Kel. 8 (Maqashid Syari'ah Sebagai Landasan Berfikir Filosofis Hukum Islam) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Maqashid Syari’ah sebagai Landasan Berfikir Filosofis Hukum Islam Untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Hukum Islam



Dosen Pengampu : Maya Novianasari, M.H.I.



Disusun Oleh : 1. Nanda Fauzan



(1921030581)



2. Nanda Chiara Laraisyah (1921030273) 3. Nindy Agustina



(1921030277)



Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Semester : 5 ( lima)



FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN 2021/2022



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini, dengan judul “Maqashid Syari’ah sebagai Landasan Berfikir Filosofis Hukum Islam”. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan makalah yang dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.



Bandar Lampung, 10 Oktober 2021



Penyusun



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2 C. Tujuan .............................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Maqashid Syari’ah ........................................................................... 3 B. Tingkatan dan Kategorisasi Maqashid Syari’ah ................................................. 4 C. Maqashid Syari’ah sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam................................ 7 D. Hubungan Maslahah dengan Maqashid Syari’ah ................................................ 9 E. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum Islam ...................... 11 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................................... 13 B. Saran ................................................................................................................. 13



DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid alsyari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid alsyari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari' (yang menetapkan syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:127), menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari'at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari'at. Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam di era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius berkaitan dengan hukum Islam. Di lain pihak, metode yang dikembangkan para pembaru dalam menjawab permasalahan tersebut terlihat belum memuaskan. Dalam penelitian mengenai pembaruan hukum di dunia Islam, disimpulkan bahwa metode yang umumnya dikembangkan oleh pembaru Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada pendekatan yang terpilahpilah dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur dan talfiq (Anderson, 1976:42). Maka menjadi kebutuhan yang sangat urgen agar para pembaru Islam saat ini merumuskan suatu metodologi sistematis yang mempunyai akar Islam yang kokoh jika ingin menghasilkan hukum yang komprehensif dan berkembang secara konsisten (Esposito, 1982:101). Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengetahuan tentang teori 1



maqashid al-syari'ah dalam kajian hukum Islam merupakan suatu keniscayaan. Tulisan singkat ini akan mencoba mengemukakan secara sederhana teori maqashid al-syari'ah tersebut. Poin-poin yang dianggap penting dalam masalah ini meliputi pengertian maqashid al-syari'ah, kandungannya, dan cara mengetahuinya. B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian dari Maqashid Syari’ah? 2. Apa saja Tingkatan dan Kategorisasi Maqashid Syari’ah? 3. Maqashid Syari’ah sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam? 4. Bagaimana Hubungan Maslahah dengan Maqashid Syari’ah? 5. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum Islam?



C. Tujuan Dapat memahami Maqashid Syari’ah sebagai Landasan Berfikir Filosofis Hukum Islam, seperti Pengetian, Tingkatan dan Kategorisasi, Maqashid syari’ah sebagai dasar penetapan hukum islam, Hubungan maslahah dengan maqashid syari’ah dan sekaligus peranan maqashid syari’ah dalam pengembangan hukum islam.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Maqashid Syari’ah Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Asafri Jaya, 1996:5). Izzuddin ibn Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:125), mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah tidak membutuhkan ibadah seseorang, karena ketaatan dan maksiat hamba tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemulian Allah. Jadi, sasaran manfaat hukum tidak lain adalah kepentingan manusia. Menurut Satria Efendi (1998:14), maqashid al-syari'ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum. Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh



3



hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasiarahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya. 1 B. Tingkatkan dan kategorisasi Maqashid Syari'ah Ada 3 Kategori yaitu al-Dharuriyyat, al-Hajiyyat, dan al-Tahsiniyyat 1) Al-Dharuriyyat Al-dharuriyyat adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik agamanya maupun dunianya. Apabila al-dharuriyyat tidak ada dan tidak terpelihara dengan baik, maka rusaklah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, al-dharuriyat adalah tujuan esensial dalam kehidupan manusia demi untuk menjaga kemaslahatan mereka. Tujuan hukum Islam dalam bentuk aldharuriyat ini mengharuskan pemeliharaan terhadap lima kebutuhan yang sangat esensial bagi manusia yang dikenal dengan al-dharuriyah al-khams, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Hasaballah: 296-297). Pengertian memelihara di sini setidaknya memiliki dua makna, yaitu: Pertama, aspek yang menguatkan unsur-unsurnya dan mengokohkan landasannya yang disebut dengan muru`ah min janib al-wujud. Dalam hal pemeliharaan agama dapat dicontohkan dengan kewajiban beriman, mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Sedangkan dalam pemeliharaan diri dan akal seperti kewajiban mencari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Dalam bidang pemeliharaan yang lain seperti aturan-aturan dalam bidang pernikahan, dan bermuamalah secara umum. Kedua, aspek yang mengantisipasi agar kelima kebutuhan pokok tersebut tidak terganggu dan tetap terjaga dengan baik, yang disebut dengan muru`ah min janib al‘adam. Misalnya aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam bidang jinayah seperti aturan tentang si pembunuh, si peminum khamar, pencuri, pezina, dan sebagainya yang dikenakan sanksi berat atas perbuatan mereka.Dengan demikian, pada aspek pertama, pemeliharaan dilakukan dengan mengerjakan semua perintah yang ada kaitannya dengan lima hal mendasar dalam kehidupan manusia. Sedangkan pada aspek kedua ditekankan kepada menjauhi atau meninggalkan semua perbuatan yang 1



Dr. Busyro, M.Ag. Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam. Purwosari Babadan Ponorogo, Cet I, Agustus 2016



4



dapat merusak dan mengganggu kelima hal tersebut. Pemeliharaan dalam hal yang al-dharuriyat dapat diterangkan sebagai berikut:  Memelihara kemaslahatan agama Agama sesuatu yang mesti dimiliki oleh setiap manusia agar kedudukannya lebih terangkat tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Agama Islam merupakan nikmat Allah SWT yang amat tinggi dan sempurna. Oleh karena itu agama harus dipelihara dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya, baik dalam intern agama itu sendiri maupun dari ekternnya. Dalam betuk eksternya, agama mesti dipelihara dari segala sesuatu yang ingin menghancurkan dan melenyapkannya. Oleh karena itu kepada umat Islam dihalalkan melakukan jihad (bahkan diperintahkan) guna membela agama dari gangguan-gangguan luar, dan sebagaimana diketahui dalam jihad (perang) pertaruhan nyawa merupakan suatu keniscayaan



yang



wajib



dihadapi.



Tetapi



demi



pemeliharaan



agama,



mengorbankan nyawa atau melenyapkan nyawa orang lain sudah merupakan suatu perintah agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan tingkat yang paling tinggi dari seluruh kebutuhan pokok yang mesti ada pada manusia.  Memelihara jiwa Untuk tujuan ini ajaran Islam melarang melakukan pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan-tindakan lain yang dapat mengancam eksistensi jiwa. Jika larangan ini dikerjakan, maka Islam memberikan sanksi yang tidak ringan, seperti qishas dalam pembunuhan dan penganiayaan, serta ancaman yang serius bagi mereka yang mencoba membunuh dirinya. Semua ini diatur dalam rangka memelihara eksistensi jiwa manusia selama hidup di dunia ini.  Memelihara akal Akal adalah ciri khas yang dimiliki manusia yang membedakannya dengan binatang. Manusia hidup dengan akalnya, berpikir dengan akalnya, mencari jalan keluar dari permasalahannya dengan akalnya, dan berbagai fungsi akal lainnya. Ketika akal terganggu, maka terganggulah perjalanan hidupnya sebagai manusia. Oleh karena itu Allah SWT mengharamkan minum khamar dan menghukum pelakunya dengan hukuman had. Di samping itu juga ada larangan untuk mengkhayal.



5



 Memelihara Keturunan Mempunyai keturunan merupakan salah satu tujuan perkawinan di samping tujuantujuan lainnya. Oleh sebab itulah diatur hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam bentuk perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar mereka memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunan mereka. Dengan lembaga perkawinan, Allah SWT mengakui garis keturunan tersebut, begitu juga dengan masyarakat. Akan tetapi ketika lembaga perkawinan tidak diindahkan, maka Allah SWT SWT tidak akan mengakui garis keturunan tersebut, termasuk masyarakat. Akibatnya secara vertikal (Allah SWT) dan horizontal (sosial) tidak ada kehormatan yang dimiliki berkenaan dengan keturunan yang dihasilkan.Dalam rangka inilah Allah SWT mensyariatkan seseorang untuk menikah dan sebaliknya mengharamkan perbuatan zina. Pentingnya garis keturunan yang jelas ini tidak hanya untuk kehidupan di dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat nanti.  Memelihara harta Harta merupakan sesuatu yang menunjang kehidupan manusia di atas dunia dan juga untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Dengan harta orang dapat mendapatkan apa yang ia mau, dan dengan harta orang dapat menjalankan ibadah dengan baik dan sempurna. Oleh karena itu Islam mengakui hak milik pribadi, karena hak milik itu akan membahagiakan seseorang hidup di dunia. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai harta biasanya tidak akan mendapatkan apa yang ia mau dapatkan dengan mudah dan gampang. Hidupnya akan terasa sulit dan bahkan menyusahkan orang lain. Begitu juga ia tidak dapat menunaikan ibadah-ibadah yang berkaitan dengan ketersediaan harta, seperti zakat dan haji.Itulah sebabnya harta menjadi penopang kehidupan yang sangat penting dan diakui oleh Allah SWT untuk dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk mencari harta dan melarang mengambil harta orang lain. 2) Al-Hajiyyah Al-hajiyyah adalah suatu kebutuhan yang juga mesti dipunyai oleh manusia, dan keberadaannya akan membuat hidup manusia akan lebih mudah dan terhindar dari kesulitan. Orang yang tidak memperoleh atau mengedepankan kebutuhan al-hajiyyah ini pada dasarnya tidak akan membuat kehidupannya hancur dan berantakan, tetapi 6



akan mendapatkan kesulitan, baik dalam menjalankan aktifitas keduniawian maupun aktifitas ukhrawinya. Itulah sebabnya dalam bidang agama misalnya, diperbolehkan mengambil keringanan yang diberikan oleh Allah SWT seperti mengqashar shalat bagi musafir, berbuka puasa bagi musafir dan orang sakit, mendirikan shalat dalam keadaan duduk apabila tidak sanggup berdiri, melihat calon istri/suami yang akan dinikahi, dan sebagainya. 3) Al-Tahsiniyyah Al-Tahsiniyyat merupakan kebutuhan manusia untuk menyempurnakan sesuatu yang dilakukan dan membuatnya lebih indah dan penuh kewibawaan. Apabila hal ini tidak didapatkan oleh manusia sebenarnya tidak akan merusak tatanan hidupnya, dan juga tidak akan menyulitkan kehidupannya. Tetapi keberadaannya akan menghasilkan kesempurnaan dan nilai keindahan dan akhlak yang tinggi. Misalnya memakai harumharuman ketika pergi menghadiri shalat berjamaah, mandi sebelum jumat, belajar di ruangan yang bagus dan memakai media yang modern, menikah dengan orang yang keturunannya terpandang, dan sebagainya. C. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam Dilihat dari segi bahasa, kata maqashid berarti tujuan-tujuan, dan syari’ah adalah sebuah jalan yang ditunjukkan oleh Allah SWT untuk meniti kehidupan di dunia ini. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam meniti jalan yang diiginkan oleh Allah SWT (hukum Islam). Jika orang bertanya kenapa Allah SWT mewajibkan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat, haji, menghadirkan saksi dalam pernikahan, menuliskan transaksi hutang piutang, memotong tangan pencuri, mencambuk orang yang berzina, dan sebagainya, maka hal itu tentu mempunyai tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. 2 Kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap ketetapan Allah SWT dan RasulNya telah membawa kepada suatu kesimpulan, tidak satupun dari ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya yang sia-sia tanpa tujuan apa-apa. Semuanya mengarah kepada kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun kemaslahatan individu.



2



http://ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/almabsut/article/view/294



7



Ketika suatu ketentuan dalam sebuah ayat atau hadis diteliti dan ternyata menghasilkan kemaslahatan, lalu dilihat lagi ayat dan hadis lainnya yang juga menghasilkan kemaslahatan, maka diambil kesimpulan secara istiqra` (induktif) bahwa semua hukum syara’ itu bermuara kepada



kemaslahatan. Oleh karena itu untuk



melanjutkan hal yang demikian, maka ulama juga harus berupaya maksimal agar dalam penetapan hukum (baca; fiqh) harus mengacu kepada kemaslahatan yang diinginkan oleh syari’. Pertanyaannya adalah, kemaslahatan dalam bidang apa saja yang telah menjadi temuan ulama itu? Dan bagaimana ulama merumuskan tatacara untuk mewujudkannya? Inilah tema sentral dalam pembahasan tentang maqashid al-syari’ah ini. Hukum-hukum syara’ (hukum Islam) yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya mempunyai tujuan-tujuan tertentu, baik secara umum maupun secara khusus. Tujuaan dimaksud adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia dan akhirat. Untuk memastikan terpeliharanya kemaslahatan manusia, maka Allah SWT (sebagai pembuat hukum) menetapkan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah yang amat asasi dalam kehidupan manusia, yang tercakup di dalamnya masalah pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Pemeliharaan lima hal ini adakalanya dalam bentuk dharuriyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat. Istilah Maqashid al-Syari’ah dan semua peristilahan yang terkandung di dalamnya memang tidak ditemukan pada masa Nabi dan sahabatnya, akan tetapi dari kajian sejarah hukum Islam, diketahui bahwa pada dasarnya Nabi SAW telah menerapkan maqashid alsyari’ah dalam keputusan-keputusan hukumnya, begitu juga pada periode sahabat. Hal ini tidak berarti bahwa maqashid al-syari’ah sebuah ilmu baru yang diciptakan oleh mujtahid, tetapi sudah pernah dilaksanakan oleh Nabi dan sahabatnya, walaupun pada saat itu tidak dikenal dengan maqashid al-syari’ah. Kondisi ini sama saja dengan ilmu-ilmu lainnya dalam Islam yang tidak mempunyai istilah sendiri pada periode Rasul dan sahabat. Perwujudan maqashid al-syari’ah perlu memperhatikan dasar-dasar umum dalam hubungan sesama manusia. Dasar-dasar itu adalah: 1) Kehormatan manusia (karomah insaniyah), yaitu kehormatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana disebutkan Allah SWT, seperti dalam QS 85: 4, QS 49:13, dan lain-lain.



8



2) Kemerdekaan dan kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab terhadap kewajiban yang dibebankan kepadanya di muka bumi ini (QS 2: 256). 3) Kerjasama kemanusiaan (ta’awun al-insani). Allah SWT memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong, saling mengasihi, membantu sesama, dan sebagainya sebagai buah dari dari dasar sifat kemnusiaan yang dimilikinya. 4) Keadilan, yang merupakan hak seluruh manusia, kawan maupun lawan (QS 16:90). Hal ini diperkuat oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah, bahwa salah satu ciri khas hukum Islam itu adalah adil, member rahmat, mengadung maslahat bagi manusia. Oleh karena itu setiap aturan yang tidak mengandung unsur tersebut atau bahkan menghasilkan sesuatu yang mafsadah dan sia-sia, maka hukum itu bukan hukum Islam (al-Jauziyah [tth]:3). Dalam hal ini, ulama sudah menyimpulkan bentuk-bentuk pemeliharaan untuk mewujudkan maslahat, yaitu al-din (agama), al-nafs (jiwa), al-nasb (keturunan), al-‘aql (akal), dan al-mal (harta). Pemeliharaan kelima hal di atas dibagi pula sesuai dengan tingkat kebutuhan dan skala prioritas yang mencakup pemeliharaan dalam bentuk aldharuriyyah, sebagai prioritas utama, pemeliharaan dalam bentuk al- hajiyyah, sebagai prioritas kedua, dan pemeliharaan dalam bentuk al-tahsiniyyah, sebagai prioritas ketiga. Berikut akan dijelaskan tingkatan-tingkatan tersebut. D. Hubungan Maslahah dengan Maqashid al-Syari’ah Maqashid Syari‘ah ditinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari‘ah.Maqashid adalah bentuk jama‘ dari maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari‘ah secara bahasa igra ebngnay‫ المواضع تحدر الى الماء‬gagr abri i riaebn gyn yry abri i riaebn gyn jgagr juga dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Kaitan dengan maqashid syari‘ah tersbut, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda yaitu maqashid syari‟ah, al-maqashid alsyar‟iyyah fi al-syari‟ah, dan maqashid min syar‟i al-hukm. Walau dengan kata-kata yang berbeda, manurut Asafri Jaya Bakri mengandung tujuan yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Sebagaimana ungkapan al-Syatibi:Sesungguhnya



9



syari‟at itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat dan Hukum-hukum disyari‟atkan untuk kemaslahatan hamba. 3 Dengan demikian, memberikan pengertian bahwa kandungan maqashid syari‘ah adalah kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah, dikalangan ulama ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga dengan asrar asy-syari‟ah yaitu rahasiarahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang bahwa kandungan maqashid syari‟ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melalui maqashid syari‘ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai susuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang di syari‘atkan Tuhan terhadap manusia. Adapun pengertian maslahat dalam Ensiklopedi Hukum Islam, secara bahasa maslahat adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal dari jama‘ masholeh yang artinya sama dengan manfaat.Oleh karena itu, segala sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa dikatakan maslahah.Sedangkan pengertian maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam al-Ghazali bahwa maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak.Ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.Jadi menurut al-Ghazali bahwa setiap seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya dinamakan maslahat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat adalah manfaat yang hendak di capai oleh manusia dalam segala aspek kehidupan.Jadi, kalau kita cermati kedua definisi di atas maka maqashid syari‘ah dengan maslahat merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan dan hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.



3



Asafri Jaya Bahkri. Konsep Maqasid syari’ah menurut al syatibiy. Jakarta: Raja Grafindo,1996.



10



E. Peranan Maqashid Al - Syari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam Maqashid al-Syari’ah sebagai tujuan dari syari’at memiliki peranan sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Ia merupakan faktor yang sangat membantu dalam memahami dan menerapkan nash-nash syara’ secara tepat terhadap petunjuk lafadz-lafadz nash yang mengandung beberapa pengertian,atau sebagian nash yang secara lahiriah bertentangan, serta menjadi petunjuk dalam melakukan istinbath hukum terdapat masalah yang tidak ada nashnya. Di samping itu, maqashid al-syariah menjadi tolak ukur bagi para mujtahid untuk mengatahui apakah suatu ketentuan hukum masih bisa diterapkan pada suatu kasus atau tidak layak lagi di terapkan karena tujuan hukum atau illat yang mendasarinya tidak seperti semula lagi. Menurut Satria Effendi, maqashid al-syari’ah merupakan landasan penetapan hukum,sekaligus sebagai kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. Oleh karena itu, para mujtahid dalam mengembangkan pemikiran hukum secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak disebut secara ekspilisit oleh al-Qur’an dan al-Sunnah harus memahami maqashid al-syariah.Petunjuk tentang peranan penting maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum Islam,menurut ulama’ ushul fiqih sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Misalnya, dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. Melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging kurban, kecuali sekedar bekal selama tiga hari. Beberapa tahun kemudian,ada beberapa sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari.Peristiwa itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau membenarkannya serta menjelaskan,”Dahulu aku tidak menyimpannya (daging kurban) karena kepentingan al-dhu’afa’, yaitu pendatang dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban. Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu,karena tidak ada lagi para tamu-tamu yang membutuhkannya,”Dari peristiwa ini, para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ada petunjuk bagi arti penting maqashid al-syari’ah dalam penetapan hukum. Larangan menyimpan daging kurban di atas adalh untuk memberi kelapangan bagi fakir miskin yang datang dari perkampungan Badui. Dan inilah maqashid al-syari’ah dari larangan menyimpan daging tersebut. Akan tetapi setelah orangorang miskin dari perkampungan Badui tidak lagimembutuhkannya. Peranan penting maqashid al-syari’ah yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. Di atas dilestarikan oleh para sahabat dalam berijtihad,karena perubahan kondisi sosial pada 11



masa sahabat jauh lebih berkembang di bandingkan pada masa Rasulullah Saw. Oleh karena itu, dalam berbagai praktik ijtihad yang di lakukan oleh sahabat, khususnya di bidang mu’amalah,selama dapat di ketahui tujuan hukumnya,maka dengan itu dapat di lakukan pengembangan hukum melalui metode qiyas dalam rangka menjawab persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah Saw. Dengan demikian, menurut ulama ushul fiqih, ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas itu akan mampu menjawab perubahanperubahan yang tidak terbatas jumlahnya. Begitu pentingnya peranan maqashid al-syari’ah, maka menurut ulam ushul fiqih bahwa seorang mujtahid dalam meng-istinbat dan menerapkan hukum Islam pada obyeknya harus senantiasa mengacu kepada maqashid alsyari’ah.



12



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan -



Maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum.



-



Tingkatkan dan kategorisasi Maqashid Syari'ah, Ada 3 yaitu al-Dharuriyyat, alHajiyyat, dan al-Tahsiniyyat.



-



Perwujudan maqashid al-syari’ah perlu memperhatikan dasar-dasar umum dalam hubungan sesama manusia. Dasar-dasar itu adalah: 1. Kehormatan manusia (karomah insaniyah), 2. Kemerdekaan dan kebebasan (al-hurriyat). 3. Kerjasama kemanusiaan (ta’awun al-insani). 4. Keadilan, yang merupakan hak seluruh manusia, kawan maupun lawan.



-



Maqashid al-Syari’ah sebagai tujuan dari syari’at memiliki peranan sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Ia merupakan faktor yang sangat membantu dalam memahami dan menerapkan nash-nash syara’ secara tepat terhadap petunjuk lafadz-lafadz nash yang mengandung beberapa pengertian,atau sebagian nash yang secara lahiriah bertentangan, serta menjadi petunjuk dalam melakukan istinbath hukum terdapat masalah yang tidak ada nashnya.



B. Saran Dari makalah yang telah dibuat ini, penyusun menyarankan kepada mahasiswa khususnya masyarakat untuk dapat menjadikan makalah ini sebagai salah satu sumber bacaan yg berguna, sehingga nantinya masyarakat dapat mendapatkan ilmu tentang materi yang terkait, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari- hari dan bermasyarakat.



13



DAFTAR PUSTAKA



Asafri Jaya Bahkri. Konsep Maqasid syari’ah menurut al syatibiy. Jakarta: Raja Grafindo,1996. Dr. Busyro, M.Ag. Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam. Purwosari Babadan Ponorogo, Cet I, Agustus 2016 http://ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/almabsut/article/view/294 https://ejournal.staisyamsululum.ac.id/index.php/attadbir/article/view/28