwaan akut dan cenderung tidak membuat diagnosa resmi tergesa-gesa pada pasukan tertekan. Penyedia eselon-belakang, sebaliknya, cenderung untuk menetapkan label kejiwaan formal yang mungkin tidak akurat dan yang mungkin stigma tentara, tanpa memberikan kontribusi terhadap pengobatan. Spesialis kesehatan jiwa eselon-belakang dalam pertempuran di masa depan harus mengatasi tantangan untuk menyediakan saran terapi yang berguna dari jauh sambil menghindari stigmatisasi diagnostik yang berarti (Solomon, 2013). Teknologi canggih akan memiliki implikasi yang sama bagi mereka yang menanggapi bencana buatan manusia, seperti serangan teroris, terutama karena teroris mendapatkan peningkatan akses ke senjata pemusnah massal (kimia, biologi, radiologi, dan agen nuklir). Di Amerika Serikat, serangan teroris di Pentagon dan World Trade Center, serta distribusi fatal surat yang tercemar anthrax dalam musim gugur 2001, telah diendapkan dalam perang yang sedang berlangsung terhadap terorisme. Peristiwa ini telah diintensifkan sebagai upaya untuk meningkatkan koordinasi antara lembaga-lembaga sipil, non-militer, pemerintah, dan militer untuk menanggapi peristiwa teroris di masa depan di Amerika Serikat yang, sampai tulisan ini, dianggap tak terelakkan. Klarifikasi peran militer dan responden sipil dan mengintegrasikan kesehatan jiwa dan kegiatan kesehatan masyarakat dalam hal triase, pengobatan, konsultasi, dan pendidikan di setiap tanggapan bersama terhadap krisis merupakan tantangan bagi militer dan psikiater bencana (Solomon, 2013).



20



DAFTAR PUSTAKA Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press Benedek. 2002. Emergency mental health management in bioterrorism events. Emerg Med Clin North Am. Bleich, et.al. 2002. Exposure to terrorism, stress-related mental health symptoms,



and



coping



behaviors



among



a



nationally



representative sample in Israel. JAMA. Berk, L.E., 2003. Child Development. Boston: Allyn and Bacon. Charney. 2010. Psychobiological mechanisms of resilience and vulnerability: Implications for successful adaptation to extreme stress. Am J Psychiatry. Cohen, S. 2009. Nationwide longitudinal study of psychological responses to September 11. JAMA. Galea S. 2008. Trends of probable post-traumatic stress disorder in New York City after the September 11 terrorist attacks. Am J Epidemiol. Greiger. 2009. Posttraumatic stress disorder, alcohol use, and perceived safety after the terrorist attack on the Pentagon. Psychiatr Serv. Holloway. 2012. The changing face of terrorism and military psychiatry. Psychiatr Ann. Mollica. 2009. Disability associated with psychiatric comorbidity and health status in Bosnian refugees living in Croatia. JAMA. Sadock, B.J., Sadock, V. A. 2009. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins. Schneider J, et al. (2005) Molecular regulation of histone H3 trimethylation by COMPASS and the regulation of gene expression. Mol Cell 19(6):84956 Solomon. 2013. Social supports and perceived control as moderators of response to dioxin and flood exposure. Cambridge University.



21



Thong, D. 2011. Memanusiakan Manusia : Menata Jiwa Membangun Bangsa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.



22