12 0 159 KB
Kasus Evergrande dan Potensi Krisis Global PRAKTIKUM ETIKA BISNIS & PROFESI PERPAJAKAN
OLEH : KELOMPOK 4 Ni Made Ayu Angelika Martha (2007341001) Ni Putu Asri Devitayanti
(2007341006)
I Kadek Dwi Mas Cahyana
(2007341020)
Kadek Divayana Wijaya
(2007341024)
Komang Yudistira Mahardika (2007341028)
PROGRAM STUDI DIPLOMA III PERPAJAKAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2021/2022
Kasus Evergrande dan Potensi Krisis Global Kasus gagal bayar Evergrande, perusahaan properti terbesar di China pun membuat investor di seluruh dunia bergetar. Perusahaan milik taipan terkaya di China ini pun tak mampu membayar hutang sebesar 308 miliar. Tremor ekonomi yang diakibatkan malpraktik finansial Lehman Brothers pada 2008 silam masih lekat dalam ingatan dunia. Tak ayal, kasus gagal bayar Evergrande, perusahaan propertI terbesar di China pun membuat investor di seluruh dunia bergetar. Meski trauma akibat krisis ekonomi 2008 belum sirna, berbagai pihak masih percaya diri mengingat luasnya kewenangan China untuk masuk dan menyelesaikan persoalan. Hingga saat ini, ratusan orang terpantau memadati kantor pusat Evergrande di Kota Shenzhen, Tiongkok. Ratusan orang ini merupakan investor skala kecil, pembeli properti, pengusaha pemasok barang, yang terlunta akibat banyaknya pembangunan Evergrande yang mangkrak. Tak hanya itu, perusahaan milik salah satu taipan terkaya di China ini pun tak mampu membayar hutang sebesar 308 miliar dollar AS. Serangkaian protes ini tentu bukan tanpa alasan, Evergrande memiliki tanggung jawab untuk membayar lebih dari 70 ribu investor baik dari dalam maupun luar China. Selain itu, Evergrande juga tengah mengerjakan lebih dari 1 juta proyek permukiman di lebih dari 200 kota di China. Tanpa adanya kejelasan, 1 juta pelanggan Evergrande akan berpotensi kehilangan hunian dan uang yang selama ini telah mereka bayarkan. Tak hanya merugikan pihak-pihak di dalam negeri, kasus Evergrande ini juga memiliki efek domino di tingkat dunia. Salah satu pihak yang ikut terpukul dari kasus ini ialah para pemasok seperti TOTO (perusahaan perabot kamar mandi) dan Daikin (perusahaan pendingin ruangan). Pada 2020 silam, 30 persen dari keuntungan perusahaan tersebut diperoleh dari pasar China. Sedangkan, 25 persen dari penjualannya selama tahun lalu bersumber dari pasar negara ini.
Dengan besarnya skala Evergrande, kemungkinan besar sebagian besar pendapatan tersebut diperoleh dari proyek-proyek yang dikerjakan oleh Evergrande. Tak hanya mengancam investor dan pelanggan, kasus gagal bayar Evergrande ini bisa menjadi sinyal awal dari persoalan sistemik di perekonomian China. Pasalnya, Evergrande berhutang ke lebih dari 100 bank dan 121 lembaga keuangan non-bank nasional. Selain itu, Evergrande juga memiliki pekerja sebanyak lebih dari 3 juta orang, yang kini dilaporkan telah tak dibayarkan upahnya. Tak ayal, apabila Evergrande bangkrut, jutaan orang akan hilang pekerjaan seketika. Seiring dengan performa perusahaan yang mendapat sorotan publik, kepercayaan investor di lantai saham pun terus tergerus. Saat ini, harga saham Grup Evergrande di bursa Hong Kong berada di angka 2,95 Dollar Hong Kong. Jika dibandingkan dengan setahun ke belakang, harga ini telah mengalami penurunan sebesar lebih dari 85 persen. Bahkan, per 30 September saja, saham Evergrande terdepresiasi sebesar nyaris 4 persen dalam satu hari. Dengan tren negatif ini, kemungkinan Evergrande untuk bangkit di bursa kecil. Hingga ada solusi permasalahan yang jelas, ketidakpastian akan memicu para investor untuk terus menjual lembar saham Evergrande yang masih mereka pegang. Keputusan mengambang Selama ini, banyak pihak termasuk orang-orang di dalam Grup Evergrande salah menilai. Mereka berasumsi bahwa posisi Evergrande dalam skema perekonomian China sudah mencapai status Too Big to Fall (TBTF) sehingga pemerintah memiliki tekanan moral hazard. Secara singkat, dengan skala bisnis yang sangat besar dan keterhubungan dengan sektor ekonomi yang luas, pemerintah mau tak mau harus menyelamatkan perusahaan ini ketika terjadi apa apa.
Dalam sejarah, hal ini pernah terjadi di AS pada 2008, di mana pemerintah harus melakukan intervensi pada kasus Lehman Brothers untuk meredam dampak sistemik di perekonomian nasional mereka. Asumsi TBTF ini tentu memiliki dasar yang cukup kuat. Selama ini, sektor properti merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi negeri Tirai Bambu. Data pada 2017, menunjukkan bahwa kontribusi sektor properti di PDB China ialah sebesar 29 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan berbagai negara lain seperti Perancis, Inggris, Jepang dan Jerman yang kontribusinya sektor propertinya di bawah 20 persen. Sayangnya, kepercayaan ini tak dianut oleh Pemerintah China. Meski memiliki potensi akan menyebabkan krisis yang sistemik, belum ada keputusan resmi dari pihak Pemerintah China. Di satu sisi, pemerintah China memang telah mengumumkan untuk menjamin nasib para pembeli properti Evergrande. Hal ini dilakukan dengan beberapa langkah, salah satunya adalah mendorong perusahaan BUMN untuk masuk dan membantu menggarap proyek Evergrande yang terhenti. Namun, pemerintah China tak memberikan sinyal bahwa akan membantu Evergrande untuk membayarkan kewajibannya. Pasalnya, Evergrande sendiri telah melanggar tiga aturan (red lines) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah China untuk menghindari kasus gagal bayar. Aturan pertama ialah memastikan bahwa rasio liabilitas terhadap aset di bawah 70 persen. Ketika perusahaan belum melewati garis aturan pertama ini, perusahaan boleh memiliki pertumbuhan hutang sebesar 15 persen per tahunnya. Aturan ke dua ialah rasio gearing di bawah 100 persen, artinya hutang yang dimiliki oleh perusahaan tidak boleh melebihi dana para pemilik saham. Jika sebuah perusahaan telah melewati aturan pertama namun masih belum melewati aturan ke dua, perusahaan tersebut masih diizinkan menambah hutang sebesar 10 persen dari angka tahun sebelumnya.
Aturan ketiga ialah rasio uang tunai atau aset serupa terhadap hutang jangka pendek tak kurang dari 1. Artinya, perusahaan bisa menjamin bahwa masih bisa membayar hutang jangka pendek mereka. Jika sebuah perusahaan melanggar aturan pertama dan ke dua namun belum melanggar aturan ke tiga, maka perusahaan tersebut masih boleh menambah hutang sebesar 5 persen. Dalam kasus Evergrande, ketiga aturan tersebut dilanggar. Artinya, ia sudah dilarang untuk berhutang lagi tahun ini. Adanya aturan ini merupakan salah satu langkah Xi Jinping untuk tidak memanjakan perusahaan raksasa di negaranya. Jika dibiarkan praktik perusahaan yang terlalu beresiko dan serampangan membuat pemerintah khawatir bangunan perekonomian nasional akan rapuh. Untuk memberi pelajaran, baik untuk perusahaan maupun investor, keputusan bisnis perlu dipikirkan secara matang dan berorientasi jangka panjang. Apabila merugi, para investor dan perusahaan tersebut lah yang harus menanggung, bukan negara. Tak ayal, tahun ini saja, terdapat 25 perusahaan besar China yang dibangkrutkan. Nilai saham dari ke 25 perusahan itu pun mencapai 10 miliar Dollar AS, memecahkan rekor sepanjang berdirinya negara Republik Rakyat China. Meskipun begitu, tak menutup kemungkinan jika Pemerintah China akhirnya akan melakukan intervensi. Pasalnya, pengalaman kasus Bank Baoshang dan Grup HNA sebelumnya menunjukkan bahwa pemerintah bersedia untuk mengambil alih perusahaan yang pailit. Maka, sikap dingin pemerintah terhadap Evergrande saat ini merupakan bisa dilihat sebagai upaya “pembelajaran” bagi perusahaan lain yang masih nakal. Gelagat internasional Walau kasus Evergreen termasuk salah satu skandal terbesar dalam perekonomian China dalam beberapa waktu terakhir, belum ada reaksi yang keras dari berbagai pihak internasional. Beberapa lembaga keuangan internasional seperti J.P Morgan, Bank of America dan Grup Citibank terpantau masih tak menyiapkan langkah besar apapun terkait kasus Evergrande. Hal ini
karena tak banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut yang memiliki hubungan langsung dengan Evergrande. Minimnya dampak Evergrande ini juga diperkirakan terjadi di Indonesia. Berdasar laporan Kompas pada 28 September lalu, sebagian pihak seperti Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dan Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat meyakini bahwa pemerintah China tak akan tinggal diam dengan kemungkinan dampak sistemik akibat kasus gagal bayar Evergrande. Berbeda dengan kasus Lehmann tahun 2008 yang berdampak sistemik secara global, kasus Evergrande dinilai masih dapat dikendalikan. Keleluasaan pemerintah di China yang bersifat otoriter dalam hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pemerintah AS yang demokratis. Dengan Dengan adanya campur tangan pemerintah, seperti restrukturisasi hutang dan bantuan pemerintah untuk membayar bunga diperkirakan bisa meredam dampak dari kasus Evergrande. Sumber : https://www.kompas.id/baca/riset/2021/10/02/kasus-evergrande-dan-potensi-krisisglobal/
ANALISIS KASUS NO 1
ANALISIS Siapa pelaku dalam kasus ini? Kasus
gagal
KETERANGAN bayar Evergrande,
perusahaan
Apa penyebab kasus ini bisa properti terbesar di China pun membuat investor terjadi?
di seluruh dunia bergetar. Perusahaan milik taipan terkaya di China ini pun tak mampu membayar
2
hutang sebesar 308 miliar. Siapa saja yang dirugikan dalam Tak hanya merugikan pihak-pihak di dalam kasus ini?
negeri, kasus Evergrande ini juga memiliki efek domino di tingkat dunia. Salah satu pihak yang ikut terpukul dari kasus ini ialah para pemasok seperti TOTO (perusahaan perabot kamar mandi) dan Daikin (perusahaan pendingin ruangan). Tak hanya mengancam investor dan pelanggan, kasus gagal bayar Evergrande ini bisa menjadi sinyal
awal
perekonomian
dari
persoalan
China.
sistemik
Pasalnya,
di
Evergrande
berhutang ke lebih dari 100 bank dan 121 lembaga keuangan non-bank nasional.
3
Apakah
Indonesia
dampak dari kasus ini?
terkena Minimnya
dampak
diperkirakan
terjadi
Evergrande di
ini
Indonesia.
juga
Berdasar
laporan Kompas pada 28 September lalu, sebagian pihak seperti Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dan Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management
(Bahana
TCW)
Budi
Hikmat
meyakini bahwa pemerintah China tak akan tinggal
diam
dengan
kemungkinan
dampak
sistemik akibat kasus gagal bayar Evergrande.
4
Solusi / saran terhadap kasus ini
Menurut kelompok kami sebaiknya pihak pengelola perusahaan Evergrande menjaga pemutaran uang di perusahaan dengan cara memilih orang yang tepat untuk mengatur keuangan di Evergrande, dan juga Evergrande harus mengikuti
peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah China karena jika Evergrande dari awal tidak melanggar peraturan maka pihak 5
Hal
apa
saja
yang
pemerintah
China
bisa
membantu
Evergrande untuk membayar kewajibannya telah Pemerintah China memang telah mengumumkan
dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menjamin nasib para pembeli properti China?
Evergrande. Hal ini dilakukan dengan beberapa langkah,
salah
satunya
adalah
mendorong
perusahaan BUMN untuk masuk dan membantu menggarap proyek Evergrande yang terhenti. Namun, pemerintah China tak memberikan sinyal bahwa
akan
membayarkan
membantu
Evergrande
kewajibannya.
untuk
Pasalnya,
Evergrande sendiri telah melanggar tiga aturan (red lines) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah China untuk menghindari kasus gagal bayar. Aturan pertama ialah memastikan bahwa rasio liabilitas terhadap aset di bawah 70 persen.
6 7 8