Kelompok 4 - Studi Kasus Farmakoterapi 1 - Kanker Serviks [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS FARMAKOTERAPI I STUDI KASUS IV (KANKER SERVIKS)



OLEH: KELOMPOK IV



Putu Pradnya Pramita Dewi



1508505005



Ni Kadek Lilik Handayani



1508505008



Ni Luh Komang Paicha W. D.



1508505017



Ayu Nyoman Chandra Yustiana



1508505018



Ni Wayan Galung Aryani



1508505020



Luh Elita Setya Puspita



1508505022



Kadek Mitta Arianti



1508505039



Putu Yunita Candra Dewi



1508505043



Jennifer Tamara



1508505044



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2018



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Deskripsi Kasus Seorang pasien wanita usia 70 tahun, diagnosis utama kanker serviks stadium



IIIb dan diagnosis sekunder : anemia. Pasien dalam terapi kemoterapi paclitaxel dan cisplatin sebanyak 6 seri dan 30 seri radiasi eksternal. Untuk terapi suportif pasien menerima suplemen ferro sulfat 3 x 65 mg per oral, asam mefenamat 3 x 500 mg per oral, asam folat 2 x 2 mg per oral. Pasien mengeluhkan mual muntah, mengantuk dan pusing. Pemeriksaan



Nilai Rujukan



Hasil Pemeriksaan



WBC



4,1 – 11



2,7



RBC



4 – 5,2



2,96



HGB



12 – 16



9,8



HCT



35-47



25



PLT



150 – 400



107



Kreatinin



0,5 – 0,9



0,8



Glukosa darah puasa



70 – 110



113



Laboratorium



Pemeriksaan fisik Tekanan darah



1.2



110/70



Nadi



80



Respirasi



20



Suhu



36



Uraian Kasus Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan istilah kanker serviks adalah



kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada reproduksi wanita yang erupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahin (uterus) dengan liang sanggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukkan wanita berumur 20-30 tahun dapat terserang kanker serviks (Diananda, 2009).



Penyebab kanker serviks disebabkan salah satunya oleh Human Papilloma Virus (HPV). HPV adalah virus DNA yang menginfeksi sel-sel epitel (kulit dan mukosa). HPV jenis 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, dan 58 tergolong menimbulkan risiko tinggi terjadinya pra-kanker, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju keganasan yaitu cervical intraephitelial neoplasma atau disingkat CIN. Hanya sebagian kecil wanita pengidap HPV akan berubah statusnya menjadi fase pra-kanker. Apabila fase tersebut tidak segera diobati maka setelah beberapa tahun mengidap infeksi maka kondisi pra-kanker berubah menjadi kanker. Virus HPV tipe 16 dan 18 ini replikasi melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengide pembentukan protein-protein yang penting dalam replikasi virus. Onkoprotein dari E6 akan mengikat dan menjadikan gen penekan tumor (p53) menjadi tidak aktif, sedangkan onkoprotein E7 akan berikatan dan menjadikan produk gen retinoblastoma (pRb) menjadi tidak aktif (Wilopo, 2006). Terdapat beberapa klasifikasi stadium dalam kanker serviks, salah satunya adalah stadium III B. Pada stadium III B tumor meluas sampai ke dinding panggul dan/atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal (Kemenkes RI, 2016). Adapun salah satu gejala dari kanker serviks adalah timbulnya gejala-gejala anemia bila terjadi pendarahan kronis. Berdasarkan deksirpsi kasus yang telah dijelaskan, pasien menderita anemia dan ini sesuai dengan salah satu gejala dari kanker serviks. Sehingga dokter meresepkan terapi yang dianggap sesuai, dan dilakukan analisis SOAP dari kasus dan terapi yang dijalani oleh pasien.



BAB II ANALISIS SOAP



2.1



Subjektif Data subjektif yang terdapat pada kasus ini yaitu pasien berjenis kelamin



wanita berusia 70 tahun dengan keluhan mual muntah, mengantuk, dan pusing.



2.2



Objektif Data objektif pada kasus ini yaitu pasien dengan diagnosis utama kanker



serviks stadium IIIb dan diagnosis sekunder anemia. Pasien dalam terapi kemoterapi Paclitaxel dan Cisplatin sebanyak 6 seri dan 30 seri radiasi eksternal. Untuk terapi suportif, pasien menerima suplemen Ferro Sulfat 3 x 65 mg per oral, Asam Mefenamat 3 x 500 mg per oral, dan Asam folat 2 x 2 mg per oral. Berikut hasil pemeriksaan laboratorium dan fisik yang dilakukan pasien. Pemeriksaan



Nilai Rujukan



Hasil Pemeriksaan



WBC



4,1 – 11



2,7



RBC



4 – 5,2



2,96



HGB



12 – 16



9,8



HCT



35-47



25



PLT



150 – 400



107



Kreatinin



0,5 – 0,9



0,8



Glukosa darah puasa



70 – 110



113



Laboratorium



Pemeriksaan fisik Tekanan darah



110/70



Nadi



80



Respirasi



20



Suhu



36



2.3



Assesment



2.3.1 Diagnosa Utama A.



Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks



Gambar 1. Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks (Marth et al., 2017). B.



Penatalaksanaan Terapi Kanker Serviks Penanganan kanker serviks dapat dilakukan dengan beberapa metode,



diantaranya adalah pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari metode-metode tersebut. Kemoterapi merupakan penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat-obat sitotoksik. Kemoterapi dapat dilakukan dengan obat tunggal ataupun kombinasi. Penggunaan kombinasi obat lebih efektif dalam menghasilkan respon, mencegah klon sel kanker yang resisten terhadap regimen tunggal, dan memperpanjang harapan hidup dibandingkan dengan obat yang sama secara tunggal (Skeel and Khleif, 2011). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor, stadium klinis, tingkat penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko dari pembedahan atau terapi radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien (Williams and Wilkins, 2001). Menurut Gynecologic



Cancer Foundation (GCF), secara umum tindakan terapi pada kanker serviks, dapat dibagi empat yakni pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan kemoradioterapi. Adapun penatalaksanaan kanker serviks:



Gambar 2. Penatalaksaan Terapi Kanker Serviks (NCCN, 2015). Berdasarkan kasus ini, pasien didiagnosis mengidap kanker serviks stadium IIIB. Menurut pustaka, patofisiologi kanker serviks pada stadium IIIB adalah terjadinya perluasan ke dinding panggul dan/atau hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal (FIGO, 2009). Namun, berdasarkan kondisi klinis pasien, serum kreatinin pasien masih berada pada rentang normal yang menunjukkan fungsi ginjal pasien masih tergolong normal dan tidak diperlukan penyesuaian dosis dan tidak perlu penggantian regimen kemoterapi, mengingat paklitaksel dan cisplatin bersifat nefrotoksik. Apabila dilihat dari segi panduan pelayanan klinis, terapi kanker serviks dapat disesuaikan dengan stadium kanker serviks yang mana dalam hal ini penyakit kanker servik pada stadium IIIB standar terapinya adalah kemoradiasi, yaitu kombinasi kemoterapi dengan radiasi eksternal (Kemenkes RI, 2015; Wiebe, 2012).Kemoterapi dilakukan sebanyak 6 siklus juga sudah sesuai dengan petunjuk



pada literatur dimana kemoterapi yang lengkap diulangi setiap 21 hari hingga siklus keenam (Saito et al., 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa terapi yang diberikan sudah tepat dosis dan interval pemberian obat. Hasil penelitian oleh Kitagawa (2015), membuktikan bahwa kombinasi paklitaksel dan cisplatin dapat menyebabkan efek samping hematologis berupa neutropenia, anemia, trombositopenia. Regimen Cisplatin/Paclitaxel menunjukkan kombinasi obat yang memiliki respon kecepatan yang tinggi, meningkatkan kemajuan free-survival dan dapat meningkatkan kualitas hidup. Suatu studi klinik Cisplatin/Paclitaxel



sedikit



menimbulkan



trombositopenia



dan



anemia



dibandingkan dengan regimen yang lain. Namun, penggunaannya biasa dikombinasikan dengan cisplatin. Paclitaxel tidak pernah diberikan sebagai single agen pada terapi kemoterapi untuk kanker servix, karena paclitaxel biasanya banyak digunakan untuk pengobatan kanker ovarium (Medicinus, 2016). Efek samping lainnya yang dialami pasien ini akibat penggunaan Cisplatin dan Paklitaksel adalah mual dan muntah. Cisplatin menjadi first line drug untuk kemoterapi beberapa jenis tumor. Penggunaan cisplatin sebagai agen antikanker dianggap efektif akan tetapi menimbulkan beberapa efek samping diantaranya mual, muntah, anemia (Wiltshaw, 1979) Selain itu Cisplatin memiliki efek samping neurotoksisitas dan gangguan elektrolit serum (Djuanda et al., 2011; Ritter et al., 2008; UK Health Department, 2009). Gangguan elektrolit dapat timbul dengan berbagai mekanisme, diantaranya ialah akibat muntah dan kehilangan elektrolit langsung akibat kerusakan ginjal (Sweetman, 2009).



2.3.2 Diagnosa Sekunder Berdasarkan kasus di atas, selain didiagnosis kanker serviks juga didiagnosis terkena anemia. Menurut data pemeriksaan laboratorium dari kasus di atas menyatakan jumlah sel darah putih (WBC) 2,7 dari 4,1,-11 yang seharusnya, sel darah merah (RBC) sebanyak 2,96 sedangkan nilai rujukan seharusnya adalah 45,2, jumlah hemoglobin (HGB) juga rendah yaitu sebanyak 9,8 dari 12-16 seharusnya. Anemia merupakan berkurangnya konsentrasi hemoglobin (Hb) di dalam tubuh (Amalia dan Agustyas, 2016). Anemia yang diderita pasien ini adalah anemia aplastik sebagai efek samping obat yang menyebabkan menurunnya



kemampuan sumsum tulang dalam memproduksi sel sel darah (eritrosit, leukosit, maupun trombosit) (Tjay dan Rahardja, 2008). Efek samping obat yang dapat menimbulkan anemia ini adalah penggunaan obat terapi kanker cisplatin yang dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang berakibat pada penurunan produksi eritropoietin. Penurunan produksi eritropoietin kemudian menimbulkan anemia (Prenggono, 2015). Untuk mengatasi anemia yang timbul akibat terapi kanker, maka diberikan terapi supportif berupa suplemen ferro sulfat. Ferro sulfat merupakan bentuk garam dari ferro yang larut dan memiliki peran sebagai nutrisi esensial penderita anemia. Dosis ferro sulfat 3 x 65 mg sudah tepat diberikan kepada pasien. Dosis lazim ferro sulfat bagi pasien geriatri sama dengan pasien dewasa yakni 65 mg 2-3 kali sehari (Anderson et al., 2002). Jadi, dosis terapi ferro sulfat yang diberikan sudah sesuai. Penatalaksana terapi anemia pada pasien kanker juga dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a.



Defisiensi Nutrisional Bila kehilangan darah sedikit-sedikit secara terus menerus tidak merupakan



suatu masalah yang utama, tetapi gejala anemia tidak dapat teratasi, maka harus dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya defisiensi zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan juga terapi suplemen yang dapat diberikan bila ditemukan tandatanda defisiensi lainnya. Jika anemia yang diderita tidak berat, maka terapi suplemen cukup untuk menghilangkan gejala serta mengembalikan hemoglobin ke batas normal. b.



Defisiensi Zat Besi Dalam pemberian zat besi dapat digunakan sebagai kombinasi dengan



pengobatan yang menstimulasi eritropoiesis, seperti rHuEPO untuk mengobati anemia secara efektif. Defisiensi besi fungsional, sebagai akibat dari penggunaan yang tidak adekuat dan adanya gangguan transpor besi. Besi dapat diberikan secara oral atau intravena, meskipun ada gangguan gastrointestinal yang sedikit mengganggu dan potensi terjadi ketidakpatuhan pada pemakaian oral. Pemberian besi intravena, juga terkadang kurang mengenakkan dan memiliki beberapa gejala efek samping seperti anafilaksis. c.



Transfusi Sel Darah Merah



Transfusi sel darah merah hanya diberikan pada kasus anemia akut setelah terjadi pendarahan, pada kasus anemia kronik yang bergejala tetapi tidak berhasil dengan terapi besi, pada pasien anemia yang berat yang tidak cukup waktu untuk menerima pemberian rHuEPO. Beberapa di negara maju transfusi darah masih relatif aman. Namun perlu diperhatikan bahwa terdapat efek samping yang bisa terjadi, misalnya terjadinya infeksi akibat transfusi darah dan reaksi imunosupresi. Hal ini bisa terjadi karena adanya proses imunomodulasi yang berhubungan dengan transfusi, yang terjadi akibat menurunnya CD4+ limfosit dan sel natural killer serta aspek-aspek respon imun lain. Selain efek samping yang perlu diperhatikan, beratnya kondisi anemia juga perlu dipertimbangkan untuk menetukan dilakukan transfusi darah atau tidak. d.



Terapi dengan menstimulasi eritropoiesis Terapi dengan penggunaan rHuEPO merupakan pendekatan baru terhadap



pengobatan dan pencegahan terjadinya anemia pada kanker. Pemberian terapi ini diberikan bila penderita kanker mengalami kadar endogen yangg sangat rendah. Mekanisme kerjanya dan efek imunologik dan hematologik sangat ekuivalen. Telah banyak melaporkan bahwa perbaikan dari massa sel darah merah dengan pemberian rHuEPO pada pasien penyakit kanker yang menjalani pengobatan dengan radiasi dan kemoterapi serta adanya perbaikan kualitas hidup. Contoh eritropoietin yang terdapat dipasaran adalah Epo Alfa, Epo Beta dan Darbepoetin Alfa. (Kar, 2005). Pada kasus di atas, pasien juga diberikan terapi supportif berupa asam mefenamat yang digunakan untuk mengatasi nyeri akibat neurotoksisitas yang timbul setelah kemoradiasi. Pemilihan asam mefenamat pada terapi ini sudah tepat karena selain digunakan sebagai antiinflamasi juga mempunyai aktivitas lebih besar dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat ini memiliki durasi (2-6 jam) yang merupakan pengobatan nyeri atau analgesik ringan dengan pemberian dosis yang sudah tepat yaitu 500 mg yang diberikan 3 kali sehari (Lantika dkk.,2017). Akan tetapi, penggunaan asam mefenamat dalam jangka waktu panjang tidak disarankan karena efek toksisitasnya dapat meningkat serta perlu dilakukan pengawasan yang intensif, karena asam mefenamat memiliki efek samping terhadap saluran cerna (Nurmayanti, 2013).



2.4



Plan Rencana terapi yang akan dilakukan pada pasien terdiri dari terapi jangka



pendek dan jangka panjang yang akan dijabarkan pada uraian di bawah ini. Untuk mencapai tujuan terapi baik jangka pendek maupun panjang, maka diperlukan strategi terapi sehingga terapi yang dijalankan pada pasien dapat menghasilkan outcome yang optimal. Strategi terapi yang dijalankan meliputi premedikasi, terapi farmakologis (utama), terapi suportif, KIE (Kampanye Informasi Obat) dan monitoring.



2.4.1 Tujuan Terapi A.



Tujuan Jangka Pendek Tujuan jangka pendek dalam terapi ini adalah untuk mengatasi keluhan yang dialami pasien.



B.



Tujuan Jangka Panjang Adapun tujuan jangka panajng yang ingin dicapai dalam terapi ini adalah sebagai berikut. 1) Mencegah peningkatan keparahan penyakit 2) Mencegah terjadinya komplikasi penyakit pada organ vital (seperti jantung, ginjal, paru-paru, dan lain-lain) 3) Meningkatkan kualitas hidup pasien



2.4.2 Sasaran Terapi 1. Pramedikasi Mencegah efek samping kemoterapi seperti mengatasi mual dan muntah yang dialami pasien akibat efek samping kemoterapi. 2. Terapi Farmakologi (Kemoradiasi) 



Menurunkan ukuran lesi kanker serviks yang dialami oleh pasien







Mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul dengan



untuk



pertumbuhannya. 3. Terapi Suportif



merusak



sel-sel



kanker



dan



menghentikan



Mengatasi efek samping kemoterapi seperti anemia yang diderita oleh pasien dan mengatasi mengantuk dan pusing yang dialami pasien.



2.4.3 Strategi Terapi A.



Terapi Farmakologis Berdasarkan pada Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks tahun 2015,



rekomendasi terapi yang dianjurkan untuk kanker serviks stadium IIIB adalah kemoradiasi, yaitu kemoterapi yang dapat diberikan bersamaan dengan radiasi eksternal sebagai radiosensitiser. Kemoterapi yang dianjurkan NCCN (2017) adalah kombinasi Cisplatin dan Paclitaxel yang merupakan first-line combination therapy untuk kanker serviks rekuren atau metastasis, dengan siklus terapi diulangi setiap tiga minggu (21 hari) selama 6-9 siklus (Saito et al., 2009). Sedangkan, radiasi diberikan sebagai terapi primer pada stadium IIB-IIIB, yang merupakan terapi efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul (Kemenkes RI, 2016). Berdasarkan kasus, penggunaan kombinasi obat dan siklus kematoreapi sudah tepat, namun perlu dijelaskan bahwa siklus diulangi setiap tiga minggu. Sehingga, penggunaan kemoradiasi tersebut harus tetap dilanjutkan untuk untuk memperkecil ukuran menghentikan pertumbuhan kanker serviks. B.



Terapi Suportif Berdasarkan kasus, anemia yang diderita adalah efek samping obat



kemoterapi yang digunakan pasien, khususnya cisplatin yang menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas yang jumlahnya berlebihan bersifat toksik, yaitu merusak selsel normal dalam tubuh termasuk sel-sel sumsum tulang yang mengakibatkan penekanan sistem pembentukan sel darah yang berfungsi memproduksi hemoglobin (Aminullah dkk, 2012). Hal ini menyebabkan pasien mengalami anemia. Terjadinya anemia pada pemberian antikanker dapat menyebabkan outcome terapi menjadi kurang efektif, respons terhadap radioterapi dapat menurun, serta ketahanan hidup pasien yang sedang menjalani kemoradiasi juga akan menurun (Aziz dkk, 2010). Pengobatan anemia pada pasien kanker saat ini, pada dasarnya terdiri dari transfusi sel darah merah, penggunaan ESA (erythropoiesis stimulating agents) dan suplemen zat besi. Penggunaan suplemen zat besi merupakan pilihan pengobatan



yang efektif, yang direkomendasikan pedoman pengobatan pasien kanker dengan defisiensi besi, baik sebagai monoterapi untuk memperbaiki anemia atau dalam hubungan dengan ESA untuk meningkatkan respon terhadap agen tersebut (Aapro et al., 2012). Berdasarkan kasus, pemberian ferro sulfat oral sudah tepat dengan dosis lazim untuk pasien dewasa adalah 65 mg 2-3 kali sehari (Anderson et al., 2002), sedangkan pemberian asam folat dengan dosis 2x2 mg juga sudah tepat. Asam folat diberikan untuk menunjang pematangan sel darah merah dan mendukung metabolisme asam amino dengan dosis 5 mg per hari (BNF, 2014). Saat ini, program nasional menganjurkan kombinasi besi dan asam folat dalam tablet tambah darah untuk profilaksis anemia dengan meningkatkan kadar Hb. Akan tetapi pada kasus kondisi hemoglobin pasien dalam terapi ini belum mencapai batas normalnya sehingga terapi anemia berupa pemberian ferro sulfat yang diterima oleh pasien perlu ditingkatkan dengan menggunakan terapi parenteral, sedangkan asam folat tetap diberikan. Penggunaan secara intravena dapat meningkatkan respon hematologis secara signifikan (Purba, dkk., 2007).



Gambar 3. Dosis pemberian produk besi secara parenteral.



Alasan lain penggantian ini disebabkan terapi ferro sulfat secara peroral sangat dipengaruhi makanan tertentu yang akan mempengaruhi respon terapi dan keberhasilan terapi sangat bergantung pada kepatuhan pasien (Purba, dkk., 2007). Selain itu, pasien mengeluhkan pusing, sehingga pemberian asam mefenamat yang digunakan sebagai analgesik sudah tepat. Dosis lazim asam mefenamat yang diberikan untuk orang dewasa adalah 3 x 500 mg per hari (BNF, 2014). C.



Premedikasi Berdasarkan kasus, pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Mual muntah



termasuk dalam efek samping dini karena sering terjadi dalam 1-24 jam setelah pemberian sitostatika, meskipun juga dapat terjadi pada waktu lebih dari dua puluh empat jam (Shinta dan Surarso, 2016). Cisplatin menginduksi mual dan muntah pada hampir semua pasien dengan respons muntah berlangsung hingga 5 hari pada setiap siklus dan ditandai oleh fase akut intens yang berlangsung lebih dari 24 jam (Sert el al., 2011). Untuk mengatasi keluhan tersebut, dapat diberikan premedikasi dengan tujuan mencegah atau mengurangi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh obat-obat kemoterapi, khususnya Cisplatin yang memiliki potensi emetogenik tinggi. Tabel 1. Tabel Emetogenisitas untuk Agen Sitotoksik (Jordan et al., 2007: CDHB, 2012).



Regimen kombinasi memiliki potensi emetogenik yang lebih besar daripada agen tunggal (CDHB, 2012). Untuk pasien dengan faktor risiko tinggi dan fase akut



(menerima cisplatin), maka dapat dipertimbangkan penggunaan kombinasi 3 obat antiemetik golongan NK1 receptor antagonist, 5-HT3 receptor antagonist, dan deksametason (Rao dan Faso, 2012). Tabel 2. Regimen Antiemetik yang direkomendasikan untuk Kemoterapi (Rao dan Faso, 2012).



Oleh karena cisplatin memiliki potensi emetogenik yang tinggi dan onset emetogenisitas yang cepat (1,5 jam) (CDHB, 2012), sehingga rekomendasi premedikasi yang diberikan adalah kombinasi 5HT3 + DEX + APR (Janelsins et al., 2013). 5HT3 yang digunakan adalah ondansetron, hal ini didasarkan pada percobaan awal yang menunjukkan bahwa ondansetron adalah antiemetik yang efektif untuk pasien yang menerima rejimen berbasis cisplatin, dan menunjukkan lebih unggul dari metoklopramid pada pasien yang menerima rejimen cisplatin dan noncisplatin (Rao dan Faso, 2012). Dosis yang diberikan berturut-turut adalah ondansetron 16 mg PO atau 8 mg IV; deksametason 8-20 mg PO/IV; aprepitant 125 mg PO pada hari pertama dan 80 mg PO pada hari kedua dan ketiga (Rao dan Faso, 2012). Agen pra-kemoterapi diberikan secara oral memiliki waktu yang cukup untuk diserap, sedangkan untuk antiemetik intravena hanya boleh diberikan jika pasien tidak mampu minum antiemetik oral, harus 30 menit sebelum pengobatan, dan hanya untuk dosis segera sebelum kemoterapi yang tinggi dan sedang hingga sangat emetogenik (CDHB, 2012). D.



KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi sangat penting dilakukan, karena salah



satu parameter keberhasilan terapi yang dilaksanakan adalah pemahaman dari pasien tentang obat dan kegunaan obat yang dikonsumsi sehingga hal ini



diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Pasien, keluarga pasien atau caregiver pasien dapat diberikan KIE untuk menunjang terapi pada pasien adalah sebagai berikut: 1) Diberikan kemoterapi dengan pemberian cisplatin dan paclitaxel dengan tujuan untuk pengobatan, sebagai kontrol (menghambat perkembangan), mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemoterapi dapat memberikan beberapa efek samping seperti demam, mual dan muntah, rambut rontok, dan gangguan pencernaan (Edward and Devita, 2013). 2) Selain gelaja-gejala di atas, anemia merupakan salah satu fenomena umum yang terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi. Sebelumnya pasien telah diberikan suplemen ferro sulfat secara oral. Ferro sulfat sebaiknya diberikan kepada pasien 2 jam setelah makan. Ferro sulfat yang mengandung zat besi jika diberikan sebelum makan (keadaan perut kosong) menyebabkan mual dan muntah pada pasien. Sebaiknya pemberian ferro sulfat per oral tidak dibarengi dengan makanan karena dengan adanya makanan, jumlah zat besi yang diserap menjadi setengahnya. (Dipiro, 2008). Akan tetapi kondisi hemoglobin dan sel darah merah belum mencapai batas normal dan oleh karena itu terapi anemia ditingkatkan dengan peningkatan dosis atau penggantian rute pemberian suplemen besi dari oral menjadi IV. Selain itu, pasien juga diberikan asam folat dengan tujuan untuk menunjang pematangan sel darah merah dan juga mendukung metabolisme beberapa asam amino (Groff, et al., 2005). 3) Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang merupakan efek samping dini setelah pemberian sitostatika. Untuk mengatasi keluhan tersebut, maka diberikan premedikasi berupa kombinasi ondansentron, deksametason dan aprepitant dengan tujuan mencegah atau mengurangi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh obat-obat kemoterapi. Ondansetron 8 mg diberikan 1 sampai 2 jam (oral) atau 16 mg diberikan 1 sampai 2 jam (intravena) sebelum pasien menjalani kemoterapi, deksametason 8-20 mg PO/IV, dan aprepitant 125 mg PO pada hari pertama dan 80 mg PO pada hari kedua dan ketiga (Rao dan



Faso, 2012). Pasien juga diberikan asam mefenamat yang digunakan untuk mengurangi rasa pusing yang diderita pasien (BNF, 2014). 4) Selain terapi farmakologi yang diberikan, dianjurkan pula terapi non farmakologi pada pasien dengan mengatur pola makan (makan makanan yang rendah lemak), istirahat yang cukup, serta menghindari stress berlebih. 5) Terapi yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) adalah terapi suportif atau dukungan. Pasien dengan kemoterapi perlu mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, atau saudara. Pada beberapa kasus, pasien mengalami mual muntah sebelum menjalani kemoterapi, namun setelah dikaji lebih lanjut mereka mengalami depresi terhadap pengobatan kemoterapi. Sayangnya masih banyak keluarga dari pasien yang tidak memahami efek samping tersebut, sehingga kurang dapat memberikan dukungan pada pasien untuk melanjutkan pengobatan kemoterapi yang sangat lama (WHO, 2014). Memberikan dukungan secara psikologis kepada pasien dan membantu keluarga/caregiver pasien untuk mewujudkannya. Kebanyakan penderita kanker akan sering mengalami kesakitan yang luar biasa secara fisik dan psikis akibat pengobatan, kemoterapi ataupun tekanan. Oleh karena itu diperlukan dorongan atau semangat hidup dari orang-orang disekitarnya agar mereka dapat terus berjuang. Motivasi semangat hidup memang harus muncul dari diri sendiri tidak bisa oleh orang lain tetapi jika lingkungan disekitar mendukung maka penderita kanker juga akan merasa lingkungan disekitarnya ingin dia terus berjuang sehingga semangat hidupnya akan muncul. E.



MONITORING 1. Untuk menentukan apakah terapi yang dilakukan efektif menghambat perkembangan penyakit sehingga dapat berlanjut atau perlu dilakukan peningkatan terapi. 2. Untuk mengetahui apakah terapi anemia yang diberikan sudah cukup efektif untuk dapat dilanjutkan atau perlu ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. 3. Dilakukan monitoring kadar sel darah merah (RBC) dan hemoglobin untuk mengetahui kadarnya agar tetap normal.



4. Setelah kemoterapi diberikan perlu dilakukan monitoring lebih lanjut mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi penyakit pada organ vital sebagai akibat efek samping terapi kemoradiasi seperti pada terapi penyinaran (radiasi) yang dapat menimbulkan iritasi serta kerusakan pada rektum, vagina dann kandung kemih. 5. Diperlukan monitoring pada fungsi ginjal pasien karena penggunaan cisplatin untuk pengobatan kemoterapi dapat menginduksi disfungsi tubular ginjal.



BAB III KESIMPULAN



Berdasarkan analisis SOAP yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.



Pemberian kemoterapi Cisplatin dan Paclitaxel serta terapi radiasi eksternal pada kasus ini sudah tepat, namun dapat menimbulkan efek samping anemia sehingga diperlukan terapi tambahan, dalam kasus ini diberikan Ferro Sulfat dan Asam Folat, sehingga terapi yang diberikan sudah tepat. Namun kadar Hb pasien masih dibawah batas normal sehingga diperlukan terapi Ferro Sulfat secara parenteral untuk meningkatkan respon hematologis secara signifikan.



2.



Keluhan pusing yang dialami pasien dapat diatasi dengan pemberian analgesik, sehingga terapi Asam Mefenamat yang diberikan sudah tepat.



3.



Keluhan mual dan muntah merupakan efek samping yang ditimbulkan Cisplatin dan Paclitaxel yang memiliki potensi emetogenik yang tinggi, sehingga diatasi dengan pemberian premedikasi untuk mencegah atau mengurangi hipersensitivitas yang ditimbulkan, pada kasus ini dapat diberikan terapi kombinasi 5HT3 + DEX + APR.



4.



Terapi farmakologis, terapi suportif, dan premedikasi tetap dilanjutkan untuk mengobati serta mengatasi keluhan pasien. Namun, perlu diberikan KIE, baik kepada pasien, keluarga pasien maupun caregiver pasien untuk mengetahui pemahaman tentang obat dan kegunaan obat yang dikonsumsi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Selain itu, perlu dilakukan monitoring untuk mengetahui keberhasilan terapi maupun efek yang ditimbulkan selama pelaksanaan terapi.



DAFTAR PUSTAKA



Aapro, M., A. Osterborg, P. Gascon, H. Ludwig and Y. Beguin. 2012. Prevalenceand Management of Cancer-Related Anaemia, Iron Deficiency and The Specific Role of IV Iron. Annals of Oncology. Vol. 23: 19541962. Amalia. A dan T. Agustyas. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi. MAJORITY. 5 (5): 166-169. Aminullah, Y., Wiranto., dan N. Susilaningsih. 2012. Pengaruh Kombinasi Vitamin C dan E Dosis Tinggi terhadap Sistem Hemopoetik Penderita Kanker Kepala dan Leher yang Mendapat Kemoterapi Cisplatin, Jurnal Medica Hospitalia, 1: 89-94. Anderson, P. O., J. E. Knoben, and W. G. Troutman. 2002. Handbook of Clinical Drug Data. Meksiko: Medical Publishing Division. Aziz, F. M., Adrijono., dan A. B. Saifudin. 2010, Buku Acuan Nasional: Onkologi Ginekologi. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. BMJ Group. 2014. British National Formulatory (BNF) 68. London: BMJ Group and the Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. Canterbury District Health Board (CDHB). 2012. Antiemetic Guidelines for Chemotherapy and Radiation Therapy. New Zealand: Canterbury Regional Cancer and Blood Service Oncology Department. Diananda, R., 2009. Kanker Serviks: Sebuah Peringatan Buat Wanita. In: Diananda, R. Mengenal Seluk-Beluk Kanker. Yogyakarta: Katahari. Djuanda, A., A. Azwar, S. Ismael, M. Almatsier, R. Setiabudi, R. Firmansyah, A. Sani, dan Handaya. 2011. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Medidata Indonesia. FIGO Committee on Gynecologic Oncology. 2009. Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and endometrium. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 105: 103–104. Gynecologic Cancer Foundation (GCF). 2013. Understanding Cervical Cancer: A Woman’s Guide. Chicago: Foundation for Women’s Cancer. Janelsins, M. C., Tejani, M., Kamen, C., Peoples, A., Mustian, K. M., and Morrow, G. R. 2013, Current Pharmacotherapy for Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Cancer Patients, Expert Opin Pharmacother, Vol. 14: 757–766.



Jordan, K., Sippel, C., and Schmoll, H. J. 2007, Guidelines for Antiemetic Treatment of Chemotherapy-Induced Nauses and Vomiting: Past, Present, and Future Recommendations, The Oncologist, 12: 1143-1150. Kar, A. S. 2005. Pengaruh Anemia Pada Kanker Terhadap Kuaalitas Hidup dan Hasil Pengobatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks. Komite Penanggulangan Kanker Nasional, Jakarta. Kitagawa, R. et al.. 2015. Paklitaksel Plus Carboplatin Vs Paklitaksel Plus Cisplatin in Metastatic or Recurrent Cervical Cancer: The Open-Label Randomized Phase III Trial JCOG0505. Journal of Clinical Oncology. 33: 1-7. Lantika, Y. F. O., Rolan, R., dan D. A. Welinda. 2017. Kajian Pola Pengobatan Penderita Kanker Serviks Pada Pasien Rawat Inap Di Instalasi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Periode 2014-2015. Jurnal Sains dan Kesehatan. 1(8):448455. Marth, C., F. Landoni, S. Mahner. M. McCormack., A, Gozalez-Martin, N. Colombo. 2017. Cervical Cancer: ESMO Clinical Practice Guideline for Diagnosis, Treatment and Follow-up. Annals of Oncology. Vol 23: 27-32. Medicinus. 2016. Peripheral Neuropathy. Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical Application. Vol. 29. NCCN. 2017. Cervical Cancer. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Nurmayanti, F.2013.Profil Penggunaan Analgesik Dalam Menghilangkan Nyeri Pasien Kanker Organ Reproduksi Wanita di RSU Fatmawati Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Jakarta. Prenggono, M. D. 2015. Eritropoetin dan Penggunaan Eritropoetin pada Pasien Kanker dengan Anemia. CDK-224. 1 (42): 20-28. Purba, R. T., N. Kampono, Handaya, dan E. M. Moegni. 2007. Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intravena dan Oral Pada Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan. Maj Kedokt Indon 57 (4): 106-112. Rao, K. V., and Faso, A. 2012, Review Article Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting: Optimizing Prevention and Management, American Health and Drug Benefits, 5: 232-240.



Ritter, J. M., L. D. Lewis, T. G. K. Mant, dan A. Ferro. 2008. A Textbook of Clinical Pharmacology and Therapeutics fifth Edition. London, UK: Hodder Arnold. Saito, I., Ryo K.., Haruhiko F., Taro S., Noriyuki Katsumata., Ikuo Konishi., Hiroyuki Yoshikawa., and Toshiharu Kamura. 2010. A Phase III Trial of Paklitaksel plus Carboplatin Versus Paklitaksel plus Cisplatin in Stage IVB, Persistent or Recurrent Cervical Cancer: Gynecologic Cancer Study Group/Japan Clinical Oncology Group Study (JCOG0505). Japanese Journal of Clinical Oncology. 40 (1): 90-93. Sert, N. P., Rudd, J. A., and Apfel, C. C. 2011, Original Article Cisplatin-induced Emesis: Systemic Review and Meta-Analysis of The Ferret Model and The Effect of 5-HT3 Receptor Antagonist, Cancer Chemother Pharmacol, 67: 667-686. Shinta, N., dan Surarso, B. 2016, Terapi Mual Muntah Pasca Kemoterapi, Jurnal THT – KL, 9: 74 – 83. Skeel, R. T., and S. N. Khleif. 2011. Handbook of Cancer Chemotherapy. Eighth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, a Wolters Kluwer Business, p. 118-125. Sweetman, S. C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition. London: Pharmaceutical Press. Tjay, T. H. dan Rahardja K. 2008. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. UK Health Department. 2009. British National Formulary 57th Edition. London: RPS Publishing. Wells, B. G., J. T. DiPiro, T. L. Schwinghammer and C. V. DiPiro. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. New York: Mc Graw-Hill. p. 304. Wiebe, E. L. Denny, and G. Thomas. 2012. Cancer of the Cervix Uteri. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 119S2: S100-S109. Williams, L. and Wilkins. 2001. Cancer Principles and Practice of Oncology. 6th Edition. Philadelphia: A Wolters Kluwer Company, p. 1529–1549. Wilopo, S. A. 2006. Epidemiologi dan Pencegahan Knaker Serviks Ca-Cervix: Teknologi Deteksi, Pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: UGM Press. Wiltshaw, E. 1979. Cisplatin in the Treatment of Cancer. Jurnal Platinum Metal 23(3): 90-98.