Internal Bleeding Lapsus PKU [PDF]

  • Author / Uploaded
  • arum
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA



1. Definisi Intra abdominal bleeding (perdarahan internal pada abdomen) adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi (perlambatan), atau kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau pada organ padar berupa perdarahan. Trauma tumpul abdomen paling sering mencederai organ limpa (4055%), hepar (35-45%), dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal. Sedangkan yang paling jarang adalah ureter dan pankreas.



2. Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan jenis organ yang cedera dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1.



Pada organ padat seperti hepar, limpa dengan gejala utama perdarahan



2.



Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama peritonitis.



Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi menjadi 2, yaitu : 1.



Organ intraperitoneal Intraperitoneal abdomen terdiri dari organ-oragan seperti hepar, lien, gaster, colon transversum, ileum, dan colon sigmoid.



2.



Organ retroperitoneal Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis berdasarkan



1



pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan, angiografi, dan intravenous pyelogram.



3.Etiologi 3.1 Trauma Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam kategori luka tembus.4



3.1.1 Trauma Tumpul Hantaman langsung, seperti kontak dengan kemudi kendaraan atau dorongan pintu penumpang yang masuk ke dalam akibat suatu kecelakaan, dapat menyebabkan kompresi dan cedera crushing terhadap viscera abdomen. Kekuatan hantaman dapat merusak organ solid maupun organ berongga dan dapat menyebabkan ruptur dengan perdarahan organ sekunder, kontaminasi oleh isi dalaman usus, dan peritonitis. Cedera shearing merupakan salah satu bentuk cedera crushing yang disebabkan oleh penggunaan seat belt yang kurang sempurna. Pasien yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor dapat menderita cedera deselerasi, sebagai akibat dari perbedaan differensial dari gerakan organ yang terfiksasi dengan organ yang tidak terfiksasi. Sebagai contoh antara lain adalah laserasi liver dan lien, keduanya merupakan organ yang bergerak pada lokasi fiksasi ligamentumnya. Pada pasien dengan cedera tumpul, organ yang paling sering mengalami cedera adalah lien (40%-55%), liver (35%-45%), dan usus halus (5%-10%). Selain itu terdapat 15% insidensi hematoma retroperitoneal pada pasien yang menjalani laparotomi akibat trauma tumpul.4



3.1.2 Trauma Penetrans Luka tusuk dan luka tembak dengan kecepatan rendah dapat menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara laserasi dan memotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan mentransfer energi kinetik lebih banyak. Keruskan lateral dari jalur peluru dapat terjadi karena adanya kavitasi temporer. Luka tusuk yang



2



melintasi struktur abdomen dapat mengenai liver (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan kolon (15%). Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan intraabdominal lain, tergantung dari lintasan peluru melalui tubuh, energi kinetik, dan kemungkinan pantulan terhadap tulang, atau adanya fragmentasi sehingga menyebabkan adanya kerusakan sekunder. Sedangkan luka tusuk paling banyak mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver (30%), dan struktur vaskuler intraabdomen (25%). 4



Gambar 3. Trauma Penetrans



3.2 Ruptur Organ 3.2.1 Intraperitoneal A. Limpa Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi robeknya limpa segera setelah terjadi trauma pada abdomen.Pada



3



pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa dapat diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan limpa. Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa limpa, tapi pengangkatan limpa dapat berakibat mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan limpa dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu dan juga diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.6



B. Ruptur Hepar Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada trauma tumpul abdomen dengan ruptur hati sering ditemukan adanya fraktur costa VII – IX. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. nyeri tekan dan defence muskuler tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum (± 2 jam post trauma). Kecurigaan laserasi hati pada trauma tumpul abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Jika keadaan umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan pada abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi. Jika kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat dilakukan laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal. Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan adanya trauma pada saluran empedu.5



4



C. Ruptur Usus Halus Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus karena trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada usus dua belas jari biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan Rontgen abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada usus dua belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam retroperitoneal.6



4.2.2 Retroperitoneal A. Ruptur Ginjal Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan adanya fraktur pada costa ke XI – XII. Jika terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah secara ekstensif ke dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur ginjal biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan flank, dan tendensi CVA. Hematuri yang hebat hampir selalu timbul, tapi pada gambaran mikroskopik urin



juga



dapat



menunjukkan



adanya



rupture



pada



ginjal.



Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan memar pada ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau CT scan. Jika suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses pengujian tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya kebocoran pada zat warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan tampak gambaran normal atau adanya gambaran warna kemerahan pada stroma ginjal. Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur yang berat atau putusnya tangkai ginjal.5



5



B. Ruptur Pankreas Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Perlukaan harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Perlukaan pada duodenum atau saluran kandung empedu juga memiliki tingkat kematian yang tinggi.Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang terjadi pada abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam setelah perlukaan, trauma pada pankreas dapat terlihat dengan adanya gejala iritasi peritonial.Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menetapkan diagnosis. Kasus yang meragukan dapat diperiksa dengan menggunakan ERCP ( Endoscopic Retrogade Canulation of the Pancreas) ketika perlukaan yang lain telah dalam keadaan



stabil.



Terapi, penanganan dapat berupa tindakan operatif atau konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya gambaran dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi pembedahan merupakan tindakan yang wajib dilakukan.10 C. Ruptur Ureter



Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan luka yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan



adanya



hematuria



setelah



seseorang



melakukan



miksi..



Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada Lumbal 2 – 3, gerakan tiba-tiba dari ginjal sehingga terjadi gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel trauma. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari



6



trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena seringnya ditemukan trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas.Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan. Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma.11 4. Patofisiologi Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan.11 Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan.11 Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme : 1.



Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.



7



2.



Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.



3. Terjadinya gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.4



5. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang didapat ketika seseorang pasien dengan intra abdominal bleeding, antara lain : 1. Terdapat luka/jejas pada permukaan abdomen 2. Memar pada permukaan abdomen 3. nyeri abdomen akut dan persisten 4. nyeri seluruh lapang pandang abdomen, defans muskuler (+) (peritonitis) 5. Internal bleeding terus-menerus meskipun sudah dilakukan resusitasi Kadang didapatkan penyulit sehingga menyulitkan diagnosa pada gejala klinis, yaitu gejala abdominal yang tertutupi oleh syok, cidera lain yang menyertai, dan ketidaksadaran paisen atau pemberian analgesik. 6. Diagnosis 6.1 Anamnesis Sebelum melangkah ke pemeriksaan fisik pada secondary survei penting untuk melakukan anamnesis untuk mengetahui mekanisme dari trauma, karena jenis truma sangat menentukan pada kasus intraabdominal bleeding. Hal ini didapat dari penderita, keluarga, orang lain, dan polisi. Riwayat trauma dapat memprediksi dan mengkonfimasi adanya cedera abdomen dan pelvis yang memerlukan kontrol perdarahan segera.. Pada pasien dengan riwayat trauma kecelakaan mobil harus menyertakan kecepatan kendaraan.



8



Tipe tabrakan (tabrakan frontal, lateral, gesekan smaping, belakang, atau terguling), posisi pasien dikendaraan. Ketika mengelola pasien dengan trauma penetrans, informasi yang didapat harus meliputi waktu cedera, tipe senjata, jarak dari pelaku/penembak, dan jumlah perdarahan eksterna di lokasi kejadian.4



6.2 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara seksama dan sistematik, dengan urutan yang standar : inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Kemudian diikuti oleh pemeriksaan stabilitas pelvis, uretra, perineum, rektum, vaginal, dan gluteal. 4



A. Inspeksi Pada umumnya, pasien harus di “telanjangi” dengan membuka seluruh pakaiannya. Pada abdomen anterior dan posterior, juga pada dada bawah dan perineum, dilihat apakah ada abrasi, kontusio dari sabuk pengaman, laserasi, luka penetrans, benda asing yang tertancap, eviserasi omentum atau usus halus, dan kehamilan. Pasien harus secara hati-hati dilakukan tindakan logroll untuk memudahkan dalam pemeriksaan lengkap. Setelah dilakukan pemeriksaan paisen harus diselimuti dengan selimut hangat untuk mencegah terjadinya hipotermia.4



B. Auskultasi Auskultasi pada abdomen dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya bising usus. Adanya darah intraperitoneal atau perforasi dapat menyebabkan ileus sehingga bising usus dapat menurun bahkan menghilang. Tetapi menilai dari bising usus tidaklah spesifik karena ileus juga dapat disebabkan oleh cedera ekstraabdominal. Hal in menjadi spesifik jika pada awalnya normal dan seiring berjalannya waktu terdapat perubahan keaadaan.4



C. Perkusi dan palpasi



9



Perkusi dapat menyebabkan peritoneum bergerak dan dapat merangsang terjadinya iritais peritoneal. Maka dari itu, ketika terjadi iritasi peritoneal tidak perlu lagi dicari adanya nyeri lepas, karena pemeriksaan tersebut hanyalan akan menambah nyeri perut pada pasien. Pada palpasi dapat membedakan nyeri superfisial (dinding abdomen) dan nyeri tekan dalam.4



D. Penilaian stabilitas pelvis Perdarahan mayor dapat disebabkan dari adanya fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul batang tubuh. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara kompresi manual krista iliaka atau spina iliaka anterosuperior. Adanya gerakan anormal atau nyeri tulang mengarah kepada adanya fraktur pelvis, pemeriksaan stabilitas pelvis harus segera dihentikan. Bila tersedia, lebih baik dilakukan pemeriksaan foto x-ray agar paisen terhindar dari nyeri dan kemungkinan memperberat perdarahan.4



Gambar 3. Penilaian Stabilitas Pelvis



E. Pemeriksaan uretra, perineal, dan rektal Adanya darah dari meatus uretra eksternus merupakan pertanda adanya robekan uretra. Inspeksi skrotum dan perineum harus dilakukan untuk melihat tanda ekimosis atau hematoma, sugestif cedera uretra. Pada pasien dengan cedera tumpul,



10



pemeriksaan rektal berfungsi untuk menilai dari tonus sfingter ani, menentukan posisi prostat. Pada trauma penetrans pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai tonus sfingter ani dan mencari adanya darah segar karena perforasi usus.4



F. Pemeriksaan vagina Laserasi vagina dapat disebabkan oleh fragmen fraktur pelvis atau karena trauma tajam. Penilaian vagina harus dilakukan ketika terdapat laserasi pada perineum yang kompleks. 4



G. Pemeriksaan gluteal Daerah glutea meliputi krista iliaka sampai lipatan glutea. Trauma penetrans pada glutea dikaitkan dengan 50% trauma intrabdominal yang signifikan, termausk cedera rektal dibawah refleks peritoneal.4



6.3 pemeriksaan penunjang A. pemeriksaan x-ray untuk trauma abdomen Pemeriksaan x-ray thoraks anteroposterior (AP) dan pelvis dianjurkan pada penilaian pasien dengan trauma tumpul multisistem. Pasien dengan abnormalitas tidak memerlukan x-ray di unit emergensi. Bila pasien tanpa abnormalitash hemodinamik dan terdapat trauma penetrans di atas umbilikus atau curiga cidera thorakoabdominal, foto x-ray thoraks tegak berguna untuk menyingkirkan hemothoraks atau pneumotoraks atau untuk melihat adanya udara bebas di intraperitoneal. Dengan marker atau klip yang di tempel pada semua luka tusuk dan luka keluar, x-ray abdomen supine dapat dilakukan pada pasien hemodinamik normal untuk menentukan jejak peluru atau adanya udara retroperitoneal.



B. Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST) FAST adalah salah satu dari dua pemeriksaan paling cepat untuk mengidentifikasi peradarahan atau potensi organ berongga. Pada FAST teknologi



11



ultrasonografi dilakukan oleh dokter yang terlihat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Dengan perlengkapan yang spesifik dan dokter yang terlatih, USG



mempunyai



sensitivitas,



spesifisitas,



dan



akurasi



deteksi



cairan



intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen. Jadi USG merupakan pemerksaan yang cepat, tidak invasif, murah dalam mendiagnosa hemoperitoneum dan dapat diulang jika diperlukan. Faktor yang dapat mempersulit pada pemeriksaan FAST adalah obesitas, adanya udara subkutan, dan riwayat operasi abdomen sebelumnya. Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan kedua atau “kontrol” dapat dilakukan setelah interval 30 menit. Pemeriksaan kontrol dapat mendeteksi hemoperitoneum yang prgresif pada pasien dengan perdarahan lambat dan interval yang pendek dari cedera sampai pada pemeriksaan pertama.24



Gambar 5. FAST C. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) DPL adalah pemerksaan kedua tercepat untuk mengidentifikasi perdarahan atau potensi cedera organ berongga. DPL adalah prosedur yang invasif yang secara bermakna mempengaruhi tindakan selanjutnya dan dianggap 98% sensitif untuk perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan oleh tim bedah terhadap pasien



12



dengan abnormalitas hemodinamik dan taruma tumpul multipel, terutama bila didapatkan kondisi sebagai berikut : 1. Perubahan sensorium-cedera otak, intoksikasi alkohol atau pengguna narkoba 2. Perubahan sensasi- cedera medulla spinalis 3. Cedera struktur sekitar- iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis 4. Pemeriksaan fisik yang meragukan 5. Hilang kontak dengan pasien dalam waktu lama-anestesi umum untuk cedera ekstraabdomen, pemerksaan x-ray yang lama (seperti angiografi pada pasien dengan atau tanpa abnormalitas hemodinamik) 6. Lap-belt sign (kontusio dinding abdomen dengan kecurigaan cedera usus) DPL juga diindikasikan pada pasien tanpa abnormalitas hemodinamik, tetapi tidak ada fasilitas USG dan CT abdomen. Kontraindikai absolut pada DPL adalah hanya bila ada indikasi untuk laparotomi. Kontraindikasi relatifnya adanya riwayat operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, chirosis lanjut, dan koagulopati. Teknik terbuka atau tertutup di infraumbilikal dapat dilakukan. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau kehamilan tua, teknik terbuka di infraumbilikal lebih disukai untuk menghindari hemotma pelvis atau kerusakan uterus. Adanya darah, isi usus, serat sayuran, atau empedu yang keluar melalui kateter lavase pada pasien dengan abnormalitas hemodinamik merupakan indikasi untuk laparotomi. Bila tidak terdapat gross hematuria atau isi usus, lavase dilakukan dengan cairan kristaloid isotonik hangat sebanyak 1000 ml. Setelah isi peritoneal tercampur dengan baik dengan cairan lavase dengan cara mengompresi abdomen dan menggerakan pasien dengan cara logroliing atau memiringkan posisi kepala headdown dan head-up, cairan dikirm ke laboratorium untuk analisis kuantitatif bila isi usus, serat syuran atau empedu tidak terlihat secara jelas. Tes dikatakan positif jika sel darah merah >100.000mm2 sel darah putih 500mm2 atau adanya bakteri pada pewarnaan gram.24



13



Gambar 6. Diagnostic Peritoneal Lavage



Gambar 7. kriteria Positif pada DPL



D. Computed Tomography (CT) Prosedur CT cukup memakan waktu dan hanya bisa dilakukan pada pasien tanpa abnormalitas hemodinamik dimana tidak ada indikais yang jelas untuk laparotomi emergensi. CT scan memberikan informasi yang spesifik mengenai organ yang tekena dan derajat kerusakannya lebih baik dibanding FAST maupun DPL. Kontraindikasi penggunaan CT adalah alergi terhadap kontras. 24



14



Gambar 8. CT-Scan abdominal DPL



USG



Menentukan adanya Menentukan cairan Indik perdarahan bila bila penurunan BP asi penurunan BP



CT SCAN Menentukan organ cedera bila BP normal



+



Diagnosis cepat dan Diagnosis cepat; tidak Paling spesifik untuk sensitif; akurasi 98% invasif dan dapat cedera; akurasi 92%diulang; akurasi 86%- 98% 97%



-



Invasif, gagal Tergantung operator mengetahui cedera distorsi gas usus dan diafragma atau cedera udara dibawah kulit. retroperitoneum Gagal mengetahui cedera diafragma usus, pancreas



Membutuhkan biaya & waktu tang lebih lama, tidak mengetahui cedera diafragma, usus dan pankreas



Tabel 1. Perbandingan Penggunaan FAST, DPL, dan CT



E. Diagnosa Intraabdominal Bleeding Alur diagnosa dari trauma tumpul dan trauma penetrasi memiliki perbedaan, sebagai berikut :



a. Trauma Tumpul Trauma tumpul abdomen dievaluasi awalnya dengan pemeriksaan FAST dan ini telah banyak digantikan DPL (Gambar 5.4). FAST tidak 100% sensitif, bagaimanapun, jadi diagnostik aspirasi peritoneal dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil tanpa sumber jelas dari kehilangan darah untuk menyingkirkan intraabdominal bleeding. FAST digunakan untuk mengidentifikasi



15



cairan bebas padaintraperitoneal di Morrison’s pouch, kuadran atas kiri, dan pelvis. Meskipun metode ini sangat sensitif untuk mendeteksi cairan intraperitoneal> 250 mL, hal itu tidak dapat menentukan sumber perdarahan atau grading dari trauma pada organ padat. Pasien dengan cairan pada pemeriksaan FAST, dianggap sebagai "FAST positif," yang tidak memiliki indikasi langsung untuk laparotomi, hemodinamik stabil lakukan pemeriksaan CT scan. Grading dari cedera menggunakan American Association for the Surgery of Trauma grading scale (Gambar 5.5). Hal ini merupakan komponen penting dari manajemen nonoperative pada cedera organ padat. Temuan tambahan yang harus dicatat pada CT scan pada pasien dengan cedera organ padat termasuk kontras ekstravasasi (yaitu, "blush"), jumlah perdarahan intra-abdominal, dan adanya pseudoaneurisma.2



Gambar 9. Alur Diagnostik Intraabdominal Bleeding karena Blunt Trauma



16



Gambar 10. Staging pada Trauma Organ Padat



b. Trauma Penetrasi Penyakit atau hal yang terjaid dalam Abdomen sering disebut ”diagnostic black box”. Untungnya, dengan beberapa pengecualian, tidak sulit untuk menentukan kedarurat yang organ intra-abdominal terluka, hanya yang perlu dipikirkan apakah laparotomi eksplorasi diperlukan. Namun, pemeriksaan fisik abdomen dapat diandalkan dalam membuat penentuan ini, dan adanya obat-obatan, alkohol yang dikonsumsi pasien sebelumnya, cedera kepala, dan cedera tulang belakang menyulitkan evaluasi klinis. Adanya rigiditas abdomen dan kompensasi hemodinamik merupakan indikasi absolut untuk dilakukan eksplorasi. Pendekatan diagnostik berbeda untuk trauma tembus dan trauma tumpul abdomen. Sebagai aturan, evaluasi minimal diperlukan sebelum laparotomi untuk luka tembak menembus rongga peritoneum, karena lebih dari 90% dari pasien mengalami internal injuries yang signifikan. Anterior luka tembak truncal antara ruang intercostal IV dan simfisis pubis yang lintasan yang ditentukan oleh radiografi atau lokasi luka menunjukkan penetrasi peritoneal harus menjalani laparotomi.2



17



Gambar 5.8 Alur Diagnostik Intra Abdominal Bleeding pada Trauma Penetrasi



7.Penatalaksanaan Penilaian Primary Survei Evaluasi abdomen merupakan komponen yang sulit pada initial assesment pasien trauma. Pada setiap pasien yang mengalami trauma tumpul, penilaian sirkulasi selama primary survei harus menyertakan evaluasi awal tentang kemungkinan perdarahan tersembunyi (internal bleeding) pada abdomen dan pelvis. 1. Airway, bila korban tidak sadar dan ada sumbatan mekanis, gunakan suction atau padang alat bantu jalan nafas orofarong/nasofaring. Bila sumbatan tetap ada lakukan pemasangan intubasi trakea, dan apabila semua tindakan sudah dilakukan tetap tida berhasil dapat menggunakan krikotiroidektomi. 2. Breathing, bila tida bernafas setelah jalan nafas dibebaskan, lakukan ventilais buatan. Sebaiknya menggunakan oksigen dengan konsentrasi tinggi. 3. Circulation, awasi tanda-tanda syok, terutama syok hipovolemik. Lakukan resusitasi cairan sebagai pengganti cairan yang hilang.



18



4. Pemasangan Naso Gastric Tube, tujuan pemasangan NGT secara dini pada proses resusitasi adalah untuk dekompresi lambung sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung, sehingga menurunkan resiko aspirasi. Adanya darah dalam sekret lambung disebabkan oleh cedera esofagus atau saluran cerna atas bila tidak ada kelainan di nasofaring dan atau orofaring. Bila dicurigai terdapat fraktur facial yang berat atau fraktur basis cranii, selang gastrk harus dipasang melalui mulut (pipa orogastrik)



untuk



mencegah terjadinya pasase selang melalui cribriform plate masuk ke otak. 5. Pemasangan kateter urin. 6. Laparotomi Penilaian bedah diperlukan untuk menentukan perlunya dan kapan akan dilakukan laparotomi. Beberapa indikasi dibawah ini dapat dijadikan panduan untuk dokter spesialis bedah dalam menentukan keputusan : 1. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi dan FAST positif atau terdapat bukti klinis perdarahan intraperitoneal 2. Trauma tumpul abdomen dengan DPL positif 3. Hipotensi dengan luka penetrans abdomen 4. Luka tembak melintas rongga peritoneum 5. Eviserasi 6. Perdarahan dari lambung, rektum, atau saluran genitourinary dari trauma penetrans 7. Peritonitis 8. Udara bebas, udara retroperitoneal, atau ruptur hemidiafragma setelah trauma tumpul



19



9. Ruptur saluran cerna, cedera kandung kencing intraperitoneal, cedera pedikel ginjal, atau cedera parenkim viscera berat akibat trauma penetrans atau tumpul, terlihat pada contrast-enhanced CT.4 8. Prognosa Prognosa perdarahan intra abdominal sangat tergantung pada waktu kejadian sampai didapatkannya penanganan. Karena perdarahan sifatnya progresif, jadi semakin cepat di berikan pertolongan makan prognosa akan semakin baik, dan sebaliknya jika semakin lama diberikan pertolongan atau resusitasi maka hanya akan memperburuk prognosa perdarahan intra abdominal.



20



DAFTAR PUSTAKA



1.



Blandy J, Kaisary A. 2009. Lecture notes: urology 6th ed. West Sussex: Blackwell.



2.



Brunicardi DC, Andersen DK. 2014.Schwartz’s principle of surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill.



3.



De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.



4.



Fildes, John, 2012. Advanced Trauma Life Support 9th edition. American college of Surgeons Committee on Trauma



5.



Holevar



M.



Genitourinary



Trauma.



Available



at



:



http://www.east.org/resources/treatment-guidelines/genitourinary-trauma-diagnosticevaluation-of. Accessed on June, 23rd 2013. 6.



Odle,



T.



Blunt



Abdominal



Trauma.



Available



at



:



http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15587615. Accessed on June, 23rd 2013. 7.



Papadakis MA. 2015.Current medical diagnosis and treatment 54th ed. New York: McGraw-Hill.



8.



Purnomo, Basuki.2003. Dasar-dasar Urologi edisi ke-2. Malang: CV Sagung Seto.



9.



Purnomo, Basuki.2011. Dasar-dasar Urologi edisi ke-3. Malang: CV Sagung Seto.



10. Salomone, J. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup. Accessed on June, 23rd 2013. 11. Udeani, J. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew



University



/



UCLA



School



of



Medicine.



Available



at



:



http://emedicine.medscape.com/article/1980980-overview. Accessed on June, 23rd 2013.



21