Kelompok 1 Kelas D Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 CS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Cover : PENGELOLAAN KEGAWATDARURATAN BENCANA ( 4 CS : COMMAND, CONTROL, COORDINATION AND COMMUNICATION ) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Bencana Dosen pembimbing: Ns. Pipin Yunus, M.Kep



DISUSUN OLEH : KELAS D KELOMPOK I 1. MIS HARIYATI 2. NURLIANA MOHI 3. NURJANNAH DILIHAMA 4. AINUN SINO 5. FERAWATI GINTULANGI 6. SUPRIYANTO BASRI



PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO T.A 2020-2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, yang telah memberikan limpahan rahmat_Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana ( 4 CS : Commad, Control, Coordination and Communication )”, disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bencana, jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo. Dalam penyusunan makalah ini tentunya penyusun berterima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah ini yang telah membimbing, memotifasi dan mendampingi kami dalam pembelajaran. Penyusun menyadari bahwa sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata penyusun mengucapkan terimakasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.



Gorontalo, 22 Januari 2021



Kelompok I



i



DAFTAR ISI COVER KATA PENGANTAR ...............................................................................



i



DAFTAR ISI ............................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................



1



B. Rumusan Masalah ...........................................................................



2



C. Tujuan ............................................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi ..........................................................................................



4



B. Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 CS .................................



4



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................................



21



B. Saran ...............................................................................................



22



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................



23



LAMPIRAN ..............................................................................................



24



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegawatdaruratan adalah suatu keadaan di mana seseorang berada pada suatu kondisi ancaman kematian yang memerlukan pertolongan segera guna menghindari kecacatan dan kematian,(Pusponegoro,Aryono, 2011). Bantuan Hidup Dasar Merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalamai kegawatdaruratan untuk memberikan asupan oksigen dan sirkulasi darah ke sistem tubuh terutama organ yang sangat vital dan sensitif terhadap kekurangan oksigen seperti otak dan jantung (AHA,2010). Basic life support atau bantuan hidup dasar (BHD) sudah sering diperkenalkan dalam situasi kegawatdaruratan. Undang-undang No.24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam



dan/atau



faktor



nonalam



maupun



faktor



manusia



sehingga



mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.(Faradilla, 2018) Berbagai peristiwa bencana di dunia dan terutama di Indonesia terlihat semakin menunjukkan jumlah dan dampak yang membesar. Proses manajemen bencana diperlukan untuk melakukan pengurangan resiko bencana, untuk hal ini, pemahaman mengenai siklus dan pendekatan manajemen bencana. Pada akhirnya peristiwa bencana dan aspek menajemen bencana adalah operasi humanitarian, oleh karena itu faktorfaktor determinan yang penting perlu untuk dikembangkan, dilatih dan diaplikasikan. Faktor-faktor yang sering menjadi persoalan adalah Komunikasi, Informasi, Koordinasi dan Kerjasama. Terutama jika melibatkan berbagai lembaga/ komponen masyarakat, pendekatan yang perlu diketahui, dipahami dan diimplementasikan – dengan prinsip humanitarian adalah pendekatan system, yang merupakan upaya sinergis dan terintegrasi dari lembaga yang ditugaskan untuk menangani bencana dan lembaga pendukung lainnya, sedemikian menjadi satu teamwork



1



yang kuat melaksanakan upaya pengurangan resiki bencana. Pendekatan system menjadi kunci penting dalam manajemen bencana, dan aspek komunikasi bencana menjadi hal yang juga signifikan, terutama untuk aspek edukasi, komunikasi.informasi selama peristiwa bencana dan pemulihan bencana. ( Budi HH, Setio (ed), 2011,). Posisi wilayah Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan berbentuk kepulauan menimbulkan potensi tinggi terjadinya berbagai jenis bencana alam seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, abrasi, gelombang ekstrim, dan kebakaran lahan dan hutan. Meningkatnya jumlah penduduk dan permukiman juga menjadi faktor meningkatnya potensi bencana seperti epidemi, wabah penyakit, dan bencana teknologi seperti kecelakaan industri (BNPB, 2014). Data BNPB menunjukkan pada tahun 2017 terjadi 2.341 bencana di seluruh wilayah Indonesia, yang terdiri dari gempa bumi, banjir, erupsi gunung api, longsor, dan angin puting beliung. Bencana-bencana alam tersebut menyebabkan 377 jiwa meninggal dan hilang serta 3,5 juta jiwa mengungsi (BNPB, 2017) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disesbbkan oleh alam anatara lain berupa gempa dll. Untuk menurunkan resiko bencana, tentu memerlukan suatu strategi komunikasi yang efektif agar kegiatan penurunan resiko bencana dapat berjalan secara optimal. Strategi yang di maksud adalah strategi yang dapat menguasai 4



CS



yaitu



command,



control,



coordination,



and



communication. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pengamatan maka penyusun merumuskan masalah mengenai pengelolaan kegawatdaruratan bencana 4 CS sebagai berikut: 1. Bagaimana definisi dari Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana ? 2. Bagaimna Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 CS? C. Tujuan 1. Untuk mnegetahui apa definisi dari Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana



2



2. Untuk mnegetahui Bagaimna Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 CS



3



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Pengelolaan bencana adalah sebuah proses yang terus menerus dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk merencanakan dan mengurangi pengaruh bencana, mengambil tindakan segera setelah bencana terjadi dan mengambil langkah – langkah untuk pemulihan (Susanto,2006:10). Hal ini merupakan proses penting untuk menyikapi pengambilan tindakan dan penyelesaian pacabencana. Oleh karena itu, proses lintas sektoral yang terintegrasi dan berkelanjutan dalam rangka mencegah dan mengurangi akibat bencana meliputi mitigasi, kewaspadaan, tanggapan terhadap bencana, serta upaya pemulihan (Warto, 2002:23) Pengelolaan



bencana



pada



dasarnya



berupaya



menghindarkan



masyarakat dari bencana, baik mengurangi kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Pengelolaan bencana sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) dengan observasi sistematis dan analistis bencana untuk meningkatkan tindakan – tindakan terkait upaya pengelolaan. B. Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4 CS 1. Commad ( Komando ) Sistem komando tanggap darurat bencana adalah suatu sistem penanganan darurat bencana yang di gunakan oleh semua instansi/lembaga dengan mengintergrasi pemanfaatan sumberdaya manusia, peralatan dan anggaran. Komando tanggap darurat bencana adalah organisasi penanganan tanggap darurat bencana yang dipimpin oleh seoranng komando tanggap darurat bencana dan dibantu oleh staf komando dan stas umum, memiliki struktur organisasi standar yang menganut satu komando yang jelas dan memiliki



satu



kesatuan



komando



dalam



mengkoordinasi



instansi/lembaga/organisasi terkait untuk pengerahan sumberdaya. Sistematika pedoman komando tanggap darurat bencana ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:



4



a. Pendahuluan b. Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana c. Organisasi dan tatakerja komando tanggap darurat bencana d. Pola penyelenggaraan sistem komando tanggap darurat bencana e. Evaluasi dan pelaporan f.



Penutup. Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana dibawah



ini adalah: a. Terbentunya komando tanggap darurat bencana meliputi tahapan yang



terdiri dari : 1) Informasi kejadian awal 2) Penugasan tim reaksi cepat (TRC) 3) Penepatan status/tingkat bencana 4) Pembentukan komando tanggap darurat bencana. Kemampuan memberikan perintah secara efektif mengenai sebuah insiden menggunakan struktur perintah terpadu adalah kunci sukses penanganan kondisi darurat apapun. Sistem Pengelolaan Insiden (IMS) juga dikenal sebagai sistem komando insiden (ICS) merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk menangani insiden dengan sigap dalam rentang waktu tertentu. Dalam kondisi darurat, petugas hanya dapat efektif menanganai 3 sampai 7 orang. Apabila unit pertama datang maka karyawan



perusahan yang bertugas beratnggung jawab sampai atasan



mengambil alih. Jika unit pertama kewalahan dalam melakukan upaya penyelamatan, maka karyawan perusahan dapat menunda menderikan pos komando formal dengan meninggalkan pesan kepada karyawan perusahan berikutnya. Karena kejadian pertama telah berada di bawah kendalinya, maka petugas masih memgang komando yang efektif dilapangan meskipun pusat komando resmi belum didirikan. Ketika kondisi darurat berlangsung, sumber daya tambahan akan dikerakan dan divisi, kelompok, atau sektor akan didirikan, masing – masing oleh petugas sendiri.



5



Setiap saat jaringan komando ditambah, pergunakan kesempatan untuk meneruskan komando pada level diatasnya. Para komandan segara membangun sistem piramida yang memungkinkan setiap petugas hanya berinteraksi dengan 3 sampai 7 orang. Dalam insiden skala yang sangat besar, lima jabatan fungsional dialokasikan: a. Komando



Komando adalah sistem yang memeberikan instruksi secara keseluruhan melalui komandan insiden (Incident Commander/IC). Fungsi ini harus selalu dijalankan bahkan dalam suatu perusahan. Jika kejadian berlangsung melibatkan beberapa perusahan, IC sering membuat sistem staf komando khsus yaitu Safety Officer (SO) dan seorang Liasion Officer (LO). Pada insiden skla besar sabaiknya segera mendirikan Public Information Officer (PIO) yang bertugas mencatat peristiwa yang terjadi secara terus menerus. b. Operasi



Merupakan bagian yang bertugas untuk merencanakan taktik pada IC. Komando oprasi berkerja sama



dengan kelompok yang



bekerja sama dengan kelompok yang berusaha untuk mengatasi keadaan darurat. c. Perencanaan



Merupakan bagian yang bertugas mengumpulkan informasi dan menganalisis bergagai kemungkinan yang menungkin terjadi akibat dari rencana yang telah dibuat. Dan bila diperlukan membuat modifikasi yang agar operasi dapat berjalan dengan sukses. d. Logistik



Merupakan bagian yang bertugas untuk memastikan bahwa sumber daya tersedia sesuai kebutuhan. Barang – barang seperti bahan bakar, makanan, layanan medis, peralatan khusus, kendaraan tambahan, dan personil adalah contoh dukungan yang harus disediakan jika oprasi taktis diteruskan e. Keuangan



6



Merupakan fungsi yang perlu diadakan untuk kejadian yang luar biasa/skala besar. Operasi skala besar memerlukan dokumentasi pengeluaran fiksal dan petugas keuangan juga dapat membantu IC dalam perencanaan keuangan dan pengaturannya. Jika terjadi kelalaian dalam menggunakan dana operasi hingga menyebabkan deficit keuangan yang cukup berat, dokumentasi petugas keuangan tentang pengeluaran departemen dapat membantu memulihkan sebagaian dari biaya operasi. 2. Control Pengendalian merupakan upaya control, pengawasan, dan evaluasi terhadap sumber daya manusia (SDM), organisasi serta hasil kegiatan yang telah dilakukan dalam pengelolaan bencana. Manfaat dari pengelolaan, yaitu dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi yang dilihat dari sisi waktu, ruang, dan biaya. Selain itu, pengendalian dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas dari pengelolaan serta dapat mengetahui hambatan dan menekan kerugian sekecil mungkin juga menyesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi normal ke kondisi kritis atau darurat. Salah satu bidang penting yang sering diabaikan dalam penyusunan program dan rencana persiapan bencana adalah kontrol informasi dan pencitraan yang ditransfer kepada dunia melalui media. Pra-perencanaan yang berkaitan dengan siapa, apa, kapan, di mana dan bagaimana arus informasi sangat penting untuk memastikan kekurangan informasi yang disebarkan tentang perusahan Anda dan situasi darurat serta gambar yang publik adalah keputusan perusahan anda dalam 30 detik. Control dalam bencana berbentuk pengawasan dan pelaporan penanggulangan bencana. a. Pengawasan terhadap



seluruh proses penanggulangan bencana



dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. b. Pemantauan dan pelaporan dilakukan badan nasional penanggulangan



bencana dan badan penanggulang bencana daerah serta instansi terkait.



7



c. Selesai kegiatan selesai, yaitu setelah selesainya status menimbang,



Undang – undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. 32 keadaan darurat, pengelola bantuan dana siap pakai harus melaporkan semua kegiatan dan laporan pertanggung jawaban keuangan kepada kepala badan nasional penanggulangan bencana. d. Kegiatan pengawasan yang dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan



untuk mengurang atau menghindari masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang dan segala bentuk penyimpangan lainnya, yang dapat berakibat pada pemborosan keuangan negara. e. Badan



nasional



penanggulangan



bencana



bersama



dengan



instansi/lembaga terkait secara selektif memantau pelaksanaan penggunaan dana siap pakai mulai dari proses pelaksanaan administrasi sampai dengan fisik kegiatan. f.



Pemantuan terhadap penggunaan dana siap pakai di daerah dilakukan oleh



pejabat



yang



ditunjuk



oleh



kepala



badan



nasional



penanggulangan bencana dengan pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala BPBD tingkat provinsi dan Bupati/Walikota/Ketua badan penangggulangan bencana daerah tingkat Kabupaten/Kota. Kontrol terhadap penyebaran arus informasi adalah hal yang sangat penting dan harus menjadi bagian yang komprehensif dari penanganan bencana. Pada intinya, saat ini adalah penting untuk mengontrol arus informasi karena setiap informasi yang disampaikan akan mempengaruhi kehidupan perusahan kedepannya. 3. Coordination Koordinasi adalah upaya menghubungkan tindakan antar setiap sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan. Koordinasi dapat horizontal maupun vertikal. Koordinasi horizontal dilakukan antar bagian yang mempunyai kedudukan setara, sedangkan koordinasi vertikal dilakukan anatr bagian yang satu dengan bagian di atas atau di bawahnya sesuai dengan struktur yang ada.



8



Koordinasi dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Dalam pengertian lain, koordinasi merupakan usaha untuk mengharmoniskan atau menserasikan seluruh kegiatan sehingga dapat mencapa tujuan yang diharapkan. Kehharmonisan dan keserasian selalu diciptakan baik terhadap tugas – tugas yang bersifat teknis,komersial, personalia maupun administrasi. Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan koordinasi merupakan salah satu fungsi unsur pelaksana penanggulangan bencana. Unsur pelaksana juga melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Menurut Handayaningrat (2005), koordinasi mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: a. Bahwa tanggung jawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering disamakan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila tidak melakukan kerja sama. Kerja sama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi b. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpian yang bersifat berkesinangbungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. c. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Koordinasi adalah konsep yang ditetapakan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, sejumlah individu yang bekerjasama dengan koordinasi menghasilan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas – tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi.



9



d. Konsep kesatuan tindakan adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat keserasian di dalam mencapai hasil. e. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok kerja. Koordinasi adalah proses pengintengrasian (penggabungan yang padu) dari semua tujuan dan kegiatan anggota satuan – satuan letaknya boleh terpisah berjauhan di lingkup organisasi masing – masing, dapat mengahasilkan suatu hasil optimal yang disetujui bersama. Kemampuan untuk berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja secara efektif sebagai suatu team merupakan factor utama dalam menentukan keberhasilan suatu rencana. Dalam suatu bencana berskala besar, maka makin banyak sumber daya yang dibutuhkan. Kemampuan masing-masing pihak penolong untuk mendata permasalahan, menghitung sumber daya yang dimiliki, dan berkomunikasi antara sesame akan menentukan keberhasilan suatu program/proyek. Ada banyak anggota masyarakat yang akan bersedia membantu, para penegak hukum, pemadam kebakaran, paramedis,



dan



lain-lain



akan



dengan



sukarela



membantu



tim



penanggulangan dampak bencana. Namun kemampuan mereka berbedabeda, sehingga tugas kita untuk mendata hal tersebut, kemudian memberikan pelatihan dan perlengkapan yang diperlukan. Kita juga harus meyakinkan mereka bahwa kita mampu memberi bantuan yang diperlukan, sehingga mereka percaya pada kita. Kemudian segera hubungi kepala dari pemadam kebakaran, kepolisian, dan tenaga Kesehatan setempat untuk mendiskusikan tentang program yang akan dijalankan. Bila diperlukan evakuasi warga, maka koordinasi dengan pihak penyedia transportasi local juga diperlukan. Selain itu kita juga harus mendata kebutuhan lain apa yang kita perlukan untuk menjamin keamanan misal: kantong pasir, truk besar, timSWAT,



10



atau tim penjinak bom. Beri mereka keyakinan dan kepercayaan diri bahwa mereka sanggup bertindak untuk menjamin keselamatan dan melindungi keamanan warga. Dan karena banyak pemadam kebakaran, polisi, dan tenaga kesehatan yang menggunakan system koordinasi berjenjang, maka kita harus melakukan pendekatan ke semua pihak-pihak tersebut. Selain itu juga beritahukan mereka tentang keuntungan dan resiko-resikonya. Dan jangan malu atau sungkan untuk mengkritis kinerja dari tim. Karena hal tersebut penting bagi keberhasilan program dan menjamin keselamatan warga. LEPC (local emergency planning committee) atau panitia local penanggulangan bencan juga harus dilibatkan dalam masalah ini. Serta SERC (stase emergency respon commision) yang akan mengevaluasi perencanaan yang kita buat. Mengingat bahwa banyak resiko yang akan kita hadapi, maka kita harus menjalankan standar keamanan yang benar. Berikut adalah daftar darisumber daya yang kita gunakan untuk mendukung pelaksanaan program: 1) Hotel 2) Militer 3) Ormas 4) Palang merah 5) Pekerja sukarela 6) Perusahaan penyedia alat-alat berat 7) Truk 8) Kontraktor 9) Perusahaan penyedia bahan 10) Perusahaan penyedia foam U/ kebakaran 11) Generator 12) Perusahaan persewaan alat-alat 13) Pompa



11



14) Penghangat 15) Bagian pekerja umum 16) Perusahaan utilitas 17) Rumah sakit 18) Helicopter medis 19) Forensic 20) Tim penjinak bom 21) SWAT 22) Penjaga pantai 23) Badan meteorlogi dan geofisika 24) Badan penanggulangan narkoba 25) FBI 26) Badan penerbangan nasional 27) Psikiater 28) Perusahaan asuransi Selain itu, ukuran, cakupan, kondisi geologis, serta jarak dari masing-masing resource ke tengah kota, danau, sungai, bandara, dan Pelabuhan, sangat berpengaruh besar terhadap peranan masing-masing resource tersebut. Setelah mendata semua resource atau sumber daya yang kita miliki, maka kita pilah mana sajakah dari sumber daya tersebut yang dapat segera kita gerakkan bila ada keadaan darurat. Sehingga kita harus mengenali dengan baik masing- masing sumber daya yang kita miliki. Karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Ini bagaikan suatu tim sepak bola, dimana masing-masing saling bekerja sama dan memiliki keahlian/ skill sendiri-sendiri. Dimana kita bertindak sebagai pelatih yang mengkoordinasi tim tersebut sehingga bisa menang mencapai tujuan yang diharapkan Bersama. Kemudian kita bagi-bagi sumber daya tersebut menjadi: 1) First responder operation level



12



2) Hazardous material technician 3) Hazardous material specialist Mereka berkonsentrasi tentang bagaimana mencegah penyebaran dan melindungi daerah yang steril. Tim yang bekerja di tingkat teknisi dan spesialis memiliki peralatan pelindung dan pelatihan untuk memungkinkan mereka berhasil memasuki daerah spills (zona panas) dan bekerja dengan aman untuk membersihkan sia-sia bencana. Tingkat pelatihan dan peralatan yang diperlukan meningkat sesuai dengan level kesulitannya. Teknis yang bertugas pada level operasi atau di atasnya harus



diarahkan



oleh



seorang



komandan



yang



telah



berhasil



menyelesaikan pelatihan manajer material berbahaya. Individu yang dilatih pada masing- masing level memerlukan pelatihan penyegaran untuk menjaga keahlian dan kompetensi. Sekali lagi, anda mungkin cukup beruntung untuk memiliki tim Haz-Mat yang dilengkapi dengan peralatan yang baik dan terlatih untuk melindungi fasilitas anda. Orangorang ini akan dengan senang hati mendapat kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin tentang fasilitas anda karena mereka tahu mereka akan dipanggil untuk menanggulangi bahaya apapun. Jika anda jika tidak memiliki tim di tempat, anda mungkin dapat menyediakan dana untuk melatih dan melengkapi pemadam kebakaran di tempat kerja anda. Waktu adalah sumber daya yang terbatas. Manfaatkan sesi pertemuan, pelatihan, dan perencanaan dengansebaik-baiknya. Karena ini merupakan Lembaga tanggap darurat, harus diakui bahwa respon dari perusahaan lain mungkin agak lambat. Jika anda bergantung pada relawan, maka Sebagian besar perencanaan dan pelatihan mungkin harus dilaksanakan malam hari Ketika Sebagian besar karyawan tidak bekerja. Keberhasilan perencanaan yang telah dibuat dan masa depan potensi fasilitas yang anda miliki bergantung pada kemampuan anda untuk memotivasi dan mendorong anak buah anda. Upaya pembinaan yang anda lakukan harus meliputi semua aspek mulai dari Pendidikan,



13



pelatihan, dan evaluasi terhadap tiap-tiap kondisi yang ada dilapangan. 4. Communication Tahapan komunikasi dalam bencana : a. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek komunikas akan mecakup informasi yang akurat, koordinasi



dan aspek kerjasama



terutama kepada masyarakat yang rentan atas peristiwa bencana. b. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek : komunikasi, informasi, kerjasama dan koordinasi merupakan kunci sukses penanganan bencana, terutama untuk penanganan korban dan menghindari resiko lebih lanjut. c. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi dan pemuliahan pasca situasi bencana adalah tahap penting untuk membangun kembali korban bencana dan memastikan untuk nmengurangi resiko apabila terjadi peristiwa serupa dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah mitigasi dalam tahap ini. Seluruh potensi komunikasi menjadi penting untuk memasitikan pencegahan dan pengurangan resiko, yang tentu membutuhkan pendekatan yang tepat adalah komprehensif, sistemik dan terintegrasi antar lembaga, komponen maupun stakeholder yang ada. Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani bencana (BNPB), keterlibatan stakeholder seperti media, industri, politisi dan berbagai komponen masyarakat/lembaganya menjadi sangat penting. Sedemikan penting agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa bencana dan juga pada mitigasi. Komunikasi bencana : tahap pemulihan, tidak digunakan sebagai ajang pencitraan yang akhirnya menjadi bencana dan korban bencana sebagai objek semata, namun justru secara substansial memang membantu korban bencana dan meminimalisasi resiko yang ada yang akan terjadi. a. Prinsip dalam komunikasi bencana Mengkomunikasikan suatu informasi tentang bencana yang berharga kepada public merupakan halyang utama dalam “risk



14



management”. Public perlu tahu tentang bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi, sehingga mereka bisa melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan bila terjadi suatu masalah. Tanpa pengetahuan yang cukup, mereka sulit untuk melakukan persiapanpersiapan tersebut. Oleh karena itu,seorang tenga professional hendaknya



mengetahui



sudut



pandang



dan



kebutuhan



dari



masyarakat di sekitarnya, sehingga mereka bisa memberikan pertolongan dengan tepat. Sudah banyak program-program yang ditawarkan untuk mengatasi dampak suatu bencana, termasuk pemberian informasi dan edukasi kepada public, namun keyataannya dibutuhkan suatu keahlian yang tinggi untuk berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat agar dapat merubah sikap dan perilakunya. Namun hanya sedikit tenaga professional yang memahami hal ini. Seringkali masalah tehnik penyampaian informasi dan edukasi ini hanya diselipkan begitu saja dalam beberapa program, namun tidak diintegrasikan secara baik. Sehingga proses komunikasinya jadi terhambat,



dan



masyarakat



kehilangan



kesempatan



untuk



menyampaikan aspirasinya. Hal inilah yang menyebabkan banyak program/proyek yang kurang berhasildalam merubah sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu sekarang digalakkan pelatihan dan penelitian untuk masalah komunikasi ini, tidak hanya di masalah Kesehatan namun juga untuk masalah bencana. Pada sesi ini, akan dibahas 4 aspek penting dalam berkomunikasi kepada masyarakat dan tenaga profesionalyang lain. 1) Prinsip dalam berkomunikasi yang baik 2) Dasar-dasar metode dan pendekatan yang dapat digunakan untuk edukasi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. 3) Edukasi dan pelatihan untuk tenaga professional 4) Penggunaan internet dalam penaggulangan dampak bencana



15



b. Komunikasi yang baik Selama beberapa tahun, beberapa ahli berpendapat bahwa mereka sanggup merangsang pertumbuhan social dan ekonomi dengan cara



memberikan



informasi



yang



memadai



kapada



masyarakat miskin. Namun ternyata ide-ide dan teknologi tersebut tidak mampu diserap oleh masyarakat. Hal ini karena masyarakat kurang memahami informasi dan ide-ide tersebut. Jadi harus ditemukan cara-cara yang lebih efektif untuk menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat. Walaupun banyak perbedaan tentang bagaimana cara yang efektif untuk menyebarkan informasi ini kepada masyarakat, namun baru sekitar tahun 1980an hal ini diseriusi. Karena ketika itu banyak program-program yang gagal karena masalah komunikasi ini, dimana masyarakat tidak dapat memahami ide- ide yang disampaikan oleh para ahli. Hal ini karenakan para ahli tidak mengerti kebutuhan, prioritas, dan kemampuan masyarakat, sehingga informasi dan ide yang diberikan tidak adekuat. Akhir-akhir ini para ahli setuju bahwa mereka harus mendengarkan aspirasi masyarakat, mengidentifikasi masala, dan mencari solusi terhadap masing-masing permasalahan tersebut. Hal ini merubah paradikma yang semula penyebaran informasi SATU ARAH menjadi DUA ARAH antara para ahli dan masyarakat (missal: dialog dan pertukaran informasi). Untuk keberhasilan metode ini menuntut partisipasi aktif dari masing-masing pihak. Dan car aini nampaknya sudah mulai banyak dianut dan berkembang pesat. Untuk program penanggulangan dampak bencana masih agak terbelakang, dan pendekatan dengan jalan dialog masih jarang dipakai. Sebagian besar ahli bencana berasumsi bahwa masyarakat tidak sepenuhnya tahu akan resiko yang mereka hadapi. Oleh karena itu edukasi dan informasi yang akan disampaikan harus disesuaikan terlebih dahulu agar masyarakat lebih mudah memahami. Masyarakat 16



juga harus diberikan edukasi tentang factor- faktor resiko dan caracara penanggulangannya. Namun kadang edukasi kepada masyarakat ini tidak diberikan oleh orang yang ahli dibidang komunikasi, sehingga pesannya sering tidak ditangkap oleh masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu manager program/proyek yang memahami Tehnik komunikasi dengan baik. Serta dapat memahami situasi, kondisi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pendekatan dengan cara dialog tidaklah mudah, karena adanya perbedaan kultur antara para ahli dengan masyarakat. Walaupun untuk itu sudah dibuatkan pedoman-pedoman tertentu. 1) Para ahli cenderung lebih senang mewujudkan ide dalam bentuk tulisan. Sedangkan masyarakat lebih mudah memahami dengan cara mendengarkan dan melihat langsung. 2) Para ahli lebih cenderung untuk menggunakan angka-angka dalam menganalisa suatu hal, Sedangkan masyarakat lebih cenderung membandingkan dampaknya secara langsung dalam kehidupan nyata. 3) Para ahli juga cenderung suka mendefinisikan dan mengkuantifikasi suatu variable, dimana kadang-kadang hal itu bersifat subyektif. Dan hal tersebut membuat para ahli kesulitan dalam memahami masalah di masyarakat yang kompleks dan dinamis. Tehnik dialog itu sendiri juga menyulitkan. Karena disitu terjadi diskusi, debat dan kadang perbedaan argumen antara pihak-pihak pengambil keputusan. Belum tentu juga bisah tercapai kata sepakat. Dialog juga memakan banyak waktu dan tenaga. Dialog juga tidak menjamin bahwa pesertanya mampu mendapatkan gambaran yang utuh tentang permasalahan yang dihadapi. Sehingga perlu disadari oleh para ahli (selaku peserta dialog) bahwa mereka tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Maka sebisa mungkin masyarakat dilibatkan dalam dialog ini untuk menjabarkan sudut 17



padang mereka dan kebutuhannya. c. Alat komunikasi: Radio, Telfon, Pusat Operasi Darurat Dan Komunikasi Internal Tugas untuk mengelola komunikasi di lokasi yang mengalami kondisi tidaklah mudah. Idealnya diharapkan kejadian berlangsung di tempat di mana semua badan mampu menangkap berbagai frekuensi radio. Pada beberapa kejadian ada juga yang kehabisan baterai untuk semua radio portabelnya. Polisi, pemadam kabaran,EMS, dan instansi pekerjaan umum tidak secara rutin berbicara dengan satu sama lain, namun pada insiden tertentu kemampuan untuk menentukan apakah orang tersebut harus ada di lokasi dapat berarti perbedaan antara hidup dan mati. EOC tidak harus bermarkas di tempat kejadian. Informasi dapat disampaikan melalui radio, telepon seluler, faks, dan pencitraan digital. Kendaraan personil komunikasi dapat mengatur perintah komunikasi dan membantu komandan operasi dengan menetapkan



giliran



kelompok2



dalam



menggunakan



jalur



komunikasi. Hal ini dapat meminimalkan chatter (gangguan) pada sinyal radio. EOC dapat didirikan dalam kendaraan khusus komunikasi atau bangunan dekat lokasi darurat, tetapi sering misi pengolahan informasi



(menerima,



menyampaikan,



perencanaan,



logistic,



keuangan, dan tugas lainnya) dapat dilakukan di lokasi terpencil. Telepon panggilan masuk dapat disaring dan diarahkan pada individu yang tepat atau, jika tidak bersifat darurat dapat dihentikan sementara. Seperti sering terjadi pihak yang merespon panggilan dapat melalui frekuensi radio yang berbeda. Ini harus ditentukan dan diatur di awal tahap perencanaan, sehingga tidak terjadi kekacauan pada system transmisi. Hal ini terutama penting pada kasus tindak pidana kekerasaan. Apparat kepolisian harus tahu mana pihak yang baik dan mana pihak yang jahat. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi 18



memungkinkan penjahat berbahaya untuk melarikan diri, mengambil sandera tambahan, atau membunuh dan melukai lebih bnyak orang. Petugas pemadam kebakaran dan EMS unit harus dapat memanggil bantuan dan melakukan pencarian korban tanpa takut ditembak oleh sesame petugas. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman antara petugas yang dapat berakibat kecelakaan maupun kematian di pihak-pihak yang tidak bersalah. Deteksi kebakaran dan system alarm harus diperiksa dan diuji. False alarm harus dihindari sebisa mungkin. Pemilihan yang tepat, pemasangan, perawatan, dan pengujian alarm kebakaran adalah Langkah pertama yang harus dilakukan. The NFPA72 standard series menyediakan informasi tentang alarm kebakaran. Kemampuan untuk menginterprestasikan



sinyal



alarm



kebakaran



memungkinkan



anggota tim untuk menangani kebakaran pada fase awal sehingga tingkat keberhasilannya makin tinggi. Aktifkan system tanggap darurat untuk mendapatkan bantuan secara cepat di jalan. Selain mengirim seseorang ke tempat kejadian, pastikan bahwa anda mengirim seseorang ke ruang pompa dan ke ruang control kebakaran. d. SDM Bidang Komunikasi EOC Manager 1) Segera memberitahukan kepada CEO tentang situasi darurat yang mungkin secara berpengaruh signifikan 2) Ketika diarahkan oleh CEO, atau Ketika keadaan mendesak, maka CEO menugaskan untuk memberikan informasi dan mengarahkan mereka untuk mengambil Tindakan yang sesuai dengan SOP 3) Aktifkan ECO Ketika diarahkan oleh CEO atau keadaan mendesak 4) Mengelola sumber daya dan langsung beroperasi



19



Tugasnya adalah menjamin bahwa semuanya berjalan sesuai rencana dan pengolahan informasi (mengumpulkan, mengevaluasi, menampilkan, dan menyebarluaskan informasi tentang situasi. Tugas khusus meliputi : 1) Mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting 2) Menggambungkan informasi yang salah dari semua sumber yang tersedia 3) Mengidentifikasi kebutuhan sumber daya 4) Menyiapkan laporan tentang kerusakan yang terjadi 5) Mempersiapkan briefing pejabat manajemen senior 6) Menampilkan informasi yang tepat dalam EOC 7) Menyiapkan dan menyampaikan laporan penting Ketika diperlukan (laporan situasi,status sumber daya kritis, dan lainlain) 8) Mengkoordinasikan dukungan logistic untuk personil tanggapan bencana 9) Ketika diarahkan oleh CEO, atau Ketika kondisi mendesak, perlu merelokasi staf untuk EOC alternatif yang akan melajutkan operasi tanggap bencana.



20



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bencana



(Disaster)



adalah



suatu



gangguan



serius



terhadap



keberfungsian suatu komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (ISDR,2004 Dalam MPRI,2007). Bencana dapat dibedakan menjadi dua yaitu bencana oleh faktor alam (natural di saster) seperti letusan Gunung Merapi, banjir, gempa, Tsunami, badai koma, longsor dan bencana, oleh faktor non alam ataupun faktor manusia. Pengelolaan kegawat daruratan bencana 4cs Sistem komando tanggap darurat bencana adalah suatu sistem penanganan darurat bencana yang digunakan oleh semua instansi/lembaga dengan mengintegrasi pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan dan anggaran. Komando tanggap darurat darurat bencana dan dibantu oleh staf komando dan staf umum, memiliki struktur organisasi standar yang menganut satu komando yang jelas dan memiliki



satu



kesatuan



komando



dalam



mengkoordinasi



instansi/lembaga/organisasi kait untuk pengarahan sumber daya. Kemampuan memberikan perintah secara efektif mengenai sebuah insiden menggunakan struktur perintah terpadu adalah kunci sukses penanganan kondisi darurat apapun. Sistem pengolahan insiden (IMS) juga dikenal sebagai sistem komando insiden (ICS) merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk menangani insiden dengan sigap dalam rentang waktu tertentu. Komando adalah sistem yang diberikan instruksi secara keseluruhan melalui komandan insiden (incident Commander/IC). Control terhadap penyebaran arus informasi adalah hal yang sangat penting dan harus menjadi bagian yang komprehensif dari penanganan gawat darurat dan rencana persiapan penanganan bencana.



21



B. Saran Bagi Mahasiswa Keperawatan, setelah membaca makalah ini hendaklah dapat benar-benar memahami teori keperawatan bencana pada penyakit akut myocard infark. Serta terus memperbaharui pengetahuan keperawatan khususnya pada pengelolaan kegawatdaruratan bencan 4 CS. Bagi perawat lapangan, dengan penjelasan diatas telah dijabarkan terkait teori keperawatan bencana bencan 4 CS.



22



pada pengelolaan kegawatdaruratan



DAFTAR PUSTAKA Adiyoso, 2018. Manajemen Bencana. Cetakan Pertama. Jakarta 13220 Budi HH, Setio (ed), 2011, Komunikasi Bencana: Aspek Sistem (Koordinasi, Informasi dan Kerjasama),Penerbit : ASPIKOM, PERHUMAS Yogyakarta dan Buku Litera. Budi S, 2012. Komunikasi Bencana: Aspek Sistem (Koordinasi, informasi dan Kerjasama) Faradilla, M. (2018). Peran Tenaga Kefarmasian dalam Penanggulangan Bencana (Role of Pharmacist in Disaster Management). Pharmaceutical Sciences and Research, 5(1), 14–18. Husein & Onasis, 2017. Manajemen Bencana. Cetakan pertama. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pupsonegoro & Sujudi, 2016. Kegawatdaruratan dan Bencana. Cetakan 1. Jakarta Timur 13760 Schneid & Collins, 2001. Disaster management and preparedness. Florida. USA



23



LAMPIRAN Judul Jurnal



: Peran Tenaga Kefarmasian dalam Penanggulangan Bencana



Penulis



: Meutia Faradilla



Tahun



: 2018



Vol



: 5 No 1



Abstrak



: Indonesia adalah negara yang memiliki potensi tinggi mengalami



bencana, baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia. Pasca bencana tsunami 2004, pemerintah Indonesia semakin berbenah diri dalam



menghadapi



bencana-bencana



selanjutnya.



Dalam



manajemen



penanggulangan bencana, penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana ditujukan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban akibat bencana dan pengungsi sesuai standar minimal. Sebagai bagian dalam tim penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana, tenaga kefarmasian perlu memahami pentingnya peranan pelayanan kefarmasian dalam tahap prabencana hingga pascabencana. Tujuan dari artikel ini adalah memberikan gambaran peran tenaga kefarmasian baik dari sisi penyiapan dan distribusi obat dan perbekalan kesehatan hingga peran tenaga kefarmasian dalam manajemen terapi, konseling dan edukasi pasien pada situasi bencana. Artikel ini juga memberikan usulan bagi para pemangku kebijakan organisasi kefarmasian untuk menyusun suatu rencana dan kebijakan keprofesian untuk meningkatkan keterlibatan dan pelayanan kefarmasian dalam situasi bencana. Kata Kunci



: penanggulangan bencana; tenaga kefarmasian; kesiapan tenaga



kefarmasian Pendahuluan : Undang-undang No.24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa



yang



mengancam dan



mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, 24



kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Posisi wilayah Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan berbentuk kepulauan menimbulkan potensi tinggi terjadinya berbagai jenis bencana alam seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, abrasi, gelombang ekstrim, dan kebakaran lahan dan hutan. Meningkatnya jumlah penduduk dan permukiman juga menjadi faktor meningkatnya potensi bencana seperti epidemi, wabah penyakit, dan bencana teknologi seperti kecelakaan industri (BNPB, 2014). Data BNPB menunjukkan pada tahun 2017 terjadi 2.341 bencana di seluruh wilayah Indonesia, yang terdiri dari gempa bumi, banjir, erupsi gunung api, longsor, dan angin puting beliung. Bencana-bencana alam tersebut menyebabkan 377 jiwa meninggal dan hilang serta 3,5 juta jiwa mengungsi (BNPB, 2017) Manajemen penanggulangan bencana adalah segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat, dan setelah bencana (Gambar 1). Dalam UU No.24 tahun 2007, tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.



Gambar 1. Siklus Kebencanaan dan Manajemen Penanggulangannya Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana ditujukan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan akibat



bencana



kesehatan



bagi



korban



dan pengungsi sesuai standar minimal. Kebijakan



25



penanganan krisis kesehatan antara lain memprioritaskan penanganan gawat darurat medik, mengoptimalkan pelayanan kesehatan rutin di fasilitas kesehatan, melaksanakan penanganan krisis kesehatan secara berjenjang, pengelolaan bantuan kesehatan dengan terstruktur, dan penyediaan informasi yang berkaitan dengan penanggulangan kesehatan (Kemenkes, 2011). Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan dalam Kondisi Bencana Keputusan Menteri Kesehatan No.59 tahun 2011 mengamanatkan adanya buffer stok obat dan perbekalan kesehatan pada kondisi bencana yang tersedia mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan dalam kondisi krisis atau bencana di Indonesia merujuk pada Buku Peta Bencana di Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang memuat alur koordinasi di instansi pemerintah pada kondisi bencana dan daftar obat yang harus disediakan sesuai dengan jenis bencana yang terjadi (Kemenkes, 2011). Obat dan perbekalan kesehatan bencana mengikuti tren penyakit



yang



wajib



tersedia



di lokasi



yang sering muncul pada keadaan



bencana dan di tempat pengungsian, seperti diare, ISPA, campak, tifoid, stress, hipertensi, penyakit mata, asma, kurang gizi, penyakit kulit, DBD, dan tetanus (Kemenkes, 2011). Namun, terdapat pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk menghitung kebutuhan obat dalam situasi bencana, yaitu: melihat jenis bencana yang terjadi dan melakukan penghitungan relatif sesuai kebutuhan obat, mendata jumlah pengungsi berikut usia dan jenis kelaminnya, dan menggunakan pedoman pengobatan umum (Kemenkes, 2008). Prinsip buffer stok obat adalah keberadaan stok obat nasional yang ditujukan untuk disalurkan pada daerah- daerah yang terkena dampak bencana. Pengelolaan buffer stok obat dan perbekalan kesehatan yang ditujukan sebagai persiapan pada kondisi bencana diatur mulai dari tingkat



26



nasional hingga tingkat terendah seperti instansi yang berada di daerah. Stok obat nasional tersebut berfungsi sebagai tambahan terhadap stok obat yang tersedia di lokasi terdampak atau terdekat dari lokasi terdampak. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki stok obat yang disebut “12-hour Push Package” yang harus didistribusikan dalam kurun waktu 12 jam setelah terjadi bencana (Bell et.al., 2014). Selain stok obat nasional, apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), apotek komunitas, dan distributor farmasi di daerah-daerah rawan bencana atau di daerah sekitarnya juga dapat mengambil peran aktif dalam menyediakan buffer obat yang dapat digunakan dengan segera pada kondisi bencana (Noe & Smith, 2013). IFRS dan Apotek Komunitas disarankan agar dapat menyediakan buffer stok obat untuk keperluan 72 sampai 96 jam setelah terjadinya bencana, hingga stok obat bantuan datang. Distributor farmasi dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk menyediakan obat dan perbekalan kesehatan krusial yang dibutuhkan oleh pusat pelayanan kesehatan yang menangani korban bencana (Bell et al., 2014). Obat-obat tersebut dapat dikemas dalam wadah yang terlindung dari bahaya dengan penanda yang jelas dan mudah dibawa, seperti dalam tas yang kedap air. Namun, yang perlu diperhatikan adalah penyusunan dan penyiapan stok obat yang tersedia di IFRS dan apotek harus dikoordinasikan dan sesuai dengan rencana stok obat baik di tingkat lokal maupun nasional (ASHP, 2003). Peran Tenaga Kefarmasian dalam Penanggulangan Bencana Tenaga kefarmasian, baik apoteker maupun tenaga teknis kefarmasian bertugas memberikan layanan kefarmasian dalam berbagai situasi seperti pelayanan ambulatori, pelayanan komunitas, pelayanan kefarmasian di rumah, dan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Meskipun peran tenaga kefarmasian dalam kesehatan masyarakat secara umum sudah meningkat, namun perlu disadari bahwa tenaga kefarmasian mampu memerankan tanggung jawab



yang



lebih



besar dalam sistem kesehatan untuk



meningkatkan kualitas layanan (Lai et al., 2013; Kusharwanti et al., 2014).



27



Peran tenaga kefarmasian dalam meningkatkan layanan kesehatan sama pentingnya baik dalam kondisi normal maupun dalam situasi bencana. Dalam keadaan bencana atau tanggap bencana, tenaga kefarmasian baik di rumah sakit, komunitas, maupun unit lainnya dalam sistem kesehatan harus secara asertif terlibat dan menjalankan tanggung jawabnya dalam proses manajemen kebencanaan terkait obat dan perbekalan kesehatan (Pincock et al., 2011). International Pharmaceutical Organization (FIP) sebagai organisasi tenaga kefarmasian dunia merumuskan beberapa prinsip utama terkait dengan



peran



tenaga



kefarmasian



dalam



merencanakan



dan



mengimplementasikan rencana tanggap bencana, antara lain (FIP, 2006): Tenaga kefarmasian merupakan salah satu pemeran utama dalam melakukan perencanaan dan implementasi 1. Keahlian



tenaga



kefarmasian



dapat



diaplikasikan



dalam



mengembangkan tata laksana pengobatan, pemilihan obat dan alat kesehatan, penjaminan kualitas obat dan alat kesehatan, serta penjaminan distribusi. 2. Tenaga kefarmasian dapat dilibatkan dalam setiap tahap penanganan bencana sesuai dengan keahliannya 3. Pada kondisi pandemik, tenaga kefarmasian dapat berperan dalam memberikan edukasi mengenai pencegahan dan deteksi penyakit. Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat tiga tahapan dalam penanggulangan bencana, yaitu tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana. Seorang tenaga kefarmasian berperan di seluruh tahapan penanggulangan bencana. Dalam Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Kesehatan Akibat Bencana yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan,



Apoteker telah dilibatkan dalam tim reaksi cepat dan tim



bantuan kesehatan dalam penanggulangan bencana. Estimasi jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan adalah 2 (dua) orang apoteker per 10.000 – 20.000 penduduk atau pengungsi (Kemenkes, 2011). Berdasarkan keahlian dan keterampilannya, tenaga kefarmasian



28



memiliki 2 (dua) peran penting dalam kondisi tanggap bencana, yaitu dalam pengaturan dan pendistribusian obat dan alat kesehatan, serta manajemen terapi pasien selama kondisi bencana. Keahlian seorang tenaga kefarmasian harus diikutsertakan dalam beberapa kegiatan di tahap prabencana dan tanggap bencana, antara lain (ASHP, 2003): 1. Menyusun pedoman tata laksana untuk melakukan diagnosis dan pengobatan korban bencana. 2. Memilih jenis obat dan alat kesehatan untuk stok dalam program tanggap bencana baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. 3. Menjamin pengemasan, penyimpanan, penanganan, pemberian label, dan penyediaan obat/alat kesehatan yang sesuai untuk kondisi kegawat daruratan. 4. Menjamin distribusi yang sesuai dan lancar pada kondisi prabencana dan pascabencana. 5. Melakukan edukasi dan konseling pada individu yang mendapatkan suplai gawat darurat ketika bencana terjadi. Pada tahap prabencana, tugas tenaga kefarmasian, dalam hal ini adalah Apoteker yang dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian, adalah merencanakan dan menyiapkan dengan seksama perbekalan kesehatan yang sewaktu- waktu diperlukan dalam keadaan darurat. Perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah obat-obat untuk pertolongan pertama dan kasus gawat darurat, dan alat-alat kesehatan. Pada tahap tanggap darurat, selain memastikan stok dan distribusi obat-obatan ke daerah terdampak bencana, tenaga kefarmasian, dalam hal ini apoteker, juga bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam manajemen dan monitoring terapi pasien. Di tahap pascabencana, tenaga kefarmasian bersama dengan tenaga kesehatan



lain



bertugas



untuk



memberikan



layanan



kesehatan



pascabencana termasuk memberikan konseling penggunaan obat dan melakukan inventarisasi serta evaluasi tindakan yang telah dilakukan (Kemenkes, 2011; Lai et al., 2013). Dalam tahap tanggap bencana dan pascabencana, tenaga kefarmasian



29



yang bertugas baik di rumah sakit, klinik, dan komunitas harus melakukan beberapa hal berikut (FIP, 2006): 1. Menjamin keamanan dan keselamatan staf farmasi lainnya bila terjadi bencana di waktu kerja. 2. Mengatur dan menjamin stok kebutuhan obat di apotek/instalasi farmasi rumah sakit. 3. Menyediakan obat yang dibutuhkan berdasarkan data yang ada. 4. Melakukan konseling pada pasien tentang keamanan obat yang selamat dari bencana. 5. Mengantisipasi adanya perubahan penyakit atau luka dan mencari obat serta alat kesehatan yang sesuai untuk penanganan hal tersebut. 6. Menjamin keamanan dan penyimpanan obat yang sesuai di pusat distribusi obat. 7. Siap menyediakan berbagai kebutuhan obat dan alat kesehatan pada berbagai tahap penanganan bencana. 8. Menjamin pasien tidak terinfeksi penyakit pandemik. 9. Menetapkan prosedur agar aktivitas di instalasi farmasi/apotek tetap berjalan Selain berperan dalam pengaturan dan pendistribusian obat dan alat kesehatan, tenaga kefarmasian juga berperan dalam edukasi dan konseling pasien selama masa bencana. Fungsi peran ini antara lain untuk menjamin keamanan obat dan penggunaan obat yang tepat, mencegah terjadinya toksisitas obat, meminimalisasi munculnya efek samping, melakukan identifikasi kondisi medis atau fisiologis, melakukan pemantauan efek samping yang terjadi serta keamanan manfaat, dan memantau kepatuhan pasien korban bencana alam (Lai et al., 2013). Peran Organisasi Profesi dalam Penanggulangan Bencana Hingga saat ini, peran organisasi profesi tenaga kefarmasian di Indonesia dalam penanggulangan bencana masih terbatas. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dan dari himpunan berita yang ditelaah, peran organisasi profesi tenaga kefarmasian dalam kondisi bencana masih



30



berupaya menghimpun bantuan obat dan perbekalan kesehatan serta menyalurkannya ke daerah terdampak bencana. Belum ada prosedur operasional baku tanggap bencana dan penanggulangan bencana serta jalur koordinasi bagi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang disusun oleh organisasi profesi. Organisasi profesi tenaga kefarmasian sebenarnya memiliki peranan penting dalam penanganan bencana, antara lain dengan menghubungi instansi pemerintah yang bertugas dalam penanganan bencana (BPBD, BNPP, dan Dinas Kesehatan) untuk menyediakan jasa sebagai tenaga relawan kesehatan, merancang aksi tanggap bencana bersama dengan organisasi keprofesian lain, membuat suatu database informasi distributor obat yang dapat dihubungi untuk menjamin ketersediaan obat, menyusun daftar obat dan perbekalan kesehatan lainnya yang perlu disediakan di tempat pengungsian/ penampungan, menyusun daftar kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan yang perlu segera disediakan, menyusun daftar tenaga kesehatan dan kefarmasian lainnya untuk berkoordinasi di lapangan, dan menyiapkan daftar serta stok emergency kit yang berisi obat-obatan yang digunakan pada kondisi kegawat daruratan (Bell & Daniel, 2014). Persiapan yang dapat dilakukan di tingkat organisasi profesi tenaga kefarmasian di antaranya adalah merintis kerjasama dengan pemerintah dan organisasi profesi kesehatan lainnya serta menyiapkan rancangan kebijakan internal penanggulangan bencana baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah/wilayah. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan di tingkat organisasi profesi adalah (FIP, 2006; Bell & Daniel, 2014): 1. Melakukan peninjauan terhadap rencana penanggulangan bencana yang telah ada. 2. Bertindak sebagai sumber informasi utama sebelum dan selama tahap tanggap bencana terjadi. 3. Pengiriman



tenaga



kefarmasian



(apoteker



atau



tenaga



teknis



kefarmasian) ke daerah terdampak bencana berkoordinasi dengan Dinas



31



Kesehatan Provisi



atau



Kabupaten/Kota dan Badan Nasional



Penanggulangan Bencana/Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 4. Merancang alur informasi kebutuhan obat di daerah terdampak bencana 5. Bekerjasama dengan industri farmasi dan distributor obat dan alat kesehatan untuk pemesanan/ pendistribusian obat yang ditujukan khusus bagi daerah terdampak bencana 6. Berpartisipasi dalam pengembangan rencana penanggulangan bencana baik di tingkat nasional, daerah, ataupun wilayah 7. Memberikan pelatihan tanggap bencana bagi tenaga kefarmasian baik dalam manajemen logistik maupun pelayanan. Organisasi profesi tenaga kefarmasian juga dapat menjadi wadah untuk memberikan usulan tindak lanjut permasalahan yang sering dihadapi saat bencana terjadi. Beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh tenaga kefarmasian pada saat bencana terjadi antara lain (Kemenkes, 2011; Ciottone, 2016): 1. Obat yang rusak atau lewat masa daluwarsa 2. Pemilihan obat terbatas dikarenakan stok yang kurang atau kondisi obat rusak, atau meningkatnya suatu jenis penyakit pascabencana 3. Karena kondisi bencana, seringkali faktor farmakokinetik dilupakan atau terlewatkan oleh beberapa tenaga kesehatan. Untuk



memperbaiki



atau



menyempurnakan



perencanaan



penanggulangan bencana yang ada, organisasi profesi juga dapat memberikan usulan tindak lanjut dari permasalahan yang munculdi lapangan berdasarkan masukan dari tenaga kefarmasian yang ada. Kesimpulan



: Peran tenaga kefarmasian dalam kondisi tanggap bencana tak



dapat dipungkiri lagi. Untuk menjalankan tanggung jawab kefarmasian dalam kondisi bencana, diperlukan perhatian dan pelatihan khusus bagi tenaga kefarmasian agar siap menghadapi bencana dalam berbagai kondisi. Kesiapan tenaga kefarmasian dalam menghadapi bencana juga memerlukan dukungan semua pihak, baik dari rekan sejawat maupun organisasi profesi untuk memberikan pelatihan dan menyusun prosedur baku penanggulangan



32



bencana. Dengan adanya perencanaan yang matang mulai dari pemetaan bencana, pemetaan jumlah apoteker di tiap daerah, pemetaan tugas dan tanggung jawab apoteker hingga menyediakan instruksi khusus, pelayanan kefarmasian terutama dalam kondisi bencana akan berjalan dengan baik dan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Daftar Pustaka : ASHP Statement on the Role of Health-System Pharmacists in Emergency Preparedness, Medication Therapy and Patient Care: Specific Practice Areas. (2003). Am J Health-Syst Pharm. 60, 1993-1995. Bell C, Daniel S. (2014). Director’s forum: Pharmacy leader’s role in hospital emergency preparedness planning. Hosp Pharm, 49(4), 398-404. BNPB. (2014). Rencana nasional penanggulangan bencana 2015-2019. Jakarta. Hal. BNPB. (2017).Infografis rekapitulasi bencana tahun 2017 diambil dari website: https://bnpb.go.id//infografis/ detail/rekap-bencana-tahun-2017 Ciottone G. (2016). Ciottone’s Disaster Medicine. Elsevier. Philadelphia. 356-361. FIP Statement of Professional Standards. (2006). The role of the pharmacist in crisis management: Including manmade and natural disasters and pandemics. retrieved from FIP website: https://www.fip.org/www/uploads/ database_file.php?id=275&table_id= Keeney GB. (2004). Disaster preparedness: What do we do now?. Journal of Midwifery & Women’s Health. 49:4. Suppl. 1/2004. 1-5. Kementerian Kesehatan RI. (2008). Pedoman pengelolaan rumah sakit lapangan untuk bencana. Jakarta. Hal. 25-26.



33



Kementerian Kesehatan. (2011). Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (edisi revisi). Jakarta. Hal 20-22, 125-132.



Kusharwanti W, Dewi SC, Setiawati MK. (2014). Pengoptimalan peran apoteker dalam pemantauan dan evaluasi insiden keselamatan pasien. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 3(3). 67-76. Lai E, Le Trac, Lovett A. (2013). Expanding the pharmacist’s role in public health. Universal Journal of Public Health 1(3), 79-85. Noe B, Smith A. (2013). Development of a community pharmacy disaster preparedness manual. J.Am Pharm Assoc. 53, 432-437. Pincock LL, Montello MJ, Tarosky MJ, Pierce WF, Edwards CW. (2011). Pharmacist readiness roles for emergency preparedness. Am J Health-Syst Pharma, 68, 620-623.



34



Judul Jurnal



: Komunikasi Bencana: Aspek Sistem (Koordinasi, Informasi dan



Kerjasama) Tahun



: Januari 2012



Vol



: 1, Nomor 4



Abstrak



: Berbagai peristiwa bencana di Indonesia memberikan pelajaran



tentang pentingnya manajemen bencana. Secara kelembagaan BNPB merupakan institusi yang menjadi komando utama penanggulangan bencana. Pada kenyataannya berbagai problematika masih muncul dalam penanganan bencana, utamanya “KIKK”, komunikasi, informasi, koordinasi dan kerjasama. Dalam manajemen bencana diperlukan pendekatan yang tepat yaitu pendekatan sistem, yang akan membantu dari proses mitigasi sampai pasca bencana dapat berjalan dengan baik , karena dilaksanakan secara terintergrasi dan sinergis antar lembaga dan komponen masyarakat Kata Kunci



: bencana, manajemen bencana, pendekatan sistem



Pengantar



: Bencana demi bencana, terutama dari faktor alam terus terjadi



sampai saat ini. Terutama sejak peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004 sampai hari ini, berbagai letusan gunung api, tanah longsor, banjir, gempa teknonik dan vulkanik, serta gas beracun, masih mengancam penduduk di seluruh Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai ujung tombak



penanganan



bencana



nasional



dan



didukung



oleh



Badan



Penanggulangan Bencana Daerah (BPMD) serta berbagai organisasi yang relevan seperti TNI, POLRI,



BASARNAS,



PMI,



DEPSOS, dan



berbagai perangkat pendukung seperti TAGANA, PRAMUKA, ORARI, RAPI, termasuk NGO, relawan berbagai organisasi telah memiliki pengalaman untuk melakukan mitigasi, penanganan sampai pasca bencana. Walaupun demikian sampai saat ini berdasar pengamatan terhadap berbagai



pemberitaan



bencana



di



Indonesia,



masih



menunjukkan



problematika di lapangan, sebagaimana yg dikemukakan Budi (2011 :23) bahwa setelah melalui berbagai penguatan landasan hukum, kelembagaan



35



dan pengalaman penanganan bencana ternyata masih menyisakan banyak persoalan baik secara konseptual maupun lapangan. Persoalan utama adalah “KIKK”, yaitu Komunikasi,



Informasi,



Koordinasi dan Kerjasama. Dari



aspek kecepatan, ketepatan, keakuratan – keandalan, aspek komunikasi dan informasi menjadi hal yang masih problematik, terutama ketika berbicara mengenai kesimpangsiuran informasi, berbagai tindakan yang tidak tepat sasaran seperti logistik yang tidak merata, keterpaduan antar sektor dalam penanganan bencana atau ketumpang tindihan



masih



banyak



terjadi.



Pada satu sisi ini menunjukkan bahwa aspek egosentris sektoral masih nampak, pada sisi lain pemahaman atas aspek kebijakan dan implementasi yang terintegrasi mengenai aspek bencana belum menjadi agenda utama. Problematika tersebut tentu harus diperbaiki, dan menjadi kesempatan untuk



mengimplementasikan



kebijakan,



strategi



dan



operasional



penanggulangan bencana sebagai suatu gerakan yang terintegrasi dan sistemik. Miller and Rivera (2011 : 399) menunjukkan data bencana dari tahun 1900 – 2009 an, yang menunjukkan kecenderungan peningkatan peristiwa bencana, dan nampak diantaranya yang cukup dominan adalah banjir, badai, epidemic, gempa, tanah longsor, sebagaimana terlihat pada bagan dibawah ini :



Bagan 1.a Peningkatan Berbagai Peristiwa Bencana di Dunia Periode Tahun 1900 – 2009



36



Sumber Miller and Rivera (2011 : 399), mengutip International Disaster Database (http://www. emdat.be, Universite Chatolique de Louvain, Brussels, Belgium)



Data diatas juga menunjukkan adanya potensi kecenderungan peningkatan potensi berbagai bencana yang terus meningkat. Apakah karena factor “global warming” atau karena implikasi dari eksploitasi manusia atas bumi, maka isu bencana yang “natural made dan man made” akan tetap menjadi perhatian. Bandingkan dengan fenomena yang terjadi pada Indonesia, tahun 2010, sebagaimana bagan dibawah ini :



Bagan 1.b Peta Jumlah Kejadian Bencana Di Indonesia Tahun 2010 Sumber : geospasial.bnpb.go.id



Dari data dapat dilihat, terdapat dua wilayah yang memiliki data jumlah kejadian bencana yang tinggi yaitu pulau Jawa dan Kalimantan Timur, dua dengan jumlah kejadian dibawahnya adalah NTT dan NTB serta Sumatera Selatan. Wilayah lain jumlahnya dibawah kedua wilayah tersebut diatas. Indikasi ini sebenarnya tetap menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi bencana yang cukup besar, indikasinya adalah berbagai peristiwa yang



37



terjadi terus menerus atau bergantian di tiap wilayah, atau juga kejadian yang berulang pada suatu wilayah yang sama, seperti kejadian banjir, gempa dan kebakarah hutan dan tanah longsor. Pendekatan Sistem Manajemen Bencana Coppola dan Maloney (2009 : 53-55) mengatakan bahwa manajemen bencana



modern secara



komprehensif



mencakup



empat



komponen



fungsional, yaitu : mitigation yang mencakup reduksi atau mengeliminasi komponen resiko bahaya. Kedua



Preparedness, yang meliputi melengkapi



masyarakat yang memiliki resiko terkena bencana atau menyiapkan agar mampu membantu orang pada peristiwa bencana dengan berbagai alat-alat/ perlengkapan



untuk



meningkatkan



kemampuan



bertahan



dan



meminimalisasikan resiko finansial serta resiko lainnya. Ketiga, Response mencakup tindakan yang dilakukan untuk mengurangi atau mengeliminasi dampak bencana, dan keempat Recovery, mencakup perbaikan, rekonstruksi atau mencapai kembali dari apa yang telah rusak/ hilang sebagai bagian dari bencana dan idealnyamengurangi resiko dari kekacauan yang sama dimasa depan. Keempat komponen



tersebut yang saat ini menjadi platform dalam



melakukan penanganan bencana, menjadi dasar untuk melakukan dari operasional lapangan sampai ke pembuatan kebijakan dan strategi penanganan bencana.



Simonovi´c (2011: 31), mengemukakan mengenai



pendekatan sistem dalam manajemen bencana, bahwa manajemen bencana terintegrasi adalah proses pengambilan keputusan yang terus menerus yang mengacu pada pencegahan, respon dan pemulihan dari suatu peristiwa bencana. Secara ringkas digambarkan melalui bagan dibawah ini :



38



Bagan 2 The Venn diagram of integrated disaster management Sumber : FEMA, http://training.fema.gov/emiweb/downloads/is10_unit3.doc (dalam Simonovi´c, 2011 : 31) Dalam penjelasan lebih



lanjut dalam konsep pendekatan system



tersebut, Simonovi´c (2011: 38 - 41) mengemukakan tentang pentingnya mitigasi, yang merupakan perencanaan jangka panjang dan termasuk identifikasi aspek kerentanan dari bagian-bagian kewilayahan, mengacu khususnya pada ancaman – bahaya, dan mengidentifikasikan langkahlangkah yang harus diambil untuk meminimalkan resiko. Tujuan dari kesiapsiagaan adalah untuk mengantisipasi problemproblem yang ada dalam suatu bencana, dirancang untuk mengatasi problem



sehingga berbagai cara bisa



tersebut secara efektif dan sumber-



sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan respon yang efektif disiapkan sebelum (termasuk formulasi, tes, latihan, trainer, komunikasi publik) . Selanjutnya aktivitas respon mencakup hunian darurat, SAR, penanganan korban, asesmen kerusakan dan pengukuran kedaruratan. Pada poin ini Simonovi´c mengemukakan bahwa petugas yang menangani pada tahap ini harus mengatasi berbagai kebutuhan seperti



koordinasi,



komunikasi, asesmen situasi terus menerus serta mobilisasi sumber daya yang diperlukan secara tepat. Pada tahap pemulihan menunjukkan suatu upaya terus menerus untuk melakukan rekonstruksi, restorasi, rehabilitasi dan pembangunan kembali pasca bencana. Aspek-aspek mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan pasca bencana menjadi bagian-bagian yang sistemik dan terintegrasi dalam suatu kebijakan, strategi, manajemen dan operasional, dan tentu didukung oleh regulasi yang berskala nasional, regional dan lokal. Tidak bisa dibayangkan jika otonomi daerah kemudian meniadakan ruang untuk melakukan koordinasi dan operasi bencana bersama pada wilayah yang mencakup dua wilayah atau lebih.



39



Pada suatu peristiwa bencana, operasi penanganan bencana akan melibatkan berbagai stakeholder yang masing- masing memiliki tugas, sumberdaya, ketrampilan, misi sampai kepentingan yang sama dan berbeda. Berbagai keluhan atau kritik atas fenomena suatu peristiwa bencana, merupakan pelajaran yang penting dalam manajemen bencana. Sebagaimana yang digambarkan oleh Budi (2011 : 33) dibawah ini :



Bagan 3 Keterlibatan Stakeholder Dalam Peristiwa Bencana



Bagan diatas menunjukkan kom- pleksitas organisasi, manajemen dan operasi penanggulangan bencana, teru- tama antara pihak yang menjadi ujung tombak dan berbagai lembaga atau per- orangan yang dianggap/ menganggap memiliki kapasitas untuk melakukan asistensi pada suatu peristiwa bencana. Bagan tersebut awalnya dibuat sebagai resume atas peristiwa bencana letusan gunung Merapi tahun 2010. Pertama, peristiwa letusan tersebut sebelumnya telah dipantau, diketahui/ diperkirakan akan terjadi dan sampai akhinya terjadi. Kedua peristiwa letusan Merapi yang telah dikatagorikan sebagai bencana nasional tersebut terjadi pada kurun waktu yang cukup panjang (Oktober – Desember tahun 2010), dari skala kecil sampai pada puncak letusan, termasuk pasca letusan, yaitu gelontoran



40



aliran lahar dingin (pasca puncak letusan Merapi adalah situasi musim hujan). Dalam pengamatan baik dari media, monitoring frekuensi RAPI dan kisah- kisah yang dikemukakan oleh relawan, menunjukkan perbaikan manajemen bencana di Yogya, pasca bencana gempa Yogya tahun 2006 yang lalu, walaupun juga tetap masih menyisakan berbagai persoalan, yang salah satu intinya adalah “KIKK” sebagaimana tersebut diatas. Sebagaimana pada bagan 2 diatas garis-garis koordinasi / fungsi dan berbagai komponen / stakeholder yang ada, pada suatu peristiwa bencana adalah mencakup muatan-muatan dan probelematika “Komunikasi, Informasi, Koordinasi dan Kerjasama”. Siklus Manajemen Bencana Pada dasarnya pemahaman manajemen bencana akan mencakup aspek sebagaimana yang dikemukakan Shaw dan Gupta (dalam Shaw, Srinivas, Sharma, 2009 : 57) dibawah ini :



Bagan 4.a Siklus Manajemen bencana



Secara siklus akan mencakup situasi sebelum bencana, selama bencana, setelah peristiwa bencana dan situasi non bencana. Pada situasi non bencana



41



adalah gambaran mengenai proses mitigasi. Pada paparan berikut Shaw dan Gupta (2009 : 59) secara khusus menyoroti isu komunikasi dalam manajemen bencana, sebagai mana bagan berikut ini :



Bagan 4.b Isu Komunikasi Dalam Manajemen Bencana



Memang Shaw dan Gupta fokus menyoroti aspek komunikasi, namun sebenarnya ada implikasi lebih ketika kita menghubungkan antara siklus manajemen komunikasi dan aspek komunikasi, yaitu dimensi informasi, koordinasi dan kerjasama. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek komunikasi akan mencakup informasi yang akurat, koordinasi dan aspek kerjasama terutama kepada masyarakat yang rentan atas peristiwa bencana. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek : komunikasi, informasi, kerjasama dan koordinasi merupakan kunci sukses penangana bencana, terutama untuk penanganan korban dan menghindari resiko lebih lanjut. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi dan pemulihan pasca situasi bencana adalah tahap penting untuk membangun kembali korban bencana dan memastikan untuk mengurangi resiko apabila terjadi pe- ristiwa serupa dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah mitigasi, dalam tahapan ini, seluruh potensi komunikasi menjadi penting untuk memastikan pencegahan dan pengurangan resiko, yang tentu pendekatan yang tepat adalah



42



konprehensif, sistemik dan terintegrasi antar lembaga, komponen maupun stakeholder yang ada. Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani bencana (BNPB), keterlibatan stakeholder seperti media, industri, politisi dan berbagai komponen masyarakat/ lembaganya menjadi sangat penting.



Sedemikan



penting agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa bencana dan juga pada mitigasi, tahap pemulihan, tidak digunakan sebagai ajang pencitraan – yang akhirnya menjadikan bencana dan korban bencana sebagai obyek semata, namun justru secara substansial memang membantu korban bencana dan meminimalisasi resiko yang ada/ yang akan



terjadi. Pada sisi lain



pemberitaan di media atas bencana letusan gunung Merapi, juga sempat menunjukkan adanya tumpukan bantuan yang mubazir, karena tumpang tindih dan system informasi yang tidak baik, atau sebaliknya kejadian bencana gempa di Mentawai dan banjir di Wasior Papua, juga menunjukkan gambaran aspek komunikasi dan informasi yang belum bnerjalan dengan baik karena mengakibatkan keterlambatan penanganan, termasuk bantuan pada korban. Rodrigues dkk (dalam Rodr´ıguez, Quarantelli and Dynes (2007: 480) menyusun model untuk mengkomuni- kasikan resiko bahaya dan peringatan bencana, sebagai berikut :



Bagan 5 Model Komunikasi Resiko Bahaya dan Peringatan Bencana



43



Dari bagan diatas dapat ditarik garis penting bahwa model komunikasi yang dipaparkan tidak hanya memiliki implikasi satu arah antara penggagas dengan targek khalayak yaitu korban/ potensi korban, namun juga menunjukkan arti penting komunikasi dua arah. Pada sisi lain stakeholder yang terlibat memiliki potensi sumber daya yang bisa digunakan untuk memastikan proses manajemen bencana dan tahapannya bisa mencapai sasaran, oleh karena itu aspek koordinasi dan kerjasama perlu dikembangkan menjadi suatu proses yang baik dengan dasar prinsip humanitarian. Inilah yang sebenarnya menjadi hal penting dalam pendekatan system, yaitu integrasi proses antar komponen dan antar stakeholder dalam melakukan gerakan dan tindakan untuk menyelamatkan korban dan potensi korban bencana. Senada dengan hal tersebut Haddow and Haddow (2009) menyebutkan tentang pentingnya fokus pada target khalayak, artinya memahami karateristik khalayak



untuk



memastikan



pesan



dan media untuk isu



kebencanaan bisa mendorong ke tindakan dan perilaku mitigasi bencana. Demikian pula aspek komitmen kepemimpinan dari lembaga-lembaga yang relevan dalam penanggulangan bencana, supaya tidak terjadi tumpang tindih, kekacauan koordinasi dan keengganan kerjasama (karena budaya organisasi, pemahaman tentang bencana yang berbeda ataupun jobdes yang berbeda). Selanjutnya adalah isu perencanaan dan operasi komunikasi yang terbuka, apa yang dimaksud terbuka adalah masing-masing pihak paham akan posisi dan tujuan komunikasi yang dilakukan. Jika kondisi ini tidak terjadi akan menimbulkan prasangka atau resistensi dari korban bencana karena kecurigaan adanya kepentingan tertentu yang bermain. Ini tentu termasuk edukasi tentang kebencanaan – kewilayahan dan resiko-resiko, agar khalayak tahu dan paham akan situasi yang terjadi saat ini dan kedepan. Pada isu lain Haddow dan Haddow juga menyoroti media, yang memiliki peran penting dalam peristiwa bencana, dalam arti positif bisa mengedukasi masyarakat dan membantu mengurangi resiko dan membangun spirit korban, sebaliknya tidak menjadikan bencana sebagai komoditas berita semata.



44



Ross Prizzia (dalam Pinkowski , 2008 : 80-81) menyebutkan pelajaran penting tentang manajemen bencana pada peristiwa Badai Katrina, yaitu dibalik besarnya dan dampak bencana, aspek pe- mimpin situasi darurat yang tidak cukup memiliki bekal training sebelumnya, tidak cukup memiliki kapasitas



untuk menangani peristiwa bencana tersebut, termasik aspek



manajemen keuangannya, sebelum, selama dan pasca bencana Katrina tersebut. Prizzia (hal 93 – 94) menambahkan mengenai lemahnya koordinasi dengan sektor swasta/ perusahaan dan juga media, yang pada dasarnya menjadi partner penting dalam manajemen bencana. Penutup



: Berbagai peristiwa bencana di dunia dan terutama di Indonesia



terlihat semakin menunjukkan jumlah dan dampak yang membesar. Proses manajemen bencana diperlukan untuk melakukan pengurangan resiko bencana, untuk hal ini, pemahaman mengenai siklus dan pendekatan manajemen bencana. Pada akhirnya peristiwa bencana dan aspek menajemen bencana adalah operasi humanitarian, oleh karena itu faktor-faktor determinan yang penting perlu untuk dikembangkan, dilatih dan diaplikasikan. Faktor-faktor yang sering menjadi persoalan adalah Komunikasi, Informasi, Koordinasi dan Kerjasama. Terutama jika melibatkan berbagai lembaga/ komponen masyarakat, pendekatan yang perlu diketahui, dipahami dan diimplementasikan – dengan prinsip humanitarian adalah pendekatan system, yang merupakan upaya sinergis dan terintegrasi dari lembaga yang ditugaskan untuk menangani bencana dan lembaga pendukung lainnya, sedemikian menjadi satu teamwork yang kuat melaksanakan upaya pengurangan resiki bencana. Pendekatan system menjadi kunci penting dalam manajemen bencana, dan aspek komunikasi bencana menjadi hal yang juga signifikan, terutama untuk aspek edukasi, komunikasi.informasi selama peristiwa bencana dan pemulihan bencana.



45



Daftar Pustaka : Budi HH, Setio (ed), 2011, Komunikasi Bencana, Penerbit : ASPIKOM, PERHUMAS Yogyakarta dan Buku Litera Coppola, Damon, Maloney, Erin K, 2009, Emergency Preparedness Strategies for Creating a Disaster Resilient Public. Taylor and Francis Group, LLC Haddow , George D. and Haddow , Kim S. 2009, Disaster Communicationsin a Changing Media World , Elsevier Inc Burlington, MA 01803, USA Miller , DeMond Shondell & Rivera, Jason David (eds), 2011, Comparative emergency management : examining global and regional responses to disasters , Taylor and Francis Group, LLC Florida Pinkowski, Jack (ed), 2008, Disaster Management Handbook, Taylor & Francis Group, LLC Rodr´ıguez, Havid´an, Quarantelli, Enrico L., and Dynes, Russell (eds), 2007 Handbook of Disaster Research. Springer Science+Business Media, LLC New York Shaw , Rajib; Srinivas, Hari & Sharma, Anshu (Eds), 2009, Urban Risk Reduction: An Asian Perspective, Emerald Group Publishing Limited Simonovi´c, Slobodan P, 2011, Systems Approach to Management of Disasters : Methods and Appl- ications, John Wiley & Sons Hoboken, New Jersey Budi



HH,



Setio“Mitigasi



Dipresentasikan dalam



dan



Manajemen



Komunikasi



Bencana”



Seminar & Call for Paper The Power of Green:



Media dan Komunikasi Lingkungan”, MILAD UNISBA 2011



46