Kisah Abu Ubaidah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Sang Penguasa alam semesta. Semoga salawat serta keselamatan tercurahkan selalu kepada Nabi dan Rasul termulia Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam. Berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya. Belakangan ini kita lebih sering mendengar berita mengenai petinggi negeri yang telah mengkhianati rakyatnya dengan mengambil hak-hak rakyat, lalu melakukan pencitraan dimanamana demi menutupi segala kesalahannya. Mungkin sebagian dari mereka belum mengenal betul apa itu artinya amanah. Oleh karenanya pada pertemuan kali ini kita akan membedah biografi sahabat Rasul yang berpawakan tinggi, kurus, dan bersih, yang dimana Beliau merupakan contoh pemimpin yang paling amanah dan tawadu’. Beliau ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah Radiallahu 'anhu. Rasulullah SAW sebagai begitu mempercayai Abu Ubaidah. Wajar saja, sebab disaat masyarakat masih ragu dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, Abu Ubaidah justru termasuk golongan yang awal memeluk Islam. Keyakinan yang sepenuh hati dalam menjalani Islam membuat Abu Ubaidah disebut-sebut Rasulullah sebagai salah satu dari 10 orang yang dijamin masuk Surga. Abu Ubaidah tak pernah ketinggalan peran dalam membela Islam. Hampir semua momen jihad dimasa Rasulullah SAW kerap Beliau ikuti. Disamping memiliki keutamaan di medan peperangan, Abu Ubaidah juga tercatat memiliki keahlian dibidang lainnya. Beliau memiliki kecerdasan dan jiwa kepemimpinan. Maka tak heran jika Rasulullah SAW menunjuk Beliau sebagai duta dakwah Islam yang dikirim ke wilayah Najran. Dalam peristiwa ini Rasulullah SAW menyebutkan, akan mengirim orang yang benar-benar terpercaya, bahkan mengulang kata “amin” (terpercaya) hingga tiga kali, orang ini tak lain adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah yang disebut Amin Hadzihil Umah atau orang yang paling dipercaya di umat ini. Sebagai agama baru yang masih dianggap asing, Abu Ubaidah dengan sepenuh hati berdakwah serta membela Islam dengan sepenuh jiwa raganya. Beliau tak pernah ragu mengangkat senjata untuk berperang melawan musuh-musuh Islam. Bahkan diperang perdana antara muslim dan musyrik qurais (Perang Badar), Abu Ubaidah harus berhadapan dengan ayahnya yang jelas-jelas sangat memusuhi Islam. Akhirnya, dengan keimanan yang menyalanyala terjadilah perlawanan antara sang anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah



kandung di depan matanya sendiri. Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firman-Nya, yang artinya berbunyi: "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS Al Mujadilah: 22). Saat peperangan sedang berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh sehingga gigi depannya retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan, Rasulullah pasti kesakitan, akhirnya Beliau mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua, giginya pun ikut tercabut juga. Hari Senin tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 H, muslimin dikejutkan dengan sebuah berita duka, Sang Nabi yang menjadi panduan hidup masyarakat Arab Muhammad SAW. Duka melanda Madinah dan Jazirah Arab. Namun ditengah kesedihan para sahabat segera bangkit melanjutkan roda kepemimpinan Muslim. Beberapa sahabat Nabi yang disebut-sebut menjadi kandidat pemangku kekhalifahan ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah Radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakar menunjuk Umar atau Abu Ubaidah saja yang dipilih untuk menjadi seorang Khalifah. Ini artinya Abu Ubaidah merupakan orang yang layak. Tetapi Abu Ubaidah justru menolak. Beliau malah menunjuk Abu Bakar sebagai orang yang paling pantas menjadi khalifah umat Muslim, sebagaimana alasannya bahwa siapa yang berani menjadi pemimpin pada waktu Rasul hidup ialah Abu Bakarlah yang ditunjuk menjadi Imam sholat. Artinya bahwa dikalangan sahabat, menjadi imam sholat itu tidak sembarangan orang. Sekaligus pelajaran untuk kita bahwa pemimpin yang baik dalam Islam adalah pemimpin yang menjaga sholatnya dan menjaga amanahnya. Karena sholat adalah penghubung antara ia dengan Allah SWT, dan amanah ini berhubungan antara ia dengan masyarakat. Gelar amanah yang disandang Abu Ubaidah tetap menjadikannya seorang yang tawadu’ sehingga sedikitpun Abu Ubaidah menginginkan jabatan. Namun sifat terpercaya dan kecerdasan yang dimiliki Abu Ubaidah, Sang Khalifah Abu Bakar mempercayakan Abu Ubaidah sebagai ahli syuro atau tim penasehat Negara, sekaligus sebagai pengawas keuangan dan harta Negara.



Sebagai ahli syuro Abu Ubaidah tentu banyak menghabiskan perannya di ibukota muslimin Maddinah Al Munawaro, meski begitu pada saat Islam hendak meluaskan wilayahnya ke Syam, Abu Ubaidah tetap diberikan kepercayaan oleh Khalifah Abu Bakar untuk berhadapan dengan Romawi. Sang Khalifah paham betul bukan hanya keahlian perang yang harus dimiliki pasukan dalam menghadapi Romawi namun juga kecerdasan serta kesabaran yang tinggi seperti halnya yang dimiliki Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Saat di Negeri Syam didatangkanlah pasukan muslimin yang dipimpin oleh beberapa panglima. Dengan didatangkannya banyak panglima di medan pertempuran tersebut, maka mungkin saja timbul perselisihan paham. Disinilah peran dari Abu Ubaidah, selaini keahliannya di bidang pertempuran, Beliau merupakan panglima perang yang hebat, ahli strategi dan yang paling penting Beliau adalah seorang pemimpin yang lembut hati dan lapang jiwanya, sehingga Beliau mampu menyatukan strategi perang dari para panglima tersebut. Tak lama kemudian, Khalifah Abu Bakar menambah pasukan muslim yang dikirim dari persia yang dipimpin oleh Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu. Khalid bin Walid kemudian diangkat menjadi pemimpin pasukan. Dimasa Khalifah Umar bin Khattab, jabatan pemimpin pasukan dikembalikan kepada Abu Ubaidah dari tangan Khalid bin Walid. Namun hingga muslim berhasil menguasai Dasmaskus Abu Ubaidah justru tetap membiarkan Khalid bin Walid yang menjadi pemimpinnya. Bagi Abu Ubaidah bukan jabatan yang Beliau utamakan, melainkan perjuangan dan kemenangan bagi agama Allah SWT. Setelah mengetahui pemimpin yang sebenarnya semangat berjuang Khalid bin Walid pun tak lantas surut, baginya tak menjadi masalah siapa pemimpinnya, Khalid bin Walid pun berjuang hanya karena Allah SWT. Kebijaksanaan dan kelapangan hati Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid seperti inilah yang patut dicontoh oleh para pemimpin. Dan disaat tampuk panglima perang dikembalikan pada Abu Ubaidah, Beliau tetap rendah hati, Beliau tak serta merta mengecilkan peran Khalid bin Walid, Beliau tetap mempercayakan Khalid sebagai pengatur strategi di medan perang. Subhanallah. Kemenangan Abu Ubaidah merebut Palestina membuat Khalifah Umar menunjuknya sebagai Pemimpin di negeri Syam, maka negeri berkah tersebut sejahtera di tangan orang terpercaya. Abu Ubaidah begitu amanah menjaga wilayahnya, bahkan hidup bersahaja dengan fasilitas yang amat sangat sederhana, meski Beliau berstatus tertinggi di wilayah Syam. Hal ini terlihat saat kunjungan Khalifah Umar ke kediaman Gubernur Syam (Abu Ubaidah), Umar sampai menangis melihat rumah petak Abu Ubaidah yang hanya ada tameng, pedang, dan tidak ada perkakas mewah yang dimiliki Abu Ubaidah. Gaji yang diterima Abu Ubaidah kala itu sangat banyak, akan tetapi keseluruhannya Beliau infakan untuk seluruh masyarakat Syam. Kesederhanaan, kepemimpinan, dan sifat amanah Abu Ubaidah membuat Khalifah Umar semakin mengaguminya. Umar bin Khattab pun menunjuk Abu Ubaidah untuk menjadi penggantinya



kelak. Namun ternyata Allah berkehendak lain. 5 tahun sebelum Khalifah Umar wafat, wilayah Amwas dekat Palestina diserang wabah tha’un. Melalui surat, Khalifah Umar meminta Abu Ubaidah untuk meninggalkan negerinya, namun bukan sifat Abu Ubaidah yang rela meninggalkan masyarakannya ditengah musibah yang terjadi, maka Abu Ubaidah menjawab surat Khalifah seperti ini, “Dari Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab. Adapun setelahnya Negeri Syam terserang wabah. Adapun kami bersabar dan berprasangka baik terhadap ketetapan Allah. Kami hanya mengatakan kalimat seperti dalam firman Allah SWT. Apabila diantara kalian ditimpa musibah, maka katakanlah. Sesungguhnya semua kepunyaan Allah, dan kepada Allah-lah semuanya kembali.” Abu Ubaidah bertahan di negerinya tersebut hingga akhirnya Beliau terserang penyakit yang sama diderita oleh masyarakatnya dan diusia yang ke 58 tahun Abu Ubaidah wafat. Sang manusia paling amanah telah pergi, meninggalkan berjuta kebaikan kepada seluruh muslimin. Kebesaran sifat Abu Ubaidah begitu melekat dihati Umar bin Khattab, bahkan menjelang wafat sekalipun Khalifah Umar masih teringat pada sosok Abu Ubaidah yang Beliau inginkan sebagai penggantinya. Akhirnya Khalifah Umar tak menunjuk siapapun sebagai gantinya, Beliau menyerahkan pemilihan Khalifah pada dewan Syuro yang terdiri oleh para sahabat yang ada di Madinnah. Rohimmakullah, Abu Ubaidah bin Al Jarrah manusia yang paling amanah diantara orang-orang yang amanah.