Klasifikasi Ulat Grayak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Klasifikasi ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman cabai (Capsicum annum) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Divisio : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Famili : Noctuidae Genus : Spodoptera Spesies : Spodoptera litura Spodoptera adalah ngengat yang termasuk dalam suku Noctuidae. Larvanya(ulatnya) dikenal sebagai hama yang sangat merusak. Ulat yang tidak berbulu oleh awam biasa disebut ulat tentara atau ulat grayak. Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama yang menyerang tanaman cabai. Ulat grayak (Spodoptera litura) menyerang tanaman pada malam hari, sedangkan pada siang hari berada di dalam tanah. Pada umumnya, ulat grayak menyerang satu tanaman secara bersama-sama sampai seluruh daun tanaman tersebut habis, baru kemudian ke tanaman lain. Ulat ini berumur 20 hari selama hidupnya menyerang tanaman. B. Gejala Hama ulat grayak menyerang daun dan buah cabai. Serangannya ditandai dengan daundaun yang terlihat berwarna agak putih, karena yang tertinggal hanya selaput daun bagian atas. Bagian daging daun sebelah bawah telah dimakan oleh ulat ini. Pada awal serangan daun terlihat berlubang-lubang, lama kelamaan hanya tertinggal tulang-tulang daun. Hama ini menyerang bagian daun tanaman cabai secara bergerombol. Daun yang terserang berlubang dan meranggas. Pada serangan parah, biasanya terjadi saat musim kemarau, menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat. Serangan ulat yang masih kecil mengakibatkan bagian daun tanaman cabai yang tersisa tinggal epidermis bagian atas dan tulang daunnya saja. Ulat yang besar memakan tulang daun. Serangan berat dapat mengakibatkan tanaman menjadi gundul. Ulat grayak disebut juga dengan nama ulat tentara. Seperti halnya jenis hama ulat lain, hama ini menyerang tanaman cabai pada malam hari, sedang siang harinya beresembunyi di balik mulsa atau di dalam tanah. Hama ini bersifat polifag (mempunyai kisaran inang yang cukup luas). Jika daun suatu tanaman rusak, maka tanaman tidak dapat fotosintesis dan tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman tersebut. C. Biologi (Ciri-ciri Karakteristik) Ulat Grayak (Spodoptera litura) Serangga dewasa jenis Spodoptera litura, memiliki ukuran panjang badan 20 - 25 mm, berumur 5 - 10 hari dan untuk seekor serangga betina jenis ini dapat bertelur 1.500 butir dalam kelompok-kelompok 300 butir. Serangga ini sangat aktif pada malam hari, sementara pada siang hari serangga dewasa ini diam ditempat yang gelap dan bersembunyi. Larva Spodoptera litura memiliki jumlah instar 5 dengan ukuran instar 1 panjang 1,0 mm dan instar 5 panjang 40 - 50 mm berwarna coklat sampai coklat kehitaman dengan bercakbercak kuning dan berumur 20 - 26 hari. Sepanjang badan pada kedua sisinya masing-masing terdapat 2 garis coklat muda.



Ciri khas ulat grayak ini adalah terdapat bintik-bintik segitiga berwarna hitam dan bergaris-garis kekuningan pada sisinya. Sedangkan ulat dewasa berwarna abu-abu gelap atau cokelat. Larva akan menjadi pupa (kepompong) yang dibentuk di bawah permukaan tanah. Daur hidup dari telur menjadi kupu-kupu berkisar antara 30 hari hingga 61 hari. Stadium yang membahayakan dari hama Spodoptera lituraadalah larva (ulat) karena menyerang secara bersama-sama dalam jumlah yang sangat besar untuk menunjang metamorfosisnya. Ulat ini memangsa segala jenis tanaman (polifag), termasuk menyerang tanaman cabai. Daur hidup ulat grayak (Spodoptera litura) dapat dilihat dari bagan berikut ini :



1.



Telur Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun(kadang- kadang t ersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanamaninang maupun bukan inang. Bentuk telur ber- variasi. Kelompok telur tertutupbulu seperti beludru yang berasal dari bulu- bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan. Produksi telur mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 25 -200 butir per kelompok. Stadium telur berlangsung selam 3 hari (2;10;12). Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran.



2.



Larva Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit)berwarna hitam pada segmen abdomen keempat da n kesepuluh .Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok.Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larvamenyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerangtanaman pada malam hari atau pada intensitas



cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari. Ulat instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadia kepompong dan ngengat, masing-masing berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur pada umur 2-6 hari. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon,namun terda pat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapattanda bulan sabit berwar na hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang.Pada umur 2 minggu, panjang ulat se kitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalamtanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), ber warna coklatkemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 3060 hari (lama stadium telur 24 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yangberlangsung selama 20-46 hari. Lama stadium pupa 811 hari. 3. Ngengat



Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000-3.000 telur. Sayap ngengatbagian dep an berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarnakeputihan dengan bercak hit am. Kemampuan terbang ngengat pada malam harimencapai 5 km D. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pertumbuhan populasi ulat grayak (Spodoptera litura) sering dipicu oleh situasidan kondisi lingkungan, yakni: 1. Cuaca panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hamameningkat s ehingga memperpendek siklus hidup. Akibatnya jumlah telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan populasi. 2. Penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas. Penanaman tanaman sepertikedelai yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada pada fase pertumbuh- any ang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak selalu tersedia di lapangan.Akibatnya, pertumbuhan populasi hama makin meningkat kare- na makanan tersediasepanjang musim.



3. Aplikasi insektisida. Penggunaan insektisida yang kurang tepat baik jenis maupundosisny a, dapat memati- kan musuh alami serta meningkatkan Tanaman inang dari ulat grayak (Spodoptera litura) adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, kapas, bawang merah, terung, kentang, kacangkacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Ulat grayak juga menyerang berbagai gulma, seperti Limnocharis sp.,Passiflora foetida, geratum sp., Cleome sp., Clibadium sp., dan Trema sp.



E. Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pengendalian secara terpadu terhadap hama ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Pengendalian dilakukan secara mekanis, yaitu mengumpulkan telur dan ulat-ulatnya kemudian langsung membunuhnya. Dapat pula dilakukan dengan pemangkasan daun yang telah menjadi sarang telur ngengat dan membakarnya b. Pengendalian dilakukan secara biologis, yaitu dengan cara menyemprotkan Bacillus thuringienis atau Borrelinavirus litura c. Pengendalian dilakukan secara kultur teknis , yaitu menjaga kebersihan kebun dari gulma dan sisa-sisa tanaman yang menjadi tempat persembunyia hama, serta melakukan rotasi tanaman. d. Pengendalian dilakukan secara kimiawi, yakni sebagai berikut. 1. Pemasangan sex pheromone, yaitu perangkap ngengat (kupu-kupu) jantan. Sex pheromone merupakan aroma yag dikeluarkan oleh serangga betina dewasa yang dapat menimbulkan rangsangan seksual (birahi) pada serangga jantan dewasa untuk menghmapiri dan melakukan perkawinan sehingga membuahkan keturunan. Sex phermne ini berasal dari Taiwan yang di Indonesia diberi nama “Ugratas” (Ulat Grayak Beratas Tuntas) berwarna “merah”. Sex pheromone ini sangat efektif untuk dijadikan perangkap kupu-kuu dewasa dari ulat grayak (S. litura). Cara pemaagan Ugratas merh in adalah dimasukkan ke dalam botol bekas Aqua volume 500 cc yang diberi lubang kecil untuk tempat masuknya kupu-kupu janta. Satu hektar kebun cabai cukup dipasang 5 buah hingga 10 buh Ugratas merah dengan cara digantungkan sedikit lebih tinggi di atas tanaman cabai. Daya tahan (efektivitas) Ugratas ini ±tiga minggu dan tiap malam bekerja efektif sebagai perangkap ngengat jantan. Keuntungan penggunaa Ugratas ini, antara lain, adalah aman bagi manusia dan ternak, tidak berdampak negatif tehadap lingkungan, dapa meekan penggunaan insektisida tidak menimbulkan kekebalan hama, dan dapat memperlambat perkembangan hama tersebut. 2. Penyemprotan insektisisda yang mangkus dan sangkil seperti Hostathion 40EC 2 cc/lt atau Orthene 75 SP 1 gr/lt. dapat pula dengan menggunakan pestisida yang lain, misalnya Azodrin, Curracron 500 EC, Exalux 25 EC, dan lain-lain 3. Pembuatan perangkap ulat grayak, yaitu dengan cara pembuatan parit sepanjang sisi kebun dengan lebar 60 cm dan dalam 45 cm. Ulat grayak yang masuk ke dalam parit dimatikan dengan menggulung kayu bulat yang digerakkan maju mundur di atas ulat grayak. Cara lain adalah paritnya diisi dengan jerami atau bahan lainnya yang mudah terbakar, lalu dibakar hingga ulat grayaknya mati.



4. Pembersihan gulma supaya tidak menjadi tempat berkembang biak dan berembunyi ngengat dan ulat. 5. Pengolahan tanah secara baik sehingga dapat membunuh kepompong ulat grayak yang bersembunyi di dalam tanah. Ulat grayak Spodoptera litura F. (Prodenia litura) termasuk famili Noctuidae, Ordo Lepidoptera. Di luar negeri serangga ini dikenal dengan berbagai macam nama: Common cutworm, Tobacco cutworm, Cotton bowlworm, dan Armyworm. Armyworm mula-mula dialihbahasakan menjadi ulat tentara kemudian diubah menjadi ulat grayak. Ulat grayak bersifat polifag. Tanaman inang selain kedelai adalah kacang tanah, kacang hijau, tembakau, cabai, ubi jalar, buncis, kacang panjang, bayam, dan talas. Ulat grayak tersebar luas di Indonesia meliputi 22 propinsi dengan luas serangan rata-rata mencapai 11.163 ha/tahun. Kerusakan daun (defoliasi) akibat serangan larva ulat grayak mengganggu proses asimilasi dan pada akhirnya menyebabkan kehilangan hasil panen hingga mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan gagal panen (puso). Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida kimia yang diapliksikan secara teratur/terjadwal. Oleh sebab itu frekuensi aplikasi insektisida perlu diperhitungkan agar secara ekologi dan ekonomi tindakan pengendalian tidak merugikan karena penggunaan insektisida kimia terjadwal dan berlebihan serta secara terus menerus dapat mematikan populasi musuh alami seperti parasitoid dan predator. Disamping itu, akan menimbulkan masalah resistensi dan resurjensi baik hama utama maupun hama lainnya serta mencemari lingkungan. Cara Pengendalian Pada dasarnya untuk mengendalikan ulat grayak dapat diterapkan komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT), antara lain: 1. Pengendalian secara kultur teknis, melalui a) Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang, b) Tanam serempak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari, c) Penanaman tanaman perangkap imago dan telur S. litura,menggunakan kedelai MLG 3023. 2. Pengendalian fisik dan mekanik Dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mematikan kelompok telur, ulat stadia 1−2 yang masih berkelompok dan ulat stadia 4−6 yang terletak pada permukaan bawah daun pada bagian atas tanaman. 3. Pengendalian secara hayati Musuh alami berperan penting untuk mengatur dan mempertahankan keberadaan hama di bawah ambang yang tidak merugikan. Di antara beberapa jenis musuh alami yang dapat digunakan sebagai agens hayati adalah Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV). Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) merupakan salah satu virus yang dapat menyerang ulat grayak. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa SlNPV berpotensi dikembangkan untuk mengendalikan ulat grayak. SlNPV sebagai salah satu agens hayati yang efektif dan dapat diformulasikan serta dapat diproduksi secara in vivo (dengan menginfeksi ulat grayak), maka SlNPV layak dikembangkan sebagai bioinsektisida.



Salah satu isolat SlNPV yang ditemukan dari kabupaten Banyuwangi (SlNPV-JTM 97C), memiliki potensi yang tinggi sebagai biopestisida untuk mengendalikan ulat grayak pada tanaman kedelai di lapangan. Dengan takaran 1,5 x 10 11 PIBs/ha atau setara dengan 500 g/ha, kematian S. litura setelah aplikasi SlNPV-JTM 97C mencapai 80−100%. Virus pada umumnya bersifat spesifik, yaitu pada tingkat genus saja, akan tetapi strain JTM 97C selain dapat mematikan ulat grayak juga dapat mematikan ulat hama penggulung daun, ulat jengkal, penggerek polong, perusak polong kedelai (Maruca testulalis Geyer), perusak polong pada tanaman kacang hijau, dan ulat kubis (Crocidolomia binotalis Zell). Fakta ini membuktikan bahwa SlNPV JTM 97C juga mampu membunuh serangga sampai ke tingkat ordo Lepidoptera. Arifin, M., F. Djapri dan I M. Samudra. 1986. Kematian, perkembangan dan daya rusak ulat rayak, Spodoptera litura F. akibat residu monokrotofos pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 69-73. Arsyad , D.M dan M. Syam. 1998 Kedelai Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya. Jakarta. Hilman, Y. A. 2004. Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kontribusi Terhadap Ketahanan Pangan dan Perkembangan Teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor; 95-132 hlm.\\ Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Direvisi dan diterjemahkan oleh P.A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta. 701 p. Marwoto dan Bedjo, 1996. Status resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis Balitkabi Tahun 1995/1996. p. 114-121. Marwoto dan Suharsono. 2008. Pengendalian dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricus) Pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101. Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Biol. Control 34: 93-98. Pracaya 2011. Hama dan Penyakit Tanaman Penebar Swadaya Depo



Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Perkembangan telur sampai ngengat/imago relatif pendek (Kalshoven, 1981). a. Telur Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning keemasan (Jauharlina, 1999). Diameter telur 0,3 mm sedangkan lama stadia telur berkisarn antara 3-4 hari (Kalshoven, 1981).



Gambar 1. Telur S. Litura b. Larva Larva S. litura yang baru keluar memiliki panjang tubuh 2 mm. Ciri khas larva S. litura adalah terdapat 2 buah bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen terutama ruas ke-4 dan ke-10 yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan (Arifin, 1992). Lama stadium larva 18-33 hari (Kalshoven, 1981). Sebelum telur menetas, larva yang baru keluar dari telur tidak segera meninggalkan kelompoknya tetapi tetap berkelompok (Indrayani, et, al 1990). Pada stadium larva terdiri dari enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rerata 14 hari.



Gambar 2. Larva S. Litura c. Pupa Menjelang masa prepupa, larva membentuk jalinan benang untuk melindungi diri dari pada masa pupa. Masa prepupa merupakan stadium larva berhenti makan dan tidak aktif bergerak yang dicirikan dengan pemendekan tubuh larva. Panjang prepupa 1,4-1,9 cm dengan rerata 1,68 cm dan lebarnya 3,5-4 mm dengan rerata 3,7 mm. Masa prepupa berkisar antara 1-2 hari (Mardiningsih, 1993). Pupa S.litura berwarna merah gelap dengan panjang 15-20 mm dan bentuknya meruncing ke ujung dan tumpul pada bagian kepala (Mardiningsih dan Barriyah, 1995). Pupa terbentuk di dalam rongga-rongga tanah di dekat permukaan tanah (Arifin, 1992). Masa pupa di dalam tanah berlangsung 12-16 hari (Indrayani, et al, 1990).



Gambar 3. Pupa S. Litura



d. Imago Imago (ngengat) muncul pada sore hari dan malam hari. Pada pagi hari, serangga jantan biasanya terbang di atas tanaman, sedangkan serangga betina diam pada tanaman sambil melepaskan feromon. Perkembangan dari telur sampai imago berlangsung selama ± 35 hari. Faktor density dependent (bertautan padat) yaitu faktor penghambat laju populasi hama ini adalah sifatnya yang kanibal. Sedangkan populasi telur dan larva instar muda dapat tertekan oleh curah hujan yang tinggi, kelembaban yang tinggi yang mana membuat larva mudah terserang jamur. Musim kering dapat berpengaruh pada tanah dalam menghambat perkembangan pupa ( Kalshoven, 1981).



Gambar 4. Imago/Ngengat S. litura 2.2. Pengendalian Spodoptera litura Untuk mengatasi ulat grayak agak sulit karena seringkali serangan terjadi secara mendadak dan tidak diduga sebelumnya. Untuk mengendalikan ulat grayak diantaranya yaitu dengan pengendalian secara mekanis dan fisik, teknik pengendalian ini bertujuan untuk mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga. Contohnya yaitu dengan mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di pertanaman. Pengambilan ini jangan sampai terlambat, sebab apabila ulat telah besar mereka akan bersembunyi di dalam tanah. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam diri di dalam tanah pada siang hari (Pracaya, 2005; Arifin & Koswanudin, 2011). Selain dengan pengendalian secara mekanis, untuk mengendalikan dan mengurangi populasi ulat grayak yaitu dengan cara biologi. Pengendalian secara biologi terhadap hama ulat grayak yaitu dengan menggunakan Borrelinavirus litura dan bakteri Bacillus thuringiensis (Pracaya, 2005). Ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami antara lain kelompok patogen (nuclearpolyhedrosis virus, Metarhizium anisopliae), parasitoid (telur, Telenomus spodopterae Dodd., larva, Apanteles spp., pupa, Brachimeria spp.), dan predator larva (Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata, Selenopsis gemminata) (Mardiningsih & Baringbing, 1997). Pengendalian lainnya yaitu dengan menggunakan insektisida kimia dengan cara disemprot, rotasi tanaman, light trap dan penggunaan tanaman perangkap (Pracaya, 2005). 2.2.1. Pengelolaan Terpadu Ulat Grayak 2.2.1.1. Pendekatan Sistem Pengendalian



Berkembangnya resistensi hama terhadap insektisida yang diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk penggunaan insektisida secara intensif, mendorong perlunya pengendalian hama secara terpadu dengan menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan sistem usaha tani (Carter 1989). Hal ini mendorong penggunaan komponen teknologi pengendalian selain insektisida kimia, seperti azadirachtin dannucleopolyhedrosis pada ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2006). Pengendalian hama pada tanaman kedelai diarahkan pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi PHT adalah menggunakan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional yang digunakan dalam PHT meliputi : 1) Budidaya tanaman sehat Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama. Oleh karena itu, penerapan paket teknologi produksi harus diarahkan kepada terwujudnya tanaman yang sehat. 2) Pelestarian musuh alami Musuh alami (parasit, predator, dan patogen serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Untuk itu, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005). 3) Pemantauan ekosistem secara terpadu Pemantauan ekosistem pertanaman secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan pengendalian yang diperlukan. 4) Petani sebagai ahli PHT Yaitu mampu mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT. 2.2.1.2. Analisis Ekosistem sebagai Dasar Pengendalian Hama Dalam PHT, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengendalian didasarkan atas analisis ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan dan berfungsi terdiri



atas tiga subsistem, pengendalian hama.



yaitu



pemantauan,



pengambilan



keputusan,



dan



tindakan



Pemantauan atau monitoring bertujuan untuk mengamati dinamika agroekosistem secara rutin, baik komponen biotic (keadaan tanaman, intensitas kerusakan, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami, keadaan gulma dan lain-lain) maupun komponen abiotik (curah hujan, suhu, air, angin, dan lain-lain). Pengamatan secara rutin (misal satu minggu sekali) dapat dilakukan oleh petugas pengamat khusus atau oleh petani yang terlatih. Metode pengamatan harus dibuat praktis dan ekonomis, tetapi memiliki tingkat ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Subsistem pengambilan keputusan berfungsi untuk menentukan keputusan pengelolaan hama yang tepat yang didasarkan pada analisis data hasil pemantauan yang secara rutin diterima dari subsistem pemantauan. Pengambilan keputusan didasarkan pada model dan teknologi pengelolaan hama yang dikuasai oleh dan tersedia bagi pengambil keputusan. Keputusan yang diambil oleh pengambil keputusan merupakan berbagai tindakan yang perlu dilakukan pada agroekosistem agar sasaran PHT terpenuhi, termasuk keputusan kapan dan bagaimana pestisida digunakan. Subsistem program tindakan (action program) mempunyai fungsi untuk segera melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau pengelolaan hama pada unit lahan atau lingkungan pertanian yang dikelola. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh petani perorangan atausecara berkelompok. 2.2.1.3. Komponen Pengendalian Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT pada tanaman kedelai adalah : 1) Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Penyemprotan dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi aplikasinya, akan mengancam populasi musuh Alami (parasitoid dan predator). 2) Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit. 3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasi hama meliputi : § Penanaman varietas tahan § Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik.



§ Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama § Sanitasi § Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak § Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama 4) Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis). Pengendalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan pathogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). 5) Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas keseimbangannya Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat grayak (Susilo et al. 1996). Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan alternatif pengendalian yang ada.