Kerangka Dasar Pemetaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kerangka Dasar Pemetaan Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada kawasan yang tidak luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik-titik kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan lebih dahulu koordinat dan ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan teretentu, permanen, mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga memudahkan penggunaan selanjutnya. Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka dasar pemetaan pada pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional yang sekarang ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada tempat-tempat yang belum tersedia titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional, koordinat dan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan ditentukan menggunakan sistem lokal. Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional direncanakan dan dirancang berjenjang berdasarkan cakupan terluas dan terteliti turun berulang memeperbanyak atau merapatkannya pada sub-sub cakupan kawasan dengan ketelitian lebih rendah. Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan teknik dan cara pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya cara polygon dan sipat datar.



Kerangka Peta 1. Titik Pengikat dan Pemeriksa Titik pengikat (reference point) adalah titik dan atau titik-titik yang diketahui posisi horizontal dan atau ketinggiannya dan digunakan sebagai rujukan atau pengikatan untuk penentuan posisi titik yang lainnya. Dengan mengetahui arah, sudut, jarak dan atau beda tinggi suatu titik terhadap titik pengikat, maka dapat ditentukan koordinat dan atau ketinggian titik bersangkutan. Titik pemeriksa (control point) adalah titik atau titik-titik yang diketahui posisi horizontal dan atau ketinggiannya yang digunakan sebagai pemeriksa hasil ukuranukuran yang dimulai dari suatu titik pemeriksa dan diakhiri pada titik pemeriksa yang sama atau titik pemeriksa yang lain. Dengan demikian titik pengikat juga bisa berfungsi sebagai titik pemeriksa. Kedua pengertian tentang titik pengikat dan titik pemeriksa ini mensyaratkan adanya sistem posisi horizontal dan atau ketinggian yang sama dan dengan tingkat ketelitian yang sama pula pada titik pengikatan dan pemeriksa yang digunakan pada suatu pengukuran. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketelitian posisi titik pemeriksa harus lebih tinggi dibandingkan dengan ketelitian pengukuran. Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan, titik pengikat dan pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat dari yang paling teliti



hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah tentu titik pengikat dan pemeriksa yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan diperiksa hasil pengukurannya ke titik pengikat dan pemeriksa yang lebih tinggi ketelitiannya. Titik-titik pengikat dan pemeriksa yang digunakan untuk pembuatan peta disebut sebagai titik-titik kerangka dasar pemetaan. Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan sebagai titik ikat dan pemeriksaan di Indonesaia dimulai oleh Belanda dengan membuat titik-titik triangulasi dan tinggi teliti.



2. Kerangka Dasar Horizontal Kerangka dasar horizontal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan posisi horizontalnya berupa koordinat pada bidang datar (X,Y) dalam sistem proyeksi tertentu. Bila dilakukan dengan cara teristris, pengadaan kerangka horizontal bisa dilakukan menggunakan cara triangulasi, trilaterasi atau poligon. Pemilihan cara dipengaruhi oleh bentuk medan lapangan dan ketelitian yang dikehendaki. Titik Triangulasi: Pengadaan kerangka dasar horizontal di Indonesia dimulai di pulau Jawa oleh Belanda pada tahun 1862. Titik-titik kerangka dasar horizontal buatan Belanda ini dikenal sebagai titik triangulasi, karena pengukurannya menggunakan cara triangulasi. Hingga tahun 1936, pengadaan titik triangulasi oleh Belanda ini telah mencakup: pulau Jawa dengan datum Gunung Genuk, pantai Barat Sumatra dengan datum Padang, Sumatra Selatan dengan datum Gunung Dempo, pantai Timur Sumatra dengan datum Serati, kepulauan Sunda Kecil, Bali dan Lombik dengan datum Gunung Genuk, pulau Bangka dengan datum Gunung Limpuh, Sulawesi dengan datum Moncong Lowe, kepulauan Riau dan Lingga dengan datum Gunung Limpuh dan Kalimantan Tenggara dengan datum Gunung Segara. Posisi horizontal (X,Y) titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Mercator, sedangkan posisi horizontal peta topografi yang dibuat dengan ikatan dan pemeriksaan ke titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Polyeder. Titikk triangulasi buatan Belanda tersebut dibuat berjenjang turun berulang, dari cakupan luas paling teliti dengan jarak antar titik 20 - 40 km hingga paling kasar pada cakupan 1 - 3 km.



Tabel 2.1: Ketelitian posisi horizontral (X,Y) titik triangulasi. Titik



Jarak



Ketelitian



Metoda



P



20 - 40 km



± 0.07 m



Triangulasi



S



10 - 20 km



± 0.53 m



Triangulasi



T



3 - 10 km



± 3.30 m



Mengikat



K



1 - 3 km



-



Polygon



Selain posisi horizontal (X,Y) dalam sistem proyeksi Mercator, titik-titik triangulasi ini juga dilengkapi dengan informasi posisinya dalam sistem geografis (j ,l ) dan ketinggiannya terhadap muka air laut rata-rata yang ditentukan dengan cara trigonometris. Pengunaan datum yang berlainan berakibat koordinat titik yang sama menjadi berlainan bila dihitung dengan datum yang berlainan itu. Maka mulai tahun 1974 mulai diupayakan satu datum nasional untuk pengukuran dan pemetaan dalam satu sistem nasional yang terpadu oleh BAKOSURTANAL. Jaring Kerangka Geodesi Nasional (JKGN) Upaya pemaduan titik kerangka horizontal nasional oleh BAKOSURTANAL dimulai tahun 1974 dengan menetapkan datum Padang sebagai Datum Indonesia 1974 yang disingkat DI '74. Datum ini merupakan datum geodesi relatif yang diwujudkan dalam bentuk titik Doppler sebagai titik rujukan (ikatan) dan pemeriksaan (kontrol) dalam survai dan pemetaan di Indonesia. Posisi pada bidang datar (X,Y) titik kerangka dan peta berdasarkan datum ini menggunakan sistem proyeksi peta UTM (Universal Traverse Mercator). Dalam pelaksanaannya jaring kontrol geodesi yang dengan menggunakan cara doppler ini sudah merupakan satu kesatuan sistem, tetapi belum homogen dalam ketelitian karena adanya perbedaan-perbedaan dalam cara pengukuran maupun penghitungannya. Meski demikian ketelitian titik-titik doppler ini memadai untuk pemetaan rupabumi skala 1 : 50 000. Mulai tahun 1992, BAKOSURTANAL berhasil mewujudkan Jaring Kontrol Geodesi (Horizontal) Nasional yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, berkesinambungan secara geometris, satu datum dan homogin dalam ketelitian. Pengadaan JKG(H)N ini menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS).dan datum yang digunakan mengacu pada sistem ellipsoid referensi WGS84. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 0 (nol) mencapai fraksi 1x10 -7 hingga 1x10-8 ppm, dengan simpangan baku dalam fraksi sentimeter. JKGN Orde 0 meliputi 60 titik/stasion.



Jejaring JKG(H)N Orde 0 diperapat dengan cara serupa dan disebut JKG(H)N Orde 1 yang ditempatkan di setiap kabupaten dan mudah pencapaiannya. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 1 ini mencapai fraksi 2x10 -6 hingga 1x10-7 ppm, dengan simpangan baku Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa titik yang telah diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan demikian bisa ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada. Tahun 1996 BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar berdasarkan sistem proyeksi peta UTM. Jaring Kerangka Geodesi Nasional Orde 2 dan 3 (BPN) Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai tahun 1996 menetapkan penggunaan DGN95 sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di lingkungan BPN dengan pewujudannya berupa pengadaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional Orde 2, Orde 3 dan Orde 4. Kerapatan titik-titik JKGN Orde 2 ± 10 km dan ± 1 - 2 km untuk JKGN orde 3. Kedua kelas JKGN BPN ini diukur dengan menggunakan teknik GPS, diikatkan dan diperiksa hasil ukurannya ke titik-titik JKGN Bakosurtanal Orde 0 dan 1. Posisi horizontal (X,Y) JKGN BPN dalam bidang datar dinyatakan dalam sistem proyeksi peta TM-3, yaitu sistem proyeksi transverse mercator dengan lebar zone 3. Khusus untuk JKGN BPN Orde 4, dengan kerapatan hingga 150 m, pengukurannya dilakukan dengan cara poligon yang terikat dan terperiksa pada JKGN BPN Orde 3 serta hitungan perataannya menggunakan cara Bowditch.



3. Kerangka Dasar Vertikal Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang rujukan ketinggian tertentu. Bidang ketinggian rujukan ini bisa berupa ketinggian muka air laut rata-rata (mean sea level - MSL) atau ditentukan lokal. Umumnya titik kerangka dasar vertikal dibuat menyatu pada satu pilar dengan titik kerangka dasar horizontal. Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal dimulai oleh Belanda dengan menetapkan MSL di beberapa tempat dan diteruskan dengan pengukuran sipat datar teliti. Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an memulai upaya penyatuan sistem tinggi nasional dengan melakukan pengukuran sipat datar teliti yang melewati titik-titik kerangka dasar yang telah ada maupun pembuatan titik-titik baru pada kerapatan tertentu. Jejaring titik kerangka dasar vertikal ini disebut sebagai Titik Tinggi Geodesi (TTG).



Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih merupakan cara pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal (K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan contoh ketentuan ketelitian sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar vertikal. Untuk keperluan pengikatan ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak ditemukan TTG, maka bisa menggunakan ketinggian titik triangulasi sebagai ikatan yang mendekati harga ketinggian teliti terhadap MSL. Tabel 2.2 Tingkat ketelitian pengukuran sipat datar. Tingkat / Orde



K



I



± 3 mm



II



± 6 mm



III



± 8 mm



Polygon Kerangka Dasar Cara pengukuran polygon merupakan cara yang umum dilakukan untuk pengadaan kerangka dasar pemetaan pada daerah yang tidak terlalu luas - sekitar (20 km x 20km). Berbagai bentuk polygon mudah dibentuk untuk menyesuaikan dengan berbagai bentuk medan pemetaan dan keberadaan titik-titik rujukan maupun pemeriksa.



1. Ketentuan Poligon Kerangka Dasar Tingkat ketelitian, sistem koordinat yang diinginkan dan keadaan medan lapangan pengukuran merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam menyusun ketentuan poligon kerangka dasar. Tingkat ketelitian umum dikaitkan dengan jenis dan atau tahapan pekerjaan yang sedang dilakukan. Sistem koordinat dikaitkan dengan keperluan pengukuran pengikatan. Medan lapangan pengukuran menentukan bentuk konstruksi pilar atau patok sebagai penanda titik di lapangan dan juga berkaitan dengan jarak selang penempatan titik. Contoh 1 : Pada pekerjaan perancangan rinci (detailed design) peingkatan jalan sepanjang 20 km di sekitar daerah padat hunian diperlukan: a. Peta topografi skala 1 : 1 000, b. Sistem koordinat nasional (umum), c. BM dipasang setiap 2 km, dan d. Salah penutup koordinat 1 : 10 000.



Berdasarkan keperluan peta ini, bila pemetaan dilakukan secara teristris, diturunkan ketentuan poligon kerangka dasar: a. b. c. d. e.



f.



Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan sudut diukur dalam 4 seri pengukuran. Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal dan jurusan akhir. Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur jarak 10 ppm. Salah penutup sudut polygon = 10" Ö N, dengan N = jumlah titik poligon. Salah penutup koordinat 1 : 10 000: Bila fx adalah salah penutup absis, fy adalah salah penutup ordinat dan D adalah total jarak sisi-sisi poligon, maka salah penutup koordinat: S = {(fx2 + fy2)/D}1/2 harus £ 1 : 10 000. Bakuan BM: ukuran, bahan, notasi.



2. Tata Cara Poligon Kerangka Dasar Tata cara poligon kerangka dasar disusun berdasarkan ketentuan poligon yang memenuhi kebutuhan pemetaan yang diperlukan. Secara umum, tata cara meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan. Kasus: Berdasarkan ketentuan poligon pada Contoh 1 di atas.  Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di awal dan akhir lokasi pekerjaan: - Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan pengamatan azimuth, - Belum terdapat kedua titik: pengamatan (j , l ) dan posisinya dalam sistem umum dan serta pengamatan azimuth.  Pembuatan, pemasangan dan dokumentasi BM.  Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah sistematis.  Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua kesalahan dan dicapai ketelitian yang diinginkan.  Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital.  Hitungan dan perataan koordinat cara BOWDITCH: fa = (a AKHIR – a AWAL) - å b I + n ´ 180° dan fa £ ± 10" Ö N fX = (XAKHIR – XAWAL) – å dI sin a I fY = (YAKHIR – YAWAL) – å dI cos a I dan (fX2 + fY2) / å dI £ 1 : 10 000 d XI = (dI / S dI) ´ fX dan X2 = X1 + D X12 + d X12 d Y = (dI / S dI) ´ fY dan Y2 = Y1 + D Y12 + d Y12  Pelaporan dan penysunan daftar koordinat. Sistem umum atau nasional adalah sistem yang berlaku secara nasional menggunakan bidang datum dan sistem proyeksi peta yang berlaku umum secara nasional. Posisi (j ,l



) bisa diperoleh dengan cara pengamatan astronomis atau cara GPS (global positioning systems) melalui pengamatan satelit.



Sipat Datar Kerangka Dasar Pengukuran beda tinggi cara sipat datar mudah dilaksanakan pada daerah relatif datar dan terbuka. Pada daerah pegunungan, terjal atau tertutup berakibat jarak pandang yang semakin pendek. Jumlah pengamatan pada selang pengukuran yang sama bertambah, sehingga memperbesar kemungkinan dan besaran kesalahan atau mengurangi ketelitian. Bila titik poligon sebagai titik kerangka horizontal juga merupakan titik tinggi kerangka vertikal, maka penempatannya harus memungkinkan pelaksanaan pengukuran sipat datar. 1. Ketentuan Sipat Datar Kerangka Dasar Tingkat ketelitian ukuran beda tinggi sipat datar untuk kerangka dasar pemetaan ditentukan oleh tahapan dan jenis pekerjaan. Ketelitian tinggi pada perencanaan dan perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk pekerjaan pengairan. Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada volume pekerjaan pengikatan. Contoh: Bila pada Contoh 1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga merupakan titik-titik KDV, maka diperlukan, misalnya: a. Sistem tinggi menggunakan sistem nasional, dan b. Kesalahan beda tinggi terbesar ± 6 Ö Dkm mm. Berdasarkan keperluan ketelitian tinggi ini, diturunkan ketentuan sipat datar kerangka dasar:  Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai ke fraksi mm, pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan masing-masing pengukuran dilakukan dua kali.  Jarak alat ke rambu ukur 10 – 60 m.  Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau sama dengan ± 6 Ö Dkm 2. Tata Cara Sipat Datar Kerangka Dasar Tata cara sipat datar kerangka dasar harus sepadan dengan persayaratan dalam ketentuan sipat datar yang memenuhi kebutuhan penentuan ketinggian dalam sistem tinggi yang diinginkan. Tata caranya meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan. Kasus: Berdasarkan bentuk KDH pada Contoh 1 di atas. a. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa serta pengikatan di awal dan akhir lokasi pekerjaan. b. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah sistematis.



c. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua kesalahan dan dicapai ketelitian yang diinginkan. d. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital. e. Hitungan dan perataan beda tinggi: fH = (HAKHIR – XAWAL) – å D H dan fH kurang dari ± 6 Ö Dkm d H = (1 / n) ´ fH dan H2 = H1 + D H12 + d H12 dengan jarak ukur seragam. f. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.



Urutan Kegiatan Penyelenggaraan Kerangka Dasar Pemetaan Urutan pekerjaan pengadaan kerangka dasar pemetaan secara umum:  Peninjauan lapangan: Pengumpulan informasi keadaaan lapangan seperti titik-titik yang sudah ada, medan dan kesampaian lapangan, administrasi teknis dan non-teknis seperti perijinan dan lainlainnya.  Perencanaan: a. Bentuk kerangka, ketelitian dan penempatan serta kerapatan titik-titik kerangka, b. Peralatan ukur yang akan digunakan, c. Tata-cara pengukuran dan pencatatan yang sepadan dengan ketelitian dan cara serta alat yang digunakan, d. Bentuk dan bahan titik pilar dan cara pemasangannya, e. Jadual pelaksanaan pekerjaan termasuk jadual personil, peralatan dan logistik, f. Tata-laksana pekerjaan administrasi, teknis. Personil, peralatan dan logistik.  Pemasangan dan penandaan patok / pilar: a. Pilar dan patok dipasang agar kuat dan stabil pada tenggang waktu yang direncanakan, b. Lokasi pilar dan patok harus aman, stabil dan terjangkau serta mudah pengukurannya, c. Memasang tanda pengenal pilar dan patok, d. Membuat deskripsi lokasi, struktur, cara dan pelaksana pemasangan pilar. 



Pengukuran: Pengukuran dilaksanakan sesuai ketentuan yang dibuat pada perencanaan pengukuran.



 Perhitungan: a. Menghitung dan membuat koreksi hasil ukuran, b. Mereduksi hasil ukuran, c. Menghitung data titik kontrol, misalnya azimuth, d. Menghitung koordinat dan ketinggian.



Bila data KDH akan dinyatakan dalam sistem proyeksi peta tertentu - misalnya UTM, maka juga harus dilakukan reduksi data ukuran ke sistem proyeksi. Hitungan koordinat dan ketinggian definitif menggunakan cara perataan sederhana – BOWDITCH misalnya, atau menggunakan cara perataan kwadrat (kesalahan) terkecil.  Menyusun daftar Koordinat dan Ketinggian: Daftar dibuat dalam bentuk kolom yang menunjukkan nomor titik pilar, koordinat, dan ketinggian serta keterangan sistem koordinat dan rujukan ketinggian yang digunakan.



Pengukuran Pembuatan Peta Cara Offset Pengukuran untuk pembuatan peta cara offset menggunakan alat utama pita ukur, sehingga cara ini juga biasa disebut cara rantai (chain surveying). Alat bantu lainnya adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut dan prisma, (2). jalon, dan (3) pen ukur. Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa digunakan untuk daerah yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk pemetaanya-pun juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan cara offset tidak akan menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang dipetakan. Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara: (1) Cara siku-siku (cara garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi), dan (3) Cara gabungan keduanya. Dalam bahasan berikut lebih mengutamakan pembahasan teknik cara offset, sedangkan hal teknik pembuatan garis tegak lurus, perpanjangan garis dan penggunaan prisma yang sudah diuraikan di bab sebelumnya tidak dibahas lagi.



1. Kerangka Dasar Cara Offset Kerangka dasar pemetaan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga setiap garis ukur yang terbentuk dapat digunakan untuk mengukur titik detil sebanyak mungkin. Garis ukur adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik kerangka dasar. Jadi garis ukur berfungsi sebagai "garis dasar" untuk pengikatan ukuran offset. Kerangka dasar cara offset cara siku-siku: Setiap garis ukur dibuat saling tegak lurus.



Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang. Andai akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka dibuat garis ukur BB' dan DD' tegak lurus garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D, D'B', B'B dan B'C. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA.



Kerangka dasar cara offset cara mengikat: Setiap garis ukur diikatkan pada salah satu garis ukur.



Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang. Bila akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka ditentukan sembarang titiktitik D', D", B' dan B" pada garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D", D'B', B'B", B"C, D'D, D"D, B'B dan B"B. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA. Kerangka dasar cara offset cara segitiga: Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan AC yang merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur. Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga, maka cara ini juga disebut cara trilaterasi.



2. Pengukuran Detil Cara Offset Pengukuran detil cara offset cara ciku-siku: Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur dan diukur jaraknya.



A dan B adalah titik-titik kerangka dasar sehingga gari AB adalah garis ukur. Titiktitik a, b, c dan d dadalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan d' adalah proyeksi titik a, b, c dan d ke garis ukur AB. Pengukuran detil cara offset cara mengikat Setiap titik detil diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur.



A dan B adalah titik-titik kerangka dasar, sehingga gari AB adalah garis ukur. Titiktitik a, b, c adalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan a", b", c" adalah titik ikat a, b, dan c ke garis ukur AB. Diusahakan segi-3 aa'a", bb'b" dan cc'c" samasisi atau sama kaki. Pengikatan titik a, b, dan c ke garis ukur AB lebih sederhana bila dibuat dengan memperpanjang garis detil hingga memotong ke garis ukur. Pengukuran detil cara offset cara kombinasi: Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur. Dipilih cara pengukuran yang lebih mudah di antara kedua cara.



Titik detil penting dianjurkan diukur dengan kedua cara untuk kontrol ukuran.



3. Kesalahan pengukuran cara offset Kesalahan arah garis offset a dengan panjang l yang tidak benar-benar tegak lurus berakibat: a. Kesalahan arah sejajar garis ukur = l sin a b. Kesalahan arah tegak lurus garis ukur = l - l cos a c. Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot sebesar 1/S x kesalahan. Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset d l, maka gabungan pengaruh kesalahan pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin a ) 2 + d l 2}1/2.



4. Ketelitian Pemetaan Cara Offset Upaya peningkatan ketelitian hasil ukur cara offset bisa dilakukan dengan : a. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati bentuk segitiga sama sisi b. Garis ukur:  Jumlah garis ukur sesedikit mungkin  Garis tegtak lurus garis ukur sependek mungkin  Garis ukur pada bagian yang datar c. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak lurusgaris ukur d. Pita ukur harus benar-benar mendatar dan diukur seteliti mungkin e. Gunakan kertas gambar yang stabil untuk penggambaran



5. Pencatatan Dan Penggambaran Cara Offset Pengukuran cara offset dicatat ke dalam buku ukur yang tiap halamannya berbentuk tiga kolom. Kolom ke 1 – paling kiri, digunakan untuk menggambar sket pengukuran. Kolom ke 2 digunakan untuk mencatat hasil ukuran dengan paling bawah awal garis ukur, dan kolom ke 3 digunakan untuk mencatatat deskripsi garis offset. Tiada bakuan untuk penggambaran cara offset. Penggambaran biasa dibuat dengan urutan pertama penggambaran garis ukur, kedua pengeplotan garis offset yang disertai dengan penyajian penulisan angka jarak ukur tegak lurus arah garis ukur.Sudut disiku diberi tanda siku.



Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetry Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolit yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan efisien. Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat. Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas titik tempat berdiri alat. Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur. Jarak datar = dAB = 100 ´ (BA – BB) cos2m; m = sudut miring. Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) sin 2m + i – t; t = BT.



1. Tata Cara Pengukuran Detil Cara Tachymetri Menggunakan Theodolit Berkompas Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m. a. Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini. b. Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak.



c. Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar teropong. d. Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke titik bidik. e. Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik. f. Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.



2. Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas a. Kesalahan alat, misalnya:      



Jarum kompas tidak benar-benar lurus. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi). Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik. Letak teropong eksentris. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.



b. Kesalahan pengukur, misalnya:  Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).  Salah taksir dalam pemacaan  Salah catat, dll. nya.



c.



Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:  Deklinasi magnet.  atraksi lokal.



3. Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar. Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka) penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar pemetaan.



Unsur yang diukur: a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil, b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah c. Sudut miring, dan d. Tinggi alat di atas titik ikat.



A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan, H adalah titik penolong, 1, 2 ... adalah titik detil, Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran. Beradasar skema pada gambar, maka: a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar A, b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B, c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H. 4. Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Poligon Kompas. Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka dasar pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur dengan menggunakan cara tachymetri. Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-titik penolong.



Berdasarkan skema pada gambar, maka: a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan, b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil. Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada dua hitungan: Hitungan poligon dan Hitungan beda tinggi.



Tata cara pengukuran poligon kompas: 1. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4, 2. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan K4. 3. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran: a. Azimuth, b. Bacaan benang tengah, atas dan bawah, c. Sudut miring, dan Tinggi alat.



Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas: 1.



2. 3. 4. 5. 6.



Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. K31 - AzM K31 Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG. K42 - AzM K42 Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4 Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITH atau TRANSIT. Plot poligon berdasarkan koordinat definitif.



Selain hitungan cara numeris, poligon kompas juga bisa digambar kesalahan ukurnya dengan cara mengeplotkan langsung data yang diperoleh dari tahapan hitungan 1, 2, 3 dan 4 di atas. Seharusnya, bila tidak ada kesalahan ukur titik K4 hasil pengeplotan langsung berdasarkan koordinat dan pengeplotan titik K4 dari polygon kompas seharusnya berimpit. Penyimpangan grafis yang tidak terlalu besar atau dalam selang toleransi dikoreksikan secara grafis pada masing-masing titik poligon sebanding jumlah jarak poligon di titik poligon.



Tata cara hitungan beda tinggi pada poligon kompas: 1. 2. 3. 4.



Hitung beda tinggi antara titik-titik poligon, Seharusnya jumlah beda tinggi = beda tinggi titik awal dan akhir Bila terdapat selisih diratakan matematis ke setiap titik, Hitung ketinggian definitif masing-masing titik poligon.



Rangkuman Peta planimetris pada daerah datar dengan cakupan tidak luas bisa dibuat dengan cara offset. Pengukuran untuk pembuatan peta cara tachymetri menggunakan theodolite berkompas banyak digunakan untuk pembuatan peta topografi pada berbagai jenis medan pengukuran. Pengukuran poligon cara tachymetri berbantukan theodolite berkompas memungkinkan pengadaan KDH dan KDV pembantu dan sekaligus pengukuran titik detil. http://engineersblogs.blogspot.com/2008/07/kerangka-dasar-pemetaan.html



Optimasi Jaring Pada Pengukuran Orde3 Menggunakan Perataan Parameter BAB I PENDAHULUAN



1. Latar Belakang Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai pada tahun 1996 menetapkan penggunaan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN’95) sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di lingkungan BPN. Perwujudan dari rujukan tersebut adalah pengadaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional (JKGN) yaitu orde-2, orde-3, dan orde-4. Titik-titik dasar teknik orde-2, orde-3, dan orde-4 diperlukan sebagai kerangka dasar referensi nasional yang digunakan untuk pemetaan bidang tanah secara nasional. Dalam penyelenggaraan JKGN ini sangat terkait dengan ketelitian, sehingga pada pelaksanaan pengukuran titik dasar teknik, BPN mempunyai ketentuan tentang metode pengamatan yang digunakan. Metode Pengamatan yang digunakan antara lain adalah metode pengamatan satelit dan metode pengukuran terestris. Metode pengamatan satelit dilakukan pada pengukuran orde2 dan orde-3 sedangkan metode pengukuran terestris untuk orde-4. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai metode pengamatan satelit pada pengukuran orde-3 yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah BPN Propinsi yang ditentukan dengan survei GPS. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketetelitan dalam penentuan posisi GPS antara lain; ketelitian data, strategi pengamatan, geometri pengamatan, dan strategi pengolahan data. Dalam survei GPS, pengolahan data GPS dimaksudkan untuk menghitung koordinat dari titik-titik dalam suatu jaringan berdasarkan data-data pengamatan, sehingga mendapatkan koordinat titik orde-3 yang memenuhi spesifikasi teknis dan hal ini merupakan suatu proses yang cukup ekstensif. Terkait dengan ketelitian yang ingin dicapai pada suatu pengukuran, saat pengambilan data di lapangan diberikan ukuran lebih, yaitu pengukuran yang melebihi batas ketentuannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan ketelitian yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan optimasi jaring pada pengukuran orde-3. Optimasi jaring ini dapat dilakukan dengan pemilihan baselinebaseline dari suatu pengukuran orde-3 yang telah dilakukan. Hal ini karena banyak data ukuran yang diperoleh dan belum tentu semua data ukuran tersebut mendekati nilai sebenarnya. Selain itu optimasi jaring ini juga dapat meminimalisir kesalahan pengukuran. Untuk menentukan nilai terbaik dari beberapa kali pengukuran diperlukan suatu metode hitungan tertentu. Salah satu metode hitungan yang dapat digunakan untuk menghitung ukuran lebih yaitu metode kuadrat terkecil dengan perataan parameter.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Dasar Pemetaan Dalam pembuatan peta yang dikenal dengan istilah pemetaan dapat dicapai dengan melakukan pengukuran-pengukuran di atas permukaan bumi yang mempunyai bentuk tidak beraturan.Pengukuran dilakukan untuk mementukan posisi (koordinat dn ketinggian) titik-titik dimuka bumi. Titik dimuka bumi yang di ukur, dikelompokkan kedalam dua kelompok besar, yaitu titik kerangka dasar dan titik–titik detail. Titik-titik kerangka dasar dengan pengukuran-pengukuran tertentu ditentukan koordinatnya dalam satu sistem koordinat tertentu dan mempunyai fungsi khusus sebagai berikut : a. Sebagai titik pengikat (titik referensi),yaitu untuk menentukan koordinat titik-titik lainnya.Misalnya titik A sebagai titik pengikat,dengan mengukur jarak dan arah dari A ke B maka dapat dihitung koordinat titik B. b. Sebagai titik pengontrol pengukuran-pengukuran yang baru.Dalam hal ini ketelitian titik pengontrol harus lebih tinggi daripada ketelitian pengukuran yang baru.Misalnya titik-titik Adan B merupakan titik pengontrol. (Umaryono,1986). Pengukuran-pengukuran dibagi dalam pengukuran yang mendatar untuk mendapat hubungan titik-titik yang diukur di atas permukaan bumi (Pengukuran Kerangka Dasar Horisontal) dan pengukuran-pengukuran tegak guna mendapat hubungan tegak antara titik-titik yang diukur (Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal) serta pengukuran titiktitik detail. Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada kawasan yang tidak luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik- titik kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan tebih dahulu koordinat dan ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan tertentu, permanen, mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga memudahkan penggunaan selanjutnya. 2. Jaring Kontrol Horisontal Jaring kontrol horisontal adalah sekumpulan titik kontrol horisontal yang satu sama lain dikaitkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan koordinatnya ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam suatu sistem referensi kordinat horisontal tertentu (BSN, 2002). Kualitas dari koordinat titik-titik dalam suatu jaring kontrol horisontal umumnya akan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sistem peralatan yang digunakan untuk pengukuran/pengamatan, geometri jaringan, strategi pengukuran/pengamatan, serta strategi pengolahan data yang diterapkan. Pengadaan jaring titik kontrol horisontal di Indonesia sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, yaitu dengan pengukuran triangulasi yang dimulai pada tahun 1862. Selanjutnya dengan pengembangan sistem satelit navigasi Doppler (Transit),



sejak tahun 1974 pengadaan jaring titik kontrol juga mulai memanfaatkan sistem satelit ini. Dengan berkembangnya sistem satelit GPS, sejak tahun 1989, pengadaan jaring titik kontrol horisontal di Indonesia umumnya bertumpu pada pengamatan satelit GPS ini. Pada dasarnya pada saat ini, jaring titik kontrol horisontal di Indonesia dapat dikelompokkan sebagaimana yang diberikan pada Tabel 2.1 berikut:



Kalsifikasi Jaring Orde-0 Ored-1 Orde-2 Orde-3 Orde-4



Tabel 2.1 Status Jaring Titik Kontrol Horisontal Jarak Metode Tipikal Fungsi saat ini Pengamatan antar Titik 500 km Jaring kontrol geodetik nasional Survei GPS 100 km Jaring kontrol geodetik regional Survei GPS 10 km Jaring kontrol kadastral regional Survei GPS 2 km Jaring kontrol kadastral lokal Survei GPS Survei 0.1 km Jaring kontrol pemetaan kadastral Poligon



(BSN ,2002) 3. Klasifikasi Jaring Titik Kontrol Dalam pengklasifikasian jaring titik kontrol geodetik di Indonesia ini, ada beberapa faktor yang dijadikan pertimbangan yaitu: a. Status dan karakteristik jaring titik kontrol yang sudah ada, b. Perkembangan dan kecenderungan teknik dan aplikasi penentuan posisi di masa mendatang, serta c. Mekanisme klasifikasi yang digunakan di Negara lain. Klasifikasi suatu jaring kontrol didasarkan pada tingkat presisi dan tingkat akurasi dari jaring yang bersangkutan, dimana tingkat presisi diklasifikasikan berdasarkan Kelas, dan tingkat akurasi diklasifikasikan berdasarkan Orde (BSN,2002). Penetapan Kelas Jaringan Kelas dari suatu jaring titik kontrol pada dasarnya mengkarakterisir ketelitian internal (tingkat presisi) dari jaringan, yang pada dasarnya tergantung pada tiga faktor utama yaitu kualitas data, geometri jaringan, serta metode pengolahan data. Sedangkan kualitas data sendiri akan tergantung pada beberapa faktor seperti sistem peralatan yang digunakan, strategi survei yang diterapkan, serta metode pengeliminasian kesalahan dan bias yang diterapkan. Karena peran dari kualitas pengukuran yang relatif dominan, kelas jaringan sering juga dinamakan kelas pengukuran. Kelas suatu jaringan jaring titik kontrol horisontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu-panjang (semi-major axis) dari setiap ellips kesalahan relative (antar titik) dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil berkendala minimal



(minimal constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari sumbu-panjang ellips kesalahan relative 95% yang digunakan untuk menentukan kelas jaringan adalah: r = c ( d + 0.2 ) (2.1) dimana : r = panjang maksimum dari sumbu-panjang yang diperbolehkan, (mm), c = faktor empirik yang menggambarkan tingkat presisi survei, d = jarak antar titik (dalam km). Berdasarkan nilai faktor c tersebut, maka kategorisasi kelas jaring titik kontrol horisontal yang diusulkan diberikan pada Tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Kelas (Pengukuran) Jaring Titik Kontrol Horisontal c Kelas (ppm) Aplikasi Tipikal 3A



0.01



Jaring Tetap (Kontinyu) GPS



2A



0.1



Survei geodetik berskala nasional



A



1



Survei geodetik berskala regional



B



10



Survei geodetik berskala lokal



C



30



Survei geodetik untuk prapatan



50



Survei pemetaan



D (BSN ,2002) Penetapan Orde Jaringan



Orde dari suatu jaring titik kontrol pada dasarnya mengkarakterisir tingkat ketelitian jaring, yaitu tingkat kedekatan jaring tersebut terhadap jaring titik kontrol yang sudah ada yang digunakan sebagai acuan. Oleh sebab itu, orde suatu jaring akan tergantung pada kelasnya, tingkat presisi dari titik-titiknya terhadap titik-titik ikat yang digunakan, serta tingkat presisi dari proses transformasi yang diperlukan untuk mentransformasikan koordinat dari suatu datum ke datum yang lainnya. Oleh sebab itu, orde yang ditetapkan untuk suatu jaring titik kontrol: 1. Tidak boleh lebih tinggi dari orde jaring titik kontrol yang sudah ada yang digunakan sebagai jaring acuan (jaring pengikat), dan 2. Tidak lebih tinggi dari kelasnya. Berdasarkan nilai faktor c tersebut, dapat dibuat kategorisasi orde jaring titik kontrol horisontal yang diperoleh dari suatu survei geodetik, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.3 berikut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, orde jaringan juga akan tergantung pada kelasnya serta orde dari jaring titik kontrol pengikat (acuan) nya (BSN,2002).



Tabel 2.3 Orde Jaring Titik Kontrol Horisontal Orde



C(ppm)



Jaring Kontrol



Jarak*



Kelas



0



0.01



Jaring fidusial nasional (jaring tetap GPS)



1000



3A



0



0.1



Jaring titik kontrol geodetik nasional



500



2A



1



1



Jaring titik kontrol geodetik regional



100



A



2



10



Jaring titik kontrol geodetik lokal



10



B



3



30



Jaring titik kontrol geodetik prapatan



2



C



4



50



Jaring titik kontrol pemetaan



0.1



D



* Jarak tipikal antar titik yang berdampingan dalam jaringan (dalam km) (BSN,2002) 4. Konfigurasi Jaring Orde-3 Dalam pengadaan suatu jaring titik kontrol, ada beberapa kriteria dan syarat yang harus dipenuhi oleh konfigurasi jaring tersebut, yaitu seperti yang diberikan pada Tabel 2.6. Berkaitan dengan perencanaan konfigurasi jaringan, di samping yang diberikan pada tabel 2.6, ada beberapa spesifikasi teknis yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Desain jaringan harus dibuat diatas fotokopi peta topografi atau peta rupabumi dengan skala yang memadai sehingga dapat menunjukkan desain, geometri, dan kekuatan jaringan sedemikian rupa sehingga spesifikasi ketelitian yang diinginkan dapat terpenuhi; b. Seluruh baseline dalam jaringan sebaiknya terdistribusi secara relatif homogen, yang ditunjukkan dengan panjang baseline yang relatif sama; c. Sebelum diimplementasikan, desain jaringan yang digunakan untuk pengamatan harus telah disetujui oleh pihak pemberi kerja dengan dibubuhi tanda tangan atau paraf penanggung jawab kegiatan yang bersangkutan (BSN,2002) Kriteria



Orde jaringan 00 0 1 2 Jarak tipikal antar titik yang berdampingan (km) 1000 500 100 10 Jumlah minimum titik ikat berorde lebih tinggi 4 3 3 3 Koneksi titik ke titik-titik lainnya dalam jaring semu 3 3 3 (jumlah minimum) a Jumlah baseline minimum yang diamati dua kali 100% 20 10 5 (common baseline) % % % Jumlah baseline dalam suatu suatu loop (maks.) 4 4 4 Tabel 2.6. Spesifikasi Teknis Konfigurasi Jaringan Titik Kontrol ( BSN, 2002)



3 2 3 3



4 0.1 3 2



5 % 4



5% -



5. Pengolahan Data Pengukuran Orde-3 Dalam survei dengan GPS, pengolahan data GPS dimaksudkan untuk menghitung koordinat dari titik-titik dalam suatu jaringan berdasarkan data-data pengamatan fase sinyal GPS yang diamati di titik-titik tersebut. Pengolahan data GPS sehingga mendapatkan koordinat titik-titik yang memenuhi spesifikasi teknis adalah suatu proses yang cukup ekstensif. Dalam hal ini ada beberapa karakteristik yang menonjol dari pengolahan data survei GPS yang perlu disebutkan, yaitu : a. Koordinat titik ditentukan dalam tiga-dimensi terhadap suatu sistem koordinat Kartesian yang geosentrik yang didefinisikan oleh datum WGS 1984, b. Proses estimasi vektor baseline maupun koordinat titik bertumpu pada metode hitung perataan kuadrat terkecil (least-squares adjustment), c. Pengolahan data dilakukan setelah data dari beberapa receiver GPS yang terlibat dikumpulkan (post processing mode), dan d. Pengolahan dilakukan secara bertahap, dari baseline ke baseline, sehingga membentuk suatu jaringan (BSN,2002). Pengolahan Baseline Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan menghitung vektor baseline (dX,dY,dZ) menggunakan data fase sinyal GPS yang dikumpulkan pada dua titik ujung dari baseline yang bersangkutan, yang diilustrasikan pada Gambar 2.1 Pada survei GPS, pengolahan baseline umumnya dilakukan secara beranting satu persatu (single baseline) dari baseline ke baseline, dimulai dari suatu tetap yang telah diketahui koordinatnya, sehingga membentuk suatu jaringan yang tertutup. Tapi perlu juga dicatat di sini bahwa pengolahan baseline dapat dilakukan secara sesi per sesi pengamatan, dimana satu sesi terdiri dari beberapa baseline (single session, multi baseline). Pada proses pengestimasian vektor baseline, data fase double-difference digunakan. Meskipun begitu biasanya data pseudorange juga digunakan oleh perangkat lunak pengolahan baseline sebagai data pembantu dalam beberapa hal seperti penentuan koordinat pendekatan, sinkronisasi waktu kedua receiver GPS yang digunakan, dan pendeksian cycle slips. Secara skematik, tahapan perhitungan suatu (vektor) baseline. Untuk Untuk mengecek kualitas dari vektor baseline yang diperoleh, ada beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu antara lain a. Rms (root mean squares), harga minimum dan maksimum, serta standar deviasi dari residual, b. Faktor variansi a posteriori, c. Matriks variansi kovariansi dari vektor baseline, d. Hasil dari test statistik terhadap residual maupun vektor baseline,



e. Ellips kesalahan relatif dan titik, f. Kesuksesan dari penentuan ambiguitas fase serta tingkat kesuksesannya, g. Jumlah data yang ditolak, dan Jumlah cycle slips. Disamping indikator-indikator kualitas di atas, kualitas suatu vektor baseline juga akan bisa dicek pada saat perataan jaringan (BSN,2002). Perataan Jaringan Pada perataan jaringan, vektor-vektor baseline yang telah dihitung sebelumnya secara sendiri-sendiri, dikumpulkan dan diproses dalam suatu hitung perataan jaringan (network adjustment) untuk menghitung koordinat final dari titik-titik dalam jaringan GPS yang bersangkutan. Hitung perataan jaringan ini menggunakan metode perataan kuadrat terkecil (least squares adjustment). Perataan jaringan GPS umumnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu perataan jaring bebas (free network adjustment) dan perataan jaring terikat (constrained network adjustment). Perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk mengecek konsistensi data vektor baseline, satu terhadap lainnya. Setelah melalui tahapan perataan jaring bebas dan kontrol kualitasnya, selanjutnya vektor-vektor baseline yang ‘diterima’ diproses kembali dalam perataan jaring terikat. Pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan koordinat titik-titik yang diperoleh dan sukses melalui proses kontrol kualitas akan dianggap sebagai koordinat yang final. Pada prinsipnya hitung perataan jaringan ini akan berguna untuk beberapa hal, yaitu : a. Untuk menciptakan konsistensi pada data-data ukuran vektor baseline , b. Untuk mendistribusikan kesalahan dengan cara yang merefleksikan ketelitian pengukuran, c. Untuk menganalisa kualitas dari baseline-baseline, serta d. Untuk mengidentifikasi baseline-baseline serta titik-titik kontrol yang perlu ‘dicurigai’ (BSN,2002). 6. Perataan Parameter Hitung Perataan parameter merupakan salah satu metode hitungan untuk menentukan nilai yang terbaik,dengan mengunakan persamaan pengamatan. Dalam model hitungan ini model fungsional dan model matematik dinyatakan dalam : http://yenigeomaticits07.blogspot.com/2011/01/bab-i-pendahuluan-1.html