Jurnal Praktikum Farmakoterapi Iii (Penyakit Neurologi Dan Psikiatri) Ansietas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III (PENYAKIT NEUROLOGI DAN PSIKIATRI) ANSIETAS



OLEH : KELOMPOK III/AIA I KOMANG SUARTIKA



(161200013)



I PUTU YOGA RIASTAWAN



(161200014)



I WAYAN AGUS ASISTA DARMA



(161200015)



IDA AYU NADYA ISTADEWANTHI OKA



(161200016)



IDA AYU PUNIK APSARI



(161200017)



IDA BAGUS ALIT MAHAYANA



(161200018)



JURUSAN FARMASI PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI 2018



ANSIETAS (KECEMASAN)



I.



TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mengetahui definisi dari gangguan kecemasan. 2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi gangguan kecemasan. 3. Mengatahui klasifikasi gangguan kecemasan. 4. Mengetahui gejala dan tanda gangguan kecemasan. 5. Mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi gangguan kecemasan.



II. DASAR TEORI II.1



Definisi Ansietas (Kecemasan)



Ansietas adalah perasaan tidak tenang, khawatir, atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Ansietas berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya, sedangkan ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut (Keliat, 2012). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai \ ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidak mampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010). Gangguan kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang paling sering ditemui dalam praktek klinis. Profesional perawatan kesehatan sering kesalahan gangguan kecemasan untuk penyakit fisik, dan hanya 23% dari pasien menerima perawatan yang tepat (Dipiro, Joseph., et.al., 2008). Kecemasan dapat menghasilkan ketidaknyamanan dan berpotensi melemahkan psikologis (misalnya, kekhawatiran atau perasaan ancaman) dan gairah fisiologis (misalnya, takikardia atau sesak napas) jika menjadi berlebihan. Beberapa orang mengalami gejala kecemasan yang persisten dan berat dan memiliki ketakutan irasional yang secara signifikan merusak normal setiap hari berfungsi. Orang-orang ini sering menderita gangguan kecemasan (Dipiro, Joseph., et.al., 2008).



II.2



Etiologi Ansietas (Kecemasan)



Secara garis besar, ansietas dapat disebabkan oleh adanya dua faktor, yaitu (Ikawati, 2011): a. Faktor penyakit atau gangguan medik dan obat-obatan -



Penyakit atau gangguan medik Beberapa penyakit yang berhubungan dengan ansietas adalah gangguan kardiovaskuler (angina, aritmia, gangguan jantung kongesti, gangguan jantung iskhemia, dan infark jantung), penyakit endokrin dan metabolik



(penyakit



Cushing,



hiperparatiroid,



hipertiroid,



hipotiroid,



hipoglikemia, hiponatremia, hiperkalemia, defisiensi vitamin B12 atau folat dan pheochronocytoma), gangguan syaraf (demensia, parkinson, migrain, kejang, stroke, dan neoplasma), gangguan respirasi (asma, PPOK, emboli paru dan pneumonia) dan lain-lainnya (anemia, SLE, dan disfungsi vestibular) -



Obat-obatan Beberapa pengobatan juga dapat menyebabkan gangguan ansietas, misalnya karbamazepin, antidepresan golongan SSRI, felodipin, antibiotika quinolon, isoniazid, teofilin, prednison, levodopa, ibuprofen dan lainnya. Penggunaan obat herbal seperti ma huang, ginseng dan ephedra juga dapat menyebabkan ansietas. Beberapa agen stimulan (amfetamin, kokain dan kafein), simpatomimetika (pseudoefedrin), dan hormon tiroid (levotiroksin) dapat memicu terjadinya ansietas. Disamping itu toksisitas beberapa obat seperti digoksin, antikolinergik dan antihistamin serta akibat gejala putus obat sedatif dan alkohol juga berupa gangguan ansietas.



b. Faktor penyakit kejiwaan Ansietas dapat merupakan manifestasi gejala klinik beberapa gangguan kejiwaan. Gejala ansietas secara nyata terjadi pada penderita dengan gangguan mood, skizofrenia, delirium, demensia dan gangguan penyalahgunaan obat. Sebagian besar penderita gangguan kejiwaan memiliki dua atau lebih gangguan kejiwaan yang terjadi bersamaan (komorbiditas) dalam kehidupan mereka. Berikut ini beberapa faktor etiologi menurut sumber lain yang di pengaruhi oleh 2 (dua) faktor sebagai berikut: a. Faktor predisposisi



Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang yang dapat menimbulkan kecemasan (Suliswati,2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : - Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional - Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan yang menimbulkan kecemasan pada individu - Konsep diri terganggu akan



menimbulkan ketidak mampuan



individu



berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan - Frustasi akan menimbulkan rasa ketidak berdayaan



untuk mengambil



keputusan yang berdampak terhadap ego - Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga - Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung



benzodizepin,



karena



benzodizepin



dapat



menekan



neurotransmiter gama amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. b. Faktor Presipitasi Stressor presipitasi adalah ketegangan dalam kehidupan yang dapat



mencetuskan



tibulnya



kecemasan.



Stressor



presipitasi



kecemasan



dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. Ancaman terhadap intregitas fisik.Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang meliputi : -



Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya hamil).



-



Sumber eksternal meliputi paparan



terhadap infeksi virus dan bakteri,



polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal 2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber eksternal dan internal -



Sumber internal, kesulitan dalam berhubungan interpersonal dirumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap intergritas fisik juga dapat mengancam harga diri.



-



Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya (Eko Prabowo, 2014).



II.3



Tingkat Ansietas (Kecemasan) Ada empat tingkat ansietas (Kaplan., et.al, 2010) yaitu : ringan, sedang, berat,



dan panik. Pada masing-masing tahap, individu memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif, dan respon emosional ketika berupaya menghadapi ansietas. Tabel 1 : Tingkat ansietas (Kaplan., et.al,2010) No



Tingkat Respon Ansietas Respon fisik Respon Kognitif



1.



Tingkat Ansietas Ringan (1+)



2.



Sedang (2+)



a. Ketegangan otot sedang b. Tanda-tanda vital meningkat c. Pupil dilatasi mulai berkeringa d. Suara berubah bergetar, nada suara tinggi e. Kewaspadaan dan ketegangan meningkat f. Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung.



3.



Berat (3+)



a. Ketegangan otot berat b. Hiperventilasi c. Kontak mata buruk d. Pengeluaran keringat meningkat e. Bicara cepat, nada



a. Ketegangan otot ringan b. Sadar akan lingkungan, c. Rileks atau sedikit gelisah d. Penuh perhatian e. Rajin.



Respon Emosional



a. Lapang persepsi luas, b. Terlihat tenang, percaya diri, c. Perasaan gagal sedikit, d. Waspada dan memerhatikan banyak hal e. Mempertimban gkan informasi a. Lapang persepsi menurun. b. Tidak perhatian secara selektif c. Fokus terhadap stimulus meningkat d. Rentang perhatian menurun e. Penyelesaian masalah menurun f. Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan



a. Perilaku otomatis b. Sedikit tidak sabar c. Aktivitas menyendiri d. Terstimulasi e. Tenang



a. Lapang persepsi terbatas b. Proses berfikir terpecah pecah c. Sulit berpikir d. Penyelesaian masalah buruk



a. b. c. d. e.



a. Tidak nyaman b. Mudah tersinggung c. Kepercayaan diri goyah d. Tidak sabar



Sangat cemas Agitasi Takut Bingung Merasa tidak adekuat f. Menarik diri



4.



Panik (4+)



II.4



suara tinggi f. Tindakan tanpa tujuan dan serampangan g. Rahang menegang, menggertakan gigi h. Kebutuhan ruang gerak meningkat a. Ketegangan otot sangat berat. b. Agitasi motorik kasar c. Pupil dilatasi d. Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun. e. Tidak dapat tidur f. Hormon stress dan neurotransmitter berkurang. g. Wajah menyeringai



e. Tidak mampu g. Menyangkal mempertimbangk h. Ingin bebas an informasi f. Hanya memperhatikan ancaman a. Persepsi sangat sempit b. Pikiran tidak logis, terganggu c. Kepribadian kacau d. Tidak dapat menyelesaikan masalah. e. Focus pada pikiran sendiri. f. Tidak rasional. g. Sulit memahami stimulus eksternal. h. Halusinasi, ilusi mungkin terjadi.



a. Merasa terbebas b. Merasa tidak mampu, tidak percaya c. Lepas kendali d. Mengamuk, putus asa e. Marah, sangat takut f. Mengaharapkan hasil yang buruk g. Kaget, takut h. Lelah



Klasifikasi Ansietas (Kecemasan)



Menurut DSM-IV TR, gangguan ansietas dikelompokkan menjadi : 1. Generalized anxiety disorder 2. Panic disorder 3. Phobic disorder 4. Obsessive compulsive disorder 5. Post traumatic stress disorder 6. Phobic disorder II.5



Gejala dan Tanda Ansietas (Kecemasan)



Menurut DSM, gangguan ansietas dapat dikelompokkan menjadi : 1. Generalized anxiety disorder meliputi ( DSM-IV, 2000) : a. Kehadiran kecemasan yang berlebihan tentang peristiwa atau kegiatan yang terjadi di hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan. b. Kehilangan kontrol atas intensitas khawatir.



c. Setidaknya tiga gejala termasuk gelisah atau jumpiness, kelelahan, kurangnya konsentrasi, mudah marah, otot ketegangan dan tidur masalah. d. Signifikan gangguan gejala dengan sosial dan pekerjaan terkait berfungsi atau menuju signifikan tertekan. e. Tidak ada gangguan suasana hati atau masalah psikiatri



Gambar 1. Persentation of Generalized Axiety Disorder (Dipiro, Joseph., et.al., 2008) 2. Panic disorder meliputi (DSM-IV, 2000) : a. Sering serangan panik tanpa menyebabkan atau peringatan. b. Mungkin ada kehadiran agoraphobia (ketakutan besar ruang terbuka). c. Ada tidak ada lain psikiatri atau medialis penyakit yang menjelaskan serangan. d. Setidaknya satu serangan diikuti oleh rasa takut: -



Ketakutan dan kekhawatiran mengenai serangan



-



Khawatir tentang konsekuensi dari serangan



-



Mengubah perilaku kaitannya dengan serangan panik



3. Post traumatic stress disorder meliputi (DSM-IV, 2000) : PTSD pasien memiliki sejarah mengalami, menyaksikan atau menghadapi suatu peristiwa yang terlibat mengobati atau risiko yang sebenarnya kematian atau bahaya serius. Pengalaman dapat disertai dengan perasaan takut, ketidakberdayaan atau horor. Perasaan tertekan bertahan selama setidaknya 1 bulan. Pada presentasi pasien mungkin re-live : a. Kenangan berulang acara dengan pikiran, persepsi atau kilatan gambar b. Mimpi-mimpi yang berulang c. Rasa menghidupkan kembali insiden dengan ilusi, halusinasi dan kilas balik d. Tekanan psikologis yang parah pada paparan isyarat untuk acara dan reaksi fisiologis isyarat 4. Obsessive compulsive disorder meliputi (DSM-IV, 2000) :



a. Obsesi mencakup berulang dan mengganggu pikiran, dorongan atau ide. Biasanya ada tidak ada kekhawatiran yang berlebihan tentang masalah-masalah nyata. b. Pasien telah berusaha untuk mengabaikan atau melarang pikiran-pikiran dan mengakui bahwa pikiran obsesif adalah produk dari pikiran sendiri. c. Dorongan yang berulang-ulang perilaku dan tindakan mental pasien yang digerakkan untuk mengikuti sesuai dengan aturan-aturan kaku yang telah ditetapkan sendiri.. d. Dorongan dapat diakui sebagai berlebihan dan dapat mengambil lebih dari 1 jam sehari. 5. Sosial anxiety disolder meliputi (DSM-V, 2013) : a. Ketakutan yang terus-menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau kinerja di mana orang tersebut terpapar pada orang yang tidak dikenal atau mungkin diawasi oleh orang lain. Individu takut bahwa dia akan bertindak dengan cara (atau menunjukkan gejala kecemasan) yang akan memalukan dan memalukan. b. Eksposur terhadap situasi yang ditakuti hampir selalu menimbulkan kecemasan, yang dapat berupa situasi panik atau situasi yang didahului oleh Panic Attack. c. Orang itu mengakui bahwa rasa takut ini tidak masuk akal atau berlebihan. d. Situasi yang ditakuti dihindari atau yang lain ditanggung dengan kecemasan dan kesusahan yang intens.



Gambar 2. Presentation of Social Anxiety Disorder (Dipiro, Joseph., et.al., 2008) 6. Phobic disorder meliputi (DSM-V, 2013):



Timbulnya rasa takut berlebihandan tidak beralasan terhadap suatu objek tertentu missal : ketinggian, melihat darah, hewan/ benda tertentu dan menerima suntikan. Ketakutan ini sering muncul dan memaksa penderita menghindari objek ketakutannya. Fobia spesifik berkembang selama masa kanak-kanak dan remaja. III. Faktor Resiko Ansietas (Kecemasan) Faktor resiko pada penderita ansietas dibagi menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan seseorang, antara lain (Wangmuba, 2009) : a. Usia dan tahap perkembangan Tahap perkembangan pada remaja terdiri dari tiga masa antara lain: masa remaja awal (11-13 tahun), masa remaja pertengahan (14-16tahun), masa remaja lanjut (1720 tahun). Pada tahap remaja awal akan timbul penyesuaian dengan perubahan perubahan baik yang terjadi secara fisik maupun emosional. Salah satu perubahan yang terjadi adalah terjadinya menstruasi yang pertama. Jika sebelumnya remaja tidak memahamni tentang menstruasi maka akan timbul kecemasan. b. Pengetahuan Semakin banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang maka seseorang tersebut akan lebih siap dalam menghadapi sesuatu dan dapat mengurangi kecemasan. c. Stress yang ada sebelumnya Perubahan pekerjaan tertentu, kekhawatiran akan keadaan keuangan, tempat tinggal, permasalahan keluarga, perceraian dan permasalahan lainnya membuat survivor berisiko mengalami kecemasan. Kecemasan ini akan semakin tinggi jika dukungan yang diperoleh bersifat terbatas. d. Dukungan social Tidak adanya sistem dukungan sosial dan psikologis menyebabkan seseorang berisiko mengalami kecemasan, karena tidak ada yang membantunya dalam memaknai peristiwa serta menghadapi kenyataan secara lapang dada untuk membangkitkan harga dirinya. e. Kemampuan mengatasi masalah (coping) Kemampuan coping yang buruk atau mal-adaptif seseorang mengalami kecemasan. f. Lingkungan budaya dan etnis



memperbesar resiko



Setiap informasai yang bersifat baru akan disaring oleh budaya setempat untuk dinilai apakah informasi tersebut layak atau tidak untuk disampaikan, sehingga terkadang informasi yang sifatnya penting untuk diketahui tidak dapat disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran yang pada



akhirnya dapat berisiko terjadinya



kecemasan pada seseorang yang tidak mengetahuinya. g. Kepercayaan Adanya kepercayaan tertentu yang tidak membenarkan perilaku atau informasi (yang berkaitan dengan menstruasi) dapat berisiko menimbulkan kecemasan karena seseorang akan timbul persepsi bahwa hal tersebut tidak baik atau merupakan suatu masalah.



IV. Patofisiologi Ansietas (Kecemasan) Gangguan ansietas berhubungan dengan adanya abnormalitas beberapa bagian di otak dan gangguan fungsi beberapa neurotransmitter yaitu: norepinefrin (NE), GABA dan serotonin (5-HT). Struktur amigdala yang merupakan lobus temporal diotak memegang peranan penting dalam menstimulasi dan merespon gejala kecemasan. Locus Ceruleus yang terletak di sumsum otak adalah bagian utama diotak yang mengandung NE dengan penyebaran ke area yang lebih luas di otak yang bertanggung jawab terhadap timbulnya respon cemas. Hippocampus adalah daerah di otak yang bertanggung jawab terhadaap munculnya gabungan stimulus memori trauma dan bersama dengan korteks entorhinal terlibat dalam overgeneralisasi respon cemas. Hipotalamus adalah area utam dalam respon neuroendokrin dan autonom secara menyeluruh untuk perbaikan cemas (Dipiro, Joseph., et.al., 2008). Ada tiga teori neurokimiatentang patofisiologi gangguan kecemasan (Dipiro, Joseph., et.al., 2008).: a.



Model Noradrenergik Teori ini menjelaskan bahwa penderita kecemasan mempunyai tingkat sensitivitas yang berlebihan terhadap kecemasan (hipersensitivitas) dan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus stress. Didalam respon untuk menyerang situasi yang menyebabkan stress, Locus coeruleus mempunyai peranan dalam mengatur ansietas, yaitu dengan mengaktivasi pelepasan norepinefrin (NE) dan merangsang sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Aktivitas berlebihan noradrenergik yang kronik menurunkan jumlah α-2 adrenoreseptor pada penderita gangguan kecemasan umum



atau Generalized Anxiety Disorder (GAD) dan gangguan stress pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pasien dengan gangguan kecemasan sosial atau Social Anxiety Disorder (SAD) nampaknya mempunyai respon adrenokortikal yang berlebihan terhadap tekanan psikologis atau kejiwaan. Obat-obat noradrenergik.



ansiogenik Disamping



menstimulasi itu



NE



juga



NE



dan



dapat



meningkatkan



aktivitas



mengeluarkan



glutamat



(neurotransmitter eksitatori). Hal ini menyebabkan perasaan cemas dan dapat menimbulkan serangan panik. Obat-obat yang mempunyai efek anti ansietas atau antipanik dapat menghambat LC, menurunkan aktivitas noradrenegik dan dapat menghambat efek obat-obat ansiogenik. b.



Model GABA Terdapat dua reseptor protein GABA adalah GABAa dan GABAb. GABA adalah neurotransmitter inhibitori utama dalam susunan syaraf pusat mempunyai pengaturan kuat atau efek inhibitori pada sistem 5 HT, NE dan Dopamin (DA). Pada saat GABA terikat reseptor GABAa, saluran ion Cl terbuka dan menyebabkan influks muatan negatif. Kondisi ini menyebabkan hiperpolarisasi membran sel dan menurunkan esksitabilitas sel syaraf. Efek penurunan eksitabilitas syaraf ini menjadi mekanisme efek ansiolitik obat-obat agonis GABA, seperti pada obat golongan benzodiazepin. Benzodiazepin (BZ) meningkatkan atau mengurangi efek penghmbatan GABA, dimana BZ mempunyai efek pengontrolan atau penghambatan yang kuat pada sistem serotonin (5-HT), Norepinefrin (NE), dan dopamin (DA). Gejala ansietas mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas system GABA atau penurunan jumlah reseptor pusat BZ. Pada penderita GAD, ikatan BZ di lobus temporalis kiri dikurangi. Sensitivitas abnormal terhadap sifat antagonis tempat ikatan BZ dan pengurangan ikatan ditunjukkan pada kondisis gangguan kepanikan atau panic disorder. Respon hormon pertumbuhan (growth hormone) terhadap baklofen pada penderita SAD pada uumnya menunjukkan adanya ketidaknormalan pada fungsi GABAB pusat. Ketidaknormalan penghambatan GABA dapat menyebabkan peningkatan respon terhadap tekanan atau stres pada penderita PTSD.



c. Model Serotonin (5-HT) Gangguan pada sistem serotonin yang merupakan neurotransmitter inhibitori menimbulkan gangguan pada pelepasan dan reuptake pada autoreseptor presinaptik,



transporter reuptake serotonin atau efek serotonin pada reseptorpost sinaptik. Mekanisme ini diduga memegang peranan dalam munculnya gangguan ansietas. Peran yang pasti 5-HT pada gangguan panikbelum diketahui secara pasti, namun 5-HT mungkin memainkan peran dalam mengantisipasi berkembangnya kecemasan. Dipostulasikan bahwa aktivitas yang lebih pada 5-HT akan mengurangi aktivitas NE di LC. Obat-obat SSRI yang secara cepat meningkatkan kadar 5-HT yang tersedia pada pasca sinaptik terbukti efektif menekan gejala panik dan kecemasan Aktivitas rendah 5-HT dapat menyebabkan disregulasi neurotransmitter lain. NE dan sistem 5-HT saling terkait erat, dan interaksi antara keduaya bersifat timbal balik dan bervariasi. NE dapat bertindak pada ujung presipnatik syaraf 5-HT untuk mengurangi pelepasan 5-HT dan aktivitas tersebut pada reseptor pascasipnatik dapat menyebabkan peningkatan pelepasan 5-HT. Stimulasi dari reseptor 5-HT2A pasca sipnatik dalam sistem limbik berkontribusi terhadap kecemasan dan perilaku penghindaran. V. Tata Laksana Terapi Ansietas (Kecemasan) 2.4.1 Tujuan Tatalaksana Terapi Adapun tujuan tatalaksana terapi pada pasien Ansietas (kecemasan) adalah sebagai berikut (Ikawati, 2011) : 1. Mengurangi keparahan dan durasi gejala serta memperbaiki fungsi pasien secara keseluruhan. 2. Tujuan jangka panjang adalah kesembuhan atau pencegahan dari kekambuhan. 2.4.2 Terapi Farmakologi Pengobatan gangguan kecemasan membutuhkan waktu lama dan kesabaran untuk menemukan obat yang terbaik bagi pasien. Terdapat 4 kelas utama pengobatan yang digunakan adalah :



1. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) Selective serotonin reuptake inhibitor SSRI) merupakan grup kimia antidepresan baru yang khas, hanya menghambat ambilan serotonin secara spesifik. Berbeda dengan antidepresan trisiklik yang menghambat tanpa seleksi



ambilan-ambilan norepinefrin, serotonin, reseptor muskarinik, H-histaminik dan α-adrenergik. Dibanding dengan antidepresan trisiklik, SSRI menyebabkan efek antikolinergik lebih kecil dan kordiotoksisitas lebih rendah (Gunawan., et.al, 2007). a. Mekanisme Kerja Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) adalah obat antidepresan yang mekanisme kerjanya menghambat pengambilan serotonin yang telah disekresikan dalam sinap (gap antar neuron), sehingga kadar serotonin dalam otak meningkat. Peningkatan kadar serotonin dalam sinap diyakini bermanfaat sebagai antidepresan (Gunawan., et.al, 2007). b. Penggunaan Dalam Terapi SSRI sangat efektif digunakan untuk mengobati depresi dan beberapa jenis gangguan cemas (misalnya gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik dan sosial fobia). SSRI juga efektif diguakan pada komorbiditas depresi dengangangguan fisik, misalnya penyakit jantung (Gunawan., et.al, 2007). 2. SNRIs (Serotonin-Norepinephrin Reuptake Inhibitors) Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak ditimbulkan antidepresan trisiklik. Antidepresan golongan SNRI memiliki aksi ganda dan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi pada depresi parah (Gunawan., et.al, 2007). Salah satu contoh obat golongan SNRI adalah venlafaxine yang menyebabkan penghambtan sentral selektif terhadap ambilan kembali norepinephrine dan serotonin. Venlafaxien memiliki efek samping yang sama dengan SSRI, yang tersering adalah mual, sakit kepala, insomnia, mulut kering, pusing, konstipasi, astenia, berkeringat dan gugup. Kebanyakan efek samping ini terkait dosis dan sebagian besar menurun intensitas dan frekuensinya seiring waktu. Pada dosis yang lebih tinggi dapat terjadi hipertensi.Overdosis mengakibatkan



perubahan



EKG



(seperti



pemanjangan



interval



QT,



pemanjangan QRS) takikardi sinus, takikardi ventrikel, bradikardia dan kejang (Gunawan., et.al, 2007). 3. Benzodiazepin



Benzodiazepin merupakan obat yang paling efektif dan aman untuk pengobatan gejala-gejala kecemasan akut. Semua benzodiazepin memiliki efektifitas ansiolitik yang sama, dan umumnya respon positif terlihat pada 2 minggu pertama terapi. Benzodiazepin lebih efektif untuk gejala-gejala somatik dan autonomik GAD, sedangkan antidepresan lebih efektif untuk gejala-gejala psikis. Secara teoritis, benzodiazepin mengatasi kecemasan dengan cara potensiasi aktivitas GABA. Dosis harus diindividualisasi dan umumnya lama terapi tidak boleh melebihi 4 bulan. Beberapa penderita memerlukan terapi yang lebih lama. 4. Tricyclic Antidepresan (TCA) Anti depresan trisiklik merupakan anti depresan generasi pertama untuk mengatasi pasien depresi. Belakangan ini kedudukan antidepresan trisiklik telah digeser oleh anti depresan baru karena ditolerir dengan lebih baik dan factor keamanan. Pemberian antidepresan trisiklik secara oral diserap dengan baik dan level puncak dalam plasma dicapai setelah 2-6 jam (Richard., et.al, 2009). Antidepresan trisiklik menghambat ambilan neropinefrin dan serotonin ke neuron. Terapi jangka panjang menyebabkan perubahan dalamreseptor-reseptor sistem saraf pusat tertentu. Obat penting dalam grup ini adalah imipramin, amitriptilin,



desipramin,



suatu



derivat



demetilasi



imipramin,



nortriplin,



protriptilin dan doksepin. Amoksapin dan maprotilin disebut “generasi kedua” untuk membedakannya dengan antidepresan trisilik yang lama. Obat generasi kedua ini mempunyai kerja yang sama dengan imipramin, meskipun memperlihatkan farmakokinetik yang sedikit berbeda. Semua antidepresan trisiklik (TCA) memiliki efek terapi yang sama dan pilihan tergantung pada toleransi efek samping dan lama kerja obat. Pasien yang tidak responsif dengan salah satu TCA dapat diberikan pilihan obat lain dalam golongan ini (Richard., et.al, 2009). a. -



Mekanisme Kerja Antidepresan Trisiklik (Tricyclic Antidepresan/ TCA) Menghambat Uptake Neurotransmiter TCA menghambat ambilan norepinefrin dan serotonin neuron masuk ke terminal saraf prasinaptik. Dengan menghambat jalan utama pengeluaran neurotransmiter, TCA akan meningkatkan konsentrasi monoamin dalam celah sinaptik, menimbulkan efek antidepresan. Teori ini dibantah karena beberapa



pengamatan seperti potensi TCA menghambat ambilan neurotransmiter sering tidak sesuai dengan efek antidepresi yang dilihat di klinik. Selanjutnya, penghambatan ambilan neurotransmiter terjadi segera setelah pemberian obat sedangkan efek antidepresan TCA memerlukan beberapa waktu setelah pengobatan terus menerus. Hal ini menunjukkan ambilan neurotransmiter yang menurun hanyalah satu peristiwa awal yang tidak ada hubungan dengan efek antidepresan. Diperkirakan bahwa densitas reseptor monoamin dalam otak dapat berubah setelah 2-4 minggu penggunaan obat dan mungkin penting dalam mulainya kerja obat (Richard., et.al, 2009). -



Penghambatan Reseptor TCA juga menghambat reseptor serotonik, α-adrenergik, histamin dan muskarinik.



b.



Penggunaan Dalam Terapi Antidepresan trisiklik efektif mengobati depresi mayor yang erat. Beberapa gangguan panik juga responsif dengan TCA. Indikasi TCA yaitu untuk depresi berat termasuk depresi psikotik kombinasi dengan pemberian antipsikotik, depresi melankolik dan beberapa jenis ansietas. Klomipramin



banyak digunakan untuk gangguan obsesif kompulsif (Richard., et.al, 2009).



Gambar 3. Drug Choices for Anxiety Disorder (Dipiro, Joseph., et.al., 2008).



Gambar 4. Algorithm for the pharmacotherapy of GAD (Dipiro, Joseph., et.al., 2008). 2.4.3 Terapi Non-Famakologi Terapi non-farmakologi dapat di.lakukan dalam bentuk terapi psikologis. Terapi ini



memainkan



peran



penting



dalam



pelaksanaan



gangguan



kecemasan,



namunmotivasi dan keinginan pasien sangat penting ketika memilih pengobatan. Ada beberapa terapi non-farmakologi yang bisa dilakukan untuk mengendalikan gangguan ansietas yaitu (Ikawati, 2011) : 1. Cognitive-Behavioral Theraphy (CBT) Terapi



perilaku



kognitif



(CBT/Cognitive



Behavior



Therapy)



menggunakan teori dan riset tentang proses-proses kognitif. Pada faktanya terapi tersebut menggunakan gabungan paradigma kognitif dan belajar. Para terapis perilaku kognitif memberikan perhatian pada peristiwa-peristiwa dalam diri, pemikiran, persepsi, penilaian, pernyataan diri, bahan asumsi asumsi yang tidak diucapkan (tidak disadari), dan telah mempelajari serta memanipulasi proses-proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman (Beck, J. 2011). 2. Exposure Therapy Terapi eksposure adalah jenis terapi yang dapat membantu mengurangi trauma yang dialami penderita. Terapi ini berfungsi membantu dengan pendekatan trauma -pemikiran, perasaan, dan situasi terkait yang telah Anda hindari kesusahan mereka menyebabkan. Pemaparan berulang atas pemikiran, perasaan dan situasi ini membantu mengurangi kekuatan yang mereka miliki untuk menimbulkan kesusahan (Cuijpers, et.al. 2016). 3. Acceplant and Commitment Therapy



Terapi penerimaan dan komitmen (ACT, biasanya diucapkan sebagai kata "tindakan") adalah bentuk konseling dan cabang analisis perilaku klinis. Ini adalah intervensi psikologis berbasis empiris yang menggunakan strategi penerimaan dan kesadaran yang dicampur dalam berbagai cara dengan strategi komitmen dan perubahan perilaku, untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis (Jennifer C, et.al. 2009). 4. Dialectical Behavioral Therapy Dialectical behavior therapy (DBT) adalah terapi perawatan berbasis bukti yang dirancang oleh Dr. Marsha Linehan untuk membantu orang yang menderita gangguan kepribadian ambang. Ini juga telah digunakan untuk mengobati gangguan suasana hati serta mereka yang perlu mengubah pola perilaku yang tidak membantu, seperti menyakiti diri sendiri, ide bunuh diri, dan penyalahgunaan zat. Pendekatan ini bekerja untuk membantu orang meningkatkan regulasi emosi dan kognitif mereka dengan belajar tentang pemicu yang mengarah ke keadaan reaktif dan membantu menilai keterampilan koping mana yang diterapkan dalam urutan kejadian, pikiran, perasaan, dan perilaku untuk membantu menghindari reaksi yang tidak diinginkan. DBT mengasumsikan bahwa orang melakukan yang terbaik tetapi tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk berhasil, atau dipengaruhi



oleh



penguatan



positif



atau



penguatan



negatif



yang



mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi secara tepat (Chapman, 2006). 5. Interpersonal Therapy Interpersonal psychotherapy (IPT) adalah psikoterapi singkat, berfokus pada keterikatan yang berpusat pada penyelesaian masalah interpersonal dan pemulihan simtomatik. Ini adalah pengobatan yang didukung secara empiris (EST) yang mengikuti pendekatan yang sangat terstruktur dan terbatas waktu dan dimaksudkan untuk diselesaikan dalam 12-16 minggu. IPT didasarkan pada prinsip bahwa hubungan dan peristiwa kehidupan berdampak pada suasana hati dan sebaliknya juga benar (Cuijpers, Geraedts, et.al. 2011). 6. Eye movement desensitization and reprocessing Eye movement desensitization and reprocessing merupakan teori yang menggunakan gerakan mata atau bentuk lain dari stimulasi bilateral untuk



membantu korban trauma dalam memproses kenangan dan keyakinan yang menyedihkan. Biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Teori di balik pengobatan mengasumsikan bahwa ketika pengalaman traumatis atau menyedihkan terjadi, mungkin membebani mekanisme koping normal, dengan memori dan rangsangan terkait yang diproses tidak memadai dan disimpan dalam jaringan memori yang terisolasi (Shapiro, 2010). Terapi non-farmakologi pada pasien mengalami kecemasan (ansietas), menurut beberapa sumber sebagai berikut : 1. Relaksasi Relaksasi dengan melakukan pijat/pijatan pada bagian tubuh tertentu dalam beberapa kali akan membuat peraaan lebih tenang, mendengarkan musik yang menenangkan, dan menulis catatan harian. Selain itu, terapi relaksasi lain yang dilakukan dapat berupa meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif (Siahaan S., 2013). 2. Distraksi Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak. Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan memberikan dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama dan keyakinannya), sehingga dapat



menurunkan hormon -hormon stressor, mengaktifkan hormon



endorfin alami, meningkatkan



perasaan



rileks,



dan



mengalihkan



perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh



sehingga menurunkan



tekanan darah serta memperlambat



pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik (Potter & Perry, 2010). 3. Humor



Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa melenyapkan stres. Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa melepaskan endorfin ke dalam sirkulasi dan perasaan stres dilenyapkan (Potter & Perry, 2010). 4. Terapi spiritual Aktivitas spiritual dapat juga mempunyai efek positif dalam menurunkan stres. Praktek seperti berdoa, meditasi atau membaca bahan bacaan keagamaan dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap gangguan stressor yang dialami (Potter & Perry, 2006). 5. Aromaterapi Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan minyak essensial yang dinilai



dapat



membantu



mengurangi



bahkan



mengatasi



gangguan



psikologis dan gangguan rasa nyaman seperti cemas, depresi, nyeri, dan sebagainya (Watt & Janca, 2008) VI. Evidence Terkait Kaus Stroke a. Diazepam diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan jangka lama, karena mempunyai masa kerja panjang. Selain itu juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, diazepam digunakan sebagai hipnotik, antikonvulsi pelemas otot dan induksi anastesi. Diazepam juga digunakan untuk preeklampsia dan eklampsia yang diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg (Priyatni, 2016). b. Gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter yang terlibat dalam kecenderungan rasa takut atau cemas, merupakan inhibitor utama dari neurotransmitter pada sistem saraf pusat (SSP) mamalia dan regulator berbagai proses fisiologis dan psikologis. Neurotransmitter GABA merupakan salah satu penyebab stress atau kondisi neuropsikiatrik, termasuk ke dalam gangguan cemas dan depresi. GABA menghambat HPA axis melalui reseptor GABA yang ekspresinya dipengaruhi oleh corticotrophin- releasing hormone (CRH) di neuron pada bagian paraventricular nucleus (PVN) di hipotalamus. Kelebihan sekresi kortisol memengaruhi perkembangan berbagai suasana hati dan juga berupa gangguan kecemasan, termasuk depresi. Paparan terhadap stres dapat memodulasi efek inhibitori GABAergic sehingga mengakibatkan terhentinya sekresi adenocortocotropin hormone (ACTH) dan kortisol (Barliana Melisa., et.al 2016).



c. Kecemasan atau ansietas merupakan bentuk gangguan psikologi yang cukup banyak ditemukan pada remaja di Pekanbaru. Penelitian yang dilakukan pada pelajar salah satu SMA Negeri di Surakarta juga menunjukkan hasil yang sama yaitu sebanyak 60% responden mengalami gangguan kecemasan atau ansietas. Fobia sosial lebih banyak ditemukan pada laki-laki sedangkan pada fobia



yang sederhana gangguan menghindar dan agoraphobia lebih banyak



ditemukan pada remaja perempuan. Sementara cemas perpisahan, gangguan cemas menyeluruh, dan gangguan panik didapatkan pada kedua jenis kelamin. Lebih lanjut, gangguan stres pada penelitian ini ditemukan juga lebih



banyak



pada



pelajar



perempuan (41,0%)



dibandingkan



laki-laki



(28,8%). Sumber stres pada remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya sama, hanya saja remaja perempuan sering merasa cemas ketika sedang menghadapi masalah sedangkan pada remaja laki-laki cenderung lebih berperilaku agresif (Masdar Hariatul., et.al, 2016). VII.ALAT DAN BAHAN VII.1



Alat



a. Form SOAP b. Form Medication Record c. Catatan minum obat d. Kalkulator Scientific e. Laptop dan koneksi internet VII.2



Bahan



a. Text book (Dipiro, Koda kimbel, DIH) b. Data nilai normal laboratorium c. Evidence terkait (journal, sistematik review, meta analisis) VIII. KASUS Sodara A, umur 20 tahun, datang ke klinik mengeluhkan kegelisahannya yang berlebihan dan kesulitan dalam mengendalikan dirinya, terutama pada waktu ujian. Sehingga sebagai bentuk ketakutannya ia selalu mengulang materi yang telah ia pelajari berkali-kali. Selain itu dia khawatir tentang hubungan nya dengan pasangannya, dikarenakan takut kekurangan didirinya diketahui pacarnya. Sodara A juga terkadang



mengalami serangan panik tiba-tiba, namun ini bukan hal yang utama yang terlihat dari dirinya. Dokter memberinya obat diazepam 5 mg (2 x 1).



IX. DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Assotiation. 2013. Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder. Edisi ke-5. USA: American Psychiatric Publishing Barliana Melisa, Carissa Purabaya, Sri A.F Kusuma, dan Rizky Abdulah. 2016. Polimorfisme Gen γ-Aminobutyric Acid Type A Receptor Subunit α-6 (GABRA6) dan Gangguan Kecemasan. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol. 5, No.2, Halaman: 123-131 Beck, Judith S. 2011. Cognitive-Behavior Therapy: Basic and Beyond (2nded). New York: The Guilford Press. Bose, et al, 2008. Research Article Randomized Placebo‐Controlled Trial Of Escitalopram And Venlafaxine Xr In The Treatment Of Generalized Anxiety Disorder. The Oficial journal of ADAA Chapman,AL2006."Dialectical behavior therapy: current indications and unique elements". Psychiatry (Edgmont). 3: 62–8 Cuijpers, Pim; Donker, Tara; Weissman, Myrna M.; Ravitz, Paula; Cristea, Ioana A. 2016. "Interpersonal Psychotherapy for Mental Health Problems: A Comprehensive MetaAnalysis". American Journal of Psychiatry. 173 (7): 680–7. doi:10.1176/appi.ajp.2015.15091141. PMID 27032627. Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard; Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke 2011. Interpersonal Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis". American Journal of Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411. Dipiro, Joseph., et.al. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New York (1161-1190) Gunawan SG, et al. 2007.Farmakologi dan terapi edisi ke-lima. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi penyakit Sistem Saraf Pusat. Bursa Ilmu