Referat (Aspek Psikiatri Pada SLE) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



ASPEK PSIKIATRI PADA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS



Disusun Oleh: Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Psikiatri Periode 13 Agustus 2018 – 17 September 2018



Nigasot Nur N, S.Ked



04054821719075



Christi Giovani A. H, S.Ked



04084821719204



Deasy Nataliani, S.Ked



04054821820141



Pembimbing: dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS



BAGIAN ILMU PSIKIATRI RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018 1



HALAMAN PENGESAHAN



Judul Referat:



ASPEK PSIKIATRI PADA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS



Oleh:



Nigasot Nur N, S.Ked



04054821719075



Christi Giovani A. H, S.Ked



04084821719204



Deasy Nataliani, S.Ked



04054821820141



Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang periode 13 Agustus – 17 September 2018



Palembang,



September 2018



dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS



2



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul “Aspek Psikiatri Pada Systemic Lupus Erythematosus” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS selaku pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah ini, semoga bermanfaat.



Palembang, September 2018



Tim Penulis



3



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3 BAB III KESIMPULAN ........................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................24



4



BAB I PENDAHULUAN



Systemic Lupus Erithematous (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang perempuan usia reproduktif dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik, hormonal, serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensinya dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender perempuan dan laki-laki antara 9-14:1. Di Indonesia, berdasarkan data dari RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2002, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di Poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Manifestasi klinik SLE dapat berupa gejala konstitusional (seperti kelelahan, demam, dan penurunan berat badan) serta dapat berupa gejala muskuloskeletal, kulit, ginjal, gastrointestinal, paru-paru, jantung, retikuloendotel, hematologi, dan neuropsikiatri.1 Patogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita SLE dengan risiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.2



5



Pasien SLE yang mengalami satu atau beberapa gejala neuropsikiatrik digolongkan



ke



dalam



subkategori



Neuropsychiatric



Systemic



Lupus



Erithomatosus (NPSLE). Studi kohort terhadap pasien SLE menunjukkan bahwa hampir setengah pasien akan menderita NPSLE selama perjalanan penyakitnya. Definisi NPSLE merupakan tantangan yang sulit dikarenakan jangkauan luas dari gejala-gejala neuropsikiatrik sebagian besar merupakan gejala non spesifik seperti sakit kepala, disfungsi kognitif, dan lain-lain. Upaya yang paling diterima sejauh ini adalah dengan mengklasifikasikan NPSLE yang dibuat oleh ahli komite American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1999.3 Pada awal terkena SLE, pasien seringkali mengalami fase denial atau penolakan terhadap sakitnya. Pasien tidak menerima bahwa dirinya menderita SLE dan berusaha menyangkalnya. Sebagian besar pasien pada awalnya takut akan prognosis atau kejadian yang akan dialami di kemudian hari. Menghadapi diagnosis SLE bisa menjadi masalah yang sulit. Secara umum, penderita penyakit kronis yang tidak dapat menerima keadaan dirinya cenderung untuk mengalami depresi.4 Gangguan psikiatrik pada penderita penyakit imun haruslah ditangani secara optimal dengan menerapkan konsep biopsikososial yaitu suatu konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses penyakit yang memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan.



Pendekatan



ini



dapat



kita



lihat



pada Consultation-Liaison



Psychiatry (CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan kedokteran. Keterlibatan CLP pada penangangan dan perawatan pasien diharapkan akan menghasilkan terapi yang maksimal yang memandang pasien secara holistik. Oleh karena itu, referat ini mencoba memaparkan tentang definisi, konsep manajemen kerja CLP, dan peran keterlibatan CLP pada penanganan dan perawatan pasien dengan penyakit imun terutama pada penderita SLE.



6



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Kelainan psikiatrik pada penderita SLE



2.1.1 Kelainan psikiatrik pada penderita SLE SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang memiliki keterlibatan psikiatrik yang signifikan. Sementara liku-liku dari penyakit ini masih dijelaskan, SLE menghasilkan vaskulitis di setiap bagian tubuh, yang menimbulkan gejala, seperti demam, fotosensitivitas, butterfly rash, nyeri sendi, dan sakit kepala. Gejala yang lebih serius namun jarang terjadi seperti anemia, efusi pleura, gagal ginjal, kejang, dan banyak gejala psikiatrik yang berhubungan dengan dampak pada sistem saraf pusat. Gejala ini biasanya disebut “lupus serebritis”, yang mana secara keseluruhan dapat terlihat sebagai delirium klasik dengan gangguan kesadaran, penurunan kemampuan untuk mempertahankan perhatian, gangguan memori, disorientasi, bahkan halusinasi (visual lebih sering daripada auditori). Pasien juga dapat menunjukkan gejala depresi, seperti insomnia, iritabilitas, labilitas emosional, dan ide bunuh diri.9,10,11 Kata “lupus” berasal dari makna dasar “serigala” yang mana presentasi dan manifestasi kondisi ini dapat terlihat sebagai “licik dan cerdik” sesuai namanya. Contohnya, delirium mungkin bukan disebabkan oleh lupus serebritis, melainkan oleh gagal ginjal dan uremia. Depresi mungkin bukan disebabkan efek langsung dari kondisi medisnya, melainkan oleh reaksi psikologis dari penyakit ini., yang biasanya menyerang wanita muda saat ambang kehidupan dewasa mereka.9,10,11 Diagnosis neuropsikiatrik pada SLE tidaklah mudah. Komite American Collage of Rheumatology (ACR) membuat standarisasi untuk neuropsikiatrik SLE yang meliputi beberapa item. Lima puluh persen langsung berhubungan dengan penyakitnya, sedangkan sisanya berhubungan atau memiliki asosiasi dengannya. Manifestasi yang tersering ialah sakit kepala, gangguan psikiatrik dan gangguan kognitif. Sindrom ini bisa berdiri sendiri atau bersamaan dengan manifestasi neuropsikiatrik yang lain.9,10,11



7



Kelainan neurologik pada SLE dibagi menjadi 2 bagian, pertama kelainan pada susunan saraf pusat dan kedua kelainan pada susunan syaraf perifer. Kelainan neurologik pada saraf pusat berupa nyeri kepala yang tidak mau hilang dan tidak responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general, biasanya berhubungan dengan penyakit lupusnya yang dalam keadaan aktif, gejala yang lain yang jarang misalnya korea, cedera serebrovaskular, meningitis, aseptik. Sedangkan pada sistem saraf perifer yakni keluhan terutama terlibatnya saraf kranial baik motorik atau sensorik pada mata dan nervus trigeminal misalnya pasien dengan keluhan gangguan penglihatan, buta, odema papil, nistagmus, hilang pendengaran, vertigo atau kelemahan otot wajah serta paralisis mirip dengan sindrom gullian-barre atau miastenia gravis.9,10,11 Gangguan psikiatrik pada SLE dapat berupa perubahan perilaku, psikosis, insomnia, delirium, dan depresi. Untuk mendiagnosis gangguan neuropsikiatrik yang paling utama adalah manifestasi klinik dengan cara mengekslusi kelainan metabolik seperti sepsis, uremia, hipertensi berat. Adanya bukti aktivitas penyakit yang meningkat dengan terlibat pada organ lain akan sangat membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan cairan serebrospinalis tidak ada yang spesifik. Adanya antibodi P ribosom pemeriksaan EEG tidak begitu spesifik pada penderita lupus dengan komplikasi neuropsikiatrik, namun pada saat ini ada pemeriksaan yang cukup canggih Positron Emision Tomography (PET), Single Photon Emision Computed Tomography (SPECT) digunakan untuk mencari abnormalitas pasien dengan gangguan neuropsikiatrik, begitu pula dengan pemeriksaan MRI tidak memberikan kelainan yang spesifik untuk lupus serebral.9,10,11



2.1.2 Epidemiologi SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang terutama menyerang perempuan usia produktif dengan angka kematian cukup tinggi. Prevalensi SLE di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio antara perempuan dan laki-laki yakni 9-14:1. Berdasarkan data RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia tahun 2002, ditemukan 1,4%



8



kasus SLE dari total kunjungan pasien di Poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010.12 Pada penyakit SLE, gejala gangguan kejiwaan merupakan manifestasi yang sering muncul dengan prevalensi rata-rata mulai dari 14% hingga 80% pada orang dewasa. Gangguan kejiwaan yang dapat terjadi pada penderita SLE antara lain gangguan mood, gangguan kecemasan, psikosis, disfungi kognitif, gangguan panik, dan gangguan bipolar. Menurut Nicassio dkk, terdapat lebih kurang 65% penderita SLE mengalami gangguan kejiwaan. Sebanyak 45% penderita mengalami gangguan kecemasan, 69% penderita memiliki riwayat gangguan mood,dan 52% penderita memiliki riwayat gangguan kecemasan. Selain itu, terdapat penelitian pada 326 penderita SLE dan sebanyak 47% memiliki riwayat episode depresi mayor, 24% memiliki riwayat fobia spesifik, 16% mengalami gangguan panik, 9% mengalami gangguan obsesif-kompulsif, dan 6% mengalami gangguan bipolar. Selain itu, disfungsi kognitif yang mencakup delirium, dan psikosis juga terjadi pada beberapa penderita SLE. Menurut Nicassio dkk, depresi dan gangguan kecemasan merupakan gangguan kejiwaan yang paling sering ditemui pada penderita SLE. Penelitian yang dilakukan Zhang dkk menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada penderita SLE sebesar 24% dan anxietas sebesar 37% berdasarkan kriteria diagnosis DSM atau ICD. Menurut Zhang dkk, terjadi peningkatan prevalensi depresi dan anxietas pada penderita SLE dibandingkan orang sehat sebesar dua kali lipat.12,13



2.1.3 Etiologi NPSLE Penyebab pasti dari SLE masih tidak diketahui dan ada konsensus yang menyatakan apakah SLE merupakan penyakit yang berdiri sendiri atau sekelompok penyakit yang saling berhubungan.2 Meskipun penyebab spesifik SLE belumlah diketahui, faktor multipel telah dikaitkan dengan perkembangan penyakit ini.6 Abnormalitas vaskuler Terdapat tiga mekanisme yang dipercayai menimbulkan SLE, yaitu predisposisi genetika, penyebab lingkungan dan reaksi obat (drug-induced lupus).2



9



2.1.4 Patofisiologi NPSLE Perkembangan NSPLE pada suatu individu bergantung dari faktor genetik, lingkungan dan hormonal. Meskipun penelitian selama puluhan tahun, pengertian kita mengenai NSPLE masih terbatas; akan tetapi, beberapa jalur patogenik telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan manifestasi klinis spesifik seperti antibodi yang dimediasi neurotoksisitas, vaskulopati disebabkan oleh antibodi antifosfolipid (aPL) dan mekanisme lain, sitokin yang diinduksi neurotoksisitas dan kehilangan neuroplastisitas (Gambar 1).



1.



Vaskulopati Sementara hanya minoritas pasien SLE yang memiliki bukti vaskulitis yang



jelas pada pencitraan atau histopatologi, vaskulopati trombotik pembuluh darah kecil menjadi kelainan histopatologi utama di otak pada autopsi pasien-pasien NPSLE.15 Vaskulopati pembuluh darah kecil ini biasanya non-inflamasi, dan kolerasinya dengan manifestasi klinis masih belum jelas sampai saat ini. Diduga bahwa kerusakan vaskular di SSP pada NPSLE disebabkan oleh sindrom antifosfolipid yang berhubungan dengan vaskulopati atau penetrasi autoantibodi lain melalui sawar darah otak (BBB) yang rusak, kompleks imun dan aktivasi komplemen, emboli kardiak yang disebabkan endokarditis Libman-Zachs, dan kelainan vaskular lain, vaskulitis, atau atherosclerosis yang progresif.



10



Gambar 1. Patogenesis lupus neuropsikiatrik yang diajukan. Autoantibodi memasuki otak yang menyebabkan kerusakan neuronal, termasuk kerusakan neuroplastisitas dan transisi sinaptik. Untuk mencapai otak, sawar darah otak mungkin diterobos sementara (contohnya, infeksi) atau pencetus internal (contohnya, gangguan metabolik, sitokin). Cedera vaskular dapat dimediasi antibodi dengan antibodi aPL atau aPL atherosclerosis klasik progresif.Antibodi anti-fosfolipid; BBB, sawar darah otak, Ribosomal-P; NMDAR, reseptor NMDA.



2.



Autoantibodi Banyak autoantibodi yang ditemukan pada pasien-pasien SLE, dan



khususnya pada NPSLE, serta hubungan antara autoantibodi spesifik dan manifestasi tertentu menunjukkan bahwa kehadirannya terkait langsung dengan patogenesis.14,16,17 Lebih dari 20 autoantibodi yang terkait dengan NPSLE.18 Identifikasi autoantibodi patogenik dapat menjadi target pengobatan di masa depan. Beberapa akan dibahas di bawah ini.



11



Kotak 1 Sembilan belas definisi kasus sindrome neuropsikiatrik lupus Sistem saraf pusat



1. Sakit kepala 2. Gangguan kejang 3. Penyakit serebrovaskular 4. Sindrom demielinisasi 5. Mielopati 6. Gangguan pergerakan 7. Meningitis aseptik 8. Disfungsi kognitif 9. Gangguan mood 10. Gangguan cemas 11. Psikosis 12. Gangguan konfusional akut Sistem saraf perifer



1. Mononeuropati 2. Polineuropati 3. Neuropati kranial 4. Poliradikuloneuropati demielinisasi inflamasi akut (Sindrom Gullain-Barre) 5. Pleksopati 6. Gangguan otonom 7. Miastenia gravis



Definisi kasus berdasarkan rekomendasi American College od Rheumatology 1999 pada sindrom lupus neuropsikiatrik.



12



Antibodi anti-ribosomal-P Terdapatnya antibodi anti-ribosomal-P pada pasien-pasien NPSLE pertama kali dikemukakan oleh Bonfa dkk.19 dan banyak studi kohort pasien NPSLE di kemudian hari.20 Meskipun demikian, laporan lain telah gagal dalam memastikan hubungan ini.21 Studi meta-analisis belakangan ini menyarankan bahwa antibodi anti-ribosomal-P berhubungan spesifikdengan psikosis pada NPSLE.19 Beberapa studi membuktikan kemampuan antibodi anti-ribosomal-P untuk mengikat antigen neuronal, menembus sel neuronal, dan menghambat sintesis protein.22-24 Beberapa autoantigen diduga berinteraksi dengan antibodi anti-ribosomal-P; meskipun demikian, interaksi tersebut masih belum bisa dipastikan. Akhir-akhir ini, telah dibuktikan bahwa anti-ribosomal-P berinteraksi dengan antigen neuronal surfaceP di permukaan neuron hippokampal, mengarah ke apoptosis neuronal.25 Pada studi hewan, injeksi intravena anti-ribosomal-P dapat mencapai hippokampus dan menyebabkan gangguan memori ketika menembus sawar darah otak. Kami baru saja membuktikan ikatan dan penetrasi antibodi anti-ribosomal-P ke dalam hippokampal tikus dan sel neuronal manusia. Selain itu, pada studi kami, antibodi anti-ribosomal-P terikat dengan sebuah neuroplastisitas protein yang disebut protein 43 terkait pertumbuhan. Pengikatan antibodi anti-ribosomal-P dan jaringan otak hewan pengerat dihambat oleh kehadiran protein ini, yang menandakan bahwa hal ini dapat menjadi autoantigen dari antibodi antiribosomal-P pada tikus.



Autoantibodi Anti-DNA/NR2 Meskipun keberadaan antibodi anti-DNA/NR2 memiliki hubungan dengan manifestasi klinis, terutama pada glomerulonefritis dan aktifitas penyakit lainnya, namun hubungannya dengan penyakit pada otak masih belum jelas. Diamondet al.26 menunjukkan bahwa anti-DNA dapat mengenali urutan spesifik (‘DWEYS’) yang terdapat pada reseptor N-metil-D-aspartat NR2a dan NR2b. Transfer pasif antibodi anti-DNA dapat menyebabkan apoptosis neuron. Selain itu, imunisasi aktif dengan DWEYS diikuti penerobosan pada blood brain barrier (BBB)dengan lipopolisakarida menyebabkan kerusakan neuron hippocampal dan hilang



13



ingatan.27 Antibodi anti-DNA dapat dideteksi dalam serum dan cairan serebrospinal pada 25 sampai 50% pasien SLE dan beberapa studi telah menemukan hubungan antara level darah dan gejala-gejala NPSLE.26 Pasien dengan bentuk parah yang telah tersebar seperti NPSLE (kondisi bingung akut) menunjukkan level antibodi anti NR2 yang sangat tinggi dalam cairan serebrospinal disertai kerusakan signifikan pada BBB.28 Studi pada hewan pengerat menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah, antibodi spesifik reseptor NMDA mengubah transmisi sinapsis saraf, sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan kematian neuron, hal ini dapat menjelaskan mengapa disfungsi kognitif bersifat sementara pada beberapa pasien dan permanen pada pasien lain.29



Anti-DNA/16-6 idiotype 16-6 idiotype (Id) pada awalnya merupakan antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap DNA beruntai tunggal pada manusia. Selama bertahun-tahun, 16-6 Id telah terdeteksi sampai 30% pada pasien lupus dan ditemukan berhubungan dengan aktivitas penyakit.30 Anti-DNA/16-6 Idberhubungan dengan gejala NPSLE dan dapat mengikat jaringan otak manusia dalam kondisi ex vivo.30 Injeksi



intra-serebroventrikular



anti-DNA/16-6



Idditemukan



menyebabkan



perubahan histologis pada hippocampus dan amigdala serta fungsi perilaku dan kognitif tikus.31



Anti-fosfolipid/anticardiolipin Autoantibodi anti-fosfolipid (aPL) ditujukan terhadap epitope fosfolipid anionik atau protein pengikat fosfolipid (misalnya B2Gp1). Antibodi ini merupakan antibodi yang banyak di pelajari di NPSLE, namun patogenesisnya belum jelas. Aktivasi jalur koagulasi seperti gangguan fibrinolysis dan antikoagulan alami (misalnya protein C dan S), aktivasi sel endotel, aktivasi komplemen, aktivasi platelet, dan lebih banyak lagi.32 Pasien SLE dengan sindrom anti-fosfolipid sekunder rentan terhadap manifestasi neurologis fokal seperti stroke, myelitis transversal, dan korea, serta kejang, migrain, dan gangguan kognitif.32



14



Anti-GABA (Gamma-AminoButyric Acid) Sebuah studi terbaru menunjukkan tingkat tinggi autoantibodi baru terhadap reseptor GABA (B1 dan B2) pada sera dan cairan serebrospinal pasien NPSLE.33



3.



Gangguan Blood Brain Barrier (BBB) Agar auto-antibodi dapat menembus otak dan menyebabkan efek



patogennya, BBB harus dirusak. Faktor lingkungan yang berbeda, seperti infeksi, stres, dan iskemia, yang dimediasi oleh sitokin inflamasi, dapat merusak BBB diberbagai letak anatomis, sehingga pada tahap selanjutnya dapat berkontribusi pada beragam gejala neuropsikiatrik. Antibodi anti-ribosomal-P dan anti-NR2 dapat menginduksi produksi sitokin pro-inflamasiseperti interleukin (IL)-6 dan IL-8, oleh monosit atau sel endotel. Sitokin ini dapat menyebabkan inflamasi pada BBB, yang selanjutnya memungkinkan auto-antibodi dapat masuk ke otak.34,35 Baru-baru ini didapatkan bahwa pensinyalan TWEAK/Fn14 berperan dalam mengompromikan integritas BBB pada lupus.36



4.



Sitokin Sitokin seperti IL-2, IL-10, interferon (IFN)-α, dan IFN-γ ditemukan



meningkat dalam serum pada pasien NPSLE. Peningkatan sitokin juga ditemukan dalam cairan serebrospinal pada pasien NPSLE, mungkin diproduksi oleh infiltrasi sel imun atau sel glia lokal. Peran sitokin dan kemokin sebagai mediator penyakit serta target terapi belum ditentukan.37



2.1.5 Gambaran Klinis Manifestasi NPSLE tidaklah gampang untuk dikelompokkan secara seragam. Gejala dapat bersifat local, difus, sentral, perifer, psikiatrik, isolated, kompleks, stimulant dan sekuensial. Dapat berupa gejala yang biasa dijumpai (seperti nyeri kepala) sampai yang jarang (seperti psikosis) dan dapat memperlihatkan keadaan penyakit yang aktif dan inaktif.1 Gejala SSP seringkali muncul saat SLE aktif pada system organ lain. Berbagai daerah diotak, meningen, spinal cord, saraf kranial dan saraf perifer dapat terlibat.45



15



Pada tahun 1999, komite penelitian ACR membuat suatu nomenklatur standar dan menentukkan definisi untuk NPSLE. Berdasarkan pendekatan consensus



dan



gambaran



pendapat



berbagai



subspesialist



(mencakup



rheumatologi, neurologi, immunologi, psikiatri dan neuropsikologi) maka 19 sindrom neuropsikiatrik ditetapkan (table 2) dengan kriteria diagnostic dan metode untuk menegaskan masing-masing gejala. 42,47 Table 2. sindroma neuropsikiatrik pada SLE yang didefinisikan oleh komite penelitian the American College of Rheumatology (ACR)7 Pusat



Perifer



Menigitis aseptic



Sindroma Guillain-Barre



Penyakit serebrovaskular



Neuropati autonomy



Sindroma demyelinating



Mononeuropati



Nyeri kepala



Myasthenia gravis



Gangguan gerak



Neuropati kranialis



Myelopati



Plexopati



Gangguan seizure



Polineuropati



Acute Confusional State Gangguan ansietas Disfungsi kognitif Gangguan mood Psikosis



Manifestasi SSP yang diklasifikasikan menurut nomenklatur ACR selanjutnya dibedakan menjadi gejala berat dan ringan. Yang termasuk gejala berat yaitu meningitis aseptik, defisit neurologik fokal (oleh karena penyakit serebrovaskuler atau sindroma demyelinating), gangguan gerak, myelopati, seizures, acute confusional state, gangguan mood dan psikosis. Sedangkan gejala ringan termasuk nyeri kepala, gangguan psikologikal reaktif, disfungsi kognitif dan gangguan ansietas. Pada pasien NPSLE dengan disfungsi kognitif, ditemukan adanya kelainan anatomis yang dapat terlihat dari MRI otak. Disfungsi kognitif yang lebih parah



16



pada pasien NPSLE dapat dikaitkan dengan adanya sindrom antifosfolipid (APS). Selain itu, titer IGG, aCL, dan Ab yang meningkat berkaitan dengan penurunan kecepatan psikomotor dan berkurangnya penalaran konseptual dan fungsi eksekutif. Kejadian demensia pada APS juga tinggi dalam beberapa penelitian dan dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. Pasien dengan skor Indeks Aktivitas Penyakit SLE (SLEDDAI) yang lebih tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih parah dan terkait dengan aktivitas penyakit saat pasien memiliki riwayat kejadian depresi berat sebelumnya, kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup, dan dosis steroid yang diberikan. Onset akut depresi pada pasien NPSLE berkaitan dengan peningkatan titer Ab anti-ribosom. Delirium juga dapat muncul sebagai salah satu manifestasi NPSLE namun tidak umum terjadi. Masalah diagnosis diferensial yang paling umum dengan delirium pada pasien NPSLE adalah menentukan apakah delirium disebabkan oelh eksaserbasi pada penyakit primer atau infeksi SSP, gangguan metabolik, atau efek samping kortikosteroid. Selanjutnya, keterlibatan sekuele pembuluh darah, dan hemoragik pada otak meliputi perdarahan subarakhnoid, meningitis lupus, atau stroke, dapat dikaitkan dengan kejadian delirium. Pada beberapa pasien NPSLE, delirium dapat didahului dengan kejadian depresi dan kejang dan mungkin reversibel atau mungkin berlanjut menajdi koma. Nyeri kepala yang intractable, kesukaran dalam memori dan pengutaraan alasan (reasoning) termasuk gambaran klinis penyakit neurologis yang paling sering dijumpai pada penderita SLE.45 Penderita lupus sering mengalami nyeri kepala yang kadang tidak berhubungan dengan penyakit dasarnya. 20% penderita SLE mengalami nyeri kepala berat yang berhubungan dengan penyakit dasarnya yang disebut sebagai nyeri kepala lupus. Disfungsi kognitif dijumoai pada penderita SLE aktif yang ringan sampai sedang.44 Gejala SSP berupa disfungsi kognitifringan sampai riwayat seizure dijumpai sekitar 12-59%. Semua tipe seizures telah dilaporkan. Grand mal merupakan yang paling tersering. Insiden stroke cukup tinggi pada 5 tahun pertama penyakit.



17



Gejala psikosis yang dapat terjadi pada NPSLE adalah delusi dan halusinasi. Kortikosteroid juga memiliki kontribusi untuk menimbulkan psikosis melalui iskemia dan kerusakan sebagian hipokampus.



Perbandingan Psikosis NPSLE dengan Psikosis Akibat Kortikosteroid



Onset



Psikosis NPSLE



Psikosis akibat kortikosteroid



Akut.



onset baru psikosis yang timbul



Rata-rata pada usia 25 sementara tahun.



setelah



dalam



dirawat



8 di



minggu RS



atau



diberikan steroid Faktor Risiko



High disease activity. Manifestasi



Hipoalbuminemia



NPSLE



lainnya seperti depresi atau gangguan kognitif. Tidak adanya manifestasi kutaneus



seperti



ruam



malar dan fotosensitivitas. Resolusi



Mungkin



membutuhkan Psikosis



terapi antipsikotik



akan



menghilang



sepenuhnya setelah pengurangan dosis



steroid



tanpa



agen



imunosupresif tambahan. Prediksi



Antibodi



antifosfolipid Kenaikan kadar kortikosteroid



rekurensi



positif dengan titer sedang untuk sampai tinggi



mengontrol



manifestasi



sistemik.



2.1.6 Prosedur Diagnostik Diagnosis SLE harus berdasarkan kumpulan penemuan klimis yang tepat dan adanya bukti pemeriksaan laboratorium. ACR membuat kriteria untuk diagnosa SLE yang banyak digunakan (Tabel 3).11 dijumpai 4 dari 11 kriteria akan memberikan sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%.46



18



Tabel 3. Klasifikasi kriteria diagnostik the American College of Rheumatology (ACR) untuk SLE.11



The diagnosis o systemic lupus erythematosus requires the presence of four or more of the following 11 criteria, serially or simultaneously during any period of observation 1. Malar rash: fixed erythema, flat or raised, over the malar Pusat Perifer emibebces, tending to spare the nasolabial folds 2. Discoid rash. erythematous, raised patches with adherent keratotic scaling and follicular plugging; possbly atrophic scarring in older 3. Photosensitivity: skin rash as a result of unusual reaction to sunlight, as determined by patient history or physician observation 4. Oral ulcers: oral or nasopharyngeal ulceration. usually painless, observed by physician swelling 5. Arthritis: nonerosive arthritis involving two or more perpheral joints, characterized by swelling, tenderness, or effusion 6. Serositis: pleuritis, by convincing history of pleuritic pain, rub Acute confusional state heard by physician, or ecidence of pleural effusion; or pericarditis documented by electrocardiography, rub heard by physician, or evidence of pericardial effusion 7. Renal disorder: persistent proteinuria, > 500 mg per 24 hours (0.5g per day) or > 3+ if quantitation is not performed; or cellular casts (my be red blood cell, hemoglobin, granular, tubular, or mixed cellular casts) 8. Neurologic disorder: seizures or psychosis occurring in the absense of offending drugs or known metabolic derangement (e.g., uremia, ketoacidosis, electrolyte imbalance) 9. Hematologic disorder: hemolytic anemia with reticulocytosis; or leukopenia, < 4,000 per mm3 (4.0 x 10 per L) on two or more occasions; or lymphopenia, < 1,500 per mm



(1.5 x 10



per L) on two or more occasions; or



thrombocytopenia, < 100 x 10 per mm (100 x10 per L ) in the absence of



19



offending drugs 10 Immunologic disorder: antibody to double-stranded DNA antigen (antidsDNA) in abnormal titer; or presence of antibody to Sm nulear antigen (antiSm); or positive finding of antiphospholipid antibody based on an abnormal serum level of lgG or lgM anticardiolipin antibodies, apositive test result for lupus 10 anticoagulant using a standard method, or a false-positive serologic test for syphilis that is known to be positive for at least 6 months and is confirmed by negative Treponema pallidum immobilization or flurescent treponemal antibody absorption test 11. Antinuclear antibodies: an abnormal antinuclear antibody titer by immunofluorescence or equivalent assay at any time and in the absence of drugs known to be associated with drug-induced lupus.



Peningkatan titer antinuclear antibody (ANA) sampai 1:40 atau lebih merupakan kriteria diagnostic ACR yang paling sensitif. Lebih dari 99% penderita SLE dijumpai peningkatan titer ANA pada angka tertentu. Namun test ANA tidak spesifik untuk SLE. Dalam keadaan tidak dijumpai SLE, alasan yang paling mungkin untuk hasil test ANA positif yaitu dijumpainya penyakit jaringan konektif lainnya. Oleh karena tingginya nilai positif palsu pada dilusi 1:40, maka titer ANA hanya dilakukan pada penderita yang memenuhi kriteria klinis tertentu.11 Pada penderita dengan kecurigaan klinis yang tinggi dan adanya titer ANA yang tinggi, maka pemeriksaan tambahan diperlukan. Biasanya mencakup evaluasi antibody terhadap dsDNA, konplemen dan subtype ANA seperti sm (Smith), Ro, La, dan ribonucleoprotein (RNP) sering disebut panel extractable nuclear antigens (ENA). Studi skirning laboratorium untuk diagnose possible SLE sebaiknya mencakup CBC dan differential, kreatinin serum, urinalisa dan mikroskopi, ANA dan bila memungkinkan petanda dasar inflamatori.46 Diagnosa NP-SLE lebih bergantung pada sifat kejadian neuropsikiatrik pada SLE, dibanding komplikasi terapi atau proses penyakit yang koinsidental. Diagnosa secara khas terpenuhi melalui analisa yang teliti terhadap klinis, laboratorium dan



20



data imaging berdasarkan kasus per kasus. Awalnya proses infeksi harus disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan yang meliputi evaluasi CSF, diikuti dengan neuroimaging untuk menilai struktur dan fungsi otak. Pemeriksaan neuropsikologi juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kognitif.42 Studi elektrikal seperti electromyogram (EMG) dan pemeriksaan konduksi saraf biasanya berguna untuk menentukan keterlibatan gejala saraf perifer. dari NPSLE.44 1. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) Computed tomography (CT) scanning dapat mendeteksi lesi-lesi fokal (seperti perdarahan akut dan infark serebral) dan tetap bermanfaat dalam situasi keadaan darurat, namun sebagian besar telah tergantikan oleh pemeriksaan MRI, suatu tehnik yang sangat sensitif mendeteksi infark lobar, perdarahan SSP, myelitis transversalis dan beberapa penyakit lain yang dapat membaurkan seperti abses otak dan tumor metastase.42 Frekuensi kelainan yang terlihat dari MRI pada SLE yaitu sekitar 25-50%, semakin meningkat sesuai dengan pertambahan usia, keparahan penyakit dan adanya riwayat NP-SLE. Gambaran yang paling sering dijumpai yaitu lesi fokal punctate (berupa titik-titik) kecil di subcortical white matter (1560%). Suatu hal yang menarik, kelainan MRI, seperti infark, kecil white matter, hiperintensiti white matter, dan kortikal atrofi, dijumpai sampai 75% pada penderita SLE yang memiliki sindroma antifosfolipid, di mana prevalensi dan keparahan penyakit pada keadaan ini lebih tinggi dibanding pada penderita SLE tanpa sindroma antifosfolipid.1 Belakangan ini semakin berkembang aplikasi teknologi MRI yang terbaru. Magnetic resonance



spectroscopy



(MRS)



dapat



mengidentifikasi



dan



memperhitungkan (kuantifikasi) metabolit otak dan hal ini dijadikan sebagai indikator terhadap perubahan seluler. Magnetization transfer imaging (MTI) sangat cocok mungkin untuk hasil test ANA positif yaitu dijumpainya penyakit mendeteksi dan memperhitungkan (kuantifikasi) kerusakan otak difus. Lainnya, diffuse-weighted imaging (DWI) dapat memainkan



peranan



penting



21



dalam



mendiagnosa



oleh



karena



kemampuannya dalam mendeteksi cedera otak yang hiperakut, dan dapat dipasangkan dengan MRI perfusion untuk membedakan daerah infark dari iskemik.42 2. Positron emission tomography (PET) dan single photon emission computed tomography (SPECT) Fungsi otak dapat dievaluasi menggunakan emission tomography (PET) scanning dan single emission computed tomography (SPECT) scanning. Meskipun penemuan gambaran PET seringkali abnormal pada penderita NP-SLE, kegunaan tekniknya dapat dipersulit oleh sejumlah persoalan seperti nonspesifisitas, harga, ketersediaan alat terbatas, dosis radiasi dan ketidakmampuan dalam membedakan lesi lama dengan lesi baru. Pemeriksaan SPECT dapat memberikan analisa semikuantitatif terhadap cerebral blood flow (CBF) regional dan metabolisme, serta dapat mengidentifikasi defisit fokal dan difuse pada penderita NP-SLE. Namun, bermanfaat sebagai alat pendukung yang berdiri sendiri, maka harus digandengkan dengan MRI atau CT untuk menilai struktur otak. Hasil SPECT scan abnormal dapat dijumpai sampai sekitar 50% pada penderita SLE tanpa adanya manifestasi klinis dari NP-SLE.42 3. Electroencephalography (EEG) Electroencephalography (EEG) dapat menilai aktifitas listrik otak regional, dan hasil pemeriksaan EEG seringkali abnormal pada penderita NP-SLE. Quantitative EEG (QEEG) merupakan teknik yang lebih sensitif dan SLE definite, 74% penderita NP-SLE probable dan 28% penderita SLE tanpa gejala neuropsikiatrik. Namun teknik ini tidak dapat membedakan kelainan yang berhubungan dengan NP-SLE dan dengan kelainan pengganggu yang tidak berkaitan. Suatu hal yang menarik, studi baru-baru ini melaporkan bahwa kelainan EEG berhubungan dengan adanya antibody antifosfolipid meskipun tidak dijumpainya kelainan otak pada pemeriksaan MRI.42 4. Lumbal pungsi (LP)



22



Lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan proses infeksi dengan gejala demam atau gejala neurologik lain. Peningkatan jumlah sel dan kadar protein yang tidak spesifik dan penurunan kadar glukosa dapat dijumpai pada cairan serebrospinalis penderita dengan lupus SSP.46



2.1.7 Terapi 2.1.7.1 Farmakoterapi Terapi NPSLE dapat mengombinasikan terapi lansung pada mekanisme penyebabnya



seperti



autoantibodi



perantara



kerusakan



atau



keadaan



hiperkoagulasi, sambil mengendalikan gejala anti-epileptik, anti-depresif, antineuropati, dan medikasi lainnya. Saat ini, tidak ada studi kontrol acak yang dapat memverifikasi terapi atau protokol manifestasi spesifik pada NPSLE. Oleh sebab itu, terapi NPSLE harus bersifat individual berdasarkan mekanisme dasar yang dicurigai (seperti adanya antibodi spesifik atau bukti trombosis), keparahan gejala, morbiditas yang diperkirakan, waktu dari onset gejala, reversibilitas, respons terhadap terapi, dan efeknya terhadap kualitas hidup. Terapi simptomatik tunggal dapat dipertimbangkan pada NPSLE ringan, terutama bila tidak terdapat kerusakan yang berat. Misalnya, depresi, sakit kepala, dan kejang berulang tidak merepresentasikan penyakit SLE yang aktif secara umum, tetapi lebih berhubungan pada keadaan yang serupa atau sekuel dari kejadian sebelumnya (seperti kejang pasca stroke). Sebaliknya, bila onset baru dan berat telah didiagnosis, terutama pada aktivitas SLE yang tinggi, imunosupresan dan atau terapi lansung dibutuhkan untuk mengendalikan proses autoimun dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Bukti yang tedapat pada intervensi agresif off-label (label yang belum dikonfirmasi) untuk NPSLE akut seperti meningitis aseptik, mielitis, neuropati, dan psikosis. Secara umum, pilihan terapi untuk gejala neuropsikiatrik akut dan berat adalah sama dengan terapi yang digunakan pada organ utama lain yang terlibat dalam SLE atau pada vaskulitis CNS non-SLE. Terapi yang termasuk didalamnya adalah imunosupresi nonspesifik, modulasi imun spesifik yang menargetkan sistem imun humoral, dan atau antikoagulasi. Modalitas imunosupresif



yang



paling



paling



banyak



23



diteliti



adalah



penggunaan



glukokortikosteroid



(GC)



sistemik



yang



dapat



memberi



respons



yang



menguntungkan pada 60-75% pasien. Dosis GC yang tinggi (seperti 1 gram solomedrol/hari IV selama 3-5 hari) diikuti dengan terapi oral (seperti prednisone 1 mg/kgBB/hari) telah digunakan secara luas. Meski instabilitas emosional, perubahaan mood (seperti depresi), pengrusakan, dan beberapa efek samping lainnya umum terjadi pada pasien SLE dengan terapi GC, serta dapat terlibat dengan penilaian tepat pada penyakit, terapi GC masih merupakan terapi yang paling efektif yang tersedia saat ini. Pada beberapa keadaan NPSLE sedang sampai berat, imunosupresan tambahan dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit dan mencegah efek samping GC. Siklofosfamid (CYC) adalah imunosupresan yang paling sering digunakan untuk NPSLE berat. Pada percobaan klinis terkontrol,38 pemberian CYC IV dengan metilprednisolon bersifat superior dibandingkan terapi metilprednisolon tunggal pada 32 pasien dengan NPSLE akut yang berat (seperti kejang yang sulit disembuhkan, neuropati kranial atau perifer, neuritis optik, mielitis transversal, penyakit batang otak, dan koma). Semua pasien diterapi dengan prednison diantaranya. Akibat efek samping CYC, preservasi ovarium dan sperma harus dipertimbangkan. Pada penelitian lain, 37 dari 60 pasien dengan NPSLE diterapi dengan CYC IV dosis rendah (200-400 mg per bulan). Pasien yang diterapi tersebuut memiliki perbaikan secara signifikan bila dibandingkan dengan grup kontrol yang hanya diterapi dengan prednison dan plaquenil tunggal.39 Beberapa laporan



menyatakan



keberhasilan



mikofenolat sebagai terapi



penggunaan



azathioprine



dan



mofetil



lini kedua40 dan sebagai terapi rumatan untuk



mencegah pajanan lanjut akibat steroid dosis tinggi atau sebagai terapi pengganti untuk terapi lanjutan dengan CYC. Pada penyakit yang sulit disembuhkan, terutama NPSLE yang diinduksi oleh autoantibodi, terapi dengan sel anti B (rituximab), penggantian plasma, atau imunoglobulin IV (IVIG) dapat dipertimbangkan.



24



2.1.7.2 Psikoterapi 1.



Psikoterapi Kelompok dan Terapi Keluarga Pendekatan kelompok memberikan kontak interpersonal dengan orang lain



yang menderita penyakit yang sama dan memberikan dukungan untuk pasien yang takut akan ancaman isolasi dan pengabaian. Terapi kelompok memberikan harapan perubahan hubungan antar anggota keluarga yang sering mengalami stress dan bersikap bermusuhan pada anggota keluarga yang sakit.41



2.



Teknik Relaksasi Edmund Jacobson pada tahun 1983 mengembangkan suatu metode yang



dinamakan relaksasi otot progresif untuk



mengajarkan relaksasi tanpa



menggunakan instrumentasi seperti yang digunakan di dalam biofeedback. Pasien diajari untuk merelaksasikan kelompok otot seperti yang terlibat di dalam “tension headache”. Ketika mereka menghadapi dan menyadari situasi yang menyebabkan tegangan pada otot mereka, pasien dilatih untuk relaksasi. Metode ini adalah suatu tipe desensitisasi sistemik-suatu tipe perilaku.41 Herbert Benson pada tahun 1975 menggunakan konsep yang dikembangkan dari meditasi transcendental, disini pasien dipertahankan pada perilaku yang lebih pasif., memungkinkan relaksasi terjadi dengan sendirinya.41



3.



Hipnosis Hipnosis efektif untuk menghentikan merokok dan menguatkan perubahan



diet. Hipnosis digunakan dalam kombinasi dengan perumpamaan yang tidak disukai (cth., rokok terasa menjijikkan). Beberapa pasien menunjukkan angka relaps yang cukup tinggi dan dapat memerlukan pengulangan program terapi hipnotik (biasanya tiga hingga empat sesi).41



4.



Biofeedback Neal Miller pada tahun 1969 mempublikasikan tulisan pelopornya



“Learning of Visceral and Glandular Response”, yang melaporkan bahwa pada hewan, berbagai respon visceral yang diatur oleh sistem saraf otonom involuntar



25



dapat dimodifikasi dengan pencapaian pembelajaran melalui operant conditioning yang dilakukan di laboratorium. Hal ini membuat manusia mampu mempelajari cara mengendalikan respon fisiologis involuntar tertentu (disebut biofeedback) seperti vasokontriksi pembuluh darah, irama jantung dan denyut jantung. Perubahan fisiologis ini tampak memainkan peranan yang bermakna di dalam perkembangan dan terapi atau penyembuhan gangguan psikosomatik tertentu. Studi seperti itu, faktanya, menginformasi bahwa pembelajaran yang disadari dapat mengendalikan denyut jantung dan tekanan sistolik pada manusia.41 Biofeedback dan teknik-teknik terkait telah berguna pada tension headache, sakit kepala migrain dan penyakit Raynaud. Meskipun teknik biofeedback awalnya memberikan hasil yang menyokong di dalam menerapi hipertensi esensial, terapi relaksasi telah menghasilkan efek jangka-panjang yang lebih signifikan daripada biofeedback.41



2.1.8 Prognosis Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan system saraf atau kematian lebih awal. Dari observasi penderita SLE selama lebih dari 5 tahun memperlihatkan bahwa riwayat neuropsikiatrik berkaitan dengan outcome klinis yang jelek dimana sekitar 21-47% dari penderita NPSLE memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma NPSLE dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP.42 disfungsi kognitif yang dialami populasi penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan fungsi mereka. Frekuensi disabilitas yang semakin meningkat telah dilaporkan pada penderita SLE dengan kelainan neuropsikiatrik bila dibanding dengan penderita SLE tanpa kelainan neuropsikiatrik dan populasi umum.42



26



BAB III KESIMPULAN



Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE) merupakan kelainan pada sistem saraf pusat, perifer, dan autonom, disertai dengan adanya sindrom psikiatrik pada penderita SLE.dua kemungkinan mekanisme yang diketahui menyebabkan sindrom psikiatri ini yaitu vaskulopati dan kerusakan oleh autoantibodi. Manifestasi yang muncul pada sindrom psikiatri NPSLE ini antara lain disfungsi kognitif, kecemasan, gangguan mood dan depresi, delirium, psikosis, serta kelelahan. Karena keberagaman manifestasi pada NPSLE, maka terapi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap pasien yang meliputi iterapi kortikosteroid dan imunosupresan, psikofarmaka, dan/atau psikoterapi. Riwayat neuropsikiatrik berkaitan dengan outcome klinis yang jelek dimana sekitar 21-47% dari penderita NPSLE memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma NPSLE dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP



27



DAFTAR PUSTAKA



1.



Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta.



2.



Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page. J Clin Pathol; 481-490.



3.



The American College of Rheumatology. Nomenclature and Case Definitions For Neuropsychiatric Lupus Syndromes. Arthritis Rheum. 1999;42:599–608.



4.



Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi : Tinjauan Psikologis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.



5.



Leigh, Hoyle dan Jon Streltzer. 2008. Handbook of Consultation-Liaison Psychatry. Springer: 3-36.



6.



Kornfeld DS. 2002. Consultation-Liaison Psychiatry: Contributions to Medical Practice. Am J Psychiatry; 159 (-) :1964-72



7.



Archinard, Marc, Dumont Patricia, dan De Tonnac Nicolas. 2005. Guidelines and Evaluation: Improve the Quality of Consultation-Liaison Psychiatry. Psychosomatic 46:425-430.



8.



Bronheim dkk. 1998. The Academy of Psychosomatic Medicine Practice Guidelines fo Psychiatric Consultation in General Medical Setting. Psychosomatic 39: S8-S30.



9.



Ainiala H, Hietaharju A, Loukkola J, Peltola J, Korpela M, Metsanoja R, et al. 2001. Validity of the New American College of Rheumatology Criteria for Neuropsychiatric Lupus Syndromes: A Population-Based Evaluation. Arthritis Rheum;45:419–23.



10. Leigh H. 2008. Evolution of Consultation-Liaison Psychiatry and Psychocomatic Medicine. In: Handbook of Consultation-Liaison Psychiatry. Leigh H., Streltzer J. Springer New York. 11. Oken D. 2009. Evolution of Psychosomatic Diagnosis in DSM. In Somatic Presentation of Mental Disorder; Refining the Research Agendator DSM-V. Joel E. Dimsdele, et al editors. Virginia, American Psychiatric Association. 12. Zhang, Lijuan, Ting Fu, Rulan Yin, Qiuxiang Zhang, dan Biyu Shen. 2017.



28



Prevalence of Depression and Anxiety in Systemic Lupus Erythematosus: A Systematic Review and Meta-Analysis. BMC Psychiatry 17:70; 1-14. 13. Samuels,



Ayol,



Mirnova



E.



Ceïde,



dan



Naalla



Schreiber.



2016.



Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus: Making the Case for an Expanded Psychiatric Role. J Neurol Exp Neurosci 2(1): 9-11 14. Unterman A, Nolte JE, Boaz M, Abady M, Shoenfeld Y, Zandman-Goddard G. 2011. Neuropsychiatric Syndromes in Systemic Lupus Erythematosus: A Meta-Analysis. Semin Arthritis Rheum;41:1–11. 15. Hanly JG, Walsh NM, Sangalang V. 1992. Brain Pathology in Systemic Lupus Erythematosus. J Rheumatol;19:732–41. 16. Leah E. 2011. Bone: Finding that Osteoclasts Repel Osteoblast Activity through Sema4D Reveals Novel Target for Bone-Boosting Therapies. Nat Rev Rheumatol;7:681. 17. Sherer Y, Gorstein A, Fritzler MJ, Shoenfeld Y. 2004. Autoantibody Explosion in Systemic Lupus Erythematosus: More Than 100 Different Antibodies Found in SLE Patients. Semin Arthritis Rheum;34:501–37. 18. Zandman-Goddard G, Chapman J, Shoenfeld Y. 2007. Autoantibodies Involved in Neuropsychiatric SLE And Antiphospholipid Syndrome. Semin Arthritis Rheum;36:297–315. 19. Sciascia S, Bertolaccini ML, Roccatello D, Khamashta MA, Sanna G. 2014. Autoantibodies Involved in Neuropsychiatric Manifestations Associated with Systemic Lupus Erythematosus: A Systematic Review. J Neurol;261:1706–14. 20. Briani C, Lucchetta M, Ghirardello A, Toffanin E, Zampieri S, Ruggero S, et al. 2009. Neurolupus is associated with anti-ribosomal P protein antibodies: an inception cohort study. J Autoimmun;32:79–84. 21. Carmona-Fernandes D, Santos MJ, Canhao H, Fonseca JE. 2013. AntiRibosomal P Protein IgG Autoantibodies in Patients with Systemic Lupus Erythematosus: Diagnostic Performance and Clinical Profile. BMC Med. ;11:98.



29



22. Koren E, Reichlin MW, Koscec M, Fugate RD, Reichlin M. 1992. Autoantibodies to the Ribosomal P Proteins React with A Plasma MembraneRelated Target on Human Cells. J Clin Invest;89:1236–41. 23. Koscec M, Koren E, Wolfson-Reichlin M, Fugate RD, Trieu E, Targoff IN, et al. 1997. Autoantibodies to Ribosomal P Proteins Penetrate into Live Hepatocytes



and



Cause



Cellular



Dysfunction



in



Culture.



J



Immunol;159:2033–41. 24. Stacey DW, Skelly S, Watson T, Elkon K, Weissbach H, Brot N. 1998. The Inhibition of Protein Synthesis by IgG Containing Anti-Ribosome P Autoantibodies from Systemic Lupus Erythematosus Patients. Arch Biochem Biophys;267:398–403. 25. Bravo-Zehnder M, Toledo EM, Segovia-Miranda F, Serrano FG, Benito MJ, Metz C, et al. 2015. Anti-Ribosomal P Protein Autoantibodies from Patients with



Neuropsychiatric



Lupus



Impair



Memory



in



Mice.



Arthritis



Rheumatol;67:204–14. 26. Diamond B, Volpe BT. 2012. A Model for Lupus Brain Disease. Immunol Rev;248:56–67. 27. Diamond B, Bloom O, Al Abed Y, Kowal C, Huerta PT, Volpe BT. 2011. Moving Towards A Cure: Blocking Pathogenic Antibodies in Systemic Lupus Erythematosus. J Intern Med;269:36–44. 28. Hirohata S, Arinuma Y, Yanagida T, Yoshio T. 2014. Blood–Brain Barrier Damages and Intrathecal Synthesis of Anti-N-Methyl-D-Aspartate Receptor NR2 Antibodies in Diffuse Psychiatric/Neuropsychological Syndromes in Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Res Ther;16:R77. 29. Faust TW, Chang EH, Kowal C, Berlin R, Gazaryan IG, Bertini E, et al. Neurotoxic lupus autoantibodies alter brain function through two distinct mechanisms. Proc Natl Acad Sci U S A. 2010;107:18569–74. 30. Blank M, Shoenfeld Y. 2008. The Story of the 16/6 Idiotype and Systemic Lupus Erythematosus. Isr Med Assoc J;10:37–9. 31. Kivity S, Katzav A, Arango MT, Landau-Rabi M, Zafrir Y, Agmon-Levin N, et al. 2013. 16/6-Idiotype Expressing Antibodies Induce Brain Inflammation



30



and Cognitive Impairment in Mice: The Mosaic of Central Nervous System Involvement in Lupus. BMC Med;11:90. 32. Meroni PL. 2008. Pathogenesis of the Antiphospholipid Syndrome: An Additional Example of the Mosaic of Autoimmunity. J Autoimmun.;30:99– 9103. 33. Tsuchiya H, Haga S, Takahashi Y, Kano T, Ishizaka Y, Mimori A. 2014. Identification of Novel Autoantibodies to GABA(B) Receptors in Patients with Neuropsychiatric



Systemic



Lupus



Erythematosus.



Rheumatology



(Oxford);53:1219–28. 34. Toubi E, Shoenfeld Y. 2007. Clinical and Biological Aspects of Anti-PRibosomal Protein Autoantibodies. Autoimmun Rev;6:119–25. 35. Yoshio T, Okamoto H, Hirohata S, Minota S. 2013. Igg Anti-NR2 Glutamate Receptor Autoantibodies from Patients with Systemic Lupus Erythematosus Activateendothelial Cells. Arthritis Rheum;65:457–63. 36. Stock AD, Wen J, Putterman C. 2013. Neuropsychiatric Lupus, the Blood Brain Barrier and the TWEAK/Fn14 Pathway. Front Immunol ;4:484. 37. Rhiannon JJ. 2008. Systemic Lupus Erythematosus Involving the Nervous System: Presentation, Pathogenesis, and Management. Clin Rev Allergy Immunol;34:356–60. 38. Barile-Fabris L, Ariza-Andraca R, Olguin-Ortega L, Jara LJ, Fraga-Mouret A, Miranda-Limon JM, et al. 2005. Controlled Clinical Trial of IV Cyclophosphamide Versus IV Methylprednisolone in Severe Neurological Manifestations in Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis;64:620–5. 39. Stojanovich L, Stojanovich R, Kostich V, Dzjolich E. 2003. Neuropsychiatric Lupus Favourable Response to Low Dose I.V. Cyclophosphamide and Prednisolone. Lupus;12:3–7. 40. Tomietto P, D’Agostini S, Annese V, De Vita S, Ferraccioli G. 2007. Mycophenolate Mofetil and Intravenous Dexamethasone in the Treatment of Persistent Lupus Myelitis. J Rheumatol;34:588–91.



31



41. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and Grebb, J.A., 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua. Editor: Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta : Bina Rupa Aksara 42. Lupus



outlook:



advances



in



targeted



therapy–recent



advances



in



neuropsychiatric systemic lupus erythematosus: classification, assessment, pathogenesis,



and



treatment.



[Online].



Available



from:



http://www.freemedcme.com/cme/articles.cfm?mode=articlefullview&cme_i d=32 43. Lupus



erythematosus.



[Online].



2006.



Available



from:



http://www.en.wikipedia.org/wiki/Lupus_erythematosus 44. Wallace DJ. Systemic lupus and the nervous system. [Online]. 2005. Available



from:



URL:



http://www.lupus.org/



education/brochures/systemic.html 45. Lamont DW. Systemic lupus erythematosus. [Online]. 2006. Available from: http://www.emedicine.com/ emerg/topic564.htm 46. Bartels CM. Systemic lupus erythematosus. [Online] 2006. Available from: http://www.emedicine.com/med/ topic2228.htm: 47. Hanly JG. ACR classification criteria for systemic lupus erythematosus : limitations and revisions to neuropsychiatric variables. Lupus. 2004;13:861-4.



32