Kepuasan Kerja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kepuasan Kerja Kepuasan kerja Merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam organisasi. Hal ini disebabkan kepuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku seperti malas, rajin, produktif, dan lain-lain, atau mempunyai hubungan dengan beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam organisasi”. Marihot T. E Hariandja (2006:290). Robert Kreitner dan angelo Kinicki (2003:271) mengemukakan bahwa : “Kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan.” Definisi ini berarti bahwa kepuasan bukanlah suatu konsep tunggal. Sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dengan sutu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek lainnya. Berdasarkan pendapat di atas, A. A Anwar Prabu Mangkunegara (2007:117) mendefinisikan lebih rinci bahwa kepuasan kerja adalah : “Perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannnya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang behubungan dengan pekerjaan yang melibatkan aspek-aspek seperti: gaji/upah yang diterima, kesempatan pengembangan karier, hubungan dengan karyawan lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan”. Handoko dan As’ad dalam Husein Umar (2000:36) menjelaskan bahwa : “Kepuasan kerja merupakan penilaian atau cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya. Dampak kepuasan kerja perlu dipantau dengan mengaitkan pada output yang dihasilkannya”. Malayu Hasibuan (2007:202) menyatakan bahwa : “Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja yang baik”. Sedangkan Keith Davis dan John W Newstrom (2002:208) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai berikut: "Job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with which employees view their work. Job satisfactions in an affective attitude a feeling of relative like or



dislike toward something. Important aspect of job satisfaction include pay, one's supervisor, the nature of task performed an employee's coworker of team, and the immediate working conditions". Robert N Lussier (2005:81) berpendapat bahwa "A person's job satisfaction is a set of attitudes toward work. Job satisfaction is what most employees want from their jobs, even more than they want job security or higher pay".



Variabel-Variabel Kepuasan Kerja Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2007:117-119), kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan. 1. Turnover Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover karyawan yang rendah. Sedangkan karyawan-karyawan yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi. 2. Tingkat ketidakhadiran (absen) kerja Karyawan-karyawan yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan subjektif. 3. Umur Ada kecenderungan karyawan yang lebih tua merasa puas daripada karyawan yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya. Sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. 4. Tingkat Pekerjaan Karyawan-karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Karyawan-karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. 5. Ukuran Organisasi Perusahaan Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi karyawan. Veithzal Rivai (2004:479) berpendapat bahwa variabel kepuasan kerja yang biasa digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seseorang adalah : 1. Isi pekerjaan penampilan tugas yang diberikan serta sebagai kontrol terhadap pekerjaan tersebut.



2. Supervisi Pengawasan yang berkala dan selalu dilakukan oleh atasan agar pekerjaan yang diberikan terlaksana dengan baik. 3. Organisasi dan Manajemen Organsisasi dengan manajemen yang baik akan mendukung seorang pegawai agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan dan pada akhirnya akan merasakan kepuasan dalam bekerja. 4. Kesempatan pengembangan karir Seorang pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila perusahaan memberikan kesempatan untuk mengembangkan karirnya demi kemajuan perusahaan. 5. Rekan kerja Kepuasan kerja akan didapat melalui rekan kerja yang dapat bekerja sama dengan baik agar pekerjaan yang berikan dapat terlaksana dengan baik. 6. Kondisi pekerjaan Kepuasan kerja bisa diperoleh seseorang dengan dukungan kondisi lingkungan pekerjaan yang baik, rekan kerja serta fasilitas pendukung kerja yang memadai.



Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan beberapa aspek diantaranya dijelaskan oleh Marihot T. E Hariandja (2006:291) : 1. Gaji, yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil. 2. Pekerjaan itu sendiri, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memilki elemen yang memuaskan. 3. Rekan kerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan. 4. Atasan, yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan pekerjaan. Cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan bagi seseorang/menyenangkan dan hal ini mempengaruhi kepuasan kerja. 5. Promosi, kemungkinan seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan/tidak, proses kenaikkan jabatan kurang terbuka/terbuka. Ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. 6. Lingkungan kerja, yaitu lingkungan fisik dan psikologi.



1. 2. 3. 4.



Kuswadi (2004:23-25) menambahkan, “Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi banyak faktor, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan karyawan sebagai manusia (Teori Maslow/Maslow’s hierarchy of needs)”, berdasarkan hasil penelitian selama ini, dapat dikategorikan menjadi banyak kelompok atau klasifikasi antara lain: Gaji/pendapatan; Variasi pekerjaan; Keamanan kerja; Merasa dihargai;



5. Merasa dipercaya; 6. Pengakuan prestasi kerja (terima kasih); 7. Fleksibilitas atau keluwesan jam kerja; 8. Hak libur; 9. Kesempatan promosi; 10. Penghargaan dari manajemen; 11. Pelatihan; 12. Skema pensiun; 13. Kerja sama dengan semua karyawan; 14. Komunikasi dengan pimpinan puncak; 15. Fleksibilitas dari atasan; 16. Jumlah jam kerja; 17. Bantuan perusahaan atau pembayaran pada waktu sakit; 18. Tantangan kerja; 19. Mendapat kesempatan yang sama; 20. Komunikasi antar bagian dalam perusahaan; 21. Perusahaan mengetahui apa yang diharapkan dari karyawan; 22. Lokasi kantor dari rumah; 23. Penilaian; 24. Kondisi fisik tempat bekerja; 25. Dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan; 26. Reputasi atasan; 27. Keamanan pribadi; 28. Kemudahan dalam mencapai fasilitas kerja; 29. Respek kepada manajemen; 30. Parkir kendaraan; 31. Etika atasan; 32. Kebijakan dilarang merokok; 33. Kamar P3K Pengukuran Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah sikap bagaimana seseorang merasakan pekerjaan dan aspekaspeknya. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus benar-benar memperhatikan kepuasan kerja, menurut Veithzal Rivai (2004:480) yang dapat dikategorikan sesuai dengan fokus pegawai atau perusahaan, yaitu : 1) Manusia berhak diperlakukan dengan adil dan hormat, pandangan ini merujuk terhadap perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi perlakuan yang baik. Penting juga dirasakan untuk memperhatikan indikator emosional atau kesehatan psikologis. 2) Kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan kepuasan kerja antara unit-unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Pengukuran kepuasan kerja digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja pegawai. Dalam pengukurannya dapat digunakan berbagai cara. Menurut A. A Anwar Prabu Mangunegara (2007:126), “Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan skala indeks deskripsi jabatan :



1. 2. 3. 4.



“Untuk mengukur kepuasan kerja, dapat digunakan pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan. Dalam penggunaan ukuran ini, karyawan diberikan pertanyaan mengenai pekerjaan maupun jabatan yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk. Dalam skala ini diukur sikap dari lima area, yaitu : Pekerjaan itu sendiri Pengawasan Promosi jabatan co-worker/rekan kerja”



TEORI KEPUASAN KERJA 1.



Kepuasan



Kerja



a. Definisi Kepuasan Kerja Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” Bagi Jex, kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik, merangsang, membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin. Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap (Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan terhadap pekerjaannya. Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan perasaan dari pengaruh positif. Komponen perilaku merupakan perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna alasan financial. Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ... keadaan emosional yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya. As’ad (2004 : 104) mengutip definisi atau pengertian kepuasan kerja, antara lain: (1) Menurut Wexley & Yukl (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah “is the way an employee feels about his her job”. Ini berarti kepuasan kerja sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”. (2) Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai positif”. (3) Hoppeck menarik kesimpulan setelah mengadakan penelitian terhadap 309 karyawan pada suatu perusahaan di New Hope Pennsylvania USA bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaan-pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.



(4) Menurut Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesame karyawan. (5) Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja. b. PendekatanTeoritis dari Kepuasan Kerja Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya. Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja: 1) Pendekatan Karakteristik Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial and 3) Pendekatan Disposisional. Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan utk mereka dan apa yang mereka berikan utk pekerjaan. Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion & Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980). Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception Theory. Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan. Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak dengan pekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja yang berdampak omset. Staw and Ross, 1985 menyelidiki kestabilan kepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian. Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.



Menurut Wexley dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul Organisational Behavior And Personnel Psychology, teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu : (1) Discrepancy Theory Teori ini menerangkan bahwa seorang karyawan akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan yang ada. Dipelopori oleh Porter (1961) dengan mengukur kepuasankerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada discrepancy antara should be (expectation, need, atau value) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan (Moh. As’ad, 1995:105). (2) Equity Theory Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu : a. Input, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaannya. b. Out comes, yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan olehkaryawan sebagai hasil dari pekerjaannya. c. Comparison persons, yaitu kepada orang lain atau dengan siapa karyawan membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya. Comparison Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempatlain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri diwaktu lampau. Sehingga dapat disimpulkan dalam teori ini adalah setiap karyawan akan membandingkan rasio input – out comes dirinya dengan rasio input – out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka ia akan merasa cukup puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences (misalkan saja pada waktu orang melamar pekerjaan apabila ditanya besarnya gaji/upah yang diinginkan). Selain itu tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Moh. As’ad, 1995:106). (3) Two Factor Theory Prinsip dari teori ini adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerja terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg,1966). Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasil penelitian beliau dengan membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu : a) Kelompok satisfiers, yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari tanggung jawab, prestasi, penghargaan, promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan. b) Kelompok dissatisfiers ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman kerja, kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini justru terletak pada konsep dasar tentang pemisahan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, karena



dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan oleh Mills (1967) terhadap 155 orang karyawan dari dua buah pabrik besar di Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama dinas, dan macam jabatan. Hasilnya seratus persen mendukung teori dua faktor tersebut (As’ad,1995:108-109). c.



Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut: (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan; (2) Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004: 114). Pendapat dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir; (8) Aspek sosial dalam pekerjaan, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.(As’ad, 2004: 115) Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112) 1) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain : a. Hubungan antara manager dengan karyawan b. Faktor fisis dan kondisi kerja c. Hubungan sosial diantara karyawan d. Sugesti dari teman sekerja e. Emosi dan situasi kerja 2) Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan : a. Sikap orang terhadap pekerjaannya



b. Umur orang sewaktu bekerja c. Jenis kelamin 3) Faktor luar (external), yang berhubungan dengan : a. Keadaan keluarga karyawan b. Rekreasi c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)



(1)



(2)



(3)



(4) (5)



(1) (2) (3)



(4)



Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu : Kedudukan (posisi) Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Golongan Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya. Umur Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. Jaminan finansial dan jaminan sosial Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Mutu Pengawasan Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113). Dari berbagai pendapat diatas dapat dirangkum mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (Moh. As’ad, 1995:115-116) : Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadapkerja, bakat, dan ketrampilan. Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,pengaturan waktu kerja, dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan,umur dan sebagainya. Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminansosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dansebagainya.



d. Pengukuran Kepuasan Kerja Kita tidak akan pernah bisa mempelajari tentang kepuasan kerja, bila saja kita tidak memiliki cara untuk mengukurnya. Untungnya ada beberapa ukuran kepuasan kerja yang dapat



digunakan. Biasanya ada empat macam ukuran yang paling sering dipergunakan secara luas. Namun sebelum mempelajari tantang ukuran-ukuran kepuasan kerja, akan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana sebuah ukuran dapat disebut valid. Meskipun ukuran-ukuran yang disebutkan di atas dilihat sebagai ukuran construct valid dari kepuasan kerja, namun sangat tidak benar untuk mengatakan ukuran apapun sebagai construct valid ataupun tidak construct valid. Construct validity adalah masalah level. Ukuranukuran yang disebutkan sebelumnya berasosiasi dengan level yang tinggi dari bukti-bukti construct valid itu sendiri. Lantas bagaimanakah cara untuk menyediakan bukti-bukti untuk construct validity dari sebuah ukuran? Secara general ada tiga tes untuk construct validity. Yang pertama, agar sebuah ukuran dapat disebut sebagai construct valid, itu harus sangat berhubungan dengan ukuran-ukuran lain yang memiliki konstruksi sama. Ini disebut juga dengan istilah convergence. Kedua, sebuah ukuran harus berbeda dari ukuran-ukuran dengan variabel yang berbeda. Nama lainnya adalah discrimination. Cara ketiga yang biasa digunakan para peneliti untuk menunjukkan bukti dari construct validity adalah melalui prediksi teoritikal dasar. Dalam hal ini, para peneliti mengembangkan sebuah jaringan nomologikal yang berbasis teori dari hubungan antara ukuran yang akan dikembangakan dan variabel lain yang berkepentingan. Salah satu dari ukuran kepuasan kerja yang banyak dipergunakan secara luas adalah Face Scale yang dikembangkan oleh Kunin pada pertengahan tahun 1950an. Face scale ini terdiri dari serangkaian wajah-wajah dengan berbagai ekspresi emosi yang berbeda. Responden diminta untuk dapat menunjukkan dari lima ekspresi wajah yang tersedia ekspresi wajah manakah yang paling mewakili perasaan mereka kepada kepuasan secara keseluruhan terhadap pekerjaan mereka. Keuntungan utama dari face scale ini adalah kesimpelannya dan responden tidak perlu melalui sebuah jenjang membaca yang tinggi untuk dapat menyelesaikannya. Sementara, kerugian potensial dari face scale ini adalah ia tidak menyediakan informasi mengenai kepuasan karyawan dengan aspek yang berbeda dari pekerjaan mereka. Skala lain yang juga banyak dipergunakan adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangan pada akhir tahun 1960an oleh Patricia Cain Smith dan kolega-koleganya di Universitas Cornell. Skala JDI dinamai dengan tepat, karena skala tersebut membuat reponden mendeskripsikan pekerjaan mereka. Perbedaannya dengan face scale, pengguna JDI bisa mendapatkan skor untuk berbagai aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Keuntungan utama dari JDI adalah banyak data yang menyuport construct validitynya. Terlebih lagi, bila seorang peneliti atau konsultan ingin menggunakan JDI untuk mengukur kepuasan kerja dari sekelompok pekerja maka ia akan dapat membandingkan skorskor sekelompok pekerja ini dengan seorang sampel normatif dengan pekerjaan yang sama. Tidak banyak kerugian yang dimiliki oleh skala JDI ini. Namun ada satu masalah yang muncul, yaitu biasanya pada suatu kasus peneliti hanya berkeinginan untuk mengukur tingkat kepuasan pekerja secara keseluruhan, dan skala JDI tidak dapat melakukan hal ini. Oleh karena itulah, sang pengembang JDI ini kemudian membuat sebuah skala baru yang bernama Job in General (JIG) Scale. Skala JIG ini dibuat dibentuk seperti JDI, kecuali pada JIG ini terdiri dari beberapa adjektif dan frase tentang pekerjaan secara general daripada secara aspek-aspek spesifik dari pekerjaan. Ukuran kepuasan kerja yang ketiga yang juga banyak dipergunaka dan banyak diterima adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). Skala MSQ ini dikembangkan oleh sebuah tim peneliti yang berasal dari University of Minnesota pada waktu hampir sama dengan pengembangan skala JDI. Form panjang dari skala MSQ terdiri dari 100 item yang didesain



untuk mengukur 20 macam aspek kerja. Adapula form pendek dari skala MSQ, terdiri dari 20 item. Item-item pada skala MSQ terdiri dari statement-statement tentang berbagai macam aspek pekerjaan, dan responden diminta untuk menunjukkan tingkat kepuasan mereka terhadap masing masing aspek. Dibandingan dengan JDI, skala MSQ merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pekerjaan. Skala MSQ juga menyediakan informasi yang luas mengenai kepuasan pekerja pada berbagai macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Satu-satunya kerugian terbesar dari MSQ adalah panjang dari skala tersebut. Pada form dengan 100 item, versi penuh dari MSQ ini sangat sulit untuk diadministrasikan, apalagi bila peniliti berkeinginan untuk mengukur variabel lainnya. Bahan dengan versi form pendek (20 item) masih tergolong panjang bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lain dari kepuasan yang pernah tersedia. Ukuran tingkat kepuasan kerja yang terakhir adalah Job Satisfaction Survey (JSS) yang belum pernah dipergunakan sebanyak ukuran-ukuran yang telah disebutkan sebelumnya, namun memiliki bukti yang menyuport properti psikometrinya. Skala ini dikembangkan pertama kali oleh Spector (1985) sebagai insturmen untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan Human Sercive. JSS terdiri dari 36 item yang didesain untuk mengukur sembilan macam aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya, JSS kurang lebih sama, yaitu mewakili statement mengenai pekerjaan seseorang ataupun situasi kerjanya. JSS lebih mirip dengan JDI karena JSS juga merupakan skala deskriptif. Namun hal yang membedakannya dengan JDI adalah pada JSS skor kepuasan kecara keseluruhan dapat dihasilkan dengan cara menjumlahkan skor-skor aspek pekerjaan dan lingkungan kerja. Dimensi Pengukuran Kepuasan Kerja Dalam meneliti kepuasan kerja, peneliti harus menggunakan ukuran. Ukuran suatu konsep adalah variabel. Variabel satu dengan variabel lain ditentukan berdasarkan dimensi konsep. Dimensi pengukuran kepuasan kerja cukup bervariasi. Stephen Robbins mengajukan empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja seseorang yaitu: (1) Pekerjaan menantang secara mental; (2) Reward memadai; (3) Kondisi kerja mendukung; dan (4) Kolega mendukung.(Jex. 2002:192-193) Pekerjaan yang menantang secara mental – Pekerja cenderung memiliki pekerjaan yang memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik seputar sebaik mana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami pleasure and kepuasan. Reward yang memadai – Kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlaku bagi pekerja lainnya, kepuasan akan muncul. Tidak semua pekerja mencari uang, dan sebab itu promosi merupakan alternatif lain kepuasan kerja. Banyak pula pekerja yang mencari kewenangan, promosi, perkembangan pribadi, dan status sosial. Kondisi kerja yang mendukung – Perhatian pekerja pada lingkungan kerja, baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan pekerjaan secara baik.



Studi-studi membuktikan bahwa pekerja cenderung tidak memiliki lingkungan kerja yang berbahaya atau tidak nyaman. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkujngan lain tidaklah terlampau ekstrim. Mereka juga cenderung berkerja di lokasi yang dekat rumah, menggunakan fasilitas moderen, serta peralatan kerja yang mencukupi. Kolega yang mendukung – Pekerja, selain bekerja juga mencari kehidupan sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan kepuasan kerja seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat tatkala supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, melontarkan pujian untuk kinerja bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan menunjukkan minat personal terhadap mereka. Derek R. Allen and Morris Wilburn (2002:20) menyatakan kajian atas kepuasan pekerja seharusnya komprehensif dan meliputi empat kategori yaitu: 1. Pekerja itu sendiri; 2. Pekerjaan itu sendiri; 3. Organisasi itu sendiri; dan 4. Lingkungan di mana pekerja dan organisasi berada. Keempat kategori Allen and Wilburn (2002:20-21) tersebut dapat diturunkan menjadi 23 dimensi kepuasan kerja yang terdiri atas: (1) Supervisor langsung; (2) Kebijakan dan Prosedur Perusahaan; (3) Pembayaran; (4) Keuntungan; (5) Kesempatan kontribusi untuk perusahaan; (6) Dipertimbangkannya pendapat oleh Perusahaan; (7) Kesempatan promosi; (8) Keamanan; (9) Pengakuan; (10) Apresiasi; (11) Rekan kerja; (12) Demografis (usia, gender, pendidikan); (13) Masa jabatan; (14) Persiapan awal pekerja dalam pekerjaan; (15) Kesempatan pelatihan yang berlanjut; (16) Sifat pekerjaan yang harus dilakukan; (17) Konflik tuntutan; (18) Ambiguitas peran; (19) Tekanan; (20) Kondisi kerja; (21) Alat dan perlengkapan kerja; (22) Material dan Supply; dan (23) Beban kerja.



a. b. c. d. e. f.



Paul E. Spector (1997: 8-19) merangkum bahwa ukuran kepuasan kerja telah memiliki instrumen-instrumen paten terstandardisasi yang terdiri atas: Job Satisfaction Survey (JDS); Job Descriptive Index (JDI); Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ); Job Diagnostic Survey (JDS); Job in General Scale (JGS); dan Michigan Organizational Assessment Questionnaire (MOAQ). Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (Moh. As’ad, 1995:116).



Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins, 2003:101-102). (1) Angka nilai global tunggal Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya “Bila semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban 1 sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan. (2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja. Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama dalam suatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsur tersebut, misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja



1)



2)



3)



4)



e.



Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah : Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk kaitannyadengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang dimaksuddapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam organisasiyang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau perusahaan.Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan karyawan lain. Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori kritis(critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadapkepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut merupakan prioritasuntuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan. Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat membandingkannyadengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan atau yang lainnya(Kuswadi, 2004:55-56). Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkandengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor - faktormoderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter berpendapat produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telahmencapai sesuatu) dan ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar SunyotoM, 2001:364). Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya Tenaga Kerja Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkanketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steersdan Rhodes mengembangkan model pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktorpada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja.



Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapatahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Menurut Robbins (1998) ketidakpuasan kerjapada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuribarang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab ( Ashar Sunyoto M,2001:365 366 ). Terhadap Kesehatan Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368). Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex, 2002) Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabel-variabel sikap yang sering dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabelvariabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja. Variabel Ketidakhadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara umum seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka. Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran adalah sebuah masalah yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit. Hacket dan Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general, sementara ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.



Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut. Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa kerja. Salah satu cara untuk membuat karyawan lebih produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung memiliki performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya. Kepuasan Kerja : Perspektif Antar-Budaya Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika. Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian. Besarnya individualisme menggambarkan kepedulian orang-orang dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara oriental cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik



tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark. Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan. 2.



Komitmen Organisasi Selain perasaan tentang rasa puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga memiliki perasaan komitmen ke organisasinya. Seperti pada kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi sedemikan komtmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi politik. a. Definisi Komitmen Organisasi Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif. Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga pegawaipegawai dalam organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula. Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus berbeda dari sebuah komitmen.



b. Membangun Komitmen Organisasi Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut, yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif. Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan banyak dukungan kepadanya. Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya merupakan perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan. c.



Pengukuran Komitmen Organisasi



Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh penggunaan secara luas adalah Organizational Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan pindah kerja seorang karyawan. Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya terutama komponen afektif dari komitmen organisasi, sehingga memberikan informasi yang sangat sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena berbagai bentuk berbeda dari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda. Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan, dan normatif dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: “Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari komitmen kelanjutan adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen normatif adalah: “Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.” Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73. Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan komitmen kerja. Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T. Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus ganda. Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen dengan cara ini jika hasil yang berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus. d. Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen organisasi dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. Variabel Sikap Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari kelanjutan maupun komitmen normatif. Kehadiran Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen afektif



menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran. Pindah Kerja Pegawai Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga komitmen dan pindah kerja. Performa Kerja Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan performa kerja, walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan mekanisme dibelakang hubungan ini adalah sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa. Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa tak langsung oleh usaha pegawai. e.



Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya. Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya. Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang penting. Dalam pendekatan divesture, pendatang baru diharuskan untuk meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu “elite” dan merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para pengurus barunya. Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi



bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah komitmen yang berkelanjutan. Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan komitmen pengurusnya. Banyak organisasi juga sering menggunakan penelitian komitmen di dalam area kompensasi dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia. Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat digunakan suatu organisasi dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan keterampilan atau skill-based-pay.



a.



b.



c.



d.



e.



KESIMPULAN Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan Teori Kepuasan Kerja adalah sebagai berikut :Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Self-Perception Theory (Bem’s, 1972), karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya. Social Comparison Theory (Festinger’s, 1954), karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja melalui pengolahan informasi dari lingkungan social, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan. Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (1956) sebagai berikut : (1) Faktor individual, misalnya umur, kesehatan, watak dan harapan; (2) Faktor sosial, misalnya hubungan kekeluargaan dan pandangan masyarakat, (3) Faktor utama dalam pekerjaan, misalnya upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Dampak dari Meningkatnya Kepuasan Kerja : Produktivitas Kerja Meningkat, Menurunnya kemangkiran dan permintaan berhenti, dan kesehatan pegawai yang meningkat karena perasaan nyaman terhadap pekerjaan. ( Ashar Sunyoto M,200). Komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. (Jex, 2002). Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basis-basis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif.



f.



Seperti kepuasan kerja, dalam komitmen organisasi ada hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. Komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak positif terhadap variable-variabel tersebut.



REFERENSI : Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish, “Theories and Research on Job Satisfaction” dalam Steven Douglas Brown and Robert William Lent, eds., Career Development and Counseling: Putting Theory and Research to Work (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2005. Baron & Byrne. Social Psychology : Understanding Human Interaction (6th edition). USA: Needham Heights Allyn & Bacon Inc. 1994 Daft L. Richard, Era Baru Manajemen, Ed. Kanita Maria Tita. Jakarta: Salemba Empat, 2011 Derek R. Allen and Morris Wilburn, Linking Customer and Employee Satisfaction to the Bottom Line: A Comprehensive Guide to Establishing the Impact of Customer and Employee Satisfaction of Critical Business Outcomes, Milwaukee : American Society for Quality, 2002 H.C. Ganguli, Job Satisfaction Scales for Effective Management: Manual for Managers and Sciensts. New Delhi: Ashok Kumar Mittal, 1994 Kuswadi. 2004. Cara Mengukur Kepuasan Kerja Karyawan. Jakarta : PT ElexMedia Komputindo Miner, J.B. 1992. Industrial Organizational Psychology. London : Mc Grawhill Mobley, William. H. 1986. Pergantian Karyawan: Sebab-Sebab Dan Pengendaliannya. Penerjemah : Nurul Iman. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo Moh. As’ad. 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta : LIBERTY Pandji Anoraga. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT RINEKA CIPTA Paul E. Spector, Job Satisfaction: Application, Assessment, Cause, and Consequences .Thousand Oaks: Sage Publications, Inc., 1997 Phuong L. Callaway, The Relationship of Organizational Trust and Job Satisfaction: An Analysis in the U.S. Federal Work Force.Boca Raton: Dissertation.com, 2007. P. Robbin, Stephen. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT INDEKS kelompok GRAMEDIA Steve M. Jex, Organizational Psychology: A Scientist Practitioner Approach.New York : John Wiley & Sons, 2002 Sutjipto. Kesaksian Seorang Rektor: Siapa Menyuruh Mahasiswa ke Jalan?Jakarta: Global Mahardika Publications.2004 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois.



Kepuasan Kerja



Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan dalam bekerja merupakan keinginan yang wajar bagi setiap karyawan. Secara sederhana kepuasan kerja merupakan sikap umum seorang karyawan terhadap pekerjaannya (Robbins 1996). Bisa juga dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan yang mereka lakukan. Umumnya mengacu pada sikap seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Dalam hal ini kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan oleh pekerjaan . Lebih lanjut , Lock dalam Luthans (1995) memberikan definisi bahwa: “job satisfaction is a pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experience.”( kepuasan kerja adalah suatu ungkapan emosional yang bersifat positip atau menyenangkan, sebagai hasil dari penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja)



Sementara itu, Porter dalam teori Discepency menyatakan bahwa: “ job satisfaction is difference between how much of something there should be and how much there is now” (kepuasan kerja adalah perbedaan antara seberapa banyak segala sesuatu yang seharusnya diterima dengan segala sesuatu yang senyatanya ada saat ini).



Elemen / Indikator dari Kepuasan Kerja : a. Kepuasan pada Pekerjaan itu sendiri (Satisfaction with the Work Itself). Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang karyawan akan dapat menghasilkan kepuasan kerja, motivasi intern, prestasi kerja yang tinggi, tingkat kemangkiran yang rendah dan tingkat labour turn over yang rendah . Hal ini bisa dicapai apabila : 



Pekerjaan itu dialami sebagai sesuatu yang berarti, bermanfaat atau penting.







Pekerja menyadari bahwa dirinya bertanggungjawab atas hasil pekerjaan itu secara pribadi.







Pekerja dapat memastikan dengan cara yang teratur dan terandalkan mengenai hasil usahanya; apa saja yang telah dicapai, dan memuaskan atau tidak.



Robbins (1996) memperjelas bahwa salah satu penentu kepuasan kerja adalah pekerjaan yang secara mental bersifat menantang. Artinya memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka, dan menawarkan berbagai macam tugas, kebebasan, dan umpan balik pekerjaan. Pada saat tantangan tersebut mampu dilampaui secara baik oleh karyawan, maka kepuasan terhadap pekerjaan akan terasakan. Sementara itu pendapat yang dikemukakan oleh Wall dan Martin dalam Spector (1997), bahwa “ job characteristic refer to the content and nature of job tasks themselves “ (karakteristik pekerjaan mengacu pada isi dan kondisi dari tugas-tugas itu sendiri). Dapat disimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan ciri yang terkandung dalam suatu pekerjaan, yang terdiri dari berbagai dimensi inti dari suatu pekerjaan.



b. Kepuasan pada Pembayaran (Satisfaction with Pay) Kepuasan pada pembayaran merupakan hal yang bersifat multi dimensional. Hal ini berarti bahwa kepuasan karyawan bukan hanya terletak pada jumlah gaji/ upah semata, namun lebih dari itu kepuasan pada pembayaran dibentuk dari empat dimensi yaitu: 



Kepuasan terhadap administrasi dan kebijakan penggajian.







Kepuasan terhadap berbagai jenis tunjangan yang ada .







Kepuasan terhadap tingkat gaji /upah







Kepuasan terhadap kenaikan gaji/ upah



c. Kepuasan pada Promosi ( Satisfaction with Promotion)



Kesempatan untuk dipromosikan merupakan hal yang dapat memberikan



kepuasan pada



karyawan. Kesempatan ini merupakan bentuk imbalan yang bentuknya berbeda dengan imbalan yang lain. Promosi bisa dilakukan berdasarkan senioritas karyawan maupun berdasarkan kinerja. Promosi dengan kenaikan gaji 20% lebih memuaskan daripada promosi yang kenaikan gajinya hanya 10 % . Maka wajar apabila promosi di kalangan eksekutif lebih dirasa memuaskan daripada promosi dikalangan karyawan level bawah. (Luthans 1992). Patchen dalam Fieldmand & Arnold (1983) menemukan hasil penelitian bahwa karyawan yang merasa berhak mendapat promosi tetapi tidak jadi dipromosikan, ternyata lebih sering absen daripada karyawan lain yang memang belum mendapat kesempatan dipromosikan.



d. Kepuasan pada Supervisi ( Satisfaction with Supervision ) Supervisi merupakan salah satu hal yang cukup penting sebagai sumber kepuasan kerja. Kepuasan terhadap supervisi sangat berkaitan dengan gaya kepemimpinan supervisi. Cukup banyak penelitian yang membahas pengaruh kepemimpinan terhadap kepuasan kerja maupun produktivitas kerja (Berry 1998) Sehubungan dengan hal itu, setidaknya terdapat dua dimensi gaya supervisor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja: 1. Supervisor yang berorientasi pada karyawan (Employee Centeredness). Dimensi ini diukur dari tingkat seberapa sering supervisor memberikan perhatian secara personal pada karyawan, dalam hubungannya dengan kesejahteraan karyawan. Hal ini ditunjukkan dengan tindakan mengecek seberapa baik karyawan melaksanakan pekerjaannya; memberikan arahan/ nasehat/ bantuan secara individual, dan berkomunikasi dengan karyawan secara wajar sebagaimana berkomunikasi dengan atasan maupun karyawan yang tingkatannya lebih tinggi. 2. Supervisor yang mengutamakan partisipasi karyawan (employee participation). Dimensi ini digambarkan sebagai tindakan para manajer yang mengajak karyawannya untuk berpartisipasi dalam membicarakan berbagai persolan yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Dalam banyak kasus, pendekatan kepemimpinan seperti ini telah memberikan tingkat kepuasan yang tinggi. Hasil penelitian telah menyebutkan bahwa partisipasi karyawan berdampak positip pada



kepuasan kerja. Iklim partisipatif yang dikembangkan oleh supervisor di tempat kerja, ternyata memberikan efek substansial bagi kepuasan karyawan.



e. Kepuasan pada Rekan Kerja (Satisfaction with Coworkers) Rekan kerja dapat menjadi sumber kepuasan karyawan, manakala antar karyawan diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam sebuah penelitian di industri mobil, Walter & Guest dalam Feldman & Arnold (1983) menemukan fakta bahwa karyawan yang terisolasi ternyata tidak menyukai pekerjaannya, dan sengaja mengisolasi diri dari lingkungan sosial karena ada alasan pribadi. Beberapa penelitian lainnya (Kerr et al. dalam Feldman & Arnold 1983) telah menemukan bahwa manakala kesempatan yang diberikan pada karyawan untuk berkomunikasi hanya sedikit, maka kepuasan mereka rendah dan cenderung terjadi turn over. Rekan kerja bahkan merupakan sumber kepuasan kerja yang lebih kuat ketika anggotanya memiliki kemiripan dalam nilai-nilai dan perilaku. Berjumpa dengan orang-orang yang memiliki kemiripan nilai menyebabkan bertambahnya rasa persahabatan. Nilai perasaan dari suatu kelompok kerja berkaitan erat dengan kepuasan kerja.



Teori -Teori Kepuasan Kerja: Beberapa teori yang menjelaskan masalah kepuasan kerja diuraikan sebagai berikut : a. Opponent – Process Theory . Teori yang dikemukakan oleh Landy (1978) ini menekankan pada upaya seseorang dalam mempertahankan keseimbangan emosionalnya. Artinya, baik kepuasan maupun ketidakpuasan merupakan masalah emosional. Rasa kepuasan seseorang sangat ditentukan oleh sejauhmana penghayatan emosionalnya terhadap situasi yang dihadapi. Bila situasi yang dihadapi dapat memberikan keseimbangan emosional bagi dirinya, maka orang tersebut akan merasa puas. Namun apabila situasi tersebut menimbulkan ketidakstabilan emosional, maka orang tersebut merasa tidak puas.



b. Discrepancy Theory Konsep yang dikemukakan oleh Porter (1961) menjelaskan bahwa kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada (harapan), dengan sesuatu yang sesungguhnya ada (fakta). Ditambahkan oleh Locke (1969) bahwa seseorang akan merasa terpuaskan apabila kondisi faktual sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Semakin sesuai antara kondisi faktual dengan kondisi yang diinginkan, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasannya. Sebaliknya, semakin banyak ketidaksesuaian antara kondisi faktual dengan kondisi yang diharapkan, maka akan semakin tinggi pula rasa ketidakpuasannya.



c. Equity Theory Teori keadilan yang dikemukakan oleh Adam (1963) menjelaskan bahwa individu akan merasa puas terhadap aspek-aspek khusus dari pekerjaan mereka. Aspek tersebut misalnya : gaji / upah, rekan kerja, dan supervisi. Individu akan merasa puas apabila jumlah aspek yang senyatanya diperoleh sesuai dengan jumlah aspek yang semestinya diterima. Implikasi dari teori ini adalah pekerja akan menyesuaikan kontribusinya sesuai dengan tingkat kepuasan dan keadilan yang diperolehnya. Individu yang memperoleh kompensasi yang tidak sepadan dengan kontribusinya pada perusahaan, maka hal itu akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas kerjanya .



d. Two – factor Theory Teori Dua Faktor yang dikemukakan oleh Herzberg (1966) disebut juga teori Motivasi - Higiene. Faktor hygiene atau faktor ekstrinsik membuat orang merasa “sehat”. Sedangkan faktor motivasi atau faktor intrinsik membuat orang merasa terpacu/ termotivasi untuk mencapai sesuatu. Herzberg memaparkan kesimpulan penelitiannya : 1. Ada serangkaian faktor ekstrinsik (atau job context) yang menyebabkan rasa tidak puas andaikata faktor tersebut tidak ada. Namun, bila faktor tersebut ada, maka tidak menimbulkan motivasi bagi karyawan. Faktor yang dimaksud adalah kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, supervisi, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, gaji , status, dan keamanan.



2. Serangkaian faktor ekstrinsik (atau job content) yang apabila ada dalam pekerjaan , maka akan dapat menimbulkan kepuasan kerja. Namun , bila faktor ini tidak ada, maka tidak menimbulkan ketidakpuasan yang berlebihan. Faktor ini adalah prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, kemungkinan untuk berkembang, dan pekerjaan itu sendiri.



Pengukuran Kepuasan Kerja Ada beberapa cara pengukuran kepuasan kerja. Diantaranya dengan menggunakan skala indeks deskripsi jabatan (Job Description Index ), dengan kuesioner kepuasan kerja Minnesota (Minnesota Satisfaction Questionare



), maupun dengan pengukuran berdasarkan gambar ekspresi wajah.



(Mangkunegara 2000).



a. Pengukuran kepuasan kerja dengan skala Job Description Index. Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hullin pada tahun 1969. Cara penggunaannya, diajukan pertanyaan pada karyawan mengenai pekerjaan atau jabatannya, yang mencakup tingkat kepuasan terhadap aspek pekerjaan, pengawasan, upah, promosi, dan rekan kerja . Setiap pertanyaan yang diajukan, harus dijawab oleh karyawan dengan menandai jawaban : ya, tidak, atau ragu-ragu (tidak dapat memutuskan). Dengan cara ini akhirnya dapat diketahui tingkat kepuasan kerja karyawan.



b. Pengukuran Kepuasan Kerja dengan Minnesota Satisfaction Questionaire Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Weiss dan England pada tahun 1967. Skala ini berisi tanggapan yang mengharuskan karyawan untuk memilih salah satu dari alternatif jawaban : sangat tidak puas, tidak puas,



netral, puas, atau sangat puas terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan.



Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui tingkat kepuasan kerja karyawan.



c.



Pengukuran Kepuasan Kerja Berdasarkan Gambar Ekspresi Wajah. Pengukuran kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955 ini terdiri dari gambargambar wajah orang, mulai dari gambar wajah yang sangat gembira, gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. Karyawan diminta untuk memilih gambar ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan. Kepuasan kerja dapat diketahui dari pilihan-pilihan karyawan terhadap gambar-gambar tersebut. http://hasthojn.blogspot.co.id/2012/12/kepuasan-kerja.html



Kepuasan Kerja ( Job Satisfaction ) Kepuasan kerja ada;ah bentuk perasaan dan ekspresi seseorang ketika mampu atau tidak mampu memenuhi harapan dari proses kerja dan kinerjanya. Kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja . Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai “ the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Definisi kepuasan kerja Davis dan Werther mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dimana para karyawan memangdang pekerjaan mereka. Serta kepuasan kerja adalah tingkat dimanan individu merasakan positif atau negative tentang suatu pekerjaan. Robbins (2001) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menurut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Gibson, Ivanevich dan Donnely mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan perasaan seseorang tentang kesejahteraanuntuk melakukan pekerjaan bahwa kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaan. Bahwa sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaan, persepsi itu adalah proses kognitif (pemberian arti)yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami cara pandang individu dalam melihat hal yang sama dengan cara yang



berbeda. Kepuasan kerja juga adalah sebagai hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan merekadan memberikan hal yang dinilai penting. Koesmono (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja. Berdsasarkan pendapat para ahli mengenai definisi konsep kepuasan kerja dan menurut hemat penulis, kepuasan kerja adalah sikap positif dan perasaan yang menyenangkan erhadap pekerjaan, gaji, supervise, rekan kerja dan hal-hal yang menyangkut dunia kerjanya. Teori kepuasan kerja menurut Wexle dan Yukl a. Discrepancy theory Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. b. Equity theory Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequityatas suatu situasi. Ada tiga elemen dari teori equity yaitu : 



Input adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan.







Out comes segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya.







Comparison person adalah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-out comes yang dimiliknya.



c. Two factor theory Menurut Herzberg (dalam Munandar, 2001) teori kepuasan kerja yang ia namakan teori dua faktor terdiri dari faktor hygienedan faktor motivator. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Beberapa ahli berpendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor–faktor kepuasan kerja menurut Greenberg & Baron (1995) ada 2 faktor yaitu: a.Faktor-faktor organisasional 1)Sistem penggajian 2) Kualitas dari supervisi 3). Desentralisasi kekuasaan 4). Tingkat kerja dan dorongan sosial 5). Kondisi kerja yang menyenangkan b. Faktor Personal 1). Variabel kepribadian 2). Status dan senioritas 3). Pekerjaan yang sesuai dengan minat 4). Kepuasan hidup Selanjutnya Robbins (1996) menjelaskan lagi beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja diantaranya : a. Tantangan kerja b. Sistem gaji yang adil c. Kondisi kerja yang mendukung d. Rekan kerja yang mendukung Menurut Spector (1997) aspek-aspek kepuasan kerja ada 2 faktor yaitu instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor-faktor ini dijadikan sebagai indikator dalam penelitian ini dalam skala kepuasan kerja.







Factor Interinsik



1. Activity : Seberapa jauh pekerjaan tersebut tetap dapat meyibukkan individu 2. Independence : Kewenangan untuk dapat bekeja sendiri 3. Variety : Kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang berbeda-beda 4. Social status : Pengakuan masyarakat luas tentang status pekerjaan 5. Moral values : Pekerjaan tidak berhubungan dengan segala sesuatu yang dapat mengganggu hati nurani 6. Security Kepastian kerja yang diberikan 7. Social service : Kesempatan untuk membantu orang lain mengerjakan tugas 8. Authority : Memiliki kekuasaan terhadap orang lain 9. Ability utilization : Kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang ada 10. Responsibility :Tanggung jawab dalam membuat keputusan dan tindakan 11. Creativity : Kebebasan untuk mengungkapkan ide yang baru 12. Achievement : Perasaan yang didapat ketika menyelesaikan suatu tugas Aspek dan factor Eksterinsik 1. compensation Besarnya imbalan atau upah yang diterima 2. Advancement ; Kesempatan untuk memperoleh promosi 3. Coworkers ; Seberapa baik hubungan antara sesama rekan kerja 4. Human relations supervisions : Kemampuan atasan dalam menjalin hubungan interpersonal 5. Technical supervisions : Kemampuan atau skill atasan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan 6. Company policies and practice : Seberapa jauh perusahaan menyenangkan para pekerja



7. Working conditions : Kondisi pekerjaan seperti jam kerja, temperatur, perlengkapan kantor serta lokasi pekerjaan 8. Recognition : Pujian yang diperoleh ketika menyelesaikan pekerjaan yang baik. Ada lima komponen utama kepuasan kerja yaitu: 1) Sikap terhadap kelompok kerja 2) Kondisi umum pekerjaan 3) Sikap terhadap perusahaan 4) Keuntungan secara ekonomi 5) Sikap terhadap manajemen Dimensi dan Aspek-aspek kepuasan kerja Berdasarkan konsep para hali terdapat tiga dimensi dalam kepuasan kerja yaitu; 1) Kepuasan kerja merupakan respion emosional terhadap situasi kerja maka dengan demikian bahwa kepuasan kerja dapat dilihat dan diduga. 2)Kepuasan kerja sering dituntut menurut seberapa baik hasil yang dicapai yang memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya jika seorang anggota oraganisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras dari pada yang lain dalam suatu department tetapi meneroma penghargaan lebih sedikit maka mungkin mereka makan memiliki sikap negatif pada perusahaan. rekan kerja dan mereka tidak puas. serta sebaliknya.



3) Kepuasan kerja mewakili sikap yang berhubungan selama bertahun-tahun. Luthans (2005) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Hal-hal utama dengan mengingat dimensi-dimensi paling penting yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja dan kondisi kerja.



5 DIMENSI KEPUASAN KERJA



Nelson and Quick (2006) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi 5 dimensi spesifik dari pekerjaan yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja. 















Gaji : sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa diangap sebagai hal yang pantas dibandingkan dengen orang lain di dalam organisasi. Karyawan memandang gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Promosi merupakan factor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya kesempatan memperoleh peningkatan karier selama bekwerja. Kesempatan inilah yang memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Supervise merupakan kemampuan atasan untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku kepada bawahan yang mengalami permasalahan dalam pekerjaan. Rekan Kerja merupakan tungakat dimana rekan kerja yang pandai dan mendukung secara social merupakan factor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dan atsannya dan dengan pegawai lainnya baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaan. Aspek aspek Kepuasan kerja



a.



Aspek Psikologis yang berhubungan dengan kejiwaandan minat, ketentraman kerja dan sikap kerja, bakat dan ketrampilan dari karyawan.



b. Aspek social berhubungan dengan interaksi social baik antar sesame karyawan maupun antar karyawan yang berbeda jenis kerja serta hubungan dengan anggota keluarga.



c. Aspek fisi berhungbungan dengan kondisi tubuhnya meliputi juga jenis pekerjaanya pengaturan kerja, pengaturan waktu istirahat dan keadaan ruangan, kondisi kesehatan dan umur. d. Aspek Finasial berhubungan dengan jaminan ddan kesejatheraan yang melipti system besaran gaji, jaminan social, tunjangan faislitas dan promosi.  Komitmen Organisasi  Organanizational Behavior adalah ketika individu membantu individu lain secara berhati-hati tanpa mengharapkan peghargaan dengan asas asasnya yaitu mengutamakan orang lain, kehormatan, ketilitian, Civic virtue, Peace making. 



Employee



Well-Being



yaitu



kepuasan



kerja



mempengaruhi



kesejahteraan karyawanpersaan bahagia , sehat, sukses seorang karyqawan adalah konsekuensi kepuasan kerjanya.  Stress Kerja selain konsekuensi dari job satisfaction yaitu orang yang tidak puas akan mengalami stress kerja tinggi yang diistilahkan dengan distress dan sebaliknya eustress untuk yang memiliki kepuasan kerja.



Daftar



Pustaka



Waluyo, Minto. (2013). Psikologi Industri. Jakarta: Akademia Permata Koesmono, Teman. (2005). Pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja karyawan pada sub sektor industri pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 07. Hal 171-188. Johan, Rita. (2002). Kepuasan kerja karyawan dalam lingkungan institusi pendidikan. Jurnal Pendidikan Penabur, Vol.01, Hal 6-31. Situmorang, Benyamin. (2014). Pengaruh perilaku inovatif dan kepemimpinan pembelajaran terhadap Kepuasan Kerja Kepala SMP di Medan. Elementary School Journal. Vol. 01. Hal 26-41. Muzayanah, A., Dian, N. (2008). Hubungan antara kecerdasan interpersonal dengan kepuasan kerja karyawan (guru). Jurnal Soul. Vol. 01. Hal 32-46.



Home » Manajemen » Psikologi » Sosial » Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja



Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja By Muchlisin Riadi — 00.24.00 — Manajemen, Psikologi, Sosial



Pengertian Kepuasan Kerja



Ilustrasi Kapuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan hidup, karena sebagian besar waktu manusia dihabiskan di tempat kerja. Berikut ini beberapa pengertian kepuasan kerja yang diambil dari beberapa sumber: 1. Kondisi menyenangkan atau secara emosional positif yang berasal dari penilaian seseorang atas pekerjaannya atau pengalaman kerjanya (Setiawan dan Ghozali, 2006:159). 2. Suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins & Judge, 2008:107). 3. Keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya (Handoko, 2001:193). 4. Hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243).



Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Bayak faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan bergantung pada pribadi masing-masing karyawan (Sutrisno, 2009:82). Faktor-faktor yang memberikan kepuasan menurut Blum (1956) dalam As'ad (1999) adalah: 1. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan; 2. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan bereaksi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan;



3. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Ada dua faktor yang mempengaruhui kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya (Mangkunegara, 2009:120). 1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecerdasan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi, dan sikap kerja. 2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah (Sutrisno, 2009: 82-84): 1. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini, ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 2. Keamanan kerja. Faktor ini disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja. 3. Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 4. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. 5. Pengawasan. Sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turnover. 6. Faktor Intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada dalam pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 7. Kondisi kerja. Termasuk di sini kondisi kerja tempat, ventilasi, penyiaran, kantin dan tempat parkir. 8. Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. 9. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja. 10. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.



Daftar Pustaka     



As'ad, Muhammad. 1999. Psikologi Industri edisi keempat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Handoko, Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE Jogja. Luthans, Fred. 2006. Prilaku Organisasi edisi 10. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Ros Dakarya. Robins, Stepent P. dan Timoty A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta:Salemba Empat.



 



Setiawan, Ivan Aris dan imam Ghozali. 2006. Akuntansi Keperilakuan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Sutrisno, Edy. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



Motivasi Motivasi merupakan dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya, sehingga muncul perbedaan dalam kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi tertentu dibandingkan dengan orang lain yang menghadapi situasi yang sama. Motivasi juga merupakan salah satu hal yang sangat penting disamping kemampuan pegawai bagi kehidupan organisasi dalam meningkatkan prestasi kerja pegawai dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. a. 1)



Pengertian.



Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau



dan suka rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya guna menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Istiyanto 2006: 240 ) 2)



Motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah



atau tertuju untuk memcapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap pegawai yang profesional dan positip terhadap situasi kerja memperkuat motivasi kerja guna mencapai kinerja maksimal (Anwar PM 2006: 61). b.



Teori Motivasi. 1)



Teori Kebutuhan sebagai Hirarki Maslow ( Sondang



2004: 146). Motivasi dalam



kaitannya dengan pemuasan kebutuhan manusia semakin lama semakin komplek, timbul dan berkembang bersamaan dengan timbulnya gerakan hubungan manusia dalam administrasi. Teori



yang dikembangkan mengatakan bahwa kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan menjadi 5 ( lima ) kebutuhan, yaitu : a)



Kebutuhan fisiologis, yang merupakan kebutuhan pokok atau mendasar bagi manusia



seperti sandang, pangan dan papan. b)



Kebutuhan akan keamanan, yaitu kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan pisik,



psikologis dan kebutuhan keadilan. c)



Kebutuhan Sosial, adalah kebutuhan manusia yang berkisar pada pengakuan akan



keberadaan seseorang dan penghargaan atas harkat dan martabatnya. Kebutuhan “ esteem “, yaitu kebutuhan manusia berkaitan dengan harga diri seseorang



d)



yang memerlukan pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain. e)



Kebutuhan aktualisasi diri, merupakan kebutuhan seseorang dalam mengembangkan



potensinya untuk meraih kemajuan yang pada gilirannya akan dapat menjadi manusia yang professional dan dapat memenuhi kebutuhannya. Bertitik tolak dari pengertian dan teori



kebutuhan diatas dapat dipahami bahwa



kebutuhan manusia pada dasarnya ada 5 (lima) tingkatan yaitu mulai dari kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis, meningkat menjadi kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan esteem dan kekebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dengan demikian teori kebutuhan sangat tepat sebagai landasan teori untuk meneliti sejauh mana motivasi



berpengaruh terhadap kinerja pegawai dalam organisasi dalam mencapai



tujuannya. 2)



Teori X dan Y , Douglas Mc Gregor.(Sondang, 2004) Teori Motivasi menurut Douglas, menonjolkan pentingnya pemahaman



tentang peranan sentral yang di perankan oleh manusia dalam organisasi yang diklasifikasikan



dalam teori X (perilaku negatif) dan teori Y (perilaku positif). Dalam mengemukakan dan mempertahankan kebenaran teorinya, Mc Gregor menekankan bahwa cara yang digunakan oleh para manajer dalam memperlakukan para bawahannya sangat tergantung pada asumsi yang digunakan tentang ciri-ciri manusia yang dimiliki oleh para bawahannya. Teori X, mengatakan para manajer menggunakan asumsi bahwa para pekerja pada dasarnya tidak senang bekerja dan bila mungkin akan berusaha mengelaknya. Karena para pekerja tidak senang bekerja, mereka harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan. Para pekerja juga akan berusaha mengelakkan tanggung jawabnya dan hanya akan bekerja bila menerima perintah. Kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuas kebutuhan fisiologis dan keamanan diatas faktor-faktor lain yang berkaitan dengan pekerjaan dan tidak menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju. Teori Y, pada dasarnya kebalikan dari teori X dimana para manajer menggunakan asumsi bahwa para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain. Para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri. Pada umumnya pekerja akan menerima tanggung jawab yang lebih besar dan berusaha menunjukkan kreativitasnya dan oleh karenanya pekerja berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan bagian tanggung jawabnya. Dari uraian diatas apabila dikaitkan dengan teori kebutuhan Maslow, maka teori X akan lebih mementingkan pemuasan kebutuhan tingkat rendah yang sifatnya materiil berupa kebutuhan dasar sandang, pangan, papan dan keamanan. Sedangkan teori Y cenderung mementingkan pemuasan kebutuhan tingkat tinggi yang sifatnya non materiil yaitu penghargaan, harga diri, dan aktualisasi diri daripada pemuasan kebutuhan yang bersifat kebendaan. Dengan



demikian maka teori motivasi X dan Y sangat tepat bila digunakan untuk meneliti sejauh mana pengaruh negatip dan positip terhadap kinerja pegawai. 3)



Teori Motivasi-Higine/Kepuasan, Herzberg (Sondang 2004 : 164). Teori ini pada



awalnya untuk mencari jawaban, apa sesungguhnya yang dicari atau diinginkan seseorang dalam pekerjaannya. Karena hubungan seseorang dengan pekerjaannya sangat mendasar dan sikap seseorang terhadap pekerjaannya sangat mungkin menentukan keberhasilan dan kegagalannya. Kepuasan dimaksud adalah kepuasan seseorang didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya intrinsik seperti keberhasilan mencapai sesuatu, pengakuan yang diperoleh, sifat pekerjaan yang dilakukan sesuai, rasa tanggung jawab, kemajuan dalam karier dan pertumbuhan profesional dan intelektual yang dialami oleh seseorang. Sebaliknya apabila para pekerja tidak puas dengan pekerjaannya, ketidakpuasan itu umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik, artinya bersumber dari luar pekerja yang bersangkutan seperti kebijaksanaan organisasi, pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, supervisi oleh para manajer, hubungan interpersonal dan kondisi kerja. Herzberg berpendapat bahwa apabila para manajer ingin memberi motivasi, yang perlu ditekankan adalah faktor-faktor yang menimbulkan rasa puas yaitu dengan mengutamakan faktor-faktor motivasional yang sifatnya intrinsik. Implikasi teori ini ialah bahwa seseorang pekerja mempunyai persepsi berkarya tidak sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai wahana untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya, bagaimanapun kebutuhan itu dikategorisasikan. Dengan demikian maka kepuasan juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja pegawai dalam organisasi dalam mencapai tujuannya. 4)



Teori Harapan (Sondang 2004 : 179). Teori Harapan intinya terletak



pada pendapat yang mengatakan bahwa kuatnya kecenderungan seseorang bertindak dengan cara



tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil itu bagi orang yang bersangkutan. Teori harapan mengandung tiga variabel, yaitu daya tarik, hubungan antara prestasi kerja dengan imbalan serta hubungan antara usaha dan pretasi kerja. Daya tarik artinya ialah sampai jauh mana seseorang merasa pentingnya hasil atau imbalan yang diperoleh dalam penyelesaian tugasnya. Yang dimaksud dengan prestasi kerja dan imbalan adalah tingkat keyakinan seseorang tentang hubungannya antara tingkat prestasi kerjanya dengan pencapaian hasil tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan kaitan antara usaha dan prestasi kerja ialah persepsi seseorang tentang kemungkinan bahwa usaha tertentu akan menjurus kepada prestasi kerja. Dinyatakan dengan cara lain, teori harapan berkata bahwa apakah seseorang mempunyai keinginan untuk menghasilkan sesuatu karya pada waktu tertentu tergantung pada tujuan-tujuan khusus orang yang bersangkutan dan pada persepsi orang tersebut tentang nilai suatu prestasi kerja sebagai wahana untuk mencapai tujuan tertentu. Pendalaman teori harapan menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a)



Kuatnya motivasi seseorang berprestasi tergantung pada pandangannya tentang betapa



kuatnya keyakinan yang terdapat dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang diusahakan untuk dicapai. b)



Jika prestasi kerja tercapai, timbul pertanyaan apakah ia akan memperoleh imbalan yang



memadai dan apabila imbalan itu diberikan oleh organisasi apakah imbalan itu akan memuaskan tujuannya atau kepentingannya. c. Tehnik memotivasi kerja pegawai. Banyak tehnik yang digunakan untuk memotivasi pegawai guna mencapai kinerja yang tinggi, namun dari beberapa tehnik tersebut terdapat dua cara yang efektif yaitu pemenuhan



kebutuhan pegawai dan komunikasi persuasif. Kebutuhan pegawai yang meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Komunikasi persuasif dilakukan dengan cara mempengaruhi pegawai secara ekstralogis dengan rumusan AIDDAS (Attention, Interest, Desire, Decision, Action dan Satisfaction). Pemimpin pertamakali harus memberikan perhatian kepada pegawai tentang pentingnya tujuan dari pekerjaan agar timbul minat pegawai terhadap pelaksanaan kerja. Jika telah timbul minatnya , maka timbul hasrat untuk melaksanakan tindakan kerja dalam mencapai apa yang diharapkan oleh pemimpin. Dengan demikian maka pegawai akan bekerja dengan motivasi tinggi dan merasa puas terhadap hasil kerjanya.



Teori Motivasi Maslow, McClelland, McGregor, Hezberg, ERG Aldefer Teori-teori motivasi - Berikut ini berbagai teori motivasi menurut para pakarnya yaitu: Maslow (teori hierarki kebutuhan), McClelland (teori motivasi prestasi), Mc Gregor (teori X dan Y), teori motivasi Hezberg, dan Teori ERG Aldefer. Berikut penjelasannya: a. Teori Motivasi Maslow Teori Maslow Maslow dalam Reksohadiprojo dan Handoko (1996), membagi kebutuhan manusia sebagai berikut: 1. Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan,minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya. 2. Kebutuhan Rasa Aman Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja. 3. Kebutuhan Sosial Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama dan sebagainya. 4. Kebutuhan Penghargaan Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang. 5. Kebutuhan Aktualisasi diri Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berkuasa memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (perwujudan diri). Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi seperti perwujudan diri mulai mengembalikan perilaku seseorang. Hal yang penting dalam pemikiran Maslow ini bahwa kebutuhan yang telah dipenuhi memberi motivasi. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima uang yang cukup untuk pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya intensitasnya lagi. Jadi bila suatu kebutuhan mencapai puncaknya, kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku. Kemudian kebutuhan kedua mendominasi, tetapi



walaupun kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku hanya intensitasnya yang lebih kecil. b. Teori Motivasi Prestasi dari Mc. Clelland Konsep penting lain dari teori motivasi yang didasarkan dari kekuatan yang ada pada diri manusia adalah motivasi prestasi menurut Mc Clelland seseorang dianggap mempunyai apabila dia mempunyai keinginan berprestasi lebih baik daripada yang lain pada banyak situasi Mc. Clelland menguatkan pada tiga kebutuhan menurut Reksohadiprojo dan Handoko (1996 : 85) yaitu : 1. Kebutuhan prestasi tercermin dari keinginan mengambil tugas yang dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya. Ia menentukan tujuan yang wajar dapat memperhitungkan resiko dan ia berusaha melakukan sesuatu secara kreatif dan inovatif. 2. Kebutuhan afiliasi, kebutuhan ini ditujukan dengan adanya bersahabat. 3. Kebutuhan kekuasaan, kebutuhan ini tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang lain, dia peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dan ia mencoba menguasai orang lain dengan mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan kepadanya, serta selalu menjaga reputasi dan kedudukannya. c. Teori X dan Y dari Mc. Gregor Teori motivasi yang menggabungkan teori internal dan teori eksternal yang dikembangkan oleh Mc. Gregor. Ia telah merumuskan dua perbedaan dasar mengenai perilaku manusia. Kedua teori tersebut disebut teori X dan Y. Teori tradisional mengenai kehidupan organisasi banyak diarahkan dan dikendalikan atas dasar teori X. Adapun anggapan yang mendasari teori-teori X menurut Reksohadiprojo dan Handoko (1996 : 87 ) a. Rata-rata pekerja itu malas, tidak suka bekerja dan kalau bisa akan menghidarinya. b. Karena pada dasarnya tidak suka bekerja maka harus dipaksa dan dikendalikan, diperlakukan dengan hukuman dan diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi. c. Rata-rata pekerja lebih senang dibimbing, berusaha menghindari tanggung jawab, mempunyai ambisi kecil, kemamuan dirinya diatas segalanya. Teori ini masih banyak digunakan oleh organisasi karena para manajer bahwa anggapn-anggapan itu benar dan banyak sifat-sifat yang diamati perilaku manusia, sesuai dengan anggapan tersebut teori ini tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan yang terjadi pada orgaisasi. Oleh karena itu, Mc. Gregor menjawab dengan teori yang berdasarkan pada kenyataannya. Anggapan dasar teori Y adalah : a. Usaha fisik dan mental yang dilakukan oleh manusia sama halnya bermain atau istirahat. b. Rata-rata manusia bersedia belajar dalam kondisi yang layak, tidak hanya menerima tetapi mencari tanggung jawab. c. Ada kemampuan yang besar dalam kecedikan, kualitas dan daya imajinasi untuk memecahkan masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh pegawai. d. Pengendalian dari luar hukuman bukan satu-satunya cara untuk mengarahkan tercapainya tujuan organisasi.



d. Teori Motivasi dari Herzberg Teori motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg dan kelompoknya. Teori ini sering disebut dengan M – H atau teori dua faktor, bagaimana manajer dapat mengendalikan faktor-faktor yang dapat menghasilkan kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja. Berdasarkan penelitian telah dikemukakan dua kelompok faktor yang mempengaruhi seseorang dalam organisasi, yaitu ”motivasi”. Disebut bahwa motivasi yang sesungguhnya sebagai faktor sumber kepuasan kerja adalah prestasi, promosi, penghargaan dan tanggung jawab. Kelompok faktor kedua adalah ”iklim baik” dibuktikan bukan sebagai sumber kepuasan kerja justru sebagai sumber ketidakpuasan kerja. Faktor ini adalah kondisi kerja, hubungan antar pribadi, teknik pengawasan dan gaji. Perbaikan faktor ini akan mengurangi ketidakpuasan kerja, tetapi tidak akan menimbulkan dorongan kerja. Faktor ”iklim baik” tidak akan menimbulkan motivasi, tetapi tidak adanya faktor ini akan menjadikan tidak berfungsinya faktor ”motivasi”. e. Teori ERG Aldefer Teori Aldefer merupakan teori motivasi yang mengatakan bahwa individu mempunyai kebutuhan tiga hirarki yaitu : ekstensi (E), keterkaitan (Relatedness) (R), dan pertumbuhan (Growth) (G). Teori ERG juga mengungkapkan bahwa sebagai tambahan terhadap proses kemajuan pemuasan juga proses pengurangan keputusan. Yaitu, jika seseorang terus-menerus terhambat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan menyebabkan individu tersebut mengarahkan pada upaya pengurangan karena menimbulkan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih rendah. Penjelasan tentang teori ERG Aldefer menyediakan sarana yang penting bagi manajer tentang perilaku. Jika diketahui bahwa tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dari seseorang bawahan misalnya, pertumbuhan nampak terkendali, mungkin karena kebijaksanaan perusahaan, maka hal ini harus menjadi perhatian utama manajer untuk mencoba mengarahkan kembali upaya bawahan yang bersangkutan memenuhi kebutuhan akan keterkaitan atau kebutuhan eksistensi. Teori ERG Aldefer mengisyaratkan bahwa individu akan termotivasi untuk melakukan sesuatu guna memenuhi salah satu dari ketiga perangkat kebutuhan. Demikian berbagai teori motivasi menurut Maslow, McClelland, McGregor, Hezberg, dan ERG Aldefer. Semoga bisa menjadi referensi dalam penyusunan skripsi manajemen Daftar pustaka: Handoko, Hani T, Dr.MBA dan Reksohadiprodjo Sukanto, Dr. M.Com.1996. Organisasi Perusahaan. Edisi kedua Yogyakarta : BPFE



Motivasi Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya.[1] Tiga elemen utama dalam definisi ini diantaranya adalah intensitas, arah, dan ketekunan.[2] Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan teori Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah 'alasan' yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan 'semangat', seperti contoh dalam percakapan "saya ingin anak saya memiliki motivasi yang tinggi". Statemen ini bisa diartikan orang tua tersebut menginginkan anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada perbedaan penggunaan istilah motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan motivasi sebagai sebuah alasan, dan ada juga yang mengartikan motivasi sama dengan semangat. Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi.[2] Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.[2]



Sejarah Teori Motivasi Tahun 1950an merupakan periode perkembangan konsep-konsep motivasi.[2] Teori-teori yang berkembang pada masa ini adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor.[2] Teori-teori kuno dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada hingga saat ini yang digunakan oleh manajer pelaksana di organisasi-organisasi di dunia dalam menjelaskan motivasi karyawan.[2]



Hierarki Teori Kebutuhan Maslow



Teori hierarki kebutuhan Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teori hierarki kebutuhan Maslow



Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori hierarki kebutuhan milik Abraham Maslow.[3] Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).[3] Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan.[3] Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas.[3] Perbedaan antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal.[3] Teori kebutuhan Maslow telah menerima pengakuan luas di antara manajer pelaksana karena teori ini logis secara intuitif.[3]. Namun, penelitian tidak memperkuat teori ini dan Maslow tidak memberikan bukti empiris dan beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan teori ini tidak menemukan pendukung yang kuat.[3]



Teori X dan teori Y Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teori X dan teori Y



Douglas McGregor menemukan teori X dan teori Y setelah mengkaji cara para manajer berhubungan dengan para karyawan.[2] Kesimpulan yang didapatkan adalah pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka



cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.[2] Ada empat asumsi yang dimiliki manajer dalam teori X.[2]    



Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya. Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan. Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah formal, di mana ini adalah asumsi ketiga. Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.



Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia dalam teori X, ada pula empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y.[2]   



Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain. Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan. Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari, dan bertanggungjawab. *Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.



Pengertian, Visioner, Tegas, Bijaksana Bisa menempatkan diri, Mampu/cakap Terbuka, Mampu mengatur, Disegani , Cerdas, Cekatan, Terampil, Pemotivasi, Jujur, Berwibawa, Berwawasan luas, Konsekuen, Melayani, Credible, Mampu membawa perubahan, Adil, Berperikemanusiaan, Kreatif, Inovatif, Sabar, Bertanggung jawab, Konsiten, Low profile, Sederhana dan humble (rendah hati), Rendah hati/humble, Royal/tidak kikir, berjiwa sosial Loyal (setia) kepada bawahan, Disiplin, Mampu menjadi tauladan/memberi contoh, Punya integritas, Berdikasi/berjiwa mengabdi, Dapat dipercaya (credible), Percaya diri, Kritis, Religious, Mengayomi, Responsive (cepat tanggap), Teliti, Supel (ramah), Pema’af, Peduli (care), Profesional, Berprestasi, Penyelesai Masalah (problem solver), Good looking, Sopan, Cerdas secara emosi (memiliki tingkat EQ yang tinggi



Teori motivasi kontemporer David McClelland, pencetus Teori Kebutuhan



Teori motivasi kontemporer bukan teori yang dikembangkan baru-baru ini, melainkan teori yang menggambarkan kondisi pemikiran saat ini dalam menjelaskan motivasi karyawan[4]. Teori motivasi kontemporer mencakup:[4]



Teori kebutuhan McClelland



Teori kebutuhan McClelland dikembangkan oleh David McClelland dan teman-temannya[5]. Teori kebutuhan McClelland berfokus pada tiga kebutuhan yang didefinisikan sebagai berikut:[5]  o o o



kebutuhan berprestasi: dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil. kebutuhan berkuasa: kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya. kebutuhan berafiliasi: keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.



Teori evaluasi kognitif Teori evaluasi kognitif adalah teori yang menyatakan bahwa pemberian penghargaanpenghargaan ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan.[6] Teori evaluasi kognitif telah diteliti secara eksensif dan ada banyak studi yang mendukung.[6]



Teori penentuan tujuan Teori penentuan tujuan adalah teori yang mengemukakan bahwa niat untuk mencapai tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang utama.[7] Artinya, tujuan memberitahu seorang karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan.[8]



Teori penguatan Teori penguatan adalah teori di mana perilaku merupakan sebuah fungsi dari konsekuensikonsekuensinya jadi teori tersebut mengabaikan keadaan batin individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia melakukan tindakan.[9]



Teori Keadilan Teori keadilan adalah teori bahwa individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain, dan kemudian merespons untuk menghilangkan ketidakadilan.[9]



Teori harapan Teori harapan adalah kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut.[9]



Area motivasi manusia Empat area utama motivasi manusia adalah makanan, cinta, seks, dan pencapaian.[10] Tujuantujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu



dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut), atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal. disamping itu terdapat pula fsktor yang lain yang mendukung diantaranya ialah faktor internal yang datang dari dalam diri orang itu sendiri.



Variabel-Variabel Motivasi Kerlinger, N. Fred dan Elazar J. Pedhazur (1987) dalam Cut Zurnali (2004)[siapa?] menyatakan bahwa variabel motivasi terdiri dari: (1) Motif atas kebutuhan dari pekerjaan (Motive); (2) Pengharapan atas lingkungan kerja (Expectation); (3) Kebutuhan atas imbalan (Insentive). Hal ini juga sesuai dengan yang di kemukakan Atkinson (William G Scott, 1962: 83), memandang bahwa motivasi adalah merupakan hasil penjumlahan dari fungsi-fungsi motive, harapan dan insentif (Atkinson views motivation strengh in the form of an equattion-motivation = f (motive + expectancy + incentive). Jadi, mengacu pada pendapat-pendapat para ahli di atas, Cut Zurnali (2004) mengemukakan bahwa motivasi karyawan dipengaruhi oleh motif, harapan dan insentif yang diinginkan. Dalam banyak penelitian di bidang manajemen, administrasi, dan psikologi, variabel-variabel motivasi ini sering digunakan. Berikut akan dijelaskan masing-masing variabel motivasi tersebut.



Motif Menurut Cut Zurnali (2004), motif adalah faktor-faktor yang menyebabkan individu bertingkah laku atau bersikap tertentu. Jadi dicoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh seseorang? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu pekerjaan atau aktivitas. Ini berarti bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada di dalam dirinya (inner needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan atau dimotivasi untuk memenuhinya. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan menentukan tindakan yang mereka lakukan. Lebih lanjut Cut Zurnali mengutip pendapat Fremout E. kast dan james E. Rosenzweig (1970) yang mendefinisikan motive sebagai : a motive what prompts a person to act in a certain way or at least develop appropensity for speccific behavior. The urge to action can tauched off by an external stimulus, or it can be internally generated in individual thought processes. Jadi motive adalah suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau sedikitnya adalah suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan atau tingkah laku tertentu. William G Scott (1962: 82) menerangkan tentang motive adalah kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lengkap motiv menurut Scott motive are unsatiesfied need which prompt an individual toward the accomplishment of aplicable goals. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, motive adalah dorongan yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan guna memenuhi kepuasannya yang belum terpuaskan. Selain itu, Maslow sebagaimana diungkap pada halaman



sebelumnya membagi kebutuhan manusia ke dalam beberapa hirarki, yakni kebutuhankebutuhan fisik, keselamatan dan keamanan, sosial, penghargaan atau prestise dan kebutuhan aktualisasi diri.



Harapan Mengacu pada pendapat Victor Vroom, Cut Zurnali (2004)mengemukakan bahwa ekspektasi adalah adanya kekuatan dari kecenderungan untuk bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian jaminan, fasilitas dan lingkungan atau outcome yang menarik. RL. Kahn dan NC Morce (1951: 264) secara singkat mengemukakan pendapatan mereka tentang expectation, yakni Expectation which is the probability that the act will obtain the goal. Jadi harapan adalah merupakan kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai tujuan. Arthur levingson dalam buku Vilfredo Pareto (1953: 178) menyatakan : The individual is influenced in his action by two major sources of role expectation the formal demands made by the company as spalled out in the job, and the informal expectation forces make behavioral demans on the individual attemps to structure the social situation and the devine his place in it. Dengan merumuskan beberapa pendapat para ahli, Cut Zurnali (2004) menyatakan bahwa terdapat dua sumber besar yang dapat mempengaruhi kelakuan individu, yaitu : sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan peranannya antara lain, tuntutan formal dari pihak pekerjaan yang terperinci dalam tugas yang seharusnya dilakukan. Dan tuntutan informal yang dituntut oleh kelompok-kelompok yang ditemui individu dalam lingkungan kerja. Di samping itu, menurut Wiliam G Scott (1962: 105), addtionally, as could be anticipated, the groups themselves can be axpected to interact, effecting the others expectations. Ternyata kelompok karyawan sendiri dapat juga mempengaruhi harapan-harapan yang akan dicapainya. Dan dengan adanya keyakinan atau pengharapan untuk sukses dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan atau menggerakkan usahanya (Gary Dessler, 1983: 66). Selanjutnya Vroom yang secara khusus memformulasikan teori expectancy mengajukan 3 (tiga) konsep konsep dasar, yaitu : (1) Valence atau kadar keinginan seseorang; (2) Instrumentality atau alat perantara; (3) Expectacy atau keyakinan untuk mewujudkan keinginan itu sendiri (Gary Dessler, 1983: 66).



Insentif Dalam kaitannya dengan insentif (incentive), Cut Zurnali mengacu pada pendapat Robert Dubin (1988) yang menyatakan bahwa pada dasarnya incentive itu adalah peransang, tepatnya pendapat Dubin adalah incentive are the inducement placed the course of an going activities, keeping activities toward directed one goal rather than another. Arti pendapat itu kurang lebih, insentif adalah perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan agar mengarah langsung kepada satu tujuan yang lebih baik dari yang lain. Morris S. Viteles (1973: 76) merumuskan insentif sebagai keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis individu, atau persiapan-persiapan dari pada keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat mempengaruhi atau mengubah sikap atau tingkah laku orang-orang. Secara lebih lengkap Viteles menyatakan : incentive are situasions which function in arousing dynamis forces in the individual, or managements of conditions introduced with the expectation of influencing or altering the behavior of people.



Menurut Cut Zurnali, pendapat yang mengemukakan bahwa insentif adalah suatu perangsang atau daya tarik yang sengaja diberikan kepada karyawan dengan tujuan agar karyawan ikut membangun, memelihara dan mempertebal serta mengarahkan sikap atau tingkah laku mereka kepada satu tujuan yang akan dicapai perusahaan. Joseph Tiffin (1985: 267) mengatakan bahwa pemnberian insentif sangat diperlukan terutama apabila karyawan tidak banyak mengetahui tentang hal apa yang akan dilakukannya. Berikut secara lengkap diuraikan pendapat Tiffin: ordinary speaking, people will not learn very much about anything unless they are motivated to do so, that is, unless they are supplied with an adequate incentive. Maknanya bahwa seseorang tidak banyak mengetahui tentang sesuatu hal, apabila mereka tidak didorong untuk melakukan pekerjaan yang demikian itu, yaitu apabila mereka tidak dibekali dengan insentif secara cukup.



Referensi 1. ^ (Inggris)Mitchell, T. R. Research in Organizational Behavior. Greenwich, CT: JAI Press, 1997, hal. 60-62. 2. ^ a b c d e f g h i j Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat. Hal.222-232 3. ^ a b c d e f g Maslow. (Inggris)A. Motivation and Personality. New York: Harper & Row, 1954, hal. 57-67. 4. ^ a b Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat. Hal.229-239 5. ^ a b McClelland, D.C. (Inggris)The Achieving Society, New York: Van Nostrand Reinhold, 1961, hal. 63-73 6. ^ a b Cameron, J.; Pierce,W. D. (Inggris)Reinforcement, Reward, and Intrinsic Motivation: A Meta-Analysis, Review of Educational Research, 1994. hal. 363-423. 7. ^ (Inggris) Locke, E. A. Toward a Theory of Task Motivation and Incentive, Organizational Behavior and Human Performance, 1968, hal. 157-159 8. ^ (Inggris) Early. "Task Planning and Energy Expended: Exploration of How Goals Influence Performance", Jurnal Psikologi, 1987. hal. 107-114 9. ^ a b c Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat. Hal.244-254 10. ^ Wade, Carol; Tavris, Carol. Psikologi: Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2007, hal. 142-152