Kelompok 2-Keratokonjungtivitis Sicca Pada Anjing [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU PENYAKIT DALAM HEWAN KECIL KERATOKONJUNGTIVITIS SICCA PADA ANJING



DISUSUN OLEH Kelompok 2



I Nyoman Perdana Adi P.



(19-097)



I Gd Arya Bayu M.



(19-098)



Gusti Ayu Putu Ratih P.



(19-099)



I Gd Bagus Dharma Adnyana



(19-102)



Millaniladzim Baadilla



(19-103)



Hesty Kartika Tandisalla



(19-104)



I Gusti Ngurah Putu Krisnu M.



(19-105)



FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya



sehingga



kami



dapat



menyelesaikan



paper



yang



berjudul



“Keratokonjungtivitis sicca pada Anjing” guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam Hewan Kecil tepat pada waktunya. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bergabung dalam penulisan paper ini. Tidak lupa juga kami berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam Hewan Kecil yang telah memberikan waktu yang cukup sehingga kami dapat menyelesaikan paper ini dengan baik. Paper ini kami susun berdasarkan pengetahuan dari beberapa sumber buku dan internet berupa jurnal dengan harapan pembaca dapat memahami tentang bagaimana penyakit “Keratokonjungtivitis sicca pada Anjing”. Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat terciptanya paper yang lebih baik kedepannya.



Denpasar, 1 November 2021



Kelompok 2



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................2 1.3 Tujuan .....................................................................................................................2 1.4 Manfaat ...................................................................................................................2 BAB II. PEMBAHASAN .................................................................................................3 2.1 Definisi ....................................................................................................................3 2.2 Patofisiologi ............................................................................................................4 2.3 Etiologi ....................................................................................................................6 2.4 Gejala Klinis ...........................................................................................................6 2.5 Diagnosis .................................................................................................................7 2.6 Pengobatan .............................................................................................................8 BAB III. PENUTUPAN .................................................................................................10 3.1 Kesimpulan ...........................................................................................................10 3.2 Saran .....................................................................................................................10 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... iv



iii



BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing atau Canis lupus familiaris adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi berdasarkan bukti genetik berupa penemuan fosil dan tes DNA. Di Indonesia, anjing dipelihara untuk dijadikan sebagai anjing pemburu, anjing penjaga ladang, ataupun penjaga rumah. Anjing mampu bersosialisasi dengan manusia (Alfi et al., 2015). Anjing mempunyai sifat baik dan memiliki jenis, ras dengan warna dan ukuran yang berbeda. Anjing menjadi salah satu pilihan utama untuk peliharaan (Hatmosrojo dan Nyuwan, 2003). Melalui pembiakan silang yang selektif, anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam variasi yang biasa kita kenal dengan sebutan anjing ras (Areningrat et al., 2021). Secara fisiologi anatomi bola mata terdiri atas tiga lapis yaitu lapis fibrosa (luar), lapis vaskuler (tengah), dan lapis syaraf (dalam). Lapis luar meliputi kornea dan sklera. Kejernihan kornea diatur oleh kandungan air didalamnya. Saat terjadi gangguan kornea, kandungan air dapat meningkat menjadikan oedema kornea dan dapat menurun menjadikan kornea mengkerut (corneal dehydration). Sklera merupakan suatu jaringan ikat fibrosa yang menguasai sebagian besar lapis luar bola mata. Lapis tengah disebut uvea yang terdiri dari choroid, iris dan benda silia. Lapis dalam terdapat retina yang mengandung reseptor sensorik untuk pandangan. Bagian dalam bola mata terdiri atas dua kompartemen yang berisikan cairan. Kompartemen pertama terletak di depan lensa dan badan silia yang disebut kompartemen aquaeos, berisi bahan cairan yang encer jernih (aqueous humor). Kompartemen kedua terletak di belakang lensa dan serat silia yang disebut kompartemen vitreous, berisikan bahan cairan yang kental lendir/gelatin (vitreous humor) (Miller dan Bentley, 2015). Kesehatan anjing merupakan bagian dari manajemen pemeliharaan yang harus diperhatikan oleh pemilik. Salah satu masalah kesehatan pada mata anjing yaitu Keratokonjungtivitis sicca (KCS), yaitu defisiensi air mata sehingga menyebabkan bola mata kering dan keradangan pada kornea serta konjungtiva. Ciri histopatologinya timbul bintik kering pada kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, dan penambahan 1



keratinisasi. Penyakit ini merupakan multifaktorial dari air mata dan permukaan okular yang menghasilkan gejala ketidaknyamanan, kekeringan mata terus menerus sehingga mempengaruhi kualitas hidup. KCS sangat sering ditemukan pada anjing dan jarang pada kucing. Predisposisi ras anjing terhadap KCS adalah Cooker spaniel, bulldog, West highland white terrier, Lhasa apso, dan Shih-tzu (Triakoso, 2016). 1.2 Rumusan Masalah Adapun hal yang ingin menjadi topik dalam penulisan paper ini antara lain: 1. Bagimana definisi dari Keratokonjungtivitis sicca? 2. Bagimana patofisiologi Keratokonjungtivitis sicca? 3. Bagimana etiologi dari Keratokonjungtivitis sicca? 4. Apa gejala klinis dari Keratokonjungtivitis sicca? 5. Bagaimana diagnosis dari Keratokonjungtivitis sicca? 6. Apa pengobatan yang tepat untuk Keratokonjungtivitis sicca? 1.3 Tujuan Adapun tujuan penulisan paper ini antara lain: 1. Mengetahui definisi dari Keratokonjungtivitis sicca 2. Memahami patofisiologi Keratokonjungtivitis sicca 3. Memahami etiologi dari Keratokonjungtivitis sicca 4. Memahami gejala klinis dari Keratokonjungtivitis sicca 5. Memahami cara mendiagnosis Keratokonjungtivitis sicca 6. Memahami pengobatan untuk Keratokonjungtivitis sicca 1.4 Manfaat Kami berharap paper ini dapat berguna dalam menambah wawasan mengenai “Keratokonjungtivitis sicca pada Anjing” bagi kami selaku penulis maupun pembaca, khususnya mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan.



2



BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Definisi Keratokonjungtivitis sicca merupakan kelainan pada mata yang terjadi akibat kekurangan produksi cairan air mata sehingga mata menjadi kering (dry eye, xerophthalmia) dan umumnya penyakit ini bersifat kronis. Ada beberapa tipe penyebab penyakit ini. Kasus penyakit keratokonjungtivitis akibat tipe 1 berupa kekurangan sekresi dari kelenjar lakrimalis atau kelenjar lakrimalisnya mengalami atropi. Penyebab dari tipe 2 berupa kerusakan glandula lakrimalis yang sering terjadi pada kasus distemper pada anjing, trauma pada kelenjar lakrimalis atau tidak adanya supply saraf pada kelenjar tersebut, penyumbatan pada ductus dari kelenjar lakrimalis karena infeksi bakteri kronis pada konjungtiva dan reaksi radang berperantara imun (Kardena). Dry eye syndrome (DES), dikenal juga sebagai keratokonjungtivitis sicca atau dysfunctional tear syndrome, adalah gangguan pada lapisan air mata dengan penyebab multifaktorial yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada permukaan mata. DES dapat disebabkan oleh defisiensi air mata atau evaporasi yang berlebihan, yang dapat merusak permukaan okular intrapalpebral dan menimbulkan gejala okular. Dry eye syndrome dipengaruhi banyak faktor, mulai dari inflamasi pada permukaan mata, kelainan kelenjar lakrimal, disfungsi kelenjar meibom, dan defisiensi neurotropik. Kelainan-kelainan tersebut berdampak pada gangguan produksi air mata, meningkatnya evaporasi air mata, dan kualitas air mata yang buruk (Setiyanto et al., 2020). Keratokonjungtivitis sicca adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva yang diakibatkan oleh berkurangnya fungsi air mata. Keratokonjungtivitis sicca (KCS) adalah suatu kondisi yang juga biasa disebut sebagai "mata kering." Istilah medis berarti radang kornea dan jaringan sekitarnya mengalami pengeringan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian menunjukkan bahwa mata kering tampaknya disebabkan oleh peradangan (Johnston. L, 2012). Kelainan-kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan: a. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya blefaritis menahun, distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata. 3



b. Defisiensi kelenjar air mata, misalnya sindrom syogren, sindrom riley day, alakrimia kongenital, aplasi kongenital saraf trigeminus, sarkoidosis, limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik, atropin dan usia tua. c. Defisiensi komponen musin, misalnya benign ocular pempigoid. d. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neuroparalitik, hidup di gurun pasir, keratitis logoftalmus. e. Kerena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea. 2.2 Patofisiologi Konjungtiva dikaitkan dengan banyak penyakit adneksa dan bulbar karena paparannya dan kedekatannya dengan struktur okular. Konjungtiva dan membran mukosa berperan dalam dinamika air mata, perlindungan imunologis mata, gerakan okular, dan penyembuhan kornea. Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa berlapis nonkeratin dan substantia propria di bawahnya. Substantia propria dibagi menjadi lapisan superfisial dan dalam. Lapisan superfisial mengandung banyak nodul limfoid, yang merupakan komponen utama dari jaringan limfoid terkait konjungtiva/conjunctiva associated lymphoid tissue (CALT). Sel goblet juga terdapat pada lapisan epitel konjungtiva. Sel-sel ini menghasilkan musin seperti gel, yang membentuk lapisan terdalam dari tiga lapisan film air mata preokular, dan melindungi permukaan okular dengan menjebak debu dan bakteri, serta menyediakan media untuk perlekatan imunoglobulin A dan lisozim mikrobisida. Proliferasi sel goblet terjadi pada keratokonjungtivitis sicca (KCS), konjungtivitis kronis, dan defisiensi vitamin A.



Gambar 1 Ulkus Kornea Sentral pada Anjing Penderita KCS Akut (Sumber: Metropolitan Veterinary Associates, 2015)



4



Gambar 2 Konjungtivis Hiperemi dan Neovaskularisasi Kornea pada KCS Berat (Sumber: Williams, D., 2014)



Produksi air mata normal pada anjing sedikit berfluktuasi pada siang hari dan menurun seiring bertambahnya usia. Produksi air mata pada anak anjing mencapai tingkat normal pada usia 9-10 minggu. Abnormalitas baik kuantitas maupun kualitas komponen air mata (lipid, akuos, mukus) dapat mengubah dinamika cairan air mata dan mengganggu fungsi air mata. Hipertonisitas dan dehidrasi epitel konjungtiva dan kornea adalah peristiwa patofisiologis awal yang terkait dengan defisiensi air mata. Hipoksia epitel kornea dan stroma kornea subepitel juga terjadi pada awal perjalanan penyakit lapisan air mata. Kurangnya pelumasan yang tepat menyebabkan iritasi gesekan pada permukaan mata oleh kelopak mata dan kelopak mata ketiga. Metabolit jaringan yang berpotensi toksik yaitu, asam laktat, sel yang mengalami deskuamasi, mukus yang terdenaturasi, debris mikro lainnya juga dapat terakumulasi pada permukaan mata. Pada pasien yang kekurangan air mata, mikroorganisme lebih mudah berkolonisasi pada mata yang terkena, sehingga mengakibatkan peningkatan insiden infeksi permukaan okular. Apapun penyebab yang mendasari penyakit lapisan air mata, hasil peradangan permukaan mata, yang pada gilirannya menjadi penyebab dan konsekuensi dari kerusakan sel, menciptakan siklus kerusakan yang terus-menerus. Kekurangan film/lapisan air mata menyebabkan:  Peradangan kronis pada permukaan okular akibat peningkatan gesekan permukaan  Infeksi sekunder  Dehidrasi dan malnutrisi pada kornea  Hiperemia konjungtiva 5



 Metaplasia skuamosa pada epitel permukaan  Hiperkeratinisasi epitel permukaan  Penebalan epitel kornea. 2.3 Etiologi Bentuk lokal yang dimediasi imun adalah jenis KCS yang paling umum pada anjing, meskipun penyakit yang dimediasi imun sistemik juga dapat mempengaruhi produksi air mata (Giuliano dan Moore, 2007). Dalam kedua bentuk ini, fungsi niktitan dan kelenjar lakrimal dikompromikan sebagai akibat dari adenitis yang dimediasi imun. Kondisi sistemik termasuk hipotiroidisme, diabetes mellitus dan hyperadrenocorticism semuanya dapat menyebabkan penurunan produksi air mata (Williams, 2007). Terapi obat, seperti atropin topikal dan sulfonamid sistemik, keduanya dapat menyebabkan penurunan produksi air mata, dan efek ini dapat bersifat sementara atau permanen. Telah disarankan anjing dengan berat badan kurang dari 12 kg yang menjalani perawatan dengan trimetoprim-sulfadiazin oral berada di peningkatan risiko mengembangkan KCS (Berger et al, 1995). Kondisi menular, seperti distemper virus dan blepharoconjunctivitis kronis, dapat menyebabkan KCS. KCS latrogenik dapat dihasilkan dari pengangkatan kelenjar niktitan-ini secara historis disarankan menjadi pengobatan pilihan untuk prolaps kelenjar niktitan sebelum peran kelenjar dalam produksi air mata dipahami dengan benar (Saito et al, 2001). Kondisi kongenital yang tidak biasa hipoplasia asinar kadang-kadang terlihat pada keturunan miniatur dari: anjing yang dapat hadir dengan kekeringan mata parah unilateral (Herrera et al, 2007). KCS neurogenik dapat disebabkan oleh hilangnya persarafan parasimpatis ke kelenjar lakrimal atau hilangnya persarafan sensorik pada kornea. Kehilangan persarafan parasimpatis dapat menjadi idiopatik atau berkembang sebagai akibat dari penyakit telinga bagian dalam, trauma atau neoplasia. 2.4 Gejala Klinis Gejala klinis dari penyakit ini bervariasi, tergantung dari keparahan kurangnya produksi air mata. Berkurangnya produksi air mata dapat menyebabkan penurunan kelembaban dari kornea dan konjungtiva. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit sehingga akan timbul gejala blepharospasm dan endophthalmos. Akibat 6



kekeringan pada kornea, kornea dapat mengalami keratinisasi (menjadi menebal), dan dapat pula membentuk jaringan yang menyerupai kulit (epidermalization). Bila berkembang, kornea bisa menjadi opaque, terjadi ulcer, vaskularisasi dan berpigmen (kasus kronis). Kasus dengan gejala klinis seperti ini dapat pula terjadi bila bola mata mengalami disposisi secara anterior (exophthalmos) akibat lesi bagian dalam dibelakang bola mata atau bila kelopak mata tidak mampu menutup kornea (lagophthalmos) secara sempurna. Pada kondisi yang parah, menyebabkan gangguan penglihatan. 2.5 Diagnosis Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan fisik



dan pemeriksaan



oftalmologi menyeluruh terhadap anjing, dengan mempertimbangkan riwayat latar belakang, tanda klinis, dan kemungkinan kejadian yang mungkin menyebabkan kondisi ini. Selain itu, dapat juga dilakukan uji berikut: a. Schirmer Tear Test (STT) Digunakan untuk mengukur nilai air mata dan jumlah kebasahan pada mata, artinya, jumlah produksi air mata yang ada di saluran air mata dan jumlah air mata yang tersedia untuk mata. Nilai yang rendah akan menjadi indikasi keratokonjungtivitis sicca. Terdapat dua jenis STT (STT-1 dan STT-2). STT-1 mengukur produksi air mata basal dan refleks dan merupakan tes yang paling umum digunakan. STT-2 mengevaluasi produksi air mata basal setelah aplikasi topikal dari nilai anestesi dan prediktif pada hewan dengan ulserasi kornea yang tidak mentolerir STT-1. Untuk melakukan tes STT-1, selembar kertas khusus dimasukkan ke dalam kelopak mata bawah di sudut luar mata selama 60 detik. Kelembaban mata akan membasahi kertas. Pada akhir periode 60 detik, ketinggian area yang dibasahi diukur. Nilai normal STT-2 adalah 4 – 5 mm / menit. Hanya STT 1 pada kedua mata yang dilakukan dalam prosedur diagnostik reguler pada awal pemeriksaan. Berikut ini adalah pedoman umum untuk menafsirkan STT-1: 



>/= 15 mm/menit = normal







11-14 mm/menit = KCS awal atau subklinis







6-10 mm /menit = KCS sedang hingga ringan